STUDI VARIASI MORFOLOGI TANAMAN TOMAT GUNUNG (Lycopersicum esculentum mill. var. cerasiforme) DI BANDAR LAMPUNG

(1)

GAMBARAN HISTOLOGIS MENCIT (Mus Musculus L.) JANTAN SEBAGAI RESPON TERHADAP KEBISINGAN

OLEH

ERANGGA JULIO Skripsi

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA SAINS

Pada Jurusan Biologi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG


(2)

ABSTRAK

GAMBARAN HISTOLOGIS HATI MENCIT (Mus musculus L.) JANTAN SEBAGAI RESPON TERHADAP KEBISINGAN

Oleh Erangga Julio

Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan karena tidak sesuai dengan konteks ruang dan waktu sehingga dapat menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan manusia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan struktur histologis hati mencit (Mus musculus L.) jantan akibat paparan kebisingan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai akibat dari paparan kebisingan terhadap kesehatan. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei sampai bulan Juni 2013 di Laboratorium Zoologi jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan, sedangkan untuk pembuatan preparat histologis hati dilaksanakan di Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional III. Mencit dibagi menjadi 5 kelompok masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor mencit. Kelompok pertama adalah kontrol yang tidak diberi paparan kebisingan, kelompok kedua diberi paparan kebisingan 6 jam/hari, kelompok ketiga 8 jam/hari, kelompok keempat 10 jam/hari, dan terakhir diberi paparan kebisingan 12 jam/hari. Masing-masing kelompok perlakuan diberi paparan kebisingan dengan intensitas bunyi 85-90 dBA selama 21 hari. Data yang diperoleh dalam penelitian ini disajikan secara deskriptif. Hasil pengamatan deskriptif menunjukkan bahwa pada setiap perlakuan terdapat kerusakan. Pada kelompok (P1) terdapat kerusakan berupa Kongesti pada vena sentralsebesar 83,4%, nekrosa pada sel hepatosit sebesar 17,7% dan perdarahan sebesar 19,45%, (P2) perdarahan pada sinusoid 23,44% , kongesti pada vena sentral 67% dan nekrosa pada sel hepatosit 67%, (P3) perdarahan pada sinusoid 34,51%, kongesti 70,25% dan nekrosa pada sel hepatosit 26,69%, (P4) kongesti pada vena sentral 76,6%, perdarahan pada sinusoid 25,61% dan nekrosa pada sel hepatosit 76,6%. Sedangkan pada kelompok kontrol ditemukan adanya kerusakan berupa kongesti pada vena sentral 40%, perdarahan pada sinusoid 15,13% dan sel hepatosit tidak mengalami kerusakan.


(3)

(4)

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

SANWACA NA ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

C. Manfaat Penelitian ... 3

D. Kerangka Pikir... 3

E. Hipotesis ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. Kebisingan ... 5

1. Definisi Kebisingan ... 5

2. Sumber-sumber Kebisingan ... 6

3. Jenis-jenis Kebisingan ... 7

4. Alat Pengukur dan Metode Pengukur Kebisingan ... 8

5. Pengaruh Kebisingan Terhadap Kesehatan ... 9

B. Biologi Mencit (Mus musculus L.) ... 11


(6)

B. Alat dan Bahan ... 19

C. Desain Penelitian ... 20

D. Pelaksanaan Penelitian ... 21

E. Parameter Yang Diamati... 30

F. Analisis Data... 30

G. Diagram Alir Penelitian... 31

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 32

A. Hasil Penelitian ... 32

1. Histologis hati mencit (Mus musculusL.) jantan………..…….. 32

2. Persentase kerusakan histologis hati mencit (Mus musculus L.) Jantan……….….. 38

B. Pembahasan ... 41

1. Histologis hati mencit (Mus musculusL.) jantan…..………….. 41

2. Persentase kerusakan histologis hati mencit (Mus musculus L.) Jantan……….….. 44

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 46

A. Simpulan ... 46

B. Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47 LAMPIRAN


(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebisingan merupakan salah satu jenis pencemaran lingkungan yang sangat diperhatikan, karena berdampak negatif terhadap kesehatan. Dampak kebisingan merupakan menu wajib penting yang harus dikelola, maka Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sepakat memasukkannya ke dalam dokumen penting. Menurut Suma’mur (1984) kebisingan adalah suara yang tidak dikehendaki yang dapat menggangu dan membahayakan kesehatan, sedangkan musik adalah suara yang diinginkan tapi menyebabkan bising.

Pengaruh bising terhadap kesehatan tergantung pada intesitas, frekuensi, lama paparan, jenis bising dan sensitivitas individu. Intensitas bising yang tinggi lebih menggangu dibanding intensitas bising yang rendah. Intensitas kebisingan yang berada di lingkungan sekitar dapat diukur menggunakan alat Sound Level Meter (SLM) dengan cara menangkap perubahan tekanan udara yang terjadi akibat adanya benda bergetar yang selanjutnya akan menggerakkan meter penunjuk pada SLM. Alat yang digunakan untuk mengukur nilai ambang pendengaran adalah Audiometer. Nilai ambang batas keamanan yang direkomendasikan oleh Occupational Safety and Health Administration (OSHA) dan Organisasi


(8)

Kesehatan Dunia (WHO) dan mengacu pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-51/MEN/1999, tentang baku mutu tingkat kebisingan, yaitu intensitas bising rata-rata tidak lebih dari 85 dB selama 8 jam per hari atau 40 jam per minggu, serta getaran alat kerja yang kontak langsung maupun tidak langsung pada lengan dan tangan tenaga kerja ditetapkan sebesar 4 meter per detik kuadrat (Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 51/Men/1999).

Hati merupakan organ yang berfungsi sebagai kelenjar yang paling besar. Hati mempunyai selubung peritoneum dan menerima darah dari vena porta dan arteri hepatika, sedangkan darah keluar melalui vena hepatika yang masuk ke dalam vena cava caudalis (Ressang, 1984). Vena porta dan vena hepatika merupakan pembuluh darah dari usus yang membawa nutrisi dan zat-zat lain yang diserap oleh usus. Nutrisi yang sampai di hati melalui aliran darah portal, diolah dan diserap keluar sebagai bahan baru dalam aliran darah (Hartono 1992).

