Upaya Polri Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Perjudian Toto Gelap (Togel) Di Kalangan Masyarakat

(1)

UPAYA POLRI DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PERJUDIAN TOTO GELAP (TOGEL) DI KALANGAN

MASYARAKAT

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

Hamonangan Simanjuntak NIM : 070200433

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(2)

UPAYA POLRI DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PERJUDIAN TOTO GELAP (TOGEL) DI KALANGAN

MASYARAKAT SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

Hamonangan Simanjuntak NIM : 070200433

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, SH, MH Pembimbing I

Muhammad Nuh, SH, M.Hum

Pembimbing II

Nurmalawaty, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan karuniaNya yang senantiasa menyertai saya sehingga penulisan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Upaya Polri Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Perjudian Toto Gelap (Togel) Di Kalangan Masyarakat”.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Dr. M. Hamdan, SH., MH, sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana dan Ibu Liza Erwina, SH., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Muhammad Nuh, SH.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing I Penulis. 4. Ibu Nurmalawaty, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II Penulis.

5. Bapak dan Ibu Dosen serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya Universitas Sumatera Utara.


(4)

7. Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang tiada terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda, semoga kebersamaan yang kita jalani ini tetap menyertai kita selamanya.

8. Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, September 2012 Penulis

Hamonangan Simanjuntak NIM : 070200433


(5)

DAFTAR ISI

halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAKSI ... v

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 3

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 4

D. Keaslian Penulisan ... 5

E. Tinjauan Kepustakaan ... 5

1. Tugas dan Fungsi Polri ... 5

2. Pengertin Tindak Pidana Perjudian... 14

F. Metode Penelitian ... 22

G. Sistematika Penulisan. ... 23

BAB II . PENEGAKAN HUKUM DALAM RANGKA MENANGGULANGI PERJUDIAN TOGEL DI KALANGAN MASYARAKAT ... 26

A. Sanksi Hukum Terhadap Perjudian ... 26

B. Bentuk-Bentuk Perjudian di Dalam Masyarakat ... 36 C. Penegakan Hukum Dalam Rangka Menanggulangi


(6)

Perjudian Togel di Kalangan Masyarakat. ... 40

BAB III. HAMBATAN KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI PERJUDIAN TOGEL DI KALANGAN MASYARAKAT ... 69

A. Faktor Penyebab Terjadinya Perjudian ... 69

B. Hambatan Kepolisian Dalam Menanggulangi Perjudian Togel di Kalangan Masyarakat. ... 73

BAB IV. UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PERJUDIAN TOGEL ... 76

A. Upaya Pencegahan (Preventif) ... 76

B. Upaya Penanggulangan (Refresif). ... 80

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

A. Kesimpulan ... 81

B. Saran ... 82 DAFTAR PUSTAKA


(7)

ABSTRAK

H

HaammoonnaannggaannSSiimmaannjjuunnttaakk** Mhd. Nuh, SH, M.HUM** Numalawaty, SH, M.Hum***

Permasalahan judi khususnya dalam kajian skripsi ini judi toto gelap (togel) adalah salah satu permasalahan penyakit masyarakat yang banyak melanda kota-kota besar bahkan sampai ke pelosok pedesaan, bahkan sangat sering kita dengar dan hal ini sudah lama dipermasalahkan untuk penanggulangannya. Hal ini dapat kita ketahui bahwa merebaknya kasus-kasus perjudian di seantero tempat akan menimbulkan berbagai efek yang bersifat negatif, dimana efek dari menjalarnya perjudian tersebut dapat merubah pola pikir masyarakat ke arah yang bertentangan dengan norma hukum maupun norma kesusilaan dan norma agama.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana penegakan hukum dalam rangka menanggulangi perjudian togel di kalangan masyarakat, bagaimana hambatan kepolisian dalam menanggulangi perjudian togel di kalangan msyarakat dan bagaimana upaya pencegahan dan penanggulangan perjudian togel.

Metode penulisan yang digunakan adalah metode yuridis normative. Dan dalam pelaksanannya menggunakan penelitian kepustakaan (library research).

Setelah dilakukan pengumpulan dan analisis data maka diketahui penegakan hukum dalam rangka menanggulangi perjudian togel di kalangan masyarakat adalah meliputi beberapa faktor seperti: faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat serta faktor kebudayaan. Hambatan kepolisian dalam menanggulangi perjudian togel di kalangan masyarakat adalah: Dalam menerapkan sanksi pidana yang berat terhadap terdakwa selalu dihadapkan pada usia muda dan perekonomian yang rendah, Belum terdapatnya keseragaman tindakan dalam menanggulangi perjudian sehingga ada kalanya antara aparat penegak hukum tidak jarang berbeda pendapat dalam penerapan pasal dari Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan penertiban Perjudian, Selama ini dalam masyarakat kita memang ada semacam dua sikap dalam memandang perjudian adalah pelanggar hukum maka mereka dicurigai, jika perlu ditangkap, masyarakat yang terwakili oleh kalangan medis memandang pelaku perjudian yang sakit, perlu diobati. Upaya pencegahan dan penanggulangan perjudian togel meliputi usaha pencegahan (preventif) seperti Menekan pertumbuhan penduduk dan urbanisasi, meningkatkan usaha pendidikan dan keterampilan, memperluas lapangan kerja, serta peningkatan usaha penerangan dan pengawasan. Upaya penanggulangan (represif) seperti razia dan pemberian keterampilan kepada masyarakat.

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU ** Pembimbing 1, Dosen Fakultas Hukum USU


(8)

BAB I

P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang

Dalam era yang serba sulit ini bangsa Indonesia dihadapkan kepada berbagai macam permasalahan keamanan yang mengganggu ketenteraman dan kenyamanan hidup. Berbagai macam bentuk perbuatan tindak pidana muncul ke permukaan sehingga terkadang memberikan sebuah momentum bahwa setiap individu harus dapat menjaga dirinya masing-masing dari akibat-akibat yang tidak diinginkan.

Salah satu tindak pidana yang semakin merebak umumnya di Indonesia dan khususnya di Kota Medan adalah perihal perjudian, sehingga tidak heran apabila aparat kepolisian akhir-akhir ini semakin giat memberantas judi tersebut.

Judi dijadikan sebuah perbuatan yang dilarang oleh perundang-undangan disebabkan oleh karena banyak akibat-akibat yang negatif timbul dari perbuatan tindak pidana perjudian tersebut, baik itu akibat kemerosotan moral maupun juga kehancuran sebuah rumah tangga hingga akhirnya kehancuran sebuah bangsa.

Judi sangat dilarang oleh agama, tetapi meskipun demikian tetap saja perjudian ini tumbuh secara sembunyi-sembunyi, dikarenakan judi dianggap oleh pelakunya sebagai suatu jalan tercepat untuk menjadi kaya tanpa


(9)

melakukan usaha yang membanting tulang.1

Di satu sisi kepolisian sebagai suatu instansi pengayom dan pelindung kehidupan masyarakat, agar masyarakat dapat hidup tenteram dan nyaman, kurang mendapat penilai yang positif dari masyarakat itu sendiri. Hal ini diakibatkan oleh adanya tindakan yang sebagian oknum kepolisian tersebut yang dalam tata cara bekerjanya melebihi batas kesewenangannya, sehingga

Judi menurut KUHP Pasal 303 ayat (3) adalah setiap permainan yang memungkinkan akan menang pada umumnya tergantung pada untung-untungan saja, juga kalau menungkinkan itu ditambah besar karena pemain lebih pandai atau mahir. Main judi juga meliputi segala peraturan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau permainan itu, demikian pula segala peraturan lainnya. Karena main judi merupakan kegemaran yang dapat menjadi rasa ketagihan yang akhirnya dapat menghabiskan harta benda dan akhirnya mendorong untuk melakukan kejahatan. Maka KUHP melarangnya dengan ancaman pidana Pasal 303 dan untuk perjudian ringan dalam Pasal 542. Bahkan secara jelas Pasal 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian menyebutkan “semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan”.

Tindakan kepolisian terhadap perjudian bersifat relatif, menangkap para pelakunya untuk di ajukan kepengadilan.

1

Mulyana W. Kusumah, Kejahatan dan penyimpangan, Suatu Perspektif Kriminologi, Yayasan lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 2000, hal. 42.


(10)

masyarakat bukan terkesan terlindungi tetapi malah menyangsikan keberadaan kepolisian itu sendiri.

Begitu juga perihal keberadaan kepolisian di dalam hubungannya dengan penindakan dan pemberantasan terhadap judi yang dilakukan akhir-akhir dianggap oleh masyarakat hanya sebagai suatu tindakan yang sesaat saja, tidak terus menerus dan berkelanjutan. Sehingga dari akibat perbuatan tersebut maka judi dapat saja tidak dilakukan hari ini tetapi dapat timbul kembali kemudian.

Permasalahan judi khususnya dalam kajian skripsi ini judi toto gelap (togel) adalah salah satu permasalahan penyakit masyarakat yang banyak melanda kota-kota besar bahkan sampai ke pelosok pedesaan, bahkan sangat sering kita dengar dan hal ini sudah lama dipermasalahkan untuk penanggulangannya. Hal ini dapat kita ketahui bahwa merebaknya kasus-kasus perjudian di seantero tempat akan menimbulkan berbagai efek yang bersifat negatif, dimana efek dari menjalarnya perjudian tersebut dapat merubah pola pikir masyarakat ke arah yang bertentangan dengan norma hukum maupun norma kesusilaan dan norma agama.

B. Permasalahan

Dalam pembuatan suatu karya ilmiah khususnya Skripsi, maka untuk mempermudah penulis dalam pembahasan, perlu dibuat suatu permasalahan yang sesuai dengan judul yang diajukan.


