Sistematika Penulisan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 Dalam Kaitannya Dengan Pembentukan Hukum Nasional di Bidang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

20 4. Analisis Data Menurut Berndl Berson, ”Content analysis is a research technique for the objective, systema tic a nd quantita tive description of the manifest content of communica tion .” 18 kajian isi adalah teknik penelitian untuk keperluan mendeskripsikan secara obyektif, sistematik dan kuantitatif dari suatu bentuk komunikasi. Teknik analisis data dapat digolongkan sebagai berikut : a. Teknik analisis data kuantitatif yaitu menganalisis dengan pengukuran data statistik secara obyektif belalui perhitungan ilmiah berasal dari sampel yang menghubungkan antara pengamatan empiris dan ekspresi matematis b. Teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan berupa huruf, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil yang mempergunakan pendekatan yuridis dan sosiologis. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif, karena lebih cenderung menggunakan pendekatan teoritis yang lebih mengutamakan dalamnya data daripada jumlahnya.

H. Sistematika Penulisan

Penelitian skripsi harus mempermudah dalam pemahaman mulai dari awal permasalahan hingga pembahasan. Sistematika skripsi ini adalah sebagai berikut : 18 Lexy J. Moloeng, Metode Penelitian Hukum Kualitatif , Remaja Karya, Bandung, 1989, hal.179 Universitas Sumatera Utara 21 Bab pertama dimulai dari memaparkan latar belakang lahirnya permasalahan hingga mampu dirumuskan ke dalam 3 tiga inti masalah, serta menguraikan tujuan, manfaat, keaslian penelitian, dan menjabarkan kerangka teori dan konsep serta metode penelitian. Bab kedua mulai membahas permasalahan yang pertama yaitu bentuk kerjasama internasional dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi menurut konvensi United Nations Convention Against Corruption UNCAC 2003. Bab ini terdiri dari Sejarah Terbentuknya konvensi United Nations Convention Against Corruption UNCAC 2003 ; Kedudukan konvensi United Nations Convention Aga inst Corruption UNCAC 2003 Sebagai Sebuah Perjanjian Internasional;Kekuatan Mengikat konvensi United Nations Convention Against Corruption UNCAC 2003; Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan konvensi United Nations Convention Against Corruption UNCAC 2003 yang kemudian terbagi lagi atas : Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi yang Diatur Dalam konvensi United Nations Convention Against Corruption UNCAC 2003; Negara-Negara yang Telah Meratifikasi konvensi United Nations Convention Aga inst Corruption UNCAC 2003;dan poin terakhir: Kerjasama Internasional dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bab ketiga berisi tentang hubungan konvensi United Nations Convention Aga inst Corruption UNCAC 2003 dengan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Bab ini menjelaskan tentang: Ratifikasi konvensi United Nations Convention Aga inst Corruption UNCAC 2003 Oleh Indonesia dan Negara Lainnya; Akibat Hukum dari Ratifikasi konvensi United Nations Convention Universitas Sumatera Utara 22 Aga inst Corruption UNCAC 2003 Terhadap Indonesia; Pengaruh konvensi United Na tions Convention Aga inst Corruption UNCAC 2003 Terhadap Pembentukan Hukum Anti Korupsi di Indonesia; Pengaruh konvensi United Na tions Convention Aga inst Corruption UNCAC 2003 Terhadap Proses Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Bab keempat membahas permasalahan akhir, yaitu bentuk sinkronisasi peraturan perundang-undangan nasional tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan konvensi United Nations Convention Against Corruption UNCAC 2003. Bab ini akan memaparkan lebih jelas tentang Ketentuan – Ketentuan konvensi United Nations Convention Against Corruption UNCAC 2003 yang Diadopsi dalam Hukum Nasional; dan Ketentuan-Ketentuan konvensi United Na ions Convention Aga inst Corruption UNCAC 2003 yang Belum Diadopsi dalam Hukum Nasional. Bab kelima merupakan bab penutup dari skripsi ini. Bab ini berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi objek penelitian dan saran yang berdasarkan hasil dari penelitian. Universitas Sumatera Utara 23

BAB II KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM BIDANG PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN KONVENSI UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION UNCAC 2003 A. Sejarah Terbentuknya Konvensi United Nations Convention Against Corruption UNCAC 2003 Konvensi United Nations Convention Against Corruption UNCAC 2003 sendiri dibentuk dan dilatarbelakangi oleh suatu realitas bahwa korupsi telah menimbulkan masalah dan ancaman yang serius bagi stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum. Kondisi ini diperparah oleh sifat dari korupsi yang memiliki hubungan yang sangat erat dengan bentuk-bentuk kejahatan lain, khususnya kejahatan terorganisir dan kejahatan ekonomi, termasuk pencucian uang, sehingga dalam banyak kasus korupsi melibatkan jumlah aset yang merupakan bagian penting