Identifikasi Masalah 1. Apa sajakah yang dijadikan rujukan penelitian? Tujuan Identifikasi Objek Material

kedalaman pikiran dan ekpresi jiwa. Dengan begitu karya sastra adalah suatu imajinasi yang dilukiskan melalui bahasa dan dilakukan oleh pengarang. Generalisasi sastra itu sendiri terdiri dari deotomatisasi atau ketidak langsungan, imaginatif, ambiguitas, nilai estetiknya dominan dan bersifat konotatif. Dalam modul pembelajaran teori sastra As è p Yusup Hudayat mengemukakan ilmu sastra mempunyai karakteristik keilmiahan sendiri. Dalam hal ini peneliti harus memilih metode dan langkah-langkah kerja yang tepat dan sesuai dengan karakteristik objek kajiannya. Salah satu yang menarik dalam menggunakan metode penelitian sastra adalah keharusan adanya distansi, kerja yang objektif, dan terhindar dari unsur prasangka dari perspektif. Gejala dengan situasi kesastraan inilah yang sering menuntut perhatian sendiri. Sudah dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian sastra tersebut tidak berjarak dan subjektivitas. 1.2 Identifikasi Masalah 1. Apa sajakah yang dijadikan rujukan penelitian? 2. Pendekatan dan teori apakah yang digunakan dalam kajian Mantri Djero? 3. Mengapa objek material tersebut dianggap penting untuk penelitian? 4. Bagaimana ketertarikan terhadap objek material yang diteliti?

1.3 Tujuan

1. Mendeskripsikan apa saja yang menjadi rujukan dalam penelitian. 2. Menjabarkan pendekatan dan teori yang digunakan dalam objek material. 3. Mengungkapkan pentingnya objek kajian tersebut untuk penelitian. 4. Mengemukakan ketertarikan terhadap objek material yang diteliti. BAB II PEMBAHASAN

