PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP KEKERASAN SEKSUAL PADA PEREMPUAN

(1)

PRAKATA

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Berkat Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini yang berjudul “Perlindungan Hak Asasi Manusia Terhadap Kekerasan Seksual Pada Perempuan” dengan baik dan lancar.

Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis menyadari tanpa adanya bimbingan dan dukungan maka kurang sempurna dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. HJ. Elis Herlina, SH., MH selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Islam Nusantara.

2. Dr. Yuyut Prayuti, SH., MH selaku pembimbing yang telah memberi banyak masukan, bimbingan serta arahan dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini. 3. Seluruh staf dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Nusantara.

4. Seluruh staf akademik Universitas Islam Nusantara.

5. Kedua orang tua yang tiada henti memberikan motivasi dan mendukung terselesaikannya karya tulis ilmiah ini.

6. Para teman dan sahabat yang telah memberikan semangat dan dorongan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa penyusunan karya tulis ilmiah ini masih terdapat kekurangan, baik dalam isi maupun penulisan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Besar harapan penulis semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya serta masyarakat luas dimasa yang akan datang. Amin.

Bandung, Maret 2017


(2)

(3)

(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah utama bagi setiap negara di dunia termasuk negara maju yang disebut sangat menghargai dan peduli terhadap hak asasi manusia. Sudah seharusnya dalam suatu negara dibutuhkan adanya perlindungan bagi para wanita yang menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia yang salah satunya adalah hak-hak perempuan terutama korban kekerasan seksual. Perempuan sebagai suatu kelompok dalam masyarakat didalam suatu negara, merupakan kelompok yang juga wajib mendapatkan jaminan atas hak-hak yang dimilikinya secara asasi.(1)

Bila dikaitkan dengan kewajiban negara untuk memberikan jaminan atas warga negaranya, negara juga memiliki tanggung jawab untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia, kelompok perempuan sama seperti jaminan kepada kelompok lainnya. Karena perempuan sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang juga harus dilindungi hak asasinya, maka pelanggaran terhadap hak asasi perempuan harus juga dianggap sebagai pelanggaran terhadap HAM secara umum. Di Indonesia, jaminan atas hak asasi manusia secara umum diatur didalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen kedua Pasal 28 A-J dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.(2)

Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia khususnya Pasal 45 menyebutkan bahwa ”Hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia”. Dengan demikian hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia, maka hak asasi perempuan ini harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah sebuah Undang-undang yang mengatur tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. UU Pengadilan HAM lahir karena amanat Bab IX Pasal 104


(5)

Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999. Dengan lahirnya UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tersebut, maka penyelesaian kasus HAM berat dilakukan dilingkungan Peradilan Umum.(3)

Pelanggaran kekerasan seksual juga diatur didalam pasal 285 KUHP bahwa ”Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”. Didalam pasal 287 ayat (1) KUHP bahwa “Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau umurnya tidak jelas, bahwa ia belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”. Apabila perbuatan persetubuhan itu menimbulkan luka-luka atau kematian maka bagi pelaku dijatuhkan hukuman penjara lima belas tahun, sebagai mana yang telah ditetapakan dalam pasal 291 KUHP.(4)

Sedangkan dalam Pasal 289 KUHP ditentukan bahwa ”Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun”. Dengan demikian ketentuan Pasal 285 lebih berat dari ketentuan Pasal 287 dan pasal 289, namun ada persamaan unsur yang harus dipenuhi yaitu adanya kekerasan atau ancaman kekerasan.(4)

Catatan Tahunan Komisi nasional Perempuan memperlihatkan kekerasan seksual terhadap perempuan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tahun 2001 ada 3.169. Tahun 2012 berjumlah 216.156 dan tahun 2013 berjumlah 279.688. Kekerasan tersebut mencakup fisik, psikis, ekonomi dan seksual. Dalam konteks kekerasan seksual, selama 12 tahun (2001-2012), sedikitnya ada 35 perempuan korban kekerasan seksual setiap hari. Tahun 2012 tercatat 4.336 kasus kekerasan seksual. 2.920 diantaranya terjadi diruang public/komunitas. Mayoritas kekerasan seksual muncul dalam bentuk perkosaan dan pencabulan. Korban meliputi semua umur, dari balita hingga manula, rata-rata usia antara 13-18 tahun.(4)


(6)

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan analisis yang dituangkan dalam bentuk karya tulis ilmiah mengenai perlindungan hak asasi manusia terhadap kekerasan seksual pada perempuan untuk mencegah dan mengurangi angka kejadian kekerasan seksual yang terjadi dimasyarakat.

