ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA YANG LEBIH TINGGI DARI TUNTUTAN PENUNTUT UMUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.75/Pid.B/2012/PN.TK)

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA YANG LEBIH TINGGI DARI TUNTUTAN

PENUNTUT UMUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.75/Pid.B/2012/PN.TK)

Oleh

ADA TUA SIMBOLON

Pencabulan adalah kejahatan seksual yang dilakukan seorang pria atau perempuan dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan. Pencabulan memiliki pengertian sebagai suatu gangguan psikoseksual dimana seseorang memperoleh kepuasan seksual. Perbuatan pencabulan yang dijatuhi hukuman kepada seorang anggota kepolisian dimana perbuatan cabul yang dilakukan bersama beberapa orang temannya kepada seorang wanita oleh hakim dipidana penjara selama 2 (dua) tahun. Putusan hakim dengan hukuman selama 2 (dua) tahun merupakan putusan yang melebihi tuntutan penuntut umum. Putusan hakim yang melebihi tuntutan penuntut umum merupakan putusan yang tidak biasa dilakukan oleh hakim dalam penjatuhan pidana, biasanya hakim menjatuhkan putusan lebih ringan dari tuntutan yang didakwakan penuntut umum terhadap terdakwa. Adapun permasalahan yang menyangkut Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Yang Lebih Tinggi Dari Tuntutan Penunutut Umum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencabulan, yaitu bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana yang lebih tinggi dari tuntutan penuntut umum terhadap pelaku tindak pidana pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.75/Pid.B/2012/PN.TK) dan bagaimana mekanisme penjatuhan sanksi pidana sebagaimana yang diatur dalam hukum positif Indonesia (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.75/Pid.B/2012/PN.TK.

Pendekatan dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data yang diperoleh kemudian diolah setelah data diolah kemudian dianalisis secara kualitatif guna mendapatkan suatu


(2)

kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa terdakwa Aulia Rahman Bin Abdul Jalil terbukti melakukan perbuatan tindak pidana pencabulan dan dihukum penjara selama 2 (dua) tahun. Hakim menjatuhi pidana selama 2 (dua) tahun terhadap terdakwa Aulia Rahman terbukti melanggar Pasal 289 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Aulia Rahman adalah karena telah sudah terpenuhinya unsur-unsur dari Pasal 289 KUHP serta beberapa hal yang memberatkan.

Saran yang diberikan penulis ialah hakim harus lebih selektif dalam menjatuhkan vonis kepada terdakwa, karena pidana itu dianggap penulis terlalu ringan. mengingat bahwa terdakwa adalah seorang anggota kepolisian yang seharusnya memberikan keamanan, pengayoman, dan perlindungan kepada masyarakat.

Kata Kunci: Pertimbangan Hakim, Sanksi Lebih Tinggi Dari Tuntutan, Tindak Pidana Pencabulan.


(3)

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN

SANKSI PIDANA YANG LEBIH TINGGI DARI TUNTUTAN

PENUNTUT UMUM TERHADAP PELAKU

TINDAK PIDANA PENCABULAN

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang

No. 75/Pid.B/2012/PN.TK)

Oleh

Ada Tua Simbolon

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(4)

Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Yang Lebih Tinggi Dari Tuntutan Penuntut Umum Terhadap

Pelaku Tindak Pidana Pencabulan

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.75/Pid.B/2012/PN.TK)

( Skripsi )

Oleh

ADA TUA SIMBOLON

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 17

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pidana dan Tujuan Pemidanaan...……... 19

B. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan ... 32

C. Teori Dasar - Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhi Pidana 34 D. Teori Mekanisme Penjatuhan Sanksi Pidana Sebagaimana Yang diatur Dalam Hukum Positif Indonesia ... 37

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 41

B. Sumber dan Jenis Data ... 41

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 43

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 44


(8)

B. Gambaran Umum Putusan... 48 C. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Dalam Putusan Perkara Tindak

Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No. 75/Pid.B/2012/PN.TK) ... 50 D. Mekanisme Penjatuhan Sanksi Pidana Sebagaimana Yang Diatur

Dalam Hukum Positif Indonesia (Studi Putusan Pengadilan Negri Tanjung Karang No. 75/Pid.B/2012/PN.TK) ... 75

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 105 B. Saran ... 107


(9)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Kejahatan merupakan salah satu kenyataan dalam kehidupan yang mana memerlukan penanganan secara khusus. Hal tersebut dikarenakan kejahatan akan menimbulkan keresahan dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, selalu diusahakan berbagai upaya untuk menanggulangi kejahatan tersebut, meskipun dalam kenyataanya sangat sulit untuk memberantas kejahatan secara tuntas karena pada dasarnya kejahatan senantiasa berkembang pula seiring dengan perkembangan masyarakat.1

Perkembangan kemajuan masyarakat yang begitu pesat, di dalam kehidupan bermasyarakat, berdampak kepada suatu kecenderungan dari anggota masyarakat itu sendiri untuk berinteraksi satu dengan yang lainnya, dan dalam interaksi itu sendiri terjadi suatu perbuatan yang melanggar hukum atau kaidah-kaidah yang telah ditentukan dalam masyarakat, untuk menciptakan rasa aman, tentram dan tertib dalam bermasyarakat. Dalam hal ini tidak semua anggota masyarakat mau untuk menaatinya, bahkan ada juga para penegak hukum yang seharusnya memberantas kejahatan melakukan penyimpangan yang tidak disukai oleh masyarakat.

1

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Jakarta: PT. Refika Aditama, 2002), hlm. 15.


(10)

Salah satu contoh dari perilaku menyimpang adalah tindak pidana pencabulan, yang merupakan perwujudan dari seseorang yang melakukan suatu perbuatan atau tindakan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan lain yang keji. Semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, contohnya cium-ciuman dan meraba-raba anggota kemaluan.

Faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencabulan tersebut dikarenakan:

1. Adanya kemajuan teknologi yang menghasilkan produk-produk baru dan semuanya semakin canggih, seperti film, video-video dan sebagainya yang isinya bisa membawa pengaruh negatif;

2. Adanya buku-buku bacaan ataupun majalah-majalah yang berbau pornografi yang di jual bebas;

3. Masalah tekanan ekonomi;

4. Rendahnya pemahaman akan nilai-nilai agama serta moral.

Mengingat tindak pidana pencabulan dapat terjadi dalam situasi dan lingkungan apa saja, seperti hal nya yang terjadi pada kasus pencabulan yang dilakukan oleh terdakwa Aulia Rahman Bin Abdul Jalil seorang anggota kepolisian dimana korbanya adalah seorang perempuan yang bernama Rini Hatati Binti Darmo Suwito. Kasus ini diperiksa dan diadili di Pengadilan Negeri Tanjung Karang dengan hakim yang mengadili yaitu Fx. Supriyadi sebagai Ketua Majelis, Ahmad Virza dan Rudi Rafli Siregar masing-masing sebagai hakim anggota.

Putusan yang diucapkan dalam sidang tebuka untuk umum pada tanggal 21 Mei 2012 setelah hakim melakukan rapat permusyawaratan Majelis Hakim, hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berdasarkan Pasal 289 KUHP Jo Pasal 55


(11)

ayat (1) ke-1 KUHP serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berkenaan dengan perkara terdakwa dan hakim menyatakan terdakwa Aulia Rahman Bin Abdul Jalil telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana “perbuatan cabul yang dilakukan bersama-sama”, serta menjatuhkan pidana dengan pidana penjara selama 2 (Dua) Tahun dimana pada putusan ini hakim menjatuhkan putusan lebih tinggi dari pada tuntutan jaksa yang hanya menuntut selama 1 (satu) Tahun dan 6 (enam) Bulan penjara dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan.

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan tinggi rendahnya pidana yang dijatuhkan atau dikenakan kepada terdakwa merupakan kewenangan dan kebebasan dari hakim dimana selain mempunyai kebebasan dalam menentukan jenis pidana (strafsoort), ukuran pidana atau berat ringannya pidana (strafmaat), dan cara pelaksanaan pidana (straf modus atau straf modalitet) juga mempunyai kebebasan untuk menentukan hukum (Rechatvindings) terhadap peristiwa yang tidak diatur dalam undang-undang, atau dengan kata lain hakim tidak hanya menentukan tentang hukumnya tetapi hakim juga menemukan hukum dan akhirnya menetapkan sebagai putusan. Hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan perbuatan tindak pidana yang dilakukan terdakwa sebagai salah satu pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana.

