Pertanggungjawaban Pidana PJTKI dalam kasus Human Trafficking

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PJTKI DALAM KASUS

HUMAN TRAFFICKING

TESIS

Oleh :

DANIEL MARIO SIGALINGGING

047005002/HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PJTKI DALAM KASUS

HUMAN TRAFFICKING

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Dalam Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

DANIEL MARIO SIGALINGGING

047005002/HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PJTKI DALAM KASUS HUMAN TRAFFICKING

N a m a : Daniel Mario Sigalingging

N I M : 047005002

Program Studi : Magister Ilmu Hukum

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH.,MS.) ( Syafruddin S. Hasibuan, SH., MH., DFM.)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan


(4)

Tanggal lulus : 28 Januari 2011

Telah diuji pada


(5)

ABSTRAK

Trafficking merupakan salah satu masalah yang perlu penanganan mendesak

seluruh komponen bangsa. Hal tersebut perlu, sebab erat terkait dengan citra bangsa Indonesia di mata internasional. Apalagi, data Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan ketiga sebagai pemasok perdagangan perempuan dan anak. Suatu tantangan bagi Indonesia untuk menyelamatkan anak bangsa dari keterpurukan. Dalam bidang ketenagakerjaan, pengalaman pahit yang diderita banyak tenaga kerja perempuan yang bekerja di luar negeri sebagai pekerja domestik, sebagaimana diungkapkan media pada akhir-akhir ini, hanya merupakan sebagian penderitaan yang mereka alami karena mereka perempuan. Peristiwa yang lebih memprihatinkan lagi adalah ketika mereka dikirim ke luar negeri untuk menjadi pekerja seksual komersial, tanpa sepengetahuan mereka ketika akan berangkat yang tidak lain akibat ulah PJTKI yang tidak bertanggung jawab.Masalah utama dalam penelitian ini adalah Bagaimana Tindak pidana

perdagangan Tenaga Kerja Wanita (TKW) dalam kasus Human Trafficking oleh

PJTKI. Bagaimana pertanggungjawaban pidana PJTKI dalam kasus perdagangan Tenaga Kerja Wanita serta Bagaimana Upaya Perlindungan Hukum terhadap Tenaga Kerja Wanita dalam kasus Human Trafficking oleh PJTKI

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif.

Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal

research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di

dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan

oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through

judicial process). Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan

menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Sistem pertanggungjawaban pidana pelaku pidana dalam kasus perdagangan anak keluar negeri pada dasarnya masih sama dengan sistem pertanggungjawaban pidana kasus lainnya, yaitu berorientasi pada si pelaku secara pribadi/individual. Jadi menganut sistem pemidanaan atau “pertanggungjawaban individual/ personal”

(“individual/personal responsibility”). Bahwa ancaman hukuman yang berat,

merupakan salah satu cara untuk menghentikan perdagangan orang, akan tetapi bukan jaminan berhentinya transaksi memperdagangkan orang, karena besarnya keuntungan finansial dan bebas pajak dari bisnis tersebut disamping korbannya dalam posisi tawar lemah, karena berada dalam status sosial dan ekonomi lemah. Selama permintaan pasar tetap tinggi, maka ada saja pihak-pihak yang bermain untuk mendapatkan keuntungan dari perdagangan orang.

Kata Kunci:

Pertanggungjawaban Pidana PJTKI


(6)

ABSTRACT

Trafficking is one of the problems that need urgent treatment of all components. It is necessary, because the nation is closely associated with the image of Indonesia in international eyes. Moreover, data of the Ministry of Foreign Affairs of the United States shows that Indonesia ranks third as a supplier of trafficking of women and children. A challenge for Indonesia to rescue the nation from the depression. In the field of employment, the bitter experience suffered by many women workers who work abroad as domestic workers, as disclosed in the media lately, only part of suffering they experience because they are women. Events that more concern is when they are sent abroad to become commercial sex workers, without their knowledge when it will leave the other not due to act of recruiting agents who are not responsible jawab.Masalah major in this research is how the Labor trafficking offenses Women (TKW ) in the case of Human Trafficking by the recruitment agency. How criminal liability in cases of trafficking recruitment agency Manpower Women and How Efforts Labor Protection Law against Human Trafficking of Women in the case by recruitment agency

Juridicial Normative has been used as a method in this research. Normative method evaluation known as doctrinal research that was analitical law whether law as it written in the book, or the law is decided by the judge through judicial process. Research of normative laws based on secondary data and emphasizes the steps of speculative-theoritical and analysis normative-qualitative.

The system of criminal perpetrators of criminal responsibility in cases of child trafficking out of the country is still basically the same as the system of criminal cases, which is oriented toward the offender in person / individual. So the system of punishment or "individual accountability / personal" ("individual / personal responsibility"). That the threat of severe punishment, is one way to stop the trafficking in persons, but not a guarantee of the cessation of trade transactions, due to the huge financial and tax-free profits from the business in addition to his victim in a weak bargaining position, because it is in social and economic status is weak. As long as demand remains high, then there are the parties that play to profit from trafficking in persons.

Keywords:

Criminal Responsibility for recruitment agency Human Trafficking


(7)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala karunia-Nya dan rahmat-Nya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Adapun judul tesis ini adalah: “Pertanggungjawaban Pidana PJTKI dalam kasus Human Trafficking”

Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing Prof. Dr.Alvi Syahrin, SH,MS dan Syafruddin S Hasibuan, SH.MH.DFM., Dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini.

Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,

DTM&H, M.Sc(CTM). Sp.A(K);

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof.Dr.Runtung


(8)

3. Direktur Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan;

4. Ketua Program studi Ilmu Hukum Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH.,MH;

5. Yang Terhormat Almarhum. Prof. Muhammad Daud, SH, sebagai Ketua

Komisi Pembimbing yang semasa hidupnya selalu memotivasi penulis dalam menyelesaikan studi ini, semoga amal ibadah Bapak diterima Allah SWT;

6. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH.MS sebagai Komisi Pembimbing yang telah

banyak memberikan motivasi mulai sejak awal perkuliahan sampai pada akhirnya meja hijau selesai, saran, petunjuk, arahan, bimbingan, dan semangat sehingga studi dan penelitian ini dapat selesai tepat waktu;

7. Bapak Syafruddin S Hasibuan, SH, MH,DFM sebagai Komisi Pembimbing,

dengan penuh perhatian memberikan arahan serta dorongan dalam penulisan tesis ini.

8. Yang terhormat, Kedua Orang Tua Tercinta Ayahanda Drs.W.Sigalingging

dan Ibunda Herta br. Naibaho yang selalu sabar dan berdo’a setiap saat buat penulis dan mendidik dengan penuh rasa kasih sayang, menanamkan budi pekerti yang luhur serta iman kepada Tuhan Yesus.

9. Yang terhormat Kedua Mertua Bapak A.Siregar,SH dan Ibu T.H br.Ritonga,

yang selalu berdo’a dan mendukung penulis dalam setiap kesempatan untuk menyelesaikan tesis ini.

10.Istri ku tercinta Ruth Marina Damayanti Siregar, SH, bersama dengan


(9)

Tuhan dalam setiap langkah dan dalam keadaan apapun juga tidak pernah menunjukkan keluh kesahnya walau ditinggal jauh demi tugas dan untuk menyelesaikan studi ini;

11.Anakkon hi do hamoraon di au, khusus kepada bayiku tersayang Jonathan

Evandrio Sigalingging, penawar lelah dan penyejuk hati, kelahiranmu, mendengar tawa dan tangismu semakin bertambah semangat yang luar biasa bagi Papa dalam menyelesaikan studi ini, kiranya kelak di kemudian hari prestasimu lebih baik lagi dan tetap bertaqwa kepada Tuhan;

12.Saudara-saudara ku, Robert Sigalingging,ST dan Kak Maria, Herman

Sigalingging,SE, Lidya Merlin Sigalingging,SH.,Mkn dan Lae Edward Sitompul, SH, dr.Jubilate Sigalingging juga keponakanku Deka Natanael Sigalingging, Sarah Mutiara Sigalingging, Albert Sitompul, Yohana Sitompul atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan do’a dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini;

13.Ketua Pengadilan Negeri Pasir Pangaraian dan Wakil Ketua Pengadilan

Negeri Pasir Pangaraian, Bapak Isjuaedi, SH.,MH, Bapak Maman Mohammad Ambari, SH.,MH, Bapak Asep Sumirat Danaatmaja, SH.,MH, terimakasih atas dukungan, motivasi dan kebaikannya dalam memberikan ijin kepada saya untuk pulang ke Medan dalam rangka menyelesaikan studi ini;

14.Rekan-rekan Hakim di Pengadilan Negeri Pasir Pangaraian, Bapak K.S.H

Sianipar, SH, Bapak Hendra Utama Sutardodo, SH.,MH, Bapak Hendri Irawan, SH, Bapak Edward Sihombing, SH.,MH, Ibu Mellina Nawang Wulan,


(10)

SH.,MH, Bapak Anggalanton B. Manalu, SH.,MH, Bapak Dicky Ramdhani, SH, terimakasih atas dukungan dan semangatnya selama ini;

15.Seluruh Pegawai dan Staf pada Kantor Pengadilan Negeri Pasir Pangaraian;

16.Kepada teman-teman yang selalu membantu dan mendukung penulis, Bang

Abenk, Bang Daniel Ronald Tambunan, SH.,MHum, Bang Taufik, Bang Ahmad Joe, Bang Toddy, Ibu Chandra Kusuma Barlianti, SH.,MH (makasi ya bu Jaksa atas ide-ide kreatif dan dukungannya selama ini), Bis Medan Jaya, Lion Air, Hotel Pelangi Grand Zuri Group;

17.Kepada Rekan-rekan di Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

USU, Kak Juli, Kak Fika, Kak Fitri dan rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas jasa, amal dan budi baik tersebut dengan pahala yang berlipat ganda.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberi manfaat dan menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan Tesis ini terdapat kekurangan dan kekeliruan di sana-sini, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan Tesis ini.