(11)

Jadi yang menjadi masalah-masalah pokok didalam Skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana penegakan hukum dalam rangka menanggulangi perjudian togel di kalangan masyarakat?

2. Bagaimana hambatan kepolisian dalam menanggulangi perjudian togel di kalangan msyarakat ?

3. Bagaimana upaya pencegahan dan penanggulangan perjudian togel?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisaan

Adapun tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah untuk:

1. Untuk mengetahui penegakan hukum dalam rangka menanggulangi perjudian togel di kalangan masyarakat.

2. Untuk mengetahui hambatan kepolisian dalam menanggulangi perjudian togel di kalangan msyarakat.

3. Untuk mengetahui upaya pencegahan dan penanggulangan perjudian togel. Sedangkan yang menjadi faedah penulisaan dalam hal ini adalah:

1. Secara teoritis untuk menambah literatur tentang perkembangan hukum itu sendiri khususnya dalam bidang hukum pidana khususnya masalah peranan polri dalam penanggulangan tindak pidana perjudian toto gelap.

2. Secara praktis ini juga diharapkan kepada masyarakat dapat mengambil manfaatnya terutama dalam hal mengetahui tentang hal-hal yang dapat dilakukan masyarakat apabila mengetahui adanya perjudian toto gelap.


(12)

D. Keaslian Penulisan

Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Upaya Polri Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Perjudian Toto Gelap (Togel) di Kalangan Masyarakat”, dan penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Tugas dan Fungsi Polri

Secara teoritis pengertian mengenai polisi tidak ditemukan, tetapi penarikan pengertian polisi dapat dilakukan dari pengertian kepolisian sebagamana diatur di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi :

“Kepolisian adalah segala hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan“.

Dari kutipan atas bunyi pasal tersebut maka kita ketahui polisi adalah sebuah lembaga yang memiliki fungsi dan pelaksanaan tugas sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan.

Di dalam perundang-undangan yang lama yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 1961 ditegaskan bahwa kepolisian negara ialah alat negara penegak hukum. Tugas inipun kemudian ditegaskan lagi dalam Pasal 30 (4) a Undang-Undang No. 20 Tahun 1982 yaitu Undang-Undang-Undang-Undang Pertahanan Keamanan


(13)

Negara, disingkat Undang-Undang Hankam.

Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 yang mencabut Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 maka Kepolisian ini tergabung di dalam sebutan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dimana di dalamnya Kepolisian merupakan bagian dari Angkatan Laut, Angkatan Darat, serta Angkatan Udara. Sesuai dengan perkembangan zaman dan bergulirnya era reformasi maka istilah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia kembali kepada asal mulanya yaitu Tentara Nasional Indonesia dan keberadaan Kepolisian berdiri secara terpisah dengan angkatan bersenjata lainnya.

Telah dikenal oleh masyarakat luas, terlebih di kalangan Kepolisian bahwa tugas yuridis kepolisian tertuang di dalam Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan di dalam Undang-Undang Pertahanan dan Keamanan. Untuk kepentingan pembahasan, ada baiknya diungkapkan kembali pokok-pokok tugas yuridis Polisi yang terdapat di dalam kedua undang-undang tersebut sebagai berikut :

1. Dalam Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia ( UU No. 2 Tahun 2002).

Pasal 13

Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah : a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat


(14)

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Selanjutnya dalam Pasal 14 dikatakan :

(1)Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Republik Indonesia bertugas :

a. Melaksanakan pengaturan penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,

ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan,

c. Membina masyarakat unuk meningkatkan partisipasi masyarakat kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.

d. Turut serta dalam pembinaan hukumk nasional,

e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum

f. Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa,

g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan,

h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik, dan psikologi kepolisian untuk kepentingan


(15)

tugas kepolisian,

i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia,

j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang

k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentinganya dalam lingkup tugas kepolisian, serta

l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2)Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 menyebutkan :

(1)Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang :

a. Menerima laporan dan/atau pengaduan,

b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum,

c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat, d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau


(16)

mengancam persatuan dan kesatuan bangsa

e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian,

f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindaka kepolisian dalam rangka pencegahan.

g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian,

h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang,

i. Mencari keterangan dan barang bukti,

j. Menyelenggrakan Pusat informasi kriminal nasional,

k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat,

l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat,

m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. (2)Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan

perundang-undangan lainnya berwenang

a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya berwenang :

b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor,


(17)

d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik,

e. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak dan senjata tajam,

f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan,

g. Memberikan petunjuk, mendidik dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian,

h. Melakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional,

i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait,

j. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional,

k. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

(3)Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan d diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 14 :

Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana. Kepolisian Negara republik


(18)

Indonesia berwenang untuk :

a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian

perkara untuk kepentingan penyidikan.

c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan.

d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

f. Memanggil orang untuk didengar dan diperika sebagai tersangka atau saksi.

g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.

h. Mengadakan penghentian penyidikan.

i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.

j. Merngajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam keadaan mendesak untuk melaksanakan cegah dan tangkal terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana.

k. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum.


(19)

Tugas pokok tersebut dirinci lebih luas sebagai berikut : 1. Aspek ketertiban dan keamanan umum

2. Aspek perlindungan terhadap perorangan dan masyarakat (dari gangguan/perbuatan melanggar hukum/kejahatan dari penyakit-penyakit masyarakat dan aliran-aliran kepercayaan yang membahayakan termasuk aspek pelayanan masyarakat dengan memberikan perlindungan dan pertolongan.

3. Aspek pendidikan sosial di bidang ketaatan / kepatuhan hukum warga masyarakat.

4. Aspek penegakan hukum di bidang peradilan, khususnya di bidang penyelidikan dan penyidikan.

Mengamati tugas yuridis Kepolisian yang demikian luas, tetapi luhur dan mulia itu, jelas merupakan beban yang sangat berat. Terlebih ditegaskan bahwa di dalam menjalankan tugasnya itu harus selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum Negara, khususnya dalam melaksanakan kewenangannya di bidang penyidikan, ditegaskan pula agar senantiasa mengindahkan norma-norma keagamaan, perikemanusiaan, kesopanan dan kesusilaan. Beban tugas yang demikian berat dan ideal itu tentunya harus didukung pula oleh aparat pelaksana yang berkualitas dan berdedikasi tinggi.2

Memperhatikan perincian tugas dan wewenang Kepolisian seperti telah dikemukakan di atas, terlihat bahwa pada intinya ada dua tugas

2

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijaksanaan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 4.


(20)

Kepolisian di bidang penegakan hukum, yaitu penegakan hukum di bidang peradilan pidana (dengan sarana penal), dan penegakan hukum dengan sarana non penal. Tugas penegakan hukum di bidang peradilan (dengan sarana penal) sebenarnya hanya merupakan salah satu atau bagian kecil saja dari tugas Kepolisian. Sebagian besar tugas Kepolisian justru terletak di luar penegakan hukum pidana (non penal).

Tugas Kepolisian di bidang peradilan pidana hanya terbatas di bidang penyelidikan dan penyidikan. Tugas lainnya tidak secara langsung berkaitan dengan penegakan hukum pidana, walaupun memang ada beberapa aspek hukum pidananya. Misalnya tugas memelihara ketertiban dan keamanan umum, mencegah penyakit-penyakit masyarakat, memelihara keselamatan, perlindungan dan pertolongan kepada masyarakat, mengusahakan ketaatan hukum warga masyarakat tentunya merupakan tugas yang lebih luas dari yang sekadar dinyatakan sebagai tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) menurut ketentuan hukum pidana positif yang berlaku.

Dengan uraian di atas ingin diungkapkan bahwa tugas dan wewenang kepolisian yang lebih berorientasi pada aspek sosial atau aspek kemasyarakatan (yang bersifat pelayanan dan pengabdian) sebenarnya lebih banyak daripada tugas yuridisnya sebagai penegak hukum di bidang peradilan pidana. Dengan demikian dalam menjalankan tugas dan wewenangnya Kepolisian sebenarnya berperan ganda baik sebagai penegak hukum maupun sebagai pekerja sosial untuk menggambarkan kedua tugas / peran ganda ini,


(21)

Kongres PBB ke-5 (mengenai Prevention of Crime and The Treatment of Offenders) pernah menggunakan istilah “ Service oriented task “ dan Law enforcement duties “.

Perihal Kepolisian dengan tugas dan wewenangnya ada diatur di dalam Undang-Undang Nol. 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dalam undang-undang tersebut dikatakan bahwa kepolisian adalah segala hal-ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan perundang-undangan.

Dari keterangan pasal tersebut maka dapat dipahami suatu kenyataan bahwa tugas-tugas yang diemban oleh polisi sangat komplek dan rumit sekali terutama di dalam bertindak sebagai penyidik suatu bentuk kejahatan.

2. Pengertin Tindak Pidana Perjudian

Berdasarkan literatur hukum pidana sehubungan dengan tindak pidana banyak sekali ditemukan istilah-istilah yang memiliki makna yang sama dengan tindak pidana. Istilah-istilah lain dari tindak pidana tersebut adalah antara lain :

1. Perbuatan melawan hukum. 2. Pelanggaran pidana.


(22)

4. Perbuatan yang dapat dihukum.3

Menurut R. Soesilo, tindak pidana yaitu suatu perbuatan yang dilarang atau yang diwajibkan oleh undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan diancam dengan hukuman. 4

Menurut Moeljatno “peristiwa pidana itu ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan undang-undang lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman Simons, peristiwa pidana adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggung jawab, kesalahan yang dimaksud oleh Simons ialah kesalahan yang meliputi

dolus dan culpulate.5

1. Perbuatan yang dilarang.

Secara dogmatis masalah pokok yang berhubungan dengan hukum pidana adalah membicarakan tiga hal, yaitu :

Dimana dalam pasal-pasal ada dikemukakan masalah mengenai perbuatan yang dilarang dan juga mengenai masalah pemidanaan seperti yang termuat dalam Titel XXI Buku II KUH Pidana.

