REPRESENTASI KEKERASAN PADA PEREMPUAN DALAM FILM PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN (Studi Semiotik Representasi Kekerasan Pasa Perempuan dalam Film Perempuan Berkalung Sorban).

(1)

REPRESENTASI KEKERASAN PADA PEREMPUAN DALAM FILM PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN

(Studi Semiotik Representasi Kekerasan Pasa Perempuan dalam Film Perempuan Berkalung Sorban)

SKRIPSI

Oleh:

SUKMA SEJATI 0743010132

YAYASAN KESEJAHTERAAN DAN PENDIDIKAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLOTIK SURABAYA


(2)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat serta Hidayahnya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul

“REPRESENTASI KEKERASAN PADA PEREMPUAN dalam FILM PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN” (Studi Semiotik Representasi Kekerasan Pada Wanita dalam Film Perempuan Berkalung Sorban)”. Tugas ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan kurikulum wajib bagi mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Dalam tersusunnya tugas ini penulis mengucapakn terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Didik. S,sos sebagai Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingankepada penulis, disamping itu penulis jga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Allah SWT, karena dengan rahmatnya dan karunianya saya dapat menyelesaikan laporan ini.

2. Prof Dr. Ir. Teguh Soedarto, MP,Selaku Rektor Universitas Pembangunan

Veteran Jawa Timur

3. Ibu Dra. Hj Suparwati, M. Si, Selaku Dekan Jurusan Ilmu Komunikasi

Universitas Pembangunan Veteran Jawa Timur

4. Pak Juwito, D. Sos, M.si. Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas


(3)

5. Pak Ir. H. Didiek Tranggono M.si. Selaku dosen pembimbing yang memberikan bimbingan dan dorongan demi terselesainya skripsi ini.

6. Orang Tua saya yang tercinta yang telah membimbing dan mendidik buah hatinya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.

7. Serta teman – teman yang selalu menemani dikala bahagia dan sedih,

Dalam penyusunan Skripsi ini penulis sangat menyadari sepenuhnya keterbatasan kemampuan atas penulis Skripsi ini sehingga hasilnya masih jauh dari kesempurnaan maka dari itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan.

Akhir kata dari penulis mengharapkan semoga dengan terselesainya laporan Skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


(4)

 

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL……… i

HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI……….. ii

KATA PENGANTAR………. iii

DAFTAR ISI……….……… v

DAFTAR LAMPIRAN………...…………viii

ABSTRAKSI……….………...ix

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah………...1

1.2 Rumusan Masalah……….………...8

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian………...8

BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori………...9


(5)

2.1.3 Pengertian Kekerasan…………..………...13

2.1.4 Kekerasan terhadap Perempuan……….15

2.1.5 Teori Kekerasan……….17

2.2 Semiotika Komunikasi………...22

2.2.1 Pendekatan Semiotik dengan film……….………22

2.2.2 Model Semiotik John Fiske………..24

2.3 Kerangka Berpikir………..…...31

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Metodologi Penelitian………32

3.1.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian………...…….32

3.2 Kerangka Konseptual………34

3.2.1 Korpus……….………..…34

3.2.2 Definisi Operasional Konsep………35

3.2.2.1 Representasi……….35

3.2.3 Unit Analisis………36

3.3 Tehnik Pengumpuln Data……….36


(6)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Obyek dan Penyajian Data……….41

4.1.1 Gambaran Umum Obyek……….41

4.1.2 Penyajian Data……….44

4.1.2.1Tokoh Anisa ………46

4.1.2.2Tokoh Kyai Hanan………47

4.1.2.3Tokoh Nyai Mutmainah………47

4.1.2.4Tokoh Khudori……….47

4.1.2.5Tokoh Syamsudin……….47

4.2 Analisis Data………48

4.2.1 Pada Level Realitas……….48

4.2.1.1Setting………..48

4.2.1.2Kostum dan Make up………..56

4.2.1.3Dialog………..58

4.2.2 Pada Level Representasi……….60

4.2.2.1Tehnik Kamera………60

4.2.2.2Pencahayaan………63


(7)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan………..67

5.2 Saran……….69

DAFTAR PUSTAKA………..70

LAMPIRAN……….71  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


(8)

LAMPIRAN Potongan scene dalam film Perempuan Berkalung Sorban…………71  

 

 

 

 


(9)

ABSTRAKSI

SUKMA SEJATI, 0743010132, Representasi Kekerasan Pada Perempuan Dalam Film Perempuan Berkalung Sorban (Studi Semiotik Representasi Kekerasan Pada Perempuan Dalam Film Perempuan Berkalung Sorban)

Permasalahan dari judul adalah bagaiman kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan sehingga mengakibatkan pengaruh terhadap sisi psikologis perempuan. Film yang yang disetting pada tahun 1970-an ini mengangkat tema kekerasan yang dialami oleh perempuan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengungkap tentang kesetaraan gender antara laki-laki dengan perempuan yang tidak seimbang dan menyebabkan kekerasan yang sering dialami oleh perempuan.

Metode penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif, yang menggunakan analisis semiotic tentang representasi kekerasan pada perempuan dalam film Perempuan Berkalung Sorban. Teori yang digunakan dalam penelitian ini, adalah teori dari John Fiske yang mengamati dari level realitas, representasi, dan ideology.

Hasil penelitian ini berisi bahwa nilai kekerasan pada perempuan dalam film perempuan berkalung sorban adalah bentuk kekerasan dalam film ini terbagi menjadi dua yaitu, kekerasan fisik, dan kekerasan psikologis. Penulis menyimpulkan bahwa tidak seharusnya perempuan menerima kekerasan yangn dilakukan oleh laki-laki karena hal itu dapat berdampak pada sisi mental psikologis yang dialami oleh perempuan.

Kata Kunci: Film Perempuan Berkalung Sorban, John Fiske, Kekerasan

       


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan teknologi informasi yang kini semakin maju, menjadikan setiap orang dan siapapun mudah dan cepat mendapatkan informasi dari manapun. Siapapun dapat menambah pengetahuan, pendidikan dan hiburan dengan mudah. Media yang digunakan kini semakin variatif dari manual hingga yang elektronik digital. Salah satu media yang saat ini marak digunakan adalah film.

Film tidak hanya menyampaikan kisah atau informasi tentang kehidupan manusia tetapi juga mampu melibatkan penonton kedalam kejadian itu. Film mampu melibatkan penonton kedalam kejadian atau peristiwa yang terjadi disana. Karena itu, selama menonton film, penonton, betul – betul diletakkan pada pusat segala kejadian dan peristiwa yang disuguhkannya, penonton pun akan merasa dibawa kedalam dunianya.

Menurut J.P. Mayer (1971:72), film memberikan pengaruh yang lebih lugas dalam segala kemungkinan daripada pengaruh yang disebabkan oeh pers atau radio. Dilihat dari fungsi sosialnya, menurut Wright (1959:16) fungsi film tidak dapat terlepas dari segi sejarahnya yaitu pada fungsi penyampaian warisan dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Dikaitkan dengan fungsinya sebagai peralihan warisan dalam media massa, dan peranan sejarah dalam media film adalah sebagai


(11)

Alat Hiburan, Sumber Informasi, Alat pendidikan, dan juga merupakan pencerminan nilai – nilai sosial budaya suatu bangsa.

Dari beberapa fungsi diatas, film dapat dimanfaatkan untuk mengapresiasikan pencerminan nilai – nilai social suatu bangsa misalnya tentang pengobaran semangat perjuangan gender dimana, perempuan berjuang untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan hak. Kontroversi tentang hak dan kesetaraan atas gender di Indonesia hingga saat ini masih menjadi suatu perbincangan yang hangat. Karena sejauh ini diskriminasi gender terhadap perempuan masih sangat marak terjadi khususnya di Indonesia.Hingga kini perjuangan kesetaraan gender masih berkobar kuat khususnya di Indonesia, nilai – nilai kebudyaan yang sangat kuat membuat para perempuan masih dianggap berbeda dengan kaum pria baik dalam berpolotik dan mengenyam pendidikan. Kesadaran akan hal itulah maka para perempuan di Indonesia masih harus berjuang untuk menyatarakan hak tersebut.

Salah satu tokoh pejuang wanita dari Indonesia yang paling terkenal adalah Raden Ajeng Kartini. R.A Kartini yang dilahirkan pada tanggal 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, sebenarnya telah memulai rekonstruksi budaya dominasi kaum adam meski dalam konteks zamannya. Perjuangan penegakan emansipasi perempuan yang dilakukannya, tidaklah hanya tertulis di atas kertas tetapi dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di Jepara dan Rembang. Pada masa Kartini, budaya feudal sangat menindas bahkan meminggirkan kaum perempuan.Mereka tidak memperoleh kebebasan layaknya kaum pria dalam berbagai hal. Jangankan untuk mendapatkan pendidikan tinggi seperti sekarang, untuk


(12)

memiliki jodoh atau pasangan hidup pun mereka tidak bisa menentukan sendiri, segalanya ditentukan oleh orang tua mereka.

Istilah gender saat itu mungkin belum dikenal oleh Kartini, karena pendidikan formal yang ditempuhnya hanya sampai E.L.S. (Europese Lagere School) atau setara dengan tingkat sekolah dasar. Setamatnya E.L.S, Kartini pun dipingit sebagaimana adat – istiadat yang berlaku ditempat kelahirannya. Sepengetahuanya tentang gerakan gender, lebih banyak didapat dari pergaulannya dengan orang – orang terpelajar. Dia mempunyai banyak teman, baik di dalam negeri maupun di Eropa khususnya dari Belanda, yang sedang menjajah Indonesia saat itu. Kartini sering mencurahkan isi hatinya untuk memajukan perempuan negerinya, kepada teman – teman Belandanya. Kartini juga gemar membaca buku, khususnya buku – buku mengenai kemajuan perempuan seperti karya – karya Multatuli “Max Havelaar” dan karya tokoh – tokoh pejuang perempuan di Eropa. Kartini mulai menyadari betapa tertinggalnya perempuan sebangsanya bila dibandingkan dengan perempuan bangsa lain terutama perempuan Eropa. Sejak itulah, Kartini memulai keinginanya untuk memajukan kaumnya.

Belajar dari Kartini, ada beberapa wujud ide serta langkah – langkah Kartini guna memajukan kaumnya diantaranya, pertama, rekontruksi gender melalui jalur pendidikan. Kartini melihat bahwa pendidikan sebagai jalan utama untuk menanamkan kesadaran akan eksistensi diri kaumnya. Pendidikan memang bukan jaminan menjadi kaya, tetapi menjadi pintu melihat dunia, memperluas cakrawala berpikir dan berjaringan dengan dunia lain, serta pendidikan merupakan proses yang


(13)

senantiasa dilalui manusia (Freire, 2003:24). Jika mengacu pada pandangan Freire tersebut, pendidkan memang tepat digunakan sebagai media pembebasan dengan menggarap realitas serta jati diri manusia secara metodologis bertumpu pada prinsip aksi dan refleksi. Prinsip ini merupakan kesatuan dari fungsi berfikir, berbicara dan berbuat.

Rekonstruksi budaya melalui pendidikan yang dilakukan Kartini ini membuahkan hasil yang gemilang. Kedua, membekali kompetensi hidup (life skill) dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Kartini juga mengajarkan berbagai macam ketrampilan untuk hidup lain yang sangat dibutuhkan kaumnya saat itu.

Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran alias Cuma – Cuma. Ketiga, mencari beasiswa untuk meningkatkan kemampuannya maupun kaum sebangsanya. Demi melaksanakn cita – cita mulianya itu, Kartini berencana mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik.

Rekontruksi budaya yang sudah dilakukan R.A Kartini sangatlah besar pengaruhnya bagi kebangkitan bangsa ini. ide – ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari belenggu kekerasan pada perempuan.


(14)

Kekaguman kepada Kartini, sejatinya tidak perlu diwujutkan dengan jalan memitoskannya sebagaimana ungkapan Pramoedya Ananta Toer dalam kata penggantar buku Panggil Aku Kartini Saja, “Sampai sedemikan jauh, Kartini disebut – sebut diberbagai peringatan lebih banyak sebagai tokoh mitos, bukan sebagai media biasa, yang sudah tentu mengurangi kebesaran manusia Kartini itu sendiri serta menempatkannya dengan dunia dewa – dewa.”

Sejatinya, semakin kurang pengetahuan orang tentangnya, semakin kuat kedudukannya sebagai tokoh mitos. Gambaran orang tentangnya dengan sendirinya lantas menjadi palsu, karena kebenaran tidak dibutuhkan, orang hanya menikmati candu mitos. Padahal, Kartini sebenarnya jauh lebih agung melebihi mitos – mitos tentangnya. (Penulis Pemerhati Gender, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta)

Fenomena kesetaraan gender ini kemudian dipilih oleh Abidah Al- Khalieqy dalam novel Perempuan Berkalung Sorban untuk menjadikan perempuan sebagai “subyek” (pencipta) bukan sekedar penerima. Namun dalam konteks ini, konsep perempuan menjadi pencipta menimbulkan masalah krusial saat mengalami perbenturan yang hebat dengan islam sebagai sebuah peradaban dan jalan hidup.

Islam memiliki worldview tersendiri dalam memandang hidup dan kehidupan. Islamic Wordview ini akan menentukan cara berpikir dan bertindak seseorang ketika menjumpai realitas. Melalui tokoh Annisa, Abidah berusaha melakukan pemberontakan terhadap ayat – ayat atau hadist – hadist yang dianggap misoginis atau membenci perempuan.


(15)

Pemilihan karakter tokoh utama yang memiliki kepribadian kuat, cerdas, serta kritis, ditambah anak seorang kyai, dianggap mampu mewakili perjuangan seorang muslimah dalam menegakkan emansipasi pemikiran dan keberaniannya untuk melawan dominasi dan kekerasan tokoh – tokoh antagonis yang bersifat patriarkis.

Dalam buku Glosarium Seks dan Gender yang dimaksud kesetaraan gender (gender equality) ialah kesetaraan dan kesempatan perempuan dan laki – laki,termasuk penghapusan diskriminasi gender dan tidak kesetaraan structural dalam mengakses sumber daya, kesempatan, dan jasa – jasa, seperti akses yang sama untuk kesehatan, pendidikan, sumber daya produktif, partisipasi sosial, dan ekonomi.

Pengaturan mengenai pengertian diskriminasi gender pada undang – undang tentang hak asasi manusia menunjukkan hubungan yang erat diantara keduanya atau dengan kata lain, perilaku diskriminatif merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu, kekerasan dalam berbagai bentuk harus dihapuskan.

Pada dasarnya kesadaran untuk menghapuskan kekerasan dalam berbagai bentuk telah terjadi sejak lama, tetapi tindakan yang diambil, baik pada tingkat kebijakan maupun pada tingkat operasional, belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Dalam konteks kesenjangan ekonomi, diskriminasi gender pada tingkat kebijakan juga terjadi pada kelompok masyarakat kurang mampu. Dalam kaitan itu, beberapa peraturan perundang – undangan, terutama pada tingkat operasional, menetapkan berbagai persyaratan tertentu yang mengakibatkan sulitnya kelompok


(16)

masyarakat kurang mamou untuk memperoleh pelayanan public hampir pada semua bidang.

Hal itu antara lain tercermin dari tingginya biaya pendaftaran perkara perdata pada pengadilan tingkat pertam, sehingga menyulitkan kelompok masyarakat yang kurang mampu untuk memperoleh pelayanan public di bidang hukum atau memperoleh keadilan. Kendala yang sama juga dialami oleh kelompok masyarakat kurang mampu dalam memperoleh pelayanan public pada bidang kehidupan lainnya.

Dibeberapa daerah, kebijakan yang bersifat diskriminatif masih sering terjadi, antara lain dengan dibentuknya Peraturan Daerah (PERDA) yang menggatur

tentang tata cara berpakaina dan batas ruang gerak perempuan di ruang public serta melarangperempuan keluar malam tanpa muhrim.

Pada tingkat pelaksanaan, permasalahan utama terletak pada kurangnya pemahaman masyarakat termasuk para penyelenggara Negara dan aparat penegak hukum akan pentingnya kesamaan cara pandang dalam upaya penghapusan kekerasan dalam berbagai bentuk, misalnya terminology kekerasan dalam rumah tangga yang sering dipahami secara sempit sebagai kekerasan fisik, padahal perundang – undangan memberikan arti luas, antara lain meliputi kekerasan ekonomi (penelantaran ekonomi) dan kekerasan psikis.


(17)

1.2 Perumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang tersebut maka perumusan masalah yang akan diteliti adalah bagaimana representasi kekerasan yang ditampilkan dalam film Perempuan Berkalung Sorban??

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan dengan rumusan masalah di atas penelitian ini adalah: Untuk mengetahui bagaimana bentuk kekerasan dalam film Perempuan Berkalung Sorban.

1.3.2 Manfaat Penelitian 1.3.2.1Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan konstribusi terhadap kajian studi tentang analisis isi yang menganalisis tentang film.

1.3.3 Manfaat Praktis

Secara Praktis hasil penelitian ini bisa dipakai sebagai kajian bagi para sineas dalam membuat film yang menyajikan isu menarik dan dapat menjadi wacana bagi penonton. Disisi lain dapat memberi gambaran tentang bagaimana bentuk film yang layak di tonton oleh masyarakat.


(18)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori 2.1.1 Definisi Film

Film adalah gambar hidup yang sering juga disebut movie. Film secara kolektif, sering juga disebut sinema. Sinema itu itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa di kenal di Dunia para sineas sebagai seluloit.

Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang

berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = graph (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus yang bisa kita sebut dengan kamera.

Film dihasilkan dengan rekaman dari orang lain dan benda (termasuk fantasi dan figure palsu) dengan kamera, dan / oleh animasi. Kamera film menggunakan pita seluloit (atau sejenisnya, sesuai perkembangan teknologi). Butiran silver halide yang menempel pada pita ini sangat sensitive terhadap cahaya. Saat proses cuci film, silver halide yang telah terespon cahaya dengan ukuran yang tepat akan menghitam, sedangkan yang kurang atau sama sekali tidak terespon akan tinggal dan larut bersama cairan pengembang (developer).


(19)

Definisi film menurut UU 8/ 1992, adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi masa pandang dengan yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, pinggiran video, dan atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, dan elektronik.

Istilah film pada mulanya mengacu pada suatu media sejenis plasyik yang dilapisi dengan zat peka cahaya. Media peka cahaya ini sering disebut selluloid. Dalam bidang fotografi film ini menjadi media yang dominant digunakan untuk menyimpan pantulan cahaya yang tertangkap lensa. Pada generasi berikutnya fotografi bergeser pada penggunaan media digital elektronik sebagai penyimpan gambar. Dalam bidang sinemafotografi perihal media penyimpan ini telah mengalami perkembangan yang pesat. Berturut=turut dikenal media penyimpan selluloid (film), pita analog, dan yang terakhir media digital (pita, cakram, memori chip). Sejalan dengan perkembangan media penyimpanan dalam bidang sinematografi,maka

pengertian film telah bergeser. Sebuah film cerita dapat diproduksi tanpa menggunakan selluloid (media film). Bahkan saat ini sudah semakin sedikit film yang menggunakan media selluloid pasa tahap penggambilan gambar. Pada tahap pasca produksi gambar yang telah disdit dari media analog maupundiital dapat disimpan pada media yang fleksibel. Hasil akhir karya sinematografi dapat disimpan pada media selluloid, analog maupun digital.


(20)

Perkembangan teknologi media penyimpanan ini telah mengubah pengertian film dari istilah yang mengacu pada bahan keistilah yang mengacu pada bentuk karya seni audio-visual. Singkatnya film kini diartikan sebagai suatu genre(cabang) seni yang menggunakan audio (suara) dan visual (gambar) sebagai medianya. Istilah film pada mulanya mengacu pada suatu media sejenis plastic yang dilapisi dengan zat peka cahaya. Media peka cahaya ini sering disebut selluloid. Dalam bidang fotografi film ini menjadi media yang dominandigunakan untuk menyimpan pantulan cahaya yang tertangkap lensa. Pada generasi berikutnya fotografi bergeser pada penggunaan media digital elektronik sebagai penyimpan gambar.

Dalam bidang sinematografi perihal media penyimpan ini telah mengalami perkembangan yang pesat. Sejalan dengan perkembangan media penyimpanan dalam bidang sinematografi, maka pengertian film telah bergeser. Sebuah film cerita dapat diproduksi tanpa menggunakan selluloid (media film). Bahkan saat ini sudah semakin sedikit film yang menggunakan media selluloid pada tahap pengambilan gambar. Pada tahap pasca produksi gambar yang telah diedit dari media analog maupun digital dapat disimpan dalam media fleksibel. Hasil akhir karya sinematografi dapat disimpan dalam media selluloid, analog maupun digital.

Perkembangan teknologi media penyimpan ini telah menggubah pengertian film dari istilah yang mengacu pada bahan ke istilah yang mengacu pada bentuk karya seniaudio-visual. Singkatnya film kini diartikan sebagai suatu genre (cabang) seni yang menggunakan audio(suara) dan visual (gambar) sebagai medianya.


(21)

2.1.2 Film sebagai salah satu alat komunikasi massa

Dalam pengertian umum, media massa adalah sarana informasi untuk menyampaikanberita kepada masyarakat luas, baik yang menggunakan alat cetak (surat kabar, majalah, bulletin, dan sebagainya) maupun elektronik (televise, radio, internet, dan sebagainya). Sebagai salah satu media komunikasi massa yang bersifat elektronik dipadukan dengan hasil ekspresi seni dan budaya, film memiliki peranan penting dalam masyarakat. Di satu sisi film dapat memperkaya nuansa kehidupan manusia dengan hal-hal yang bermanfaat dari berbagai dimensi. Penafsran tentang makna bergantung dari sisi mana kita memandangnya. Film yang kita tonton merupakan salah satu representasi dari realitas yang ada dalam masyarakat.

Walaupun kadang-kadang penuh imajinasi dan fiksi, tetapi tetap saja film itu

mengambil tema dari realitas social yang ada dalam masyarakat.

Menurut Tuner, film bukan hanya refleksi dari realitas tapi makna film sebagai representasi realitas masyarakat. Film membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konveksi-konveksi, dan ideology dari kebudayaan.

Menurut McQuail tugas film adalah menghibur, memberikan informasi dan mendidik. “Media massa dalam menjalankan fungsinya menyajikan hiburan yang dapat menyenangkan hati pembaca, pendengar, penonton. Hiburan itu dapat saja muncul dalam bentuk musik, cerita maupun berita-berita ringan yang terjadi di sekitar kita”.