Medan, 28 Januari 2011

Penulis,


(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : DANIEL MARIO HALASHON SIGALINGGING Tempat/Tanggal Lahir : Sibolga, 24 Maret 1978

Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Protestan

Alamat : Jln. Titi Papan No. 25 Gatot Subroto Medan

Pekerjaan : Hakim di Pengadilan Negeri Pasir Pangaraian-Riau Istri : Ruth Marina Damayanti Siregar, SH

Putra : Jonathan Evandrio Sigalingging

Riwayat Pendidikan : - SD St.Thomas 1 Medan (Lulus Tahun 1990)

-SMP St.Thomas 1 Medan (Lulus Tahun 1993)

-SMA St.Thomas 1 Medan (Lulus Tahun 1996)

-S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan (Lulus Tahun 2002)

-S-2 Program Studi Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan (Lulus Tahun 2011)


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penulisan ... 13

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 13

1. Kerangka Teori ………... 13

2. Landasan Konsepsional ……….. 23

G. Metode Penelitian ... 25

1. Metode Penelitian ………... 25

2. Jenis Penelitian ………... 26

3. Sumber Data Penelitian ……….. 26

4. Teknik Pengumpulan Data ………. 27

5. Metode Analisis Data ………. 28

BAB II : TINDAK PIDANA PERDAGANGAN TENAGA KERJA WANITA (TKW) DALAM KASUS HUMAN TRAFFICKING OLEH PJTKI... 29

A. Ketentuan Pidana Yang Mengatur Tentang Perdagangan Tenaga Kerja Wanita ... 29

B. Tindak Pidana Perdagangan Tenaga Kerja Wanita (TKW) Dalam Kasus Human Trafficking Oleh PJTKI ... 57


(13)

BAB III : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PJTKI DALAM

KASUS PERDAGANGAN TENAGA KERJA WANITA... 75

A. Konsep Pertanggungjawaban Pidana ... 75

B. Pertanggungjawaban Pidana PJTKI dalam Kasus Perdagangan Tenaga Kerja Wanita ... 80

BAB IV : UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA WANITA DALAM KASUS HUMAN TRAFFICKING OLEH PJTKI... 86

A. Sistem Peradilan Pidana dalam Kasus Perdagangan Tenaga Kerja Wanita... 86

B. Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Wanita Dalam Kasus Human Trafficking Oleh PJTKI ... 98

C. Upaya Menanggulangi Perdagangan Tenaga Kerja... 119

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 139

A. Kesimpulan ... 139

B. Saran ... 141


(14)

ABSTRAK

Trafficking merupakan salah satu masalah yang perlu penanganan mendesak

seluruh komponen bangsa. Hal tersebut perlu, sebab erat terkait dengan citra bangsa Indonesia di mata internasional. Apalagi, data Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan ketiga sebagai pemasok perdagangan perempuan dan anak. Suatu tantangan bagi Indonesia untuk menyelamatkan anak bangsa dari keterpurukan. Dalam bidang ketenagakerjaan, pengalaman pahit yang diderita banyak tenaga kerja perempuan yang bekerja di luar negeri sebagai pekerja domestik, sebagaimana diungkapkan media pada akhir-akhir ini, hanya merupakan sebagian penderitaan yang mereka alami karena mereka perempuan. Peristiwa yang lebih memprihatinkan lagi adalah ketika mereka dikirim ke luar negeri untuk menjadi pekerja seksual komersial, tanpa sepengetahuan mereka ketika akan berangkat yang tidak lain akibat ulah PJTKI yang tidak bertanggung jawab.Masalah utama dalam penelitian ini adalah Bagaimana Tindak pidana

perdagangan Tenaga Kerja Wanita (TKW) dalam kasus Human Trafficking oleh

PJTKI. Bagaimana pertanggungjawaban pidana PJTKI dalam kasus perdagangan Tenaga Kerja Wanita serta Bagaimana Upaya Perlindungan Hukum terhadap Tenaga Kerja Wanita dalam kasus Human Trafficking oleh PJTKI

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif.

Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal

research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di

dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan

oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through

judicial process). Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan

menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Sistem pertanggungjawaban pidana pelaku pidana dalam kasus perdagangan anak keluar negeri pada dasarnya masih sama dengan sistem pertanggungjawaban pidana kasus lainnya, yaitu berorientasi pada si pelaku secara pribadi/individual. Jadi menganut sistem pemidanaan atau “pertanggungjawaban individual/ personal”

(“individual/personal responsibility”). Bahwa ancaman hukuman yang berat,

merupakan salah satu cara untuk menghentikan perdagangan orang, akan tetapi bukan jaminan berhentinya transaksi memperdagangkan orang, karena besarnya keuntungan finansial dan bebas pajak dari bisnis tersebut disamping korbannya dalam posisi tawar lemah, karena berada dalam status sosial dan ekonomi lemah. Selama permintaan pasar tetap tinggi, maka ada saja pihak-pihak yang bermain untuk mendapatkan keuntungan dari perdagangan orang.

Kata Kunci:

Pertanggungjawaban Pidana PJTKI


(15)

ABSTRACT

Trafficking is one of the problems that need urgent treatment of all components. It is necessary, because the nation is closely associated with the image of Indonesia in international eyes. Moreover, data of the Ministry of Foreign Affairs of the United States shows that Indonesia ranks third as a supplier of trafficking of women and children. A challenge for Indonesia to rescue the nation from the depression. In the field of employment, the bitter experience suffered by many women workers who work abroad as domestic workers, as disclosed in the media lately, only part of suffering they experience because they are women. Events that more concern is when they are sent abroad to become commercial sex workers, without their knowledge when it will leave the other not due to act of recruiting agents who are not responsible jawab.Masalah major in this research is how the Labor trafficking offenses Women (TKW ) in the case of Human Trafficking by the recruitment agency. How criminal liability in cases of trafficking recruitment agency Manpower Women and How Efforts Labor Protection Law against Human Trafficking of Women in the case by recruitment agency

Juridicial Normative has been used as a method in this research. Normative method evaluation known as doctrinal research that was analitical law whether law as it written in the book, or the law is decided by the judge through judicial process. Research of normative laws based on secondary data and emphasizes the steps of speculative-theoritical and analysis normative-qualitative.

The system of criminal perpetrators of criminal responsibility in cases of child trafficking out of the country is still basically the same as the system of criminal cases, which is oriented toward the offender in person / individual. So the system of punishment or "individual accountability / personal" ("individual / personal responsibility"). That the threat of severe punishment, is one way to stop the trafficking in persons, but not a guarantee of the cessation of trade transactions, due to the huge financial and tax-free profits from the business in addition to his victim in a weak bargaining position, because it is in social and economic status is weak. As long as demand remains high, then there are the parties that play to profit from trafficking in persons.

Keywords:

Criminal Responsibility for recruitment agency Human Trafficking


(16)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PJTKI DALAM KASUS HUMAN TRAFFICKING

A. Latar Belakang

Masyarakat yang religius dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) tentunya tetap diperhatikan di dalam era kemerdekaan. Bangsa Indonesia terus meningkatkan komitmennya untuk mensejahterakan kehidupan bangsa melalui upaya-upaya yang diselenggarakan secara konsisten dan berkelanjutan dalam melindungi warga negaranya antara lain dari praktek-praktek perdagangan orang dan bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.

Di masa lalu, perdagangan orang hanya dipandang sebagai pemindahan secara paksa ke luar negeri untuk tujuan prostitusi. Jumlah konvensi terdahulu mengenai perdagangan manusia hanya memfokuskan aspek ini. Namun seiring dengan perkembangan zaman, perdagangan didefenisikan sebagai pemindahan, khususnya perempuan dan anak dengan atau tanpa persetujuan orang yang bersangkutan di dalam suatu negara atau ke luar negeri untuk semua perburuhan yang eksploitatif, tidak hanya prostitusi.1

Trafficking merupakan salah satu masalah yang perlu penanganan mendesak

seluruh komponen bangsa. Hal tersebut perlu, sebab erat terkait dengan citra bangsa Indonesia di mata internasional. Apalagi, data Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan ketiga sebagai pemasok

1


(17)

perdagangan perempuan dan anak. Suatu tantangan bagi Indonesia untuk menyelamatkan anak bangsa dari keterpurukan.2

Permasalahan pedagangan orang memang merupakan permasalahan yang sangat kompleks yang tidak lepas dari faktor-faktor ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang berkaitan erat dengan perdagangan perempuan bahkan dijadikan sebagai

bagian dari kebijakan politik perburuhan Cheap Labour yang di manfaatkan untuk

menekan biaya produksi sehingga cenderung dieksploitasi.

Trafficking merupakan salah satu jalur terjadinya perdagangan orang yang

korbannya rata-rata berada di bawah garis kemiskinan, khususnya perempuan. Apalagi, hingga saat ini posisi perempuan masih termarjinalisasi, tersubordinasi yang secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi kondisi perempuan.

