Kebijakan Formulasi dan pembaruan Hukum Pidana

Setelah persidangan : 1. Hak untuk mendapatkan pembinaan atau penghukuman yang manusiawi sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan ide mengenai pemasyarakatan. 2. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, social dari siapa saja berbagai macam ancaman, penganiayaan, pembunuhan misalnya. 3. Hak untuk tetap dapat berhubungan dengan orang tuanya, keluarganya. Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat. Hal ini juga merupakan suatu perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, sehingga dalam melakukan perlindungan terhadap anak hak-hak anak benar-benar perlu diperhatikan. Kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak.

C. Kebijakan Formulasi dan pembaruan Hukum Pidana

Menurut Barda Nawawi Arif 2002 : 25 mengemukakan bahwa dalam pembaharuan hukum pada hakikatnya berorientasi atau berpedoman pada dua pendekatan yaitu pendekatan yang berorientasi pada nilai value oriented approach dan pendekatan yang berorientasi pada pada kebijakan policy oriented approach. Artinya dalam pembaruan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi sesuai nilai-nilai sentral sosio politi, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sentral ini yang menjadi landasan aspek-aspek kebijakan yang terdiri dari kebijakan social, kebijakkan criminal dan kebijakan penegakan hukum. Prof. Sudarto, SH. dalam Barda Nawawi Arif, 2008 : 1 Mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu : a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungis dan aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi ; dan c. Dalam arti paling luas ialah keselurhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundangang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Menurut Muladi 1995 : 13-14 Aspek kebijakan hukum pidana berorientasi pada tahap-tahap konkretisasi opersionalisasi fungsionalisasi hukum pidana yang terdiri dari ; a. Tahap Formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini disebut sebagai tahap kebjakan legislative. b. Tahap Aplikasi, yaitu tahhap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Tahap ini disebut tahap kebijakan yudikatif. c. Tahap ekseskusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif. Menurut Jimly Asshidiqie 1996 : 12-13 secara teoritis hukum dianggap relevan jika memenuhi beberapa ukuran yaitu relevansi yuridis, relevansi sosiologis, reelevansi filosofis, dan relevansi teoritis. 1. Relevansi yuridis yaitu kaedah hukum tersebut tidak bertentangan dengan kaedah-kaedah konstitusi atau tidak bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi. 2. Relevansi sosiologis yaitu apabbila kaedah hukum itu tersebut benar-benar diterima dan diakui oleh masyarakat; 3. Relevansi filosophis yaitu jika kaedah hukum tersebut tidak bertentangan dengan cita-cita hukum suatu masyarakat sebagai nilai positif tertinggi dalam suatu masyarakat. Falsafah hidup bangsa Indonesia ukurannya adalah falsafah Pancasila, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dalam konteks berkehidupan berbangsa dan bernegara di Indoensia. 4. Relevansi teoritis yaitu relevansi yang didasarkan perkembangan teori- teori sistem pemidanaan peradilan pidana yaitu implementasi ide diversi sesuai dengan teori restroactive justice. Selain itu implementasi ide diversi sebagai upaya menghindari stigmalabel jahat dan untuk menghindari prisonisasi pada anak. Impelementasi ide diversi dalam sistem peradilan pidan anak dapat diterima berdasarkan teori pendekatan hukum progresif. Berkenaan dengan pembaruan hukum pidana Barda Nawawi Arief 2008 : 25, menyatakan: “...makna dan hakikat pembaruan hukum pidana penal reform berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana itu sendiri. Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosiofilosofis, sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapatlah dikatakan, bahwa pembaruan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan policy oriented approach dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai value- oriented approach.” Demikian pula seperti yang dinyatakan oleh Muladi dalam Satya Wahyudi, 2011 : 79 bahwa di dalam kontek pembaruan hukum pidana di masa mendatang, idealnya suatu hukum memenuhi lima karakteristik sebagai berikut: a. Hukum pidana nasional dibentuk tidak sekedar alasan sosiologis, politis, dan praktis semata-mata namun secara sadar harus disusun dalam kerangka ideologi Pancasila; b. Hukum pidana nasional di masa mendatang tidak boleh mengabaikan aspek-aspek yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam dan tradisi manusia; c. Hukum pidana mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan kecenderungan-kecenderungan universal yang tumbuh dalam pergaulan masyarakat beradab; d. Hukum pidana mendatang harus memikirkan aspek-aspek yang bersifar preventif; e. Hukum pidana mendatang harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang teknologi guna meningkatkan efektivitas fungsinya dalam masyarakat. Bertolak dari makna dan hakikat Pembaruan hukum pidana tersebut, jika ide diversi hendak dijadikan bahan muatan substansi dalam kebijakan pembaruan formulasi hukum sistem peradillan pidana anak maka perlu dikaji terlebih dahulu tentang kesesuaian ide diversi dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural masyarakat Indonesia.

D. Pengertian Diversi

Dokumen yang terkait

Analisa Yuridis Terhadap Penggunaan Laba Perseroan Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

0 49 101

Pewarisan Hak Cipta Menurut KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

7 123 201

Kajian Juridis Terhadap Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Ponografi Terhadap Perlindungan Anak Sebagai objek Tindakan Pornografi (Child Pornography)

0 31 121

Analisis Perbandingan Terhadap Undang-undang Nomo 22 Tahun 1999 Dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

1 52 120

Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemberantasan Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Di Semarang)

0 34 179

Pengetahuan WUS Tentang Kehamilan Di Atas Umur 35 Tahun Tahun 2009.

0 28 55

Status Badan Hukum Yayasan Pendidikan Pasca Pembatalan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009)

0 45 193

Kewenangan Pemerintah Daerah Di Bidang Pertanahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Analisis Terhadap Kewenangan Bidang Pertanahan Antara Pemerintah Kota Batam Dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam)

2 37 129

Fungsi Kejaksaan Dalam Lembaga Kepailitan Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998

0 15 102

Prosedur Penerbitan Akta Kematian Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan (Studi Kota Medan).

21 161 89