Menurut Sudarto, pedoman pemberian pidana (staraftoemetings-leidraad) ini akan memudahkan hakim dalam menetapkan pemidanaanya. Setelah terbukti bahwa tertuduh telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Dalam


(12)

daftar tersebut di muat hal-hal yang bersifat subyektif yang menyangkut hal-hal diluar pembuat. Dengan memperhatikan butir-butir tersebut diharapkan penjatuhan pidana lebih proposional dan lebih dipahami mengapa pidananya dijatuhkan seperti itu.2

Perlu ditetapkan suatu pedoman pemidanaan dan aturan bagi hakim memberi keputusannya, didalam kebebasannya sebagai hakim, ada juga batasnya yang ditetapkan secara obyektif. Pedoman pemidanaan ini akan sangat membantu hakim dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang dijatuhkan. Sehingga akan memudahkan hakim dalam menetapkan takaran pemidanaan. Dengan adanya pedoman pemidanaan diharapkan pidana yang dijatuhkan dapat lebih proporsional yang dapat dipahami oleh masyarakat maupun terpidana itu sendiri, sehingga tidak mendatangkan perasaan tidak senang bagi masyarakat.

Mengenai kasus tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh terdakwa Aulia Rahman Bin Abdul Jalil yang merupakan anggota Unit Tangkal Satuan Sabhara Polresta Bandar Lampung yang diputus oleh Hakim dengan sanksi hukuman selama 2 (dua) tahun penjara dimana sanksi yang dijatuhkan oleh hakim ini merupakan putusan yang lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Putusan hakim dalam kasus ini tidak sesuai dengan kebiasaan hakim dalam hal penjatuhan pidana, dimana hakim biasanya memutus lebih ringan terhadap pembuktian pasal yang didakwakan terhadap terdakwa.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk membuat skripsi dengan judul: Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi

2

Barda Nawawi Arif dan Muladi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit Alumni Bandung,1998, hlm. 67-68.


(13)

Pidana Yang Lebih Tinggi Dari Tuntutan Penuntut Umum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.75/Pid.B/2012/PN.TK).

B.Permasalahan Dan Ruang Lingkup

1) Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti membatasi masalah menyangkut Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Yang Lebih Tinggi Dari Tuntutan Penuntut Umum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencabulan, yaitu sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana yang lebih tinggi dari tuntutan penuntut umum terhadap pelaku tindak pidana pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.75/Pid.B/2012/PN.TK)?

b. Bagaimanakah mekanisme penjatuhan sanksi pidana sebagaimana yang diatur dalam hukum positif Indonesia (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.75/Pid.B/2012/PN.TK)?

2) Ruang Lingkup

Ruang Lingkup penelitian skripsi ini meliputi hukum pidana materil : lingkup pembahasan mengenai Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Yang Lebih Tinggi Dari Tuntutan Penuntut Umum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencabulan dan mekanisme penjatuhan sanksi pidana


(14)

sebagaimana yang di atur dalam hukum positif Indonesia (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.75/Pid.B/2012/PN.TK).

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulian skripsi ini adalah untuk:

a. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana yang lebih tinggi dari tuntutan penuntut umum terhadap pelaku tindak pidana pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.75/Pid.B/2012/PN.TK)..

b. Untuk mengetahui mekanisme penjatuhan sanksi pidana sebagaimana yang diatur dalam hukum positif Indonesia (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.75/Pid.B/2012/PN.TK).

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penulisan skripsi ini adalah :

a. Skripsi ini diharapkan menambah dan memperkaya literatur-literatur yang telah ada sebelumnya, khususnya tentang pertimbangan putusan hakim yang lebih tinggi dari tuntutan penuntut umum. Skripsi ini diharapkan juga menjadi bahan acuan untuk mengadakan penelitian yang lebih mendalam lagi.

b. Di samping itu juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam menyempurnakan peraturan-peraturan di bidang hukum pidana, mengenai pertimbangan putusan hakim.


(15)

D.Kerangka Teorotis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. Pada setiap penelitian selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran yang teoritis. Hal ini karena adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan pengumpulan, pengolahan, analisis dan konstruksi data.3

Beberapa teori yang berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Teori Dasar Pertimbangan Hakim

Hakim dalam melaksanakan tugasnya harus bebas dan tidak boleh terpengaruh atau memihak kepada siapapun. Jaminan kebebasan ini juga diatur dalam berbagai peraturan, yaitu dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan: “kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”4 .

Hal diatas ditegaskan kembali dalam pengertian kekuasaan kehakiman yang disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan

3

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta, Rajawali, 1983), hlm.124.

4


(16)

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut hakim dalam memeriksa seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana pada proses persidangan harus memperhatikan hal-hal seperti yang tercantum di dalam Pasal 3-10 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 sebagai berikut:

Pasal 3 menentukan:

1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.

2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.5

Pasal 4 menentukan:

1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.6

Pasal 5 menentukan:

1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

2) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman dibidang hukum.

3) Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.7

5

Lihat Pasal 3 UU No. 48 Tahun 2009.

6

Lihat Pasal 4 UU No. 48 Tahun 2009.

7


(17)

Pasal 6 menentukan:

1) Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan, kecuali undang-undang menentukan lain.

2) Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.8

Pasal 7 menentukan:

Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahann, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.9

Pasal 8 menentukan:

1) Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.10

Pasal 9 menentukan:

1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang.11

8

Lihat Pasal 6 UU No. 48 Tahun 2009

9

Lihat Pasal 7 UU No 48 Tahun 2009

10

Lihat Pasal 8 UU No 48 Tahun 2009

11


(18)

Pasal 10 menentukan:

1) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. 2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha

penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.12

Undang-undang memberikan syarat-syarat kepada hakim dalam menjatuhkan pidana bagi seseorang. Syarat-syarat tersebut adalah:

a) Karena pembuktian yang sah menurut undang-undang;

b) Untuk dikatakan terbukti dengan sah sekurang-kurangnya harus dua alat bukti yang sah;

c) Adanya keyakinan hakim;

d) Orang melakukan tindak pidana (pelaku) dianggap dapat bertanggungjawab;

e) Adanya kesalahan melakukan tindak pidana yang didakwakan atas diri pelaku tindak pidana tersebut.13

Alat bukti yang sah di dalam Pasal 184 angka 1 KUHAP adalah sebagai berikut:

a) Keterangan saksi; b) Keterangan ahli; c) Surat;

d) Petunjuk;

e) Keterangan terdakwa.14

Pasal 53 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggungjawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya. Penetapan dan putusan tersebut harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.

12

Lihat Pasal 10 UU No 48 Tahun 2009.

13

Lihat Pasal 183 KUHAP

14


(19)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa hakim wajib memutuskan tiap-tiap perkara, menafsirkan atau menjelaskan undang-undang jika tidak jelas dan melengkapinya jika tidak lengkap. Tetapi penafsiran hakim mengenai undang-undang dan ketentuan yang dibuatnya itu, tidak mempunyai kekuatan mengikat umum, tapi hanya berlaku dalam peristiwa-peristiwa tertentu. Karena itu secara prinsip, hakim tidak terikat oleh putusan-putusan hakim lainnya.

Hakim dalam menemukan hukum ada beberapa metode yaitu: 1) Metode interpretasi; dan

2) Metode konstruksi.

Perbedaan antara interpretasi dan konstruksi adalah sebagai berikut:

1) Pada interpretasi, penafsiran terhadap teks undang-undang masih tetap berpegang pada bunyi teks itu.

2) Pada konstruksi hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, dimana hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks, tetapi dengan syarat tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.

2) Teori Mekanisme Penjatuhan Sanksi Pidana

Mekanisme penjatuhan sanksi pidana di Indonesia yang menjadi pedoman pemidanaan terdapat di dalam RUU KUHP Tahun 2012. Pedoman pemidanaan ini merupakan pembaharuan hukum pidana yang seiring dengan perkembangan ilmu hukum dimana hukum pidana tidak luput dari pengaruh perkembangan ilmu lain. Hal ini ditandai dengan beralihnya


(20)

pandangan di dalam hukum pidana dari yang berorientasi pada perbuatan kepada pelaku kejahatan yang diteruskan ke pandangan antara gabungan pelaku dan perbuatan. Dari pandangan yang terakhir inilah yang melahirkan konsep keseimbangan monodualistik yang diakomodasikan konsep KUHP. Keseimbangan Monodualistik inilah yang di kedepankan dalam pembaharuan hukum pidana sebagai pengganti dari KUHP yang saat ini berlaku dalam RUU KUHP Tahun 2012 hal tersebut dirumuskan dalam Pasal 55 tentang Pedoman Pemidanaan yang lengkapnya sebagai berikut

Pasal 55 :

1. Dalam pemidanaan wajib mempertimbangkan : a. Kesalahan pembuat tindak pidana.

b. Motif dan tujuan melakukan tidak pidana c. Sikap bathin pembuat tindak pidana

d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana e. Cara melakukan tindak pidana

f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana g. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban j. Pemaafan dari korban dan/ atau keluarganya dan/ atau

k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan

2. Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan kemanusiaan.15

LHC Hulsman pernah mengemukakan bahwa sistem pemidanaan (The sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan atau (The Statutory rules relating to

15


(21)

penal sanctions and punishment).16 Berkaitan dengan sebuah sistem maka di dalamnya telah terjadi keterpaduan beberapa sub sistem, demikian juga halnya dengan sistem pemidanaan ada keterpaduan dari sistem hukum pidana materiil/substantive, sistem hukum pidana formal dan sistem hukum pelaksanaan pidana.