Situasi semacam ini merupakan santapan sindikat perdagangan orang yang sudah terorganisir untuk melakukan perekrutan. Bahkan nyaris jauh dari jangkauan hukum, karena sindikatnya diawali dengan transaksi hutang piutang antara pemasok tenaga kerja illegal dengan korban yang mempunyai anak perempuan yang masih perawan, sehingga jika korban tidak mampu untuk menyelesaikan transaksi yang telah disepakati, maka agunan adalah anak perempuan yang bau kencur, bisa saja untuk dipekerjakan atau dijadikan pekerja seksual .3

Pemberitaan tentang perdagangan Tenaga Kerja Wanita, pada beberapa waktu terakhir ini di Indonesia makin marak, baik dalam lingkup domestik maupun yang telah bersifat lintas batas negara. Perdagangan Tenaga Kerja Wanita yang menonjol

2

Ibid, hal 2 3


(18)

terjadi dikaitkan dengan kegiatan industri seksual, menjadi perhatian masyarakat melalui media massa pada beberapa tahun terakhir ini. Tentu saja sama sekali hal ini tidak dapat disimpulkan bahwa sebelumnya fenomena ini tidak terjadi. Kemungkinan terjadi dalam skala yang kecil, atau dalam suatu kegiatan yang terorganisasi dengan sangat rapi, merupakan sebagian dari alasan yang membuat berita-berita perdagangan orang ini belum menarik media massa pada masa lalu.

Perdagangan orang memang bukanlah suatu hal yang baru di muka bumi ini, bahkan negara-negara yang kini dianggap sebagai negara besar pada awalnya banyak berhutang pada penduduk negara miskin dan lemah, yang dibawa secara paksa untuk bekerja di perkebunan ataupun pabrik. Masalah perbudakan merupakan sejarah hitam umat manusia, yang bahkan juga telah direkam dalam kitab-kita suci. Sejarah juga telah mencatat berbagai peperangan yang disebabkan karena isu perbudakan, misalnya yang terjadi antara Amerika Utara dan Selatan pada abad-abad lalu.4

Seperti halnya kondisi perdagangan orang yang terjadi di dunia, untuk Indonesia sendiri, informasi yang disampaikan baik oleh media massa maupun penelitian-penelitian yang dilakukan di lembaga pendidikan dan LSM menunjukkan bahwa sebagian besar korban perdagangan orang adalah perempuan sebagai Tenaga Kerja Wanita. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa perilaku tidak adil terhadap perempuan merupakan ancaman terus menerus bagi mereka di manapun di dunia, utamanya di negara-negara berkembang. Kini masalahnya semakin serius karena perdagangan perempuan juga terjadi di berbagai belahan dunia. Pada dasarnya

4

Muslim Harahap., (Medan : Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari tentang PerlindunganAnak, Februari 2006), hal. 3


(19)

masalah yang sangat berkenaan dengan perdagangan orang khususnya perdagangan perempuan, adalah konstruksi sosial tentang perempuan, dan ini adalah masalah perekonomian (rendahnya tingkat sosial ekonomi) khususnya dalam negara-negara berkembang sehingga mereka menjadi Tenaga Kerja Wanita.

Perilaku terhadap perempuan sebagai Tenaga Kerja Wanita pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari masalah yang berkenaan dengan konstruksi sosial masyarakat setempat terhadap posisi dan peran perempuan. Dalam tatanan yang lebih luas, berbagai peristiwa yang terjadi dewasa ini telah cukup kiranya untuk menunjukkan bahwasanya diskriminasi terhadap perempuan bukan hanya dijumpai dalam novel dan di negara-seberang atau antah berantah, tapi juga terjadi di Indonesia.5

Hal yang berkenaan dengan kondisi perekonomian Indonesia sebagai bagian dari negara-negara berkembang. Mayoritas populasi dengan tingkat pendidikan rendah, membatasi bentuk-bentuk pekerjaan yang menghasilkan upah yang layak. Di wilayah pedesaan, lahan pertanian yang makin lama makin menipis membuat pekerjaan sebagai petani juga jauh berkurang, seperti pula sebagai nelayan karena tingginya persaingan yang tidak seimbang dengan kapal pencari ikan besar dan juga

trawls yang menguasai lautan, menjadi terpinggirkan. Dalam kondisi perekonomian

yang lemah, konstruksi masyarakat yang ada akhirnya juga menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih tidak menguntungkan dibandingkan dengan laki-laki.

Rendahnya pasaran kerja yang diakibatkan oleh rendahnya tingkat perekonomian di wilayah rural, telah mendorong terjadinya tingkat urbanisasi yang

5


(20)

tinggi, antara lain karena kota dipersepsikan sebagai suatu tempat dimana pekerjaan mudah dicari. Sebagai akibatnya, berbagai upaya dilakukan untuk merekrut perempuan (khususnya perempuan muda dan anak perempuan) dari wilayah pedesaan untuk bekerja di wilayah perkotaan. Walau awalnya memang sungguh-sungguh kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan lapangan kerja yang legal untuk mereka, akan tetapi maraknya industri seks di perkotaan dan tempat-tempat lain meningkatkan terjadinya pemasokan perempuan-perempuan muda, utamanya ke rumah-rumah pelacuran.

Kondisi semacam ini bukan hanya terjadi antara desa dan kota (urbanisasi), namun juga sudah terjadi secara lintas negara (trans-nasional). Dalam bidang ketenagakerjaan, pengalaman pahit yang diderita banyak tenaga kerja perempuan yang bekerja di luar negeri sebagai pekerja domestik, sebagaimana diungkapkan media pada akhir-akhir ini, hanya merupakan sebagian penderitaan yang mereka alami karena mereka perempuan. Peristiwa yang lebih memprihatinkan lagi adalah ketika mereka dikirim ke luar negeri untuk menjadi pekerja seksual komersial, tanpa sepengetahuan mereka ketika akan berangkat yang tidak lain akibat ulah PJTKI yang tidak bertanggung jawab.

Hal yang disebut terakhir ini merupakan salah satu bagian dari kegiatan yang disebut sebagai perdagangan orang (trafficking in person). Sayang sekali data yang komprehensif dan akurat mengenai perdagangan orang yang terjadi di Indonesia belum pernah dicatat dengan seksama, terutama karena sulitnya mendeteksi fenomenon yang tentu saja dilakukan secara sembunyi-sembunyi ini atau tersusun rapi dalam jaringan mafia perdagangan orang.


(21)

Protokol Perserikatan Bangsa-bangsa untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan manusia, khususnya pada wanita dan anak-anak (salah satu dari tiga “protokol palermo), mendefinisikan perdagangan manusia sebagai: Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksanaan, penculikan, penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan exploitasi. Exploitasi termasuk, paling tidak, exploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk bentuk lain dari exploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh.6

Perdagangan orang keluar negeri adalah merupakan tindak pidana, artinya perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.7

Eksploitasi tenaga kerja ini menjerumuskan para tenaga kerja pada sistem kerja tanpa upah yang jelas, tanpa ada syarat-syarat kerja, tanpa perlindungan kerja dan sebagainya layaknya kerja paksa.8

6

Pusaka Indonesia, Majalah Gempita, Medan,Vol.3, 2005, hal 4. 7

Moeljatno,1983, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hal.54. 8

Makalah Agusmidah, Tekad Memberantas Perdagangan Perempuan dan Anak Dengan Memberi Advokasi Penegakan Hukum Melalui UU No. 21 Tahun 2007, Makalah disampaikan pada acara Dialog Interaktif yang diselenggarakan oleh IKA FH. USU Medan, 30 Agustus 2007 di FH USU Medan, hal 1.


(22)

Pemberantasan Perdagangan orang juga tidak terlepas dari peran serta Keimigrasian RI, karena yang menjadi tugas pokok dan fungsi imigrasi adalah melakukan pelayanan terhadap lalu lintas orang baik WNI maupun orang asing serta pengawasan terhadap keberadaan dan kegiatan orang asing di Indonesia.9

Dalam konteks pelayanan terhadap lalu lintas WNI adalah menyangkut keberangkatan orang Indonesia yang akan bepergian ke luar negeri maupun yang tiba kembali dari luar negeri. Lazimnya dalam tata pergaulan internasional, maka seseorang dapat bepergian dan masuk ke wilayah suatu negara adalah dengan menggunakan paspor dan di Indonesia instansi yang berwenang mengeluarkan paspor adalah instansi imigrasi bilamana berkaitan dengan paspor biasa, bila berkaitan dengan surat dinas maupun diplomatik maka paspor dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri, sedangkan bila berkaitan dengan penunaian ibadah haji, maka paspor dikeluarkan oleh Departemen Agama. Berbagai maksud dan tujuan keluar negeri salah satunya adalah untuk bekerja atau lazim disebut dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Banyak faktor yang mengakibatkan Warga Negara Indonesia bekerja ke luar negeri dan pada umumnya mereka berkerja di sektor non formal karena memiliki latar belakang pendidikan yang kurang memadai. Pada umumnya yang melatarbelakangi TKI yang kebanyakan wanita atau sebut saja Tenaga Kerja Wanita bekerja baik di sektor formal maupun disektor infomal tersebut disebabkan oleh

karena adanya push factor dan pull factor. Push factor yang dimaksud adalah

sulitnya mencari lapangan kerja di tanah air dan upah yang relatif tinggi di

9

Makalah Sahat Parulian Manik, Pengawasan dan Kebijakan Terhadap Administrasi Pembuatan Paspor Imigrasi, Makalah disampaikan pada acara Dialog Interaktif yang diselenggarakan oleh IKA FH. USU Medan, 30 Agustus 2007 di FH USU Medan, hal. 2.


(23)

negara lain berperan sebagai pull factor. Di sinilah peranan PJTKI yang memposisikan sebagai penyalur yang semestinya mempu untuk meminimalisir tindakan-tindakan yang bertentang dengan hukum, bukan malahan menjadi pendukung pelanggaran hukum dalam hal penyalur tenaga kerja wanita yang terindikasi berkaitan dengan perdagangan orang yang mesti harus diberantas.