Hati dapat mengalami beberapa perubahan. Kerusakan pada hati dapat

bersifat irreversible (tetap) dan reversible (sementara). Degenerasi merupakan kerusakan yang reversible, dimana sel mengalami perubahan dari struktur normalnya. Penyebab degenerasi sel bermacam-macam antara lain gangguan metabolisme, toksin, dan trauma. Apabila degenerasi sel berlangsung terus-menerus, maka dapat menyebabkan kematian sel (nekrosa)


(9)

Hati sering menjadi organ target karena sebagian besar zat/senyawa toksik akan melalui tubuh. Di dalam hati terdapat sel hepatosit yang berperan dalam

mensintesis protein dan lipid. Banyaknya senyawa toksik di dalam tubuh akan mempengaruhi kerja dari sel hepatosit, apabila banyak senyawa toksik yang terdapat di dalam protein maka lama-lama sel hepatosit akan mengalami kerusakan (Sloane, 2003).

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kebisingan terhadap gambaran kerusakan histologis hati mencit (Mus musculus L.) jantan.

C. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang

pengaruh kebisingan terhadap kerusakan histologis hati mencit (Mus musculus L.) jantan.

D. Kerangka Pikir

Kebisingan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari manusia, kebisingan dapat diartikan sebagai suara yang timbul dari getaran-getaran yang tidak teratur dan periodik. Manusia masih mampu mendengar bunyi dengan frekuensi antara


(10)

16 - 20.000 hertz (Hz), dan intensitas dengan nilai ambang batas (NAB) 85 desibel (dB) (A) secara terus menerus. Intensitas lebih dari 85 desibel (dB) dapat menimbulkan gangguan dan batas ini disebut critical level of intensity. Gangguan kebisingan dapat menimbulkan stres. Stres akibat bising menyebabkan kegagalan dalam tingkat hipotalamus, sehingga memaksa kelenjar adrenal pada bagian medula untuk mensekresikan hormon epineprin dan noepineprin yang menyebabkan aliran darah ke organ hati menjadi meningkat. Meningkatnya aliran darah menyebabkan kegagalan pada fungsi organ hati dalam mengatur kadar glukosa dalam darah, sehingga hati mensekresikan hormon glukagon sebagai respon homeostasis. Karena kerja dari organ hati akan semakin berat dengan adanya gangguan kebisingan tersebut. Untuk itu perlu dilakukan

penelitian tentang pengaruh kebisingan terhadap gambaran histologi hati mencit jantan (Mus musculus L).

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini bahwa paparan dari kebisingan dapat menyebabkan kerusakan struktur histologis organ hati mencit (Mus musculus L.) jantan.


(11)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebisingan

1. Definisi Kebisingan

Kebisingan merupakan suara yang tidak diinginkan oleh karena itu merupakan stress tambahan dari suatu pekerjaan dan tentunya akan

berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Gangguan kesehatan yang dapat muncul akibat paparan bising adalah: gangguan psikologis, gangguan fisiologis, gangguan pendengaran, gangguan keseimbangan dan gangguan hormonal (Mahanggoro, 2001).Selain definisi tersebut, terdapat beberapa pengertian kebisingan, antara lain:

a. Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.KEP-51/MEN/1999 menyebutkan bahwa kebisingan adalah semua suara yang tidak

dikehendaki yang bersumber dari alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang berada pada titik tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran.

b. Suma’mur (1995) menyatakan bunyi didengar sebagai rangsangan

-rangsangan pada telinga oleh getaran-getaran melalui media elastis dan jika bunyi tersebut tidak dikehendaki, maka bunyi dinyatakan sebagai


(12)

c. Griefahn (2000) menyatakan Kebisingan adalah suara yang tidak diinginkan. Oleh karena itu merupakan stress tambahan dari suatu

pekerjaan. Gangguan psikologi tersebut dapat berupa rasa kurang nyaman, kurang konsentrasi, susah tidur, emosi dan lain-lain. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan R.I. No.718/MENKES/PER/XI/1987 tentang

kebisingan yang berhubungan dengan kesehatan bahwa kebisingan adalah terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki sehingga mengganggu dan membahayakan kesehatan.

2. Sumber – Sumber Kebisingan

Menurut Suma’mur (1995) sumber bising utama dapat diklasifikasikan dalam 2 kelompok, yaitu :

a. Bising interior, berasal dari manusia, alat rumah tangga, atau mesin-mesin gedung, misalnya radio, televisi, bantingan pintu, kipas angin, komputer, pembuka kaleng, pengkilap lantai, dan pengkondisi udara.

b. Bising eksterior, berasal dari kendaraan, mesin-mesin diesel,

transportasi.Dari kedua sumber bising tersebut di atas, tingkat bising yang sangat tinggi diproduksi dalam beberapa bangunan industri oleh proses pabrik atau produksi. Tingkat bunyi sumber-sumber bising tertentu, yang diukur dengan meter tingkat bunyi.


(13)

Tingkat bising rata-rata yang biasadapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tingkat bising rata-rata biasa

SumberBising Tingkat Bising (dB)

1. Rumahtenangpadaumumnya 2. Jalanpemukiman yang tenang 3. Mobil penumpang di lalulintas 4. Mobil penumpang di jalan raya 5. Lalu lintas kota pada jam sibuk

42 48 70 76 90

Suma’mur (1995).

3. Jenis-jenis Kebisingan

Kebisingan menurut Suma’mur (1995) dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu:

a. Kebisingan yang kontinu dengan spektrum frekuensi yang luas (steady state, wide band noise), misalnya mesin-mesin, kipas angin, dapur pijar, dan lain-lain.

b. Kebisingan kontinu dengan spektrum frekuensi sempit (steady state, narrow band noise), misalnya gergaji sirkuler, katup gas, dan lain-lain. c. Kebisingan terputus-putus (intermitten), misalnya lalu lintas, suara kapal

terbang di lapangan udara.

d. Kebisingan impulsive (impact or impulsive noise), seperti pukulan, tembakan atau meriam, ledakan, dan lain-lain.


