TINJAUAN PUSTAKA Lahan Gambut

2. TINJAUAN PUSTAKA Lahan Gambut

Proses Pembentukan Gambut Lahan gambut di Indonesia terjadi karena adanya proses sedimentasi dan progradasi yang menyebabkan garis pantai cenderung bertambah ke arah laut. Daerah-daerah ini kemudian ditumbuhi oleh berbagai jenis vegetasi yang mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan mengisi cekungan-cekungan tersebut. Di daerah pantai dan dataran rendah cekungan, mula-mula terbentuk gambut topogen karena kondisi anaerobik yang dipertahankan oleh tingginya permukaan air sungai. Proses selanjutnya terjadi peningkatan penumpukan serasah tanaman sehingga menghasilkan pembentukan hamparan gambut ombrogen yang berbentuk kubah dome Sabiham 2006. Selanjutnya Sarwono 2003 melaporkan bahwa proses pembentukan gambut terjadi melalui dua tahapan. Tahapan pertama, merupakan proses akumulasi bahan organik menghasilkan bahan induk yang dikenal dengan proses geogenesis. Tahapan kedua, merupakan proses pematangan gambut yang terjadi pada awal reklamasi atau pengeringan tanah gambut dikenal dengan proses pedogenesis. Proses ini meliputi: a proses pematangan fisik, yaitu pematangan disebabkan oleh dehidratasi akibat pengeringan drainase dan evaporasi; b proses pematangan kimia, terjadi karena bahan gambut kehilangan kelembapan dan masuknya udara ke dalam pori-porinya; c proses pematangan biologi, terjadi akibat pencampuran bahan gambut oleh mikrofauna, yang menghasilkan atau moder yaitu gambut yang kadar bahan organiknya tinggi dan kandungan liatnya rendah. Pembentukan mull terjadi pada tanah gambut yang mengandung liat dan pH tinggi sampai sedang. Sedangkan pembentukkan moder terjadi pada lapisan atas top soil tanpa dan atau dengan kadar liat yang rendah. Pengelompokan Gambut Berdasarkan tingkat kematangan atau kandungan serat, tanah gambut dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu; 1 Fibrik: apabila bahan vegetasi aslinya masih dapat diidentifikasikan atau sedikit mengalami dekomposisi. Gambut jenis ini memiliki kandungan serat lebih dari 34 bagian volume tanah terdekomposisi 33; 2 Hemik: apabila tingkat dekomposisinya sedang, yaitu memiliki kandungan serat antara fibrik dan saprik terdekomposisi 33 – 66; dan 3 Saprik: apabila tingkat dekomposisinya telah lanjut, yaitu kandungan seratnya kurang dari 16 bagian dari volume tanah terdekomposisi 66 Soil Survey Staff, 2010. Berdasarkan tingkat kesuburan alami, gambut dibagi dalam 3 kelompok yakni; 1 Eutrofik kandungan mineral tinggi; 2 Oligotrofik miskin unsur hara atau kandungan mineral, terutama Ca rendah dan reaksi masam; dan 3 Mesotrofik terletak di antara keduanya, kandungan basa sedang Andriesse 1988. Berdasarkan ketebalannya, gambut Indonesia dikelompokan menjadi 4 kelas, yaitu: 1 Gambut dangkal: memiliki ketebalan lapisan gambut 50 - 100 cm; 2 Gambut agak tebal: memiliki ketebalan lapisan gambut 100 - 200 cm; 3 Gambut tebal: memiliki ketebalan lapisan gambut 200 - 300 cm; dan 4 Gambut sangat tebal: memiliki ketebalan lapisan gambut lebih dari 300 cm Widjaja-Adhi 1988; Subagyo et al. 1996. Berdasarkan lingkungan tumbuh dan pengendapannya, gambut dapat dikelompokan menjadi dua jenis yaitu: 1 Gambut ombrogen adalah gambut yang airnya hanya berasal dari air hujan. Gambut jenis ini dibentuk dalam lingkungan pengendapan dimana tumbuhan pembentuk yang semasa hidupnya hanya tumbuh dari air hujan, sehingga kandungan mineralnya