sumber daya negara, dan yang mengancam stabilitas politik dan pembangunan yang berkelanjutan negara tersebut 19 Korupsi juga tidak lagi merupakan masalah lokal, tetapi merupakan fenomena internasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi, yang menjadikan kerjasama internasional untuk mencegah dan mengendalikannya sangat penting. Oleh karenanya, suatu pendekatan yang komprehensif dan multidisipliner diperlukan untuk mencegah dan memberantas korupsi secara 19 Konsideran United Nations Convention Against Corruption UNCAC, 2003 Universitas Sumatera Utara 24 efektif. Pendekatan dimaksud salah satunya adalah keberadaan bantuan teknis yang dapat memainkan peranan penting dalam meningkatkan kemampuan negara, termasuk dengan memperkuat kapasitas dan dengan peningkatan kemampuan lembaga untuk mencegah dan memberantas korupsi secara efektif. 20 Perubahan fokus internasional terhadap isu korupsi awalnya dipicu oleh beberapa tindak korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin negara. Tindak korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin negara seringkali menimbulkan dampak buruk khususnya bagi negara berkembang. Hal ini dikarenakan tindak kejahatan korupsi yang dilakukan pemerintah melebihi kekayaan negara yang telah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. 21 Diawali dengan terungkapnya beberapa kasus tindakan korupsi oleh Transparency International yang dilakukan oleh Presiden Filipina Ferdinan Marcos pada tahun 1986 yang menyalahgunakan kekuasaannya sebagai seorang presiden dengan melakukan pencurian penerimaan negara dan sebagian diinvestasikan dalam bentuk emas batangan. Terhitung mulai awal Ferdinan Marcos menjabat sebagai Presiden Filipina pada tahun 1965 hingga 1986 Ferdinan Marcos telah mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US5 miliar hingga US10 miliar. Dikarenakan besarnya jumlah kekayaan negara yang dikorupsi oleh Ferdinan Marcos, Guinnes book of record memasukkannya sebagai salah satu pencuri kekayaan negara terbesar sepanjang sejarah. 22 Tindak korupsi yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya dilakukan oleh Ferdinan Marcos, Mobutu Seseseko yang merupakan Presiden dari Zaire telah 20 Mahrus Ali, Asas,Teori, dan Praktek Hukum Pidana Korupsi , Cetakan Pertama, UII Press,Yogyakarta, 2013, hal. 32-33 21 Budi Winarno, Isu-Isu Global Kontemporer , Cetakan Pertama, Caps: Yogyakarta, Yogyakarta, 2013. 22 Beberapa Pemimpin Terkorup di Dunia , Figur, Vol XXVIITH.2008, hal. 22 Universitas Sumatera Utara 25 mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US5 miliar. Selain itu ada Presiden Nigeria yakni Sani Abacha yang mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US2 miliar hingga US5 miliar, Presiden Yugoslavia Slobodan yang mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US1 miliar, Presiden Haiti J.C. Duvailer yang melakukan korupsi sebesar US300 juta hingga US800 juta, Presiden Peru Alberto Fujimori sebesar US600 juta, Presiden Ukraina Pavlo Lazarenko yang mengkorupsi kekayaan negaranya sebesar US114 juta hingga US 200 juta, dan Presiden Nikaragua Arnoldo Aleman yang melakukan korupsi kekayaan negaranya sebesar US100 juta. 23 Adapun dampak yang ditimbulkan dari korupsi yang pertama adalah the ca pture sta te , yang mana korupsi menjadi penghambat dari proses demokrasi dan dapat menjadi penghambat tercapainya good governance karena korupsi dapat melemahkan birokrasi sebuah pemerintahan suatu negara, dampak korupsi berikutnya adalah pada sektor perekonomian. Dalam segi ekonomi negara akan merasakan secara langsung dampak buruk dari korupsi seperti perkembangan laju ekonomi negara menjadi terhambat dalam upaya memulihkan perekonomian negaranya dan jika semua negara memiliki tingkat korupsi yang tinggi maka dapat mengganggu pemulihan perekonomian global pasca krisis. Selanjutnya dampak dari tindak korupsi yang dilakukan para pejabat publik seperti pemerintah berpengaruh terhadap kesejahteraan warganya. Akibat tindak korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik dapat menggagalkan program pembangunan yang ditujukan untuk mensejahterakan rakyatnya. Besarnya dana 23 Diakses dari, http:jurnal-libre.compdf, diakses tanggal 5 Maret 2015 Universitas Sumatera Utara 26 yang dikeluarkan untuk sebuah program pembangunan pada kenyataannya tidak sesuai dengan wujud dari program tersebut. 24 Berdasarkan dari beberapa penjelasan diatas mengenai besarnya dampak korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik diberbagai aspek membuktikan jika korupsi merupakan permasalahan yang sangat menghambat bagi kemajuan negara. Korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik negara dapat menghambat proses demokrasi suatu negara, dalam segi ekonomi korupsi dapat membuat negara terjebak dalam krisis, sedangkan dalam segi kesejahteraan warga negara korupsi dapat menyengsarakan rakyat akibat dari gagalnya program pembangunan yang tidak dapat berjalan sesuai dengan rencana. Dalam kaitannya dengan besarnya dampak negatif korupsi dan permasalahan korupsi, maka dari itu untuk dapat menanggapi permasalahan korupsi pada saat ini yang masuk dalam kategori isu kontemporer dipicu dari tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik, pada akhirnya untuk pertama kali isu korupsi di angkat kedalam ranah internasional dengan mendapat perhatian dunia sebagai dari salah satu jenis crime pada tahun 2000. 