(14)

4. Alat Pengukur dan Metode Pengukur Kebisingan

Alat utama dalam pengukuran kebisingan adalah Sound Level Meter(SLM). Alat ini mengukur kebisingan antara 30-130 dB dengan frekuensi antara 20-20.000 Hz. Suatu sistem kalibrasi terdapat dalam alat itu sendiri, kecuali untuk kalibrasi mikrofon diperlukan pengecekan dengan kalibrasi tersendiri. Sebagai kalibrasi dapat dipakai pengeras suara yang kekuatan suaranya diatur

amplifier. Atau suatu piston phone dibuat untuk maksud kalibrasi ini, yang tergantung dari tekanan udara, sehingga perlu koreksi tergantung dari

barometer. Kalibrator dengan intensitas tinggi (125 dB) lebih disenangi, oleh karena alat itu mungkin dipakai mengukur intensitas tinggi.Tiga metode pengukuran kebisingan menurut Suma’mur (1995) :

a. Pengukuran dengan titik sampling

Pengukuran dilakukan bila kebisingan diduga melebihi ambang batas hanya pada satu atau beberapa lokasi saja. Pengukuran ini juga digunakan untuk mengevaluasi kebisingan yang disebabkan oleh peralatan sederhana, misal kompresor dan generator.

b. Pengukuran dengan Peta Kontur

Pengukuran dengan membuat peta kontur sangat bermanfaat dalam

mengukur kebisingan karena dapat memberikan gambaran tentang kondisi kebisingan dalam cakupan area.

c. Pengukuran dengan Grid

Teknik pengukuran dengan grid adalah dengan membuat contoh data kebisingan pada lokasi yang diinginkan. Titik-titik sampling harus dibuat


(15)

dengan jarak interval yang sama diseluruh lokasi. Setelah titik sampling diplot dalam peta, maka kebisingan dapat digambarkan dengan

menghubungkan titik yang mempunyai tingkat kebisingan yang sama. 5. Pengaruh Kebisingan Terhadap Kesehatan

Menurut Buchari (2007), Pengaruh kebisingan terhadap manusia tergantung pada karakteristik fisik, waktu berlangsung dan waktu kejadian, ada beberapa gangguan yang diakibatkan oleh kebisingan diantaranya :

a. Gangguan Pendengaran

Pendengaran manusia merupakan salah satu indera yang berhubungan dengan komunikasi audio/suara. Alat pendengaran yang berbentuk telinga berfungsi sebagai fonoreseptor yang mampu merespon tanpa

menimbulkan rasa sakit.Sensitifitas pendengaran pada manusia yang dikaitkan dengan suara paling lemah yang masih dapat didengar disebut ambang pendengaran, sedangkan suara yang paling tinggi yang masih dapat didengar tanpa menimbulkan rasa sakit disebut ambang rasa sakit. Kerusakan pendengaran (dalam bentuk ketulian) merupakan penurunan sensitifitas yang berlangsung secara terus-menerus. Tindak pencegahan terhadap ketulian akibat kebisingan memerlukan kriteria yang

berhubungan dengan tingkat kebisingan maksimum dan lamanya

kebisingan yang diterima. Lebarnya interval tekanan suara dan frekuensi yang dapat diterima oleh telinga manusia membuat telinga manusia memiliki kawasan-kawasan yang peka suara dan jika di petakan pada suatu grafik frekuensi versus arah tekanan


(16)

Suara akan memperlihatkan adanya auditory sensation area. Kawasan tersebut di bagian atas dibatasi oleh ambang pendengaranya itu suatu arah tekanan suara maksimal yang masih bias direspon oleh pendengaran tanpa merusaknya, sedangkan bagian bawah dibatasi oleh ambang pendengaran minimum yaitu arah tekanan minimal yang dibutuhkan untuk merangsang pendengaran.

b. Gangguan Kesehatan

Kebisingan berpotensi untuk mengganggu kesehatan manusia apabila manusia terpapar aras suara dalam suatu perioda yang lama dan terus-menerus. Aras suara 75 dB untuk 8 jam kerja per hari jikahanya terpapar satu hari saja pengaruhnya tidak signifikan terhadap kesehatan, tetapi apabila berlangsung setiap hari, maka suatu saat akan melewati suatu batas dimana paparan kebisingan tersebut akan menyebabkan hilangnya pendengaran seseorang (tuli). Untuk beberapa kasus paparan kebisingan, dampaknya terhadap kesehatan lebih banyak bersifat individual dan tidak bisa dipukul rata untuk sekelompok populasi manusia sehingga dalam hal ini diperlukan suatu fungsi pembobotan yang dipilih untuk menentukan resiko dampak kebisingan terhadap sekelompok populasi manusia. Fungsi ini disebut fungsi pembobotan proteksi pendengaran. Resiko dampak kebisingan terhadap ketulian populasi. Selain gangguan terhadap sistem pendengaran, dan usia anggota berpengaruh atau dapat menimbulkan gangguan terhadap mental, emosional, serta sistem jantung dan peredaran darah. Gangguan mental, emosional berupa terganggunya kenyamanan


(17)

hidup, mudah marah, menjadi lebih peka atau mudah tersinggung, melalui mekanisme hormonal yaitu diproduksinya hormon adrenalin yang dapat meningkatkan frekuensi detak jantung dan tekanan darah.

B. BiologiMencit (Musmusculus L.)

Gambar1.Morfologimencit (Musmusculus L.) (Amori, 1996).

Klasifikasimencit

Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata

Sub-Filum : Vertebrata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Sub-Ordo : Myoimorphia

Famili : Muridae

Genus : Mus


(18)

Mencit (Mus musculus L.) merupakan hewan mamalia hasil domestikasi dari mencit liar yang paling umum digunakan sebagai hewan percobaan pada laboratorium, yaitu sekitar 40%-80%. Banyak keunggulan yang dimiliki oleh mencit sebagai hewan percobaan, yaitu memiliki kesamaan fisiologis dengan manusia, siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi dan mudah dalam penanganan

(Moriwaki, Shiroishi, Yonekawa.1994).

Mencit merupakan salah satu anggota family muridae (tikus-tikusan) yang ukurannya kecil. Mencit digolongkan kedalam kelas mammalia karena pada mencit betina setelah melahirkan anaknya melakukan proses menyusui,

dan digolongkan kedalam ordo rodentia dan family muridae karena kebiasaannya sebagai hewan pengerat (Kimbal, 1983).

