Status Badan Hukum Yayasan Pendidikan Pasca Pembatalan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009)

(1)

(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NO. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009)

TESIS

Oleh

TOMMY LEONARD

097011111/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

STATUS BADAN HUKUM YAYASAN PENDIDIKAN

PASCA PEMBATALAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9

TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN

(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NO. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

TOMMY LEONARD

097011111/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : STATUS BADAN HUKUM YAYASAN PENDIDIKAN PASCA PEMBATALAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009)

Nama Mahasiswa : Tommy Leonard Nomor Pokok : 097011111

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Ketua

(Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

Telah diuji pada Tanggal : 21 Juni 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn

2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, Mhum 3. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn 3. Dr. Dedi Harianto, SH, MHum


(5)

ABSTRAK

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 pada tanggal 31 Maret 2010 , telah menutup eksistensi segala hal mengenai Badan Hukum Pendidikan yang dikontruksikan sebagai lembaga penyelenggara pendidikan formal. Dasar Hukum mengenai Badan Hukum Pendidikan sebagaimana yang tersebut dalam Penjelasan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Oleh karena itu hal ini akan menimbulkan permasalahan seperti status badan hukum yayasan pendidikan, kedudukan hukum akta/pengesahan Badan Hukum Pendidikan Masyarakat, serta ketentuan hukum mengenai pendirian dan penyesuaian Yayasan Pendidikan pasca pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta serta menganalisa permasalan yang ada. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan melakukan pengkajian dan analisa terhadap Yayasan Pendidikan dan akta/pengesahan Badan Hukum Pendidikan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 dengan melakukan wawancara kepada narasumber yaitu : Notaris, Pengelola Yayasan Pendidikan, Kepala Sub Bagian Akreditas dan Publikasi Kopertis Wil I NAD-SUMUT dan Kepala Sub bagian Perdata Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasca putusan Mahkamah Konstitusi nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 penyelenggaraan pendidikan kembali kepada payung hukum Undang-Undang Yayasan maupun badan hukum lain yang sejenis, yang dipertegas kembali di dalam Pasal 220E Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, dan mengenai kedudukan hukum akta/pengesahan Badan Hukum Pendidikan Masyarakat yang didirikan pada masa berlakunya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan tetap mengikat atau berlaku sesuai dengan kaidah hukum

ex nunc.

Untuk itu disarankan kepada pemerintah Pusat untuk segera mengeluarkan peraturan khusus (tegas) mengenai status hukum bagi badan hukum pendidikan (akta maupun pengesahannya) yang telah didirikan oleh masyarakat maupun yayasan yang telah melakukan penyesuaian semasa berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan dan merancang Undang-Undang dalam hal mengatur badan hukum yang ditujukan bagi penyelenggara pendidikan sebagai penganti Badan Hukum Pendidikan, dikarenakan badan hukum yayasan dirasa masi kurang mengakomodasi kepentingan dan tujuan untuk memajukan pendidikan khususnya bagi Perguruan Tinggi Swasta.

Kata Kunci : Yayasan Pendidikan, Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009.


(6)

ABSTRACT

The decision of Constitutional Court of the Republic of Indonesia No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 dated March 31, 2010 has closed the existence of all issues related to Education Corporate Body constructed as an institution implementing formal education. Legal Principle of Education Corporate Body as stated in the Explanation of Article 53 (1) of Law No. 20/2003 on National Education System is declared to be against the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Therefore, this will generate problem like the corporate body status of education foundation, the legal position of the act/legalization of the Corporate Body of Community Education, and the legal certainty of the establishment and adjustment of Education Foundation after the cancellation of Law on Education Corporate Body.

This is an analytical descriptive study describing all symptoms and facts and analyzing the existing problems. This study employed the normative juridical approach, an approach studying and analyzing the Education Foundation and the act/legalization of Education Corporate Body after the decision of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 through interviewing resource persons consisting of Notary, the Management of Education Foundation, the Head of Accreditation and Publication Sub-division of Regional Coordinator of Private University I for Nanggroe Aceh Darussalam – Sumatera Utara Province, and the Head of Civil Sub-division of Directorate General of General Legal Administration, the Department of Law and Human Rights.

The result of this study showed that after the Decision of Constitutional Court No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009, the implementation of education is legally returned under Law on Foundation or any other corporate body of the same kind and this is clarified in Article 220E of Government Regulation of the Republic of Indonesia No.66/2010 on the management and implementation of education, and in relation to the legal position of act/legalization Corporate Body of Community Education established when the Law on Education Corporate Body was still valid, it is still valid or in effect in accordance with the legal principle of ex nunc.

For this reason, the central Government is suggested to immediately issue a special (explicit) regulation on the legal status of education corporate body (the act or its legalization) established by community or foundation who have done the adjustment when Law No.9/2009 on Education Corporate Body was still in effect and have planned the Law regulating the corporate body for the education organizer as the replacement of Education Corporate Body because the Foundation Corporate Body is regarded inadequate to accommodate the interest and purpose to improve the education especially the one managed by Private University.

Keywords: Education Foundation, Decision of Constitutional Court No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009


(7)

KATA PENGANTAR

Dengan iringan doa dan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan karena izin-Nyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan hasil tesis sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

Adapun judul tesis ini adalah : “STATUS BADAN HUKUM YAYASAN PENDIDIKAN PASCA PEMBATALAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9

TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NO.11-14-21-126-136/PUU-VII/2009)”

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan moril, masukan dan saran, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini tepat pada waktunya. Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus khususnya penulis sampaikan kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN., Bapak Syahril Sofyan, SH, MKn., Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum., atas kesediannya membantu dalam rangka memberikan bimbingan dan petunjuk serta arahan kepada penulis demi kesempurnaan penulisan tesis ini. Berkat bimbingan, petunjuk dan arahan yang diberikan sehingga telah diperoleh hasil yang maksimal.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn., dan Bapak Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum., selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan, petunjuk, dan arahan yang konstruktif terhadap penyempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium dan seminar hasil, sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih terarah.

Dalam menyelesaikan tugas ini tentunya selalu mendapat segala cobaan dan tantangan namun penulis rela menempatkan semua itu menjadi pelajaran tersendiri dalam hati penulis. Penulis sangat menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh


(8)

dari kesempurnaan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan dan menerima saran-saran maupun kritikan-kritikan yang membangun demi kesempurnaan tesis ini.

Tidak semua nama, penulis bisa sebutkan, namun penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, serta seluruh staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, M.S, C.N selaku Ketua Program

Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penulisan tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H, C.N, M.Hum selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penulisan tesis ini.

5. Para Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, yang membimbing dan memberikan ilmu pengetahuan kepada saya sehingga dapat menyelesaikan studi, atas jasa dan Budi para Bapak dan Ibu Dosen, saya ucapkan terima kasih.

6. Para Staf Administrasi Program studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (Ibu Fatimah, Kak Lisa, Kak Sari, Kak Winda, Bang Aldi, Bang Ken, Kak Afni)

7. Teristimewa dengan tulus hati diucapkan terima kasih kepada Ibu penulis yang selalu mengasihi, mendukung dan mengajarkan kedisiplinan.


(9)

8. Bapak dr. I. Nyoman Ehrich Lister, M.Kes, AIFM , Ketua Yayasan Perguruan Tinggi Prima Indonesia yang selalu mendukung penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

9. Rekan-rekan pada Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan semua pihak yang ikut membantu, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan semangat, dorongan, motivasi kepada saya dalam penyelesaian studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn) ini.