adalah asli inherent dari tumbuhannya itu sendiri; dan 2 Gambut topogen adalah gambut yang airnya berasal dari air aliran permukaan. Jenis gambut ini diendapkan dari sisa tumbuhan yang semasa hidupnya tumbuh dari pengaruh elemen yang terbawa oleh air permukaan. Gambut topogen lebih subur digunakan untuk budi daya tanaman dibandingkan dengan gambut ombrogen, karena gambut topogen relatif mengandung lebih banyak unsur hara Driessen dan Soepraptohardjo 1974. Karakteristik Fisik Gambut Lahan gambut memiliki variabilitas yang sangat tinggi dari segi ketebalan, kematangan maupun kesuburannya. karena berbagai kendala fisik dan kimia tidak semua lahan gambut layak untuk pertanian. Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian meliputi kadar air, berat isi bulk density, BD, daya menahan beban bearing capacity, subsiden penurunan permukaan, dan mengering tidak balik irriversible drying Najiyati et al. 2005. Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300 persen dari berat keringnya . Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu mengalirkan air ke areal sekelilingnya Mutalib et al. 1991. Karena tingginya kadar air, maka secara fisik tanah gambut menjadi lembek dan dayanya menahan beban bearing capasity menjadi rendah serta berat volume BD-nya rendah Widjaja-Adhi 1995. Rendahnya daya menahan atau menyangga beban bearing capasity lahan gambut menyulitkan beroperasinya peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Tanaman perkebunan seperti karet, kelapa sawit atau kelapa seringkali doyong atau bahkan roboh. Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik irriversible drying. Gambut yang telah mengering, dengan kadar air 100 persen berdasarkan berat, tidak bisa menyerap air lagi walaupun dibasahi hidrofobik Widjaja-Adhi 1988. Karakteristik Kimia Gambut Lahan gambut Sumatera dan Kalimantan umumnya didominasi oleh bahan kayu-kayuan. Oleh karena itu komposisi bahan organiknya sebagian besar adalah lignin yang umumnya melebihi 60, sedangkan kandungan komponen lainnya seperti selulosa, hemiselulosa, dan protein umumnya tidak melebihi 11 Polak 1975. Sehingga gambut mengandung asam-asam organik yang tinggi dengan tingkat kemasaman tanahnya tergolong tinggi dengan nilai pH berkisar antara 3 - 5. Gambut pedalaman yang oligotropik dan memiliki substratum pasir kuarsa di Berengbengkel Kalimantan Tengah atau di Sepucuk Sumatera Selatan memiliki kisaran pH 3.25 – 3.75 Salampak 1999. Sementara itu gambut peralihan di sekitar Air Sugihan Kiri Sumatera Selatan memiliki kisaran pH H2O yang lebih tinggi yaitu antara 4.1 sampai 4.3 Hartatik et al. 2004. Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah. Kandungan kation basa-basa seperti Ca, Mg, K, dan Na umumnya sangat rendah Driessen dan Soepraptohardjo 1974. Selain itu lahan gambut juga mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat racun. Asam organik yang bersifat racun bagi tanaman adalah dari golongan asam fenolat, seperti asam hidroxybenzoat, asam vanilat, asam siringat, asam p-kumarat, dan asam ferulat. Namun demikian asam-asam tersebut merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan sifat kimia dari gambut Sabiham et al. 1997. Hidrologi Lahan Gambut Lahan rawa merupakan lahan yang menempati posisi peralihan antara daratan dan perairan selalu tergenang sepanjang tahun atau selama kurun waktu tertentu, genangannya relatif dangkal, dan terbentuk karena