2. Orang yang melakukan perbuatan dilarang.

3

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 32.

4

R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Politeia, Bogor, 1991, hal. 11.

5


(23)

Tentang orang yang melakukan perbuatan yang dilarang (tindak pidana) yaitu : setiap pelaku yang dapat dipertanggung jawabkan secara pidana atas perbuatannya yang dilarang dalam suatu undang-undang.

3. Pidana yang diancamkan.

Tentang pidana yang diancamkan terhadap si pelaku yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan kepada setiap pelaku yang melanggar undang-undang, baik hukuman yang berupa hukuman pokok maupun sebagai hukuman tambahan.6

Pembentuk Undang-undang telah menggunakan perkataan

Straafbaarfeit” yang dikenal dengan tindak pidana. Dalam Kitab

Undang-undang hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan “Straafbaarfeit”.7

Perkataan “feit” itu sendiri di dalam Bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeele van werkwlijkheid” sedang “straaf baar” berarti “dapat di hukum” hingga cara harafia perkataan “straafbaarfeit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat di hukum” oleh karena kelak diketahui bahwa yang dapat di hukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.8

Oleh karena seperti yang telah diuraikan diatas, ternyata pembentuk

6

Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hal. 44.

7

Ibid., hal. 45.

8


(24)

Undang-undang telah memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenar-nya telah dimaksud dengan perkataan “straafbaarfeit” sehingga timbullah doktrin tentang apa yang dimaksud dengan “straafbaarfeit”

Hazewinkel Suringa dalam Hilaman memberi defenisi tentang “straafbaarfeit” adalah sebagai perilaku manusia yang pada saat tertentu telah ditolak didalam suatu pergaulan hidup dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya.9

Selanjutnya Van Hamel memberi defenisi tentang “straafbaarfeit” sebagai suatu serangan atas suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain.10

Menurut Pompe straafbaarfeit dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminya kepentingan umum.11

9

Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hal. 21.

10

EY Kanter dan SR Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Storia Grafika, Jakarta, hal. 102.

11

Ibid., hal. 103.

Simons memberi defenisi “straafbaarfeit” adalah sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan yang oleh Undang-undang telah dinyatakan suatu tindakan yang dapat di hukum.


(25)

Hukum pidana Indonesia mengenal istilah tindak pidana. Istilah ini di pakai sebagai pengganti perkataan straafbaarfeit, yang berasal dari Bahasa Belanda.

Tindak pidana merupakan suatu pengeritan dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis. Lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan yang dapat diartikan secara yuridis (hukum) atau secara kriminologis.

Mengenai isi dari pengertian tindak pidana ada kesatuan pendapat di antara para sarjana. Menurut ajaran Causalitas (hubungan sebab akibat) di sebutkan pada dasarnya setiap orang harus bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukannya, namun harus ada hubungan kausa antara perbuatan dengan akibat yang di larang dan di ancam dengan pidana. Hal ini tidak selalu mudah , peristiwa merupakan rangkaian peristiwa serta tiada akibat yang timbul tanpa sesuatu sebab.

Kemampuan bertanggung jawab, menurut Kitab Undang-Undang Pidana Indonesia seseorang yang dapat dipidana tidak cukup apabila orang tersebut telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum, akan tetapi dalam penjatuhan pidana orang tersebut juga harus memenuhi syarat “Bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Dengan perkataan lain orang tersebut dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya itu dapat dipertanggung jawabkan” , disini


(26)

berlaku asas tiada pidana tanpa kesalahan (Nulla poena sine culpa)12

1. Simons

.

Berdasarkan rumusan di atas disebutkan bahwa untuk adanya pertanggung jawaban pidana diperlukan syarat bahwa pembuat mampu bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggung jawabkan apabila ia tidak mampu untuk di pertanggung jawabkan.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan rumusan tentang pertanggung jawaban pidana. Akan tetapi dalam literatur hukum pidana Indonesia dijumpai beberapa pengertian untuk pertanggung jawaban pidana yaitu :

13

2. Van Hamel

Simons menyatakan kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun orangnya, kemudian Simons menyatakan bahwa seseorang mampu bertanggung jawab.

14

3. Van Bemmelen

Van Hamel menyatakan bahwa pertanggung jawaban pidana adalah suatu keadaan normalitas psyhis dan kematangan yang membawa adanya kemampuan pada diri perilaku.

15

12

Ibid., hal. 105.

13

Ibid., hal. 103.

14

Ibid., hal. 104.

15


(27)

Van Bemmelen menyatakan bahwa seseorang dapat dipertanggung jawabkan ialah orang yang dapat mempertahankan hidupnya dengan cara yang patut.

Di dalam Pasal 303 KUH Pidana diterangkan bahwa permainan judi tersebut adalah :

Tiap-tiap permainan, dimana pada umumnya kemungkinan mendapat untung tergantung pada peruntungan belaka, juga apabila kemungkinan itu main besar karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Disitu termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya, yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga sela pertaruhan lainnya.16

Muchlis mengatakan bahwa Judi adalah “ suatu permainan yang mengandung unsur taruhan yang dilakukan secara berhadap-hadapan, dimana dalam berhadap-hadapan itu terkandung penyebab timbulnya permusuhan dan kebencian antara pelaku dan menyebabkan mereka lupa pada Tuhannya serta melalaikan kewajibannya “.

Dengan kutipan di atas maka pada dasarnya judi adalah sebuah permainan untung-untungan, kadang kalah dan kadang menang, permainan tersebut kadang digantungkan kepada keahlian seseorang untuk memainkannya, tetapi pada kenyataan perjudian juga merupakan pertaruhan.

17

Definisi di atas mempunyai kelemahan karena dikatakan bahwa permainan judi tersebut dilakukan berhadapa-hadapan, dan dalam perkembangannya sekarang ini permainan judi tidak saja dilakukan secara

16

Roeslan Saleh, Op.Cit, hal. 32.

17

Muchlis, Porkas Judi Atau Bukan, Panji Masyarakat No. 515 Tahun XXVIII, 11 September 1986, hal. 28.


(28)

berhadap-hadapan, misalnya permainan jackpot (mesin judi) tak pernah akan berhadapan dengan pemiliknya (bandar) yang sebenarnya, tetapi tidak ada orang yang sehat pikirannya yang menyangkal bahwa jackpot itu judi.

Selanjutnya menurut beliau lagi :

Ada dua unsur yang merupakan syarat formal untuk dinamakan judi ialah:

1. Harus ada dua pihak yang masing-masing terdiri dari satu orang atau lebih yang bertaruh : yang menang dibayar oleh yang kalah menurut perjanjian dan rumusan tertentu.

2. Menang atau kalah dikaitkan dengan kesudahan sesuatu peristiwa yang berada di luar kekuasaan dan di luar pengetahuan terlebih dahulu dari para petaruh.18

Dalam perkembangannya judi ini sekarang semakin meluas, tidak saja dalam suatu permainan yang dilakukan secara berhadap-hadapan tetapi juga di luar hal tersebut seperti yang disebut di atas yaitu jackpot dan lain sebagainya.

Dengan adanya definisi di atas dapatlah dipahami pengertian bahwa judi tersebut pada dasarnya adalah sebuah permainan yang dilakukan dengan mempertaruhkan sesuatu baik uang atau barang, sedang siapa pihak yang menang tidak dapat diterangkan sebelum permainan tersebut berakhir.

Perjudian adalah permainan naluri dan adu nasib, mempertaruhkan moral, suatu perbuatan tercela, merugikan, tetapi judi juga merupakan bagian dari perbuatan sehingga pelakunya harus dimintakan tanggung jawab.

18


(29)

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Sifat/materi penelitian

Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah bersifat deksriptif analisis mengarah pada penelitiasn yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.19

2. Sumber data

Sumber data penelitian ini diambil berdasarkan data sekunder. Data sekunder didapatkan melalui:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni undang-undang yang di dalamnya mengandung pengaturan tentang kepolisian dan salah tembak, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, dan KUHP/

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan sebagainya.

c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup:

1) Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan

19

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta, 2006. hal. 32


(30)

terhadap hukum primer dan sekunder.

2) Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah, dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.

3. Alat pengumpul data

Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan.

4. Analisis data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi dokumen, dan penelitian lapangan maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Dalam membantu penulis dan pembaca untuk pemahaman suatu Skripsi perlu dibuat sistematika (gambaran isinya) dengan menguraikan secara singkat materi-materi yang terdapat didalam uraian mulai dari bab I sampai dengan bab yang terakhir sehingga tergambar hubungan antara bab yang satu dengan bab yang lainnya.


(31)

Jadi gambaran isi yang dimaksud adalah sebagai berikut : BAB I. PENDAHULUAN

Dalam Bab ini akan diuraikan pembahasan tentang : Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian serta Sistematika Penulisan.

BAB II. PENEGAKAN HUKUM DALAM RANGKA MENANGGULANGI PERJUDIAN TOGEL DI KALANGAN MASYARAKAT

Dalam Bab ini akan diuraikan pembahasan tentang : Sanksi Hukum Terhadap Perjudian, Bentuk-Bentuk Perjudian di Dalam Masyarakat serta Penegakan Hukum Dalam Rangka Menanggulangi Perjudian Togel di Kalangan Masyarakat.