Akhir Kata kepada semua pihak yang telah mendukung penyelesaian tesis ini saya ucapkan terima kasih, semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amin

Medan, Juni 2011 Hormat Penulis


(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribdi

Nama : Tommy Leonard

Tempat/Tgl.Lahir : Medan, 7 Agustus 1986 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Katolik

Alamat : Jalan Gereja No. 58 A Medan

II. Pekerjaan

Badan Pelaksana Harian Yayasan Universitas Prima Indonesia III. Pendidikan

1. SD WR SUPRATMAN MEDAN (Lulus Tahun 1998) 2. SMP PANGERAN ANTASARI (Lulus Tahun 2001) 3. SMA METHODIST 2 (Lulus Tahun 2004) 4. S1 UNIVERSITAS DHARMAWANGSA (Lulus Tahun 2008) 5. S2 MAGISTER KENOTARIATAN FH – USU (Lulus Tahun 2011)


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori dan konsepsi ... 11

1. Kerangka Teori ... 11

2. Kerangka Konsepsi ... 19

G. Metode Penelitian ... 20

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 20

2. Metode Pengumpulan Data ... 22

3. Alat Pengumpulan Data ... 23

4. Teknik Pengumpulan Data ... 24

5. Analisis Data ... 24

BAB II STATUS BADAN HUKUM YAYASAN PENDIDIKAN PASCA PEMBATALAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI ... 26

A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi di Indonesia ... 26


(12)

2. Dasar Yuridis Kewenangan Mahkamah Konstitusi ... 33 B. Status badan hukum yayasan pendidikan dan badan

hukum pendidikan masyarakat pasca pembatalan undang-undang nomor 9 tahun 2009 tentang badan hukum pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi ... 40 1. Status badan hukum yayasan pendidikan ditinjau dari

sebelum berlakunya undang undang yayasan ... 40 2. Status badan hukum yayasan pendidikan ditinjau dari

Undang-Undang nomor 16 tahun 2001 dan

Undang-Undang nomor 28 tahun 2004 ... 47 3. Status badan hukum yayasan pendidikan ditinjau dari

lahirnya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan

nomor 9 tahun 2009 ... 73 4. Status badan hukum yayasan pendidikan ditinjau dari

putusan Mahkamah Konstitusi nomor

11.14-21-126-136/PUU-VII-2009 ... 76 BAB III KEDUDUKAN HUKUM AKTA/ PENGESAHAN BADAN

HUKUM PENDIDIKAN MASYARAKAT PASCA PEMBATALAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9

TAHUN 2009 TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI ... 86 A. Kedudukan Hukum Akta/ Pengesahan Badan Hukum

Pendidikan Masyarakat pasca pembatalan Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2009 ... 86 B. Jabatan Notaris sebagai pejabat pembuat akta autentik dan

perundang-undangan yang mengaturnya ... 90 C. Perundang-undangan dan peraturan perundang-undangan

di Indonesia ... 104 D. Proses pembentukan perundang-undangan di Indonesia ... 134 1. Proses pembentukan Undang-Undang ... 134 2. Proses pembentukan peraturan pemerintah penganti

Undang-Undang (Perpu) ... 138 3. Proses pembentukan peraturan pemerintah dan

peraturan perundang-undangan lainnya ... 139 BAB IV PROSEDUR PENDIRIAN DAN PENYESUAIAN YAYASAN PENDIDIKAN DI INDONESIA ...143


(13)

A. Prosedur pendirian yayasan ... 143

1. Tata Cara Pendirian Yayasan Pendidikan Oleh Orang Perseorangan (Warga Negara Indonesia) dan Badan Hukum Indonesia ... 149

2. Tata Cara Pendirian Yayasan Pendidikan Oleh Orang Asing (Warga Negara Asing) ... 153

3. Tata Cara Pendirian Yayasan Pendidikan Oleh Badan Hukum Asing ... 157

4. Tata Cara Pendirian Yayasan Pendidikan Oleh Orang Asing atau warga Negara Asing Bersama Warga Negara Indonesia ... 162

B. Prosedur penyesuaian anggaran dasar Yayasan ... 167

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...170

A. Kesimpulan ... 170

B. Saran ... 171

DAFTAR PUSTAKA ... 173 LAMPIRAN


(14)

ABSTRAK

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 pada tanggal 31 Maret 2010 , telah menutup eksistensi segala hal mengenai Badan Hukum Pendidikan yang dikontruksikan sebagai lembaga penyelenggara pendidikan formal. Dasar Hukum mengenai Badan Hukum Pendidikan sebagaimana yang tersebut dalam Penjelasan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Oleh karena itu hal ini akan menimbulkan permasalahan seperti status badan hukum yayasan pendidikan, kedudukan hukum akta/pengesahan Badan Hukum Pendidikan Masyarakat, serta ketentuan hukum mengenai pendirian dan penyesuaian Yayasan Pendidikan pasca pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta serta menganalisa permasalan yang ada. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan melakukan pengkajian dan analisa terhadap Yayasan Pendidikan dan akta/pengesahan Badan Hukum Pendidikan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 dengan melakukan wawancara kepada narasumber yaitu : Notaris, Pengelola Yayasan Pendidikan, Kepala Sub Bagian Akreditas dan Publikasi Kopertis Wil I NAD-SUMUT dan Kepala Sub bagian Perdata Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasca putusan Mahkamah Konstitusi nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 penyelenggaraan pendidikan kembali kepada payung hukum Undang-Undang Yayasan maupun badan hukum lain yang sejenis, yang dipertegas kembali di dalam Pasal 220E Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, dan mengenai kedudukan hukum akta/pengesahan Badan Hukum Pendidikan Masyarakat yang didirikan pada masa berlakunya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan tetap mengikat atau berlaku sesuai dengan kaidah hukum

ex nunc.

Untuk itu disarankan kepada pemerintah Pusat untuk segera mengeluarkan peraturan khusus (tegas) mengenai status hukum bagi badan hukum pendidikan (akta maupun pengesahannya) yang telah didirikan oleh masyarakat maupun yayasan yang telah melakukan penyesuaian semasa berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan dan merancang Undang-Undang dalam hal mengatur badan hukum yang ditujukan bagi penyelenggara pendidikan sebagai penganti Badan Hukum Pendidikan, dikarenakan badan hukum yayasan dirasa masi kurang mengakomodasi kepentingan dan tujuan untuk memajukan pendidikan khususnya bagi Perguruan Tinggi Swasta.

Kata Kunci : Yayasan Pendidikan, Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009.


(15)

ABSTRACT

The decision of Constitutional Court of the Republic of Indonesia No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 dated March 31, 2010 has closed the existence of all issues related to Education Corporate Body constructed as an institution implementing formal education. Legal Principle of Education Corporate Body as stated in the Explanation of Article 53 (1) of Law No. 20/2003 on National Education System is declared to be against the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Therefore, this will generate problem like the corporate body status of education foundation, the legal position of the act/legalization of the Corporate Body of Community Education, and the legal certainty of the establishment and adjustment of Education Foundation after the cancellation of Law on Education Corporate Body.

This is an analytical descriptive study describing all symptoms and facts and analyzing the existing problems. This study employed the normative juridical approach, an approach studying and analyzing the Education Foundation and the act/legalization of Education Corporate Body after the decision of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 through interviewing resource persons consisting of Notary, the Management of Education Foundation, the Head of Accreditation and Publication Sub-division of Regional Coordinator of Private University I for Nanggroe Aceh Darussalam – Sumatera Utara Province, and the Head of Civil Sub-division of Directorate General of General Legal Administration, the Department of Law and Human Rights.

The result of this study showed that after the Decision of Constitutional Court No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009, the implementation of education is legally returned under Law on Foundation or any other corporate body of the same kind and this is clarified in Article 220E of Government Regulation of the Republic of Indonesia No.66/2010 on the management and implementation of education, and in relation to the legal position of act/legalization Corporate Body of Community Education established when the Law on Education Corporate Body was still valid, it is still valid or in effect in accordance with the legal principle of ex nunc.

For this reason, the central Government is suggested to immediately issue a special (explicit) regulation on the legal status of education corporate body (the act or its legalization) established by community or foundation who have done the adjustment when Law No.9/2009 on Education Corporate Body was still in effect and have planned the Law regulating the corporate body for the education organizer as the replacement of Education Corporate Body because the Foundation Corporate Body is regarded inadequate to accommodate the interest and purpose to improve the education especially the one managed by Private University.

Keywords: Education Foundation, Decision of Constitutional Court No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009


(16)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan yang menyatakan bahwa, ”Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota’’.Sedangkan berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan yang menyatakan bahwa, ”dalam menunjang pencapaian maksud dan tujuan tersebut yayasan diperkenankan melakukan kegiatan usaha dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha’’.