Mencit mempunyai peran yang sangat penting bagi manusia terutama untuk penelitian di laboratorium. Mencit merupakan hewan nokturnal (hewan yang aktif pada malam hari). Mencit memiliki sifat penakut yang dalam hidupnya cenderung berkelompok, dan aktivitasnya akan terhenti apabila ada kehadiran manusia di sekitar tempat mencit tersebut melakukan aktivitas (Rahayu, 2006).

Mencit memiliki panjang tubuh antara 6-10 cm, hidung runcing, dan telinga yang tegak, dan memiliki ekor yang tidak berambut dengan panjang 7-11 m


(19)

Mencit laboratorium memiliki beratba dan yang bervariasi antara 18-20 g pada umur empat minggu (Smith danMangkoewidjojo, 1998). Mencit memiliki rambut yang pendek halus dan berwarna putih serta ekor berwarna kemerahan dengan ukuran lebih panjang dari badan dan kepalanya.

Cirikhas mencit yaitu kulit, rambut tidak berpigmen sehimgga warnanya putih. Mencit lebih tahan lama terhadap penyakit dan lebih jinak. Semua hewan termasuk mencit dapat tumbuh lebih cepat pada waktu masih muda, kecepatan pertumbuhan semakin berkurang dengan bertambahnya umur dan akhirnya pertumbuhan terhenti. Hewan ini sering dijadikan hewan percobaan di

laboratorium karena perkembangbiakan hewan ini mudah dan cepat. Hewan ini hidup di lingkungan yang lembab dengan intensitas cahaya yang kurang


(20)

C. Organ Hati

Hati terletak di rongga perut sebelah kanan, tepat di bawah diafragma, berwarna merah kecoklatan. Hati terdiri dari lobus yang jumlah lobusnyatergantung pada spesiesnya. Pada mencit terdapat empat lobus

(Harada,Enomoto, Boorman, Maronpot.1999).

Hati mempunyai 3 fungsi yaitu fungsi vaskuler, fungsi metabolik sertafungsi sekresi dan ekskresi. Fungsi vaskuler berhubungan denganproses penyimpanan darah, sedangkan fungsi sekresi dan ekskresi berperan untukproduksi empedu yang mengalir melalui saluran empedu ke saluran pencernaan (Guytondan Hall 1997).

Hati juga mempunyai fungsi dalam mengatur kadar glukosa dalam darah. Makanan berupa glukosa akan diabsorbsi di usus, kemudian diteruskan ke hati melalui vena portal. Sebagian dari glikogen yang disimpan, akan dipecah dalam hati menjadi glukosa. Dalam keadaan normal kadar glikogen dalam hati cukup untuk

mempertahankan kadar glukosa darah. Jika terjadi gangguan hati, dapat menyebabkan terjadinya hiperglikemia atau hipoglikemia (Ganiswarna 1995).

Hati merupakan organ yang paling sering mengalami kerusakan.Ada dua alasan yang menyebabkan hati mudah terkena racun. Pertama, hati menerima

80%suplai darah dari vena porta yang mengalirkan darah dari sistem


(21)

bakteri, logam,mineral dan zat-zat kimia lain yang diserap kedarah portal ditransportasikan kehati. Kedua, hati menghasilkan enzim-enzim yang

mempunyai kemampuan biotransformasi pada berbagai macam zat eksogen dan endogen untuk dieliminasi tubuh (Carlton danMcGavin 1995).

Gambar 2. Struktur anatomi hati manusia normal (Sloane, 2003)

Berdasarkan Gambar2 di atas hati terbagi menjadi 2 lapisan utamayaitu : 1. Permukaan atas yang berbentuk cembung, terletak di bawah diafragma.

Permukaan bawah yang tidak rata dan memperlihatkan lekukan fisuratransferus (Syarifuddin, 1997).


(22)

Gambar 3. Sel hepatosit (Sloane, 2003).

Sel hepatosit merupakan salah satu bagian yang terdapat di dalam organ hati. Sel hepatosit adalah sel parenkimal utama yang terdapat di dalam hati yang

mempunyai peran dalam metabolisme. Sel hepatosit memiliki berat 80% dari berat hati dan memiliki inti sel baik tunggal maupun ganda. Hepatosit sangat aktif mensintesis protein dan lipid untuk disekresi, dan memiliki banyak

retikulum endoplasma dan badan golgi.Hepatosit dipisahkan oleh sinusoid yang tersusun dengan melingkari efferent vena hepatica dan duktus hepatikus. Darah yang masuk ke dalam hati melalui arteri hepatika dan vena porta serta yang akan menuju ke vena sentralis akan mengalami pengurangan oksigen secara bertahap. Akibatnya beberapa jaringan akan sangat rentan terhadap kerusakan asinus. Di dalam organ hati, hepatosit terletak berhadapan dengan sinusoid yang


(23)

yang dipisahkan dari hepatosit oleh ruang disse (ruang sinusoida) (Sloane, 2003).

Hati tikus terdiri dari empat lobus utama, separuh bergabung satu samalain. Lobus bagian dorsal dibagi menjadi bagian lobus kanan dan lobus kiri. Lobuslateral kiri tidak terbagi dan lobus lateral kanan yang dibagi menjadi bagiananterior dan posterior. Lobus caudal terdiri dari dua lobus yaitu lobus dorsal danventral (Harada, Akiko, Gary, Robert. 1999).

Permukaan hati tikus dilapisi oleh lapisan jaringan ikat yang liat dantembus pandang. Hati tersusun dalam lobulus yang didalamnya mengalir darahmelewati deret sel-sel hati melalui sinusoid dari daerah porta hepatika kedalamvena sentralis tiap lobulus. Darah yang lewat sinusoid adalah campuran darah

daricabang-cabang vena porta dan arteri hepatika. Setiap lobulus hati terbangun dariberbagai komponen, yaitu sel-sel parenkim hati (hepatosit), vena

sentralis,sinusoid, cabang-cabang vena porta, cabang-cabang arteri hepatika, sel Kuppferdan kanalikuli biliaris. Sel-sel Kuppfer yang berada di dalam lumen sinusoidbertindak sebagai makrofag yang memiliki fungsi fagositik (Ganong 2003).