Menurut Barda Nawawi Arief sistem pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim maka dapat dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup pengertian:

a. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemidanaan.

b. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemberian/ penjatuhan dan pelaksanaan pidana.

c. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionalisasi/ operasionalisasi/ konkretisasi pidana.

d. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi pidana.17

Pedoman pemidanaan atau guidance of sentencing lebih merupakan arah petunjuk bagi hakim untuk menjatuhkan dan menerapkan pidana atau merupakan pedoman judicial/yudikatif bagi hakim.18 Pengertian “pedoman” dalam kamus umum bahasa Indonesia berarti kumpulan ketentuan dasar yang memberi arah bagaimana sesuatu harus dilakukan atau hal-hal pokok yang menjadikan dasar (pegangan) untuk menentukan atau melaksanakan sesuatu.19 Dengan demikian pedoman pemidanaan merupakan ketentuan dasar yang

16

LHC Hulsman, The Dutch Criminal Justice System from A Comperative legal perspective, Barda Nawawi Arief, Kapital Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm 135.

17

Ibid, hlm 136.

18

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1966, hlm. 167-168.

19


(22)

memberi arah, yang menentukan di dalam penjatuhan pidana, hal ini merupakan petunjuk bagi para hakim dalam menerapkan dan menjatuhkan pidana. Karena pedoman ini merupakan pedoman dasar maka pedoman ini bagian dari kebijakan legislative.

Kebijakan legislative merumuskan pedoman dan pemidanaan dalam rangka mencapai suatu tujuan (Goal) yang lebih besar dengan sarana hukum (undang-undang) yaitu social welfare. Pada hakikatnya undang-undang merupakan suatu sistem (hukum) yang bertujuan (Anthony Allot, The Limits of Law, 1980,

28 menyebutnya dengan istilah “Purposive System”). Dirumuskannya pidana dan aturan pemidanaan dalam undang-undang pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan oleh karena itu perlu dirumuskan tujuan dan pedoman pemidanaan.20

Pedoman pemidanaan juga berfungsi sebagai control atau pengendali bagi hakim agar pidana yang dijatuhkan jelas terarah dan ada daya gunanya. Tujuan pidana dalam kurun waktu yang akan datang menjadi salah satu prasyarat yang penting dalam penjatuhan pidana walaupun KUHP tidak merumuskan tujuan pidana namun secara implisit dapat diketahui tujuan pidana mengandung dua aspek yaitu aspek pencegahan secara umum maupun aspek pencegahan secara khusus. Hal ini dapat dilihat dari beberapa definisi tentang pidana yang dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung ciri-ciri sebagai berikut:

1. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan

20

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1966, hlm. 117.


(23)

2. Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).

3. Pidana dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.21

Lebih ditegaskan lagi oleh Alf Ross dalam Concept of Punishment bertolak dari dua syarat atau tujuan pidana yaitu:

1. Pidana ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan (punishment is aimed at inflicting suffering upon the person upon whom it is imposed).

2. Pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku (the punishment is an expression of disapproval of the action for the which it is imposed).22

2. Konseptual

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah yang teliti.23

Berdasarkan defenisi di atas maka peneliti akan melakukan analisis pokok-pokok bahasan dalam penelitian ini dan memberikan batasan pengertian yang

berhubungan dengan judul skripsi, yaitu: “Analisis Pertimbangan Hakim

Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Yang Lebih Tinggi Dari Tuntutan Penuntut Umum terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencabulan”.

Adapun batasan pengertian dari istilah yang digunakan sebagai berikut:

a. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb).24

21

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 4.

22

Ibid, hal. 4.

23


(24)

b. Pertimbangan hakim adalah pemikiran-pemikiran atau pendapat hakim dalam menjatuhkan putusan dengan melihat hal-hal yang dapat meringankan atau memberatkan pelaku.25

c. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada bagian peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum , lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.26

d. Sanksi pidana adalah suatu reaksi atas delik (punishment) dan berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan (sifat negatif) oleh negara atau lembaga negara terhadap pembuat delik.27

e. Tuntutan adalah sesuatu yang dituntut (seperti permintaan keras); gugatan; dakwaan.28

f. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim.29

g. Pelaku Tindak pidana adalah orang yang melakukan tindak pidana.30

h. Pencabulan adalah mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan perkara cabul biasanya merupakan pelanggaran kesopanan.31

24

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat Departemen, Pendidikan Nasional yang ditenerbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 58.

25

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

26

Lihat Pasal 1 ayat (5) UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

27

Aruan Sakidjo & Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi. Ghalia Indonesia. Yogyakarta, 1998, hlm. 69.

28

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. cit, hlm. 1507.

29

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Edisi Kedua. Sinar Grafika. Jakarta, 2010, hlm. 365.

30

Tri Andrisman, Hukum Pidana Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Penerbit Universitas Lampung. Bandar Lampung. 2011. Hlm. 8.

31


(25)

E.Sistematika Penulisan

Guna memudahkan pemahaman terhadap penulisan terhadap penulisan skripsi ini secara keseluruhan, maka disajikan sistematika penulisan sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab pengantar yang menguraikan tentang pengertian-pengertian umum dari pokok bahasan yang terdiri dari Pengertian Pidana dan Tujuan Pemidanaan, Pengertian Tindak Pidana Pencabulan, Teori Dasar-Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhi Pidana, Teori Mekanisme Sanksi Pidana Sebagaimana Yang Diatur Dalam Hukum Positif Indonesia.

III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang berisi uraian metode yang digunakan dalam skripsi ini yang meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan penjelasan dan pembahasan yang mengemukakan hasil penelitian mengenai Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana yang Lebih Tinggi Dari tuntutan Penuntut Umum Terhadap Pelaku Tindak


(26)

Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.75/Pid.B/2012/PN.TK) dan untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.75/Pid.B/2012/PN.TK

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dari hasil penelitian serta memuat saran-saran mengenai pertimbangan putusan hakim yang melebihi dari tuntutan penuntut umum terhadap tindak pidana pencabulan.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Pengertian Pidana dan Tujuan Pemidanaan

1. Pengertian Pidana

Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan istilah “tindak pidana” sebagai pengganti dari perkataan “strafbaar feit” tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit” tersebut. Istilah tindak pidana sebagai terjemahan dari

“Strafbaar feit” merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang

diancam dengan pidana.1

Mezger mengatakan bahwa hukum pidana dapat didefinisikan sebagai aturan hukum, yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.2 Dengan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut perbuatan yang dapat di pidana atau disingkat perbuatan jahat (Verbrechen atau Crime). Oleh karena dalam perbuatan jahat ini harus ada orang yang melakukannya, maka persoalan tentang perbuatan

1

Kartanegara Satochid, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Satu, Balai Lektur mahasiswa, Tanpa Tahun, hlm. 74.

2

Sudarto, Hukum Pidana, Purwokerto:Fakultas Hukum Universitas jenderal Soedirman Purwokerto Tahun Akademik 1990-1991,1990, hlm. 23.


(28)

tertentu itu menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan itu.

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari istilah Belanda, yaitu strafbaar feit yang berasal dari kata strafbaar, artinya dapat dihukum.3 Lebih lanjut Sudarto mengatakan bahwa, pembentuk undang-undang sekarang sudah

agak tepat dalam pemakaian istilah “tindak pidana”. Akan tetapi para sarjana hukum pidana mempertahankan istilah yang dipilihnya sendiri, misalnya Moeljatno, Guru Besar pada Universitas Gadjah Mada menganggap lebih tepat dipergunakan istilah “perbuatan pidana” (dalam pidatonya yang berjudul

“Perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana”, 1955).4

Perlu dikemukakan di sini bahwa pidana adalah merupakan suatu istilah yuridis yang mempunyai arti khusus sebagai terjemahan dari bahasa Belanda "straf" yang dapat diartikan juga sebagai "hukuman". Seperti dikemukakan oleh Moeljatno bahwa istilah hukuman yang berasal dari kata "straf" ini dan istilah "dihukum" yang berasal dari perkataan "wordt gestraft", adalah merupakan istilah-istilah konvensional.5 Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah-istilah yang inkonvensional, yaitu "pidana" untuk menggantikan kata "straf" dan “diancam dengan pidana" untuk menggantikan kata "wordt gestraft". Jika "straf" diartikan "hukuman", maka strafrecht seharusnya diartikan dengan hukuman-hukuman.6

3

Ibid

4

Lamintang, Kitab Pelajaran Hukum Pidana; Leeboek Van Het Nederlanches Straftrecht, Bandung:Pionir Jaya,1981, hlm. 36.

5

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta:PT.Bima Aksara, 1993), hlm. 35.

