Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
TIMSS untuk siswa SMP terbagi atas dua dimensi, yaitu dimensi konten dan dimensi kognitif. Dimensi konten terdiri atas empat domain, yaitu: bilangan,
aljabar, geometri, data dan peluang. Sedangkan dimensi kognitif terdiri atas tiga domain yaitu mengetahui fakta dan prosedur pengetahuan, menggunakan konsep
dan memecahkan masalah rutin penerapan dan memecahkan masalah nonrutin penalaran. Dalam dimensi kognitif, pemecahan masalah merupakan fokus utama
yang muncul dalam soal-soal tes terkait dengan hampir semua topik dalam tiap domain konten.
1
Hasil survei empat tahunan TIMSS yang dilakukan untuk anak SMP kelas VIII pada keikutsertaan pertamakali tahun 1999 Indonesia berada pada
peringkat 34 dari 38 negara. Pada tahun 2003 Indonesia berada pada peringkat 34 dari 46 negara. Pada tahun 2007 turun menjadi peringkat 36 dari 48 negara. Dan
yang terakhir pada tahun 2011 Indonesia berada di peringkat 38 dengan rata-rata skor 386, sementara rata-rata skor internasional adalah 500. Jauh tertinggal oleh
Korea yang berada di peringkat pertama dengan rata-rata skor 613.
2
Sama halnya dengan survei yang dilakukan oleh PISA tahun 2000, 2003, 2006, 2009 dengan hasil yang tidak menunjukkan banyak perubahan pada setiap
keikutsertaannya. Pada PISA tahun 2009 Indonesia hanya menduduki peringkat 61 dari 65 peserta dengan rata-rata skor 371, sementara rata-rata skor
internasional adalah 496.
3
Adapun kemampuan matematis yang digunakan dalam penilaian proses matematika dalam PISA adalah Komunikasi communication,
Matematisasi mathematising, Representasi representation, Penalaran dan argumen reasoning and argument, Merumuskan strategi untuk memecahkan
masalah devising strategies for solving problems, Menggunakan bahasa simbolik, formal, dan teknik, serta operasi using symbolic, formal, and technical
language, and operations, Menggunakan alat-alat matematika using mathematical tools. Soal-soal matematika dalam studi PISA lebih banyak
mengukur kemampuan menalar, pemecahan masalah, berargumentasi dan
1
Sri Wardhani, Rumiati, Instrumen Penilaian Hasil Belejar Matemetika SMP: Belajar dari PISA dan TIMMS, Yogyakarta: Kementerian Pendidikan Nasional, 2011, h. 24.
2
Ina V.S. Mullis, dkk., TIMMS 2011 International Results in Mathematics, Baston College: TIMMS PIRLIS, International Study center, h. 42
3
Wardhani, op.cit., h. 1
pemecahan masalah daripada soal-soal yang mengukur kemampuan teknis baku yang berkaitan dengan ingatan dan perhitungan semata.
4
Dengan peringkat Indonesia dalam PISA yang berada pada urutan ke-61, maka dapat dikatakan
bahwa kemampuan pemecahan masalah matematik siswa Indonesia masih tergolong rendah. Penelitian lain yang menunjukan kemampuan pemecahan
masalah matematik siswa rendah yaitu hasil penelitian yang dilakukan Murni 2010 menemukan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa
masih rendah. Kelemahan yang terlihat pada hasil kerja siswa dalam hal: menentukan model matematika, memilih yang tepat dan strategi yang sistematis,
menggunakan konsep atau prinsip, dan kesalahan komputasi.
5
Disalah satu sekolah di daerah Jakarta Barat, juga menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematik siswa masih tergolong rendah. Siswa
kesulitan ketika diberikan soal-soal terapan atau aplikasi yang berkaitan dengan soal-soal kemampuan pemecahan masalah dan soal-soal ulangan yang biasanya
menggunakan soal-soal non rutin, tetapi mereka tidak merasa kesulitan ketika harus mengerjakan tugas-tugas harian.
Dari fakta yang ada dapat diketahui bahwa kemampuan pemecahan masalah matematik siswa masih tergolong rendah. Padahal kemampuan
pemecahan masalah matematik merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap siswa. Hal ini sejalan dengan tujuan pembelajaran matematika yang
tercantum dalam Permendiknas No 22 Tahun 2006 Depdiknas, 2006 pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan Memahami konsep
matematika, Menggunakan penalaran, Memecahkan masalah, Mengomunikasikan gagasan, Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan.