BAB III. HAMBATAN KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI PERJUDIAN TOGEL DI KALANGAN MASYARAKAT

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang : Faktor Penyebab Terjadinya Perjudian serta Hambatan Kepolisian Dalam Menanggulangi Perjudian Togel di Kalangan Masyarakat.

BAB IV UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PERJUDIAN TOGEL

Dalam Bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Upaya Pencegahan (Preventif) dan Upaya Penanggulangan (Refresif).


(32)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bagian akhir ini akan diberikan Kesimpulan dan Saran-Saran.


(33)

BAB II

PENEGAKAN HUKUM DALAM RANGKA MENANGGULANGI PERJUDIAN TOGEL DI KALANGAN MASYARAKAT

A. Sanksi Hukum Terhadap Perjudian

Adapun ketentuan tentang bobot sanksi pidana yang akan dikenakan terhadap para pembuat tindak pidana perjudian terlihat dari rumusan ketentuan yang termuat dalam Pasal 303 dan Pasal 303 bis KUHP sesuai dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1974. Adapun bunyi dari pasal-pasal tersebut adalah:

Pasal 303

(1)Diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin:

a. dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencaharian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu kegiatan usaha itu.

b. dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam kegiatan usaha itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata cara.


(34)

(2)kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencahariannya, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian itu.

(3)Yang disebut dengan permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada kebertuntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.

Pasal 303 bis

(1)Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sepuluh juta rupiah;

a. barang siapa menggunakan kesempatan main judi, yang diadakan dengan melanggar ketentuan Pasal 303;

b. barang siapa ikut serta main judi di jalan umum atau dipinggir jalan umum atau di tempat yang dapat dikunjungi umum, kecuali jika ada izin dari penguasa yang berwenang yang telah memberi izin untuk mengadakan perjudian itu.

(2)jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan yang menjadi tetap karena salah satu dari pelanggaran ini, dapat dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak lima belas juta rupiah.


(35)

Dari rumusan ketentuan pasal tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwasanya pembentuk undang-undang telah merumuskan ancaman pidana yang akan dikenakan terhadap tindak pidana perjudian adalah pidana penjara

atau pidana denda. Pidana penjara paling tinggi berkisar 10 (sepuluh tahun)

dan denda yang tertinggi yang akan dikenakan adalah dua puluh lima juta rupiah.

Menurut Adam Chazawi dalam rumusan kejahatan Pasal 303 KUHP, ada lima macam kejahatan mengenai hal perjudian (hazardspel), dimuat dalam ayat (1):

1. Butir 1 ada dua macam kejahatan. 2. Butir 2 ada dua macam kejahatan; dan 3. Butir 3 ada satu macam kejahatan.20

Sedangkan ayat (2) memuat tentang dasar pemberatan pidana, dan ayat (3) menerangkan tentang pengertian permainan judi yang dimaksudkan oleh ayat (1).

Lima macam kejahatan mengenai perjudian tersebut diatas mengandung unsur tanpa izin. Tanpa unsur tanpa izin inilah melekat sifat melawan hukum dari semua perbuatan dalam lima macam kejahatan mengenai perjudian itu. Artinya tiadanya unsur tanpa izin, atau jika ada izin dari pejabat atau instansi yang berhak memberi izin, semua perbuatan dalam rumusan terebut tidak lagi atau hapus sifat melawan hukumnya oleh karena itu tidak

20

Adam Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Raja Grafindo, Jakarta, 2005. hal. 158-159


(36)

dipidana. Dimasukkannya unsur tanpa izin ini oleh pembentuk undang-undang dikarenakan perjudian terkandung suatu maksud agar pemerintah atau pejabat pemerintah tertentu tetap dapat melakukan pengawasan dan pengaturan tentang permainan judi.

1. Kejahatan Pertama

Kejahatan bentuk pertama dimuat dalam butir 1 yaitu: kejahatan yang melarang orang yang tanpa izin yang dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai mata pencaharian. Dengan demikian jenis kejahatan ini, terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut.

Unsur-unsur objektif:

a. Perbuatannya menawarkan atau memberikan kesempatan. b. Objeknya: utuk bermain judi tanpa izin.

c. Dijadikannya sebagai mata pencaharian Unsur subjektif:

d. Dengan sengaja.

Bentuk kejahatan yang pertama ini, si pembuat tidak melakukan bermain judi. Disini tidak ada larangan main judi, tetapi perbuatan yang dilarang adalah (atau) menawarkan kesempatan bermain judi, dan (2) memberikan kesempatan bermain judi. Sementara itu, orang yang bermain judi dapat dipidana berdasarkan kejahatan yang dirumuskan pada Pasal 303 bis yang akan dibicarkan pada uraian kemudian.


(37)

Arti “menawarkan kesempatan” bermain judi ialah si pembuat melakukan perbuatan dengan cara apapun untuk mengundang atau mengajak orang-orang untuk bermain judi dengan menyediakan tempat dan waktu tertentu. Perbuatan ini mengandung pengertian belum ada orang yang bermain judi, hanya sekedar perbuatan permulaan pelaksanaan dari perbuatan memberikan kesempatan untuk bermain judi (perbuatan kedua).

Perbuatan “memberi kesempatan” bermain judi, ialah pembuat menyediakan peluang yang sebaik-baiknya dengan menyediakan tempat tertentu untuk bermain judi. Jadi disini telah ada orang yang bermain judi. Misalnya menyediakan atau menyewakan rumah atau kamar untuk orang-orang yang bermain judi.

Perbuatan menawarkan kesempatan bermain judi haruslah dijadikannya sebagai pencaharian. Artinya perbuatan itu dilakukan tidak seketika melainkan berlangsung lama dan dari perbuatan si pembuat demikian dia mendapatkan uang yang dijadikannya sebagai pendapatan untuk kehidupannya. Perbuatan itu baru bersifat melawan hukum apabila tidak mendapatkan izin terlebih dahulu dari instansi atau pejabat pemerintah yang berwenang.

Dalam kejahatan bentuk pertama terdapat unsur kesengajaan. Artinya si pembuat memang menghendaki untuk melakukan perbuatan menawarkan kesempatan dan memberikan kesempatan untuk bermain judi. Si pembuat sadar bahwa yang ditawarkan atau yang diberi kesempatan itu adalah orang-orang yang akan bermain judi, dan disadarinya bahwa perbuatannya dijadikan


(38)

sebagai pencaharian, artinya dia sadar bahwa dari perbuatannya itu dia mendapatkan uang untuk biaya hidupnya.

Sementara itu, unsur kesengajaan ini tidak harus ditujukan terhadap unsur tanpa izin. Artinya dalam hal si pembuat melakukan dua perbuatan yang dilarang itu tidak menjadikan syarat tentang bagaimana sikap batinnya terhadap tanpa izin, tidak disyaratkan bahwa dia harus menawarkan kesempatan dan memberikan kesempatan bermain judi tidak mendapatkan izin dari instansi atau pejabat yang berwenang. Hal ini dikarenakan letak unsur tanpa izin ini berada sebelum unsur kesengajaan dalam rumusan kejahatan.

2. Kejahatan Kedua

Kejahatan kedua yang juga dimuat dalam butir 1, ialah melarang orang yang tanpa izin dengan sengaja turut serta dalam suatu kegiatan atau usaha permainan judi. Dengan demikian terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:

Unsur-unsur objektif: a. Perbuatannya; turut serta.

b. Objek: dalam suatu kegaitan usaha permaianan judi tanpa izin; Unsur Subjektif:

c. Dengan sengaja.

Pada kejahatan jenis kedua ini, perbuatan adalah turut serta (deelnemen). Artinya ikut terlibat bersama orang lain dalam usaha permainan judi yang disebutkan pada bentuk pertama yang diterangkan di atas. Apabila dihubungkan dengan bentuk-bentuk penyertaan yang ditentukan menurut Pasal


(39)

55 dan 56 KUHP, pengertian turut serta menurut pasal ini lebih luas daripada sekedar turut serta pada bentuk pembuat peserta (medepleger). Pengertian dari perbuatan turut serta atau menyertai (deelnement) di sini selain orang yang melakukan perbuatan seperti yang dilakukan pembuat peserta (medepleger) menurut Pasal 55, juga termasuk pembuat pembantu (medeplictige) dalam Pasal 56, dan tidak mungkin sebagai pembuat penyuruh (doen pleger) atau pembuat penganjur (uit lokker), karena kedua bentuk yang disebutkan terakhir ini tidak terlibat secara fisik dalam orang lain melakukan perbuatan yang dilarang.

Keterlibatan secara fisik orang yang turut serta dalam kegiatan usaha permainan judi tanpa izin, yang dimaksudkan pada bentuk pertama, terdiri dari perbuatan menawarkan kesempatan dan memberikan kesempatan kepada orang untuk bermain judi sehingga orang tersebut mendapatkan uang atau penghasilan. Jadi yang dimaksud dengan kegiatan usaha permainan judi adalah setiap kegiatan yang menyediakan waktu dan tempat pada orang-orang untuk bermain judi, yang terdiri dari kegiatan itu dia mendapatkan uang atau penghasilan. Seperti juga pada bentuk pertama, pada kejahatan jenis kedua ini terdapat unsur kesengajaan. Kesengajaan disini harus ditujukan pada unsur perbuatan turut serta dan disadarinya bahwa keturutsertaanya itu adalah dalam kegiatan permainan judi.