6


(29)

Bassar, mempergunakan istilah “tindak pidana” sebagai istilah yang paling

tepat untuk menterjemahkan “strafbaar feit”, dengan mengemukakan alasan

“istilah tersebut selain mengandung pengertian yang tepat dan jelas sebagai istilah hukum, juga sangat praktis diucapkan. Di samping itu pemerintah di dalam kebanyakan peraturan perundang-undangan memakai istilah tindak pidana, umpamanya di dalam peraturan-peraturan tindak pidana khusus.7

Berkaitan dengan masalah belum adanya kesatuan pendapat mengenai istilah

“strafbaar feit” dalam hukum pidana Indonesia, Sudarto menegaskan

pemakaian istilah yang berlainan itu tidak menjadikan soal, asal diketahui apa yang dimaksudkan, dan dalam hal ini yang penting adalah isi dari tindak pidana seperti yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Istilah lain sudah dapat di terima oleh masyarakat. Jadi mempunyai “sociologische gelding”.8

Pendapat dua sarjana di atas, dapatlah disimpulkan bahwa perkataan "pidana" merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembahasan pengertian yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat- sifatnya yang khas. Untuk memberi gambaran yang lebih luas, maka perlu dikemukakan beberapa pendapat atau definisi dari para sarjana tentang pidana. Menurut Sudarto yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.9

7

Soedrajat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu, Bandung: Ghalian,1999, hlm. 1.

8

Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan kebijakan pidana, Bandung:Alumni, 1992, hlm. 2.

9


(30)

Saleh mengatakan bahwa pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu. Cross, mengatakan bahwa pidana berarti pengenaan penderitaan oleh negara kepada seseorang yang telah dipidana karena suatu kejahatan.10

Lamintang mengatakan bahwa pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. Hal itu berarti pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan.11 Pernyataan yang dikemukakan di atas adalah untuk mengingatkan adanya kekacauan pengertian antara pidana dan pemidanaan yang sering diartikan sama dengan menyebut tujuan pemidanaan dengan perkataan "tujuan pidana".

Pengertian dari tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai kejahatan atau tindak pidana akan tetapi di dalamnya tidak memberi rincian tindak pidana tersebut. Ketidakjelasan pengertian tindak pidana, memunculkan berbagai pendapat mengenai pengertian tindak pidana, para ahli hukum memberikan pengertian yang berbeda-beda, diantaranya:

a. Utrecht

Menurut Utrecht, pengertian tindak pidana yaitu meliputi perbuatan atau suatu melalaikan maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melalaikan itu) "peristiwa pidana" adalah suatu peristiwa

10

Ibid.

11


(31)

hukum (peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.12

b. Vos

Menurut Vos peristiwa pidana, yaitu adalah suatu kelakuan. Dalam definisi Vos dapat dilihat anasir-anasir sebagai berikut:

1) Suatu kelakuan manusia;

2) Akibat anasir ini ialah hal peristiwa dan pembuat tidak dapat dipisahkan satu dengan lain;

1) Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat (1) KUHP) dilarang umum dan diancam dengan hukuman. Kelakuan yang bersangkutan harus dilarang dan diancam dengan hukuman, jadi tidak semua kelakuan manusia yang melanggar ketertiban hukum adalah suatu peristiwa pidana.13

c. Pompe

Menurut Pompe tindak pidana dari gambaran teoritis sama artinya dengan suatu peristiwa pidana. Peristiwa pidana yaitu suatu pelanggaran kaidah, diadakan karena kesalahan pelanggar, dan harus diberi hukuman untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Anasir-anasir tindak pidana atau peristiwa pidana itu menurut Pompe adalah sebagai berikut:

1) Suatu kelakuan yang bertentangan dengan (melawan hukum) (onrechtmatig atau wederrechtelijk);

12

Utrecht, Hukum Pidana 1, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986), hlm. 252.

13


(32)

2) Suatu kelakuan yang diadakan karena pelanggar bersalah (aan schuld (van de overtreder) te wijten);

3) Suatu kelakuan yang dapat dihukum (stafbaar).

d. Moeljatno

Menggunakan istilah “perbuatan pidana” dengan pertimbangan bahwa perbuatan itulah keadaan yang dimuat oleh seseorang atau barang sesuatu yang dilakukan dan perbuatan itu menunjuk baik kepada akibatnya maupun yang menimbulkan akibat. Moeljatno, memberikan pengertian tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.14

e. Van Hamel

Pengertian tindak pidana yaitu: kelakuan atau tingkah laku orang yang bersifat melawan hukum dengan kesalahan yang dapat dipidana.15

f. Sudarto

Menurut Sudarto, pengertian tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah "perbuatan jahat" atau "kejahatan" (crime atau verbrechen atau misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis atau secara kriminologis.16

14

Moeljatno, op.cit, hlm. 38.

15

Ibid

16


(33)

g. Wirjono Prodjodikoro

Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana dapat digolongkan 2 (dua) bagian, yaitu:

1) Tindak pidana materiil.

Pengertian tindak pidana materil adalah, apabila tindak pidana yang dimaksud dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa merumuskan wujud dari perbuatan itu.17

2) Tindak pidana formil.

Pengertian tindak pidana formal yaitu apabila tindak pidana yang dimaksud, dirumuskan sebagai wujud perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu.

2. Tujuan Pemidanaan

Berbicara masalah putusan hakim lebih tinggi dari pada tuntutan jaksa dalam hukum pidana di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kajian terhadap tujuan pemidanaan. Kajian terhadap tujuan pemidanaan akan mengantarkan pada pemahaman tentang seberapa jauh sanksi pidana relevan dan karenanya patut dipertahankan dalam sistem hukum pidana. Mengenai tujuan pemidanaan dapat digolongkan dalam tiga jenis teori, yaitu teori pembalasan, teori tujuan dan teori gabungan :18

17

Wiryono Prodjodikoro, Tindakan-Tindakan pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: Erosco, 1986), hlm. 55-57.

18

E.Y.Kanter. dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. Storia Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 59.


(34)

a. Teori Pembalasan (teori absolute)

Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana mutlak harus diadakan pembalasan yang berupa pidana, tidak dipersoalkan akibat dari pemidanaan bagi terpidana.19 Bahan pertimbangan untuk pemidanaan hanyalah masa lampau, maksudnya masa terjadinya tindak pidana itu. Teori pembalasan ini terbagi lima lagi, yaitu :

1) Pembalasan berdasarkan tuntutan mutlak dari etika

Teori ini dikemukakan oleh Immanuel Kant yang mengatakan bahwa pemidanaan adalah merupakan tuntutan mutlak dari kesusilaan (etika) terhadap seorang penjahat yang telah merugikan orang lain.

2) Pembalasan bersambut

Teori ini dikemukakan oleh Hegel, yang menyatakan bahwa hukum adalah perwujudan dari kemerdekaan, sedangkan kejahatan adalah merupakan tantangan kepada hukum dan keadilan. Menurut Hegel untuk mempertahankan hukum yang merupakan perwujudan dari kemerdekaan dan keadilan, kejahatan-kejahatan secara mutlak harus dilenyapkan dengan memberikan pidana kepada penjahat.

3) Pembalasan demi keindahan dan kepuasan

Teori ini dikemukakan oleh Herbart, yang mengatakan bahwa pembalasan merupakan tuntutan mutlak dari perasaan ketidakpuasan masyarakat, sebagai akibat dari kejahatan, untuk memidana penjahat, agar ketidakpuasan masyarakat terpulihkan kembali.

19


(35)

4) Pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan (agama)

Teori ini dikemukakan Sthal (termasuk juga Gewin dan Thomas Aquino) yang mengemukakan bahwa kejahatan adalah merupakan pelanggaran terhadap prikeadilan Tuhan dan harus ditiadakan. Karenanya mutlak harus diberikan penderitaan kepada penjahat demi terpeliharanya pri keadilan Tuhan. Cara mempertahankan prikeadilan Tuhan ialah melalui kekuasaan yang diberikan Tuhan kepada penguasa Negara.

5) Pembalasan sebagai kehendak manusia

Teori ini dikemukakan oleh J.J. Rousseau, Grotius, yang mendasarkan pemidanaan juga sebagai perwujudan dari kehendak manusia. Menurut ajaran ini adalah merupakan tuntutan alam bahwa siapa saja yang melakukan kejahatan, dia akan menerima sesuatu yang jahat.

b. Teori Tujuan (teorirelative)

Berbeda dengan teori pembalasan, maka teori tujuan mempersoalkan akibat-akibat dari pemidanaan kepada penjahat atau kepentingan masyarakat,20 dipertimbangkan juga pencegahan untuk masa mendatang. Dipandang dari tujuan pemidanaan teori ini dibagi sebagai berikut :

1) Pencegahan terjadinya suatu kejahatan dengan mengadakan ancaman pidana yang cukup berat untuk menakut-nakuti. Cara ini ditujukan secara umum, artinya kepada siapa saja agar takut melakukan kejahatan, dengan demikian disebut juga sebagai prevensi umum. Paul Anselm van Feuerbach yang mengemukakan teori ini dengan nama paksaan psikologis (psychology dwang), mengakui juga bahwa hanya dengan

20


(36)

mengadakan ancaman pidana saja tidak akan memadai, melainkan diperlukan penjatuhan pidana kepada si penjahat.