6
Dari tujuan pembelajaran matematika, dapat dilihat bahwa standar kompetensi dalam pembelajaran matamatika salah satunya adalah memecahkan
4
Ibid., h. 18.
5
Atma Murni, dkk, “The Enhacement Of Junior High School Students’ Abilities In Mathematical Problem Solving Using Soft Skill-
Based Metakognitive Learning”, h.195, tersedia di http:ejournal.unsri.ac.idindex.phpjmearticledownload554153, diakses pada 10 April
2014.
6
Fadjar Shadik, Model Model Pembelajaran Matematika SMP,Seleman: Departemen Pendidikan Nasional, 2009, h. 1
masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh. Selain
itu, dalam National Council of Teacher Mathematich NCTM, juga menyiratkan bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran matematika salah satunya
adalah kemempuam pemecahan masalah matamatik. Itulah sebabnya kemempuan pemecahan masalah merupakan salah satu fokus dalam pembelajaram
matematika. Kemampuan pemecahan masalah matematik merupakan kemampuan siswa menggunakan informasi dan pengetahuan yang sudah dimiliki untuk
mencari jalan keluar atau solusi dari suatu permasalahan matematika. Proses pembelajaran matematika saat ini masih cenderung menerapkan
pembelajaran yang berpusat pada guru teacher centered. Hal tersebut terbukti dari hasil penelitian Video Study pembelajaran matematika oleh tim Video Study
PMPTK tahun 2007 menunjukkan bahwa ceramah merupakan metode yang paling banyak digunakan selama mengajar matematika, waktu yang digunakan siswa
untuk problem solving 32 dari seluruh waktu di kelas, guru lebih banyak berbicara dibandingkan dengan siswa, hampir semua guru memberikan soal rutin
dan kurang menantang.
7
Untuk itu, untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan dan agar guru tidak terjebak dalam pembelajaran yang hanya sekedar
mentransfer pengetahuan, guru dapat menggunakan strategi atau model pembelajaran yang sesuai dengan mata pelajaran. Salah satu model pembelajaran
yang dapat di terapkan dalam pembelajaran matematika adalah model pembelajaran generatif. Model pembelajaran generatif ini adalah model
pembelajaran yang berdasarkan teori belajar konstruktivisme. Siswa di fasilitasi untuk membangun sendiri pengetahuannya berdasarkan apa yang telah dipahami
dengan mengkomunikasikan idea yang dimiliki. Model pembelajaran generatif terdiri dari 4 tahap yakni tahap eksplorasi,
tahap pemfokusan, tahap tantangan atau pengenalan konsep, dan tahap penerapan. Tahapan-tahapan yang terdapat dalam model pembelajaran generatif
7
Fajar Shadiq, Laporan Hasil Seminar dan Lokakarya Pembelajaran Matematika Yogyakarta,
2007, h.2,
tersedia di
http:fadjarp3g.files.wordpress.com20080607- lapsemlok_limas_.pdf, diakses pada 10 April 2014.
memungkinkan siswa mendapat kebebasan dalam mengajukan ide-ide, pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah sehingga belajar matematika lebih
efektif dan bermakna. Selain itu tahapan-tahapan yang terdapat dalam model pembelajaran generatif juga dapat memberikan kesempatan kepada siswa
merespon dan menyelesaikan masalah secara bebas dan kreatif. Dalam salah satu tahapan, yaitu tahap penerapan siswa di ajak untuk dapat memecahkan masalah
dengan menggunakan konsep barunya atau konsep benar yang berkaitan dengan hal-hal praktis dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahap ini siswa mengaplikasikan
konsep-konsep yang telah diperoleh dari hasil diskusi untuk memecahkan permasalahan-permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui latihan-latihan
soal pemecahan masalah. Berdasarkan uraian di atas, agar kemampuan kemampuan pemecahan
masalah matematik siswa dapat dikembangkan dengan baik, maka proses pembelajaran yang dilaksanakan harus melibatkan siswa secara aktif membangun
pengetahuannya sendiri. Salah satu pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif dan memberikan kesempatan kepada siswa merespon dan menyelesaikan
masalah secara bebas dan kreatif ialah dengan menggunakan model pembelajaran generatif. Dari latar belakang diatas, maka penulis ingin meneliti mengenai
“Pengaruh Model Pembelajaran Generatif terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik S
iswa”.