Gambaran histologis hati tikus normal saat lahir masih mengandung cukup banyak jaringan hematopoietik. Fokus hematopoietik menghilang antara 9 dan 13hari pasca persalinan. Untuk minggu pertama, lobulus hati tidak dapat dibedakan,tetapi pada postpartum 9 hari, hubungan dari pembuluh darah dan


(24)

lobulus menjadijelas (Harada, Akiko, Gary, Robert. 1999).

Hati dapat mengalami beberapa perubahan. Kerusakan pada hati dapat

bersifat irreversible (tetap) dan reversible (sementara). Degenerasi merupakan kerusakan yang reversible, dimana sel mengalamiperubahan dari struktur normalnya. Penyebab degenerasi sel bermacam-macamantara lain gangguan metabolisme, toksin, dan trauma. Apabila degenerasi selberlangsung terus-menerus, maka dapat menyebabkan kematian sel (nekrosa)

(MacLachlan dan Cullen 1995).

Stres akibat bising menyebabkan kegagalan dalam tingkat hipotalamus, sehingga memaksa kelenjar adrenal pada bagian medula untuk mensekresikan hormon epineprin dan norepineprin yang menyebabkan aliran darah ke organ hati menjadi meningkat. Meningkatnya aliran darah menyebabkan kegagalan pada fungsi organ hati dalam mengatur kadar glukosa dalam darah, sehingga hati mensekresikan hormon glukagon sebagai respon homeostasis (Ganiswarna, 1995).


(25)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada mencit, sedangkan pembuatan preparat histologis hati dilaksanakan di Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional III. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2013 sampai dengan bulan Mei 2013.

B. Alat dan Bahan 1. Hewan Percobaan

Penelitian ini menggunakan mencit (Mus musculus L.) jantan yang berasal dari BPPV Regional III sebanyak 25 ekor. Mencit yang digunakan dalam penelitian ini memiliki berat rata-rata sekitar 30 - 35 gram. Sebelum diberikan perlakuan, dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu kepada mencit selama kurang lebih 1 minggu. Aklimatisasi ini dilakukan dengan tujuan agar mencit terbiasa dengan tempat tinggal yang baru dan tidak stress.


(26)

2. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang mencit yang

berbentuk persegi dengan ukuran 15x15 cm. Kandang mencit yang digunakan sebanyak 20 kandang dengan penutupnya menggunakan bahan plastik untuk menghindari gelombang radiasi. (SLM) Sound Level Meter yang digunakan untuk mengukur intensitas bunyi, sedangkan sumber bunyi nya berasal dari generator suara. Alat lainnya yang digunakan adalah gelas kimia, timbangan mencit, kotak mencit, papan fiksasi, botol minum mencit, kaca penutup (cover glass), stopwatch, mikroskop cahaya dan seperangkat alat untuk pembuatan preparat histologis testis.

3. Bahan

Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu organ hati mencit jantan, aluminium foil, xylol, paraffin, aquades, alkohol 80%, alkohol 95%, alkohol 96%, alkohol absolute, eosin, pewarna Harris, larutan PBS (Phosphat Buffer Saline) dengan pH 6,8 dan kloroform.

C. Desain penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 1 kelompok kontrol, 4 kelompok diberi paparan kebisingan yang sama dengan perbedaan waktu paparan, pada masing – masing perlakuan terdapat 5 kali ulangan. Kelompok pertama digunakan sebagai kontrol, kelompok kedua diberi paparan kebisingan selama 6 jam/hari, kelompok ketiga diberi paparan


(27)

kebisingan selama 8 jam/hari, kelompok keempat diberi paparan kebisingan selama 10 jam/hari dan kelompok kelima diberi paparan kebisingan selama 12 jam/hari. Gambar desain penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 4. Desain penelitian paparan kebisingan

D.Pelaksanaan Penelitian

1. Hewan Percobaan Mencit (Mus musculus L.)

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung dengan menggunakan 25 ekor mencit jantan. Mencit ditempatkan di dalam kandang yang diberi sekat menjadi lima bagian. Mencit yang digunakan rata-rata mempunyai berat sekitar 30 - 35 gram dengan usia


(28)

3-4 bulan, diperoleh dari Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BVPP) Regional III Bandar Lampung. Selama pemeliharaan, mencit diberi makan

pellet komersial mencit atau hewan pengerat

(

makanan asupan sekitar

15g/100g BB / hari; asupan air sekitar 15 ml/100g BB / hari) dan ditempatkan dalam lingkungan yang terkendali (24 jam siklus gelap suhu kamar

dipertahankan pada 27 ± 2 ° C, dengan kelembaban relatif pada 55 ± 10%) (Fidan, Enginar, Cigerci, Korcan, Ozdemir, 2008).

Paparan kebisingan yang diberikan sebagai perlakuan terhadap mencit adalah sebagai berikut:

1. Mencit ditempatkan pada ruangan yang akan diberi paparan suara kebisingan yang berjarak 2 meter dari tempat mencit berada.

2. 25 ekor mencit jantan dewasa dibagi mejadi 5 kelompok dengan masing-masing kelompok tersebut terdiri dari lima ekor mencit jantan dewasa. Berikut adalah uraian dari masing-masing kelompok :

a. Kelompok kontrol (P0) : kelompok kontrol ini tidak diberikan perlakuan paparan kebisingan karena sebagai pembanding yang normal terhadap kelompok mencit yang diberikan perlakuan pajanan kebisingan. b. Kelompok pajanan I (P1): kelompok ini diberi paparan kebisingan

80-90 dB dengan intensitas paparan sebesar 6 jam per hari selama 21 hari. c. Kelompok pajanan II (P2): kelompok ini diberi paparan kebisingan 80-90 dB dengan intensitas paparan sebesar 8 jam per hari selama 21 hari.


(29)

d. Kelompok pajanan III (P3): kelompok ini diberi paparan kebisingan 80-90 dB dengan intensitas paparan sebesar 10 jam per hari selama 21 hari. e. Kelompok pajanan IV (P4): kelompok ini diberi paparan kebisingan

80-90 dB dengan intensitas paparan sebesar 12 jam per hari selama 21 hari. (Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.51 tahun 1999 Nilai Ambang Batas Kebisingan, 1999).