Pada tataran politis pemerintah telah menunjukkan keseriusan untuk menghapuskan perdagangan orang termasuk perdagangan tenaga kerja, hal ini terbukti dengan telah diratifikasinya konvensi-konvensi internasional dan menuangkannya dalam peraturan nasional Indonesia, walau dalam tataran praktis instrumen hukum ketenagakerjaan sejauh ini masih memberi celah bagi perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi pekerja maupun dalam lembah prostitusi. Celah tersebut baik berasal dari peraturan perundang-undangan yang secara substansi masih belum jelas dan tegas, juga dari segi penegakannya masih parsial/ sektoral sebaiknya

dilakukan kerjasama terpadu antar instansi.10 Dan ada juga elemen yang tidak

terlepas dari perdagangan orang yaitu orang yang terdekat dengan korban, jaringan mata rantai (sindikat, agen, dan sebagainya) serta termungkinkan adanya kerjasama dengan pejabat publik.11

Perdagangan manusia untuk tenaga kerja (trafficking in Persons for labor) merupakan masalah yang sangat besar.12

10

Makalah Sahat Parulian Manik, Op.Cit, hal. 19. 11

Makalah Baldwin Simatupang, Perdagangan Perempuan dan Anak Dalam Perspektif HAM, Makalah disampaikan pada acara Dialog Interaktif yang diselenggarakan oleh IKA FH. USU Medan, 30 Agustus 2007 di FH USU Medan, hal. 6.

12

Jane Morse, Forced Labor a Growing Problem Worldwide, U.S. Officials Say Traficked labor estimated to generate $9.5 billion, USINFO Staff Writer,


(24)

”traficking in persons for labor may not attract as much publicity as traficking in persons for sex, but it is a huge problem...”

Data perdagangan manusia di Indonesia sejak 1993-2003 menunjukkan bahwa perdagangan manusia dengan modus menjanjikan pekerjaan banyak terjadi dan ini dialami oleh kalangan perempuan dan anak-anak.13

Dampak yang dialami para korban perdagangan manusia beragam, umumnya masuk dalam jurang prostitusi (PSK), eksploitasi tenaga kerja dan sebagainya. Sedangkan dari sisi Pelaku umumnya dilakukan oleh agen penyalur tenaga kerja dengan modus janji memberikan pekerjaan dan dilakukan baik secara pasif (dengan iklan lowongan pekerjaan) maupun dengan aktif (langsung ke rumah-rumah

penduduk) merekrut mereka yang memang mengharapkan pekerjaan.14

Eksploitasi tenaga kerja ini menjerumuskan para tenaga kerja pada sistem kerja tanpa upah yang jelas, tanpa ada syarat-syarat kerja, tanpa perlindungan kerja dan sebagainya layaknya kerja paksa. Hasil studi International Labour Organization (ILO) menunjukkan bahwa di dunia sekitar 12,3 juta orang terjebak dalam kerja paksa. Dari jumlah itu, sekitar 9,5 juta pekerja paksa berada di Asia sebagai wilayah pekerja paksa yang paling besar. Sisanya, tersebar sebanyak 1,3 juta di Amerika Latin dan Karibia, 660 ribu orang di sub-Sahara Afrika, 260 ribu orang di Timur Tengah dan Afrika Utara, 360 ribu di negara industri, dan 210 ribu orang di

http://usinfo.state.gov/xarchives/display.html?p=washfile-english&y=2007&m=July&x=20070723135828mjesrom0.5709955 13

Data Perdagangan Manusia di Indonesia dalam www.lfip.org/report/trafickingdata in Indonesia table pdf

14


(25)

negara transisi. Dari korban kerja paksa itu 40-50 persennya merupakan anak-anak yang berusia dibawah 18 tahun.15

Perdagangan manusia semakin marak dikarenakan keuntungan yang diperoleh pelakunya sangatlah besar, bahkn menurut PBB perdagangan manusia ini adalah sebuah perusahaan kriminal terbesar ketiga tingkat dunia yang menghasilkan sekitar 9,5 juta USD dalam pajak tahunan, selain itu perdagangan manusia juga merupakan salah satu perusahaan kriminal yang paling menguntungkan dan sangat terkait dengan

pencucian uang (money laundering) perdagangan narkoba, pemalsuan dokumen dan

penyelundupan manusia. Menurut hasil studi ILO keuntungan yang diperoleh dari perempuan, laki-laki dan anak-anak yang diperdagangkan diperkirakan mencapai 32 miliar US dollar setiap tahunnya. Keuntungan yang diambil dari pekerja paksa yang diperdagangkan itu setiap orangnya kurang lebih sebesar 13 dollar AS. sehingga, dalam satu tahun keuntungan yang diperoleh bisa mencapai 32 miliar dolar AS.

Eksploitasi tenaga kerja itu tidak hanya terjadi di sektor informal tapi juga terdapat di berbagai sektor, misalnya pertanian, konstruksi, pembuatan bata, bengkel dan manufaktur. Pada umumnya terjadi di negara yang sedang berkembang. Kerja paksa tersebut kemungkinan besar terjadi di wilayah dengan pengawasan ketenagakerjaan yang tidak memadai antara lain terhadap agen penyalur tenaga kerja dan sistem sub kontrak.

15

Dalam Laporan Unicef tahun 1998 diperkirakan jumlah anak yang tereksploitasi seksual atau dilacurkan di Indonesia mencapai 40.000 s/d 70.000 anak tersebar di 75.106 tempat di seluruh wilayah Indonesia. Sebuah dokumen, yakni Traficking in Person Report yang diterbitkan oleh Deplu AS dan ESCAP juga telah menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga atau terendah dalam upaya penanggulangan trafficking perempuan dan anak. Lihat dalam www.elsam.or.id, Perdagangan Manusia Dalam Rancangan KUHP.


(26)

Negara Indonesia lebih dari satu dekade ini telah menjadi negara pemasok tenaga kerja terbesar kedua di dunia setelah Filipina. Sekitar 72 persen pekerja migran tersebut berjenis kelamin perempuan. Tenaga kerja asal Indonesia itu, 90 persennya bekerja sebagai pekerja rumah tangga di negara Malaysia, Singapura, Hongkong,

Taiwan, Korea Selatan, dan Timur Tengah.16 Dengan demikian perdagangan tenaga

kerja perempuan dan anak sangat mungkin dialami warga negara Indonesia.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana Tindak pidana perdagangan Tenaga Kerja Wanita (TKW) dalam kasus Human Trafficking oleh PJTKI

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana PJTKI dalam kasus perdagangan Tenaga Kerja Wanita

3. Bagaimana Upaya Perlindungan Hukum terhadap Tenaga Kerja Wanita dalam kasus Human Trafficking oleh PJTKI

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui tindak pidana perdagangan tenaga kerja wanita dalam kasus

Human Trafficking oleh PJTKI.

16


(27)

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana PJTKI dalam kasus perdagangan tenaga kerja wanita.

3. Untuk mengetahui upaya perlindungan hukum terhadap TKW dalam kasus

Human Trafficking oleh PJTKI.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi dibidang ilmu hukum bagi kalangan akademis untuk mengetahui dinamika masyarakat dan perkembangan hukum pidana serta proses penanganannya, khususnya masalah perlindungan hukum terhadap tenaga kerja wanita yang kerap kali terjadi pada perdagangan manusia. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata peraturan hukum dalam penanggulangan tindak pidana human trafficking oleh PJTKI terhadap tenaga kerja wanita.

2. Secara Praktis

Manfaat penelitian ini secara praktis sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, Lembaga Pemasyarakatan, Advokat) dalam

sistem peradilan pidana (criminal justice system) dalam menangani permasalahan

hukum terhadap tenaga kerja wanita dalam kasus human trafficking oleh PJTKI,


(28)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang Upaya Perlindungan

Hukum Terhadap Tenaga Kerja Wanita Dalam Kasus Human Trafficking oleh PJTKI

belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang tindak pidana perdagangan manusia. Namun jelas berbeda. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Hukum akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya, sedangkan dilain pihak efektifitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan pembentukan undang-undang.17

17

Lihat, Hikmahanto Juwana, Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia, Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, sub tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu 14 Agustus 2004.


(29)

Selanjutnya, Bismar Nasution melihat bahwa untuk memprediksi efektifitas suatu kaedah hukum yang terdapat dalam undang-undang tidak terlepas dari sistem hukum yang rasional, karena pada sistem hukum rasional yang memberikan panduan

adalah hukum itu sendiri bukan sistem hukum yang karismatik yang disebut law

prophet. Sistem hukum yang rasional dielaborasi melalui sistem keadilan yang secara profesional disusun oleh individu-individu yang mendapatkan pendidikan hukum,

cara demikian membuat orang terhindar dari penafsiran hukum secara black letter

rules atau penafsiran legalistic.18 Kaedah hukum tersebut ada yang berwujud sebagai

peraturan-peraturan tertulis, keputusan pengadilan maupun

keputusan-keputusan lembaga-lembaga kemasyarakatan.19 Pemikiran tentang sistem hukum

rasional yang dikemukakan oleh Bismar Nasution ini pada dasarnya dielaborasi dari

pemikiran Max Weber yang terkenal dengan teori Ideal Type-nya. Dalam hukum ada

empat type ideal, yaitu yang irrasional formal, irrasional materiel, rasional formal (dalam masyarakat modern dengan mendasarkan konsep-konsep ilmu hukum) dan rasional materiel.20

Lain halnya dengan teori sociological jurisprudence dari Eugen Ehrlich yang menekankan hukum pada kenyataannya (realitas) dari pada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat, prinsip teori ini hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, konsep teori ini menunjukkan

18

Lihat, Bismar Nasution, Hukum Rasional Untuk Landasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, sub tema: Reformasi Agraria mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu 14 Agustus 2004, hal. 8

19

Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Edisi Baru, Raja Grafindo Persada, Jakarta,2001, hal. 3

20


(30)

adanya kompromi antara hukum yang tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum

demi kepastian hukum dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap

pentingnya peran masyarakat dalam pembentukan dan orientasi hukum.21 Aktualisasi

dari living law tersebut bahwa hukum tidak dilihat dalam wujud kaedah melainkan dalam masyarakat itu sendiri.