B. Rumusan Masalah

Terjadinya kasus kekerasan seksual yang diterjadi di Indonesia dan Dunia saat ini sangat banyak, terutama bagi perempuan baik dewasa maupun dibawah umur. Hak perempuan yang seharusnya dilindungi, harus menjadi korban oleh orang-orang yang tidak mempunyai hati nurani dan bertanggungjawab.

Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalah pada penulisan karya tulis ilmiah ini adalah “Bagaimana Perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap Kekerasan Seksual pada Perempuan?”

C. Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui tentang perlindungan hak asasi manusia terhadap kekerasan seksual pada perempuan.

D. Manfaat Penulisan 1. Bagi Penulis

Hasil karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan, dan mengaplikasikan ilmu khususnya tentang perlindungan hak asasi manusia terhadap kekerasan seksual pada perempuan.

2. Bagi Institusi Terkait

Hasil penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat menjadi masukan dan informasi bagi Komisi Nasional Perempuan dan Kementrian Hukum dan HAM.


(7)

Hasil penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat serta dapat memberikan informasi tentang perlindungan hak asasi manusia untuk menanggulangi dan mencegah terjadinya kekerasan seksual bagi perempuan seperti korban kejahatan perkosaan.

E. Metode Penulisan

Penulis menggunakan metode ini dengan melakukan pengumpulan data dan memilih data mana saja yang akan dicantumkan dalam karya tulis ini. Metode ini digunakan agar dalam menyusun urutan informasi yang akan ditampilkan menjadi lebih mudah. Berdasarkan uraian mengenai pengertian dan maksud penggunaan metode di atas, penulis memberikan uraian singkat dan lebih detail mengenai metode yang penulis ambil. Metode yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan normatif yuridis yaitu berupa bahan hukum sekunder. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan seperti, karya tulis dari kalangan hukum, buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, komentar atas putusan pengadilan. Setelah materi dirasa cukup, penulis menghentikan pencarian data dan bahan-bahan.

Penulis memilih data yang telah didapat, dan data yang sedikit menyimpang dari tema penulis ambil sedikit, kemudian yang menyimpang jauh dari tema, tidak dicantumkan dalam karya ilmiah ini. Data yang diperoleh penulis memang bukan data yang diperoleh dari wawancara maupun survei secara langsung, namun setidaknya sumber materi yang diambil dapat dipercaya dan mewakili kondisi sesungguhnya. Beberapa bahan di antaranya diperoleh dari berbagai sumber yang menjadi motivasi dan inspirasi bagi penulis.


(8)

BAB II

TELAAH PUSTAKA A. Perlindungan Hak Asasi Manusia

1. Pengertian Hak Asasi Manusia

Menurut John Locke, Hak Asasi Manusia adalah hak yang secara kodrati melekat pada setiap manusia.

Menurut Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang HAM, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harrkat dan martabat manusia.

Menurut Miriam Budiarjo, bahwa hak asasi manusia adalah hak manusia yang telah diperoleh dan dibawahnya bersama dengan kelahiran atau kehadirannya dimasyarakat.(5)

2. Ciri Khusus Hak Asasi Manusia (HAM)

Hak asasi manusia memiliki ciri-ciri khusus jika dibandingkan dengan hak-hak yang lain. Ciri khusus hak-hak asasi manusia yaitu :

a. Tidak dapat dicabut, artinya hak asasi manusia tidak dapat dihilangkan atau diserahkan.

b. Tidak dapat dibagi, artinya semua orang berhak mendapatkan semua hak, apakah hak sipil dan politik atau hak ekonomi, social, dan budaya. c. Hakiki, artinya hak asasi manusia adalah hak asasi semua umat manusia

yang sudah ada sejak lahir.

d. Universal, artinya hak asasi manusia berlaku untuk semua orang tanpa memandang status, suku bangsa, gender, atau perbedaan lainnya.