(22)

2.1.3 Pengertian Kekerasan

Dalam kamus umum bahasa Indonesia, kekerasan diartikan sebagai sifat atau hal yang keras. Sedangkan paksaan berarti tekanan, desakan yang keras, jadi kekerasan berarti membawa kekuatan, paksaan dan tekanan (Poerwadarminta, 1999 :102). Sedangkan dalam bahasa Inggris, kekerasan (Violence) berarti sebagai suatu serangan atau invasi fisik integritas mental psikologis seseorang (Englander dalam Saraswati, 2003 : 13).

Menurut Johan Galtung, kekerasan terjadi apabila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga jasmani dan mental aktualnya berada dibawah realisasi potensialnya. Kata-kata kunci yang perlu diterapkan yaitu actual (nyata) dan potensial (mungkin), dibiarkan serta dibatasi tanpa disingkirkan kekerasan sering dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang dianggap kuat atau lebih dominant memiliki otoritas tertentu. Mereka yang memiliki wewenang lebih itu cenderung akan melakukan kekerasan bila merasa wewenang mereka ada yang melanggar dan tidak dipatuhi. Dengan kata lain, sesungguhnya kekerasan itu potensial dilakukan oleh siapapun dan sudah melekat didalam suatu pola relasi yang diantara kedua belah pihak merupakan adanya ketidakseimbangan yang satu memiliki otoritas yang lebih besar dari pada yang lainnya.

Kekerasan pada dasarnya tergolong kedalam dua bentuk kekerasan yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak


(23)

maupun yang tidak, seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan antar masyarakat) dan terorisme.

Kekerasan domestic adalah kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, dimana biasanya yang berjenis kelamin laki-laki menganiaya secara verbal, fisik, dan psikologis. Kekerasan secara verbal seperti berkata-kata yang tidak semestinya, kekerasan fisik misalnya, meliputi tindakan yang mengakibatkan rasa sakit, luka atau bekas luka ditubuh seseorang, keguguran, pingsan, dan atau kematian. Kekerasan psikologis adalah tindakan yang mengakibatkan rasa takut, kehilangan percaya diri, kehilangan kemampuan untuk mengambil tindakan, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan jiwa serius kepada jenis kelamin perempuan (Avivia, 2006 : 179-180)

Menurut pasal 5 Undang-undang nomer 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dibagi menjadi beberapa jenis (Fokusmedia, 2004 :5-6), diantaranya:

1. Kekerasan Fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.

2. Kekerasan Psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan

hilangnya respon, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, malu, tersinggung dan penderita psikis berat pada seseorang.

3. Kekerasan Seksual adalah segala tindakan yang muncul dalam bentuk

paksaan atau mengancam untuk melakuakn hubungan seksual, melakuakan siksaan yang bertindak sadis pada seseorang.


(24)

4. Kekerasan Ekonomi adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian dan penghinaan secara ekonomi, terlantarnya anggota kelompok dan atau menciptakan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan melarang untuk bekerja yang layak di dalam dan diluar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.

Menurut Kompas (1993) dalam penelitian Paul Joseph I.R (1996:37) ada dua jenis kekerasan yaitu kekerasan verbal dan non verbal. Kekerasan verbal adalah kekerasan yang berbentuk kata-kata, kategori kekerasan verbal meliputi, umpatan olok-olok, hinaandan segala perkataan yang menyebabkan lawan bicara merasa tersinggung, emosi dan marah. Sedangkan kekerasan non verbal adalah melalui bahasa tubuh, tindakan, intonasi dan kecepatan suara.

Kekerasan sangat sering kita jumpai yang kita tahu secara langsung hanyalah sebagian dari kekerasan itu sendiri.

2.1.4 Kekerasan Terhadap Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan-penderitaan yang dialami pada perempuan secara fisik., seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi didepan umum ataupun dalam lingkungan kehidupan pribadi.


(25)

Kekerasan terhadap perempuan sering kali terjadi karena adanya ketimpangan dan tidak keadilan gender. Ketimpangan gender adalah peran dan hak perempuan dan laki-laki di masyarakat yang menempatkan perempuan dalam status lebih rendah dari laki-laki. “Hak Istimewa” yang dimiliki laki-laki seolah-olah menjadikan perempuan sebagai “barang” milik laki-laki yang berhak untuk diperlakukan semena-mena, termasuk dengan cara kekerasan. Kekerasan pada perempuan dapat terjadi dalam bentuk:

1. Tindakan kekerasan fisik

Tindakan kekererasan fisik adalah tindakan yang bertujuan melukai, menyiksa atau menganiaya orang lain. Tindakan tersebut dapat dilakukan menggunakan anggota tubuk pelaku (tangan dan kaki) atau dengan alat-alat lainnya. Misalnya seperti pelecehan seksual dan pemerkosaan.

2. Tindakan kekerasan Non fisik

Tindakan kekerasan non fisik adalah tindakan yang bertujuan untuk merendahkan citra dan kepercayaan diri seseorang perempuan, baik melalui

kata-kata maupun perbuatan yang tidak disukai atau dikehendaki

korbannya.

3. Tindakan kekerasan psikologis atau Jiwa

Tindakan kekerasan psikologis atau jiwa adalah tindakan yang bertujuan mengganggu dan menekan emosi korban. Secara kejiwaan, korban menjadi tidak berani mengungkapkan pendapat, menjadi penurut, menjadi selalu bergantung suami dan orang lain.


(26)

Tindakan kekerasan terhadap perempuan, baik secara domestic maupun public secara individu maupun kelompok, seperti: inimidasi, pelecehan seksual, penghinaan moral, pemukulan, penganiayaan, pemerkosaan, perzinaan, kekejaman, pembunuhan dan eksploitasi tenaga kerja (migrant)perempuan tidak pernah mendapatkan pelanggaran hak asasi perempuan sebagai manusia, tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang serius. Aturan hukum yang melindungi kaum perempuan masih sangat lemah. (www.//suaramerdeka.co.id)

2.1.5 Teori-Teori Kekerasan

1.Teori Katharsis

Katharsis dalam Yunani berarti “pencucian” atau “pembersihan”. Para pendukung teori ini berpendapat bahwa tayangan yang berisi kekerasan (meskipun hanya tipuan kamera/fiksi) atau tindakan brutal dalam acara TV atau film memberikan efek positif bagi penonton. Ketiak penonton melihat tayangan tersebut, penonton seakan ikut mengalami kekerasan atau ketakutan yang dialami para tokoh di dalam TV/film, penonton juga ikut terlibat berjuang. Dengan “happy ending”, penonton puas, rasa takut yang ada dibawah sadar penonton hilang berubah menjadi berani. Dengan demikian kekerasan yang ditayangkan dalam TV/film memberikan efek positif pada tingkah laku yang real penonton. Jadi, menurut teori ini, kekerasan dalam


(27)

TV/film tidak membawa efek negative (merusak) sebaliknya justru membawa efek positif bagi penonton.

2. Teori Imitasi

Pengikut teori ini berpendapat bahwa kekerasan dalam TV/film mendorong tumbuhnya keinginan untuk meniru, Bantingan tipuan seperti dalam Smack Down, tindakan sadis oleh para tokoh pujaan, pembunuhan, dan lain-lain akan menjadi pendorong bagi penontonnya untuk melakukan tindakan yang sama dalam kehidupan sehari-hari. Padahal didalam film adalah fiksi. Sebagai contoh, apabila apabila para actor Smack Down menjadi idola anak/remaja ada kecenderungan anak/remaja terdorong untuk mengimitasikan diri seperti tokoh mereka, ingin bermain Smack Down meniru gerakan para actor tersebut. Anak-anak paling suka berlaku seperti itu. Dan permainan itu tentu saja sangat berbahaya. Bahaya lain, menurut imitasi adalah, bahwa sering kali dalam film laga ditampilkan kekerasan dan pembunuhan sebagai jalan untuk menyelesaikan masalah. Happy endingnya adalah tokoh idola akhirnya tampil sebagai pemenang setelah berjuang sedemikian berat. Ia tampil sebagai pahlawan. Cara penyelesaian masalah dengan kekerasan ala para tokoh idoal itu menjadi mosel bagi anak remaja (tidak jarang juga bagi orang tua) dalam penyelesaian masalah. Tawuran antar pelajar bukan tidak mungkin dipicu oleh keinginan tampil sebagai hero membela almamater teman, seperti tindakan heroic para tokoh film yang dijadiakn idola bagi anak/remaja.


(28)

3. Teori Kekerasan Struktural

Teori kekerasan structural dari Johann Galtung, seseorang kriminolog dari Norwegia dan seorang polemolog adalah teori yang bertalian dengan kekerasan yang paling menarik. Teori kekerasan structural pada hakekatnya adalah teori kekerasan “sobursi”. Dengan “sobural” berarti suatu akronim dari (nilai-nilai) social, (aspek) budaya, dan (factor) structural (masyarakat).

Teori ”kekerasan struktural” jika diimplementasikan seacar empiric realistik,telah diterapkan secara telanjang di zaman Soeharto (Orde baru) melalui Angkatan Bersenjata dan organisasi poloitik yang berkuasa yang berbaju kultur jawa. Secara singkat, Soeharto bisa dibandingkan dengan Ken Arok, hanya zaman dan teknologi (bersenjata) yang berbeda, (dalam buku PramoedyaAnanta Toer, Arok Dedes Hasta Mitra, Jakarta, 2002). Kekerasan structural sesungguhnya bukan barang kemasan baru dari abat ke 21 dan bukan pula solusi baru melalui kekerasan structural terhadap kekerasan. Yargon awam tentang kekerasan bahwa kekerasan identik dengan perbuatan (fisik), sesungguhnya tidak selalu berarti demikian. Perbuatan kekerasan apalagi yang structural bahkan dari yang berwajib / berkuasa secara psikis, sampai pada bersifat naratifseperti berita-berita pers mengenai Sadam dan Khadafi. (Turpin dan Kurtz, 1997 :91). Bahkan secara logika mungkin sulit diterima kalau dikatakan bahwa bentuk penipuan yang jelas secara kasat mata bukan kekerasan, pada azaznya menurut Yargon awam ujung-ujungnya adalah


(29)

kekerasan. Suatu kekerasan structural yang sangat “naïf” dan terselubung dengan maksud-maksud yang tidak etis.

Paling tidak ada empat pendekatan yang biasanyadigunakan baik oleh peneliti Indonesia maupun peneliti dari luar, yaitu:

a. Pertama, esensialisme, yaitu anggapan bahwa konflik disebabkan oleh adanya permusuhan antara dua kelompok (etnik) yang berbeda. Teori ini menegaskan adanya perbedaan esensial diantara kelompok-kelompok etnik. Biasanya, peneliti ini menggunakan pendekatan ini cenderung mencari kekuatan instristik dari kelompok-kelompok yang berbeda.

b. Kedua, Intrumentalisme, yaitu pendekatan yang lebih melihat pada

peranaan elit dalam menggunakan identitas etnik untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan politik dan ekonomi. Pendekatan ini berusaha mencari actor-aktor (elit) yang ada dibalik terjadinay suatu konflik kekerasan. Konflik denagn demikian dipandang dari sebuah produk dari konflik anta relit yang menggunakan identitas etnik untuk memobilitasi dukungan dari kepentingannya.

c. Ketiga, Konstrukvitisme, yaitu anggapan bahwa mobilitas telah merubah identitas dengan membawa massa kedalam kerangka kesadaran yang lebih luas dan ekstra local. Hal ini membuat identitas dan komunitas menjadi lebih luas dan terinstitusional. Sebagian peneliti menyebutkan bahwa konflik yang yang terjadi dinegara berkembang merupakan akibat dari kolonialisme. Penelitian ini biasanya berusaha menjawab pertanyaan


(30)

mengapa beberaqpa system politik justru menimbulkan konflik sedangakan system yang lainnya tidak.

d. Keempat, Institusionalisme, yaitu anggapan bahwa konflik telah terjadi karena tidak adanya lemabaga-lembaga/institusi-institusi yang bekerja secara baik untuk mengakomodasi segala bentuk kepentingan anta relit atau kelompok.