Kegiatan usaha dari badan usaha Yayasan mempunyai cakupan yang luas, antara lain :1

1. Hak Asasi Manusia. 2. Kesenian

3. Olah raga

4. Perlindungan Konsumen 5. Pendidikan

6. Lingkungan Hidup 7. Kesehatan

8. Ilmu Pengetahuan

1


(17)

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas tentang kegiatan usaha yayasan, maka dapat dilihat bahwa yayasan tersebut dapat melakukan kegiatan usaha di bidang pendidikan atau dengan kata lain yayasan pendidikan. Terhadap yayasan pendidikan ini, maka pengaturannya tidak hanya berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, tetapi juga berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan di Indonesia, berbagai masalah timbul terutama dalam hubungan antara Yayasan dan satuan pendidikan, atau dengan lebih gamblang umpamanya dalam hubungan antara yayasan dan rektor. Konflik ini, antara lain tergambar dalam berbagai kasus akhir-akhir ini. Dalam hubungan ini antara lain perlu diciptakan suatu badan hukum pendidikan.2

Satuan pendidikan yang berbentuk badan hukum dapat diperuntukkan bagi pendidikan formal dan pendidikan non formal, yang bertujuan mencerdaskan spiritual, emosional, intelektual, sosial, dan psikomotorik. Selanjutnya, yayasan pendidikan tersebut bergerak berdasarkan prinsip-prinsip nirlaba, otonom, akuntabel, transparan, penjamin mutu, layanan prima, non diskriminasi, keberagamaan, keberlanjutan dan partisipatif 3.

Salah satu amanah reformasi yang masuk dalam substansi Undang-Undang

2

Chatamarrasjid Ais, Badan Hukum Yayasan, PT. Citra Aditya Bakti, Edisi Revisi, Bandung,

2006, hlm.183.

3


(18)

Sistem Pendidikan Nasional, adalah tentang Badan Hukum Pendidikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu ”penyelenggaraan dan/ atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk Badan Hukum Pendidikan, yang berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik, berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan”.4

Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yang dikelola oleh pihak swasta atau masyarakat berlandaskan badan hukum yayasan atau yang biasa disebut dengan yayasan pendidikan. Namun setelah disahkannya Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan pada 16 Januari 2009 yang menyatakan bahwa,” Yayasan, Perkumpulan, atau Badan Hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan/ atau pendidikan tinggi, diakui sebagai Badan Hukum Pendidikan Penyelenggara”.

Lahirnya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang berlaku pada tanggal 16 Januari 2009 menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan. Ketentuan Undang-Undang sistem Pendidikan Nasional yang seolah-olah mengharuskan status badan hukum pendidikan bagi yayasan penyelenggara pendidikan dan keluarnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan berpotensi melanggar hak asazi kebebasan berserikat dan mendapatkan pendidikan yang diatur dalam Bab

4


(19)

XA, Pasal 28E ayat (3) dan pasal 31 Undang – Undang Dasar 1945.5

Kebebasan berserikat untuk mendirikan yayasan menjadi tidak terpenuhi . Selain itu, dengan mengubah status yayasan menjadi badan hukum pendidikan, akan memutar balikkan dan menghilangkan pengalaman, suasana kerja, tata kelola, dan tata kerja yang sudah dikembangkan puluhan tahun. Hal ini ditakutkan akan mengancam Kelancaran penyelenggaraan pendidikan.6

Namun demikian, jika dilihat dengan cermat, esensi dari Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan adalah untuk memberikan kebebasan yang hakiki bagi penyelenggara pendidikan dan adanya badan hukum pendidikan digunakan untuk mencegah dualisasi kepemimpinan antara ketua yayasan dengan rektorat.7

Namun pada tanggal 31 Maret 2010 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dengan putusan nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009, telah memutuskan antara lain:

a. Menyatakan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003, nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4301) Konstitusional sepanjang frasa ”Badan Hukum Pendidikan” di maknai sebagai sebutan fungsi penyelenggaraan pendidikan dan bukan bentuk badan hukum tertentu.

b. Menyatakan Penjelasan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003, nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4301) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5

Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum,Op.Cit., hlm.66.

6Ibid. 7


(20)

c. Menyatakan Penjelasan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003, nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4301) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

d. Menyatakan Undang-Undang nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009, nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4965) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

e. Menyatakan Undang-Undang nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009, nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4965) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.8

Putusan Mahkamah Kostitusi dengan jelas menyatakan bahwa Undang-undang Badan Hukum Pendidikan merupakan produk hukum yang inkonstitusional sehingga perlu di batalkan karena tidak sesuai dengan konstitusi yang ada di Indonesia.

Dalam salah satu amar putusan tersebut, Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia telah memberikan penafsiran tersendiri mengenai Badan Hukum Pendidikan, yaitu diputuskan bahwa istilah ”Badan Hukum Pendidikan ” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional bukanlah nama dan badan hukum tertentu, melainkan sebutan fungsi penyelenggaraan pendidikan dan bukan sebagai badan hukum tertentu.9

Amar putusan ini mempunyai arti yang tegas jika dikaitkan dengan salah satu Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ketika memutuskan gugatan tersebut ditegaskan bahwa suatu lembaga pendidikan harus dikelola oleh

8

Habib Adjie,”Pasca Putusan MKRI: Penyelenggaraan Pendidikan Formal oleh Swasta

Kembali ke Yayasan”Renvoi ,12.84.VII (Mei,2010), hlm.67.

9 Ibid.


(21)

suatu badan hukum.

Pasca pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi menutup eksistensi atau riwayat segala hal mengenai badan hukum pendidikan sebagai Badan Hukum Pendidikan yang dikonstruksikan sebagai lembaga penyelenggara pendidikan formal. 10

Menteri Pendidikan Nasional menjelaskan, solusi untuk mengusulkan Undang-Undang baru sebagai pengganti Undang-Undang-Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan bisa saja dilakukan, namun untuk jangka pendek pihaknya akan mencari payung hukum dalam menyelenggarakan pendidikan. Membuat Undang-Undang baru cukup lama, sekarang yang dipikirkan adalah penyelenggaraan pendidikan memiliki payung hukum yang jelas. Kepastian payung hukum itu harus cepat sehingga ada kejelasan status hukum bagi perguruan tinggi negeri yang menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional harus berjalan. Seperti masalah gaji dosen yang jika pembayarannya masih memakai standar yang dipergunakan perguruan tinggi itu akan menjadi masalah. Semua masalah yang timbul dari dicabutnya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan harus segera diselesaikan. Sejak ditolaknya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, muncul berbagai komplikasi di lapangan, terutama di perguruan tinggi atau yayasan pendidikan milik swasta. Awalnya, pengelolaan lembaga pendidikan swasta akan diubah dalam Badan Hukum Pendidikan milik masyarakat (BHPM). Namun, karena Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan sudah tidak ada, maka Kemendiknas harus mencari

10

Habib Adjie,”Pasca Putusan MKRI: Penyelenggaraan Pendidikan Formal oleh Swasta


(22)

solusi baru.11

Pasca pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ternyata mempunyai implikasi hukum tertentu, seperti bagaimana status Badan Hukum Yayasan Pendidikan pasca pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, kemudian apabila ternyata telah ada yang mendirikan Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM) dan mendapatkan pengesahan dalam masa berlakunya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (16 Januari 2009 – 31 Maret 2010 ) bagaimana Kedudukan Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (akta dan pengesahannya), Bagaimana kedudukan hukum akta/pengesahannya tersebut pasca putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai ”Status Badan Hukum Yayasan Pendidikan Pasca Pembatalan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan (Studi Kasus Putusan No 11-14-21-126-136/PUU/VII/2009).

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang permasalahan diatas maka dapat diidentifikasikan permasalahan utama dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana status Badan Hukum Yayasan Pendidikan pasca pembatalan Undang-Undang nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan oleh

11.

Kominfo-Newsroom,Presiden : Kemendiknas Harus Cari Solusi Baru Pasca-Pembatalan UU BHP, http:// www .depkominfo.go.id /berita/bipnewsroom/presiden-kemendiknas-harus-cari-solusi-pasca-pembatalan-uu-bhp-2/ .Diakses tanggal 2 September 2010, jam 07.30 WIB


(23)

Mahkamah Konstitusi?