3. Perlindungan Hak Asasi Manusia

Upaya perlindungan hak asasi manusia penekanannya pada berbagai tindakan pencegahan terhadap terjadinya pelanggaran HAM. Perlindungan hak asasi manusia terutama melalui pembentukan instrumen hukum dan


(9)

kelembagaan hak asasi manusia. Faktor yang berkaitan dengan upaya pencegahan hak asasi manusia yang dilakukan individu maupun masyarakat dan negara. Negaralah yang memiliki tugas utama untuk melindungi warga negaranya termasuk hak- hak asasinya. Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia khususnya Pasal 45 menyebutkan bahwa ”Hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia”.(6)

Dengan demikian karena hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia, maka hak asasi perempuan ini harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Merupakan suatu kenyataan bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan merupakan ancaman terus menerus bagi perempuan di manapun di dunia dan tindak kekerasan terhadap perempuan sudah menjadi isu global. Di Indonesia, jaminan atas hak asasi manusia secara umum bisa ditemui di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen kedua Pasal 28 A-J dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.(7)

Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah sebuah Undang-undang yang mengatur Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. UU Pengadilan HAM lahir karena amanat Bab IX Pasal 104 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999. Dengan lahirnya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tersebut, maka penyelesaian kasus HAM berat dilakukan dilingkungan Peradilan Umum. Ini merupakan wujud dari kepedulian negara terhadap warga negaranya sendiri. Negara menyadari bahwa perlunya suatu lembaga yang menjamin akan hak pribadi seseorang. Jaminan inilah yang diharapkan nantinya setiap individu dapat mengetahui batas haknya dan menghargai hak orang lain, sehingga tidak terjadi apa yang dinamakan pelanggaran HAM berat untuk kedepannya.(8)

B. Kekerasan Seksual

1. Pengertian Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual terdiri dari dua kata yaitu kekerasan dan seksual. Kekerasan itu sendiri adalah tindakan agresi dan pelanggaran penyiksaan,


(10)

pemukulan, pemerkosaan yang menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain. Sedangkan seksual adalah sesuatu yang berkaitan dengan jenis kelamin atau yang berhubungan dengan jenis kelamin pria dan wanita. Berdasarkan dari pengertian kekerasan dan seksual diatas, dapat dikatakan bahwa kekerasan seksual adalah suatu perilaku pemaksaan tidak baik yang merendahkan harga diri orang lain yang dilakukan suatu pihak kepada pihak lain, yang berkaitan langsung dengan jenis kelamin pihak tersebut. Secara sederhana kekerasan seksual dapat dipahami sebagai tindakan seksual yang dilakukan kepada seseorang tanpa persetujuan yang diberikan oleh orang tersebut.(9)

Kekerasan seksual tidak memandang gender dan usia. Yang banyak terjadi kepada perempuan baik kepada anak-anak, orang dewasa, dan manula. Namun memang tidak dapat dipungkiri perempuan dan anak-anak lah yang paling rentan terhadap kekerasan seksual. Kekerasan seksual diatur dalam KUHP Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan dalam pasal 284 mengenai perzinahan, dan pasal 285 mengenai pemerkosaan. Bab IX tentang kejahatan terhadap nyawa diatur dalam pasal 338 tentang pembunuhan dan pasal 340 tentang pembunuhan berencana. Penganiayaan diatur dalam Bab XX Pasal 351, Pasal 352, Pasal 353, Pasal 354, Pasal 355, Pasal 356 jo.(10)

Pelaku kekerasan seksual diatur didalam pasal 285 KUHP ditentukan bahwa ”Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”. Didalam pasal 287 ayat (1) KUHP berbunyi “Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau umurnya tidak jelas, bahwa ia belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”. Tapi apabila perbuatan persetubuhan itu menimbulkan luka-luka atau kematian maka bagi pelaku dijatuhkan hukuman penjara lima belas tahun, sebagai mana yang telah ditetapakan


(11)

dalam pasal 291 KUHP. Pelaku kekerasan seksual yang sudah dewasa diadili di pengadilan umum, sedangkan pelaku kekerasan seksual yang masih dibawah umur diadili di pengadilan khusus.