Akiko menggunakan berbagai pendekatan, yaitu:

1. Psychological theory of violence (teori psikologi tentang kekerasan) yang didiskusikan teori frustasi dan agresi, teori relativedeprivation, dan social identity theory, Sebagian peneliti menggangap bahwa konflik kekerasan merupakan respon dari kekecewaan (rasa kecewa atau deprivasi), baik yang absolute (alasan material) maupun relative (alas an psikologis). Karena itu beberapa individu berjuang untuk membentuk identitas dirinya dan identitas kelompok.

2. Human security dan civil society. Perspektif ini mengarahkan penelitian untuk melihat bagaimana asosiasi antara kelompok masyarakat sipil bekerja, termasuk apakah ada perlindungan antara individu, kelompok dan komunitas daria ancaman luar. Pendekatan ini lebih menfokuskan pada kehidupan masyarakat sipil, keterlibatan masyarakat sipil dalam asosiasi formal dan informal (civic engagement), dan hubungan antar kelompok masyarakat sipil.


(31)

3. Social movement theory yang berupaya untuk menjelaskan gerakan massa dalam konflik kekerasan. Terdapat beberapa teori yang digunakan yaitu collective behavior dari Durkheim, grievance and frustration model yang dikembangkan dari teori deprivasinyaTed Gurr, rational choice dari olson, dan resource mobilization dari MaCarthy dan Zald. Teori-teori digunakan untuk

melihat bagaimana perilaku kolektif terjadi. (http/www.google.co.id/kekerasan)

2.2 Semiotika Komunikasi

2.2.1 Pendekatan Semiotik dalam Film

Film menjadi media yang menarik untuk bahan kajian mempelajari berbagai hal yang terdapat didalamnya. Kajian terhadap film dilakukan kerena film memberikan kepuasan dan arti tentang budaya maupun lingkungannya terdapat hubungan-hubungan antara image dan penonton, industri dan khalayak, narasi dan budaya. Langkah yang dapat dilakukan dalam mengkaji film adalah dengan menganalisis bahasa film sehingga dapat menghasilkan makna (Sobur,1993:127).

Film merupakan transformasi dari kehidupan manusia, dimana gambaran-gambaran nilai manusia terlihat jelas. Kehidupan manusia dengan nilai simbol-simbol yang mempunyai makna dan arti yang berbeda-beda, lewat simbol-simbol tersebut film juga merupakan sarana ekspresi indrawi yang khas dan efisien, antara lain : mampu mengekspresikan emosi, aksi dan karakterisasi yang dikomunikasikan dengan


(32)

kemahiran mengekspresikan image-image yang ditampilkan dalam film yang kemudian menghasilkan makna-makna tertentu sesuai dengan konteksnya.

Definisi semiotik yang umum adalah studi mengenai tanda-tanda (Chandler, 2002: www.aber.ac.uk). Studi ini tidak hanya mengarah pada ”tanda” dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda-tanda tersebut. Bentuk-bentuk tanda disini antara lain berupa kata-kata, images, suara, gesture, dan objek. Bila kita mempelajari tanda tidak bisa memisahkan tanda yang satu dengan tanda-tanda yang lain membentuk sebuah sistem, dan kemudian disebut sistem tanda-tanda. Lebih sederhananya semiotik mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk sebuah makna. Menurut Jhon Fiske konsentrasi semiotik adalah pada hubungan yang imbul antara sebuah tanda dan makna yang dikandungnya. Juga bagaimana tanda-tanda tersebut dikomunikasikan dalam kode-kode (Chandler, 2001: www.aber.ac.uk).

Menurut Jhon Fiske dalam Introduction to Communication Studies (Fiske, 2006:9) komunikasi merupakan aktivitas manusia yang lebih lama dikenal namun hanya sedikit orang yang memahaminya. Dalam mempelajari komunikasi kita dapat membaginya dalam dua perspektif, yaitu segi proses, serta sisi produksi dan pertukaran makna.

Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, 1976:6 dalam Sobur 2002:95). Pengertian lain juga dikemukakan Van Zoest mengartikan semiotik sebagai ”ilmu tanda (sign) dan segala yang


(33)

berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengiriimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya”.

Penerapan semiotik pada film, berarti kita harus memperhatikan aspek medium film atau cinema yang berfungsi sebagai tanda. Maka dari sudut pandang ini jenis pengambilan kamera (selanjutnya disebut shot) dan kerja kamera (camera work). Denngan cara ini, peneliti bisa memahami shot apa saja yang muncul dan bagaimana maknanya. Misalnya, Close up (CU) shot berati ambilan kamera dari leher ke atas atau menekankan bagian wajah, makna dari (CU) shot adalah keintiman dan sebagainya. Selain shot, yang terdapat pada camera work atau kerja kamera yaitu bagaimana gerak kamera terhadap objek, misalnya panning atau pan-up yaitu gerak kamera mendongak pada poros horizontal. Pan-up berarti kamera melihat ke atas, dan ini bermakna adanya otoritas atau kekuasaan pada objek yang diambil (Berger,1982:37).

2.2.2 Model Semiotik John Fiske

Menurut Fiske (1994:5) analisis semiotik pada sinema atau film layar (wide

screen) disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan di televise, sehingga

analisis yang dilakukan pada film suster keramas terbagi menjadi beberapa level yaitu:


(34)

1. Level Realitas (Reality)

Pada level ini, realitas dapat dilihat pada kostum pemain, alat rias, lingkungan, gesture, suara, perilaku, ucapan dan sebagainya yang dipahami sebagai kode budaya yang ditangkap secara elektronik melalui kode-kode teknis.

Beberapa kode-kode sosial yang merupakan realita secara persis dapat didefinisikan dalam medium melalui ekspresi:

a. Penampilan, kostum dan make up yang digunakan oleh pemain pada

film ”Perempuan Berkalung Sorban”. Dalam penelitian ini, tokoh yang menjadi objek penelitian. Bagaimana pakaian dan tata rias yang mereka gunakan, serta apakah kostum dan make up yang

ditampilkan tersebut memberikan signifikasi tertentu menurut kode sosial dan kultural.

b. Lingkungan atau setting, yang ditampilkan dari cerita tokoh tersebut, bagaimana simbol-simbol yang ditonjolkan serta fungsi dan makna didalamnya.

c. Dialog, berupa makna dari kalimat-kalimat yang diucapkan dalam

dialog.

2. Level Representasi

Level ini meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik, suara dan casting yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat konvensional. Level representasi melalui:


(35)

1) Shot

Gambaran atau aspek visual dari suatu program televisi/video yang tampak di monitor/layar adalah hasil dari serangkaian pengambilan gambar atau shootin dalm kegiatan produksi. Para pembuat film mempergunakan banyak istilah yang berhubungan dengan shot. Dalam faktor-faktor yang kini berperan termasuk jarak, focus, sudut pengambilan, gerak dan sudut pandang. Shot normal meliputi : full shot (shot keseluruhan), shot tiga per empat, shot menengah (medium shot). Shot memerlukan waktu. Dalam angka waktu itu ada imaji-imaji yang banyaknya terus menerus berbeda. Frame mencakup informasi visual yang tidak terbatas dan potensial. Kita bisa saja mengatakan bahwa sebuah shot film dapat disamakan dengan sebuah kalimat, karena ia mengutarakan sepotong film. Sebuah shot film bisa berisi informasi subjek yang mau kita baca didalamnya dan satuan-satuan manapun yang kita rumuskan, dalam shot itu bersifat menurut kehendak hati sendiri.

Teknik pada shot meliputi :

1. Teknik kamera : jarak dan sudut pengambilan

a. Long shot: pengambilan yang menunjukkan semua bagian objek/pengambilan gambar keseluruhan, menekankan pada background. Shot ini biasanya dipakai dalam tema-tema sosial yang lebih lama dan lingkungannya daripada individu sebagai fokusnya.


(36)

c. Medium shot: disebut juga waist shot menunjukkan subjek atau aktornya dan lingkungannya dalam ruang yang sama. Biasanya digunakan untuk

memperlihatkan kehadiran dua atau tiga aktor secara dekat.

d. Close up: menunjukkan sedikit dari scene, seperti karakter wajah atau benda dengan menampakkan bagian-bagiannya dalam detail sehingga memenuhi layar, dan mengaburkan objek dan konteksnya. Pengambilan ini

memfokuskan pada perasaan atau reaksi dari seseorang, dan kadangkala digunakan dalam percakapan untuk menunjukkan emosi seseorang.

e. Extrem close up: menggambarkan secara details ekspresi pemain dari suatu peristiwa (lebih detail pada ekspresi tubuh, contohnya mata,bibir, tangan dan sebagaimya).

f. View point: jarak dan sudut nyata dari kamera yang memandang dan merekam objek.

g. Point of view: sebuah pengambilan kamera yang memandang dan merekam

objek.

h. Selective focus: memberikan efek dengan menggunakan perlatan optikal

untuk mengurangi ketajaman dari atau image atau bagian dirinya.

2. Teknik kamera perpindahan

a. Zoom: perpindahan tanpa memindahkan kamera, hanya lensa difokuskan

untuk mendekati objek. Biasanya digunakan untuk memberikan kejutan


(37)

b.Following pan: kamera berputar untuk mengikuti perpindahan objek. Kecepatan perpindahan terhadap subjek menghasilkan mood tertentu yang menunjukkan hubungan penonton dengan subjeknya.

c.Tracking (dolling): perpindahan kamera secara pelan, maju, atau menjauhi objek (berbeda dengan zoom). Kecepatan tracking mempengaruhi perasaan

penonton, jika dengan cepat (utamanya trackung in) menunjukkan

ketertarikan, demikian sebaliknya. (www.aber.ac.uk/’grammar’ of television and film).

2)Pencahayaan

Cahaya menjadi salah satu unsure media visual, karena dengan cahaya informasi bias dilihat. Cahaya ini pada mulanya hanya merupakan unsure teknis yang membuat benda bisa dilihat. Maka penyajian film juga, pada mulanya disebut sebagai

painting with light” melukis dengan cahaya. Namun dalam perkembangan bertutur

dengan gambar, ternyata fungsinya berkembang semakn banyak. Yakni mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood atau atmosfer set dan bisa menunjang dramatic adegan.

3. Penataan Suara/Musik

a. Comentar/voice-over narration: biasanya digunakan untuk memperkenalkan bagian tertentu dari suatu program, menambah informasi yang tidak ada dalam gambar, untuk menginterpresentasikan kesan pd penonton dari suatu


(38)

sudut pandang, menghubungkan bagian atau sequences dari program secara bersamaan.

b. Sound effect: untuk memberikan tambahan ilusi pada suatu kejadian.

c. Musik: untuk mempertahankan kesan dari suatu fase untuk mengiringi suatu adegan, warna emosional pada musik turut mendukung keadaan emosional atau adegan.

Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas lebih lanjut pada teknik editing dan penataan musik yang ada dalam level representasi, karena keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan representasi dalam film Perempuan Berkalung Sorban

4). Teknik Editing

a. Cut: perubaan secara tiba-tiba dari suatu pengambilan, sudut pandang atau lokasi lainnya. Ada bermacam-macam cut yang mempunyai efek untuk merubah scene, mempersingkat waktu, memperbanyak point view, atau membentuk kesan terhadap image atau ide.

b. Jump cut: untuk membuat suatu adegan yang dramatis.

c. Motivated cut: bertujuan untuk membuat penonton segera ingin melihat adegan selanjutnya yang tidak ditampilkan sebelumnya.


(39)

3. Level Ideologi

Level ideology dimana pengorganisasian kode-kode tersebut terdapat dalam suatu kesatuan (coherence) dan penerimaan social (social acceptability), seperti: kelas, patriarki, ras, feminisme, maskulinitas, matrealisme, kapitalisme, liberalisme, status dan lainnya. Berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, peneliti hanya memakai symbol-simbol yang ditampilkan dalam film Perempuan Berkalung Sorban.

Graeme Turner sendiri, tetap memandang hubungan antara film, dideology, kebudayaan bersifat problematis. Dalam hal ini, film ditanyakan sebagai produksi dari struktur social, politik, budaya tetapi sekaligus membentuk dan mempengaruh dinamika struktur tersebut. Demikian halnya, dengan objek penelitian ini yaitu film suster keramas yang juga merupakan produk dari struktur social, politik, serta budaya. Menurut Turner, selain film bekerja pada system-sytem makna kebudayaan untuk memperbaruhi, meriviewnya, ia juga diproduksi oleh system-system makna itu.


(40)

2.3. Kerangka berpikir

Kekerasan yang ada dalam film Perempuan Berkalung Sorban ini merupakan kekerasan yang dialami oleh perempuan berupa kekerasan fisik maupun kekerasan psikologis yang ditayangkan dalam film Perempuan Berkalung Sorban.

Teori yang digunakan adalah teori analisis isi Film Perempuan Berkalung Sorban merupakan media yang digunakan oleh Hanung Bramantyo untuk menyampaikan pesan yang berisikan “Kekerasan” kepada khalayak luas yang berperan sebagai komunikan.

Film “Perempuan Berkalung Sorban” di analisis sesuai dengan kekerasan yang muncul dalam setiap adegan difilm tersebut. Bentuk yang tampak dalam kekerasan dan diskriminasi gender terdapat pada dialog dan visual di setiap scene atau adegannya.


(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metodologi Penelitian

3.1.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti ingin menganalisis isi bentuk kekerasan dan diskriminasi gender pada salah satu film karya sutradara muda Hanung Bramantyo yang berjudul Perempuan Berkalung Sorban. Metodologi yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Sedangkan metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan metode analisis isi.

Analisis deskriptif kuantitatif yaitu melukiskan secara sistematik fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu atau secara factual dan cermat. Sedangkan kuantitatif dapat diartikan dengan mencatat nilai – nilai bilangan atau frekuensi untuk melukiskan berbagai jenis hal yang didefinisikan.

Menurut Berelson & Kerlinger, analisis isi merupakan suatu metode untuk mempelajari dan menganalisis komunikasi secara sistematik, obyektif, dan kuantitatif terhadap pesan yang tampak (Wimmer & Dominick, 2000:135). Analisis isi adalah suatu tehnik sistematis untuk menganalisis isi pesan dan mengelola pesan atau suatu alat untuk mengobservasi dan menganalisis isi perilaku komunikasi yang terbuka dari komunikator yang dipilih.


(42)

Isi film yang akan diteliti lebih mengarah pada kekerasan dan diskriminasi gender. Film Perempuan Berkalung Sorban ini berkaitan dengan isu yang beberapa waktu terakhir ini di berbagai media massa maupun buku-buku, atau kegiatan-kegiatan seperti seminar, diskusi, dan sejenisnya yang banyak membahas tentang protes dan gugatan yang terkait dengan ketidak adilan dan diskriminasi gender terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan dan diskriminasi gender tersebut terdapat hampir di semua tingkatan dan sektor, mulai dari tingkat internasional, Negara, Keagamaan, Sosial (kemasyarakatan), Budaya, Ekonomi sampai rumah tangga.

Dalam film Perempuan Berkalung Sorban ini diceritakan bahwa pesantren

Salafiah putri Al-Huda tempat Annisa dibesarkan, mengajarkan bagaimana menjadi seseorang perempuan muslim. Dimana pelajaran itu membuat Annisa beranggapan bahwa islam membela laki-laki, perempuan dianggap sangat lemah dan tidak seimbang. Dengan munculnya ini maka para penikmat film Indonesia disuguhkan dengan kisah berbeda, isu tentang gender yang semakin marak akhir-akhir ini membuat film tersebut menjadi kontroversi karena dianggap melecehkan syariat islam.

Film yang meraih 7 Nominasi Festival Bandung ini dibintangi antara lain oleh Revalina S. Temat, Joshua Pandelaki, Nasya Abigail, Widyawati, Oka Antara, Reza Rahadian, dan Ida Leman. Film ini didistibusikan oleh Kharisma Starvision Plus dan mulai diputar secara perdana di Bioskop Indonesia pada tanggal 15 Januari 2009. Pembuatan film ini didasari oleh novel yang berjudul sama tahun 2001 yang menulis Abidah El Khalieqy, penulis perempuan asal Jombang, Jawa Timur. Novel tersebut


(43)

diadaptasikan menjadi sebuah naskah film oleh Ginatri S. Noer dan Hanung Bramantyo. Film ini menyajikan latar tradisi sebuah sekolah pesantren di Jawa Timur yang cenderung mempraktikan tradisi konservatif terhadap perempuan dan kehidupan modern. Dialog film ini dibawakan dalam bahasa Indonesia, bahasa jawa, dan juga terkadang bahasa arab yang sering digunakan di sekolah pesantren.

3.2. Kerangka Konseptual 3.2.1 Korpus

Didalam penelitian Kualitatif diperluhkan adanya suatu pembahasan masalah yang disebut corpus. Corpus adalah sekumpulan bahan terbatas yang ditentukan pada perkembangannya oleh analisis kesewanangan. Corpus haruslah cukup luas untuk memberi harapan yang beralasan bahwa unsure-unsur akan memelihara sebuah sistem kemiripan dan perbedaan yang lengkap, corpus juga bersifat homogen mungkin, baik homogeny pada taraf waktu (sinkroni). (Kurniawan, 2000:70). Keseluruhan scene dalam film ini adalah 191 scene dan yang menjadi corpus dalam penelitian ini adalah 9 adegan baik kekerasan fisik maupun psikologis (selengkapnya ada pada lampiran) dan dialog yang merujuk kekerasan fisik maupun kekerasan psikologis dalam film Perempuan Berkalung Sorban.


(44)

3.2.2 Definisi Operasional Konsep 3.2.2.1 Representasi

Representasi berasal dari kata “Represent” yang bermakna stand for artinya berarti atau juga “act as delegate for” yang bertindak sebagai perlambang atau sesuatu (Kerbs, 2001 : 456). Representasi juga dapat sebagai suatu tindakan yang menghadirkan dan mempresentasikan sesuatu lewat sesuatu yang lain diluar dirinya, biasanya berupa tanda atau symbol. (Piliang, 2003:21)

Representasi adalah konsep yang diguanakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa. Lewat bahasa symbol-simbol dan tanda tertulis, lisan atau gambar) tersebut itulah seseorang dapat mengungkapkan pikiran, konsep dan ide-ide tentang sesuatu. (Juliastuti, 2000)

Dalam film, alat-alat representasi itu sebuah narasi besar, cara bercerita, sceneraio, penokohan, dialog dan beberapa unsure lain didalamnya. Menurut Graeme Tuner (1991:128), maka film sebagai representasi dari realitas masyarakat berbeda dengan film sekedar sebagai refleksi dan realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar memindahkan ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvoi-konvoi dan ada ideology kebudayaannya (Irawanto, 1999:15)


(45)

3.2.3 Unit Analisis

Unit Analisis dalam penelitian ini adalah keseluruhan tanda dan lambang berdasarkan pembagian level analisis oleh John Fiske, yang terdapat pada tokoh Anissa sebagai korban kekerasan terhadap perempuan dalam Perempuan Berkalung Sorban . Kemudia diinterpretasikan dengan teori emiotik John Fiske.

3.3 Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tehnik.

1. Tehnik Dokumentasi atau pengumpulandata dengan menonton film

Perempuan Berkalung Sorban melalui VCD.

2. Penelitian juga mengadakan pengamatan serta melakukan pencatatan, sesuai

kategori yang telah ditentukan lalu dimasukkan kedalam lembar koding.

3.4 Tehnik Analisis Data

Peneliti memperoleh data dengan mengamati film yang menjadi obyek penelitian yaitu Perempuan Berkalung Sorban. Berdasarkan data yang dikumpulkan. Yang dihitung berdasarkan pergantian scene atau sesuai pergantian visual yang muncul dalam layar. Dalam penelitian ini peneliti membagi kategori kedalam beberapa variabel yaitu diskriminasi gender, kesetaraan gender, perihal positif yang didapat dari perlakuan diskriminasi, kekerasan sebagai akibat dari perlawanan diskriminasi dan netral.


(46)

Netral yang dimaksud oleh peneliti adalah adegan yang tidak ada kaitannya dengan variable diskriminasi, kekerasan, hal positif yang didapat dan kesetaraan gender. Data netral tersebut adalah berupa intercut yaitu visual tanpa dialog yang merupakan penggambaran lokasi.

Level realitas sebagai berikut: 1. Latar (setting)

Terdiri dari simbol-simbol yang ditonjolkan, fungsi serta maknanya paradigma dari setting terdiri dari :

a. Lokasi: didalam ruangan (in door/ internal) atau diluar ruangan (out

door/eksternal). Pada film Perempuan Berkalung Sorban ini bertempat lokasi pada daerah pesantren putri Salafiah.

b. Penggambaran setting.

c. Simbol-simbol yang ditonjolkan:

2. Kostum dan Make up (costume dan make up)

Paradigma dari kostum dan make up terdiri dari:

a. Kostum dan make up tokoh memberikan signifikasi 3. Dialog/Diam (dialogue/silence)

Menurut Fiske (1990 :189), dalam level realitas juga dianalisis beberapa kode-kode social yang merupakan realitas secara persis dapat didefinisikan dalam medium melalui ekspresi seperti

1. Bahasa yang digunakan: resmi atau tidak resmi


(47)

3. Kalimat-kalimat yang diucapkan dalam dialog apakah memiliki arti tertentu (kiasan)

4. Apakah terdapat karakter tertentu yang tampak dalam diam

Selain itu, menurut Fiske (1990:189), dalam level realitas juga dianalisis beberapa kode-kode sosial yang merupakan realitas secara persis dapat didefinisikan dalam medium melalui ekspresi seperti warna kulit, pakaian, ekspresi wajah, perilaku, dsb.