3. Kejahatan Ketiga


(40)

sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi”. Dengan demikian terdiri dari unsur-unsur:

Unsur-unsur objektif;

a. Perbuatan; menawarkan dan memberi kesempatan b. Objek: kepada khalayak umum.

c. Untuk bermain judi tanpa izin; Unsur subjektif;

d. Dengan sengaja

Kejahatan perjudian yang ketiga ini, mirip sekali dengan kejahatan perjudian bentuk pertama. Persamaanya pada unsur tingkah laku, yakni pada perbuatan menawarkan kesempatan dan perbuatan memberikan kesempatan. Sedangkan perbedaannya, ialah sebagai berikut:

a. Pada bentuk pertama, perbuatan menawarkan kesempatan dan perbuatan memberikan kesempatan tidak disebutkan kepada siapa, oleh karena itu bisa termasuk seseorang atau beberapa orang tertentu. Tetapi pada bentuk yang ketiga tidak berlaku, jika kedua perbuatan itu hanya ditujukan pada satu orang tertentu.

b. Pada bentuk pertama secara tegas disebutkan bahwa kedua perbuatan itu dijadikan sebagai mata pencaharian. Sedangkan pada bentuk ketiga, tidak disebutkan unsur dijadikan sebagai mata pencaharian.

Khalayak umum artinya kepada siapapun, tidak ditujukan pada orang-perorangan atau orang tertentu. Siapa pun juga dapat menggunakan


(41)

kesempatan untuk bermain judi. Pada bentuk ketiga terdapat pula unsur kesengajaan, yang harus ditujukan pada: (atau) melakukan perbuatan menawarkan kesempatan dan perbuatan memberi kesempatan; (b) khalayak umum, dan (c) bermain judi. Artinya, si pembuat menghendaki untuk mewujudkan kedua perbuatan itu di depan khalayak umum adalah untuk bermain judi.

Akan tetapi kesengajaan pembuat tidak perlu ditujukan pada unsur tanpa izin, karena unsur tanpa izin dalam rumusan letaknya sebelum unsur kesengajaan. Artinya si pembuat tidak perlu menyadari bahwa di dalam melakukan perbuatan menawarkan kesempatan dan memberikan kesempatan itu ia tidak mendapatkan izin dari instansi yang berwenang.

4. Bentuk Keempat

Kejahatan perjudian bentuk keempat dalam ayat (1) Pasal 303, adalah larangan dengan sengaja turut serta dalam menjalankan kegiatan usaha perjudian tanpa izin. Unsur-unsurnya adalah:

Unsur-unsur Objektif: a. Perbuatannya: turut serta.

b. Objek: dalam kegiatan usaha permainan judi tanpa izin; Unsur subjektif:

c. dengan sengaja.

Kejahatan bentuk keempat ini, hampir sama dengan kejahatan bentuk kedua. Perbedaanya hanyalah pada kegiatan usaha perjudian yang dijadikan


(42)

sebagai mata pencaharian itu. Akan tetapi pada bentuk keempat ini, perbuatan turut sertanya ditujukan pada kegiatan usaha perjudian yang bukan sebagai mata pencaharian. Demikian juga kesengajaan pembuat dalam melakukan turut sertanya ditujukan pada kegitan dalam melakukan perbuatan menawarkan kesempatan dan perbuatan memberikan kesempatan bermain judi kepada khalayak umum.

5. Bentuk Kelima

Bentuk kelima kejahatan mengenai perjudian ialah “melarang orang yang melakukan perbuatan turut serta dalam permainan judi tanpa izin yang dijadikannya sebagai mata pencaharian.” Dengan demikian, dalam kejahatan bentuk kelima ini terdapat unsur-unsur sebagai berikut.

a. perbuatannya: turut serta

b. objek; dalam permainan judi tanpa izin; c. sebagai mata pencaharian.

Perbuatan materiil turut serta (deelnemen) terdapat pada kejahatan bentuk kedua, keempat dan kelima. Pengertian perbuatan turut serta telah diterangkan secara cukup pada saat pembicaraan bentuk kedua, sehingga tidak perlu diterangkan lagi.

Pada bentuk kelima ini, unsur dalam “menjalankan kegiatan usaha” tidak dimuat lagi. Artinya si pembuat di sini tidak ikut serta dalam menjalankan usaha permainan judi. Menjalankan usaha adalah berupa perbuatan menawarkan kesempatan dan memberikan kesempatan bermain


(43)

judi. Pada bentuk kelima ini, si pembuat ikut terlibat bersama orang lain yang bermain, dan bukan terlibat bersama pembuat yang melakukan usaha perjudian yang orang ini tidak ikut bermain judi.

Si pembuat dalam bermain judi tanpa izin haruslah dijadikannya sebagai mata pencaharian, artinya dari permainan judi ini dia mendapatkan penghasilan yang untuk keperluan hidupnya. Jadi tidak dipidana apabila ia bermain judi hanya sebagai hiburan belaka.

Pada ayat (2) Pasal 303 dikatakan diancam pidana pencabutan hak menjalankan pencarian bagi barang siapa yang melakukan lima macam kejahatan mengenai perjudian tersebut di atas dalam menjalankan pencahariannya. Pada ayat (3) diterangkan tentang arti perjudian, yakni tiap-tiap permainan di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, dan juga karena permainannya terlatih atau lebih mahir.

B. Bentuk-Bentuk Perjudian di Dalam Masyarakat

Pada masa sekarang, banyak bentuk permainan yang sulit dan menuntut ketekunan serta keterampilan dijadikan alat judi. Umpamanya pertandingan-pertandingan atletik, badminton, tinju, gulat dan sepak bola. Juga pacuan-pacuan misalnya: pacuan-pacuan kuda, anjing balap, biri-biri dan karapan sapi. Permainan dan pacuan-pacuan tersebut semula bersifat kreatif dalam bentuk asumsi yang menyenangkan untuk menghibur diri sebagai pelepas ketegangan


(44)

sesudah bekerja. Di kemudian hari ditambahkan elemen pertaruhan guna memberikan insentif kepada para pemain untuk memenangkan pertandingan. Di samping itu dimaksudkan pula untuk mendapatkan keuntungan komersial bagi orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu.

Dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, Pasal 1 ayat (1), disebutkan beberapa macam perjudian yaitu:

Bentuk dan jenis perjudian yang dimaksud pasal ini meliputi: 1. Perjudian di Kasino, antara lain terdiri dari :

a. Roulette b. Blackjack. c. Bacarat. d. Creps. e. Keno. f. Tombala.

g. Super Ping-Pong. h. Lotto Fair.

i. Satan. j. Paykyu.

k. Slot Machine (Jackpot). l. Ji Si Kie.


(45)

m. Big Six Wheel. n. Chuc a Cluck.

o. Lempar paser/bulu ayam pada sasaran atau papan. p. Yang berputar (Paseran).

q. Pachinko. r. Poker. s. Twenty One. t. Hwa-Hwe. u. Kiu-Kiu

2. Perjudian di tempat-tempat keramaian, antara lain terdiri dari perjudian dengan:

a. Lempar paser atau bulu ayam pada papan atau sasaran yang tidak bergerak.

b. Lempar gelang. c. Lempat uang (coin). d. Koin.

e. Pancingan.

f. Menebak sasaran yang tidak berputar. g. Lempar bola.

h. Adu ayam. i. Adu kerbau.


(46)

k. Pacu kuda. l. Kerapan sapi. m. Pacu anjing. n. Hailai.

o. Mayong/Macak. p. Erek-erek.

3. Perjudian yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain antara lain perjudian yang dikaitkan dengan kebiasaan-kebiasaan:

a. Adu ayam. b. Adu sapi. c. Adu kerbau d. Pacu kuda. e. Karapan sapi.

f. Adu domba atau kambing g. Adu burung merpati.

Dalam penjelasan di atas, dikatakan bahwa bentuk perjudian yang terdapat dalam angka 3, seperti adu ayam, karapan sapi dan sebagainya itu tidak termasuk perjudian apabila kebiasaan-kebiasaan yang bersangkutan berkaitan dengan upacara keagamaan dan sepanjang kebiasaan itu tidak merupakan perjudian.

Ketentuan pasal ini mencakup pula bentuk dan jenis perjudian yang mungkin timbul dimasa yang akan datang sepanjang termasuk katagori


(47)

perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303 ayat (3) KUHP.

C. Penegakan Hukum Dalam Rangka Menanggulangi Perjudian Togel di Kalangan Masyarakat.

Salah satu syarat untuk hidup sejahtera dalam masyarakat adalah tunduk kepada tata tertib atas peraturan di masyarakat atau negara, kalau tata tertib yang berlaku dalam masyarakat itu lemah dan berkurang maka kesejateraan dalam masyarakat yang bersangkutan akan mundur dan mungkin kacau sama sekali.

Untuk mendapatkan gambaran dari hukum pidana, maka terlebih dahulu dilihat pengertian dari pada hukum pidana. Menurut Moeljatno dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana, “Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang dasar-dasar aturan untuk:

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukannya, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang disangka telah melanggar larangan


(48)

tersebut.21

Dikatakan bahwa hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, karena di samping hukum pidana itu masih ada hukum-hukum yang lain misalnya hukum perdata, hukum tata negara, hukum islam, hukum tata pemerintahan dan sebagainya.

Membicarakan masalah hukum pidana tidak lepas kaitannya dengan subjek yang dibicarakan oleh hukum pidana itu. Adapun yang menjadi subjek dari hukum pidana itu adalah manusia selaku anggota masyarakat. Manusia selaku subjek hukum yang pendukung hak dan kewajiban di dalam menjalankan aktivitas yang berhubungan dengan masyarakat tidak jarang menyimpang dari norma yang ada. Adapun penyimpangan itu berupa tingkah laku yang dapat digolongkan dalam pelanggaran dan kejahatan yang sebetulnya dapat membahayakan keselamatan diri sendiri, masyarakat menjadi resah, aktivitas hubungannya menjadi terganggu, yang menyebabkan didalam masyarakat tersebut sudah tidak terdapat lagi ketertiban dan ketentraman.