2) Perbaikan atau pendidikan bagi penjahat (verbeterings theori). Kepada penjahat diberikan pendidikan berupa pidana, agar ia kelak dapat kembali ke lingkungan masyarakat dalam keadaan mental yang lebih baik dan berguna. Cara perbaikan penjahat dikemukakan ada tiga macam yaitu : perbaikan intelektual, perbaikan moral, dan perbaikan juridis. Penganut-penganut teori ini antara lain Grolman, Van Krause, Roder dan lain-lain. 3) Menyingkirkan penjahat dari lingkungan pergaulan masyarakat

(onschadelijk maken). Caranya ialah, kepada penjahat yang sudah kebal kepada ancaman pidana yang berupa usaha menakuti, supaya dijatuhi perampasan kemerdekaan yang cukup lama, bahkan jika perlu dengan pidana mati. Dengan demikian ia tersingkirkan dari pergaulan masyarakat. Penganut teori ini antara lain adalah Ferri, dan Garofalo. 4) Menjamin ketertiban hukum (rechstorde). Caranya ialah mengadakan

norma-norma yang menjamin ketertiban hukum. Kepada pelanggar norma-norma tersebut, negara menjatuhkan pidama. Ancaman pidana ini akan bekerja sebagai peringatan. Jadi diletakkan pada bekerjanya pidana sebagai pencegahan. Penganut teori ini antara lain Frans Vonlitz, Van Hamel, Simons dan lain-lain.

c. Teori Gabungan

Kemudian timbul golongan ketiga yang mendasarkan pemidanaan kepada perpaduan teori pembalasan dengan teori tujuan, yang disebut sebagai teori


(37)

gabungan.21 Penganutnya antara lain Binding. Dikatakan bahwa teori pembalasan dan teori tujuan masing-masing mempunyai kelemahan-kelemahan, untuk mana dikemukakan keberatan-keberatan sebagai berikut: 1) Sukar menentukan berat/ringannya pidana, atau ukuran balasan tidak

jelas.

2) Diragukan adanya hak Negara untuk menjatuhkan pidana sebagai alasan.

3) Hukuman (pidana) sebagai pembalasan tidak berguna bagi masyarakat.

Terhadap teori tujuan :

1) Pidana hanya ditujukan untuk mencegah kejahatan, sehingga dijatuhkan pidana yang berat baik oleh teori pencegahan umum maupun teori pencegahan khusus.

2) Jika ternyata kejahatan itu ringan, maka penjatuhan pidana yang berat, tidak memenuhi rasa keadilan.

3) Bukan hanya masyarakat yang harus diberi kepuasan tetapi juga kepada penjahat itu sendiri.

Pertimbangan tidak saja hanya mempertimbangkan masa lalu (seperti yang terdapat dalam teori pembalasan), tetapi juga harus bersamaan mempertimbangkan masa datang (seperti yang dimaksudkan pada teori tujuan). Dengan demikian penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa kepuasaan, baik bagi hakim maupun kepada penjahat itu juga sendiri di samping kepada

21


(38)

masyarakat. Jadi harus ada keseimbangan antara pidana yang dijatuhkan dengan kejahatan yang telah dilakukan.

Kajian yang dilakukan oleh berbagai kalangan ahli hukum dapat dikatakan, bahwa perkembangan teori pemidanaan cenderung beranjak dari prinsip menghukum yang berorientasi ke belakang ke arah gagasan/ide membina yang berorientasi ke depan. Menurut Roeslan Saleh22, pergeseran orientasi pemidanaan disebabkan oleh karena hukum pidana berfungsi dalam masyarakat. Hukum pidana mencerminkan gambaran masanya dan bergantung pada pikiran-pikiran yang hidup dalam masyarakat.

Lebih memahami pergeseran orientasi pemidanaan yang terjadi dalam hukum pidana, berikut ini akan dikemukakan secara singkat berbagai aliran yang berkembang dalam hukum pidana yang melandasi adanya pergeseran tersebut: a. Aliran Klasik

Aliran ini muncul sebagai reaksi atas kesewenang-wenangan penguasa pada abad ke-18 di Perancis dan Inggris, yang banyak menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.23 Aliran ini menghendaki hukum pidana yang tersusun secara sistematis dan menitikberatkan pada perbuatan dan tidak kepada orang yang melakukan tindak pidana. Dengan orientasi pada perbuatan yang dilakukan, aliran ini menghendaki pidana yang dijatuhkan itu seimbang dengan perbuatan tersebut.Secara ekstrim dapat dikatakan, bahwa aliran klasik dalam pemberian pidana lebih melihat kebelakang.

22

Roeslan Saleh, Op.cit, hlm 2.

23


(39)

Beberapa tokoh aliran ini dapat disebut misalnya, Cesare Beccaria, yang lahir di Italia pada tanggal 15 Maret 1738 dengan karyanya yang sangat terkenal yaitu Dei Delicti e delle pene (1764) yang diterbitkannya pertama di Inggris tahun 1767 dengan judul On Crimes And Punishment. Bertolak dari filsafat kebebasan kehendak, Cesare Beccaria melalui karyanya memberikan sumbangan pemikiran yang sangat besar dalam pembaharuan peradilan pidana dengan doktrin pidana harus sesuai dengan kejahatan. Tokoh lain aliran ini adalah Jeremy Bentham (1748-1832), seorang filosof Inggris.

b. Aliran Modern

Aliran ini timbul pada abad ke-19 dengan tokoh-tokohnya Lambroso, Lacassagne, Ferri, Von List, A. Prins Dan Van Hamel. Berbeda dengan aliran klasik, aliran ini berorientasi pada pelaku tindak pidana dan menghendakinya adanya individualisme dari pidana, artinya dalam pemidanaan harus diperhatikan sifat-sifat dan keadaan pelaku tindak pidana.24

Aliran ini disebut juga aliran positif karena dalam mencari sebab kejahatan menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif (mempengaruhi pelaku tindak pidana kearah yang positif/ke arah yang lebih baik) sejauh ia masih dapat diperbaiki. Dengan orientasi yang demikian maka aliran modern sering dikatakan mempunyai orientasi ke masa depan.

24


(40)

c. Aliran Neo Klasik

Di samping beberapa aliran tersebut di atas, perlu dikemukakan disini adanya suatu aliran yang berasal dari aliran klasik yaitu aliran neo klasik.25 Menurut aliran ini, pidana yang dihasilkan oleh aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang saat itu. Untuk itu aliran ini merumuskan pidana minimum dan mengakui apa yang dinamakan asas-asas tentang keadaan yang meringankan (principle of extenuating circumstances).

B.Pengertian Tindak Pidana Pencabulan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta, pengertian pencabulan dilihat dari etiologi/asal kata yang dapat diuraikan sebagai berikut:

Cabul : keji dan kotor (melanggar keopanan, kesusilaan) Mencabuli : 1) mencemari (kehormatan perempuan)

2) memerkosa atau melanggar hak (kedaulatan dsb). Pencabul : orang melakukan perbuatan cabul26

Pencabulan merupakan kecenderungan untuk melakukan aktifitas seksual dengan orang yang tidak berdaya dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan. Pengertian pencabulan atau kata cabul dalam kamus hukum juga dapat diartikan sebagai berikut:

25

Ibid, hlm. 29.

26

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta,1984, hlm. 741.


(41)

“Pencabulan berasal dari kata cabul yang diartikan: keji dan kotor; tidak

senonoh karena melanggar kesopanan, kesusilaan27”.

Hal ini secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 281 dan 282, yaitu diancam dengan pidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Seperti yang diuraikan di atas, pencabulan adalah kejahatan seksual yang dilakukan seorang pria atau perempuan dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan. Pencabulan memiliki pengertian sebagai suatu gangguan psikoseksual dimana seseorang memperoleh kepuasan seksual. Ciri utamanya adalah berbuat atau berfantasi tentang kegiatan seksual dengan cara yang paling sesuai untuk memperoleh kepuasan seksual.

Menurut Simon yang dikutip PAF Lamintang bahwa “ontuchtige

handelingan“ atau cabul adalah tindakan yang berkenaaan dengan kehidupan

di bidang seksual, yang dilakukan dengan maksud untuk memperoleh kenikmatan dengan cara yang sifatnya bertentangan dengan pandangan umum untuk kesusilaan.28

Menurut Marpaung Leden mendefenisikan pencabulan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki terhadap seorang

27

Sudarsono, Kamus Hukum. Jakarta. Rineka Cipta, 2009, hlm. 64.

28

Lamintang. PAF, Dasar-dasar untuk mempelajari Hukum Pidana yang Berlaku di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti. Bandung, 1997, hlm. 159.


(42)

perempuan dengan cara yang menurut moral dan atau hukum yang berlaku sebagai perbuatan melanggar.29

Kejahatan pencabulan merupakan salah satu bentuk dari kejahatan kesusilaan, yaitu terjadinya hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari seorang wanita, bahkan didahului dengan ancaman kekerasan atau dengan kekerasan. Tindak pidana kesusilaan dalam KUHP dibedakan menjadi dua, yaitu Tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh yang diatur dalam Pasal 285 KUHP dan Tindak pidana perkosaan untuk berbuat cabul yang diatur dalam Pasal 289-296 KUHP.