pengairan yang terhambat. Berdasarkan besarnya kekuatan arus air pasang dan arus air sungai, lahan rawa dapat dibagi menjadi dua yaitu rawa pasang surut dan rawa non pasang surut atau lebak dan lahan gambut terdapat di kedua jenis rawa tersebut Najiyati et al. 2005. Rawa pasang surut adalah lahan rawa yang genangan airnya terpengaruh oleh pasang surutnya air laut. Rawa pasang surut terbagi menjadi tiga tipe, yaitu; 1 Rawa pasang surut air salin, asin atau payau. Tipe rawa ini berada pada zona I landform marine. Di wilayah ini, genangan selalu dipengaruhi gerakan arus pasang surutnya air laut sehingga pengaruh salinitas air laut sangat kuat. Akibatnya, air di wilayah tersebut cenderung asin dan payau, baik pada pasang besar maupun pasang kecil, selama musim hujan dan musim kemarau. 2 Rawa pasang surut air tawar, yang berada pada zona II landform fluvio-marin. Di wilayah ini, kekuatan arus air pasang dari laut sedikit lebih besar atau sama dengan kekuatan arus atau dorongan air dari hulu sungai. Oleh karena energi arus pasang dari laut masih sedikit lebih besar dari pada sungai, lahan rawa zona ini masih dipengaruhi pasang surut harian, namun air asin atau payau tidak lagi berpengaruh. Makin jauh ke pedalaman, kekuatan arus pasang makin melemah. Kedalaman luapan air pasang juga makin berkurang, dan akhirnya air pasang tidak menyebabkan terjadinya genangan lagi. Tanda adanya pasang surut terlihat pada gerakan naik turunnya air tanah. Di kawasan ini gerakan pasang surut harian masih terlihat, hanya airnya didominasi oleh air tawar yang berasal dari sungai itu sendiri. 3 Rawa non pasang surut, atau sering disebut rawa lebak. memiliki kekuatan arus pasang dari laut jauh lebih kecil atau bahkan sudah tidak tampak sama sekali daripada kekuatan arus dari hulu sungai. Tipe ini menduduki posisi pada Zona III. Pada zona ini, pengaruh kekuatan arus sungai jauh lebih dominan Najiyati et al. 2005. Pasang surutnya air laut berpengaruh terhadap ketinggian dan kedalaman air tanah di dalam lahan. Berdasarkan jangkauan luapan air pasang di dalam lahan, lahan pasang surut dapat dibedakan menjadi empat tipe yaitu Tipe A, B, C, dan Tipe D. Ketinggian air pasang besar di musim hujan dan kemarau biasanya berbeda, sehingga luas Tipe luapan A, B, C, dan D selalu berubah menurut musim. Pada waktu musim hujan, suatu kawasan dapat tergolong Tipe A, tetapi pada musim kemarau termasuk Tipe B atau C. Hal ini dikarenakan permukaan air sungai meninggi di musim hujan dan menurun di musim kemarau Najiyati et al. 2005. Gambar 2.1. Hubungan bentuk lahan dengan keempat tipe luapan Ritzema dan Wösten 2002 menjelaskan bahwa curah hujan memainkan peranan penting dalam hidrologi lahan gambut, khususnya curah hujan musim kemarau dan periode kering ketika evapotranspirasi melebihi curah hujan. Periode kering biasanya berlangsung 3 – 4 bulan. Hampir semua lahan gambut Indonesia mendapat curah hujan tahunan yang tinggi 2000 mm, namun curah hujan di musim kemarau dan lama periode kering lebih menentukan kelestarian lahan gambut. Hal ini karena sebagian besar curah hujan yang masuk akan langsung terbuang keluar. Neraca air lahan gambut alami biasanya dicirikan atas evapotranspirasi + intersepsi sebagai komponen keluaran yang utama. Seperti ditemukan di blok A bagian utara Eks PLG sekitar 58.6 dari curah hujan kotor hilang melalui evapotranspirasi dan intersepsi. Sekitar 40.7 persen dibuang melalui