Penerapan suatu sistem hukum rasional dalam sistem peradilan pidana

(criminal justice system) tentunya memberikan dampak pada proses penegakan

hukum di Indonesia terutama dalam hal kebijakan pemberlakuan hukum, seperti efektivitas Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang walaupun pada hakekatnya memiliki muatan politis yang diinginkan oleh pembuat Undang-undang dan masyarakat internasional, hal ini sejalan dengan pendapat Antony Allott yang menyatakan bahwa pembuatan hukum yang kilat atau tergesa-gesa akan dapat mengakibatkan hukum menjadi tidak efektif,

yang pada gilirannya membuat apa yang diinginkan hukum itu tidak tercapai.22

Sedangkan Soerjono Soekanto melihat efektivitas suatu kaedah hukum pada tatanan penegakan hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya merupakan penerapan kebijakan yang menyangkut membuat keputusan yang secara ketat tidak diatur oleh kaedah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya direksi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit), hal ini

21

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 79

22

Lihat Antony Allot, The Efectiveness of Law, Valparaiso University Law Review, (vol.15 Wiater,1981), hal. 233 dalam Bismar Nasution. Ibid, hal. 4


(31)

sebagaimana pendapat Roscoe Pound.23 Meski dari hari ke hari aturan mesti direvisi

guna dapat menyalurkan nilai keadilan, kepastian hukum serta kemanfaatan bagi masyarakat.

Sebelum membahas permasalahan diatas maka akan terlebih dahulu dikemukakan beberapa pengertian yang terkait erat dengan pembahasan ini antara lain :

1) Perdagangan orang/ Human Trafficking

Pada mulanya belum ada rumusan yang memadai tentang Human

Trafficking, penggunaan yang paling mungkin untuk menunjukkan bahwa

tindakan perdagangan orang tersebut adalah sebuah kejahatan tersebut tersebar dalam berbagai undang-undang. Misalnya KUHP, Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-undang Buruh Migran, dan lain-lain. Karena itu, upaya memasukkan jenis kejahatan ini ke dalam perundang-undangan di Indonesia adalah langkah positif.24 Namun setelah lahirnya Undang-Undang

No. 21 Tahun 2007 Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,

23

Lihat Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grapindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 7

24

Dalam Laporan Unicef tahun 1998 diperkirakan jumlah anak yang tereksploitasi seksual atau dilacurkan di Indonesia mencapai 40.000 s/d 70.000 anak tersebar di 75.106 tempat di seluruh wilayah Indonesia. Sebuah dokumen, yakni Traficking in Person Report yang diterbitkan oleh Deplu AS dan ESCAP juga telah menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga atau terendah dalam upaya penanggulangan trafficking perempuan dan anak. Lihat dalam www.elsam.or.id, Perdagangan Manusia Dalam Rancangan KUHP dalam Agusmidah Makalah disampaikan dalam acara Dialog Interaktif tentang “Tekad Memberantas Perdagangan Perempuan dan Anak Dengan Memberi Advokasi Penegakan Hukum Melalui UU No. 21 Tahun 2007. Diselenggarakan oleh IKA FH USU Medan, 30 Agustus 2007 di FH USU Medan hal.2.


(32)

penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga, memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan negara atau antar negara tersebut, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi

2) Perdagangan Tenaga Kerja/ Trafficking in Person for Labor

Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum maka bekerjanya sistem peradilan pidana (criminal justice system) menjadi prioritas utama dalam bidang penegakan hukum. Oleh sebab itu diperlukan keterpaduan antara sub sistem-sub sistem di dalam criminal justice system guna menanggulangi meningkatnya kualitas maupun kuantitas kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tujuan dari sistem peradilan pidana adalah:

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi lagi kejahatannya.25

Istilah “criminal justice system” menunjukkan mekanisme kerja dalam

penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.26

Remington dan Ohlin mengemukakan:

25

Lihat, Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hal. 84-85


(33)

Criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme pendekatan sistem mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem peradilan pidana merupakan suatu interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sikap itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasan”.27

Istilah sistem dari bahasa yunani “systema” yang mempunyai pengertian suatu

keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian whole compounded of several

parts.28 Secara sederhana sistem ini merupakan sekumpulan unsur-unsur yang saling

berkaitan untuk mencapai tujuan bersama, yang tersusun secara teratur dan saling berhubungan dari yang rendah sampai yang tinggi. Stanford Optner menyebutkan bahwa sistem tersusun dari sekumpulan komponen yang bergerak bersama-sama

untuk mencapai tujuan keseluruhan.29 Hagan membedakan pengertian antara

“criminal justice process” dan “criminal justice system” yang pertama adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan yang kedua adalah

26

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Presfektif Eksistensialisme dan Abolisianisme, Binacipta, Bandung, 1996, hal.14

27

Ibid, hal.4 28

Stanford Optner, System Analysis for Business Management, Prentice Hall, Inc., New York, 1968,hal.3, dalam Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Rajawali, Cet.1. Jakarta, 1986, hal.5

29


(34)

interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan.30

Criminal justice system pada hakikatnya merupakan sistem yang berupaya

menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara, masyarakat maupun individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban

kejahatan. Sub sistem yang harus bekerja sama di dalam criminal justice system

untuk menanggulangi tindak pidana perdagangan orang keluar negeri adalah:

a. DPR-RI

b. Presiden RI

c. BAPPENAS (Badan Perencana Pembangunan Nasional)

d. Kementrian Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat

e. Kementrian Pemberdayaan Perempuan

f. Departemen Pendidikan Nasional

g. Departemen Sosial

h. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata

i. Departemen Kesehatan

j. Departemen Tenaga Kerja

k. Departemen Perhubungan

l. Biro Pusat Statistik

m. Direktorat Jendral Imigrasi

n. Kepolisian

o. Kejaksaan

30


(35)

p. Pengadilan

q. Lembaga Pemasyarakatan

Untuk poin n,o,p,q diatas dapat diartikan sebagai sistem peradilan pidana

(criminal justice system) dalam penegakan hukum pidana pada umumnya,31 namun

penulis berpendapat bahwa dalam upaya perlindungan hukum terhadap tenaga kerja wanita dalam kasus human trafficking oleh PJTKI, maka poin a,b,c,d,e,f,g,h,i,j,k,l dan m merupakan bagian sub sistem peradilan pidana yang turut membantu penegakan hukum pidana mengenai perdagangan orang.

Penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana (criminal justice

system) itu sendiri pada hakikatnya merupakan bagian dari politik kriminal yang

menjadi bagian integral dari kebijakan sosial. Politik kriminal ini merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.32

Sehubungan dengan penegakan hukum pidana ini, maka Lawrence M.

Friedman yang mengkaji dari sistem hukum (legal system) menyatakan bahwa ada

tiga komponen yang ikut menentukan berfungsinya suatu hukum (dalam hal ini hukum pidana), yaitu struktur hukum (structure), substansi hukum (substance), dan

budaya hukumnya (legal culture). Dari ketiga komponen inilah menurut Friedman

kita dapat melakukan analisis terhadap bekerjanya hukum sebagai suatu sistem.33

Dari uraian yang dikemukakan Friedman ini nampak bahwa unsur structure

dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi yang diciptakan oleh sistem

31

Lihat, Mardjono Reksodiputro,Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana,Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hal.141.

32

Lihat, Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hal.99 33

Lihat, Lawrence Friedmen, America Law An Introduction, sebagaimana diterjemahkan oleh Wisnu Basuki PT Tatanusa, Jakarta, 1984, hal.6-7.


(36)

hukum tersebut dengan berbagai fungsinya dalam rangka bekerjanya sistem tersebut. Salah satu diantara lembaga tersebut adalah pengadilan. Sedangkan komponen

substance mencakup segala apa saja yang merupakan hasil dari structure, di

dalamnya termasuk norma-norma hukum baik yang berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan, maupun doktrin-doktrin. Lebih jauh Friedman mengatakan bahwa apabila sedikit direnungkan maka sistem hukum itu bukan hanya terdiri atas structure dan substance. Masih diperlukan adanya unsur ketiga untuk bekerjanya suatu sistem hukum yaitu budaya hukum.

Kerangka teori dalam menelaah peran serta criminal justice system terhadap

upaya perlindungan hukum terhadap tenaga kerja wanita dalam kasus human

trafficking oleh PJTKI dalam tatanan legal substance dapat dilihat dari rumusan Mochtar Kusumaatmadja, bahwa hukum adalah sarana pembangunan yaitu sebagai alat pembaharuan dan pembangunan. Mengingat fungsinya, sifat hukum pada dasarnya konservatif. Artinya hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah dicapai. Selain itu hukum harus dapat membantu proses perubahan pembangunan masyarakat tersebut.34

Berdasarkan teori diatas, peran criminal justice system pada upaya

perlindungan hukum terhadap tenaga kerja wanita dalam kasus human trafficking

oleh PJTKI harus didasarkan pada pencapaian usaha untuk melakukan pemberantasan

dan penanggulangan tindak pidana perdagangan orang dengan mengarahkan secara integrated (terpadu) seluruh komponen perangkat aturan kriminalisasi perdagangan

34

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dan Pembangunan, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan Bekerjasama dengan PT. Alumni, Bandung, 2002, hal.13 dan 74


(37)

orang yang terbungkus oleh PJTKI dan aparatur penegak hukum dalam sistem peradilan pidana. Peranan perangkat aturan perdagangan orang dalam hukum positif (Undang-undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Perdagangan Orang, KUHP dan peraturan perundangan lainnya) harus lebih diorientasikan kepada realitasnya dan bukan menempatkan kedudukan dan fungsi hukum positif itu dalam masyarakat. Keberlakuan hukum positif ini harus sesuai dengan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat, apabila peran criminal justice system lebih diarahkan pada upaya pencapaian penanggulangan sebelum dan sesudah kejahatan perdagangan manusia keluar negeri terjadi.