Unit analisis yang terdapat pada level representasi dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Teknik kamera

Ada tiga jenis shot gambar yang paling dasar yaitu meliputi:

a. Long shot (LS), yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah manusia maka dapat diatur antara lutut, kaki hingga sedikit ruang diatas kepala. Dari jenis shot ini dapat dikembangkan lagi, yaitu Extreme Long Shot (ELS), mulai dari sedikit ruang dibawah kaki hingga ruang tertentu diatas kepala. Penngambilan gambar long shot ini menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton mengenai penampilan tokoh (termasuk pada body language, ekspresi tubuh, gerak, cara berjalan dan sebagainya dari ujung rambut sampai kaki) yang kemudian mengarah pada karakter serta situasi dan kondisi yang sedang terjadi pada adegan itu.

b. Medium shot (MS) yaitu shot gambar yang jika objeknya adalah manusia,


(48)

medium shot dapat dikembangkan lagi, yaitu Wide medium shot (WMS) gambar medium shot agak melebar kesamping kanan dan kiri. Pengambilan gambar medium shot menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang ekspresi dan karakter, secara lebih dekat lagi dibandingkan long shot.

c. Close up (CU) menggambarkan secara details ekspresi pemain dari suatu

peristiwa (lebih detail pada ekspresi tubuh, contohnya mata, bibir,tangan dan sebagainya)

2. Pencahayaan

Cahaya menjadi salah satu unsur media visual, karena dengan cahaya

informasi bisa dilihat. Cahaya pada mulanya hanya merupakan unsur teknis yang membuat benda bisa dilihat. Maka penyajian film juga pada mulanya disebut sebagai “painting with light”(melukis dengan cahaya). Namun dalam perkembangannya bertutur dengan gambar ternyata fungsinya berkembang semakin banyak. Yakni mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood atau atmosfer set dan bisa menunjang dramatik adegan (Biran,2006:43).

Menurut David Chandler dalam www.abe.ac.uk/the “grammar” oh

television and film, unit analisis dalam level representasi meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik, suara dan casting yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat konvensional.


(49)

Selanjutnya, pada level representasi yang diamati adalah bagaimana penstransmisian kode-kode representasi lewat kerja kamera, pencahayaan, musik, casting, editing dan narasi.

Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas lebih lanjut teknik editing dan penataan musik yang ada dalam level representasi, karena keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan representasi kekerasan pada wanita dalan film Perempuan Berkalung Sorban.


(50)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Obyek dan Penyajian Data 4.1.1 Gambaran Umum Obyek

Film Perempuan Berkalung Sorban adalah suatu novel yang ditulis oleh Abidah el Khalieqy yang berjudul sama dengan film Perempuan Berkalung Sorban. Novel Perempuan Berkalung Sorban diterbitkan pada tahun 2001, kemudian diangkat kelayar lebar oleh sutradara Hanung Bramantyo. Namanya melambung setelah novelnya diangkat kedalam layar lebar dan menuai banyak kontroversi dari sineas perfilman. Ini adalah karya novel dari Abidah el Khalieqy yang ke 5 dari 9 novel yang dibuatnya.

Film Perempuan Berkalung Sorban adalah kesekian kalinya film yang mengusut tentang budaya agama islam. Film Perempuan Berkalung Sorban ini adalah film tentang pengorbanan seorang perempuan, seorang anak dari pasangan Kyai Salafiah dan Nyai Muthmainnah. Anissa (Revalina S Temat) adalah seorang anak perempuan yang memiliki pendirian yang sangat kuat, cantik dan cerdas. Anissa hidup dalam lingkungan keluarga Kyai di Pesantren Salafiah putrid Al-Huda, Jawa Timur yang konservatif. Bagi kedua orang tua Anissa ilmu sejati dan benar adalah hanyalah Al-Qur’an, Hadist dan Sunnah. Buku modern dianggap oleh orang tua Anissa adalah menyimpang.


(51)

Dalam Pesantren Salafiah Putri Al-Huda diajarkan bagaimana menjadi seorang perempuan muslim dimana pelajaran itu memebuat Anissa beranggapan bahwa islam membela kaumnya laki-laki, perempuan dianggap sangat lemah dan tidak memiliki jiwa pemimpin yang dapat memimpin kaumnya. Tapi saat Anissa membuka suara untuk memprotesnya malah Anissa selalu dianggap sebagai protesan rengekan anak kecil yang tidak mengetahui apa-apa. Hanya Khudori (Oka Antara), paman dari pihak ibu yang selalu menemani Anissa dan selalu mendengarkan protesan dari mulut Anissa. Dan hanya Khudori yang selalu menghibur sekaligus menyajikan dunia yang baru bagi Anissa.

Diam-diam Anissa menaruh hati kepada Khudori. Tetapi cinta itu tidak terbalas karena Khudori menyadari bahwa dirinya masih ada hubungan dekat dengan keluarga Kyai Hanan (Joshua Pandelaky), sekalipun Khudori bukan sedarah dengan beliau. Hal itu membuat Khudori selalu mencoba membakar perasaan cintanya kepada Anissa. Sampai akhirnya Khudori memutuskan melanjutkan sekolahnya ke Kairo tanpa sepengetahuan Anissa. Anissa baru menyadari kalau Khudori telah berangkat melanjutkan sekolah ke Kairo setelah sampai di Kairo dengan cara mengirimkan surat kepada Anissa.

Kemudian secara diam-diam Anissa mendaftarkan kuliah keJogja tanpa sepengetahuan orang tuannya. Dan kemudian dari kenekatan dan keinginan Anissa untuk berkuliah akhirnya Anissa diterima. Tetapi saat Anissa memberitahukan kabar gembira tersebut Kyai Salafiah ayah dari Anissa tidak mengijinkan dengan alasan dapat menimbulkan fitnah dalam pesantren putrid Salafiah Al-Huda, ketika seorang


(52)

perempuan yang belum menikah berada senderian jauh dari orang tuanya. Kemudian Anissa merenggek dan protes dengan alasan yang diucapkan oleh ayahnya. Karena menurut Anissa alasan ayahnya tidak masuk akal dan Anissa merasa dibedakan dengan sang kakak yang melanjutkan sekolah di luar negeri.

Akhirnya keputusan ayahnya adalah menikahkan Anissa dengan Syamsudin (Reza Rahardian), seorang anak Kyai dari Pesantren Salaf terbesar yang ada di Jawa Timur. Sekalipun Anissa berontak dengan keinginan sang Ayah tetapi tetap dilangsungkan juga. Selama pernikahan Anissa dengan Syamsudin, Anissa selalu mendapatkan kekersan fisik maupun psikologis yang dilakukan oleh Syamsudin. Seiring berjalannya waktu Syamsudin menikah kembali secara diam-diam dengan Kalsum (Francine Roosenda) dengan alasan Anissa tidak dapat memenuhi kemauan seorang suami dan tidak dapat memberikan keturunan selam menikah dengan Syamsudin.

Harapan Anissa untuk menjadi perempuan muslimah yang mandiri seketika runtuh dihadapan Anissa. Seketiak itu Anissa merasa tidak dihargai sedikitpun oleh Syamsudin maupun istri kedua Syamsudin. Kemudian Anissa dengan diam-diam pulang kerumah orang tuanya di Pesantren putrid Salafiah Al-Huda. Dan tanpa sepengetahuan Anissa ternyata Khudori telah kembali ke Indonesia dari sekolahnya di Kairo. Seketika itu Anissa tidak ingin kembali lagi kerumah Syamsudin. Dan saat Syamsudin mengetahui hal tersebut kemudian Syamsudin memfitnah Anissa dengan Khudori telah berzina saat mereka berdua dalam ruangan.


(53)

Saat itu juga kemudian Anissa menceraikan Syamsudin dan kemudian menjalin kasih dengan Khudori, kemudian Khudori melamar dan mengajak menikah Anissa tanpa piker panjang Anissa menerima permintaan dari Khudori karena Anissa juga memiliki rasa dengan Khudori dari dahulu.

4.1.2 Penyajian Data

Film Perempuan Berkalung Sorban adalah film yang menceritakan tentang keinginan yang kuat dari seorang perempuan tetapi menurut orang tuanya hal itu bertentangan dengan hukum islam yang berlaku. Film ini banyak menuai protes dari PBNU. Sekjen PBNU Endang Turmudi menyatakan keprihatinannya atas film Perempuan Berkalung sorban yang di nilainya mendiskreditkan pesantren. Pesantren dalam film tersebut digambarkan sangat tidak sesuai dengan realitas, sebagai institusi pendidikan agama yang kolot, anti perubahan dan tertutup.

Ia mengaku menonton film ini di sebuah bioskop di Surabaya setelah munculnya kontroversi di media. Dalam fil yang disutradarai oleh Hannung Bramantyo ini, pesantren digambarkan sangat tradisional. Buku-buku yang tidak sesuai dibakar. Perilaku anak Kyai yang biasa dipanggil Gus juga digambarkan dengan tampilan kejam terhadap istrinya. Pesantren jarang ditampilkan dalam film, saat menjadi cerita dalam film, malah digambarkan dengan sangat negative, terangnya.

Ia takut gambaran ini akan member citra buruk kepada kelompok masyarakat. Yang selama ini tidak paham dengan dunia pesantren. Peneliti dari Lembaga Ilmu


(54)

Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini memahami seorang seniman berhak untuk berkreasi, namun di sisi lain juga harus menghargai sebuah kultur dengan nilai-nilai yang dimilikinya. Kebebasan tidak berarti bisa mendiskreditkan pihak lain dengan seenaknya, tandasnya.

Sayangnya, sejauh ini belum banyak kalangan pesantren yang berbicara mengenai film ini. Suara keras datang dari Imam besar Masjid Istiqlal, KH Ali Mustofa Ya”kub. Setelah kesuksesan fil Ayat-Ayat Cinta, dunia perfilman Indonesia banyak mengangkat tema tentang islam dan pesantren. Selain itu sutradara film Perempuan Berkalung Sorban Hannung Bramantyo, diprotes salah satu penyuntingnovel dengan judul yang sama, Hinun Anisah. Pasalnya, film itu dinilai tidak sesuai dengan kisah sebagaimana diceritakan dalam novel. Menurut Hindun Hannung gagal menyampaikan substansi novel dalam film. Hal yang menonjol justru kekersan seorang Kyai dan putranya. Pasalnya, sesungguhnya tidak seperti itu.

Ia menjelaskan sebetulnya dalam novel tersebut lebih ditonjolkan pergulatan wacana tentang teks agama islam dalam kaitannya dengan hubungan suami-istri ataupun perempuan-laki-laki. Namun, hal itu tidak ada dalam film melainkan justru pemberontakan seorang perempuan yang seakan-akan tidak didukung penafsiran akan teks agama. Debatnya Anissa (tokoh perempuan yang diperankan oleh Revalina S Temat) asal-asalan saja, tandasnya. Di dalam novel terlihat kekerasan yang dialami Anissa itu berasal dari pemahaman terhadap agama yang sangat bias. Lalu Anissa melawannya dengan melakukan reinterpretasi teks, imbuh Hindun yang juga


(55)

pengurus Cabang Lembaga Kesejahteraan Keluarga Nahdlatul Ulama Kabupaten Jepara.