limpasan permukaan di musim hujan, sementara hanya 8.1 sebagai groundwater flow Rais 2008 Model Pengelolaan Air di Lahan Gambut Pengelolaan air tata air di lahan gambut bertujuan untuk menghindari genangan yang berlebihan di musim hujan dan menghindari kekeringan di musim kemarau. Najiyati et al. 2005 mengemukakan bahwa pengelolaan air di lahan gambut sangat penting dilakukan terutama untuk: Pertama mencegah banjir di musim hujan dan menghindari kekeringan di musim kemarau. Kedua mencuci garam, asam-asam organik, dan senyawa beracun lainnya didalam tanah. Ketiga mensuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Keempat mencegah terjadinya penurunan permukaan tanah subsidence terlalu cepat. Kelima mencegah pengeringan dan kebakaran gambut serta oksidasi pirit. Keenam memberikan suasana kelembaban yang ideal bagi pertumbuhan tanaman dengan cara mengatur tinggi muka air tanah. Pengelolaan air di lahan gambut lebih sulit karena hal-hal sebagai berikut Najiyati et al. 2005: a Lahan menghasilkan senyawa-senyawa beracun sehingga saluran irigasi perlu dipisahkan dengan saluran drainase dengan sistem aliran satu arah, b kecenderungan terjadinya banjir lebih besar dibandingkan di lahan kering sehingga tata air harus dapat menjamin tidak terjadinya banjir di musim hujan, c gambut dan lapisan pirit jika ada membutuhkan suasana yang senantiasa lembab, d gambut bersifat sangat porous sehingga laju kehilangan air di saluran melalui rembesan jauh lebih tinggi dibandingkan di lahan kering hal ini menuntut adanya teknik khusus untuk mempertahankan keberadaan air. Pengelolaan air di lahan gambut harus mengacu pada sistem aliran satu arah, yaitu pada tingkat saluran tersier, saluran irigasi dan drainase harus terpisah Widjaja-Adhi 1995. Dengan demikian, aliran air di saluran tersebut tetap satu arah. Gambar 2.2. Keuntungan sistem aliran satu arah adalah terjadi pergantian air segar di dalam saluran secara lebih lancar, endapan lumpur di saluran lebih sedikit, dan penumpukan senyawa beracun dapat dikurangi. Gambar 2.2. Denah sistem aliran satu arah Sumber: Najiyati et al. 2005 Untuk mendukung keperluan ini, maka diperlukan pintu-pintu air yang dapat dibuka pada saat kelebihan air dan dibuka pada saat kekurangan air, atau dengan menggunakan pintu otomatis. Pintu otomatis ini akan membuka ketika surut dan menutup ketika pasang Gambar 2.3. Gambar 2.3. Pintu otomatis pada saluran sistem aliran satu arah Sumber: Najiyati et al. 2005 Emisi Gas Rumah Kaca di Lahan Gambut Karbon dioksida CO 2 , uap air H 2 O, kloro fluoro karbon CFC, metana CH 4 dan nitrogen oksida N 2 O merupakan gas rumah kaca GRK yang dapat meningkatkan suhu permukaan bumi global warming. Peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri diartikan sebagai proses masuknya radiasi matahari dan terjebaknya radiasi tersebut di atmosfer akibat GRK sehingga menaikkan suhu permukaan bumi IPCC 2006. Karbon dioksida CO 2 , dan metana CH 4 merupakan gas rumah kaca yang dilepaskan diemisikan dari lahan gambut. Di antara ketiga gas tersebut CO 2 merupakan GRK yang relatif besar diemisikan, terutama dari lahan gambut yang sudah berubah fungsi dari hutan menjadi lahan pertanian. Sedangkan emisi CH 4 cukup besar pada gambut yang berada dalam keadaan alami yang pada umumnya terendam atau jenuh air. Bila gambut dikeringkan maka emisi CO 2 menjadi dominan dan emisi CH 4 menjadi sangat berkurang. Jumlah emisi