2. Bagaimana Kedudukan hukum akta/ pengesahan Badan Hukum Pendidikan Masyarakat pasca pembatalan Undang-Undang nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi?

3. Bagaimana pendirian dan penyesuaian yang dilakukan Yayasan Pendidikan pasca pembatalan Undang-Undang nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi di Kota Medan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan mengkaji status Badan Hukum Yayasan Pendidikan pasca pembatalan Undang-Undang nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi.

2. Untuk mengetahui dan mengkaji kedudukan hukum akta dan pengesahan Badan Hukum Pendidikan Masyarakat pasca pembatalan Undang-Undang nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi. 3. Untuk mengetahui dan mengkaji bagaimana pendirian dan penyesuaian yang

dilakukan Yayasan Pendidikan pasca pembatalan Undang-Undang nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi.

D. Manfaat Penelitian


(24)

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan masukan untuk penambahan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang hukum pada umumnya dan ilmu hukum dibidang kenotariatan pada khususnya yaitu memberikan gambaran yang jelas mengenai status badan hukum yayasan pendidikan, kedudukan hukum badan hukum pendidikan masyarakat, kedudukan hukum akta dan pengesahan badan hukum pendidikan masyarakat dan proses penyesuaian yayasan pasca pembatalan Undang-Undang nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi . 2. Manfaat Praktis

a. Manfaat praktis bagi masyarakat adalah memberikan pengetahuan yang jelas mengenai payung hukum dalam penyelenggaraan pendidikan formal pasca pembatalan Undang-Undang nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

b. Manfaat praktis bagi kalangan Notaris adalah memberikan pengetahuan yang jelas agar tidak terjadi kekeliruan dalam memberikan infomasi dan pelayanan kepada masyarakat dalam pembuatan akta-aktanya.

c. Manfaat praktis bagi pengurus yayasan adalah memberikan pengetahuan yang jelas mengenai status badan hukum yayasan pendidikan pasca pembatalan Undang-Undang nomor 9 tahun 2009.


(25)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Sekolah Pascasarjana, maka penelitian dengan judul ” Status Badan Hukum Yayasan Pendidikan Pasca Pembatalan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi No.11-14-21-126-136/PUU-VII/2009)”, belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya.

Pernah ada penelitian sebelumnya terkait dengan Yayasan Pendidikan yang dilakukan oleh:

1. Rosniaty Siregar, Mahasiswa Program Studi Magister Kenotriatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, pada tahun 2010, dengan judul ”Kewajiban yuridis menyesuaikan akta Yayasan Pendidikan dengan berlakunya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan” dengan beberapa permasalahan yang diteliti yaitu bagaimana ketentuan, proses dan hambatan tentang penyesuaian akta Yayasan Penyelenggara pendidikan setelah berlakunya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.

2. Saadah, Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, pada tahun 2006, dengan judul ”Pertanggung-jawaban pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan pendidikan menurut Undang-Undang Yayasan nomor 28 Tahun 2004”.

3. Irma Fatmawati, Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, pada tahun 2007, dengan judul ”Analis hukum prinsip


(26)

transparansi pengelolaan kegiatan usaha Yayasan menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 jo Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 (Studi pada Yayasan Prof.dr.H. Khadirun Yahya)

Namun jika dihadapkan penelitian yang telah dilakukan tersebut dengan penelitian ini, maka berbeda materi dan pembahasan yang dilakukan.

Dengan demikian, maka penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertanggung jawabkan dari segi isinya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran.12

Menurut M. Solly Lubis menyebutkan bahwa landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang djadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang merupakan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.13

Menurut Mukti Fajar teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan

12

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hlm.6.

13


(27)

simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.14 Sedangkan suatu kerangka teori bertujuan menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasi dan menginterpretasi hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu15. Oleh karena itu dalam meneliti tentang status Badan Hukum Yayasan Pendidikan pasca pembatalan Undang-undang nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan menggunakan teori sebagai pisau analisis untuk menjelaskan permasalahan yang ada yaitu dengan teori negara hukum (rechtstaat).

Teori negara hukum yaitu suatu teori mengenai sistem kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku yang berkeadilan yang tersusun dalam suatu konstitusi, dimana semua orang dalam negara tersebut, baik yang diperintah maupun yang memerintah, harus tunduk hukum yang sama, sehingga setiap orang yang sama diperlakukan sama dan setiap orang berbeda diperlakukan berbeda diperlakukan berbeda dengan dasar pembedaan yang rasional, tanpa memandang perbedaan warna kulit, ras, gender, agama, daerah dan kepercayaan, dan kewenangan pemerintah dibatasi berdasarkan suatu prinsip distribusi kekuasaan, sehingga pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dan tidak boleh melanggar hak-hak rakyat, karenanya kepada rakyat diberikan peran sesuai kemampuan dan perananya secara demokratis.16

Putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Maret 2010 dengan putusan

14

Mukti Fajar et al ., DualismePenelitian Hukum Normatif dan Empiris, PT.

Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm.134.

15

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum,Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hlm.19.

16

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), PT. Refika Aditama, Bandung,


(28)

nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 yang menyatakan ”bahwa Undang-undang Badan Hukum Pendidikan bertentangan dengan Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga Mahkamah Konstitusi menafsirkan bahwa Badan Hukum Pendidikan konstitusional sepanjang dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggaraan pendidikan dan bukan badan hukum tertentu”.

Agar tidak terjadi kekosongan hukum yang bisa menyebabkan ketidakpastian hukum atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan mengenai badan hukum penyelenggara pendidikan di Indonesia pasca putusan tersebut, maka berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ketika memutuskan gugatan tersebut bahwa suatu lembaga pendidikan harus dikelola oleh suatu badan hukum, dimana bentuk badan hukum yang dikenal dalam perundang-undangan adalah yayasan, perkumpulan, perserikatan, badan wakaf dan lain sebagainya.

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final untuk :

a Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c Memutus pembubaran partai politik ; dan

d Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.17

Tugas yang paling utama dari Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah

17


(29)

melakukan judicial review18, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24C dari Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang-Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi.19

Pasca pembatalan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia maka penyelenggaraan pendidikan formal oleh swasta kembali menggunakan badan hukum yang sudah ada yaitu yayasan atau perkumpulan, dengan demikian segala aturan tentang Yayasan tetap berlaku yaitu :

a Undang-Undang nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

b Undang-Undang nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

c Peraturan Pemerintah nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan.

Putusan Mahkamah konstitusi tersebut besifat final dan mengikat kepada seluruh warga negara Indonesia ,hal ini merupakan bentuk dari negara hukum yang dianut di Indonesia, sehingga keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjadi hukum positif yang menciptakan pengharmonisasian peraturan perundang-undangan dengan Undang-Undang Dasar, sehingga terwujudnya kepastian hukum dalam penyelenggaraan

18 Judicial review

adalah suatu pranata dalam ilmu hukum yang memberikan kewenangan kepada badan pengadilan umum, atau badan pengadilan khusus, ataupun lembaga khusus untuk melakukan peninjauan ulang, dengan jalan menerapkan atau menafsirkan ketentuan dan semangat dari konstitusi, sehingga hasil dari peninjauan ulang tersebut dapat menguatkan atau menyatakan batal atau membatalkan, atau menambah atau mengurangi terhadap suatu tindakan berbuat atau tidak berbuat dari aparat pemerintah (eksekutif) atau dari pihak-pihak lainnya (termasuk prlemen).

19


(30)

pendidikan di Indonesia.

Berbicara mengenai badan hukum, maka berhubungan dengan subjek hukum. Menurut R.Soeroso,” subjek hukum adalah :

a sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum.

b sesuatu pendukung hak yang menurut hukum berwenang/ berkuasa bertindak menjadi pendukung hak (Rechtsbevoegheid).

c segala sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban.20 Bentuk dari subjek hukum tersebut ada 2 (dua ) macam , antara lain : 1). Manusia (persoon)

Manusia dalam hukum positif merupakan persoon (natuurlijke persoon).

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa adalah makhluk yang sempurna dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa lainnya, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan, karena manusia mempunyai roh atau jiwa dan pikiran yang tidak dimiiki oleh makhluk lainnya.