Tak hanya itu dijelaskan dia, tokoh Anissa didalam novel digambarkan sebagai seorang perempuan pandai, cerdas serta menguasai teks-teks agama. Dia (Anissa) berdebat dengan orang tua, guru, dan suami pertamanya (Syamsudin). Film Perempuan Berkalung Sorban diangkat dari novel berjudul sama karya Abidah Al-Khalieqy. Berlatar belakang tahun 1980-an, budaya patriarki masih kuat di tengah pesantren Salafiah (tradisional) di Jawa Timur, saat itu. Film itu mengisahkan tentang seorang muslimah Anissa (Revalina S Temat) anak seorang Kyai kondang, Kyai Hanan (Joshua Pandelaky) yan g memiliki Pesantren Putri Salafiah Al-Huda.

Belakangan film ini menjadi kontroversi karena dianggap memojokkan dunia Pesantren. Di dalam film, pesantren digambarkan sebagai lembaga pendidikan yang kolot, anti perubahan dan tertutup. Sebagaian kalangan menganggap hal itu tidak sesuai dengan kenyataan.

4.1.2.1 Tokoh Anissa

Tokoh Anissa diperankan oleh Revalina S Temat ia adalah seorang anak perempuan dari Kyai Pesantren putri Salafiah. Anisa merupakan sosok perempuan yang cerdas dan berpendirian kuat dengan keyakinannya. Dia juga perempuan yang sangat ingin menjadi perempuan modern.


(56)

4.1.2.2 Tokoh Kyai Hanan

Tokoh Kyai Hanan diperankan oleh Joshua Pandelaki adalah seorang ayah yang juga memiliki pesantren putri Salafiah. Dia adalah seorang ayah yang keras mengajari dan mendidik anak perempuannya sesuai dengan sunah rosul yang beliau terapkan.

4.1.2.3 Tokoh Nyai Muthmainnah

Tokoh Nyai Muthmainnah diperankan oleh Widyawati adalah istri dari Kyai Hanan. Dia adalah sosok perempuan yang lemah lembut terhadap suami maupun anaknya. Beliau tidak pernah membantah suami yang memiliki watak yang keras.

4.1.2.4 Tokoh Khudori

Tokoh Khudori diperankan oleh Oka Antara adalah seorang lelaki yang selalu menemani Anissa saat Anissa merasa terpojokkan dengan peraturan-peraturan yang tidak wajar yang diterapkan oleh ayahnya maupun guru Anissa saat disekolah. Selain itu Khudorilah sosok lelaki yang dicintai oleh Anissa.

4.1.2.5 Tokoh Syamsudin

Tokoh Syamsudin diperankan oleh Reza Rahardian adalah seorang anak dari Kyai Besar yang kemudian menjodohkan Syamsudin dengan Anissa. Syamsudin adalah sosok lelaki yang keras dan suka main tangan terhadap Anissa saat menjadi suami dari Anissa.


(57)

4.2 Analisis Data 4.2.1 Pada Level Realitas

Fiske (1990:189) Level realitas terdiri dari Latar (setting), kostum dan make up, dialog / diam. Tidak semua dialog dalam film ini akan dibahas, melainkan hanya beberapa penggalan scene, adegan yang menampilkan representasi kekerasan pada perempuan dalam film ” Perempuan Berkalung Sorban”. Dalam menganalisis dialog, ditampilkan per-scene secara keseluruhan agar dapat sekaligus memahami konteks pada dialog.

4.2.1.1Setting

Visual: Ruang makan


(58)

Analisis:

Pada gambar diatas, memperlihatkan suatu ruangan makan yang bergaya kuno, selayaknya setting dilakukan pada tahun 1970an. Hal ini terlihat dari salah satu gorden berwarna putih agak kusam yang ada di ruang makan tersebut.

Disitu juga terlihat meja makan yang sangat sederhana terbuat dari kayu jati yang berbentuk kotak persegi panjang, yang terdiri dari 4 kursi disamping sisi meja tersebut.

Visual: Ruang Tamu Rumah Syamsudin dan Anissa

Scene 2 Saat Anissa dicekik oleh suaminya saat memecahkan gelas Analisis :

Pada gambar scene diatas, memeperlihatkan suatu dinding rumah yang tampak kusam dan berubah warnanya tidak seperti warna aslinya putih. Karena usia


(59)

tuanya suatu ruangan dalam rumah tersebut yang membuat warna itu berubah dari warna aslinya.

Visual : Ruang Kamar Tidur Anissa dan Syamsudin

Scene 3 Saat Anissa dicekik karena tidak boleh bergaul dengan tetangga Analisis:

Dalam gambar scene diatas terlihat ruangan kamar tidur yang terlihat di dinding pigora foto yang menempel di dinding kamar mereka yang bergambar foto pernikahan mereka yang didampingi oleh kedua orang tua mereka. Di gambar tersebut menggambarkan bentuk keharmonisan yang mereka perlihatkan tetapi dalam kenyataan rumah tangga mereka tidak seperti yang diperlihatkan dalam foto mereka.


(60)

Visual: Tempat Tidur Anissa dan Khudori

Scene 4 Anissa dicekik oleh Syamsudin saat tidak mw melayani nafsu Syamsudin Analisis:

Pada gambar diatas terlihat suatu bentuk ruangan dari kamar tidur Anissa dan Khudori yang hanya terlihat didalam ruangan tersebut lemari dan tempat tidur yang digunakan Anissa dan Syamsudin berbentuk klasik jauh dari kesan modern karena film ini menggambarkan bentuk suasana pada tahun 1980-an jadi jauh terkesan dari modern yang ditonjolkan. Tetapi hanya lemarinya saja yang terlihat seperti itu.

Terlihat dalam gambar diatas Anissa merasa tertekan dengan kelakuan Syamsudin sehingga membuat Anissa pasrah dan menuruti kemauan Syamsudin karena kalau tidak Anissa mendapatkan kekerasan fisik.


(61)

Visual: Halaman Pesantren Putri Salafiah

Scene 5 Saat Anissa dituduh oleh suaminya berzina didepan pondok pesantren Analisis :

Dalam gambar diatas terlihat halaman pesantren putrid Salafiah yang luas tetapi dipadati oleh para pesantren. Dalam gambar diatas terlihat bentuk pesantren pada tahun 1980-an jadi terlihat biasa namun bangunan yang mereka perlihatkan luas. Dalam gambar diatas pula terlihat bangunan rumah yang atapnya terbuat dari dedaunan kering seperti keadaan bangunan di desa pedalaman yang jauh dari padatnya ibu kota. Kemudian dalam gambar tersebut terlihat didalam halaman Pesantren Putri Salafiah tetapi tidak hanya putri yang terlihat dalam gambar tersebut tetapi ada putra juga karena pesantren tersebut berdekatan dengan pesantren putra Salafiah. Karena jarak antara pesantren putrid dan putra hanya berjarak beberapa kilometer .


(62)

Visual: Ruang Kmar tidur Anissa dan Khudori

Scene 7 Anissa masih trauma dengan perlakuan suaminya yang dahulu sehingga dia mendapat tekanan batin saat berhubungan dengan suaminya.

Analisis:

Dalam gambar scene diatas terlihat suasana kamar tidur Khudori dan Anissa yang terlihat biasa dan terlihat disamping Khudori terdapat satu lemari tempat pakaian dari Anissa dan Khudori dan dibelakang Anissa terlihat meja rias yang digunakan oleh Anissa untuk meletakkan perlengkapan kebutuhan Anissa berupa alat-alat make up. Digambar tersebut tidak begitu jelas cat dinding yang diperlihatkan karena suasana kamar yang tidak begitu terang.

Dsini terlihat wajah Anissa yang terlihat trauma saat Khudori mendekati Anissa ini adalah dampak yang dilakukan oleh Syamsudin suami pertama Anissa


(63)

terhadap Anissa. Sehingga terlihat pada gambar Khudori menenangkan hati Anissa agar tidak trauma kembali.

Visual : Pantai

Scene 9 Terlihat Anissa merenung menenangkan diri di pantai: Analisis:

Pada gambar diatas terlihat suasana pantai yang luas dengan air berwarna biru dan disertai pasir pantai. Terlihat dalam gambar tersebut suasana pantai yang sepi dan nyaman untuk berlibur maupun merenungkan diri. Karena ombaknya pun tidak terlalu pasang sehingga terlihat nyaman.

Terlihat juga scene diatas Anissa yang merenung meratapi nasip yang dialaminya bersama suami pertamanya khudori yang membuatnya trauma dan mengalami beban psikologis akibat kekerasan yang dialaminya


(64)

4.2.1.2Kostum dan Make up

Visual : dapur rumah Anissa dan Khudori

Scene 8 Wajah Anissa yang terlihat sedih saat di dapur Analisis:

Dalam gambar diatas terlihat bahwa Kostum yang digunakan Anissa sehari-hari hanya menggunakan baju daster dengan dandanan yang biasa karena Anissa adalah tipe istri yang jarang beraktifitas di luar rumah. Terlihat dari kerudung yang digunakan Anissa yang biasanya saat ini dipakai daleman saat menggunakan kerudung panjang. Dan sangat terlihat make up yang ditonjolkan oleh Anissa terlihat natural hanya menambahi sedikit polesan lipstick berwarna merah.


(65)

Visual : Pantai

Scene 9 Terlihat Anissa merenung menenangkan diri di pantai:

Analisis :

Dalam gambar diatas terlihat bahwa pakaian yang digunakan Anissa saat berada diluar rumah hanya menggunakan pakaian yang terlihat menutupi semua bentuk tubuh Anissa dari atas hingga bawah. Perempuan pada tahun 1980-an lebih banyak menggunakan rok bawahan sebagai pakaian sehari-hari daripada celana, karena pada zaman tersebut hanya pakaian lah yang dapat memebedakan laki-laki dengan perempuan jadi perempuan dididik oleh orang tua mereka tidak boleh menggunakan pakaian laki-laki sebaliknya dengan laki-laki.


(66)

4.2.1.3 Dialog

Dalam analisis film Perempuan Berkalung Sorban juga menganalisis bentuk kekerasan yang terjadi berupa dialog yang mereka tampilkan.

Scene 4 Anissa dicekik oleh Syamsudin saat tidak mw melayani nafsu Syamsudin Contohnya:

Syamsudin : Anissaa….” Anissa : Iyah mas….”

(Bergegas lari dari dapur menuju kamar tidur). Adah apa mas?..”

Syamsudin : Kesini kau duduk disamping aku…”

Anissa : (Menuruti apa kata suami duduk disampingnya) Syamsudin : (Sambil memebelai pipi Anissa)

(Dengan nada yang pelan sambil membisikkan ke telingga Anissa) “Puaskan Aku sebagai Suami mu….”


(67)

Syamsudin : (Menarik baju Anissa dan mencekik leher Anissa)

Sambil berkata “ Dasar kau istri yang kurang ajah berani sama suami muh mau jadi apa kau …”

Anissa : (Dengan mimik wajah yang takut dan tidak mau disentuh oleh Khudori) Syamsudin : (Memaksa dan memebuat Anissa tidak dapat berbuat apa-apa)

Analisis:

Dalam gambar scene diatas diperlihatkan suatu bentuk kekerasan yang dilakukan oleh Khudori terhadap Anissa dan dimana dialog tersebut memeperlihatkan adanya paksaan yang dilakukan oleh Syamsudin terhadap Anissa yang berujung pada kekerasan fisik berupa pencekikan pada leher yang dialami oleh Anissa Karena dianggap Syamsudin Anissa tidak mau menuruti kemauan dari Khudori sehingga dengan nada emosi sekaligus hawa nafsu yang tidak terkontrol membuat Syamsudin memeperlakuakan Anissa dengan cara seperti itu, agar Anissa mau melayani Syamsudin sebagai suaminya.