2. Proses Pembedahan Mencit (Mus musculus L.)

Setelah mencit diberi perlakuan selama 21 hari, maka pada hari yang ke-22 dilakukan pembedahan untuk diambil organ hati dari mencit tersebut. Pembedahan ini dilakukan dengan cara pembiusan mencit menggunakan kloroform, setelah mencit pingsan, dilakukan pembedahan pada bagian ventral tubuh mencit secara vertikal, lalu diambil organ hatinya. Hati yang telah diambil segera difiksasi menggunakan larutan formalin 10% di dalam botol. Perbandingan volume spesimen dengan larutan formalin 1:10 untuk

mendapatkan hasil yang sempurna. Kemudian organ hati tersebut dibawa ke laboratorium Patologi, Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional III Bandar Lampung, untuk seterusnya organ hati tersebut akan dibuat preparat histologi.


(30)

3. Pembuatan Preparat Histologi Hati Mencit (Mus musculus L.) Jantan Dalam pembuatan preparat histologi hati mencit ini akan dilakukan di Laboratorium Patologi, Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional III. Adapun cara pembuatan preparat histologis adalah sebagai berikut ini:

a. Trimming

Trimming adalah suatu proses tahapan yang dilakukan setelah proses fiksasi, dimana buffer formalin 10% dihilangkan menggunakan air mengalir selama 30 menit. Berikut ini adalah proses tahapan trimming : 1. Spesimen berupa potongan organ hati segera difiksasi dengan larutan

pengawet berupa buffer formalin atau 10% formalin.

2. Potongan hati dicuci dengan air mengalir lalu dipotong setebal 2-4mm. 3. Potongan-potongan hati tersebut dimasukkan ke dalam embedding casette. Dalam satu embedding casette dapat diisi 1-5 buah potongan hati yang disesuaikan dengan ukuran besar kecilnya potongan.

4. Potongan hati tersebut lalu dicuci dengan air mengalir. b. Dehidrasi

Dehidrasi adalah proses penarikan molekul air dari dalam jaringan. Tujuan dari dehidrasi adalah agar seluruh ruang-ruang antar sel dalam jaringan dapat diisi dengan molekul parafin. Berikut ini adalah proses tahapan dehidrasi :

1. Air dituntaskan dengan meletakkan embedding casette pada kertas tisu. 2. Berturut-turut dilakukan perlakuan sebagai berikut :


(31)

Tabel 2. Tahapan proses dehidrasi

Tahap Waktu Zat kimia

Dehidration

2 jam Alkohol 80 %

2 jam Alkohol 95 %

1 jam Alkohol 95 %

1 jam Alkohol absolut I

1 jam Alkohol absolut II

1 jam Alkohol absolut III

Clearing

1 jam Xylol I

1 jam Xylol II

1 jam Xylol III

Impregnasi

2 jam Paraffin I

2 jam Paraffin II

2 jam Paraffin III

c. Embedding

Adapun proses tahapan embedding adalah sebagai berikut :

1. Sisa-sisa parafin pada pan dibersihkan dengan memanaskan beberapa saat di atas api kemudian diusap dengan kapas.

2. Parafin cair dimasukkan ke dalam cangkir logam dan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu di atas 58 oC.


(32)

4. Jaringan dipindahkan satu persatu dari embedding casette ke dasar pan dengan mengatur jarak satu dengan lainnya.

5. Pan dimasukkan ke dalam air.

6. Parafin yang berisi jaringan tersebut dilepaskan dari pan dengan memasukkan ke dalam oven dengan suhu 4-6 oC beberapa saat. 7. Parafin dipotong sesuai dengan letak jaringan yang ada menggunakan skalpel atau pisau hangat.

8. Potongan parafin diletakkan pada balok kayu, pinggirnya diratakan dan ujungnya dibuat sedikit meruncing.

9. Blok parafin siap dipotong dengan mikrotom.

d. Cutting

Cutting adalah proses pemotongan atau pengirisan jaringan dengan menggunakan mikrotom yang dilakukan di ruangan dingin. Berikut ini adalah proses tahapan cutting :

1. Sebelum jaringan dipotong, blok terlebih dahulu didinginkan.

2. Dilakukan pemotongan kasar dan dilanjutkan dengan pemotongan halus dengan ketebalan 4-5 mikron.

3. Setelah pemotongan dipilih lembaran jaringan yang paling baik, diapungkan pada air dan dihilangkan kerutannya dengan cara menekan salah satu sisi lembaran jaringan tersebut dengan ujung jarum dan sisi yang lain ditarik dengan menggunakan kuas runcing.


(33)

beberapa detik sampai mengembang sempurna.

5. Dengan gerakan menyendok, lembaran jaringan diambil dengan slide bersih dan ditempatkan di tengah atau atau pada sepertiga atas atau bawah, dicegah jangan sampai ada gelembung udara di bawah jaringan. 6. Slide yang berisi jaringan ditempatkan pada inkubator (suhu 37 oC) selama 24 jam sampai jaringan melekat sempurna.

e. Staining/Pewarnaan

Setelah jaringan melekat sempurna, dilakukan pewarnaan dengan

menggunakan pewarna Hematoxylin Eosin (HE). Slide yang dipilih adalah yang terbaik, selanjutnya secara berurutan dimasukkan ke dalam zat kimia sebagaimana tersaji pada Tabel 3.


(34)

Tabel 3. Tahapan proses stainning

Zat kimia Waktu

Xylol I 5 menit

Xylol II 5 menit

Xylol III 5 menit

Alkohol absolut I 5 menit

Alkohol absolut II 5 menit

Aquadest 1 menit

Harris Hematoxylin 20 menit

Aquadest 1 menit

Acid Alkohol 2-3 celupan

Aquadest 1 menit

Aquadest 15 menit

Eosin 2 menit

Alkohol 96 % I 2 menit

Alkohol 96 % II 3 menit

Alkohol absolut III 3 menit

Alkohol absolut IV 3 menit

Xylol IV 5 menit


(35)

Zat kimia yang digunakan dalam pewarnaan ini adalah sebagai berikut: 1. Hematoxylin Kristal : 5 g

2. Alkohol absolute : 50 ml

3. Ammonium : 100g/L

4. Aquadest : 1000 mL

5. Mercury oxide : 2,5 g

f. Mounting

Setelah pewarnaan slide selesai, slide ditempelkan di atas kertas tisu pada tempat yang datar dan selanjutnya ditetesi dengan menggunakan Canada Balsam dan ditutup dengan menggunakan cover glass dan dicegah jangan sampai ada gelembung udara.

g. Pengamatan/pembacaan slide

Preparat yang telah jadi diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x, 200x, 400x. Kemudian diamati perubahan yang terjadi.