2). Badan Hukum (recht persoon)

Menurut Wirjono Projodikoro sebagaimana yang dikutip oleh Sutarno, badan hukum adalah suatu badan disamping manusia perorangan juga dapat bertindak dalam hukum dan mempunyai hak dan kewajiban serta kepentingan-kepentingan terhadap orang lain atau badan lain.21

Untuk keikutsertaanya dalam pergaulan hukum maka suatu badan hukum harus mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum yaitu :

a). Memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggota-anggotanya.

20

R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum ,Sinar Grafika ,Jakarta, 2009, hlm.227-228.

21


(31)

b). Hak dan kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban para anggota-anggotanya.22

Menurut Hikmahanto Juwana 23, adapun jenis Badan Hukum yang selama ini dikenal yaitu :

(1).Perseroan Terbatas (2).Koperasi

(3).Yayasan

(4).Perusahaan Umum (5).Badan Layanan Umum (6).Perhimpunan

(7).Badan Hukum Milik Negara

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.28 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 menyatakan bahwa,”Yayasan adalah Badan Hukum yang terdiri atas kekayaan yang terpisah dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota”. Selain dari pada itu ,” yayasan baru dianggap sah sebagai badan hukum apabila telah memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Terhadap kekayaan yang terpisah adalah merupakan suatu konsekuensi logis dari suatu badan hukum yayasan. kekayaan yayasan merupakan ”Kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang atau barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh yayasan dari sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat, wakaf, hibah, hibah wasiat

22Ibid

.,hlm.238.

23


(32)

dan kekayaan lain yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar yayasan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.24

Pada prinsipnya kekayaan suatu badan hukum sudah terikat dengan tujuan dan maksud tertentu dari badan hukum yang bersangkutan. Dengan kata lain kekayaan tersebut adalah milik ” tujuan dan maksud” dari sebuah badan hukum. Disinilah tampak hubungan antara teori kekayaan bertujuan dengan badan hukum yayasan. Telah diketahui bahwa yayasan memiliki tujuan yag idealistis ,bersifat sosial dan kemanusiaan .Maka dari itu, kekayaan sebuah yayasan adalah alat yang seharusnya hanya digunakan untuk mencari tujuan dan maksud yayasan itu sendiri.25Kekayaan yayasan tersebut semata-mata digunakan untuk mencapai tujuan ideal yaitu,” di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan atau dengan kata lain yayasan didirikan tidak untuk diperuntukkan semata-mata untuk mencari keuntungan atau komersial (didasari prinsip Filantropis atau organisasi Nirlaba)”.26

Dalam rangka tercapainya maksud dan tujuan, Yayasan memerlukan kegiatan usaha, agar yayasan bisa melakukan kegiatan usaha Yayasan memerlukan wadah atau sarana.

Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuan dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan

24

Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan.

25

Rita M, Resiko Hukum Bagi Pembina,Pengawas dan Pengurus Yayasan , PT Penebar

Swadaya, 2009, hlm.47-48.

26

Omica,analisis Pemberlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Yayasan di Bidang

Pendidikan,Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara : Medan, 2005, hlm 29-30.


(33)

usaha.27Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan.28serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.29

Pasca pembatalan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan terhadap kedudukan Badan Hukum Pendidikan Masyarakat yang telah mendapatkan pengesahan dalam masa berlaku Undang-undang Badan Hukum Pendidikan maka digunakan kaidah hukum ex nunc, yang berarti bahwa perbuatan dan akibat dari akta/surat tersebut dianggap ada sampai saat dilakukan pembatalan.

Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial, Abdul Kadir Mappong mengatakan ada dua macam pembatalan sebuah peraturan dalam putusan uji materi di Mahkamah Agung. Ada pembatalan secara ex tunc dan secara ex nunc. Ia menjelaskan bila sebuah peraturan dibatalkan secara ex tunc maka semua akibat hukumnya batal juga, dicabut sampai ke akar-akarnya. Sedangkan pembatalan secara

ex nunc bersifat prospektif (berlaku ke depan). Kalau ex tunc bersifat retroaktif (berlaku surut) sedangkan ex nunc hanya sejak pembatalannya saja.30

Dalam ilmu perundang-undangan, jika suatu Undang-Undang telah diputuskan seperti tersebut diatas, maka Mahkamah Konstitusi akan mengembalikannya kepada pemerintah untuk dibuat Undang-Undang baru untuk

27

Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan

28

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan

29

Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan

30


(34)

mengatur hal yang sama dengan substansi yang berbeda.31 2. Kerangka Konsepsi

a Yayasan adalah ,

”Badan Hukum yang terdiri atas kekayaan yang terpisah dan diperuntukkan untuk tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota”.32

b Pendidikan formal adalah

”jalur pendidikan terstruktur dan berjenjang yang meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.”33

c Masyarakat adalah

”kelompok Warga Negara Indonesia non-pemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.”34

d Satuan Pendidikan adalah ,

”Kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan formal.”35 e Mahkamah Konstitusi adalah,

”Salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”36

31Ibid.

,hlm 67.

32

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan .

33

Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No.9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan.

34

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No.9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan.

35

Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No.9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan.

36


(35)

G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian dalam bahasa Inggris disebut research, adalah suatu aktivitas ”pencarian kembali” pada kebenaran (truth).37Pencarian kebenaran yang dimaksud adalah upaya-upaya manusia untuk memahami dunia dengan segala rahasia yang terkandung didalamnya untuk mendapat solusi atau jalan keluar dari setia masalah yang dihadapinya.38

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini, maka sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah ”mengambarkan semua gejala dan fakta yang terjadi di lapangan serta mengkaitkan dan menganalisa semua gejala dan fakta tersebut dengan permasalahan yang ada dalam penelitian dan kemudian disesuaikan dengan keadaan yang terjadi di lapangan”39.Dalam hal ini diarahkan untuk menelaah dan menjelaskan serta menganalisa teori hukum yang bersifat umum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai badan hukum penyelenggaraan pendidikan formal, khusunya Pendidikan Tinggi yang dikelola oleh masyarakat (swasta), sehingga diharapkan dapat diperoleh penjelasan bagaimana Status badan hukum yayasan pendidikan, Kedudukan badan hukum pendidikan masyarakat, pendirian badan hukum Pendidikan yang baru untuk pengelolaan pendidikan formal dan proses penyesuaian yayasan pasca pembatalan Undang-Undang nomor 9 tahun 2009

37

Sutandyo Wigyosubroto, Hukum, Paradigma,Metode dan Dinamika masalahnya, Huma,

2002, hlm 139.

38

Mukti Fajar et al ., DualismePenelitian Hukum Normatif dan Empiris, Op.Cit, hlm 20.

39


(36)

tentang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi dan sebagai hasilnya diharapkan dapat menjelaskan bagaimana status badan hukum bagi penyelenggaraan pendidikan formal oleh masyarakat (swasta) di Indonesia.

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian hukum normatif, yaitu meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.40Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji41 memberikan pendapat penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan (data sekunder) yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.

Dilihat dari pendekatannya, maka penelitian ini menggunakan pendekatan analitis yuridis (law Analytical Approach) yaitu pendekatan ini dilakukan dengan mencari makna pada istilah-istilah hukum yang terdapat di dalam perundang-undangan, dengan begitu peneliti memperoleh pengertian atau makna baru dari istilah-istilah hukum dan menguji penerapannya secara praktis dengan menganalisa putusan-putusan hukum. Pendekatan analitis ini digunakan oleh peneliti dalam rangka melihat suatu fenomena kasus yang telah diputus oleh pengadilan dengan cara melihat analisis yang dilakukan oleh ahli hukum yang dapat digunakan oleh hakim dalam pertimbangan putusannya.42Sehingga pengkajian dan analisa dilakukan terhadap norma-norma hukum atau kaidah-kaidah hukum dikaitkan dengan pertimbangan putusan oleh Mahkamah

40

Mukti Fajar et al ., DualismePenelitian Hukum Normatif dan Empiris,Op.Cit, hlm 34.

41

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji , Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,

Raja Grafindo, 1995, hlm.15.