25 Masuknya korupsi kedalam ranah internasional dibuktikan dengan dikeluarkannya resolusi pada tanggal 4 desember 2000 oleh Majelis Umum PBB yang menyatakan perlunya peraturan dalam menanggulangi permasalahan korupsi dalam taraf internasional. Sehingga pada akhirnya berdasarkan usulan tersebut didirikanlah sebuah Panitia Ad Hoc untuk melakukan negosiasi instrumen a gainst 24 http:jurnal-libre.compdf, Ibid . 25 Background of United Nation Convention Against Corruption , diakses dari http:www.unodc.orgunodcentreatiesCACindex.html, diakses tanggal 5 Maret 2015 Universitas Sumatera Utara 27 corruption di Wina markas kantor Organisasi Internasional United Nations Office on Drug a nd Crime UNODC. 26 Naskah Konvensi United Nations Convention Against Corruption UNCAC 2003 telah dinegosiasikan selama tujuh sesi oleh Komite Ad Hoc yang diselenggarakan antara tanggal 21 Januari 2002 dan tanggal 1 Oktober 2003 dan pada akhirnya setelah melewati negosiasi yang cukup panjang konvensi United Na tions Convention Aga inst Corruption UNCAC 2003 mulai diberlakukan oleh organisasi internasional UNODC pada tanggal 14 Desember 2005. Konvensi UNCAC 2003 disini sebagai perjanjian internasional yang berfungsi untuk memperkuat hukum nasional masing-masing negara dalam hal pemberantasan korupsi. Komitmen masyarakat internasional untuk menentang korupsi ditandai dengan berhasil ditandatanganinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Melawan Korupsi konvensi United Nations Convention Againts Corruption UNCAC 2003 oleh 140 negara di Merida, Meksiko, pada tanggal 9 sampai dengan tanggal 11 Desember 2003. Sehingga tanggal 9 Desember ditetapkan sebagai hari Anti Korupsi Sedunia. Konvensi ini sendiri telah diterima secara resmi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi No. 57169. Setelah diratifikasi sekurangnya oleh 30 negara, ia berlaku efektif 14 Desember 2005. Jumlah negara yang meratifikasi konvensi UNCAC 2003 sampai saat ini adalah 129 negara. 27 26 Background of United Nation ConventioncAgainst Corruption , Ibid. 27 Diakses dari http:www.sinarharapan.co.idberita060323taj01.html, diakses pada tanggal 21 Maret 2015 Universitas Sumatera Utara 28 Memasuki abad 21 ini, salah satu visi masyarakat internasional adalah semakin kuatnya kesepakatan untuk saling bekerjasama dalam pemberantasan praktek-praktek korupsi. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya deklarasi untuk memberantas korupsi dalam Konvensi UNCAC 2003 yang diadakan oleh PBB. Konvensi UNCAC 2003 ini digelar karena korupsi telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di suatu negara dan memberikan implikasi pula terhadap masyarakat internasional. Selain itu, korupsi berpotensi mengganggu stabilitas dan keamanan masyarakat serta dapat memperlemah nilai-nilai demokrasi, etika, keadilan, dan kepastian hukum. Melemahnya nilai-nilai ini, akan dapat membahayakan kelangsungan dan keberlanjutan pembangunan jeopardizing sustainable development. Dalam praktiknya, korupsi dapat menjadi mata rantai kejahatan yang terorganisasi crime orga nized , pencucian uang money laundering, dan kejahatan ekonomi economic crime lainnya. Bentuk-bentuk kejahatan besar yang muncul sebagai akibat dari korupsi ini dapat merusak prinsip-prinsip persaingan sehat fair competition dan menyuburkan persaingan tidak sehat unfair competition di dunia bisnis. 28 Sebelum konvensi UNCAC 2003 terbentuk, ada beberapa Konvensi Anti Korupsi tingkat internasional 29 yaitu: 28 Diakses dari http:www.pikiran-rakyat.comcetak20050105150801.htm, diakses pada tanggal 23 Maret 2015 29 Diakses dari http:en.wikipedia.orgwikiConvention_against_Transnational_Organized_Crime,diakses tanggal 23 Maret 2015 Universitas Sumatera Utara 29 1. 1977: The United States Congress oleh Perusahaan-perusahaan yang ada di Amerika Serikat. Kongres ini mengangkat masalah praktek korupsi berupa kriminalisasi suap oleh pejabat asing. 2. 1980: Cold War security mempromosikan konvensi anti korupsi tingkat internasional. 3. 1996: The Inter-American Convention against Corruption yang merupakan Konvensi Anti Korupsi tingkat regional pertama kali. 4. 1997: The OECD Convention dalam memberantas Suap oleh pejabat asing Bribery of Foreign Public Officials. 5. 1998-1999: The Council of Europe yang menghasilkan 2 kesepakatan anti korupsi yaitu : Hukum Kriminal Criminal La w; Konvensi Hukum Sipil Civil La w Convention 6. 2000: The UN Convention dalam memberantas Transnational Organized Crime 7. 