GRK dari tanah gambut untuk selang waktu tertentu dapat dihitung berdasarkan perubahan cadangan karbon pada tanah gambut yang terjadi pada selang waktu tersebut Agus et al. 2011. Menurut konsep pedologi, gambut adalah sumber dan rosot sink karbon sehingga dapat masuk sebagai sumber emisi gas rumah kaca GRK yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global. Dalam keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat sequester karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfir, walaupun proses penambatan berjalan sangat pelan setinggi 0 - 3 mm gambut per tahun atau setara dengan penambatan 0-5,4 t CO 2 ha -1 tahun -1 . Apabila hutan gambut ditebang dan dikeringkan, maka karbon tersimpan pada gambut mudah teroksidasi menjadi gas CO 2 salah satu gas rumah kaca terpenting Parish et al. 2007; Agus 2009; Noor 2010. Simpanan karbon dalam gambut dapat keluar dari bumi ke atmosfer melalui dua cara yaitu: 1 pembakaran lahan gambut yang menghasilkan emisi gas CO 2 dan 2 drainase lahan gambut yang menyebabkan kondisi reduksi dan oksidasi. Oksidasi bahan gambut yang umumnya mengandung 10 organ tanaman dan 90 air menghasilkan emisi gas CO 2 Hooijer et al. 2006. Karbon Dioksida CO 2 Karbon dioksida dihasilkan dalam jumlah yang besar pada lahan-lahan gambut yang sudah dibuka dan dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Meskipun emisi CO 2 sangat tinggi di lahan pertanian, tetapi gas ini akan kembali digunakan tanaman saat berlangsungnya proses fotosintesis dan akan dikonservasikan ke bentuk biomas tanaman. Karbon dioksida kemudian disimpan dalam tanah sebagai karbon organik, sehingga tanah gambut dapat bertindak sebagai rosot sink Rinnan et al. 2003. Produksi CO 2 dari tanah berasal dari hasil dekomposisi bahan organik secara aerobik, respirasi akar tanaman dan mikroba. Gas CO 2 yang dihasilkan dari dekomposisi bahan organik pada pertanian lahan gambut dikendalikan oleh perubahan suhu, kondisi hidrologi, ketersediaan dan kualitas bahan gambut, dan teknik budidaya pertanian. Suprihati 2007 melaporkan praktek pengelolaan lahan pertanian berpengaruh terhadap penyimpanan dan pelepasan CO 2 . Karbon dioksida diemisikan ke atmosfer melalui proses respirasi tanah. Respirasi tanah merupakan gabungan antara tiga proses biologi respirasi mikroorganisme, respirasi akar, dan respirasi hewan serta satu proses non- biologis oksidasi kimia yang dapat terjadi pada suhu tinggi Rastogi et al. 2002. Karbon dioksida dari sistem pertanian berasal dari: a respirasi tanaman, b oksidasi bahan organik tanah dan sisa tanaman, c penggunaan bahan bakar fosil pada mesin pertanian seperti traktor, alat panen dan alat irigasi, dan d pupuk dan pestisida. Pada suhu tinggi, gas CO 2 dan CH 4 merupakan bentuk gas yang segera terbentuk dan besar jumlahnya. Perbandingan perubahan gas CH 4 menjadi CO 2 dalam tanah pada suhu dan pH tinggi, bentuk CH 4 lebih memungkinkan, karena kondisi tersebut merupakan suhu optimum untuk metanogen Kirk 2004. Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya emisi CO2 dari tanah adalah suhu, kelembaban, variasi pola diurnal, variasi musim dan ruang gerak, tekstur tanah, pH tanah, salinitas, tekanan atmosfer, aplikasi pupuk organik dan buatan, penggunaan inhibitor nitrifikasi, jenis tanaman budidaya, dan pengolahan lahan Rastogi et al. 2002. Metana CH 4 Metana adalah hidrokarbon paling sederhana yang terbentuk gas dengan rumus kimia CH 4 . Metana CH4 berkontribusi sebanyak 18.6 dari total radiasi yang diterima bumi WMO 2007. Selain waktu tinggalnya yang lama, CH 4 memiliki kemampuan mamancarkan panas 21 kali lebih tinggi dari CO 2 . Dengan berat molekulnya yang ringan, CH 4 mampu menembus sampai lapisan ionosfir dimana terdapat senyawa radikal O 3 yang berfungsi sebagai pelindung bumi dari serangan radiasi gelombang pendek ultra violet UV-B Setyanto dan Kartikawati 2008. Menurut Mosier et al. 2005, produksi metana hanya terjadi dalam kondisi anaerobik seperti yang terjadi di daerah rawa alami dan sawah dataran rendah. Proses utama yang terjadi di lahan tergenang dan merupakan sumber CH 4 adalah serangkaian reaksi reduksi-oksidasi redoks yang dimediasi oleh beberapa jenis mikoorganisme yang berbeda. Beberapa literatur Segers 1998; Whalen 2005; Lay 2009 mengungkapkan bahwa: 1. Sebagian besar metana dari gambut berasal dari karbon yang masih baru. 2. Produksi metana menurun ketika substrat yang bersifat labil telah habis, misalnya dengan kedalaman di bawah tinggi muka air tanah. 3. Produksi metana dapat dirangsang secara substansial dengan penambahan substrat. Pengamatan ini mengarah pada kesimpulan bahwa, setelah kondisi anaerob yang diberikan, kualitas dan penyediaan substrat adalah faktor utama dalam produksi metana. Jumlah substansial metana hanya diproduksi ketika substrat karbon yang labil cukup tersedia dan gambut yang telah tua hanya memainkan peran sebagai substrat subordinat untuk pembentukan metana Chanton et al. 1995. Pembentukan metana juga dipengaruhi oleh sensitivitas suhu Segers 1998; Whalen 2005. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh respon suhu yang bervariasi diantara rantai makanan dalam kondisi anaerobik Whalen 2005. Pada suhu di bawah -5 °C produksi metana secara konsisten rendah. Sementara kebanyakan Archaea methanogenic tumbuh hanya di bawah kisaran pH yang sempit antara 6 dan 8, beberapa diketahui terjadi di bawah kondisi lebih asam Garcia et al. 2000; Whalen 2005; Lay 2009. Namun penilaian kuantitatif dari pengaruh pH pada metanogenesis tidak pada hasil yang konsisten Whalen 2005. Hanya sebagian dari metana yang dihasilkan dipancarkan ke atmosfer, sejumlah besar lainnya dikonsumsi oleh bakteri metanotropik. Re-oksidasi metana terutama terbatas pada zona dekat dengan permukaan air, di mana tidak ada pasokan oksigen atau jumlah gas metana terbatas. Demikian pula, konsumsi metana terjadi di zona sekitar akar tanaman yang beroksigen. Potensi untuk oksidasi metana oleh methanotrophik biasanya menempati urutan lebih besar dari potensi produksi metana oleh metanogen. Akibatnya, bakteri metanotropik dapat membatasi jumlah metana yang dilepaskan ke atmosfer secara substansial Segers 1998. Gas metana yang dipancarkan dari gambut ke atmosfer terjadi melalui tiga jalur utama yaitu: difusi, Ebulisi dan transportasi yang dimediasi oleh tanaman. Difusi metana secara keseluruhan berjalan lambat dan difusi dari lahan gambut adalah kecil dibandingkan dengan dua jalur lainnya Kiene 1991; Lay 2009. Difusi metana dari zona anaerobik penting dalam mendukung komunitas metanotropik di zona dekat permukaan aerobik Whalen 2005. Ebulisi mengacu pada metana yang dilepaskan ke atmosfer dalam bentuk gelembung. Gelembung metana umumnya terjadi pada lapisan gambut yang jenuh air, di mana metana tetap terjebak dan tumbuh besar. Ketika batas tekanan tertentu