(68)

4.2.2 Pada Level Representasi

Level Representasi yang akan diteliti dalam penelitian ini, meliputi kode-kode dari tehnik kerja kamera yang terdiri dari Long Shot, Medium Shot, Clouse Up, dan pencahayaan yang ditonjolkan oleh pembuat film dan dicontohkan oleh scene yang menggambarkan dari tehnik kamera dan pencahayaan.

4.2.2.1 Tehnik Kamera

Tehnik kamera yang digunakan pembuat film dapat membantu pemirsa mendiskripsikan cerita, perilaku, setting, dan lain-lain. Ada tiga jenis shot gambar yang paling dasar yaitu meliputi:

1. Long Shot (LS), yaitu shot gambar yang jika obyeknya adalah manusia maka dapat diukur antara lutut kaki hingga sedikit ruang diatas kepala. Penggambilan gambar long shot ini menggambarkan dan memberikan informasi kepada pemirsa televise mengenai penampilan pemain film (termasuk pada bahasa tubuh, ekspresi tubuh, gerak, cara berjalan, dan sebagainya dari ujung rambut sampai kaki)yang kemudian mengarah pada karakter atau situasi dan kondisi yang sedang terjadi pada scene tersebut. Pada scene ini adanya Long Shot yang mempresentasikan kekerasan fisik. Long Shot pada scene ini yang menampakkan setting diruang makan.


(69)

Scene 1 yang menggambarkan setting dengan tehnik Long Shot 2. Medium Shot (MS), yaitu gambar yang jika obyeknya adalah

manusia maka dapat siukur sebatas dad hingga sedikit ruang diatas kepal. Penggambilan Medium shot menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang ekspresi dan karakter secara lebih dekat.


(70)

Contohnya:

Scene 2 terdapat adegan kekerasan berupa kekerasan fisik terhadap perempuan. Medium Shot yang dilakukan juga mempresentasikan kekerasan yang dilakukan pria terhadap perempuan berupa gangguan yang terlihat dari ekspresi pada medium shot. Medium Shot yang dilakukan mengekpresikan wajah perempuan yang mendapatkan gangguan karena prilaku si-pria. Kekerasan itu terlihat pada medium shot dimana si pria mencekik leher perempuan sehingga si perempuan merasa tertekan dan merasa kesakitan akibat tindakan kekerasan si-pria.

3. Close Up (CU), yaitu shot gambar yang jika obyeknya adalah manusia maka dapat diukur dari bahu hingga sedikit ruang diatas kepala. Penggambilan gambar Close up menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang penguatan


(71)

ekspresi untuk lebih diperhatikan penonton. Dalam scene ini tidak ada close up yang mempresentasikan kekerasan psikologis maupun kekerasan fisik.

4.2.2.2 Pencahayaan

Cahaya menjadi unsure media visual, karena dengan cahayalah informasi disampaikan bisa dilihat. Cahaya ini pada mulanya hanya merupakan unsure teknis yang membuat benda dapat dilihat. Makapenyajian film dan iklan pada mulanya disebut sebagai “painting with light” melukis dengan cahaya, namundalam perkembangannya bertutur dengan gambar, ternyata fungsinya berkembang semakin banyak, yakni menjadi informasi waktu, menunjang dramatic adegan (Biran, 2006:43).

Seperti halnya dengan film Perempuan Berkalung Sorban , pencahayaan ditampilkan dalam scene berupa pencahayaan yang ditampilkan dengan lampu berwarna putih yang mengidentikkan suasana pada saat itu pagi hari. Hal ini dilakukan untuk mendukung setting tempat dalam scene tersebut yang berupa acara akad nikah di suatu masjid dengan didampingi keluarga terdekat mereka. Namun tehnik pencahayaan hanya menampilkan/memperkuat setting acara akad nikah yang terdapat dalam scene film tersebut, tetapi tidak menggambarkan/memperjelaskan kekerasan yang terjadi dalam scene tersebut.


(72)

Pada gambar diatas pencahayaan yang digunakan cukup terang, hal ini menunjukkan keadaan masjid tidak terlalu mewah hanya orang-orang terdekat saja yang menyaksikan acara tersebut

4.2.3 Dalam Level Ideology

Level ideology dimana pengorganisasian kode-kode tersebut terdapat

dalam suatu kesatuan (coherence) dan penerimaan social (social

acceptability), seperti: kelas, patriarki, ras, feminisme, maskulinitas,

matrealisme, kapitalisme, liberalisme,dan lainnya.

Dalam level ini peneliti menemukan salah satu contoh dari level ideology yaitu Feminisme.


(73)

Feminisme adalah suatu bentuk aura yang ditonjolkan oleh seorang perempuan yang dapat tercemin dari diri seseorang itu sehingga dapat menarik perhatian seorang lelaki.

Visual : Pantai

Scene 9 Terlihat Anissa merenung menenangkan diri di pantai Analisis:

Disini terlihat pakaian yang dipakai oleh Anissa terlihat biasa tetapi memiliki unsur feminisme ini terlihat dari gaya busana yang tidak memperlihatkan lekukan bentuk tubuh Anissa bahkan yang terlihat jelas besarnya baju yang digunakan oleh Anissa. Dan terlihat Anissa menggunakan bawahan rok sehari-hari. Anissa sejak kecil di didik dengan orang tuanya


(74)

menggunakan pakaian yang khusus perempuan jadi Anissa tidak pernah menggunakan celana dalam kehidupan sehari-hari.


(75)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari film Perempuan Berkalung Sorban yang saya amati adalah:

Bentuk kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dan kekerasan itu berupa kekerasan fisik dan kekerasan psikologis. Dalam film ini dijelaskan bahwa tokoh Anissa yang merupakan gadis yang pandai dan cerdas sejak kecil dididik oleh ayahnya yang merupakan Kyai sebuah Pesantren Putri yang berada di daerah Jawa Timur.

Dari setiap tampilan-tampilan adegan peneliti dapat melihat tanda-tanda yang disampaikan pesan akan adanya kekerasan yang dilakukan oleh kaum laki-laki terhadap perempuan, karena ada perundang-undangan yang melindungi perempuan dari tindak kekerasan perempuan baik secara fisik maupun psikologis. Dalam film ini ditampilkan gambar melalui aktifitas-aktifitas yang bermakna simbolik. Penggambaran adegan diambil hanya beberapa scene dalam film yang mengandung unsure-unsur kekerasan yang dilakukan oleh kaum laki-laki terhadap perempuan.

Dalam scene-scene tersebut divisualisasikan bagaiman kekerasan tersebut ditampilkan oleh tokoh Syamsudin terhadap Anissa yang merupakan istri tersangka. Sifat dari Syamsudin yang suka sekali melakukan tindak kekerasan pada Anissa lah yang membuat tekanan batin yang dirasakan oleh


(76)

Anissa dan menimbulkan trauma Anissa terhadap laki-laki. Tampilan kekerasan yang ada tidak hanya terpaku pada kontak fisik antara laki-laki dengan perempuan, namun terkait dengan perasaan, emosi dan anluri yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari manusia.

Dalam film Perempuan Berkalung Sorban ini menampilkan sebuah tampilan dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan. Tokoh-tokoh dalam film ini dengan karakter yang dimainkan, melalui aktifitas-aktifitas kekerasan yang menjadi representasi kekerasan yang berhasil menyampaikan maksud kepada khalayak.


(77)

5.2 Saran

Representasi Kekerasan dalam film Perempuan Berkalung Sorban ini, beberapa menggunakan bahasa Arab yang ditampilkan. Film maker ini memberikan ruang berpikir bagi khalayaknya untuk memahami makna yang ingin disampaikan pada film tersebut, lebih melalui ekspresi wajah dan sikap yang ditonjolkan melalui beberapa scene yang diambil dengan close up shot.

Peneliti juga melihat tampilan cerita mengenai kekerasan yang dipaparkan sebagai sajian kontak fisik atau hubungan intim namun dapat berupa verbal atau non verbal yang disajikan denagn fenomena yang ada dimasyarakat. Hal ini sesuai dengan kenyataan di masyarakat yang tidak bisa menerima dan menpertentangkan hubungan kekerasan terhadap perempuan.


(78)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Dewan Film Nasional, 1994, Apresiasi Film Indonesia, Jakarta : Dewan Film Nasional.

Fiske, John, 2006, Cultural and Communication Studies, Yogyakarta : Jalasutra. Sobur, Alex, 2003, Semiotika Komunikasi, Bandung : Rosdakarya.

Moleong, Lexy, 1998, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya Fiske, John. (2004) Cultural and Communication Studies. (Yusal Irantara dan

Subandy Ibrahim Trans)Yoyakarta dan Bandung : Remaja Rosdakarya.

Hall Calvins S, Lindzey Gardner, 1993, Teori-teori Psikodinamik (Klinis), Yogyakarta : Kanisius.

NON BUKU :

http://id.wiki.detik.com/wiki/Tindakan_Kekerasan http://www.apakabar.ws/viewtopik.php

http://kunci.or.id/esai/04.representasi.htm


(79)

LAMPIRAN

Kekerasan fisik :

Scene 1 Saat Anissa ditampar oleh ayahnya saat dia keluar dari pesantren

Scene 2 Saat Anissa dicekik oleh suaminya saat memecahkan gelas Saat Anissa dicekiki oleh suaminya karena tidak mau melayani nafsu suaminya


(1)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Dewan Film Nasional, 1994, Apresiasi Film Indonesia, Jakarta : Dewan Film Nasional.

Fiske, John, 2006, Cultural and Communication Studies, Yogyakarta : Jalasutra. Sobur, Alex, 2003, Semiotika Komunikasi, Bandung : Rosdakarya.

Moleong, Lexy, 1998, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya Fiske, John. (2004) Cultural and Communication Studies. (Yusal Irantara dan Subandy Ibrahim Trans)Yoyakarta dan Bandung : Remaja Rosdakarya. Hall Calvins S, Lindzey Gardner, 1993, Teori-teori Psikodinamik (Klinis), Yogyakarta : Kanisius.

NON BUKU :

http://id.wiki.detik.com/wiki/Tindakan_Kekerasan http://www.apakabar.ws/viewtopik.php

http://kunci.or.id/esai/04.representasi.htm


(2)

LAMPIRAN

Kekerasan fisik :

Scene 1 Saat Anissa ditampar oleh ayahnya saat dia keluar dari pesantren

Scene 2 Saat Anissa dicekik oleh suaminya saat memecahkan gelas Saat Anissa dicekiki oleh suaminya karena tidak mau melayani nafsu suaminya


(3)

Scene 3 Saat Anissa dicekik karena tidak boleh bergaul dengan tetangga

Scene 4 Anissa dicekik oleh Syamsudin saat tidak mw melayani nafsu Syamsudin


(4)

Scene 5 Saat Anissa dituduh oleh suaminya berzina didepan pondok pesantren

Kekersan Psikologis :

Scene 6 Saat Anissa memulai Lembaran baru dengan menikah kembali dengan pilihannya sendiri


(5)

Scene 7 Anissa masih trauma dengan perlakuan suaminya yang dahulu sehingga dia mendapat tekanan batin saat berhubungan dengan suaminya.

Kostum dan Make up


(6)

Level Ideologi