Perempuan Berkalung Sorban Tinjauan Terhadap Film Perempuan Berkalung Sorban a. Film

Namun tidak mustahil seorang bintang film diperbolehkan mengembangkan kemampuan aktingnya dalam sebuah adegan di luar apa yang ditulis skenario, sejauh masih berada dalam jalur cerita Ensikopedi Nasional Indonesia, 2004:307. Ada berbagai macam kategori bintang film. Tingkat teratas adalah bintang utama main star atau main plot. Ia adalah pemain yang memerankan tokoh utama yang ada dalam cerita dan menjadi andalan kebagusan sebuah film. Bintang utama didampingi bintang pembantu atau pemeran pembantu yang biasa disebut costar substar atau subplot. Pemeran pembantu adalah bintang film yang memainkan tokoh yang dekat dengan tokoh utama. Bintang ini tidak harus seorang pemeran, dapat juga seekor hewan kesayangan. Bintang utama dan bintang pembantu didukung oleh bintang samping atau aktoraktris pendukung yang biasa disebut side star atai side plot. Lalu semua itu masih mendapat dukungan dari bintang-bintang pelengkap yang biasa disebut figuran figurant Ensikopedi Nasional Indonesia, 2004: 307-308.

b. Perempuan Berkalung Sorban

Film Perempuan Berkalung Sorban adalah sebuah film yang menceritakan kehidupan seorang wanita yang memiliki pemikiran modern. Hidup dalam lingkungan pesantren dengan ajaran Islam yang kental. Wanita yang memilih hidup dengan pemikiran modern dianggap sebagai wanita yang liar dan keluar dari aturan yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an. Berangkat dari apa yang dituliskan Asghar Ali yang dikutip oleh Chumaidi Syarif Romas 2000: 96 dalam bukunya yang berjudul Wacana Teologi Islam Kontemporer, perempuan modern mampu mendefinisikan dirinya secara 34 eksistensial dalam sejarah teristerial peradaban modern. Asghar Ali dengan berpijak pada konsep penciptaan pria dan perempuan sebagai nafsin wahidatin an-Nisa: 1 dan az-Zumar: 6 menyatakan bahwa lelaki dan perempuan secara substansial setara. Akan tetapi didasari oleh Boisard bahwa Al-Qur’an diturunkan pada masa Nabi, budaya arab masih primitif, yang tradisinya belum dapat diberantas, meskipun tujuan Al-Qur’an ingin membawa perbaikan martabat perempuan. Kemudian ia mengatakan bahwa dalam perkembangan sejarah menunjukkan penyalahgunaan memahami Al-Qur’an, yang secara Harfiah memperkuat egoisme lelaki. Dikatakan pula bahwa risalah nabi Muhammad ialah menegakkan hak-hak suci perempuan di hadapan hukum, perlindungan hak milik pribadi dan hak waris secara sederajad. Firman Allah yang menyatakan bahwa kasih sayang-Ku meliputi segala sesuatu QS al-A’raf:156 merupakan substansi dari paradigma moralitas ilahiyah, yang dapat mendasari teologi perempuan, sehingga perempuan juga sederajad dengan sosok lelaki dalam arti yang sebenarnya. Namun demikian, disadari atau tidak, dalam perjalanan sejarah perempuan telah “menyimpang” dari perspektif Al-Qur’an itu sendiri. Akibat lebih jauh, dapat dikatakan bahwa perempuan telah kehilangan otoritas “keimamahan” dalam ritual keagamaan Romas, 2000:97.

G. Konsep Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam kajian ini, maka konsep teori perlu dioperasionalkan sebagai tolak ukur dalam penelitian ini. Menurut Rachmat Kriyantono 2006:26 riset tergantung pada pengamatan dan pengamatan tidak 35