Sebagaimana diketahui secara garis besar adanya ketertiban itu dipenuhi oleh adanya peraturan atau tata tertib, ketentuan-ketentuan yang bersangkutan dengan tata tertib ini dalam kaidah atau norma yang tertuang posisinya di dalam masyarakat sebagai norma hukum. Dengan adanya tatanan norma tersebut, maka posisi yang paling ditekankan adalah norma hukum, meskipun norma yang lain tidak kalah penting perannya dalam kehidupan masyarakat.


(49)

Untuk mewujudkan tertib sosial, negara menetapkan dan mengesahkan peraturan perundang-undangan untuk mengatur masyarakat. Peraturan-peraturan itu mempunyai sanksi hukum yang sifatnya memaksa. Artinya bila peraturan itu sampai dilanggar maka kepada pelanggarnya dapat dikenakan hukuman. Jenis hukuman yang akan dikenakan terhadap si pelanggar akan sangat tergantung pada macamnya peraturan yang dilanggar. Pada prinsipnya setiap peraturan mengandung sifat paksaan artinya orang-orang yang tidak mau tunduk dan dikenai sanksi terhadap pelanggaran tersebut.

Untuk menjaga ketertiban dan ketentraman tersebut, hukum pidana diharapkan difungsikan di samping hukum lainnya yang terdapat di dalam masyarakat. Norma hukum sedikit atau banyak berwawasan pada objek peraturan yang bersifat pemaksa dan dapat disebut hukum. Adapun maksud disusunnya hukum dan peraturan lainnya adalah untuk mencapai ketertiban dan kesejahteraan dalam masyarakat dan oleh sebab itu pembentukan peraturan atau hukum kebiasaan atau hukum nasional hendaklah selalu benar-benar ditujukan untuk kepentingan umum.

Menurut Ronny Hanintijo Soemitro bahwa: “Fungsi hukum di dalam kelompok itu adalah menerapkan mekanisme kontrol sosial yang membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat tidak dikehendaki sehingga hukum memiliki suatu fungsi untuk mempertahankan eksistensi kelompok itu. Anggota-anggota kelompok yang bekerja di dalam ruang lingkup sistemnya, kemungkinan akan berhasil mengatasi tuntutan yang


(50)

menuju ke arah penyimpangan guna menjamin agar kelompok tersebut tetap utuh, atau kemungkinan lain hukum gagal dalam melaksanakan tugasnya sehingga kelompok itu hancur, cerai berai atau punah”.22

Menurut Sudarto bahwa tiap-tiap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Oleh karenanya hukum itu dibuat oleh penguasa yang berwenang untuk menuju kebaikan-kebaikan maka konsekuensinya setiap pelanggaran hukum harus diberi reaksi atau tindakan yang tepat, pantas agar wibawa tegaknya hukum terjaga seperti halnya hubungan norma hukum terhadap pemberantasan perbuatan perjudian di masyarakat. Hukum pidana yang berlaku sekarang ini sudah diusahakan untuk disesuaikan dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan hukum Pidana dan munculnya undang-undang pidana di luar W.V.S.

Menurut Bambang Poernomo, pengertian hukum pidana yaitu: “Pertama, hukum merupakan organ peraturan-peraturan yang abstrak, dan kedua, hukum merupakan suatu proses sosial untuk mengadakan tertib hukum dan mengatur kepentingan masyarakat”.

Melihat definisi hukum pidana dari pendapat ahli hukum pidana itu maka hukum pidana itu diadakan untuk kepentingan masyarakat. Jadi seluruh anggota masyarakat sangat mengharapkan peranan hukum pidana dalam pergaulan hidup diantara sesama manusia, oleh karena itu dalam pelaksanaannya dapat bermanfaat bagi masyarakat.

22

Ronny Hanitijo Soemitro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat, Remadja Karya, CV. Bandung, 1985, hal. 132.


(51)

memuat 2 hal yang pokok:

1. Pertama memuat pelukisan dari perbuatan-perbuatan yang diancam pidana, artinya memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi yang memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana. Jadi di sini seolah-olah negara menyatakan kepada penegak hukum perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan siapa yang dapat dipidana.

2. Kedua, KUHPidana menetapkan dan mengemukakan reaksi apa yang akan diterima oleh orang yang melakukan perbuatan yang dilarang.

Dalam hukum pidana modern reaksi ini tidak hanya berupa pidana akan tetapi juga apa yang disebut tindakan, yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang merugikannya. Selanjutnya karena tujuan hukum pidana mempunyai kaitan dengan pemidanaan, maka sesuai dengan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 1972 dapat dijumpai gagasan tentang maksud dan tujuan

pemidanaan adalah :

1. Untuk mencegah dilakukan tindak pidana demi penganyoman negara, masyarakat dan penduduk.

2. Untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota yang berbudi baik dan berguna.

3. Untuk menghilangkan noda-noda diakibatkan oleh tindak pidana. 4. pemidanaan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.


(52)

semata-mata dengan jalan menjatuhkan pidana (straaft) tetapi disamping itu juga menggunakan tindakan-tindakan (maatregel). Jadi disamping pidana ada pula tindakan. Tindakan ini pun merupakan suatu sanksi juga, walaupun tidak ada pembalasan padanya.

Tujuan pemidanaan pada umumnya adalah :

1. Mempengaruhi perikelakuan si pembuat agar tidak melakukan tindak pidana lagi, biasanya disebut prevensi special.

2. Mempengaruhi perikelakuan anggota masyarakat pada umumnya agar tidak melakukan tindak pidana seperti yang dilakukan oleh si terhukum. 3. Mendatangkan suasana damai atau penyelesaian konflik.

4. Pembalasan atau pengimbalan dari kesalahan si pembuat.

Dalam pada itu tidak boleh dilupakan, bahwa hukum pidana atau sistem pidana itu merupakan bagian dari politik kriminal, ialah usaha yang rasional dalam mencegah kejahatan yaitu dengan penerangan-penerangan serta pemberian contoh oleh golongan masyarakat yang mempunyai kekuasaan.

Begitu pula terhadap perjudian yang merupakan salah satu bentuk kejahatan yang memenuhi rumusan KUHP yaitu, yang diatur melalui Pasal 303 dan 303 bis, hal ini sesudah dikeluarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian ancaman pidana bagi perjudian tersebut diperberat, perincian perubahannya sebagai berikut:

1. Ancaman pidana dalam Pasal 303 (1) KUHP diperberat menjadi pidana penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyaknya


(53)

dua puluh lima juta rupiah.

2. Pasal 542 KUHP diangkat menjadi suatu kejahatan dan diganti sebutan menjadi Pasal 303 bis KUHP, sedangkan ancaman pidananya diperberat yaitu: ayat (1) menjadi pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh juta rupiah. Ayat (2) menjadi pidana penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya lima belas juta rupiah.

Larangan-larangan perjudian dalam KUHP sekarang ini adalah seperti berikut: Permainan judi pertama-tama diancam hukuman dalam Pasal 303 KUHP yang bunyinya:

(1)Diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin:

a. dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencaharian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu kegiatan usaha itu.

b. dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam kegiatan usaha itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata cara.


(54)

(2)kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencahariannya, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian itu.

(3)Yang disebut dengan permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada keberuntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.

Objek di sini adalah permainan judi dalam bahasa asingnya disebut

hazardspel. Bukan segala permainan masuk hazardspel yaitu tidak hanya

pemainan yang luas. Dalam arti kata yang sempit permainan hazard adalah segala permainan jika kalah menangnya orang dalam permainan itu tidak tergantung kepada kecakapan, tetapi melulu hanya tergantung kepada nasib baik dan sial saja.

Dalam arti kata yang luas yang termasuk hazard juga segala permainan yang pada umumnya kemungkinan untuk menang tergantung pada nasib atau secara kebetulan. Biarpun kemungkinan untuk menang itu bisa bertambah besar pula karena latihan atau kepandaian pemain atau secara lain dapat dikatakan bahwa yang dinamakan permainan hazard itu ialah, suatu permainan jika kalah menangnya orang dalam permainan itu tergantung kepada nasib dan umumnya pada pemain yang banyak. Jadi dengan demikian yang dinamakan


(55)

dengan permainan judi sebelumnya hanya diartikan dalam arti yang sempit, tetapi dalam perkembangan diartikan dalam arti yang luas yaitu di samping unsur kecakapan dan unsur keahlian ditambah dengan unsur latihan atau kepandaian si pemain. Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 303 bis KUHP yaitu:

Diancam dengan kurungan paling lama empat tahun atau denda paling banyak sepuluh juta rupiah:

Ke-1 : Barangsiapa menggunakan kesempatan untuk main judi, diadakan, dengan melanggar ketentuan tersebut pasal 303.

Ke-2 : Barangsiapa ikut serta permainan judi yang diadakan di jalan umum atau di pinggiran maupun di tempat yang dapat dimasuki oleh khalayak umum, kecuali jika untuk mengadukan itu ada izin dari penguasa yang wenang.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian bahwa pemberatan ancaman pidana terhadap bandar judi dan pemain yang ikut judi tampak niat pembentuk undang-undang itu dari pihak pemerintah, sehingga dapat dikatakan pemerintahlah yang mempunyai niat baik itu.