Sedangkan dalam Pasal 289 KUHP ditentukan bahwa ”Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun”. Dengan demikian ketentuan Pasal 285 lebih berat dari ketentuan Pasal 287 dan pasal 289, namun ada persamaan unsur yang harus dipenuhi yaitu adanya kekerasan atau ancaman kekerasan.

(11)

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan seksual

a. Faktor agama, seseorang yang kurang mendapat siraman rohani sehingga kurang terbina mentalnya dan moralnya.

b. Faktor pendidikan, seseorang yang kurang mendapatkan pendidikan dalam melakukan sesuatu tidak mau berfikir panjang, sehingga ia cenderung melakukan perbuatan yang menyimpang atau tindakan kejahatan.

c. Faktor pergaulan yang salah dapat membentuk mental kepribadian yang kurang baik.

d. Faktor lingkungan yang kurang baik, sehingga mental kepribadiannya pun jelek.

e. Faktor ekonomi, seseorang yang kesulitan ekonomi tidak mampu mencukupi keperluan hidup yang dapat membentuk mental kepribadian yang jelek sehingga melakukan perbuatan yang menyimpang.

3. Dampak dari Kekerasan Seksual

a. Pindah rumah, timbul lecet pada bagian tubuh, sakit kepala, lelah, gangguan pola tidur, nyeri lambung, mual, muntah, gatal dan keluar


(12)

darah pada vagina, marah, merasa terhina, menyalahkan diri sendiri, ingin balas dendam, takut akan penyiksaan diri dan kematian.

b. Dampak jangka panjang yaitu gelisah, mimpi buruk, depresi, bahkan ada yang sampai menggunakan obat-obatan terlarang maupun ingin bunuh diri.

4. Usaha yang dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya kekerasan seksual

a. Ajarkan mengenai perbedaan antara sentuhan yang baik dengan sentuhan yang buruk dari orang dewasa.

b. Beritahu mengenai bagian tubuh tertentu yang tak boleh disentuh oleh orang dewasa kecuali saat mandi atau pemeriksaan fisik oleh dokter.


(13)

BAB III

ANALISIS DAN SINTESIS

A. Analisis

Menurut John Locke, hak asasi manusia adalah hak yang secara kodrati melekat pada setiap manusia. Menurut Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang HAM, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harrkat dan martabat manusia. Menurut Miriam Budiarjo, bahwa hak asasi manusia adalah hak manusia yang telah diperoleh dan dibawahnya bersama dengan kelahiran atau kehadirannya dimasyarakat.

Dari pengertian hak asasi manusia di atas dapat disimpulkan bahwa hak asasi manusia bersifat universal, artinya berlaku dimana saja dan kapan saja serta untuk siapa saja dan tidak dapat diambil oleh siapapun. Hak asasi dibutuhkan manusia untuk melindungi martabat kemanusiaannya dan digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul dan berkomunikasi dengan orang lain. Konsep hak asasi manusia mencakup seluruh segi kehidupan, baik hak hukum, hak sosial budaya, hak ekonomi, maupun hak dalam pembangunan. Di Indonesia, jaminan atas hak asasi manusia secara umum bisa ditemui di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen kedua Pasal 28 A-J dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia khususnya Pasal 45 menyebutkan bahwa ”Hak asasi perempuan adalah hak


(14)

asasi manusia”. Dengan demikian hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia, maka hak asasi perempuan ini harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah sebuah Undang-undang yang mengatur tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. UU Pengadilan HAM lahir karena amanat Bab IX Pasal 104 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999. Dengan lahirnya UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tersebut, maka penyelesaian kasus HAM berat dilakukan dilingkungan Peradilan Umum.

Kekerasan seksual terdiri dari dua kata yaitu kekerasan dan seksual. Kekerasan itu sendiri adalah tindakan agresi dan pelanggaran penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan yang menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain. Sedangkan seksual adalah sesuatu yang berkaitan dengan jenis kelamin atau yang berhubungan dengan jenis kelamin pria dan wanita. Berdasarkan dari pengertian kekerasan dan seksual diatas, dapat dikatakan bahwa kekerasan seksual adalah suatu perilaku pemaksaan tidak baik yang merendahkan harga diri orang lain yang dilakukan suatu pihak kepada pihak lain, yang berkaitan langsung dengan jenis kelamin pihak tersebut. Hingga sampai sekarang kekerasan seksual semakin banyak terjadi di masyarakat. Kekerasan seksual diatur dalam KUHP Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan dalam pasal 284 mengenai perzinahan, dan pasal 285 mengenai pemerkosaan. Bab IX tentang kejahatan terhadap nyawa diatur dalam pasal 338 tentang pembunuhan dan pasal 340 tentang pembunuhan berencana. Penganiayaan diatur dalam Bab XX Pasal 351, Pasal 352, Pasal 353, Pasal 354, Pasal 355, Pasal 356 jo.