KUHP menggolongkan tindak pidana pencabulan kedalam tindak pidana kesusilaan. KUHP belum mendefenisikan dengan jelas maksud daripada pencabulan itu sendiri dan terkesan mencampur adukan pengertiannya dengan perkosaan ataupun persetubuan.

C.Teori Dasar-Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhi Pidana

Memberikan putusan terhadap suatu perkara pidana, seharusnya putusan hakim tersebut berisi alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang bisa memberikan rasa keadilan bagi terdakwa. Dimana dalam pertimbangan-pertimbangan itu dapat menjadi motivasi yang jelas dari tujuan putusan diambil, Penjatuhan pidana yaitu untuk menegakkan hukum (kepastian hukum)

29

Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hlm. 25.


(43)

dan memberikan keadilan.30 Pidana ada beberapa teori-teori dasar pertimbangan hakim yaitu:

a. Teori Kepastian Hukum

Teori kepastian hukum memberikan penjelasan bahwa segala macam bentuk kejahatan dan pelanggaran harus di berikan sanksi tegas berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya. Dalam teori ini sangat berhubungan erat dengan asas legalitas dalam hukum pidana, bahwa setiap tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan harus diproses dalam sistem peradilan pidana guna menjamin kepastian hukum.

b. Teori Kemanfaatan

Teori kemanfaatan memberikan penjelasan bahwa apabila dalam suatu persidangan hakim memandang perbuatan terdakwa bukan karena murni melawan hukum akan tetapi dari segi kemanfaatan bertujuan untuk menjalankan norma dalam masyarakat dan dipandang apabila dijatuhi hukuman berupa pidana penjara maka dari elemen masyarakat merasa keberatan. Jadi sebagai pertimbangan hakim dengan melihat segi kemanfaatan maka terdakwa tidak diberikan sanksi akan tetapi hanya diberikan tindakan rehabilitasi kepada terdakwa agar tidak mengulangi perbuatannya.

c. Teori Keadilan

Teori keadilan menjelaskan bahwa dalam menegakkan hukum seorang Hakim juga harus memperhatikan teori keadilan hukum dan juga harus melihat fakta kongkret dalam persidangan. Karena melihat rasa keadilan

30

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. (Jakarta: Sinar Grafika), 2010, hlm. 94.


(44)

tidak tepat apabila terdakwanya semata-mata bukan atas dasar niat jahat dan sudah berusia lanjut, di bawah umur atau karena suatu keadaan tertentu yang sepatutnya tidak diganjar dengan hukuman pidana penjara maka Hakim harus dapat memberikan pertimbangan sesuai dengan rasa keadilan. Nilai hukum dan rasa keadilan Hakim jauh lebih diutamakan dalam mewujudkan hukum yang berkeadilan.

Pertimbangan hakim dalam bentuk penegakan hukum pidana mencakup tiga tahap, yaitu:

a. Tahap Formulasi, yaitu penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan masa yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk perundang-undangan untuk mencapai perundang-undangan yang paling baik, yaitu memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini juga disebut tahap kebijakan legislatif.

b. Tahap Aplikasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan. Aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan didaya guna. Tahap ini disebuat sebagai tahap kebijakan yudikatif.

c. Tahap Eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat pelaksana pidana bertugas menegakan peraturan perundang-undangan pidana yang


(45)

telah dibuat oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan, dalam melaksanakan pidana dalam menjalankan tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan pidana yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan nilai-nilai keadilan serta daya guna.

Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan jalinan mata rantai aktifitas yang tidak terputus yang bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada nilai-nilai pidana dan pemidanaan.

D.Teori Mekanisme Penjatuhan Sanksi Pidana Sebagaimana Yang Diatur Dalam Hukum Positif Indonesia

Setiap usaha yang dilakukan hendaknya terlebih dahulu menetapkan tujuan dari usaha tersebut seperti yang dikemukakan oleh Karl O. Christiansen mengenai konsep Rasionalitas di bidang politik kriminil antara lain mengemukakan sebagai berikut : The fundamental prerequisite of defining ameans, method or measure as rational is that the aim or porpuse to be achieved is well defined (prasyarat yang fundamental dalam merumuskan suatu cara, methode atau tindakan yang rasional ialah bahwa tujuan yang akan dicapai harus telah dirumuskan dengan baik.31

Kutipan pernyataan di atas mensyaratkan bahwa Tujuan memegang peranan strategis didalam menentukan cara atau tindakan yang akan diambil. Berkaitan

31

Karl O. Christiansen dalam Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, hlm. 94.


(46)

dengan hal pemidanaan, maka tujuan pidana dijatuhkan dewasa ini harus mendapat perhatian dalam kebijakan legislatif dalam upaya pembaharuan hukum pidana yang sedang dilakukan., sehingga pidana efektif dan mampu menjadi sarana untuk mencapai tujuan yang lebih besar yaitu social welfare/ kesejahteraan masyarakat.

“Pemidanaan” atau pemberian/ penjatuhan pidana oleh hakim adalah istilah

“penghukuman” dalam perkara pidana yang pengertiannya disempitkan yang dalam hal ini dapat mempunyai makna sama dengan “sentence” atau

veroordeling” misalnya dalam pengertian “sentenced conditionally” atau

voorwaardelijk veroordeeld” yang sama artinya dengan “dihukum bersyarat”

atau “dipidana bersyarat” 32

Berpijak pada pengertian dari pemidanaan di atas, maka menetapkan tujuan dan pedoman pemberian/penjatuhan pidana oleh hakim menjadi “sesuatu yang

seharusnya” telah ada sebelum hakim menjatuhkan pidana dan hal ini merupakan salah satu bidang dalam politik kriminil yang belum banyak mendapatkan perhatian dan di dalam KUHP yang diberlakukan saat inipun tidak dicantumkan secara ekplisit tentang tujuan dan pedoman pemidanaan tersebut yang ada aturan pemberian pidana.

Pedoman Pemidanaan adalah suatu pedoman yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana.33 Dari pengertian pedoman pemidanaan di atas dapat ditarik

32

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 72. 33


(47)

suatu kesimpulan bahwa dalam hal hakim akan menjatuhkan pidana harus memperhatikan asas-asas yang berkaitan dengan pidana yang dijatuhkan.

Dua asas yang sangat fundamental yang berkaitan dalam pemberian pidana adalah asas legalitas dan asas cupabilitas atau kesalahan. Asas legalitas menyangkut perbuatan yang merupakan asas kemasyarakatan sedangkan asas kesalahan atau culpabilitas menyangkut orangnya yang merupakan asas/individual dan apa bila digabungkan kedua asas tersebut adalah “asas keseimbangan” antara “nullum crimen sine lege dan asas nulla poena sineculpa”.

Asas keseimbangan atau ide keseimbangan ini merupakan alternatif yang ditempuh dalam kebijakan legislatif dalam rangka pembaharuan hukum pidana yang diwujudkan dalam ketiga permasalahan pokok hukum pidana yaitu masalah tindak pidana, masalah kesalahan/pertanggung jawaban pidana dan masalah pidana dan pemidanaan.

Tujuan dan pedoman pemidanaan juga tidak terlepas dari konsep keseimbangan di atas hal ini dikarenakan tujuan dan pedoman pemidanaan adalah merupakan implementasi dari salah satu masalah pokok hukum pidana yaitu masalah pidana dan pemidanaan.

Secara garis besar dapat disebut “ide keseimbangan” yang antara lain mencakup : a. keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum/masyarakat dan

kepentingan individu/perorangan.

b. Keseimbangan antara perlindungan/kepentingan pelaku tindak pidana(ide individualisasi pidana) dan korban tindak pidana.

c. Keseimbangan antara unsur/faktor objektif (perbuatan/lahiriah) dan subjektif

(orang/ bhatiniah/sikap bhatin, ide”daad-dader strafrecht. d. Keseimbangan antara kriteria formal dan material.


(48)

e. Keseimbangan antara kepastian hukum, kelenturan/elastisitas/fleksibelitas dan keadilan.

f. Keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global/ internasional/ universal.34

34

Barda Nawawi Arif, Pokok-pokok Pemikiran (UU Dasar) Azas-azas Hukum Pidana Nasional, 2004, hlm. 11.


(49)

III. METODE PENELITIAN

A.Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya1 Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan untuk mempelajari kaedah hukum, yaitu mempelajari, menelaah peraturan perundang-undangan, azas-azas, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa penilaian perilaku, pendapat, sikap yang berkaitan dengan pertimbangan hakim menjatuhkan putusan pemidanaan yang lebih tinggi dari pada tuntutan penuntut umum.

B.Sumber dan Jenis Data

Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.2

1

Soerjono, op. cit, hlm. 43.