2.1 Identifikasi Objek Material

Objek material dalam peneitian ini adalah roman yang berjudul “Mantri Djero” karya Raden Memed Sastrahadiprawira. Lahir pada periode angkatan Balai Pustaka, cetakan pertama tahun 1928 diterbitkan oleh Dinas Penerbitan Balai Pustaka Jakarta. Sedangkan material yang saya dapat adalah cetakan kedua tahun 1958. Masih menggunakan ejaan yang belum disempurnakan atau ejaan baheula sehingga kesulitan tersendiri dalam membaca roman tersebut, selain itu terdapat banyak diksi yang masih menggunakan Bahasa Sunda Kuno. Diwarnai oleh guguritan. Penuh akan nasihat dan wejangan dari orang tua. Terdiri dari 160 halaman yang menceritakan kehidupan di tatar Priangan pada awal abad ke-17. Berawal dari seorang Keturunan Bupati bernama Wirautama yang kabur karena terjadi konflik antar keluarga yang menyebabkan ia pergi jauh meninggalkan kediaman dengan memboyong istrinya. Hingga sampailah mereka di suatu daerah yang mau menerima kedatangan mereka yang secara tak langsung telah menjadi buronan. Nagara Tengah lah yang kini menjadi tempat cucu bupati tersebut hidup nyaman tanpa ada nafsu duniawi yang akan melahirkan kerakusan akan kekuasaan. Adjengan merupakan nama panggilannya, tak seorangpun yang mengetahui nama aslinya. Diceritakan ia mempunyai seorang anak yang bernama Yogaswara, soerang pemuda yang sangat tampan, berwibawa dan tentunya baik tutur kata juga tingkah lakunya. Di desa pengembaraannya Adjengan menjadi seorang petani, jadi sepengetahuan Yogaswara pun dia adalah turunan orang biasa saja. Pada suatu hari Adjengan menceritakan semua kejadian pada masa dulunya, siapa sebenarnya dia, kenapa bisa sampai kabur ke Nagara Tengah sementara dia adalah turunan dari Bupati Suniawenang. Pada suatu hari ketika ada rombongan dari Kadaleman yakni Kapala Tjutak yang memantau keadaan desa, Yogaswara menjadi tertarik. Maka Yogaswara pun ingin mencoba ke kota dan mengabdi di Kadaleman ditambah lagi karena dalam dirinya mengalir turunan m è nak yang tak sembarangan. Ayahnya pun sudah barang pasti mengizinkan namun sebelum Yogaswara pergi ke kota untuk mencari pekerjaan yang dia inginkan, dia diharuskan untuk menuntut ilmu terlebih dahulu di pesantren Djanggala yang dipimpin oleh Kiai Abdul Mugni. Disana hatinya tertambat pada anak Kiai yang bernama Nyi Halimah. Dia juga mempunyai sahabat yang bernama Ki bulus yang setia mendampinginya. Setelah mengikat hati dengan Nyi Halimah akhirnya Yogaswara dan Ki Bulus pamitan untuk pergi ke kota untuk mengabdi. Yogaswara mula-mula diterima oleh Mas Anggataruna yang memberinya pekerjaan sebagai pengurus kuda. Yogaswara memang orang yang baik dalam tingkah laku juga tata bahasanya, sehingga tak heran jika Kangjeng Dalem mengangkat dia sebagai Mantri Djero yakni istilah atau sebutan untuk pangkat dan jabatan orang yang bertanggung jawab dalam urusan rumah tangga bupati. Hal ini menimbulkan iri dengki bagi Mas Anggataruna yang sudah lama mengabdi dan kini seperti dianak tirikan. Sehubungan dengan datangnya surat dari Kawas n ẻ yang menyatakan bahwa Mataram negeri dari wètan akan segera menyerang ke daerah kulon. Sesegera mungkin Kangjeng Dalem mengumpulkan pasukan dan Mas Anggataruna menyarankan agar Mantri Djero saja yang menjadi panglima perangnya, tak lain dengan maksud agar Mantri Djero terbunuh dalam peperangan. Tapi pada akhirnya Yogaswara tidak mati meskipun ia pulang berbasuh darah di sekujur tubuhnya dengan penuh luka berat namun masih bisa selamat. Setelahnya takluk oleh Mataram, setiap Bupati di Priangan diwajibkan mengirim upeti ke Mataram dalam kurun waktu tertentu. Meskipun Bupati yang pergi ke Mataram boleh membawa keluarga atau orang yang disenanginya namun Kangjeng Dalem tidak serta membawa selirnya yang cantik, Nyimas Ratnawulan karena khawatir diminta oleh pembesar Mataram. Dengan perginya Kangjeng Dalem sudah pasti yang diamanahi menjaga rumah tangga Kadaleman adalah Yogaswara. Pada suatu hari ketika Yogaswara bertemu dengan Nyimas Ratnawulan, ia menceritakan siapa sebenarnya dirinya setelah Nyimas Ratnawulan menerangkan bahwa ia adalah adik Pangawulaan Suniawenang. Jadi Nyimas Ratnawulan adalah bibi dari Yogaswara. Secara tidak sengaja ada abdi Pangawulaan yang melihat percakapan antara Yogaswara dan Nyimas Ratnawulan yang begitu akrab sehingga timbul fitnah, terlebih lagi Mas Anggataruna mengetahui hal tersebut sampai-sampai ia mengirim surat kepada Kangjeng Dalem yang sedang di Mataram. Sesampainya lagi di Nagara Tengah, Anggataruna melancarkan lagi fitnah, hampir semua orang di Pangawulaan termakan hasutan Anggataruna dengan tuduhan terhadap Yogaswara yang telah berbuat hal yang senonoh terhadap Nyimas Ratnawulan. Hanya ada tiga orang yang tidak termakan omongan Anggataruna dan masih setia dengan seribu kepercayaan kepada Yogaswara bahkan disaat abdi-abdi lain membicarakan tentang Yogaswara merekalah yang selalu memenangkan Mantri Djero. Ki Bulus sahabatnya, Ki Sura yang pertama kali mengajaknya bekerja di Kadaleman, dan Ma Idjem. Meskipun sebenarnya Kangjeng Dalem penuh dengan keraguan tapi hukum tetaplah hukum yang harus dijalankan sebagai alat juga untuk menyelesaikan masalah karena sesungguhnya benar dan salah itu tidak akan tertukar. Yogaswara dihukum dengan ketentuan adat, ia dijaram menyelam di lubuk Panereban, Pasir Uncal bersamaan dengan sebuah tempurung yang berlubang tengahnya. Apabila tempurung tenggelam sebelum Yogaswara timbul berarti Yogaswara tidak bersalah. Sebaliknya apabila timbul sebelum tempurung tenggelam berarti Yogaswara berdosa. Dan tentu saja Yogaswara lulus dari hukuman adat tersebur. Nama baiknya kembali. Sementara itu ayahnya, Wirautama beserta ibunya dan Kiai Abdulmugni bersama istri dan anaknya Nyi Halimah datang karena telah diberi kabar oleh Ki Bulus. Ayahnya menerangkan kepada Kangjeng Dalem mengenai silsilah keturunan Yogaswara dan hubungannya dengan Nyimas Ratnawulan, yang lain adalah adik Wirautama. Dengan terbuktinya Yogaswara yang tidak melakukan salah saat itu juga Mas Anggataruna dimasukan ke dalam penjara, semua harta bendanya disita. Yogaswara menikah dengan Nyi Halimah dan menetap di Nagara Tengah sementara Ki Bulus mendapatkan harta kekayaan ayahnya Yogaswara sebagai balasan dari pengabdian dan kesetiaannya kepada Yogaswara. Dalam roman, alur cerita sangat kompleks, konfliknya mengubah nasib tokoh secara tragis dan karakter tokoh diceritakan secara mendetail. Dari mulai hal kecil hingga hal-hal yang universal. Unsur ekstrinsik roman Mantri Djero dimulai dari pembahasan latar belakang pengarang yakni Radèn Mèmèd Sastrahadiprawira yang begitu apik dalam mengungkapkan tokoh Yogaswara sebagai sosok idealis beliau pada masa itu, begitu memahami bagaimana kehidupan menak karena memang warisan atau pengaruh dari filsafat hidup lingkungan Raden Mèmèd, yaitu lingkungan fèodal bertemakan tentang perjuangan yang sudah menjadi bumbu pelengkapnya adalah konflik iri dengki namun tak lepas dari sentuhan-sentuhan romantisme. Penokohannya pun beragam dengan karakter pasif maupun aktif. Sajian karya sastra yang apik dan menarik. Judul buku : Mantri Djero Pengarang : R. Memed Sastrahadiprawira Penerbit : Balai Pustaka Tahun terbit : 1958 cetakan ke-2 Jumlah halaman : 180 halaman

2.2 Sinopsis objek material