tercapai, pelepasan tiba-tiba dari metana yang terperangkap terjadi. Seringkali pelepasan ini dikaitkan dengan perubahan tingkat tekanan air , barometrik dan suhu serta gangguan mekanis Fechner-Levy dan Hemond 1996. Pestisida Pengertian dan Jenis Pestisida Pestisida adalah bahan kimia yang dirancang untuk mengendalikan serangan berbagai hama dan vektor pada tanaman pertanian, hewan domestik, dan manusia FAO 1989. Definisi tersebut menyiratkan bahwa pestisida adalah bahan kimia beracun yang sengaja dilepaskan ke lingkungan untuk mengendalikan hama dan vektor penyakit. Bahan kimia yang digunakan sebagai pestisida memiliki berbagai kelompok dengan senyawa yang berbeda-beda yang dikelompokkan berdasarkan kegunaannya Tabel 2.1. Tabel 2.1. Jenis-jenis pestisida dan sasarannya Jenis Pestisida Fungsi dan kegunaannya Insektisida Herbisida Fungisida Nematisida Rodentisida Bakterisida Akarisida Algisida Mitisida Moluskisida Avisida Piscisida Ovisida Growth regulator Defoliant Desiccant Repellent Atractant Chemosterilant Mengendalikan serangga Mengendalikan rumput gulma Mengendalikan jamur fungi Mengendalikan nematoda Mengendalikan binatang pengerat Mengendalikan bakteri Mengendalikan laba-laba Mengendalikan alga Mengendalikan tungau Mengendalikan moluska Mengusir burung Mengendalikan ikan Mematikan telur Merangsang atau menghambat pertumbuhan Penggugur daun Mempercepat pengeringan tanaman Mengusir serangga, rayap, anjing dan kucing Menarik serangga Mensterilisasi serangga Sumber: Watterson 1988 Transfer, Degradasi dan Persistensi Pestisida di Tanah Menurut Waldron 1992 proses transfer pestisida dapat terjadi melalui 5 cara, yaitu; 1 Adsorpsi adalah terikatnya pestisida dengan partikel-partikel tanah. Jumlah pestisida yang dapat terikat dalam tanah bergantung pada jenis pestisida, kelembaban, pH, dan tekstur tanah. Pestisida dapat teradsorpsi dengan kuat pada tanah berlempung ataupun tanah yang kaya bahan-bahan organik, sebaliknya pestisida tidak dapat teradsorpsi dengan kuat pada tanah berpasir. Adsorpsi pestisida yang kuat di dalam tanah mengakibatkan tidak terjadi penguapan sehingga tidak menimbulkan pencemaran terhadap air tanah maupun air danau. 2 Penguapan adalah suatu proses perubahan bentuk padat atau cair ke bentuk gas, sehingga dalam bentuk gas bahan tersebut dapat bergerak dengan bebas ke udara sesuai dengan pergerakan arah angin. Pestisida dapat menguap dengan mudah karena bersifat mudah menguap dan akibat tanah yang berpasir dan basah. Cuaca yang panas, kering dan berangin juga mempercepat terjadinya penguapan pestisida. 3 Kehilangan pestisida saat aplikasi adalah kehilangan yang disebabkan terbawanya pestisida oleh angin saat disemprotkan drift. Kehilangan ini dipengaruhi oleh ukuran butiran semprotan, kecepatan angin, jarak antara lubang penyemprot dengan tanaman. 4 Limpasan akhir adalah terbawanya pestisida bersama-sama aliran air menuju daerah yang lebih rendah. Pestisida yang terbawa ini dapat bercampur dengan air atau terikat dengan tanah erosi yang ikut terbawa. Banyaknya pestisida yang terbawa ini dipengaruhi oleh: kecuraman lokasi, kelembaban tanah, curah hujan, dan jenis pestisida yang digunakan. 