Pelaku kekerasan seksual diatur didalam pasal 289 KUHP ditentukan bahwa “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun”. Dengan demikian


(15)

ketentuan pasal 285 lebih berat dari ketentuan pasal 287 dan pasal 289, namun ada persamaan unsur yang harus dipenuhi yaitu adanya kekerasan atau ancaman kekerasan.

Dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, Ketimpangan diperparah ketika satu pihak memiliki kendali lebih terhadap korban. Kendali ini bisa berupa sumber daya, termasuk pengetahuan, ekonomi dan juga penerimaan masyarakat. Termasuk pula kendali yang muncul dari bentuk hubungan feodalisme, seperti antara orang tua dengan anak, majikan dengan buruh, guru dengan murid, tokoh masyarakat dengan warga dan kelompok bersenjata atau aparat dengan penduduk sipil. Yang banyak terjadi kepada perempuan baik kepada anak-anak, orang dewasa, dan manula.

B. Sintesis

Masalah kekerasan seksual yang selalu menganggu keamanan dan kenyamanan sosial adalah merupakan suatu masalah yang besar bagi masyarakat diseluruh dunia terutama di Indonesia. Kekerasan seksual dapat dikatakan sebagai suatu perilaku manusia yang menyimpang, bertentangan dengan hukum, serta merugikan orang lain terutama perempuan, maka dari itu perlu adanya upaya penanggulangannya. Penanggulangan kekerasan seksual mencakup tindakan preventif dan represif terhadap kekerasan seksual. Tindakan pencegahan atau preventif yaitu usaha yang menunjukkan pembinaan, pendidikan dan penyadaran terhadap masyarakat umum sebelum terjadi gejolak perbuatan kekerasan seksual, sedangkan tindakan represif yaitu usaha yang menunjukkan upaya pemberantasan terhadap tindakan kekerasan seksual yang sedang terjadi.

Dalam lingkungan masyarakat, dapat diupayakan upaya penanggulangan melalui pendidikan hukum yang dapat diajarkan sejak dini. Manusia dididik untuk menghormati dan melindungi hak-hak asasi sesamanya, dengan cara mencegah diri dari perbuatan yang cenderung dapat merugikan, merampas, dan memperkosa hak-hak manusia lainnya.


(16)

Pendidikan hukum itu mengandung aspek preventif dan represif, dimana bagi anggota masyarakat yang belum pernah berbuat kejahatan kekerasan seksual dapat dikendalikan dan dididik agar tidak terjerumus dalam perbuatan jahat tersebut yang merugikan diri dan orang lain, sedangkan secara represif adalah mendidik pelaku kekerasan seksual tersebut agar tidak mengulangi kejahatan yang sudah pernah dilakukannya. Sehingga muncul perasaan segan dan tidak berani mengulangi tindakan serupa. Upaya lainnya dapat dilihat dari segi hukum pidana, yaitu sanksi hukum pidana yang idealnya merupakan sanksi yang bersifat ultimum remedium, yang artinya setelah sanksi lain tidak cukup ampuh diterapkan dapat dijadikan upaya penanggulangan secara represif. Sanksi hukum pidana merupakan solusi terhadap terjadinya suatu kekerasan. Pembinaan bagi pelaku merupakan tujuan utama dalam upaya represif dalam menanggulangi kekerasan seksual.