2003: The African Union Convention yang membahas masalah pencegahan dan pemberantasan korupsi. Konvensi UNCAC United Nations Convention Againts Corruption 2003 adalah konvensi anti korupsi pertama tingkat global yang mengambil pendekatan komprehensif dalam menyelesaikan masalah korupsi. Konvensi UNCAC 2003 terdiri dari delapan bab dengan 71 pasal yang mengharuskan negara-negara peratifikasi mengimplementasikan isi dari konvensi tersebut. Adapun tujuan umum dari Konvensi UNCAC 2003 adalah 30 : 30 http:en.wikipedia.orgwikiConvention_Against_Transnational_Organized_Crime , Ibid , Universitas Sumatera Utara 30 a. Memajukan dan mengambil langkah-langkah tegas dalam pencegahan strenghthen measures to prevent and combat corruption more efficiently a nd effectively . b. Memajukan, memfasilitasi, dan mendukung kerja sama internasional dan bantuan teknik dalam mencegah dan memerangi perbuatan korupsi, termasuk pengembalian aset to promote, facilitate and support interna tiona l coopera tion a nd technica l a ssista nce in the prevention of a nd fight a ga inst corruption, including in a sset recovery . c. Memajukan integritas, pertanggungjawaban, dan hubungan manajemen publik yang sesuai dengan kepemilikan umum to promote integrity, a ccounta bility a nd proper ma nagement of public a ffa irs a nd public property . Lingkup Konvensi UNCAC 2003, pembukaan dan batang tubuh yang terdiri atas 8 delapan bab dan 71 tujuh puluh satu pasal dengan sistematika sebagai berikut 31 : a. BAB I : Ketentuan umum, memuat pernyataan tujuan; penggunaan istilah-istilah; ruang lingkup pemberlakuan; dan perlindungan kedaulatan. b. BAB II : Tindakan-tindakan pencegahan, memuat kebijakan dan praktek pencegahan korupsi; badan atau badan-badan pencegahan korupsi; sektor publik; aturan perilaku bagi pejabat publik; pengadaan umum dan pengelolaan keuangan publik; pelaporan publik; tindakan-tindakan yang 31 Diakses dari http:www.unsrat.ac.idhukumuuuu_7_06.htm, diakses tanggal 23 Maret 2015 Universitas Sumatera Utara 31 berhubungan dengan jasa-jasa peradilan dan penuntutan; sektor swasta; partisipasi masyarakat; dan tindakan-tindakan untuk mencegah pencucian uang. c. BAB III : Kriminalitas dan penegakan hukum, memuat penyuapan pejabat-pejabat publik nasional, penyuapan pejabat-pejabat publik asing dan pejabat-pejabat organisasi-organisasi internasional publik; penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain kekayaan oleh pejabat publik; memperdagangkan pengaruh; penyalahgunaan fungsi; memperkaya diri secara tidak sah; penyuapan di sektor swasta; penggelapan kekayaan di sektor swasta; pencucian hasil-hasil kejahatan; penyembunyian; penghalangan jalannya proses pengadilan; tanggung jawab badan-badan hukum; keikutsertaan dan percobaan; pengetahuan, maksud dan tujuan sebagai unsur kejahatan; aturan pembatasan; penuntutan dan pengadilan, dan saksi-saksi; pembekuan, penyitaan dan perampasan; perlindungan para saksi, ahli dan korban; perlindungan bagi orang-orang yang melaporkan; akibat-akibat tindakan korupsi; kompensasi atas kerugian; badan-badan berwenang khusus; kerja sama dengan badan-badan penegak hukum; kerjasama antar badan-badan berwenang nasional; kerjasama antara badan-badan berwenang nasional dan sektor swasta; kerahasian bank; catatan kejahatan; dan yurisdiksi. d. BAB IV : Kerjasama internasional. memuat ekstradisi; transfer narapidana; bantuan hukum timbal balik; transfer proses pidana; Universitas Sumatera Utara 32 kerjasama penegakan hukum; penyidikan bersama; dan teknik-teknik penyidikan khusus. e. BAB V : Pengembalian aset, memuat pencegahan dan deteksi transfer hasil-hasil kejahatan; tindakan-tindakan untuk pengembalian langsung atas kekayaan; mekanisme untuk pengembalian kekayaan melalui kerjasama internasional dalam perampasan; kerjasama internasional untuk tujuan perampasan; kerjasama khusus; pengembalian dan penyerahan aset; unit intelejen keuangan; dan perjanjian-perjanjian dan pengaturan-pengaturan bilateral dan multilateral. f. BAB VI : Bantuan teknis dan pertukaran informasi, memuat pelatihan dan bantuan teknis; pengumpulan, pertukaran, dan analisis informasi tentang korupsi; dan tindakan-tindakan lain; pelaksanaan konvensi melalui pembangunan ekonomi dan bantuan teknis. g. BAB VII : Mekanisme-mekanisme pelaksanaan, memuat konferensi negara-negara pihak pada konvensi; dan sekretariat. dan pemberantasan korupsi secara efektif dan efisien. h. BAB VIII : Ketentuan-ketentuan akhir, memuat pelaksanaan konvensi; penyelesaian sengketa; penandatanganan, pengesahan, penerimaan, persetujuan, dan aksesi; pemberlakuan; amandemen; penarikan diri; penyimpanan dan bahasa-bahasa. Konvensi UNCAC 2003 adalah Konvensi Anti Korupsi yang berlaku secara global, yang dirancang untuk mencegah dan memerangi korupsi secara komprehensif. Konvensi UNCAC 2003 menetapkan secara eksplisit bahwa Universitas Sumatera Utara 33 korupsi merupakan kejahatan transnasional dan membawa implikasi yang sangat luas. Korupsi meruntuhkan sendi-sendi demokrasi, menghambat pembangunan berkelanjutan, melanggar hak asasi manusia, menggoyahkan keamanan suatu negara, dan meminimalisasi kesejahteraan bangsa-bangsa. Konvensi UNCAC 2003 menyiapkan 3 tiga strategi yang memiliki saling ketergantungan satu sama lain. Ketiga strategi tersebut adalah kriminalisasi criminalisation, pengembalian hasil aset korupsi asset recovery, dan kerjasama internasional international coopera tion . 