5 Rembesan adalah perpindahan pestisida dalam air di dalam tanah. Perembesan dapat terjadi keseluruh penjuru, ke bawah, atas dan samping. Fakto-faktor yang mempengaruhi terjadinya perembesan adalah sifat-sifat pestisida dan tanah, dan interaksi pestisida dengan air seperti saat terjadinya hujan ataupun irigasi saat musim tanam. Proses perembesan dapat meningkat bila pestisida bersifat mudah larut dalam air, tanahnya berpasir, turun hujan saat penggunaan pestisida, dan pestisida tidak teradsorpsi dengan kuat dalam tanah. Tarumingkeng 1992 menyampaikan degradasi pestisida adalah proses terjadinya penguraian pestisida oleh mikroba, reaksi kimia, dan sinar matahari. Prosesnya dapat terjadi setiap saat dari hitungan jam, hari, sampai tahunan bergantung pada kondisi lingkungan dan sifat-sifat kimia pestisida. Utamanya degradasi pestisida terjadi secara biokimia oleh mikrobia tanah. Kerentanan pestisida sintetik terhadap penguraian oleh mikrobia sangat tergantung pada strukturnya, terutama kesamaannya dengan mikro-organisme yang biasanya organik substrat. Degradasi terbagi : 1 Degradasi akibat mikroba biological degradation adalah degradasi pestisida oleh mikroorganisme seperti fungi dan bakteri. Proses degradasi oleh mikroba ini akan mengalami peningkatan bila: temperatur, pH tanah cocok untuk pertumbuhan mikroba, cukup oksigen, dan fertilitas tanahnya cukup baik. 2 Degradasi kimia chemical degradation adalah proses degradasi akibat reaksi kimia. Tipe dan kecepatan reaksi yang terjadi dipengaruhi oleh; ikatan antara pestisida dengan tanah, temperatur dan pH tanah. 3 Degradasi fisik akibat sinar matahari physical degradation adalah degradasi pestisida oleh adanya sinar matahari. Tingkat degradasi akibat sinar matahari ini dipengaruhi oleh intensitas dan spektrum sinar matahari, lamanya terpapar, dan sifat pestisida. Pestisida dikatakan persisten persistent jika dapat bertahan pada bidang sasaran atau pada lingkungan dalam jangka waktu yang relatif lama sesudah diaplikasikan. Tingkat residu pestisida di lingkungan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti suhu lingkungan, kelarutannya dalam air, serta penyerapan oleh koloid dan bahan organik tanah Djojosumarto 2008. Interaksi Pestisida dengan Bahan Organik Tanah Aktifitas dan biodegradasi pestisida dipengaruhi oleh afinitas pestisida untuk diadsorpsi dijerap oleh bahan organik tanah. Jerapan adalah proses dimana bahan kimia bergerak dari cairan atau fase cairan ke fase padat. Kemampuan menjerap tanah monmorillonit lebih tinggi daripada allopan dan kaolinit. Jerapan akan meningkat seiring meningkatnya kandungan bahan organik, liat, KTK, dan akan menurun seiring dengan meningkatnya pH dan temperatur. Tanah yang tinggi kandungan bahan organik dan liatnya mengadsorpsi pestisida lebih besar daripada tanah berpasir Waldron 1992; Zimdahl 1993. Penyerapan pestisida ke dalam bahan organik dapat mempengaruhi sifat dan keberadaan pestisida di tanah melalui beberapa cara yaitu: 1. penyerapan itu membuat pestisida secara fisiologis menjadi tidak aktif atau sesuai untuk diurai oleh aktifitas mikroba. 2. Menurunkan pergerakan pestisida di tanah membuat pestisida cenderung kurang terhadap pencucian Pedersen et al. 1995 3. Bahan organik terlarut atau materi partikel koloid dapat membentuk ikatan komplek dengan pestisida, sehingga secara cepat meningkatkan kerentanan pestisida terhadap kehilangan karena pencucian Gerstler 1991. 4. Pestisida yang berasosiasi dengan bahan organik rentan terhadap erosi tanah dan pergerakan ke air tanah sebagai suspensi akan tertunda Brown et al. 1995.

3. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Lokasi Penelitian