2


(50)

Data merupakan sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan suatu penelitian yang berasal dari berbagai sumber. Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah:

1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Polisi pada Polresta Bandar Lampung, dan Dosen pada Fakultas Hukum bagian Hukum Pidana untuk mendapatkan data mengenai Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana yang lebih berat terhadap pelaku tindak pidana pemerkosaan.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut:3

1) Bahan hukum primer

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

a) Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

c) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

3


(51)

2) Bahan hukum sekunder

Bersumber dari bahan-bahan hukum yang dapat membantu dalam menganalisa serta memahami permasalahan dalam penelitian dan diperoleh dengan cara studi dokumen, dan mempelajari permasalahan dari Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan berbagi sumber hukum primer lain yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.

3) Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan adalah buku-buku, literatur, makalah, kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan bahan-bahan lainnya yang berkaitan dengan materi ditambah lagi dengan kegiatan pencarian data menggunakan internet.

C.Penentuan Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga. Berdasarkan pengertian tersebut maka populasi dalam penelitian ini adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Polisi pada Polresta Bandar Lampung, dan Dosen pada Fakultas Hukum bagian Hukum Pidana.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang masih memiliki ciri-ciri utama dari populasi dan ditetapkan untuk menjadi informan. Penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yaitu menetapkan


(52)

sampel secara sengaja berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian yang telah ditentukan. Adapun informan dalam penelitian ini adalah:

a) Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang 2 orang b) Jaksa pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang 2 orang c) Polisi pada Polresta Bandar Lampung 1 orang d) Dosen Fakultas Hukum bagian Hukum Pidana 1 orang

_____+

Jumlah responden penelitian adalah 6 orang

D.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Dalam rangka pengumpulan data, penulis menggunakan dua cara pengumpulan data, yaitu studi kepustakaan dan studi lapangan.

a. Studi kepustakaan (library research) dilakukan untuk memperoleh data sekunder, yaitu dengan melalui serangkaian kegiatan membaca, menelaah dan mengutip hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang teliti. b. Studi lapangan (field research) dilakukan untuk memperoleh data primer.

Metode yang digunakan dalam studi lapangan dengan menggunakan metode wawancara.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Adapun pengolahan data yang dimaksud meliputi tahapan sebagai berikut:


(53)

a. Seleksi Data, yaitu memeriksa kembali mengenai kelengkapan, kejelasan dan kebenaran data yang telah diterima serta relevansinya dalam penelitian. Dalam penelitian ini data-data berupa peraturan perundang-undangan, dan literatur atau buku karya ilmiah yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Klasifikasi data, yaitu kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Sistematika data, yaitu melakukan penyusunan data secara sistematis sesuai jenis data dan pokok bahasan dengan maksud memudahkan dalam menganalisa data tersebut.

E. Analisis Data

Data penulisan dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis data secara kualitatif sebagai analisis utamanya, artinya analisis kualitatif yaitu dengan cara menguraikan hasil penelitian secara sistematis sehingga memperoleh arti dan kesimpulan untuk menjawab permasalahan berdasarkan penelitian.


(54)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya di dalam skripsi ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Dasar pertimbangan hakim menjatuhkan sanksi pidana yang lebih tinggi dari tuntutan penuntut umum terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam putusan Nomor: 75/Pid.B/2012/PN.TK, dimana hakim menjatuhkan sanksi pidana selama 2 (dua) tahun sedangkan penuntut umum menuntut selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan penjara yaitu karena sudah terpenuhinya Pasal 183 KUHAP mengenai pembuktian yang sah sekurang-kurang ada 2 (dua) alat bukti yang sah sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 184 angka 1 KUHAP diantaranya adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Alat bukti yang di dapat dalam persidangan perkara terdakwa Aulia Rahman yaitu keterangan saksi dari korban, keterangan ahli yaitu keterangan Visum et repertum oleh dr. Laisa Muliati, keterangan saksi dari ketiga rekan terdakwa, keterangan terdakwa.

Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan yang divonis pidana selama 2 (dua) tahun berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 75/Pid.B/2012/PN.TK


(55)

adalah terpenuhinya seluruh unsur-unsur pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu unsur-unsur dari Pasal 289 KUHP. Unsur-unsur tersebut adalah:

1. Barang siapa;

2. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan; 3. Untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul

.

Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun selain karena unsur-unsur Pasal 289 KUHP yang sudah terpenuhi, hakim juga memperhatikan hal-hal yang memberatkan terdakwa

Hal-hal yang memberatkan, yaitu:

a) Perbuatan terdakwa mencemarkan nama baik dan masa depan korban; b) Perbuatan terdakwa dapat mencemarkan nama baik Lembaga Kepolisian

Republik Indonesia khususnya Kepolisian Daerah Lampung;

c) Terdakwa sebagai anggota Polisi yang bertugas untuk melindungi seluruh masyarakat, akan tetapi melakukan perbuatan yang sangat meresahkan masyarakat.

2. Mekanisme penjatuhan sanksi pidana sebagaimana yang diatur dalam hukum positif Indonesia yang diatur dalam hukum positif Indonesia dalam putusan No. 75/Pid.B/2012/PN.TK, dimana mekanisme penjatuhan saksi dipersidangan belum diatur secara eksplisit dalam hukum yang berlaku di Indonesia, pedoman pemidanaan di Indonesia masih terdapat dalam RUU KUHP 2012 yang menjadi aturan bagi hakim dalam memberi putusannya dalam kebebasannya sebagai hakim, dan juga batasnya yang ditetapkan secara


(56)

obyektif. Pedoman pemidanaan yang terdapat dalam RUU KUHP ini, nanti akan sangat membantu hakim dalam melakukan pemeriksaan dan penjatuhan sanksi terhadap terdakwa setalah terbukti bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan terhadap terdakwa. Pedoman ini juga akan membantu hakim dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang dijatuhkan, sehingga akan memudahkan hakim dalam menetapkan takaran pemidanaan. Dengan adanya pedoman yang terdapat dalam KUHAP ini, diharapkan pidana yang dijatuhkan oleh hakim dapat lebih proporsional yang dapat dipahami oleh masyarakat maupun terpidana itu sendiri, sehingga menciptakan keputusan bijaksana yang berdasarkan keadilan.

B.Saran

Adapun saran yang akan diberikan penulis berkaitan dengan analisis pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana yang lebih tinggi dari tuntutan penuntut umum terhadap pelaku tindak pidana pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.75/Pid.B/2012/PN.TK adalah sebagai berikut :

1. Hakim dalam memeriksa suatu perkara di persidangan harus lebih selektif, proporsional dan bijaksana seperti yang telah diamanatkan oleh undang-undang yang berlaku.

Jaksa yang telah diberikan tugas oleh negara untuk melakukan penuntutan terhadap terdakwa dipersidangan harus melaksanakan tugasnya dengan baik,


(57)

lebih cermat dan bijaksana dalam melakukan suatu penuntutan terhadap pelaku tindak pidana dan tidak ada diskriminatif.

2. Mekanisme penjatuhan sanksi yang terdapat dalam pedoman pemidanaan RUU KUHP 2012 semoga dilaksanakan oleh hakim dengan sebaik-baiknya dengan rasa tanggungjawab dan berdasarkan keadilan.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adji, Oemar Seno. 1979. Hukum Hakim Pidana. Jakarta: Erlangga.

Andrisman, Tri. 2009. Hukum Pidana. Bandar Lampung: Universitas Lampung. 2011. Hukum Pidana Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Bandar Lampung: Penerbit Universitas Lampung.

Atmasasmita, Romli. 2001. Reformasi Hukum, HAM dan Penegakan Hukum. Bandung: Mandar Maja.

Bassar, Soedrajat. 1999. Tindak-tindak Pidana Tertentu. Bandung: Ghalian.

Christiansen, Karl O. dalam Barda Nawawi Arief. 1998. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni.

Hamzah, A. dan Irdan Dahlan. 1987. Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana. Jakarta: Bina Aksara.

Hulsman, LHC , The Dutch Criminal Justice System from A Comperative legal perspective, Barda Nawawi Arief. Kapital Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Husein, Harun M. 1990. Surat Dakwaan Teknik Penyusunan Fungsi dan Permasalahannya. Jakarta: PT. Renika Cipta.

Kanter, E.Y dan S.R. Sianturi. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika.

Lamintang. 1981. Kitab Pelajaran Hukum Pidana; Leeboek Van Het Nederlanches Straftrecht. Bandung: Pionir Jaya.


(59)

Moeljatno. 1993. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Bima Aksara.

Muladi. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana (Sumbangan Perguruan Tinggi terhadap Administrasi Peradilan Pidana). Bandung: Alumni.

Muladi & Barda Nawawi Arief. 1984. Pidana dan Pemidanaan. BP Undip. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni.

Mulyadi, Lilik. 2007. Penerapan Putusan Hakim Pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta : Ikahi.

Nasution, A. Karim. 1972. Masalah surat Tuduhan Dalam Proses Pidana.