4. Definisi Operasional

1. Nekrosa adalah kematian sel irreversible yang terjadi ketika sel cedera berat dalam waktu lama dimana sel tidak mampu beradaptasi lagi atau memperbaiki dirinya sendiri ( hemostasis).


(36)

2. Kongesti adalah keadaan di mana terdapat darah secara berlebihan

(peningkatan jumlah darah) di dalam pembuluh darah pada daerah tertentu. 3. Perdarahan adalah keluarnya darah dari sistem kardiovaskuler, disertai

penimbunan dalam jaringan atau ruang tubuh dan keluarnya darah dari tubuh.

E.Parameter yang Diamati

Pada penelitian ini parameter yang diamati yaitu derajat kerusakan berupa nekrosa, perdarahan dan kongesti yang dialami oleh sel hepatosit pada struktur histologis hati mencit (Mus musculus L.) jantan.

F. Analisis Data

Setelah pembuatan preparat histologi organ hati selesai maka dilakukan pengamatan secara deskriptif dan dihitung persentase kerusakan tersebut yang meliputi nekrosa, perdarahan, dan kongesti yang terjadi pada sel hepatosit.


(37)

G. Diagram Alir Penelitian

Gambar 5. Diagram Alir Penelitian 25 mencit jantan diaklimatisasi

selama 7 hari (1 minggu)

Mencit dibagi menjadi 5 kelompok dengan masing-masing 5 ekor mencit

(P0), mencit jantan yang tidak diberikan paparan kebisingan (P1), mencit jantan dengan paparan kebisingan 6 jam

(P2), mencit jantan dengan

paparan kebisingan 8 jam

(P3), mencit jantan dengan

paparan kebisingan 10 jam

(P4), mencit jantan dengan

paparan kebisingan 12 jam

Nekropsi organ hati

Pembuatan preparat organ hati

Penyusunan Laporan akhir

Pengamatan slide preparat organ hati


(38)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap struktur histologis hati mencit (Mus musculus L.) yang diberi paparan kebisingan selama 21 hari dengan intensitas 85-90 dBA mengakibatkan kerusakan dan dapat disimpulkan : 1. Kerusakan berupa nekrosa pada pemaparan kebisingan 6 jam/hari (P1), 8

jam/hari (P2), 10 jam/hari (P3) dan 12 jam/hari (P4) adalah 17,7%, 21,65%, 26,69%, 31,16%.

2. Kerusakan berupa kongesti setelah pemaparan kebisingan 85-90 dB pada kelompok kontrol, 6 jam/hari, 8 jam/hari, 10 jam/hari dan 12 jam/hari selama 21 hari adalah 40%, 83,4%, 67%, 70,25% dan 76,6%.

3. Kerusakan berupa perdarahan setelah pemaparan kebisingan 85-90 dB kelompok kontrol, 6 jam/hari, 8 jam/hari, 10 jam/hari dan 12 jam/hari selama 21 hari adalah 15,13%, 19,45%, 23,44%, 34,51% dan 25,61%.

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh paparan kebisingan terhadap organ lainnya selain organ hati.


(39)

DAFTAR PUSTAKA

Amori, G. 1996. Mus musculus. 2007 IUCN Red List of Threatened Species. IUCN. Diakses pada tanggal 04 April 2013.

Arrington, L. R. 1972. Introductory Laboratory Animal. The Breeding, Care and management og Experimental Animal Science. The Interstate Printers and Publishing, Inc., New York.

Buchari. 2007. Kebisingan Industri dan Hearing Conservation Program, 2007 USU Repository.

Carlton, W.W. dan M.D. McGavin. 1995. Thomson’s Special Veterinary Pathology. St. Louis. Mosby-Year Book, Inc. hlm 229-446.

Fidan, A. F., H. Enginar, I.H. Cigerci,S.E. Korcan, A. Ozdemir.2008. The radioprotective potensial of spinacia aleracia and aasculuc

hippocastannum against ionizing with their antioxidant and antimicrobial properties. Journal of Animal and Advances 7:1582-1536.

Ganiswarna, S.G. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Bagian Farmakologi

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Ganong, W.F. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-20. Andrianto P. Penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Review of Medical Physiology. Griefahn, B. 2000. Noise effects not only the ears, but can damage to health be objectively evaluated. MMW-Fortschr-Medicine 142 (14):26-29

Guyton, A.C. dan J.E.Hall. 1997. Buku Ajar Kedokteran. Edisi 7. Buku Kedokteran

EGC. Jakarta.

Harada, T. A. Enomoto, G.A. Boorman dan R.R. Maronpot. 1999. Liver and Gallbadder.

In: Maronpot RR. Pathology of The Mouse. Reference and Atlas. Edisi 1. Cache

River Press. hlm 120-171.

Harada, T. E. Akiko., A. B. Gary., R.M. Robert. 1999. Liver and Gallblader. Di dalam:

Maronpot RR, Gary AB, Beth WG, editor. Pathology of The Mouse. USA: Cache


(40)

Jones, T.C., R.D.Hunt, N.W. King. 1997. Veterinary Pathology. Ed ke-6. USA : Williams and Walkins.

Kimbal, J. W. 1983. Biologi Jilid 3. Edisi 5. Erlangga. Jakarta. Hal. 942.

MacLachlan, N.J., J.M. Cullen . 1995. Liver, Biliary System, and Exocrine Pancreas. Di

dalam: Carlton WW, McGavin MD, editor. Thomson’s Special Veterinary

Pathology. Ed ke-2. New York: Mosby Yearbook. hlm. 81-115.

Mahanggoro, T. 2001. Kadar hormon tiroksin (T4) mencit (Mus musculus) betina setelah pendedahan bising tinggi, JurnalKedokteran Yarsi 9 (3): 54-58.