Upaya mencegah terjadinya kekerasan seksual dengan cara mengetahui penyebab terjadinya kekerasan seksual dan kemudian menghilangkan faktor-faktor yang menjadi penyebab kekerasan seksual. Meskipun demikian, upaya penanggulangan sebaiknya terus dilakukan dengan mencontoh negara lain. Misalnya dengan memberi penerangan lampu pada tempat yang sepi dan gelap. Selain itu pemberian penyuluhan secara khusus pada masyarakat juga merupakan upaya penanggulangan yang dapat dilakukan sejak dini. Dalam rangka menanggulangi kejahatan kekerasan seksual, pemerintah perlu melakukan penataan kembali dan memperbaharui kebijakan dan sistem hukum terlebih dahulu mengenai perlindungan hak asasi manusia dalam memerangi kejahatan seksual tersebut.


(17)

(18)

BAB IV

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Simpulan

Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa upaya perlindungan hak asasi manusia penekanannya pada berbagai tindakan pencegahan terhadap terjadinya pelanggaran HAM. Perlindungan HAM terutama melalui pembentukan instrumen hukum dan kelembagaan HAM. Faktor yang berkaitan dengan upaya pencegahan HAM yang dilakukan individu maupun masyarakat dan negara. Negaralah yang memiliki tugas utama untuk melindungi warga negaranya termasuk hak- hak asasinya. Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Di Indonesia, jaminan atas hak asasi manusia secara umum bisa ditemui di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen kedua Pasal 28 A-J dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah sebuah Undang-undang yang mengatur Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Mengenai perlindungan hak asasi manusia terhadap kekerasan seksual pada perempuan diatur didalam pasal 285 KUHP ditentukan bahwa ”Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”. Didalam pasal 287 ayat (1) KUHP berbunyi “Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau umurnya tidak jelas, bahwa ia belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”. Tapi apabila perbuatan persetubuhan itu menimbulkan luka-luka atau kematian maka bagi pelaku dijatuhkan hukuman penjara lima belas tahun, sebagai mana yang telah ditetapakan dalam pasal 291 KUHP.


(19)

Sedangkan dalam Pasal 289 KUHP ditentukan bahwa ”Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun”. Dengan demikian ketentuan Pasal 285 lebih berat dari ketentuan Pasal 287 dan pasal 289, namun ada persamaan unsur yang harus dipenuhi yaitu adanya kekerasan atau ancaman kekerasan.

B. Saran

Terjadinya kasus kekerasan seksual di Indonesia yang cenderung mengalami peningkatan, diharapkan agar pemerintah Indonesia memperbaharui produk perundang-undangan mengenai kekerasan seksual dengan memperhatikan dan mengoptimalkan hak asasi manusia yang bersifat lebih memberatkan agar timbul efek jera. Disamping itu masyarakat diharapkan lebih meningkatkan kewaspadaan terhadap perkembangan jaman dan teknologi. Selain itu pendidikan moral dan agama tetap menjadi prioritas, dengan memegang teguh nilai Pancasila. Untuk memaksimalkan upaya penanggulangan diharapkan partisipasi masyarakat dan konsistensi dari aparat penegak hukum.


(20)

DAFTAR PUSTAKA

1. Zaitunnah Subhan. 2004. Kekerasan terhadap Perempuan, Yogyakarta: PT. Lkis Pelangi Aksara.

2. Noempoeni Martojo. 1999. Prinsip Persamaan dihadapan Hukum Bagi Wanita dan Pelaksanaannya di Indonesia. Disertasi. Semarang: Universitas Diponegoro.

3. Bagir Manan. 1992. Dasar-dasar Perundangan Indonesia. Jakarta: In Hillco.

4. Wahil, Abdul dan Muhammad Irfan. 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi atas Hak Asasi Perempuan. PT. Retika Aditama, Bandung.

5. Scott Davidson. 2002. Hak Asasi Manusia. Grafiti. Jakarta: 1994. 6. Satjipto Raharjo. 1986. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.

7. Retnaningrum, Dwi Habsari. Incest Sebagai Bentuk Manifestasi Kekerasan terhadap Perempuan. Jurnal Dinamika Hukum, vol. 9. 2009. Fakultas Hukum UNSOED Purwokerto.

8. http://www.kalyanamitra.or.id/2012/01/lemahnya-penegakan-hukum- kasus-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-dan-meningkatnya-kriminalisasi-dan-reviktimasasi-perempuan/ diakses 26 Maret 2017. 9. Prasetyo, Eko dan Suparman Marzuki. 1995. Pelecehan Seksual.

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta.