32 Penandatanganan konvensi tersebut memberikan peluang untuk pengembalian aset-aset para koruptor yang dibawa lari ke luar negeri. Selain itu, negara-negara yang telah meratifikasi konvensi ini akan terikat untuk mempidanakan praktek-praktek korupsi, termasuk bermitra dalam pemberian bantuan teknis dan keuangan dalam pengembalian aset yang dikorup. Pelaksanaan dari konvensi UNCAC 2003 bisa dilihat dari berhasilnya Filipina, setelah 18 tahun, berhasil menarik uang Presiden Ferdinand Marcos US 624 juta sekitar Rp 5,6 triliun dari rekening bank Swiss. Peru berhasil menemukan kembali uang lebih dari US 180 juta sekitar Rp 1,62 triliun yang dicuri bekas Kepala Intelijen Polisi Vladimiro Montesinos yang disimpan di Swiss, Kepulauan Cayman, dan Amerika Serikat. Nigeria berhasil menemukan kembali aset US 505 juta sekitar Rp 4,5 triliun di Swiss dari Presiden Jenderal Sani Abacha. 33 Keberhasilan dari negara-negara tersebut tidak lepas dari kerjasama internasional antar negara korban dengan negara pihak peratifikasi yang lain dalam rangka pengembalian aset hasil korupsi asset recovery. Seperti halnya negara berkembang lainnya, 32 http:www.unsrat.ac.idhukumuuuu_7_06.htm, Ibid , 33 Diakses dari http:www.sinarharapan.co.idberita060109nas10.html, diakses pada tanggal 21 Maret 2015 Universitas Sumatera Utara 34 Indonesia juga merupakan negara dengan masalah korupsi yang sangat kompleks. Korupsi di Indonesia sudah menjadi suatu fenomena yang sangat mencemaskan karena telah semakin meluas. Kondisi tersebut telah menjadi salah satu faktor penghambat utama pelaksanaan pembangunan Indonesia dan sangat membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa. Di mata internasional, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia dipandang sebagai salah satu negara terkorup di dunia. 34 Dalam rangka menyelesaikan masalah tindak pidana korupsi para pembuat kebijakan telah membentuk Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme sebagai bentuk semangat reformasi hukum terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi. 35 Untuk menindak lanjuti semangat reformasi hukum ini lahirlah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pelaksanaan teknis pemberantasan tindak pidana korupsi. Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diharapkan dapat mewadahi koordinasi antara kepolisian, 34 Diakses dari, http:www.transparency.orgsurveycpi, Diakses tanggal 21 Maret 2015 35 Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara. Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Universitas Sumatera Utara 35 kejaksaan, instansi terkait, dan unsur masyarakat dalam upaya penanganan kasus- kasus korupsi secara lebih efektif. 36 B. Kedudukan Konvensi United Nations Convention Against Corruption UNCAC 2003 Sebagai Sebuah Perjanjian Internasional Dalam masyarakat internasional dewasa ini, perjanjian internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara. Melalui perjanjian internasional, tiap negara menggariskan dasar kerjasama mereka, mengatur berbagai kegiatan, menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Dalam dunia yang ditandai saling ketergantungan dewasa ini, tidak ada satu negara yang tidak mempunyai perjanjian dengan negara lain dan tidak ada satu negara yang tidak diatur oleh perjanjian dalam kehidupan internasionalnya. Perjanjian internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama adalah instrumen-instrumen yuridis yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama. Persetujuan bersama yang dirumuskan dalam perjanjian tersebut merupakan dasar hukum internasional untuk mengatur kegiatan negara - negara atau subjek hukum internasional lainnya di dunia ini. Oleh karena pembuatan perjanjian merupakan perbuatan hukum maka ia akan mengikat pihak-pihak pada perjanjian tersebut. Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa ciri-ciri suatu perjanjian internasional ialah bahwa 36 Ibid , Universitas Sumatera Utara 36 ia dibuat oleh subjek hukum internasional, pembuatannya diatur oleh hukum internasional dan akibatnya mengikat subjek-subjek yang menjadi pihak. Di samping itu walaupun bermacam-macam nama yang diberikan untuk perjanjian mulai dari yang paling resmi sampai pada bentuk yang sangat sederhana, semuanya sama-sama mempunyai kekuatan hukum dan mengikat pihak-pihak yang terkait. Menurut Myers: ada 39 macam istilah yang digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional. 37 Selanjutnya sesuai hukum internasional, setiap negara mempunyai hak untuk membuat perjanjian internasional. Pada dasarnya bagi negara yang berbentuk federal, negara-negara bagian tidak mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian internasional karena wewenang tersebut terletak pada pemerintah federal. Namun kadang- kadang berdasarkan konstitusi, negara bagian untuk hal-hal tertentu dapat membuat perjanjian internasional. Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft pasal-pasal yang disiapkan oleh Komisi Hukum Internasional, diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional di Wina dari tanggal 26 Maret sampai dengan tanggal 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April sampai dengan tanggal 22 Mei 1969 untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian melahirkan Vienna Convention On the La w of Trea ties yang ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan telah merupakan hukum 37 Myers, The Names and Scoope of Treaties , 51 American Journal of International Law , 1957, hal. 574,575 Universitas Sumatera Utara 37 internasional positif. Sampai Desember 1999, sudah 90 negara menjadi pihak pada Konvensi tersebut. 1Defenisi dan Ruang Lingkup Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, sumber-sumber hukum internasional terdiri dari: a perjanjian internasional international conventions, baik yang bersifat umum maupun khusus; b kebiasaan internasional international custom; c prinsip-prinsip hukum umum general principles of law yang diakui oleh negara-negara beradab; d keputusan pengadilan judicial decisions dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya teachings of the most highly qualified publicists merupakan sumber tambahan hukum internasional. Dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional treaty didefinisikan sebagai: Sua tu persetujua n yang dibua t a nta r nega ra da la m bentuk tertulis, dan dia tur oleh hukum interna siona l, a pa kah da la m instrumen tungga l a ta u dua a ta u lebih instrumen ya ng berka ita n da n apa pun na ma ya ng diberikan pa danya . Defenisi ini kemudian dikembangkan oleh Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yaitu: Per ja njia n interna siona l ada la h perja njia n da la m bentuk da n sebutan a pa pun, yang dia tur oleh hukum interna siona l da n dibua t seca ra tertulis oleh Pemerinta h Republik Indonesia denga n sa tu a tau lebih nega ra , orga nisasi interna siona l a ta u subjek hukum interna siona l la innya , serta Universitas Sumatera Utara 38 menimbulka n ha k da n kewa jiba n pa da Pemerinta h Republik Indonesia ya ng bersifa t hukum publik. Berdasarkan defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa perjanjian internasional adalah semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, yang diatur oleh hukum internasional dan berisikan ikatan-ikatan yang mempunyai akibat-akibat hukum. Sehubungan dengan itu terdapat dua unsur pokok yang terdapat dalam defenisi perjanjian internasional tersebut: aAdanya subjek hukum internasional Negara adalah subjek hukum internasional, par exellence, yang mempunyai kapasitas penuh untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional seperti yang tercantum dalam Pasal 6 Konvensi Wina . Kesulitan mungkin timbul bila menyangkut negara-negara federal, organisasi-organisasi internasional atau gerakan-gerakan pembebasan nasional. Komisi Hukum Internasional memang mengajukan rancangan mengenai kemungkinan negara-negara bagian dari suatu negara federal membuat perjanjian dengan negara-negara lain bila konstitusi federal mengijinkannya dan dalam batas-batas yang ditentukan. Tetapi usul tersebut ditolak oleh Konferensi yang menggarisbawahi bahwa permasalahannya lebih banyak bersifat intern suatu negara dan Konferensi kelihatannya tidak mau melibatkan diri pada masalah yang cukup peka. Dalam prakteknya ada konstitusi yang melarang dan ada yang membiarkannya. Amerika Serikat, Meksiko, dan Venezuela misalnya melarang negara-negara bagian membuat perjanjian dengan negara-negara lain. Kanada Universitas Sumatera Utara 39 yang semula mempunyai sikap yang sama berangsur-angsur melunakkan posisinya dan memberikan kemungkinan kepada Propinsi Quebec yang berbahasa Perancis untuk membuat perjanjian kerjasama kebudayaan negara-negara fra ncophone . 38 Disamping itu Konstitusi Uni Soviet 7 Oktober 1977 Pasal 70, Konstitusi Jerman 28 Mei 1949 dan Konstitusi Swiss 29 Mei 1974 juga memberikan wewenang tertentu kepada negara-negara bagian untuk membuat persetujuan dengan negara-negara lain Sekarang organisasi-organisasi internasional juga sudah diberikan wewenang untuk membuat perjanjian internasional. Sebagai contoh perjanjian antara UNESCO dengan Perancis, 2 Juli 1954 tentang pendirian gedung dan status UNESCO di Perancis, antara PBB dengan Pemeritah Amerika Serikat, 26 Juni 1947 tentang pendirian dan status hukum gedung PBB di kota New York. Bahkan juga antara suatu organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya yaitu Konvensi yang ditandatangani tanggal 19 April dan 19 Juli 1946 di Jenewa antara LBB Liga Bangsa-Bangsa dan PBB mengenai penyerahan inventaris dan gedung dari Organisasi yang pertama kepada PBB. Pembatasan bagi organisasi internasional untuk mebuat perjanjian jelas terdapat dalam Pasal 6 Konvensi mengenai perjanjian-perjanjian yang dibuat antara negara dan organisasi internasional atau antara organisasi-organisasi internasional yang berbunyi : kapasitas suatu organisasi internasional untuk 38 J.Y Morin, In Annuaire Canadien de Droit Internasional ACDI , 1965, hal. 127-186 Universitas Sumatera Utara 40 membua t perja njia n-perja njia n dia tur oleh ketentua n-ketentua n yang releva n da n orga nisasi tersebut. Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum tertentu. Ada beberapa bentuk perjanjian internasional salah satunya yaitu konvensi. Istilah konvensi biasanya dipakai untuk dokumen yang resmi dan bersifat multilateral. Juga mencakup dokumen-dokumen yang dipakai oleh aparat lembaga internasional. 39 Prosedur Pembuatan Perjanjian Internasional. 40 Langkah- langkah yang biasa ditempuh dalam membuat perjanjian internasional adalah sebagai berikut : a. Pemberian kuasa resmi kepada orang yang melakukan negosiasi atas nama negara Dalam tahap ini ditunjuk suatu perwakilan untuk melakukan negosiasi. Pemberian kuasa resmi harus dilakukan dengan prosedur yang tepat. b. Negosiasi dan adopsi Dalam tahap ini para delegasi tetap mengadakan hubungan dengan pemerintah masing-masing. c. Otentikasi dan penandatanganan 39 sistem, ada tujuan yang pasti yang telah dicanangkan oleh para pengambil keputusan, bahwa dalam keputusan yang dibuat setelah mempertimbangkan semua alternatif kemudian memilih alternatif yang paling efektif dan efisisen untuk mencapai tujuan tersebut. Graham T. Allison et.al, dalam Marry G. Kweit Robert W. Kweit, Metode dan Konsep Analisa Politik , Jakarta: Bina Aksara, 1986, hal 188. Bentuk Perjanjian Internasional yaitu: Treaty, Konvensi, Protokol, Persetujuan, Arrangement, Proses Verbal, Statuta, Deklarasi, Modus Vivendi, Pertukaran Nota atau Surat, Ketentuan Penutup Final Act, Ketentuan Umum, T. May RudY, Hukum Internasional II, Bandung: Refika Aditama, 2001, hal123-126 40 Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional , Yogyakarta: Liberty, 1990, hal 75-79 Universitas Sumatera Utara 41 Apabila rancangan final perjanjian internasioanl telah disetujui, berarti instrumen ini telah siap untuk ditandatangani. Sebelum dilakukan penandatanganan, rancangan teks tersebut dapat diumumkan. Tahap penandatanganan biasanya merupakan hal yang paling formal. d. Ratifikasi Ratifikasi adalah merupakan persetujuan Kepala Negara atau pemerintah atas penandatanganan perjanjian internasional yang dilakukan oleh kuasa penuhnya yang ditunjuk dengan sebagaimana mestinya. e. Aksesi dan addesi Aksesi dan addesi merupakan cara untuk menyatakan keterikatan negara pada perjanjian internasional yang tersedia bagi negara-negara yang tidak ikut serta dalam pembuatan perjanjian internasional. f. Mulai berlakunya perjajanjian internasional Menurut ketentuan pasal 24 ayat 1 Konvensi Wina 1969 berlakunya suatu perjanjian tergantung pada ketentuan perjanjian internasional itu sendiri atau apa yang telah disetujui oleh negara peserta. g. Registrasi dan publikasi Pasal 102 Piagam PBB 1945, menentukan bahwa semua perjanjian internasional dan persetujuan internasional yang dibuat oleh anggota PBB harus sesegera mungkin dicatatkan pada Sekretariat PBB dan kemudian akan diumumkan oleh Sekretariat. h. Aplikasi dan pelaksanaan perjanjian internasional Universitas Sumatera Utara 42 Langkah final proses pembuatan perjanjian internasional adalah penyatuan ketentuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional negara pihak. Kemudian diikuti tindakan aplikasi, tindakan administrasi yang diperlukan dab supervisi oleh organ-organ internasional. Dalam pelaksanaannya negara-negara peserta ratifikasi akan dihadapkan pada sejumlah persiapan berupa adanya kesamaan standar internasional dari hukum nasional yang akan menjadi suatu kendala dalam implementasinya. Persiapan tersebut berupa adanya kesamaan standar internasional dari hukum nasional negara yang bersangkutan. Dengan demikian perlu adanya suatu proses harmonisasi hukum. 41 41 Harmonisasi adalah suatu proses standarisasi internasional untuk menyamakan standar hukumnasional yang berlaku di negara yang bersangkutan dengan standar internasional sebagai akibat dari ratifikai yang menuntut adanya pemberlakuan Entry into Force, ibid, hal 130 Universitas Sumatera Utara 43 Gambar 1 Bagan Prosedur Pembuatan Perjanjian Internasional Dibawah Wibawa PBB. 42 Sumber : Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Interna sional , Yogyakarta: Liberty, 1990, hal 82 42 Mohd. Burhan Tsani, Op.Cit, hal 82 Universitas Sumatera Utara 44 2Tahap-tahap Pembuatan Konvensi UNCAC 2003 Proses pembuatan konvensi UNCAC 2003 United Nations Convention Aga ints Corruption dilakukan melalui beberapa tahap yaitu: Perundingan Negotiation, Penandatanganan Signature, dan Ratifikasi Ratification. Pelaksanaan dari tahapan-tahapan tersebut membutuhkan waktu yang tidak singkat sehingga akhirnya sampai pada penyelesaian akhir dari konvensi tersebut 1 Perundingan Negotiation Penyusunan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang korupsi konvensi UNCAC 2003 diawali sejak tahun 2000 di mana Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sidangnya