42


(37)

Konsitusi terhadap pembatalan Undang-Undang nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

2. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian Hukum Normatif atau kepustakaan, Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer , bahan hukum sekunder, maupun bahan non hukum. 43

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni: 1). Undang-Undang Dasar 1945.

2). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

3). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 4). Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan.

5). Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan.

6). Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan. 8). Undang-Undang nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi 9). Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

10).Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Undang- Undang Yayasan.

11).Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan

43


(38)

Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

12).Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009. b Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum, yang terkait dengan masalah penelitian.

c. Bahan non hukum adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan masalah penelitian ini.

3. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data dalam penelitian ini yang dipergunakan adalah dengan cara : a. Wawancara yaitu menghimpun data dengan melakukan wawancara yang menggunakan pedoman wawancara untuk mendapatkan data primer dari informan

yang telah ditentukan yaitu :

1.) Notaris di Kota Medan, sebanyak 5 (lima) orang.

2.) Ketua Yayasan / Pengelola Yayasan Pendidikan di Kota Medan, sebanyak 2 (dua) orang.

3.) Kepala sub bagian Akreditasi dan Publikasi Kopertis Wilayah I NAD-SUMUT. 4.) Kepala Sub Direktorat Badan Hukum Jenderal Administrasi Hukum Umum

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia


(39)

kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang akurat dan relevan, dilaksanakan 2 (dua) tahap penelitian antara lain :

a Penelitian Lapangan.

Dilakukan penelitian ke lapangan untuk memperoleh bahan hukum primer dengan melalui pengumpulan data yang merupakan bahan utama penelitian.

b Penelitian Kepustakaan.

Penelitian Kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder baik yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Setelah diinventarisir dilakukan penelaahan untuk membuat intisari dari setiap peraturan yang bersangkutan.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori –teori yang telah didapatkan sebelumnya .Secara sederhana analisis data ini disebut sebagai kegiatan memberikan telaah, yang dapat berarti menentang, mengkritik, mendukung, menambah, atau memberi komentar dan kemudian membuat suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan dibantu dengan teori yang telah


(40)

dikuasainya.44

Bahan Hukum sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dan bahan hukum primer yang diperoleh dari penelitian lapangan (field research) kemudian disusun secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu untuk memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang bersifat umum untuk selanjutnya menuju kepada hal-hak yang bersifat khusus dalam menjawab segala permasalahan yang ada dalam suatu penelitian, sehingga memungkinkan menghasilkan kesimpulan yang menjawab permasalahan yang telah ditetapkan.

44


(41)

Pasca pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan memberikan implikasi hukum tertentu dalam pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.

Salah satu permasalahan pasca putusan mahkamah konstitusi tersebut adalah bagaimana status badan hukum yayasan pendidikan, Agar mendapat suatu gambaran yang kongkrit perlu kiranya ditelaah terlebih dahulu mengenai kewenangan mahkamah konstitusi yang merupakan lembaga yang baru diintrodusir pada perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang berfungsi menjaga kemurnian konstitusi dengan kewenangan untuk menguji konstitusionalitas suatu undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar serta kewenangan lainnya yang terkait dengan funginya sebagai the guardian of constitution , memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus sengketa pemilu, memutus pembubaran partai politik serta mengadili dan memutuskan pendapat DPR mengenai usul pemberhentian presiden.

A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi di Indonesia 1. Dasar Teoritis Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Indonesia telah membuat sejarah baru dalam membentuk sistem bernegara modern. Hal ini ditandai dengan lahirnya berbagai lembaga negara, salah satunya


(42)

adalah Mahkamah Konstitusi. Sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi diharapkan mampu menegakkan konstitusi dan prinsip-prinsip negara hukum sesuai dengan kewenangan yang diberikan.

Mahkamah Konstitusi juga diharuskan mampu memberi keseimbangan (check and balances) antara lembaga negara dan menyelesaikan sengketa konstitusional agar hukum dasar yang terkandung dalam UUD tetap terjaga.

Pembentukan mahkamah konstitusi sebagai lembaga yang tersendiri karena adanya kebutuhan suatu pengadilan yang secara khusus melakukan pengujian terhadap produk undang-undang.

Secara teoritis kewenangan mahkamah konstitusi didasari oleh prinsip-prinsip negara hukum yang dianut di Indonesia. Perkembangan kemajuan dan teknologi serta semakin kompleksnya kehidupan masyarakat menuntut adanya pengembangangan prinsip negara hukum.

Perlindungan terhadap hak-hak rakyat merupakan unsur utama dari suatu negara hukum, disamping unsur-unsur lainnya, Secara lebih terperinci, unsur-unsur minimal yang penting dari suatu negara hukum adalah sebagai berikut45 :

a Kekuasaan lembaga negara tidak absolut. b Berlakunya prinsip trias politica.

c Pemberlakuan sistem checks and balances.

d Mekanisme pelaksanaan kelembagaan Negara yang demokratis. e Kekuasaan lembaga kehakiman yang bebas.

f Sistem pemerintahan yang transparan. g Adanya kebebasan pers

h Adanya keadilan dan kepastian hukum.

45


(43)

i Akuntabilitas publik dari pemerintah dan pelaksanaan prinsp good governance.

j Sistem hukum yang tertib berdasarkan konstitusi

k Keikutsertaan rakyat untuk memilih para pemimpin di bidang eksekutif,

legislatif bahkan judikatif sampai batas-batas tertentu.

l Adanya sistem yang jelas terhadap pengujian suatu produk legislatif ,

eksekutif maupun judikatif untuk disesuaikan dengan konstitusi.

Pengujian tersebut dilakukan oleh pengadilan tanpa menyebabkan pengadilan menjadi super body.

m Dalam negara hukum, segala kekuasaan negara harus dijalankan sesuai dengan konstitusi dan hukum yang berlaku.

n Negara hukum haus melindungi hak asasi manusia.

o Negara hukum harus memberlakukan prinsip due process yang substansial. p Prosedur penangkapan, pengeledahan, pemeriksaan, penyidikan, penuntutan,

penahanan, penghukuman, dan pembatasan-pembatasan hak-hak si tersangka pelaku kejahatan haruslah dilakukan secara sesuai dengan prinsip due proses

yang prosedural.

q Perlakuan yang sama di antara warga negara di depan hukum. r Pemberlakuan prinsip majority rule minority protection. s Proses impeachment yang fair dan objektif.

t Prosedur pengadilan yang fair, efisien, reasonable, dan transparan.

u Mekanisme yang fair, efisien, reasonable dan transparan tentang pengujian terhadap tindakan aparat pemerintah yang melanggar hak-hak warga negara, seperti melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.

v Penafsirannya yang kontemporer terhadap konsep Negara hokum mencakup jugaa persyaratan penafsiran hak rakyat yang luas (terasuk hak untuk mendapat pendidikan dan tingkat hidup berkesejahteraan), pertumbuhan ekonomi yang bagus, pemerataan pendapatan, dan sistem politik dan pemerintahan yang modern.

Selanjutnya ada dua unsur dalam hukum yang terpenting sehingga hukum tidak menabrak prinsip-prinsip negara hukum adalah “kepastian” (certainly) dan prediktif.

Oleh karena itu dalam prinsip negara hukum tidak boleh berlaku surut (ex post facto). Dalam kasus Inggris yaitu Black-Clawson Internasional Ltd v.

Papierwerke AG (tahun 1975) hakim Lord Diplock menyatakan bahwa (ECS Wade, 1985: 102) :


(44)

The acceptance of the rule of law as a constitutional principle rquires that a

citizen, before commitiing himself to any course of action, should be able to know

what are the legal consequences that will flow from it. (Penerimaan ajaran rule of law sebagai prinsip konstitusi memerlukan syarat bahwa sebelum melakukan suatu tindakannya, seseorang warga negara harus mengetahui apa yang menjadi konsekuensi hukum sebagai akibat dari tindakannya tersebut).46

Dalam suatu negara hukum, mengharuskan adanya pengakuan normatif dan empirik terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan norma hukum secara hierarkis yang berpuncak kepada supremasi konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan diri pada aturan hukum.47

Menurut pendapat Tom R.Tyler, yang dikutip oleh Muhammad Yamin menyebutkan bahwa :

People obey the law because they believe that it is proper to do so, they react

to their experiences by evaluating their justice or injustice, and in evaluating the

justice of their experiences they consider factors unrealated to outcome, such as

wheather they had a chance to state their case and been treated with dignity and

46Ibid

. hlm 12.