Melihat rumusan peraturan hukum pidana tersebut berarti sudali jelas bahwa perjudian dilarang oleh norma hukum pidana karena telah memenuhi rumusan seperti yang dimaksud, untuk itu dapat dikenal sanksi pidana yang pelaksanaannya diproses sesuai dengan hukum acara pidana. Dalam kenyataannya bahwa judi tumbuh dan berkembang serta sulit untuk ditanggulangi, diberantas seperti melakukan perjudian di depan umum, di


(56)

pinggir jalan raya bahkan ada yang dilakukan secara terorganisir dan terselubung dan beraneka ragam yang dilakukan oleh para penjudi tersebut yang sebenarnya dilarang.

Perkembangan masyarakat yang pesat di jaman modern ini sebagai akibat dari berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), perlu diikuti dengan kebijakan di bidang hukum sebagai sarana untuk menertibkan dan melindungi masyarakat dalam mencapai kesejahteraannya. Munculnya kejahatan-kejahatan dengan dimensi baru yang bercirikan modern yang merupakan dampak negatif dari perkembangan yang sangat cepat dibidang teknologi informasi, perlu pula ditanggulangi dengan berbagai upaya penanggulangan yang lebih efektif.

Guna mengatasi kejahatan modern tersebut perlu adannya kerjasama antara masyarakat dan aparat penegak hukum disamping juga perlu dilakukan pembenahan serta pembangunan hukum pidana yang menyeluruh baik dari segi struktur, substansi maupun budaya hukumnya.

Di Indonesia saat ini tengah berlangsung usaha untuk memperbaiki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai bagian dari usaha pembaharuan hukum nasional yang menyeluruh. Usaha pembaharuan itu tidak hanya karena alasan bahwa KUHP yang sekarang diberlakukan dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan masyarakat khususnya karena perkembangan IPTEK, tetapi juga karena KUHP tersebut tidak lebih dari produk warisan penjajah Belanda, dan karenanya tidak sesuai dengan


(57)

pandangan hidup bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat.

Usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia tentunya tidak terlepas dari politik hukum yang bertugas untuk meneliti perubahan-perubahan yang perlu diadakan terhadap hukum yang ada agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru di dalam masyarakat. Politik hukum tersebut meneruskan arah perkembangan tertib hukum, dari “ius constitutum’ yang bertumpu pada kerangka landasan hukum yang terdahulu menuju pada penyusunan “ius

constituendum” atau hukum pada masa yang akan datang.

Hal tersebut di atas sejalan dengan yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, yaitu :62 “Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral politik, sosio-filosofik, sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia”.23

Sedangkan Sudarto menyebut ada tiga alasan mengapa KUHP perlu diperbaharui yakni alasan politik, sosiologis dan praktis.

Dari pendapat Barda Nawawi Arief tersebut dapat dilihat bahwa beliau merumuskan tiga latar belakang dan urgensi pembaharuan hukum pidana dengan meninjaunya dari aspek politik, filosofik, dan sosio-kultural.

24

23

Barda Nawawi Arif, Op.Cit, hal. 33.

24

Sudarto, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru:Bandung, 1983 hal. 66-68.


(58)

Jadi upaya pembaharuan hukum pidana Indonesia mempunyai suatu makna yaitu menciptakan suatu kodifikasi hukum pidana nasional untuk menggantikan kodifikasi hukum pidana yang merupakan warisan kolonial yakni Wetboek van Strafrecht Nederlands Indie 1915, yang merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht negeri Belanda tahun 1886.64 Meskipun dalam KUHP sekarang ini telah dilakukan tambal sulam namun jiwanya tetap tidak berubah.

Sudarto25

Upaya pembaharuan hukum di Indonesia yang sudah dimulai sejak lahirnya UUD 1945, tidak dapat dilepaskan pula dari landasan sekaligus tujuan yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia seperti telah dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 yaitu, “melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila”.

mengatakan “Wetboek van Starafrecht” atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang disingkat W.v.S atau KUHP yang sehari-hari digunakan oleh para praktisi hukum Indonesia telah berusia lebih dari 50 tahun. Selama itu ia mengalami penambahan, pengurangan atau perubahan, namun jiwanya tidak berubah”.

26

Tujuan pembangunan nasional yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 itu semata-mata demi terciptanya kesejahteraan bagi bangsa Indonesia

25

Sudarto, Suatu Dilema Dalam Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia, Pusat Study Hukum dan masyarakat, FH UNDIP Semarang, 1974,hal. 2

26

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidato Pengukuhan Guru Besar FH UNDIP, Semarang, 1994 hal. 1.


(59)

dan untuk mencapai semuanya itu maka dilakukan pembangunan. Adapun pembangunan yang dilakukan tidak hanya pada satu sisi kehidupan saja akan tetapi pada semua sisi kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk didalamnya pembangunan hukum. Seiring dengan perkembangan pembangunan di Indonesia, berkembang pula bentuk-bentuk kejahatan ditengah-tengah masyarakat. Dalam upaya menanggulangi kejahatan-kejahatan tersebut dilakukan suatu kebijakan kriminal/politik kriminal (Criminal Policy), yang meliputi kebijakan secara terpadu antara upaya penal dan non penal yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya.

Istilah kebijakan dalam hal ini ditransfer dari bahasa Inggris: “policy” atau dalam Bahasa Belanda: “Politiek” yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum) dalam mengelola, mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian hukum/peraturan, dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).27

Sutan Zanti Arbi dan Wayan Ardana28

27

Henry Campbell Black, et.al.,ed., Black’s Law Dictionary, Fifth Edition, St. Paulminn West Publicing C.O., 1979, hal. 1041.

28

Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal. 59

, menterjemahkan “policy” juga dengan kebijakan, yaitu suatu keputusan yang menggariskan cara yang paling


(60)

efektif dan paling efisien untuk mencapai tujuan yang ditetapkan secara kolektif. Sementara itu Barda Nawawi Arif29

1) Pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti sistem pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan).

mengatakan bahwa istilah “kebijakan” berasal dari kata “politic”, “politics” dan “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Politik berarti “acting of judging wisely, prudent”, jadi ada unsur “wise” dan “prudent” yang berarti bijaksana. “Politics” berarti “the science of the art of government”. Policy berarti a) Plan of action, suatu perencanaan untuk melakukan suatu tindakan dari negara, b) art of government, dan c) wise conduct.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah “Politik” diartikan sebagai berikut:

2) Segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain.

3) Cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah), kebijakan.

Sehingga diperoleh gambaran bahwa di dalam istilah “Policy” akan ditemukan makna “Kebijaksanaan”. Makna kebijakan mempunyai kaitan yang erat dengan kebijaksanaan, dan di dalam kebijakan terkandung kebijaksanaan. Mengeni arti politik kriminal, para pakar hukum pidana mempunyai berbagai ragam pendapat.

29

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminal (Criminal Policy), Bahan Penataran Kriminologi, FH Universitas Katolik Parahyangan , Bandung tanggal 9-13, hal. 780


(61)

Marc Ancel merumuskan politik kriminal sebagai the rational

organization of the control of crime by society (usaha yang rasional dari

masyarakat dalam menanggulangi kejahatan), sedangkan G.P. Hoefnagels yang bertolak dari pendapat Marc Ancel tersebut memberikan pengertian politik kriminal sebagai the rational organization of the social reaction to

crime, disamping itu G.P Hoefnagels sendiri juga mengemukakan dengan

berbagai rumusan seperti criminal policy is the science of responses, criminal policy is the science of crime prevention, criminal policy is a policy of designating human behaviour as crime dan criminal policy is rational total of the responses to crime.30

Menurut G. Peter Hoefnagels, kebijakan kriminal adalah merupakan ilmu kebijakan sebagai bagian dari kebijakan yang lebih luas yaitu kebijakan penegakan hukum (criminal policy as a science of policy is part of a larger

policy : the law enforcement policy); sedangkan kebijakan penegakan hukum

juga bagian dari kebijakan sosial.31

Sedangkan menurut Sudarto, definisi politik kriminal secara singkat sebagai usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Pengertian tersebut diambil dari definisi yang dikemukakan oleh Marc Ancel. Selain itu beliau juga memberikan beberapa pengertian yaitu dalam arti sempit, dalam arti yang lebih luas dan dalam arti yang paling luas. Dalam arti sempit, politik kriminal adalah keseluruhan asas dan metoda yang menjadi dasar dari

30 Ibid. 31


(62)

reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. Dalam arti yang lebih luas, ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, temasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi, sedangkan dalam arti yang paling luas politik kriminal merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dalam masyarakat.32

Penegakan norma-norma sentral tersebut dapat diartikan sebagai penanggulangan kejahatan, melaksanakan politik kriminal berarti mengadakan pemilihan dari sekian banyak alternatif, mana yang paling efektif dalam usaha penanggulangan kejahatan.

Politik kriminal menurut Barda Nawawi Arif merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (socal defence) dan upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karenannya, tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal adalah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”.33

Kebijakan sosial sebagai kebijakan umum terdiri dari kebijakan dalam rangka mensejahterakan masyarakat (social welfare policy) dan kebijakan perlindungan masyarakat (social defence policy). Kebijakan perlindungan masyarakat dituangkan dalam kebijakan kriminal yang dalam upayanya untuk mencapai tujuan menggunakan sarana penal dan non penal, sehingga kebijakan

32

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni:Bandung, 1986, hal. 113-114

33

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1995, hal. 8


(63)

penal dan non penal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya perlindungan masyarakat dan upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat atau dengan kata lain merupakan kebijakan integral.

Upaya penanggulangan kejahatan harus dilaksanakan secara sistematis dan integral, adanya keseimbangan antara upaya perlindungan masyarakat

(social defence) serta upaya kesejahteraan masyarakat (social welfare).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa politik kriminal pada hakekatnya juga merupakan bagian intergral dari politik sosial yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial.

