II. TINJAUAN PUSTAKA
Kegunaan tinjauan pustaka library research di dalam suatu penelitian adalah untuk memperdalam pemahaman tentang masalah yang hendak diteliti. Tinjauan
pustaka dapat diperoleh dari studi linteratur dan pengamatan terhadap hasil-hasil penelitian para peneliti terdahulu.
Pada dasarnya bentuk bahan pustaka dapat digolongkan dalam empat golongan pokok, yaitu:
1. Bukumonograf; 2. Terbitan berkalaterbitan berseri
3. Brosurpamphlet 4. Bahan non-buku Soerjono Soekanto Sri Mamudji, 1995:28-29.
A. Pengertian, Kebebasan dan Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana
Pengertian hakim menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 1997 memberi tiga definisi hakim, yaitu:
1. Orang yang mengadili perkara di pengadilan atau mahkamah
2. Pengadilan, atau
3. Juri penilai
Sedangkan dalam Kamus Hukum karya JCT Simorangkir, Rudy T Prasetya, dan J.T. Prasetyo secara sederhana mengartikan hakim sebagai petugas pengadilan
yang mengadili perkara. Hakim adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional.
Tugas utama hakim adalah mengadili yaitu serangkaian tindakan untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana menentukan mana yang benar dan mana
yang salah berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Oleh karena itu hakim harus mengenal hukum di samping peristiwanya.
Menurut Sudarto, hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut Sudarto, 1986:74:
1. Keputusan mengenai peristiwanya, yaitu apakah terdakwa telah
melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya, dan kemudian 2. Keputusan mengenai hukumnya, yaitu apakah perbuatan yang dilakukan
terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana, dan akhirnya
3. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat
dipidana.
Seorang hakim haruslah independen, tidak memihak kepada siapapun juga, kalau sudah dalam sidang semuanya diperlakukan sama. Hakim harus berpegang kepada
Tri Parasetya Hakim Indonesia. Hakim harus dapat membedakan antar sikap kedinasan sebagai jabatannya sebagai pejabat negara yang bertugas menegakkan
keadilan dengan sikap hidup sehari-hari sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat. Untuk membedakan itu hakim mempunyai kode etik sendiri
bagaimana supaya dia dapat mengambil sikap. Undang-Undang UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
tugas Hakim untuk mengadili perkara berdimensi menegakkan keadilan dan menegakkan hukum
.
Hakim dalam melaksanakan tugasnya harus bebas dan tidak boleh terpengaruh atau memihak kepada siapapun. Jaminan kebebasan ini juga
diatur dalam berbagai peraturan, yaitu dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan: “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Hal di atas ditegaskan kembali dalam pengertian kekuasaan kehakiman yang disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut hakim dalam memeriksa seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana pada proses persidangan harus memerhatikan hal-hal
seperti yang tercantum di dalam Pasal 3-10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 sebagai berikut:
Pasal 3 menentukan: 1 Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib
menjaga kemandirian peradilan, 2 Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar
kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
3 Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 4 menentukan: 1 Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
2 Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana,
cepat, dan biaya ringan.
Pasal 5 menentukan: 1 Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. 2 Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum. 3 Hakim dan hakim konstitusi wajib mentaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim
Pasal 6 menentukan: 1 Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan, kecuali undang-
undang menentukan lain. 2 Tidak seorang pun dapat dijstuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena
alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas
perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
Pasal 7 menentukan: Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan
penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 8 menentukan: 1 Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan
di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
2 Dalam mempertimbangkan
berat ringannya
pidana, hakim
wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
Pasal 9 menentukan: 1 Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
2 Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. 3 Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi, dan
pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang.
Pasal 10 menentukan: 1 Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
2 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak menuntut usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.
Undang-undang memberikan syarat-syarat kepada hakim dalam menjatuhkan pidana bagi seseorang. Syarat-syarat tersebut adalah:
a Karena pembuktian yang sah menurut undang-undang;
b Untuk dikatakan terbukti dengan sah sekurang-kurangnya harus ada dua alat
bukti yang sah Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP;
c Adanya keyakinan hakim;
d Orang
yang melakukan
tindak pidana
pelaku dianggap
dapat bertanggungjawab;
e Adanya kesalahan melakukan tindak pidana yang didakwakan atas diri pelaku
tindak pidana tersebut.
Alat bukti yang sah di dalam Pasal 184 angka 1 KUHAP adalah sebagai berikut: 1 Keterangan saksi; 2 Keterangan ahli; 3 Surat; 4 Petunjuk; dan 5
keterangan terdakwa.
Pasal 53 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman menyebutkan bahwa dalam memeriksa dan memutus
perkara, hakim bertanggung jawab atas penerapan dan putusan yang dibuatnya. Penetapan dan putusan tersebut harus memuat pertimbangan hakim yang
didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.
Adanya Undang-Undang No.48 Tahun 2009, maka kebebasan hakim semakin besar, dimana hakim selain mempunyai kebebasan dalam menentukan jenis
pidana strafsoort, ukuran pidana atau berat ringannya pidana strafmaat dan cara pelaksanaan pidana straf modus atau straf modalitet, juga mempunyai
kebebasan untuk menemukan hukum rechtsvinding terhadap peristiwa yang tidak diatur dalam undang-undang, atau dengan kata lain hakim tidak hanya
menetapkan tentang hukumnya, tetapi hakim juga dapat menemukan hukum dan akhirnya menetapkannya sebagai keputusan.
Menurut Sudarto Muladi, 1998: 67-68, pedoman pemberian pidana ini akan memudahkan hakim dalam menetapkan pemidanaannya setelah terbukti bahwa
tertuduh telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Dalam daftar tersebut dimuat hal-hal yang bersifat subyektif yang menyangkut hal-hal yang
diluar pembuat. Dengan memperhatikan butir-butir tersebut diharapkan
penjatuhan pidana lebih perlindungan proposional dan lebih dipahami mengapa pidananya seperti yang dijatuhkan itu. Untuk itu perlu ditetapkan suatu pedoman
dan aturan pemberian pidana bagi hakim dalam memberikan keputusannya, di dalam kebebasannya sebagai hakim, ada juga batasnya yang ditetapkan secara
objektif. Pedoman pemidanaan ini akan sangat membantu hakim dalam
mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, sehingga akan memudahkan hakim dalam menetapkan takaran pemidanaan. Dari uraian di atas,
dapat diketahui betapa pentingnya peranan hakim dalam menjatuhkan suatu pidana atau putusan terhadap suatu perkara yang ditandatanganinya. Hakim
dituntut benar-benar memahami tuntutan dari jaksa yang diajukan dalam persidangan untuk benar-benar menegakkan keadilan sesuai dengan hukum.
Putusan hakim merupakan pertanggungjawaban hakim dalam melaksanakan tugasnya untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara yang diajukan
kepadanya, dimana pertanggungjawaban tersebut tidak hanya ditujukan kepada hukum, dirinya sendiri ataupun kepada masyarakat luas.
Pada akhirnya, bagaimanapun isi putusan suatu perkara, selama Hakim memegang
independensinya, maka suatu putusan selalu dapat dipertanggungjawabkan tetapi
yang lebih penting lagi putusan itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Putusan vonnis Hakim harus mencantumkan landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis seorang hakim, yaitu:
1. Landasan filosofis, yaitu yang berkaitan dengan tujuan dijatuhkannya putusan terhadap pelaku yang lebih mengarah kepada perbaikan diri si pelaku dari
pada pemberian hukuman atau pidana. 2. Landasan sosiologis, yaitu yang berkaitan dengan keadaan masyarakat di
sekitar pelaku, yang mana dengan pemberian putusan tersebut diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.
3. Landasan yuridis, berkaitan dengan ketentuan-ketentuan hukum dalam pengambilan keputusan di persidangan, yang meliputi:
a Pembuktian di persidangan, diperlukan pembuktian yang sah menurut undang-undang sehingga seseorang dapat diadili dan dijatuhi pidana.
b Pertimbangan Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara selanjutnya adalah pada dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut
umum JPU. c Hakim wajib pula mempertimbangkan sifat yang baik dan yang tidak
baik dari diri terdakwa dalam menentukan berat ringannya hukuman.
Landasan filosofis dan sosiologis, penerapannya sangat memerlukan pengalaman dan pengetahuan yang luas serta kebijaksanaan yang mampu mengikuti nilai-nilai
dalam masyarakat yang terabaikan. Jelas penerapannya sangat sulit sebab tidak mengikuti asas legalitas dan tidak terikat pada system. Pencantuman ketiga unsur
tersebut tidak lain agar putusan dianggap adil dan diterima masyarakat.
B. Sistem Penjatuhan Hukuman Sanksi Dalam Undang-Undang Pengadilan Anak