47

Sri Rahayu Oktoberina et al., Butir-butir pemikiran dalam hukum-Memperingati 70 Tahun


(45)

respect48.(Orang mematuhi hukum karena mereka percaya bahwa itu adalah hal yang benar untuk dilakukan jadi mereka bereaksi terhadap pengalaman mereka dengan mengkaji keadilan dari pengalaman mereka untuk mempertimbangkan faktor-faktor yang tidak berhubungan dengan akibat seperti apahkah mereka memiliki kesempatan untuk mengajukan kasus mereka dan diperlakukan dengan penuh martabat dan rasa hormat).

Dengan demikian segala tindakan dari pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tersebut harus ada dan berlaku terlebih dahulu atau mendahului perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan harus berdasarkan aturan atau rules

dan procedures.

Menurut pakar hukum Eropa, Friedrich Julius Stahl, berpendapat bahwa negara hukum dalam arti formal mengandung unsur-unsur berupa :

a Pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia. b Pemisahan Kekuasaan.

c Pemerintahan berdasarkan undang-undang. d Peradilan administrasi.49

Menurut pandangan Paul Scholten, unsur-unsur negara hukum adalah : a Diakuinya hak-hak asasi manusia.

48

Tom R. Tyler, Why People obey the law, (Chelsea, Michigan : Printed in the United State

of America by Book Crafters Inc, 1990, hlm.178, seperti dikutip oleh Muhammad Yamin, Gadai Tanah sebagai Lembaga Pembiayaan Rakyat Kecil, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2004, hlm.120-121.

49


(46)

b Adanya pemisahan kekuasaan.

c Adanya pemerintahan yang berdasarkan undang-undang.50

Sedangkan menurut Friedman bahwa negara hukum identik dengan rule of law. Istilah recht staat mengandung arti pembatasan kekuasaan negara oleh hukum.51

A.V. Dicey memberi rumusan unsur-unsur rule of law yaitu :

a Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan. Seseorang hanya bisa di hukum jika melangar hukum.

b Kesamaan warga negara di dalam hukum, baik dari rakyat biasa maupun bagi pejabat.

c Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang dan keputusan-keputusan pengadilan.52

Pengadopsian teori dan prinsip negara hukum diterapkan melalui beberapa amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar konstitusi negara Republik Indonesia.

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dan auditatif yang diwujudkan dalam pelembagaan organ (institusi) pemerintah yang sederajat sekaligus saling mengontrol dan mengimbangi satu sama lainnya (checks and balances). Akibatnya, struktur parlemen berubah menjadi “dua kamar”

50

Muhammad Thair Azhary, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat

dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, 1992, hlm.9

51

Friedmen, Legal Theory, Stren & Sou Limted, London, 1960, hlm.456.

52

Moh.Mahfud M.D, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993,


(47)

(bikameral) yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kedua kamar parlemen tersebut secara bersama-sama menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), seperti kongres Amerika Serikat yang terdiri dari House of Representatives and Senate.53

Sehubungan diterapkan prinsip cheks and balances (pengawasan dan keseimbangan) itu, Fungsi kelembagaan yang tertinggi (seperti MPR sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945) tidak ada lagi, tetapi yang ada adalah lembaga tinggi negara. Adapun hubungan antara lembaga tinggi negara lebih bersifat fungsional, bukan hirerarki (vertikal dan horizontal) . Karenanya jika terjadi sengketa antara lembaga negara diselesaikan melalui lembaga kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi.

Pembentukan Mahkamah Konstitusi bermula dari ide dan pendapat Hans Kelsen54,yang mengusulkan dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama ”Verfassungsgerichtshoft” atau Mahkamah Konstitusi ( Constitutional Court). Gagasan Kelsen ini kemudian diterima dengan bulat dan diadopsikan kedalam naskah Undang-Undang Dasar Tahun 1920 yang disahkan dalam konvensi Konstitusi pada tangga 1 Oktober 1920 sebagai Konstitusi Federal Austria.

Menurut Hans Kelsen kemungkinan muncul konflik antara norma yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah, bukan saja berkaitan antara undang-undang (statute) dan putusan pengadilan, tetapi juga berkaitan dengan hubungan antara

53

Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm.222.

54


(48)

konstitusi dan undang-undang. Suatu undang-undang (statute) hanya berlaku dan dapat diberlakukan jika sesuai dengan konstitusi, dan tidak berlaku jika bertentangan dengan konstitusi.

Suatu undang-undang hanya sah jika dibuat berdasarkan ketentuan-ketentuan konstitusi.Karena itu diperlukan suatu badan atau pengadilan yang secara khusus untuk menyatakan inkonstitusionalitas dari suatu undang-undang yang sedang berlaku Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan55 ” There may be a special organ established for this purpose , for instance, a special court, as so called

”constitutional court” or the control of the constitutionality of statutes, the so called

”judicial review”may be conferred upon the ordinary court, and especially upon the

supreme court.”

Jadi pada awalnya mahkamah konstitusi merupakan suatu lembaga yang dimaksudkan hanya untuk menguji konstitusionalitas (constitutional review) dari suatu undang-undang terhadap konstitusi, karena itu mahkamah konstitusi sering disebut juga “ the guardian of the constitution”(pengawal konstitusi).

2. Dasar Yuridis Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Pada mulanya upaya melembagakan pengujian yudisial itu selalu terbentur pada dominasi eksekutif dalam bidang politik. Namun pada awal reformasi 1998 dominasi eksekutif menjadi sangat berkurang dan dirasa sangat perlunya reformasi

55

Hans Kelsen, General Theory of Law and State,Translated by Anders Wedberg, New


(49)

konstitusi melalui amandemen atas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Gagasan utama yang muncul saat itu adalah56:

a Perlunya mekanisme pengujian yudisial agar UU selalu konsisten dengan UUD. b Perlunya mekanisme pengujian yang dapat dioperasionalkan terhadap semua

peraturan perundang-undangan yang selama ini tidak pernah dapat dioperasionalkan.

Pada tahun 2000, saat perubahan UUD 1945 tahap II dilakukan, diterima gagasan adanya mahkamah konstitusi untuk menguji UU terhadap UUD, tetapi kesepakatan komisi A belum disahkan pada tahun itu karena masih harus diperdalam dengan kajian-kajian oleh Panitia Ad Hoc (PAH) I BP MPR.

Namun pada tahun yang sama (tahun 2000) komisi C Sidang Tahunan MPR mengeluarkan Tap MPR No.III/MPR/2000 yang berisi:

1). MPR menguji secara materiil UU terhadap UUD

2). MA menguji material peraturan perundang-undangan di bawah UU. 3). Peraturan perundang-undangan terdiri dari :

a). UUD

b). Tap MPR (S) c). UU

d). Perppu e). PP

56

Moh.Mahfud M.D, Konstitusi dan Hukum dalam Konroversi Isu, PT.Rajagrafindo Persada,


(50)

f). Keppres g). Perda

Tentu saja hal ini menimbulkan masalah karena :

(1).Uji materi UU terhadap UUD oleh MPR tidak sejalan dengan keputusan komisi A yang memberikan kewenangan pengujian UU terhadap UUD kepada MK.

(2).Penempatan Perppu dibawah UU berarti memberi wewenang pada MA untuk menguji Perppu terhadap UU. Ini salah karena57:

(a). Perppu itu sejajar dengan UU, karena Perppu itu sebenarnya UU yang dibuat dalam keadaan genting dan memaksa sebagai pengganti UU58, bukan sebagai pelaksana UU59.

(b). Jika Perppu bisa diuji oleh MA maka berarti menghilangkan hak pengujian oleh DPR (political review/ legislative review) pada persidangan DPR berikutnya, padahal pengujian Perppu itu mutlak menjadi kewenangan lembaga legislatif 60.

Sejak tahun 2001 secara resmi Amandemen ketiga menerima masuknya mahkamah konstitusi di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tentu saja keberadaan

57

Ibid, hlm 261.

58

Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

59

Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945.

60


(51)

lembaga mahkamah konsttusi ini merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan.61

Sebagian besar negara demokrasi yang sudah mapan tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri .Sampai sekarang baru ada 78 negara yang membentuk mahkamah itu secara tersendiri.62

Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi menurut pasal 7B dan Pasal 24 C kewenangannya bukan hanya menguji UU terhadap UUD melainkan meliputi63:

a. Kewenangan

1). Pengujian UU terhadap UUD.

2). Mengadili sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD.

3). Memutus pembubaran parpol.

4). Memeriksa dan memutus perselisihan hasil pemilu.

5). Sejak keluarnya UU No. 12 Tahun 2008 mahkamah konstitusi diberi kewenangan baru yaitu memeriksa dan memutus perselisihan hasil pemilu kepala daerah.

b. Kewajiban

Memutus pendapat DPR bahwa presiden/ wapres telah melakukan pelanggaran tertentu menurut UUD dan/ atau presiden/ wapres tidak lagi memenuhi syarat.

Sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar.

61

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta ,

2010, hlm.200.

62

Ibid.

63


(52)

Peradilan Konstitusional itu dimaksudkan untuk memastikan bahwa UUD sungguh-sungguh dijalankan atau ditegakkan dalam kegiatan penyelenggaraan negara sehari-hari.64

Pemeriksaan pengujian undang-undang dapat dilakukan secara material (materiile toetsing) atau secara formil (formele toetsing), Jika pengujian tersebut dilakukan atas materi undang-undang, maka pengujian tersebut disebut pengujian formal. Misalnya pengujian atas proses prosedural terbentuknya undang-undang itu ataupun atas proses administratif pengundangan dan pemberlakuannya untuk umum yang ternyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar ataupun prosedur menurut undang-undang yang didasarkan atas Undang-Undang Dasar, dapat disebut pengujian yang bersifat formil.65

Dalam bahasa Inggris, konsep pengujian peraturan perundang-undangan ini biasa dikaitkan dengan istilah judicial review atau dalam bahasa Belanda dengan istilah toetsingrecht yang berarti hak menguji atau hak uji.

Di Indonesia berkembang luas kesalahan pengertian dalam memahami makna istilah-istilah judicial review dan toetsingsrecht. Oleh karena itu perlu dibedakan pengertiannya dari berbagai segi yaitu66 :

a Pengujian dari segi subjeknya terdiri atas :

1). Pengujian oleh lembaga eksekutif yang dapat disebut executive review.

64

Sophia Hadyanto (editor), Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi” Dalam Rangka

Ulang Tahun ke-80 Prof.Solly Lubis, PT. Sofmedia, Jakarta, 2010, hlm.310.

65

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, PT.Bhuana Ilmu Populer,

Jakarta , 2007, hlm.589.

66


(1)

Ais, Chatamarrasjid, Badan Hukum Yayasan, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2002 Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

Asshiddiqie ,Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Ali, Chaidir ,et.al, Badan Hukum, Bandung: Alumni,1991.

, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007.

Arrasjid, Chainur, Pengantar Ilmu Hukum, Medan: Penerbit Yani Corporation, 1988. Attamimi, A. Hamid S, Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Bangsa Indonesia,

dalam Oetoyo Oersman dan Alfian (ed.), Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: BP-7 Pusat, 1992.

Azhary, Muhammad Thair, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, 1992.

Bentham Jeremy,Teori Perundang-Undangan: Prinsip-prinsip, Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2010.

Bungi, Burhan, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, Jakarta: P.T Raja Grafindo Persada, 2003.

Borahima, Anwar, Kedudukan Yayasan Di Indonesia, Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2010.

Budiono, Herlien, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2010.


(2)

, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia,Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006.

Fajar, Mukti, et al., Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar, 2010.

Fuady, Munir, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Bandung :PT. Refika Aditama, 2009

Prasetya, Rudhi, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.

Friedmen, Legal Theory, London: Stren & Sou Limted, 1960.

Gautama, Sudargo, Komentar Atas Undang-Undang Perseroan Terbatas (Baru) Tahun 1995 No.1 Perbandingan dengan Peraturan Lama, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995.

Hadyanto, Sophia (editor), Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi” Dalam Rangka Ulang Tahun ke-80 Prof.Solly Lubis, Jakarta: PT. Sofmedia, 2010. Kelsen Hans , General Theory of Law and State,Translated by Anders Wedberg, New

York: Russell & Russell, 1961.

Kusumaatmadja, Mochtar, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Bina Cipta.

Tan, Thong Kie, Buku I Studi Notariat, Serba-Serbi Praktek Notaris, Jakarta, Ichtiar Baru Vanhaeve, 2000

M.,Rita, Resiko Hukum Bagi Pembina,Pengawas dan Pengurus Yayasan, Jakarta : Forum Sahabat, 2009.

Mamuji Sri dan Soekanto Soerjono, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta:1995.

M.D, Moh.Mahfud, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1993.

, Konstitusi dan Hukum dalam Konroversi Isu, Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada, 2010.


(3)

Mertokusumo Sudikono,et.al, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993.

Notodisoerjo, R. Soegondo, Hukum Notariat di Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1982

Oktoberina, Sri Rahayu, et al., Butir-Butir pemikiran dalam hukum-Memperingati 70 Tahun Prof.Dr.B.Arief Sidharta, Bandung: PT.Refika Aditama, 2008.

Prasetya, Rudi, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.

Erni Setyowati Erni, et.al., Panduan Praktis Pemantauan Proses Legislasi,Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2005.

Rahimullah, Hukum Tatanegara Ilmu Perundang-Undangan, Jakarta: PT.Gramedia, 2006

Soeroso,R., Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1999 Soekanto,Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum,Jakarta: UI Press, 1981.

Soemitro, Rochmat, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan, dan Wakaf, Eresco, 1993. Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan

Pembentukannya, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1998.

Solly Lubis,M., Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Bandung: Mandar Madju,1994.

, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, Bandung: Mandar Maju, 2009.


(4)

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank,Bandung: Alfabeta , 2004. Syahrin, Alvi, Beberapa Masalah Hukum, Medan: PT.Softmedia, 2009.

Thalib, Abdul Rasyid, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, , 2006.

Thaib, Dahlan, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945,Yogyakarta: Liberty.

Tobing, G.H.S Lumban, Peraturan Jabatan Notaris,Jakarta: Erlangga,1992. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Jakarta: Ichtiar, 1962. Wahjono, Padmo, Pembangunan Hukum Indonesia,Jakarta: Indhill Co,1989.

Wigyosubroto, Sutandyo, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika masalahnya, Huma, 2002.

Yamin, Muhammad, Gadai Tanah sebagai Lembaga Pembiayaan Rakyat Kecil, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004.

Yamin, Muhammad, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.

Yasyin, Sulchan (Editor), Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Penerbit Amanah, 1997.

B. Artikel

Adjie, Habib,”Pasca Putusan MKRI: Penyelenggaraan Pendidikan Formal oleh Swasta Kembali ke Yayasan”: Jurnal Renvoi, Mei 2010 .


(5)

Attamimi, A. Hamid S, Hukum Tentang Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan), Pidato Purna Bakti Guru Besar Tetap Universitas Indonesia, Jakarta, 1993.

Hutagalung, Arie S., Masalah-Masalah Yuridis Praktis dalam Pembuatan Gros Akta Eksekusi Tanah oleh Notaris, Jurnal Hukum dan Pembangunan, UI Press, Jakarta, 2001.

Iskandar, Lisman Iskandar, Aspek Hukum Yayasan Menurut Hukum Positif Di Indonesia, Majalah Yuridika, September-Desember 1997.

Juwana, Hikmahanto, Penyusunan Naskah Akademik Sebagai Prasyarat dalam Perencanaan Pembentukan RUU, Cisarua, 2006.

Omica, Analisis Pemberlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Yayasan di Bidang Pendidikan,Medan: Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2005.

Sujadi, Soeparjo, Fungsi dan Kewenangan Notaris dalam UU tentang Jabatan Notaris, Jurnal Hukum dan Keadilan, , Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2005.

C. Internet

http:// www.depkominfo.go. id. http:// www.hukumonline.com. http:// www.perbanas.edu.

D. Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan.


(6)

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII2009.