Dapat dikemukakan bahwa trafficking yang dimaksud ini menurut UU No 21 Tahun 2007 Pasal 1 angka (1) adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan penjeratan utang, aau memberi bayaran atau manfaat sehingga, memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan negara atau antar negara tersebut, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.35

Khusus terhadap tuntutan pidana kepada para pelaku kejahatan perdagangan orang, tentu punya warna tersendiri yang harus memiliki daya cegah yang kuat dan berdampak jera, karena terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang ini, Undang-undang RI.No.21 tahun 2007 mencantumkan ancaman pidana penjara

35

Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang


(38)

minimum dan pidana denda minimum terhadap semua delik, sehingga dengan demikian diharapkan semangat optimalisasi tuntutan pidana terhadap pelaku kejahatan perdagangan orang dapat diakomodir36

2. Landasan Konsepsional

Bagian landasan konsepsional ini, akan dijelaskan hal-hal yang berkenaan dengan konsep yang digunakan oleh peneliti dalam penulisan tesis ini. Konsep adalah suatu bagian yang terpenting dari perumusan suatu teori. Peranan konsep pada dasarnya dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi (generalisasi) dan realitas. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus yang disebut dengan defenisi operasional. Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian antara penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian tesis ini.

Dalam penelitian ini ada dua variabel, yakni: Pertama, Perlindungan Hukum

terhadap Tenaga Kerja Wanita. Kedua, Human Trafficking (Perdagangan Manusia)

oleh PJTKI. Dari kedua variabel ini akan dijelaskan pengertian masing-masing sebagai berikut:

1. Perlindungan Hukum terhadap Tenaga Kerja Wanita

36

Makalah Maju Ambarita SH,MH. Kendali dan Pedoman Tuntutan Pidanaterhadap Pelaku Kejahatn Perdagangan Orang. Makalah disampaikan pada acara Dialog Interaktif yang diselenggarakan oleh IKA FH. USU Medan, 30 Agustus 2007 di FH USU Medan, hal. 6.


(39)

Analisis hukum pidana merupakan sebuah proses menganalisa ketentuan-ketentuan hukum pidana yang ada beserta segala sesuatu yang terkait didalamnya. Ketentuan hukum pidana ini juga mempunyai pengertian yang berdekatan dengan sistem peradilan pidana yaitu sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan dalam arti sebagai usaha guna mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.37

Salah satu aspek hukum pidana yang menarik dibandingkan dengan bidang hukum lainnya ialah, bahwa hukum pidana mengandung sifat kontradiktif, dualistik, atau paradoksal. Di satu pihak hukum pidana bermaksud melindungi kepentingan/ benda hukum dan hak asasi manusia dengan merumuskan norma-norma perbuatan yang terlarang, namun di lain pihak hukum pidana menyerang kepentingan hukum/ HAM seseorang dengan menggunakan sanksi (pidana/ tindakan) kepada si pelanggar norma. Sifat paradoksal dari hukum pidana ini sering digambarkan dengan ungkapan

yang sangat terkenal: “Rechts guterschutz durch Rechtsguterverletzung

(“Perlindungan benda hukum melalui penyerangan benda hukum”,). Oleh karena itu

sering dikatakan, bahwa ada sesuatu yang menyedihkan (tragic) dalam hukum

pidana, sehingga hukum pidana sering dinyatakan pula sebagai “pedang bermata dua”. 38

2. Human Trafficking (Perdagangan Orang) oleh PJTKI

Perdagangan orang keluar negeri disini dengan kata lain adalah kejahatan yang berasal dari pengiriman orang keluar negeri yang didapatkan secara tidak sah

37

Lihat, Mardjonop Reksodiputro,op-cit, hal.8 38

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan Hukum Pidana. PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998,hal.17


(40)

melalui orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan merupakan hasil dari tindak pidana.

Secara sederhana perdagangan orang keluar negeri merupakan suatu perbuatan yang memenuhi salah satu atau lebih unsur-unsur proses seperti perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan, perempuan ditambah salah satu atau lebih dari unsur cara yaitu menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan, atau

penjeratan hutang, dan memenuhi salah satu atau lebih dari unsur tujuan yaitu

eksploitasi ekonomi, seksual, adopsi anak, penjualan organ tubuh perempuan, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya dan dilakukan keluar negeri.

Selain landasan hukum tersebut sebagai dasar pemikiran, Pemerintah Republik Indonesia juga mengeluarkan paraturan melalui Keputusan Presiden RI No.88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan (Trafficking) orang, ini juga memperhatikan peraturan dan perundang-undangan lain yang masih berlaku, terkait dengan upaya meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan terhadap perempuan dan anak, sehingga dapat mencegah bahkan

memberantas terjadinya perdagangan orang yang dilakukan oleh PJTKI

G. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law


(41)

as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process) adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian

kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan

memanfaatkan berbagai literature berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, wawancara, serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lainnya.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriftip analitis. Deskriftip berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang penggunaan peraturan

perundang-undangan dalam kasus human trafficking oleh PJTKI terhadap tenaga

kerja wanita yang mesti mendapat upaya perlindungan hukum .

3. Sumber data Penelitian

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: a. Data Sekunder

Data sekunder tersebut diperoleh dengan cara menelusuri bahan-bahan hukum

secara teliti terhadap

1. Bahan Hukum Primer terdiri dari:

a. Peraturan dasar, yaitu Undang-Undang Dasar yang berkaitan dengan pokok permasalahan diatas.


(42)

b. Peraturan perundang-undangan tentang Perdagangan Orang c. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya.

3. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan “hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, seperti : kamus umum, kamus hukum, kamus kesehatan, majalah dan jurnal ilmiah”.39

b. Data Primer

Data primer atau data dasar dalam penelitian ini diperlukan untuk memberikan pemahaman yang jelas, lengkap dan komprehensif terhadap data sekunder yang diperoleh langsung dari sumber pertama, yakni responden.40

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara :

1. Studi kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan- tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini.

39

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

Rajawali Press, Jakarta, 1990. hal. 14-15. 40


(43)

5. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan dan hasil wawancara diolah dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan :

1. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut ;

2. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah aspek hukum pidana dalam kasus human trafficking oleh PJTKI terhadap tenaga kerja wanita;

3. Menemukan hubungan diantara pelbagai kategori atau peraturan kemudian diolah ;

4. Menjelaskan dan menguraikan hubungan diantara pelbagai kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriftip kualitatif. Sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan.


(44)

BAB II

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN TENAGA KERJA WANITA (TKW) DALAM KASUS HUMAN TRAFFICKING OLEH PJTKI

A. Ketentuan Pidana Yang Mengatur Tentang Perdagangan Tenaga Kerja Wanita

1.Unsur-unsur delik: Protokol Vs RUU KUHP

Sebagai norma baru yang diatur dalam instrument internasional pemberantasan perdagangan orang, maka sudah barang tentu karakter dan unsur substansi hukum yang dikandungnya sama sekali norma baru dalam hukum positif di Indonesia.

Karena itu, tidak diperoleh padanan yang kongruen apalagi persis serupa jika dirujuk ke dalam norma hukum nasional. Baik norma hukum yang sudah terkodifikasi dalam KUHP maupun hukum nasional lainnya yang terserak-serak di luar KUHP.

Misalnya saja rumusan kejahatan perdagangan orang, KUHP tidak memiliki padanan yang bisa mengikuti alur normatif dan unsur yang diatur dalam Protokol. Bahkan dalam RUU KUHP yang sedang disiapkan sekalipun, rumusan kejahatan perdagangan orang versi Pasal 544 RUU KUHP sungguh tidak memadai.

Oleh karena banyak unsur perbuatan yang terabaikan. Pembuatan draft RUU KUHP Pasal 544 justru (apabila disahkan) menghilangkan sejumlah unsur sehingga jelas hanya kriminalisasi terbatas saja atas kejahatan perdagangan orang.


(45)

Setiap Orang Melakukan:

Dengan menggunakan: Untuk tujuan:

- Perekrutan

- Pengiriman

-

Penyerah-terimaan orang

- Kekerasan atau

ancaman kekerasan

- Penipuan

- Penculikan

- Penyekapan

- Penyalahgunaan

kekuasaan

- Pemanfaatan posisi

kerentanan, atau - Penjeratan utang.

- Mengeksploitasi

- Atau perbuatan

yang dapat tereksploitasi orang tersebut.

Rumusan yang serupa dengan Pasal 544 RUU KUHP, ditemukan dalam rumusan Pasal 1 angka (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO). Dengan demikian, antara RUU KUHP Pasal 544 dan UU PTPPO Pasal 1 angka (1), saling mengambil alih, karena rumusannya sama, jadi saling menguatkan antara Pasal 544 RUU KUHP dan Pasal 1 angka (1) UU PTPPO

Jika dibandingkan dengan rumusan dalam Protocol maka dapat dengan terang benderang diidentifikasi adanya kelemahan dalam merumuskan pengertian perbuatan perdagangan orang. Ini adalah biang utama dalam meloloskan pelaku kejahatan trafiking.