10. Emilda Firdaus. 2008. Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Jurnal Konstitusi. Kerjasama MKRI dengan Fakultas Hukum Universitas Riau. Vol. 1. No. 1.

11. Niken Savitri. 2008. Kajian Teori Hukum Feminis terhadap Pengaturan Tindak Pidana Kekerasan terhadap Perempuan dalam Kutip. Disertasi. Bandung: Universitas Khatolik Parahyangan.


(1)

ketentuan pasal 285 lebih berat dari ketentuan pasal 287 dan pasal 289, namun ada persamaan unsur yang harus dipenuhi yaitu adanya kekerasan atau ancaman kekerasan.

Dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, Ketimpangan diperparah ketika satu pihak memiliki kendali lebih terhadap korban. Kendali ini bisa berupa sumber daya, termasuk pengetahuan, ekonomi dan juga penerimaan masyarakat. Termasuk pula kendali yang muncul dari bentuk hubungan feodalisme, seperti antara orang tua dengan anak, majikan dengan buruh, guru dengan murid, tokoh masyarakat dengan warga dan kelompok bersenjata atau aparat dengan penduduk sipil. Yang banyak terjadi kepada perempuan baik kepada anak-anak, orang dewasa, dan manula.

B. Sintesis

Masalah kekerasan seksual yang selalu menganggu keamanan dan kenyamanan sosial adalah merupakan suatu masalah yang besar bagi masyarakat diseluruh dunia terutama di Indonesia. Kekerasan seksual dapat dikatakan sebagai suatu perilaku manusia yang menyimpang, bertentangan dengan hukum, serta merugikan orang lain terutama perempuan, maka dari itu perlu adanya upaya penanggulangannya. Penanggulangan kekerasan seksual mencakup tindakan preventif dan represif terhadap kekerasan seksual. Tindakan pencegahan atau preventif yaitu usaha yang menunjukkan pembinaan, pendidikan dan penyadaran terhadap masyarakat umum sebelum terjadi gejolak perbuatan kekerasan seksual, sedangkan tindakan represif yaitu usaha yang menunjukkan upaya pemberantasan terhadap tindakan kekerasan seksual yang sedang terjadi.

Dalam lingkungan masyarakat, dapat diupayakan upaya penanggulangan melalui pendidikan hukum yang dapat diajarkan sejak dini. Manusia dididik untuk menghormati dan melindungi hak-hak asasi sesamanya, dengan cara mencegah diri dari perbuatan yang cenderung dapat merugikan, merampas, dan memperkosa hak-hak manusia lainnya.


(2)

Pendidikan hukum itu mengandung aspek preventif dan represif, dimana bagi anggota masyarakat yang belum pernah berbuat kejahatan kekerasan seksual dapat dikendalikan dan dididik agar tidak terjerumus dalam perbuatan jahat tersebut yang merugikan diri dan orang lain, sedangkan secara represif adalah mendidik pelaku kekerasan seksual tersebut agar tidak mengulangi kejahatan yang sudah pernah dilakukannya. Sehingga muncul perasaan segan dan tidak berani mengulangi tindakan serupa. Upaya lainnya dapat dilihat dari segi hukum pidana, yaitu sanksi hukum pidana yang idealnya merupakan sanksi yang bersifat ultimum remedium, yang artinya setelah sanksi lain tidak cukup ampuh diterapkan dapat dijadikan upaya penanggulangan secara represif. Sanksi hukum pidana merupakan solusi terhadap terjadinya suatu kekerasan. Pembinaan bagi pelaku merupakan tujuan utama dalam upaya represif dalam menanggulangi kekerasan seksual.

Upaya mencegah terjadinya kekerasan seksual dengan cara mengetahui penyebab terjadinya kekerasan seksual dan kemudian menghilangkan faktor-faktor yang menjadi penyebab kekerasan seksual. Meskipun demikian, upaya penanggulangan sebaiknya terus dilakukan dengan mencontoh negara lain. Misalnya dengan memberi penerangan lampu pada tempat yang sepi dan gelap. Selain itu pemberian penyuluhan secara khusus pada masyarakat juga merupakan upaya penanggulangan yang dapat dilakukan sejak dini. Dalam rangka menanggulangi kejahatan kekerasan seksual, pemerintah perlu melakukan penataan kembali dan memperbaharui kebijakan dan sistem hukum terlebih dahulu mengenai perlindungan hak asasi manusia dalam memerangi kejahatan seksual tersebut.