Dari uraian tersebut terlihat bahwa upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti ada keterpaduan (integral) antara politik kriminal dan politik sosial serta ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non penal.

Uraian di atas juga menunjukan bahwa pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus menunjang tujuan (goal) “social welfare” dan “social defence”. Kedua aspek tersebut yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan/perlindungan masyarakat yang bersifat immaterial terutama nilai kepercayaan, kebenaran, kejujuran dan keadilan.

Penegasan tentang perlunya upaya penanggulangan kejahatan diintergrasikan dengan keseluruhan kebijakan sosial dan perencanaan pembangunan terlihat juga dalam pernyataan Sudarto yang menyatakan bahwa apabila hukum pidana hendak digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi


(64)

kejahatan, maka penggunannya tidak terlepas dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau “planning for social defence”. Social Defence Planning

ini pun harus merupakan bagian yang integral dari rencana pembangunan nasional.

Beberapa kali konggres PBB mengenai Prevention of Crime and the

tretment of Offender juga mengisyaratkan hal yang sama tentang perlunya

penanggulangan kejahatan diintegrasikan dengan keseluruhan kebijakan sosial dan perencanaan pembangunan nasional, sehingga kebijakan penanggulangan kejahatan tidak banyak artinya apabila kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan itu sendiri justru menimbulkan faktor-faktor kriminogen dan viktimogen.

Pernyataan yang hampir sama disampaikan oleh Radzinowicz sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief yang menyatakan bahwa kebijakan kriminal harus mengkombinasikan bermacam-macam kegiatan preventif dan pengaturannya sedemikian rupa sehingga membentuk suatu mekanisme tunggal yang luas dan akhirnya mengkoordinasikan keseluruhannya itu kedalam suatu sistem kegiatan negara yang teratur.

Berkaitan dengan penggunaan hukum pidana sebagai sarana untuk penanggulangan kejahatan, Muladi menyatakan bahwa penegakan hukum pidana bukan merupakan satu-satunya tumpuan harapan untuk dapat menyelesaikan atau menanggulangi kejahatan secara tuntas. Hal ini wajar karena pada hakikatnya kejahatan itu merupakan “masalah kemanusiaan” dan


(65)

“masalah sosial” yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan hukum pidana sebagai suatu masalah sosial, kejahatan merupakan suatu fenomena kemasyarakatan yang dinamis, yang selalu tumbuh dan terkait dengan fenomena dan struktur kemasyarakatan lainnya yang sangat kompleks.

Sejalan dengan pemikiran diatas, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa sehubungan dengan keterbatasan dan kelemahan yang dipunyai oleh hukum pidana antara lain karena penanggulangan atau “penyembuhan” lewat hukum pidana selama ini hanya merupakan penyembuhan/pengobatan simtomatik bukan pengobatan kausatif, dan pemidanaannya (“pengobatannya”) hanya bersifat individual/personal, penggunaan atau intervensi “penal” seyogyanya dilakukan dengan lebih hati-hati, cermat, hemat, selektif dan limitatif.

Dengan kata lain penggunaan saran penal atau hukum pidana dalam suatu kebijakan kriminal memang bukan merupakan posisi strategis dan banyak menimbulkan persoalan. Persoalannya tidak terletak pada masalah “eksistensinya” tetapi terletak pada masalah kebijakan penggunaannya.

Dilihat dari politik kriminal, usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan, maka upaya penanggulangannya sudah barang tentu tidak hanya menggunakan sarana penal tetapi dapat juga dengan mengunakan sarana “non-penal”, terlebih mengingat karena keterbatasan dari sarana penal itu sendiri. Upaya penggulangan kejahatan dengan melalui sarana non penal akan lebih


(1)

kian bertambah. Apabila mentalitas budaya bangsa kita cenderung untuk menjadi pegawai negeri atau dengan kata lain masih cenderung untuk menjadi upahan.

d. Peningkatan usaha penerangan dan pengawasan.

Sebagai upaya untuk menghindarkan perbuatan judi, dapat kiranya dilakukan pemberian informasi yang up to date konkrit serta penyuluhan-penyuluhan tentang berbagai hal yang menyangkut realitas dan kejadian kehidupan yang terjadi dan prakiraan yang mungkin akan terjadi.

Apa yang dikemukakan dalam metode prevensi ini hanyalah sebagian kecil saja dan mungkin masih banyal hal lain lagi yang dapat kita perbuat untuk menghindari timbulnya atau bertambahnya jumlah para pelaku perjudian. Tetapi yang paling utama dalam hal ini adalah faktor manusianya juga. Kehidupan memang bukan sehari tetapi ia merupakan jalan panjang yang memerlukan berbagai bekal untuk melaluinya atau setidak-tidaknya nasehat untuk melihat ke arah mana jalan yang mesti ditempuh sehingga ia tidak terperosok ke jurang kehidupan.

Sebagai tindak lanjut dari metode preventif ini maka pihak Kepolisian berupaya untuk menanggulangi menjalarnya perjudian tersebut dengan cara misalnya meningkatkan ketaatan beragama, dan meningkatkan kesadaran hukum.


(2)

B. Upaya Penanggulangan (Refresif).

Yang dimaksud dalam metode ini adalah bagaimana caranya dan usaha-usaha apa yang mesti dilakukan agar mereka kembali ke tengah-tengah masyarakat untuk hidup layak dan manusiawi sebagaimana adanya sebelum.

Dalam rangka penanggulangan masalah penyakit masyarakat ini secara reformasi pihak pihak terkait telah membuat program penanggulangan dengan usaha refresif yang meliputi :

a. Razia.

Razia dalam hal ini merupakan penindakan secara hukum terhadap pelaku perjudian untuk selanjutnya diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

b. Pemberian keterampilan.

Perjudian tumbuh dan berkembang pada dasarnya ditujukan bagi pencarian uang secara cepat dan fleksibel dengan cara mengadu nasib. Hal ini ditopang dengan sebab ekonomi yang pas-pasan. Kehidupan perekonomian yang pas-pasan tersebut dikarenakan belum adanya mata pencaharian yang tetap dan juga tidak ada keterampilan sehingga dengan hal tersebut perlu dilakukan pemberian keterampilan agar perjudian sebagai bentuk perwujudan ingin cepat kaya menjadi terhalangan karena pelakunya telah memiliki keterampilan, sehingga ia dapat bekerja secara layak.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Penegakan hukum dalam rangka menanggulangi perjudian togel di kalangan masyarakat adalah meliputi beberapa faktor seperti: faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat serta faktor kebudayaan.

2. Hambatan kepolisian dalam menanggulangi perjudian togel di kalangan masyarakat adalah:

- Dalam menerapkan sanksi pidana yang berat terhadap terdakwa selalu dihadapkan pada usia muda dan perekonomian yang rendah.

- Belum terdapatnya keseragaman tindakan dalam menanggulangi perjudian sehingga ada kalanya antara aparat penegak hukum tidak jarang berbeda pendapat dalam penerapan pasal dari Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan penertiban Perjudian.

- Selama ini dalam masyarakat kita memang ada semacam dua sikap dalam memandang perjudian. Sikap pertama sebagaimana


(4)

dicurigai, jika perlu ditangkap, masyarakat yang terwakili oleh kalangan medis memandang pelaku perjudian yang sakit, perlu diobati.

3. Upaya pencegahan dan penanggulangan perjudian togel meliputi usaha pencegahan (preventif) seperti Menekan pertumbuhan penduduk dan urbanisasi, meningkatkan usaha pendidikan dan keterampilan, memperluas lapangan kerja, serta peningkatan usaha penerangan dan pengawasan. Upaya penanggulangan (represif) seperti razia dan pemberian keterampilan kepada masyarakat.

B. Saran

1. Untuk mengatasi masalah perjudian yang berlangsung di Kota Medan hendaknya aparat Kepolisian tidak hanya tertuju kepada pemain-pemainnya semata tetapi lebih agresif dengan cara menciduk gembong maupun juga bandarnya.

2. Kepada masyarakat luas hendaknya tidak terlibata dengan perjudian karena selain dilarang oleh agama maupun perundang-undangan judi juga bukan merupakan jalan keluar dari permasalahan kehidupan perekonomian dan bukan tidak mungkin perjudian malah membawa persoalan baru apabila kelak suatu hari tertangkap dan diketahui oleh pihak kepolisian.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adam Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Raja Grafindo, Jakarta, 2005.

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijaksanaan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998. __________, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana

(Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidato Pengukuhan Guru Besar FH UNDIP, Semarang, 1994.

__________, Kebijakan Kriminal (Criminal Policy), Bahan Penataran Kriminologi, FH Universitas Katolik Parahyangan , Bandung tanggal 9-13.

EY Kanter dan SR Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Storia Grafika, Jakarta. 2002.

Henry Campbell Black, et.al.,ed., Black’s Law Dictionary, Fifth Edition, St. Paulminn West Publicing C.O., 1979.

Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1992. Intan Entjang, Kependudukan dan KB, Alumni, Bandung, 1986. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.

Muchlis, Porkas Judi Atau Bukan, Panji Masyarakat No. 515 Tahun XXVIII, 11 September 1986.

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang. 1995.

Mulyana W. Kusumah, Kejahatan dan penyimpangan, Suatu Perspektif Kriminologi, Yayasan lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 2000.


(6)

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983.

Ronny Hanitijo Soemitro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat, Remadja Karya, CV. Bandung, 1985.

R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Politeia, Bogor, 1991.

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta, 2006.

Sudarto, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru:Bandung, 1983.

Sudarto, Suatu Dilema Dalam Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia, Pusat Study Hukum dan masyarakat, FH UNDIP Semarang, 1974.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni:Bandung, 1986.

B. Peraturan Perundang-Undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian