Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 10
Untuk mendapatkan fakta yang akurat, bagaimana Rasûlullâh saw. sangat
menghargai ikhtilâf,
nampak jelas
sikapnya ketika
menyikapi perselisihan shahabat dalam kasus larangan shalat sebelum sampai di
perbatasan Bani Quraizhah pada waktu perang Ahzâb. Rasûlullâh saw. berkata: “Janganlah kalian menunaikan shalat ‘ashar sebelum sampai di
perbatasan Bani Quraizhah.” Ternyata hingga matahari terbenam, kaum
muslimin belum juga sampai di Bani Quraizhah. Akhirnya, sebagian mereka shalat di jalan dan sebagian yang lain tidak. Namun rasûlullâhh saw. tidak
menyalahkan keduanya.
Golongan pertama
berpegang kepada
‘ibaratun nash’ dan golongan yang kedua beristinbath dari nash yang khusus.
17
Adapun pelajaran yang dapat diambil dari sikap rasûlullâh saw. adalah: selama perbedaan pendapat ikhtilâf itu dalam rangka ijtihad yang
sehat, maka orang boleh mengikuti salah satu pendapat itu. Yang jelas, kedua pendapat itu didorong oleh rasa keimanan, ketakwaan dan keridhaan-Nya.
18
E. Al-Jarh Wa At-Ta’dil
Para ahli hadits telah maksimal dalam berusaha menjaga dan membersihkan hadits-hadits Nabi saw dari tangan-tangan kotor yang hendak
merusak dan memalsukan hadits-hadits beliau. Mereka telah sepakat bahwa untuk menilai kualitas sebuah hadits, terlebih dahulu harus dilihat dari segi
matan dan sanadnya. Dalam hubungannya dengan penelitian sanad, yang harus diteliti adalah rangkaian atau persambungan sanad dan keadaan pribadi
periwayat rawi hadits yang meliputi tentang keadilan dan kedhabithannya. Sehingga dapat diketahui kualitas perowi hadits yang nantinya dapat menjadi
perimbangan apakah hadits yang diriwayatkannya itu di terima atau ditolak. Menurut Imam Nahrawi, jarh dan ta’dil sebagai upaya pemeliharaan
syari’at Islam bukanlah ghibah ataupun umpatan. Akan tetapi, hal itu
17
http:blog.umy.ac.idsebab-sebab-terjadinya-perbedaan-pendapat-para-ulama
18
Thaha Jabir Fayyadh, al ‘Ulwani dalam Adâbul Ikhtilâf fil Islâm terj. hal. 34
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 11
merupakan nasehat karena Allah, Rasul, dan kaum muslimin. Dengan demikian, jarh dan ta’dil hukumnya boleh, bahkan secara sepakat dihukumi
sebagai kewajiban. Lebih dari itu dasar al-
jarh wa ta’dil sendiri juga telah digariskan oleh Allah dalam al-Quran dan maupun sunnah Nabi, di antaranya surat al-
Hujurat ayat 6 :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu
orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
19
Kegiatan kritik hadits sebagai upaya untuk membedakan yang benar dan yang salah, yang maqbul dan yang mardud, benih-benihnya telah
dimulai sejak zaman Nabi Muhammad saw, tetapi pada waktu itu hanya terbatas
pada kritik
matan an-naqd
ad-dakhili dengan
cara mengkorfirmasikan apa yang telah diterima sahabat yang lain kepada Nabi
untuk membuktikan bahwa apa yang diterimanya itu benar dari beliau. Atau dengan cara membandingkannya dengan hadits lain atau dengan ayat al-
Quran. Kemudian pada masa shahabat, kegiatan kritik hadits tidak terbatas
pada matan saja, tetapi sudah mulai pada kritik sanad hadits an-naqd al- khariji. Di antara para shahabat yang merintis sanad hadits adalah Abu
Bakar, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Abdullah bin Umar, juga Ibnu Abbas dan Ubadah bin Shamit. Kritik terhadap sanad ini terutama
19
Surat Al-Hujurat ayat 6
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 12
setelah terjadinya al-fitnah al-kubra bencana besar dengan terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan 61 H dan peperangan antara Ali bin Abi Thalib
dengan Muawiyah
yang menimbulkan
perpecahan di
kalangan kaum
muslimin. Pada masa inilah baru diletakkan asas-asas dan kaedah-kaedah ilmu
jarh wa ta’dil sebagai ilmu yang membahas tentang kritik hadits dari sanadnya.
Sikap kritis para shahabat dalam meriwayatkan hadits dilanjutkan oleh kalangan tabi’in. di antara mereka yang ahli dalam bidang karakteristik
hadits dapat disebutkan seperti Said bin Musayyab w. 93 H, Amr as- Sya’bi
w. 103 H, Muhammad bin Sirin w. 110 H, juga ulama berikutnya seperti Syu’bah bin Hajjaj 82-160 H, al-Awza’I 88-158, Malik bin Anas 93-179
H, Yahya bin Said al-Qattan w. 198 H, dan Abdurrahman bin al-Mahdi 135-198 H. orang pertama yang menghimpun pembicaraan mengenai jarh
wa ta’dil adalah Yahya bin Said al-Qattan. Pada abad kedua hijriyah ini, ilmu jarh wa ta’dil belum dibukukan, tetapi baru merupakan penyempurnaan dari
dasar-dasar yang telah diletakkan pada masa sebelumnya. Sifat-sifat yang Menyebabkan Seorang Perawi Dinilai Jarh. Seorang
perawi hadits dapat tidak diterima periwayatannya manakala terdapat satu sifat atau beberapa sifat yang dapat menggugurkan keadilannya, sifat-sifat
terebut di antaranya : Dusta, Tertuduh berbuat dusta, Fasik melanggar ketentuan syara’, Jahalah perawi hadits itu tidak diketahui kepribadiannya,
apakah ia sebagai orang yang tsiqah atau tercacat, Ahli bid’ah perawi yang
tergolong melakukan bid’ah, dalam hal i’tikad yang menyebabkan ia kufur, maka riwayatnya ditolak.
20
Adanya perbedaan
ulama ahli
kritik hadits
dalam menetapkan
pembagian peringkat, pengkelompokkan dan penggunaan lafadz-lafadz jarh dan ta’dil serta penetapan kualitas tertentu dikarenakan perbedaan tersebut
20
Abu Lubabah Husain, al-Jarh wa at- Ta’dil, Riyadh: Dar al-Liwa’, 1979, hlm. 21-22.
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 13
merupakan konsekuensi dari perbedaan sikap dan tingkat pengenalan mereka terhadap kepribadian seorang periwayat. Mereka ada yang bersikap ketat
tasyaddud, ada yang longgar tasahul, dan ada yang bersikap longgar dan ketat tawassuth. Akan tetapi mereka sangat berhati-hati dalam menentukan
penilaian kualitas terhadap periwayat. Tingkatan ta’dil, Untuk mempermudah penjelasan kita akan bahas
mulai dari ulama yang mengelompokkan menjadi 4 tingkatan, lebih jelasnya lihat table berikut :
21
Tingkatan Ar-Razi Ibnu as-Shalah Imam Nawai 1.
Tsiqah, muttaqin. Tsiqah, muttaqin, Dhabith, hafidz, hujjah, tsabata. Tsiqah, muttaqin, Hafidz, ‘adl, dhabith, hujjah, tsabata.
2. La ba’tsa bihi, mahalluhu as-shidqu, shaduq. La ba’tsa bihi,
mahalluhu as- shidqu, shaduq. La ba’tsa bihi, mahalluhu as-shidqu,
shaduq. 3.
Syaikh. Syaikh. Muqarrib al-hadits, rawa anhu an-nasu, wasatha. 4.
Shalih al-hadits. Shalih al-hadits. Shalih al-hadits. Tabel untuk ulama yang membagi tingk
atan ta’dil menjadi 5 tingkatan: Tingkatan adz-Dzahabi al-Iraqi al-Harawi
1. Tsabat hujjah, tsabat hafidz, tsabat muttaqin, tsiqah tsiqah. Tsabat
tsabat, tsiqah hujjah, tsiqah tsabat, tsiqah ma’mun, tsiqah tsiqah Atsbatu an-nas, awtsatu an-nas.
2. Muttaqin, tsabat. Tsiqah. Muttaqin, tsabat. Tsiqah, Hujjah, hafidz.
Tsiqah tsiqah, tsiqah tsabat, tsabat hujjah, tsiqah muttaqin, tsabat hafidz, adl, dhabith.
3. Laysa bihi ba’sun, shaduq. Muqaribu al-hadits, hasan al-hadits,
shalih al-hadits Khayr, mahaluhu as- shidqu, ma’mun.
21
Muhammad Abu Rayyah, Adwa’ Ala as-Sunnah al-Muhammadiyah, Juz I Cet.
III, Mesir: Dar al- Ma’arif, tt, hlm. 348.
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 14
4. Wasath syaikh, syaikh wasath, hasan al-hadits, jayyid al-hadits,
mahalluhu as-shidqu,
shalih al-hadits.
Wasath, syaikhu,
syaikh wasath, mahalluhu as-shidqu. Muqarib al-hadits, rawa anhu an-nasu,
syaikh, hasan al-hadits, jayyid, jayyid al-hadits. 5.
Arju an la ba’sa bihi, shuwailih, shaduq insya Allah. Laisa bihi ba’sun, la ba’sa bihi, khiyar, shaduq, ma’mun. Shuwailih wasath, arju
an la ba’sa bihi, shalih al-hadits.
Tabel untuk ulama yang membagi tingk atan ta’dil menjadi 6 tingkatan:
Tingkatan Ibnu Hajar al-Asqalani dan as-Suyuthi 1.
Atsbatu an-nas, awtsaqu an-nas, fulan yusalu anhu, min mitsli fulanin, la atsbata minhu faqwa as-tsiqah, ilaihi al-muntahi fi at-tasbit.
2. Tsabat hujjah, tsiqah ma’mun, hafidz hujjah, tsabat tsiqah, hujjah
hujjah, tsabat tsabat, tsiqah tsiqah. 3.
Dahbith, hafidz, hujjah, tsabat, tsiqah. 4.
Khiyar, laba’sa bihi, ma’mun, shaduq. 5.
Wasath syaikh, muqarib, hasan al-hadits, jayyid al-hadits, rawaw ‘anhu, mahalluhu as-sidqu, sahdiq al-hadits, shaduq taghayyara bi-
akhirihi, sayyi’u al-hifdzi, shaduq su’a al-hifdzi, shaduq yukhti’u,
shaduq lahu awhamu, shaduq insya Allah. 6.
Maqbul, arju an la ba’sa bihi, shuwailih. Setelah memperhatikan tabel yang menunjukkan perbedaan di atas,
lebih mudahnya kita kelompokkan tingkatan ta’dil sebagai berikut :
22
1 Tingkatan Pertama.
Yang menggunakan be ntuk superlatif dalam penta’dilan, atau dengan
menggunakan wazan af’ala dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : “Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan”
22
Muhammad Mustofa Azami, Studies in Hadith Metodology and Literature, diterjemahkan oleh A. Yamin dengan judul, Metodologi Kritik Hadits, Cet. II, Bandung:
Pustaka Hidayah, 1996, hlm. 82.
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 15
atau “Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya” atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”.
2 Tingkatan Kedua
Dengan menyebutkan
sifat yang
menguatkan ketsiqahannya,
ke ‘adilannya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh
maupun dengan makna; seperti: tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya ma’mun, atau tsiqah dan hafidh.
3 Tingkatan Ketiga
Yang menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu, seperti : tsiqah, tsabt, atau hafidh.
4 Tingkatan Keempat
Yang menunjukkan adanya ke‘adilan dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti: Shaduq
, Ma’mun dipercaya, mahalluhu ash-shidq ia tempatnya kejujuran, atau laa
ba’sa bihi tidak mengapa dengannya. Khusus untuk Ibnu Ma’in kalimat
laa ba’sa bihi adalah tsiqah Ibnu Ma’in dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia
ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsqahan perawi tersebut. 5
Tingkatan Kelima Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti:
Fulan Syaikh
fulan seorang
syaikh, ruwiya ‘anhul-hadiits
diriwayatkan darinya
hadits, atau
hasanul-hadiits yang
baik haditsnya.
6 Tingkatan Keenam
Isyarat yang
mendekati celaan
jarh, seperti:
Shalihul-Hadiits haditsnya lumayan, atau yuktabu hadiitsuhu ditulis haditsnya.
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 16
Tingkatan jarh, Para ulama ahli kritik hadits juga berbeda pendapat dalam penggunaan lafal pada setiap tingkatan jarh, seperti halnya perbedaan
ulama’ dalam pengunakan lafal pada tingkatan ta’dil. Lebih jelasnya lihat table berikut: Tabel untuk pembagian jarh dalam empat tingkatan. Tingkatan
Ar-Razi, Ibnu as-Shalah dan Imam Nawawi 1.
Kadzdzab, matruk, dzahib al-hadits. 2.
Dhaif al-hadits. 3.
Laisa bi quwwah. 4.
Layyin al-hadits. Tabel untuk pembagian jarh dalam lima tingkatan. Tingkatan adz-Dzahabi
al-Iraqi al-Harawi 1.
Wadha’a, wadhdha’, dajjal, kadzdzab, yadha’u al-hadits. Yakdzabu, yadha’u, wadha’a, wadhdha’, dajjal, kadzdzab. Akdzabu an-nas,
afsaqu an- nas, kadzdzab, yakdzabu, wadhdha’, dajjal, yadha’u al-
hadits. 2.
Muttafaq ala tarkihi, muttahim bi al-kadzdzab. Saqith la yu’tabaru, fi
hi nadzrun, sakatu ‘anhu, halik, laisa bi tsiqah, dzahib, matruk, muttahim bi al-kadzdzab. Halik fihi nadzrun, muttahim bi al-
wadhdha’, dzahib, dzahib al-hadits, matruk, matruk al-hadits, muttahim bi al-kadzdzab, gairu tsiqah, laisa bio tsiqah, tarkuhu,
sa katu ‘anhu, saqith, saqith al-hadits.
3. Saqith, halik, matruk, dzahib al-hadits, laisa bi tsiqah, sakatu ‘anhu,
fihi nadzrun. Muthrah bihi, dha’if jiddan, la yusawiy syaiin, wahmun, radd al-hadits. La syaia, irmi bihi, tharahu haditsahu, mardud al-
hadits, radd al-hadits, laisa bi syaiin, la yusawiy syaian. 4.
Laisa bil qawiy, fihi maqal, fihi dhaif, layyin, la yuhtaj, laisa bidzalika, khtalifu fihi, qad dhaifa, yadh’afu fihi, sayyi’u al-hifdzi,
laisa bi hujjatin. Fihi dha’fun, laisa bil qawiy. Fihi dha’fun, laisa bil
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 17
qawiy, takallamu fihi, sayyi’ul hifdzi, tha’auhu, fihi khilafun, laisa bi al-mardha, laisa bi umdatin, laisa bi al-matn, laisa bi hujjatin, laisa
bi dzalika, laisa bil qawiy, fihi haditsuhu dha’fun. 5.
takallama fihi, tu’rafu wa tunkaru, shaduq lakinahu mubtadi’un. Layyin. layyin, layyin al-hadits.
Tabel untuk pembagian jarh dalam enam tingkatan. Tingkatan Ibnu Hajar al-Asqalani dan as-Suyuthi
1. Akdzabu an-nas, awdha’u an-nas, munbi’ul kadzib, ilaihi al-muntahi
al- wadh’i.
2. Wadhdha’, dajjal, kadzdzab.
3. Muntahim bil kadzdzab, tarakuhu, matruk, sakatu ‘anhu, la yu’tabar
haditsuhu, la yu’tabar bihi, saqith, dzahib, halik, matruk al-hadits, mttahim bi al-
wadh’I, ghairu ma’mun, ghairu tsiqah. 4.
Layusawi syaian, dhaif jiddan, laisa bi syaiin, mardud al-ahdits, raddan haditsuhu, wahin, irmi bihi, mathruh al-hadits.
5. Majhul, haditsuhu mudhtharib, mudhtharib al-hadits, munkir al-
hadits, dha’afuhu, dha’ifun. 6.
Layyin, laisa bi al-qawiy, dhaif al-hadits, dha’fun, fi haditsihi dha’fun, saiyi’u al-hifdzi, maqal fihi, fihi haditsuhu maqal, yunkar wa
yu’raf, fihi khilafun, akhtalifu fihi, lisa bi a-matni, laisa bi hujjatin,
laisa bi al- ‘abdi, laisa bi dzalika, las bi al-mardha, lasa bi dzalika al-
qawiy, tha’anu fihi, takallamu fihi, ma a’lamu bihi ba’san, arju anal
ba’sa bihi.
23
Imu Jarh wa ta’dil merupakan sebagian ilmu kritik sanad yang
membahas keaadaan
periwayat hadits,
baik kualitas
pribadi maupun
kapasitas intelektualnya. Oleh karena itu ilmu ini sangat penting untuk menetukan kualitas suatu hadits. Maka untuk memperoleh hasil penelitian
23
Nur ad-din, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits, Cet III, Damaskus: Dar al-Fikr, 1992, hlm. 92
Awal Perbedaan Ulama Dalam menilai Status Hadis 18
yang lebih
obyektif dan
mendekati kebenaran
haruslah dikembangkan
penelitin dan kritik tidak hanya kepada periwayat hadits saja, tetapi perlu memperhatikan ulama ahli kritik hadits itu sendiri dari segi kualitas
pribadinya dan kapasitas intelektualnya.
F. Kesimpulan