Menteri Tenaga Kerja. 1999. Nilai Ambang Batas Faktor Fisik di Tempat Kerja. Edisi 1999. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta

Moriwaki, K, T. Shiroishi, H. Yonekawa. 1994. Genetic in Wild Mice. Its Aplication to Biomedical Research. Tokyo: Japan Scientific Sosieties Press. Karger. Price, S. A. and L. M. Wilson. 1995. Pathofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses

Penyakit Edisi 4. EGC. Penerbit buku Kedokteran. Jakarta. Vol:4.

Priyambodo, S. 2003. Pengendalian Hama Tikus Terpadu Seri Agrikat. Penebar Swadaya. Jakarta. Vol : 6.

Rahayu, L. 2006. Penanganan Hewan Percobaan. Laboratorium Farmakologi. Fakultas Farmasi Universitas Pancasila. Jakarta.

Ressang, A.A.. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Edisis 2. Percetakan Bali.

Denpasar

Robbins, S.L. dan V. Kumar 1992. Buku Ajar Patologi I. Penerjemah Staff Pengajar Laboratorium Anatomik, Fak. Kedokteran. Edisi 4, Universitas Airlangga, Jakarta. Hlm: 13-29, 70.

Siregar, M.A.P. 2011. Hubungan Kebisingan dengan Kemampuan Pendengaran Tenaga Kerja Bagian Pengolahan Pabrik Kelapa Sawit Adolina PTPN IV Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2010.Skripsi, FKM Universitas Sumatera

Utara, Medan.


(41)

Suma’mur, P.K. 1995. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes). CV.Sagung Seto, Jakarta.

Sutjibto, N. S. 1998. Petunjuk Praktikum Patologi DIII. Laboratorium Patologi. FKH UGM. Yoyakarta.

Syarifuddin, B. 1997. Anatomi Fisiologi. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta; vol : 2. Hlm 82.


(42)

a. Data kerusakan histologi hati mencit (Mus musculus L) berupa Nekrosa (%)

Ulangan Perlakuan

P0 P1 P2 P3 P4

1 0 16,6 18,07 28,94 33,33

2 0 13,3 18,55 30,18 25,80

3 0 13,95 24,32 24,13 0

4 0 16,66 28,57 23,52 34,37

5 0 28 18,75 0 0

Σ 0 88,51 108,26 106,77 93,50

0 17,70 21,65 26,69 31,16

b. Data kerusakan histologis hati mencit (Mus musculus L) berupa Kongesti (%)

Ulangan Perlakuan

P0 P1 P2 P3 P4

1 0 72 100 95 100

2 0 65 0 92 90

3 40 100 55 0 0

4 40 90 90 94 40

5 80 90 90 0 0

Σ 160 417 335 281 230

40 83,4 67 70,25 76,6


(43)

1 11,11 25 17,64 35 30,76

2 0 26,31 11,76 33,33 16,66

3 13,33 16,66 31,57 38,46 0

4 25 18,18 31,25 31,25 29,41

5 11,11 11,11 25 0 0

Σ 60,55 97,26 117,22 138,04 76,83

15,13 19,45 23,44 34,51 25,61

Keterangan :

Σ : Jumlah

: Rata –rata nekrosis : Kerusakan sel

kongesti : Perdarahan yang berlebih

Perdarahan : Perdarahan berlebih pada sinusoid

P0 : Kontrol, tidak diberi perlakuan pemaparan

P1 : Perlakuan 1, diberi pemaparan kebisingan 85-90 dBA dengan lama pemaparan 6 jam/hari

P2 : Perlakuan 2, diberi pemaparan kebisingan 85-90 dBA dengan lama pemaparan 8 jam/hari

P3 : Perlakuan 3, diberi pemaparan kebisingan 85-90 dBA dengan lama pemaparan 10 jam/hari

P4 : Perlakuan 4, diberi pemaparan kebisingan 85-90 dBA dengan lama pemaparan 12 jam/hari


(44)

Gambar 14. Histologis hati Mencit kelompok kontrol ulangan 1-4 Keterangan : a. Vena Sentral, b. Sinusoid, c. Sel hepatosit

a

b

c

b

c

c

a

b

c


(45)

Gambar 15. Histologis hati Mencit yang diberi paparan kebisingan 6 jam/hari ulangan 1-4

Keterangan : a. Vena Sentral, b. Sinusoid, c. Sel hepatosit

b

c

c

b

a

c

b

c

a


(46)

Gambar 16. Histologis hati Mencit yang diberi paparan kebisingan 8 jam/hari ulangan 1-5

Keterangan : a. Vena Sentral, b. Sinusoid, c. Sel hepatosit

a

c

b

a

c

b

a

b

c

c

c


(47)

Gambar 17. Histologis hati Mencit yang diberi paparan kebisingan 10 jam/hari ulangan 1-4 Keterangan : a. Vena Sentral, b. Sinusoid, c. Sel hepatosit

b

c

c

b

c

a


(48)

Gambar 18. Histologis hati Mencit yang diberi paparan kebisingan 12 jam/hari ulangan 1-3 Keterangan : a. Vena Sentral, b. Sinusoid, c. Sel hepatosit

b

c

a

c

c

a


(49)

Gambar 19. Hewan Mencit


(50)

(1)

Gambar 15. Histologis hati Mencit yang diberi paparan kebisingan 6 jam/hari ulangan 1-4

Keterangan : a. Vena Sentral, b. Sinusoid, c. Sel hepatosit

a

b

c

a

c

b

a

c

b

c

a


(2)

Gambar 16. Histologis hati Mencit yang diberi paparan kebisingan 8 jam/hari ulangan 1-5

Keterangan : a. Vena Sentral, b. Sinusoid, c. Sel hepatosit

a

c

b

a

c

b

a

b

c

a

c

b

c

b


(3)

Gambar 17. Histologis hati Mencit yang diberi paparan kebisingan 10 jam/hari ulangan 1-4 Keterangan : a. Vena Sentral, b. Sinusoid, c. Sel hepatosit

a

b

c

a

c

b

c

b

c

a


(4)

Gambar 18. Histologis hati Mencit yang diberi paparan kebisingan 12 jam/hari ulangan 1-3 Keterangan : a. Vena Sentral, b. Sinusoid, c. Sel hepatosit

a

b

b

c

b

a

c

c

a


(5)

Gambar 19. Hewan Mencit


(6)