(3)

(4)

BAB IV

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Simpulan

Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa upaya perlindungan hak asasi manusia penekanannya pada berbagai tindakan pencegahan terhadap terjadinya pelanggaran HAM. Perlindungan HAM terutama melalui pembentukan instrumen hukum dan kelembagaan HAM. Faktor yang berkaitan dengan upaya pencegahan HAM yang dilakukan individu maupun masyarakat dan negara. Negaralah yang memiliki tugas utama untuk melindungi warga negaranya termasuk hak- hak asasinya. Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Di Indonesia, jaminan atas hak asasi manusia secara umum bisa ditemui di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen kedua Pasal 28 A-J dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah sebuah Undang-undang yang mengatur Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Mengenai perlindungan hak asasi manusia terhadap kekerasan seksual pada perempuan diatur didalam pasal 285 KUHP ditentukan bahwa ”Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”. Didalam pasal 287 ayat (1) KUHP berbunyi “Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau umurnya tidak jelas, bahwa ia belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”. Tapi apabila perbuatan persetubuhan itu menimbulkan luka-luka atau kematian maka bagi pelaku dijatuhkan hukuman penjara lima belas tahun, sebagai mana yang telah ditetapakan dalam pasal 291 KUHP.


(5)

Sedangkan dalam Pasal 289 KUHP ditentukan bahwa ”Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun”. Dengan demikian ketentuan Pasal 285 lebih berat dari ketentuan Pasal 287 dan pasal 289, namun ada persamaan unsur yang harus dipenuhi yaitu adanya kekerasan atau ancaman kekerasan.

B. Saran

Terjadinya kasus kekerasan seksual di Indonesia yang cenderung mengalami peningkatan, diharapkan agar pemerintah Indonesia memperbaharui produk perundang-undangan mengenai kekerasan seksual dengan memperhatikan dan mengoptimalkan hak asasi manusia yang bersifat lebih memberatkan agar timbul efek jera. Disamping itu masyarakat diharapkan lebih meningkatkan kewaspadaan terhadap perkembangan jaman dan teknologi. Selain itu pendidikan moral dan agama tetap menjadi prioritas, dengan memegang teguh nilai Pancasila. Untuk memaksimalkan upaya penanggulangan diharapkan partisipasi masyarakat dan konsistensi dari aparat penegak hukum.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

1. Zaitunnah Subhan. 2004. Kekerasan terhadap Perempuan, Yogyakarta: PT. Lkis Pelangi Aksara.

2. Noempoeni Martojo. 1999. Prinsip Persamaan dihadapan Hukum Bagi Wanita dan Pelaksanaannya di Indonesia. Disertasi. Semarang: Universitas Diponegoro.

3. Bagir Manan. 1992. Dasar-dasar Perundangan Indonesia. Jakarta: In Hillco.

4. Wahil, Abdul dan Muhammad Irfan. 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi atas Hak Asasi Perempuan. PT. Retika Aditama, Bandung.

5. Scott Davidson. 2002. Hak Asasi Manusia. Grafiti. Jakarta: 1994. 6. Satjipto Raharjo. 1986. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.

7. Retnaningrum, Dwi Habsari. Incest Sebagai Bentuk Manifestasi Kekerasan terhadap Perempuan. Jurnal Dinamika Hukum, vol. 9. 2009. Fakultas Hukum UNSOED Purwokerto.

8. http://www.kalyanamitra.or.id/2012/01/lemahnya-penegakan-hukum- kasus-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-dan-meningkatnya-kriminalisasi-dan-reviktimasasi-perempuan/ diakses 26 Maret 2017. 9. Prasetyo, Eko dan Suparman Marzuki. 1995. Pelecehan Seksual.

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta.

10. Emilda Firdaus. 2008. Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Jurnal Konstitusi. Kerjasama MKRI dengan Fakultas Hukum Universitas Riau. Vol. 1. No. 1.

11. Niken Savitri. 2008. Kajian Teori Hukum Feminis terhadap Pengaturan Tindak Pidana Kekerasan terhadap Perempuan dalam Kutip. Disertasi. Bandung: Universitas Khatolik Parahyangan.