ke-55, melalui Resolusi Nomor 5561 pada tanggal 6 Desember 2000, memandang perlu dirumuskannya instrumen hukum nternasional antikorupsi secara global. Instrumen hukum internasional tersebut amat diperlukan untuk menjembatani sistem hukum yang berbeda dan sekaligus memajukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi secara efektif. Untuk tujuan tersebut, Majelis Umum Perserikatan Bangsa -Bangsa membentuk Ad Hoc Committee Komite Ad Hoc yang bertugas merundingkan dra ft Konvensi 43 . Komite Ad Hoc yang beranggotakan mayoritas negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa memerlukan waktu hampir 2 dua tahun untuk menyelesaikan pembahasan sebelum akhirnya menyepakati naskah akhir Konvensi untuk disampaikan dan diterima sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 43 Diakses dari, http:www.unsrat.ac.idhukumuuuu_7_06..htm, diakses tanggal 23 Maret 2015 Universitas Sumatera Utara 45 2 Penandatanganan Signature Konvensi United Na tions Convention Aga ints Corruption UNCAC 2003 diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 31 Oktober 2003 di Markas Besar PBB di New York Amerika Serikat. Proses penandatanganan konvensi tersebut diadakan pada tanggal 9 sampai dengan 11 Desember 2003 di Merida Meksiko. Jumlah negara yang telah membubuhkan tanda tangan adalah 111 negara. Kemudian proses penandatanganan dilanjutkan sampai tanggal 19 September 2005 di Markas Besar PBB dan pada saat itu telah ada 140 negara yang menandatangani konvensi tersebut. Proses penandatanganan ini sesuai dengan Pasal 67 Ayat 1 konvensi UNCAC 2003. 44 3 Ratifikasi Ratification Kekuatan mengikat konvensi United Nations Convention Againts Corruption 2003 baru terjadi pada tanggal 15 September 2005 setelah 30 negara yang telah membubuhkan tanda tangan meratifikasi isi dari konvensi tersebut. Sampai dengan tahun 2007 ada 129 negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut. Adapun daftar negara-negara yang menandatangani dan meratifikasi adalah sebagaimana terlampir. 45 Konvensi UNCAC 2003 adalah konvensi untuk menentang korupsi yang berhasil ditandatangani pada tanggal 9 sampai dengan 11 Desember 2003. Konvensi ini sendiri telah diterima secara resmi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi No. 57169. Main point dari isi konvensi tersebut adalah 44 This Convention shall be open to all States for signature from 9 to 11 December 2003 in Merida, Mexico, and thereafter at United Nations Headquarters in New York until 9 December 2005. Diakses dari.http:www.unodc.orgunodccrime_convention_corruption.html, diakses tanggal 24 Maret 2015 45 Ibid , Universitas Sumatera Utara 46 Kriminalisasi, Asset Recovery, Kerjasama Internasional. Dimana isi dari konvensi UNCAC 2003 bisa saling mendukung satu sama lain. Indonesia ikut menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 18 Desember 2003 dan Indonesia telah meratifikasinya melalui Undang-Undang No.7 Tahun 2006 pada tanggal 18 April 2006 sebagai tindak lanjut dari kesepahaman konvensi UNCAC 2003, bagi terciptanya negara yang bebas dari korupsi. Dengan meratifikasi konvensi UNCAC Indonesia mempunyai sejumlah kewajiban untuk melakuakan standarisasi internasional agar konvensi UNCAC 2003 bisa mempunyai kekuatan pemberlakuan bagi Indonesia. Selain itu Indonesia bisa memanfaatkan konvensi UNCAC 2003 untuk menyelesaikan masalah korupsi Indonesia yang sudah melintas batas negara cross border. Konvensi UNCAC 2003 merupakan sumber hukum internasional yang merupakan hasil perjanjian yang dinaungi oleh organisasi internasional dibidang kejahatan internasional dan obat-obatan terlarang yaitu United Nations Office On Drug a nd Crime UNODC yang menjadi subyek hukum internasional dan menjadi anggota dari masyarakat internasional. 46 Konvensi UNCAC 2003 sebagai sumber hukum internasional UNODC di gunakan sebagai perjanjian internasional yang menjadi sebuah landasan dari upaya-upaya negara dalam melakukan pemberantasan korupsi ditingkat domestik maupun global. Perjanjian Internasional UNCAC 2003 ini lebih menyoroti kepada permasalahan korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik suatu negara maupun pejabat asing yang melakukan korupsi di negara lain. Konvensi UNCAC 2003 46 Mochtar Kusumaatmadja,dkk. Pengantar Hukum Internasional .Cetakan Pertama, PT Alumni, Bandung, 2010 Universitas Sumatera Utara 47 melihat bahwa korupsi merupakan sebuah wabah yang sangat berbahaya bagi negara dan masyarakat khususnya didalam negara yang bersistem demokrasi karena korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik negara dapat memberikan efek buruk yang sangat besar bagi beberapa aspek seperti pelanggaran hak asasi manusia, mengacaukan program-program pembangunan dengan mengalihkan dana-dana yang bertujuan untuk pembangunan, korupsi juga dapat melemahkan pemerintahan sehingga menyebabkan kesenjangan, mengurangi bantuan luar negeri dan berpengaruh kepada beberapa aspek lainnya. 47

C. Kekuatan Mengikat Konvensi United Nations Convention Against Corruption UNCAC 2003