(46)

Berikut ini bandingkan dengan anasir dalam Protokol, sebagai berikut: Setiap Orang

melakukan perlintasan:

Modus perbuatan: Untuk tujuan atau

akibat eksploitasi: - Perekrutan (recruitment); - Pengangkutan (transportation); - Pemindahan (transfer); - Melabuhkan (harbouring);

- Menerima (receipt).

- penggunaan ancaman

(use of force) atau;

- penggunaan bentuk

tekanan lain (other forms of coercion);

- penculikan; - penipuan; - kecurangan; - penyalahgunaan kekuasaan; - kedudukan beresiko/rawan; - memberi/menerima pembayaran; - Eksploitasi prostitusi,

- Eksploitasi seksual - Kerja paksa, atau - Pelayanan paksa; - Perbudakan; - Praktek serupa

perbudakan;

- Perhambaan;

- Peralihan organ (removal organ).

Pengertian perdagangan orang menurut protokol jauh lebih lengkap dan menyeluruh dibandingkan dengan pengertian perdagangan orang yang terdapat di dalam Pasal 1 angka (1) UU no 21 tahun 2007 tentang PTPPO dan Pasal 544 RUU KUHP, karena untuk tujuan peralihan organ juga merupakan unsur dalam protokol, serta pencantuman berbagai modus dalam melakukan kejahatan perdangan manusia,


(47)

begitu juga yang menerima, dan juga tempat singgah merupakan unsur perdagangan manusia dalam protokol tersebut.

2) Elemen “Persetujuan” Korban bukan Pembenar Perbuatan

Selain itu, dalam pengertian kejahatan perdagangan orang itu, tidak

memberikan unsur persetujuan (by consent) dari korban. Karena tidak lagi

dipersoalkan ada atau tidaknya unsur persetujuan korban apabila dilakukan bentuk-bentuk modus perbuatan yang dilakukan untuk perdagangan orang. Kehilangan elemen ini dalam rumusan Pasal akan menjadi dalih untuk membebaskan pelaku, karena selalu dikemukakan adanya persetujuan korban.

Karena dalam banyak kasus dan praktek perdagangan orang yang muncul di lapangan, pelaku kerapkali berdalih bahwa korban yang dibawanya “sudah setuju”, sudah ada “kehendak sendiri dari korban”, “korban mau dan setuju ikut”.

Apalagi jika korbannya adalah anak-anak sehingga elemen sudah adanya persetujuan dari korban sudah diterima secara normatif tidak diperlukan lagi. Namun, dalam RUU KUHP Pasal 544, unsur persetujuan ini tidak dieksplisitkan ke dalam pasal 544 RUU KUHP.

3) RUU KUHP dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) Mempersempit Tujuan untuk Eksploitasi

Dalam Pasal 544 RUU KUHP, perbuatan yang dilarang dipersempit hanya untuk tujuan eksploitasi. Namun tidak secara eksplisit dikemukakan eksploitasi seksual dan eksploitasi ekonomi seperti dalam Protokol.


(48)

Selain itu, dalam Protokol bukan saja maksud perbuatan mengakibatkan atau bertujuan eksploitasi, namun bisa juga terjadinya perhambaan dan transfer organ.

Oleh karena itu, Pasal 544 RUU KUHP mengeliminir banyak unsur dalam Protokol. Implikasinya, jika tidak ada unsur eksploitasi, sebagaimana dalam rumus RUU KUHP dan UU PTPPO, maka bukanlah Trafiking. Sedangkan eksploitasi, dalam kasus jual beli bayi untuk transfer organ, tidak dapat diidentifikasi eksploitasi atas korban. Berikut ini perbandingannya.

RUU KUHP Protokol

- Mengeksploitasi;

- Atau perbuatan yang dapat

tereksploitasi orang tersebut.

- Eksploitasi seksual

- Kerja paksa, atau

- Pelayanan paksa;

- Perbudakan;

- Praktek serupa perbudakan;

- Penghambaan;

- Peralihan organ

Secara umum, hukum nasional di Indonesia belum mengintegrasikan seluruh unsur dalam Protokol pemberantasan perdagangan orang. Karena itu, kelemahan dalam mengharmonisasi rumusan perbuatan pidana perdagangan orang ini, akan berimplikasi kepada bentuk-bentuk perbuatan pidana yang merupakan ikutan atau turunan dari perbuatan perdagangan orang.


(49)

4) Pemberatan Hukuman

Dalam UU PTPPO, pemberatan hukuman atas korban anak yang diperdagangkan oleh orang tua atau walinya yang sah, dapat dijatuhkan hukuman tambahan sepertiga dari pidana maksimum.

Terkesan norma pemberatan hukuman ini bermanfaat, namun tidak secara kuat mengikat hakim oleh karena hakim dapat mengelak dengan menggunakan kata “dapat”, yang boleh diterapkan boleh tidak. Sehingga tidak merupakan hukum memaksa (imperatif) bagi hakim.

Pemberatan hukuman ini relevan jika secara sistematis dirujuk dengan Pasal 58 ayat (2) UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menegaskan bahwa orangtua atau wali atau pengasuh anak yang melakukan segala bentuk penganiayaan, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual, termasuk perkosaan dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindunginya, maka harus dikenakan pemberatan hukuman. Pasal ini bisa dipergunakan walaupun tidak secara eksplisit menyebutkan kejahatan perdagangan anak di dalamnya.

5) Norma Repatriasi yang Masih Hampa

Dalam UU PTPPO, masalah pemulangan (repatriasi) korban perdagangan orang hanya diatur dalam satu pasal 44 UU PTPPO. Padahal dalam totalitas Protokol, masalah repatriasi diatur dalam banyak aspek. Sebab, repatriasi bukan saja masalah pemulangan anak saja, namun memastikan bagaimana korban memperoleh kembali hak-haknya atas dokumen perjalanan sementara, pengembalian hak-hak pribadinya, perawatan sebelum repatriasi, dan perlindungan fisiknya dari kejaran sindikat.


(50)

Dengan demikian, norma Pasal 44 ayat (1) UU PTPPO masih hampa dan lunglai untuk memberikan kepastian hukum dalam melindungi korban yang berada di luar negeri.

Belum lagi untuk memastikan siapakah yang bertindak mewakili atas nama negara di luar negeri. Apakah yang mewakili Indonesia adalah KBRI-seperti yang diatur dalam UU Nomor 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

Apabila mengikuti norma Pasal 40 ayat (3) UU PTPPO. Jika demikian, maka menjadi pertanyaan apakah KBRI dengan norma versi UU No.37/1999 itu sudah cukup mampu dan mempunyai dasar yang kuat untuk menangani masalah repatriasi korban perdagangan orang?

Menurut hemat saya tidak terlalu kuat karena tidak secara spesifik dimaksudkan untuk menangani kasus perdagangan orang. Sebab, de facto, dalam hal menangani kasus TKI di luar negeri saja, KBRI masih belum maksimal, apalagi diberikan beban yang besar menangani kasus perdagangan orang khususnya anak.

Memang de jure, Pasal 21 UU No. 37/1999 menentukan bahwa:

Dalam hal warga negara Indonesia terancam bahaya nyata, Perwakilan

Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan, membantu, dan menghimpun mereka di wilayah yang aman, serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya negara”.

Namun, norma Pasal 21 UU No.37/1999 itu masih labil dan terlalu sumir dalam mendefenisikan ancaman bahaya nyata, serta hanya terbatas perlindungan fisik saja. Sementara masalah pemulangan, tidak bersifat imperatif, dengan norma yang berbunyi “mengusahakan untuk memulangkan ke Indonesia”.


(51)

Karena itu, untuk memastikan perlindungan korban secara maksimum termasuk dalam hal repatriasi, maka perlu ditambahkan norma untuk mengaturnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) tentang Repatriasi korban di Luar negeri.

Pengaturan mengenai perlindungan TKI lebih banyak diakomodir di dalam UU No. 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, hal ini diatur dalam Pasal 86 sampai Pasal 90 UU No. 39 tahun 2004, dan juga diatur di dalam pasal 77 sampai pasal 84 UU ini. Khusus masalah purna penempatan (pemulangan) diatur lebih jelas di dalam Pasal 73, Pasal 74 dan Pasal 75 UU No. 39 tahun 2004

Pasal 73

(1) Kepulangan TKI terjadi karena : a. berakhirnya masa perjanjian kerja;

b. pemutusan hubungan kerja sebelum masa perjanjian kerja berakhir; c. terjadi perang, bencana alam, atau wabah penyakit di negara tujuan;

d. mengalami kecelakaan kerja yang mengakibatkan tidak bisa menjalankan

pekerjaannya lagi;

e. meninggal dunia di negara tujuan; f. cuti; atau

g. dideportasi oleh pemerintah setempat.

(2) Dalam hal TKI meninggal dunia di negara tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, pelaksana penempatan TKI berkewajiban :

a. memberitahukan tentang kematian TKI kepada keluarganya paling lambat 3


(52)

b. mencari informasi tentang sebab-sebab kematian dan memberitahukannya kepada pejabat Perwakilan Republik Indonesia dan anggota keluarga TKI yang bersangkutan;

c. memulangkan jenazah TKI ke tempat asal dengan cara yang layak serta

menanggung semua biaya yang diperlukan, termasuk biaya penguburan sesuai dengan tata cara agama TKI yang bersangkutan;

d. mengurus pemakaman di negara tujuan penempatan TKI atas persetujuan

pihak keluarga TKI atau sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan;

e. memberikan perlindungan terhadap seluruh harta milik TKI untuk

kepentingan anggota keluarganya; dan

f. mengurus pemenuhan semua hak-hak TKI yang seharusnya diterima.