Nawawi, Arief Barda. 1966. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Bahan Kuliah Sistem Pemidanaan dalam Ketentuan Umum Buku I RUU KUHP 2004.

Nawawi, Arief Barda dan Muladi. 1998. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung:Penerbit Alumni.

PAF, Lamintang. 1997. Dasar-dasar untuk mempelajari Hukum Pidana yang Berlaku di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Poerwadarminta, W.J.S. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Prakoso, Djoko. 1984. Tugas dan Peran Jaksa Dalam Pembangunan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Prodjodikoro, Wiryono. 1986. Tindakan-Tindakan pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: Erosco.

2002. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Jakarta: PT. Refika Aditama.

Rahardjo, Satjipto. 1976. Hukum Masyarakat dan Pembangunan. Bandung: Alumni


(60)

Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.

R.M., Suharto. 1996. Hukum Pidana Materiil, Jakarta: Sinar Grafika.

Sakidjo, Aruan & Bambang Poernomo. 1998. Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi. Yogyakarta: Ghalia Indonesia.

Saleh, Roeslan. 1981. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Aksara Baru.

Saleh, Roeslan. 1987. Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Aksara Baru.

Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Jakarta: Rajawali.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia. Press.

Sudarsono. 1992. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Cet 2. Bandung: Penerbit Alumni. Sudarto. 1987. Majalah Masalah-masalah Hukum, Pemidanaan, Pidana dan

Tindakan. Semarang:BP Undip.

Sudarto. 1987. Masalah-masalah Hukum (Majalah). Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan FH Undip.

Sudarto. 1990. Hukum Pidana. Purwokerto:Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Tahun Akademik 1990-1991.

Sudirdja, H. Eddy Djunaidi Karna. 1984. Standar Pemidanaan.

Surayin. 2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Bandung: Yramawidya.

Surbakti, Edi. 1997. Permasalahan dan Asas-Asas Pertanggungjawaban Pidana. Bandung: Alumni.

Utrecht, 1986. Hukum Pidana 1. Surabaya: Pustaka Tinta Mas.

Yahya, M Harahap. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.


(1)

107

obyektif. Pedoman pemidanaan yang terdapat dalam RUU KUHP ini, nanti akan sangat membantu hakim dalam melakukan pemeriksaan dan penjatuhan sanksi terhadap terdakwa setalah terbukti bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan terhadap terdakwa. Pedoman ini juga akan membantu hakim dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang dijatuhkan, sehingga akan memudahkan hakim dalam menetapkan takaran pemidanaan. Dengan adanya pedoman yang terdapat dalam KUHAP ini, diharapkan pidana yang dijatuhkan oleh hakim dapat lebih proporsional yang dapat dipahami oleh masyarakat maupun terpidana itu sendiri, sehingga menciptakan keputusan bijaksana yang berdasarkan keadilan.

B.Saran

Adapun saran yang akan diberikan penulis berkaitan dengan analisis pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana yang lebih tinggi dari tuntutan penuntut umum terhadap pelaku tindak pidana pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.75/Pid.B/2012/PN.TK adalah sebagai berikut :

1. Hakim dalam memeriksa suatu perkara di persidangan harus lebih selektif, proporsional dan bijaksana seperti yang telah diamanatkan oleh undang-undang yang berlaku.

Jaksa yang telah diberikan tugas oleh negara untuk melakukan penuntutan terhadap terdakwa dipersidangan harus melaksanakan tugasnya dengan baik,


(2)

108

lebih cermat dan bijaksana dalam melakukan suatu penuntutan terhadap pelaku tindak pidana dan tidak ada diskriminatif.

2. Mekanisme penjatuhan sanksi yang terdapat dalam pedoman pemidanaan RUU KUHP 2012 semoga dilaksanakan oleh hakim dengan sebaik-baiknya dengan rasa tanggungjawab dan berdasarkan keadilan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adji, Oemar Seno. 1979. Hukum Hakim Pidana. Jakarta: Erlangga.

Andrisman, Tri. 2009. Hukum Pidana. Bandar Lampung: Universitas Lampung. 2011. Hukum Pidana Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Bandar Lampung: Penerbit Universitas Lampung.

Atmasasmita, Romli. 2001. Reformasi Hukum, HAM dan Penegakan Hukum. Bandung: Mandar Maja.

Bassar, Soedrajat. 1999. Tindak-tindak Pidana Tertentu. Bandung: Ghalian.

Christiansen, Karl O. dalam Barda Nawawi Arief. 1998. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni.

Hamzah, A. dan Irdan Dahlan. 1987. Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana. Jakarta: Bina Aksara.

Hulsman, LHC , The Dutch Criminal Justice System from A Comperative legal perspective, Barda Nawawi Arief. Kapital Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Husein, Harun M. 1990. Surat Dakwaan Teknik Penyusunan Fungsi dan Permasalahannya. Jakarta: PT. Renika Cipta.

Kanter, E.Y dan S.R. Sianturi. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika.

Lamintang. 1981. Kitab Pelajaran Hukum Pidana; Leeboek Van Het Nederlanches Straftrecht. Bandung: Pionir Jaya.


(4)

Marpaung, Leden. 1996. Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya. Jakarta: Sinar Grafika.

Moeljatno. 1993. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Bima Aksara.

Muladi. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana (Sumbangan Perguruan Tinggi terhadap Administrasi Peradilan Pidana). Bandung: Alumni.

Muladi & Barda Nawawi Arief. 1984. Pidana dan Pemidanaan. BP Undip. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni.

Mulyadi, Lilik. 2007. Penerapan Putusan Hakim Pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta : Ikahi.

Nasution, A. Karim. 1972. Masalah surat Tuduhan Dalam Proses Pidana.

Nawawi, Arief Barda. 1966. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Bahan Kuliah Sistem Pemidanaan dalam Ketentuan Umum Buku I RUU KUHP 2004.

Nawawi, Arief Barda dan Muladi. 1998. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Penerbit Alumni.

PAF, Lamintang. 1997. Dasar-dasar untuk mempelajari Hukum Pidana yang Berlaku di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Poerwadarminta, W.J.S. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Prakoso, Djoko. 1984. Tugas dan Peran Jaksa Dalam Pembangunan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Prodjodikoro, Wiryono. 1986. Tindakan-Tindakan pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: Erosco.

2002. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Jakarta: PT. Refika Aditama.

Rahardjo, Satjipto. 1976. Hukum Masyarakat dan Pembangunan. Bandung: Alumni


(5)

Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.

R.M., Suharto. 1996. Hukum Pidana Materiil, Jakarta: Sinar Grafika.

Sakidjo, Aruan & Bambang Poernomo. 1998. Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi. Yogyakarta: Ghalia Indonesia.

Saleh, Roeslan. 1981. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Aksara Baru.

Saleh, Roeslan. 1987. Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Aksara Baru.

Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Jakarta: Rajawali.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia. Press.

Sudarsono. 1992. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Cet 2. Bandung: Penerbit Alumni. Sudarto. 1987. Majalah Masalah-masalah Hukum, Pemidanaan, Pidana dan

Tindakan. Semarang: BP Undip.

Sudarto. 1987. Masalah-masalah Hukum (Majalah). Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan FH Undip.

Sudarto. 1990. Hukum Pidana. Purwokerto:Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Tahun Akademik 1990-1991.

Sudirdja, H. Eddy Djunaidi Karna. 1984. Standar Pemidanaan.

Surayin. 2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Bandung: Yramawidya.

Surbakti, Edi. 1997. Permasalahan dan Asas-Asas Pertanggungjawaban Pidana. Bandung: Alumni.

Utrecht, 1986. Hukum Pidana 1. Surabaya: Pustaka Tinta Mas.

Yahya, M Harahap. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.


(6)

Internet

http://lawmetha.wordpress.com

Undang-Undang

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2012


Dokumen yang terkait

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN PENGANIAYAAN (Studi Putusan No. 1794/PID.B(A)/2009/PN.TK)

0 14 66

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA INCEST (Studi Putusan No.24/Pid.B/2012/PN.KLD)

3 21 44

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA TINDAK PIDANA PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN (Studi Kasus Perkara No.39/Pid.B/2010/PN.Mgl)

0 6 43

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA YANG LEBIH TINGGI DARI TUNTUTAN PENUNTUT UMUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.75/Pid.B/2012/PN.TK)

0 17 61

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi Putusan PN Nomor : 195/PID.B/2012/PN.GS)

0 7 61

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERBANKAN DALAM PERKARA NOMOR: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK

0 4 60

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU PENCABULAN TERHADAP ANAK (Studi Putusan Nomor: 66/Pid/2013/PT.TK)

0 0 12

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KELALAIAN YANG MENGAKIBATKAN ORANG LAIN MENINGGAL DUNIA (Studi Putusan Nomor: 144/Pid.Sus/2013/PN.M)

0 0 13

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA PERCOBAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERZINAHAN (Studi Kasus Putusan No: 300/Pid.B/2017/PN.Tjk)

0 0 13

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PAJAK KENDARAAN BERMOTOR (Studi Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk)

0 1 15