(3) Dalam hal terjadi perang, bencana alam, wabah penyakit, dan deportasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dan huruf g, Perwakilan Republik Indonesia, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah bekerja sama mengurus kepulangan TKI sampai ke daerah asal TKI.

Pasal 74

(1) Setiap TKI yang akan kembali ke Indonesia wajib melaporkan kepulangannya kepada Perwakilan Republik Indonesia negara tujuan.

(2) Pelaporan bagi TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan dilakukan oleh pelaksana penempatan TKI swasta.


(53)

Pasal 75

(1) Kepulangan TKI dari negara tujuan sampai tiba di daerah asal menjadi tanggung jawab pelaksana penempatan TKI.

(2) Pengurusan kepulangan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hal : a. pemberian kemudahan atau fasilitas kepulangan TKI;

b. pemberian fasilitas kesehatan bagi TKI yang sakit dalam kepulangan; dan c. pemberian upaya perlindungan terhadap TKI dari kemungkinan adanya tindakan

pihak-pihak lain yang tidak bertanggung jawab dan dapat merugikan

TKI dalam kepulangan.

(3) Pemerintah dapat mengatur kepulangan TKI.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemulangan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. (5) Identifikasi Hukum Nasional Yang Sudah Ada

Untuk memberikan perspektif yang lebih maju dalam menelaah, protokol, dan untuk mengembangkan RUU KUHP serta UU Pemberantasan Perdagangan Orang, berikut ini dikemukakan identifikasi berbagai norma hukum dan hukum nasional, yang tidak kongruen dan tidak serupa dengan rumusan yang ditemukan dalam Protokol,tetapi rumusan ini digunakan sebagai ketentuan pidana yang mengatur tentang perdagangan anak.

1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Di dalam KUHP terdapat beberapa pasal yang terkait dengan kejahatan yang dikualifikasi sebagai trafiking, yakni :


(54)

1.1. Pasal 285 KUHP: “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam dengan melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”.

1.2. Pasal 287 ayat 1 KUHP: “Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita

diluar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun”.

1.3. Pasal 287 ayat 2 KUHP: “Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan

kecuali jika umur wanita belum sampai 12 tahun atau jika salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294”

1.4. Pasal 288 KUHP: diancam dengan paling lama 4 tahun penjara, barangsiapa yang bersetubuh dengan seorang wanita di dalam pernikahan, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa ia belum mampu dikawin, apabila perbuatan tersebut mengakibatkan luka-luka. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama 8 tahun. Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama 12 tahun.

1.5. Pasal 289 KUHP: barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan.


(1)

ILO, Dimensi Ketenagakerjaan dalam Kebijakan Makro dan Sektoral, Seri Rekomendasi Kebijakan, Kerja Layak dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia, Jakarta: ILO, 2004.

ILO, Migrasi: Peluang dan Tantangan bagi Pengentasan Kemiskinan, Seri Rekomendasi Kebijakan, Kerja Layak dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia, Jakarta: ILO, 2004.

Irwanto dkk, Perdagangan anak di Indonesia, Jakarta: ILO-Fisip UI, 2001.

Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-konsep Hukum dan Pembangunan, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan, Bandung: PT. Alumni, 2002.

Mantra, I.B et al., Mobilitas tenaga kerja Indonesia ke Malaysia : studi kasus. Yogya : PSKK UGM, 1999.

Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1983.

Mozasa, Chairul Bariah, Aturan-aturan Hukum Trafiking, Medan: USU Press, 1995. Optner, Stanford, System Analysis for Business Management, Prentice Hall, Inc.,

New York, 1968, dalam Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Jakarta: Rajawali, Cet.1. 1986.

Prodjodikoro, Wiryono, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2001.

Rasjidi, Lili, dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002

Reksodiputro, Mardjono, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana,Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi UI) Jakarta: Universitas Indonesia, 1997.

____________________, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi UI) Jakarta: Universitas Indonesia, 1997.

Rencana Aksi Propinsi Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, Pusaka Indonesia bekerjasama dengan Biro Pemberdayaan Perempuan, dan Poldasu atas dukungan Eropean Union, Medan: POLDASU & European Union, 2005.


(2)

Setyowati, Lugina, The government policy on prostitusion, a study of policy making in Indonesia, (Thesis for Master of Arts), Melbourne: Monash University, 1999.

Sikwan, A dan Triastuti, M.R.H, Tragedi perdagangan amoi Singkawang. Yogya: PSKK UGM, 2004.

Soekanto, Soerjono, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Edisi Baru, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

________________, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Soepomo, Iman, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta: Djambatan, 2001.

Soesilo, R., Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya, Bogor : Politica, 1994.

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981.

Tjandraningsih, Indrasari, Pemberdayaan Pekerja Anak, Studi Mengenai Pendampingan Pekerja Anak, Bandung: Yayasan Akatiga, 1995.

_______________, dan Anarita, Popon, Pekerja Anak di Perkebunan Tembakau, Bandung: Yayasan Akatiga, 2002.

Yasir, Muhammad Alimi, Advokasi hak-hak perempuan membela hak mewujudkan perubahan. Yogya : LKIS, 1999.

2.Artikel/ Makalah/ Jurnal

Allot, Antony, The Efectiveness of Law, Valparaiso University Law Jurnal Review, vol.15 Wiater,1981.

Agusmidah, Makalah disampaikan dalam acara Dialog Interaktif tentang “Tekad Memberantas Perdagangan Perempuan dan Anak Dengan Memberi Advokasi Penegakan Hukum Melalui UU No. 21 Tahun 2007. Diselenggarakan oleh IKA FH USU Medan, 30 Agustus 2007 di FH USU Medan.

Arka, I Gusti Made, Dirjen PPTKLN Depnakertrans, Peran dan Tanggungjawab Departemen Tenaga Kerja dalam Proses Penempatan Tenaga Kerja


(3)

Indonesia ke Luar Negeri, Makalah dalam Seminar tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri penyelenggara BPHN, FH Unair dan Kanwil Depkum dan Ham Prov. Jawa Timur, Surabaya. 30-31 Agustus 2005.

Atmanto, I.A. dan Barus, D.M. 2007. Perdagangan manusia: dalam cengkeraman bapak ayam. Gatra no 30. 7 Juni

Baran, P. 1957. The political economy of growth. Monthly Jurnal Review Press Harahap, SH. Muslim, Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari tentang

Perlindungan Anak, Medan, Februari 2006.

Hernawan, Ari, Perlindungan dan Pembelaan Tenaga Kerja Indonesia, Mimbar Hukum, Jurnal Berkala FH UGM, Vol. 19, No. 1, Februari 2007

Juwana, Hikmahanto, Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di Indonesia, Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, sub tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu 14 Agustus 2004.

Nasution, Bismar, Hukum Rasional Untuk Landasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, sub tema: Reformasi Agraria mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu 14 Agustus 2004.

Pusaka Indonesia, Majalah Gempita,Medan,Vol.3,2005. Pikiran Rakyat. 24 Pebruari 2005.

Republika, 12,3 Juta Orang Kerja Paksa, - Jumat, 13 Mei 2005

Smith, Christopher H., Modern Slavery. The Washington Times, 18 Juni 2002; Global Survivor Network 1997. Crime and Servitude: AN Expose in the Traffic in Women for Prostitution from the Newly Independent States, Washington: GSN, 2002

Tajuk Rencana dalam Kompas, Jakarta, Senin, 24 Oktober 1993, No.214, Tahun ke-29.


(4)

United Nations, United Nations Human Rights Fact Sheet No. 14: Contemporary Forms of Slavery. Lund, Sweden: Raoul Wallenberg Institute,1996. US Department of Justice, Trafficking in Persons Jurnal Report. Washington, June

2002.

Uwiyono, Aloysius, Aspek Yuridis Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Makalah, Seminar tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Penyelenggara BPHN, FH Unair dan Kanwil Depkum dan Ham Prov. Jawa Timur, Surabaya, 30-31 Agustus 2005.

3.Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Republik Indonesia, Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Amandemen UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara

Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat.

Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Republik Indonesia, Republik Indonesia, Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Republik Indonesia, Kebijakan Penghapusan Perdagangan Manusia Khususnya Perempuan dan Anak, oleh Deputi Koordinator Pemberdayaan


(5)

Perempuan Kementrian Koordinator Bandung Kesejahteraan Indonesia, 2002.

Republik Indonesia, UU No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning No.182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for The Elimination of The Worst Form of Child Labour (Konvensi ILO No.182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak).

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan

Perjanjian Ekstradisi Antara Republik Indonesia dan Australia. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Republik Indonesia, Undang-Undang No.1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi.

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

4.Internet

BPS, Statistik Kesejahteraan Penduduk 1998, tahun 2000. Berita Kota, 1 Maret 2002

Ditjen HAM, 2003. Tinjauan trafficking di Thailand. http://www.ham.go.id/index _HAM (25/6/2007)

Pigay, N. 2005. Migrasi dan penyelundupan manusia. http://www.nakertrans.go.id (27/3/2007)

Ramadhanny, F.2007. TKI di Malaysia rawan kriminalisasi. http//www.detik.com (28/6/2007)


(6)

Media Indonesia, 7 Maret 2002 (Modus Operandi Baru perdagangan Bayi)

Modus Baru Perdagangan Bayi: Wanita Hamil Menjadi Incaran, Kompas 2 Juni 2002.

Morse, Jane, Forced Labor a Growing Problem Worldwide, U.S. Officials Say Traficked labor estimated to generate $9.5 billion, USINFO Staff Writer, http://usinfo.state.gov/xarchives/display.html?p=washfile-english&y=2007&m=July&x=20070723135828mjesrom0.5709955 www.lfip.org/report/trafickingdata in Indonesia table pdf, Data Perdagangan

Manusia di Indonesia