Umpan Balik dan Tindak Lanjut
Modul Guru Pembelajar Bahasa Indonesia SMP Kelompok Kompetensi Profesional G 41
memperlihatkan bahwa pembahasan aspek-aspek drama dalam dua pengertian drama di atas berbeda. Aspek yang dibahas atau materi utama
pada text-play adalah: a premis tema, b watak, dan c plot, sedangkan pada pementasan adalah: a naskah, b pelaku, c pentas, d perlengkapan
pentas, e tata busana pakaian, f tata rias, g cahaya, h dekorasi, dan i musik bandingkan dengan Syam, 1984:17.
Rumusan tentang perbedaan kedua pemikiran di atas dapat juga dibandingkan dengan pendapat Martoko 1984:158 yaitu dalam
pembatasannya tentang pengertian
pementasan. Ia menyatakan
pementasan itu merupakan sebuah sintesa dan mengimbau pada beberapa indera sekaligus.
Mengapresiasi Drama sebagai Karya Sastra
Seperti halnya puisi dan prosa, drama sebagai karya sastra perlu diapresiasikan lewat pembacaan terhadap naskahnya. Pengertian
apresiasi dalam drama sama dengan apresiasi sastra lainnya, yaitu merupakan penaksiran kualitas karya sastra serta pemberian nilai yang
wajar kepadanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang jelas, sadar, serta kritis.
Kalau demikian halnya, layaklah drama sebagai karya sastra merupakan hal yang utama untuk didekati, dipahami, ditelaah, dan diapresiasi. Dari
pengapresiasian naskah yang dilakukan akan diperoleh pengalaman. Pengalaman inilah yang akhirnya kita hubungkan dengan keadaan
sebenarnya di luar drama. Akhirnya ditemukanlah suatu perubahan nilai- nilai dalam diri. Pementasan tidak lagi diterima sebagai penentu nilai
sebuah drama. Yang menentukan adalah proses apresiasi sendiri sebagai pembaca. Dalam hal ini menurut Damono 1983:150 adalah:
Kita bisa saja mendapatkan pengalaman dengan hanya membaca drama; ... Dan kita juga berhak berbicara tentang drama sebagai karya sastra.
Itulah alasan mengapa drama diedarkan dalam bentuk buku, mengapa Martin Esslin menulis tentang drama absurd, Francis Fergusson menulis
The Human Image in Dramatic Literature. Helen Cardner membicarakan
42 Modul Guru Pembelajar Bahasa Indonesia SMP Kelompok Kompetensi Profesional G
Murder in the Cathederal. T.S. Elliot dalam The Art of T.S. Elliot, dan seterusnya.
Sampainya seseorang
dalam mengapresiasikan
naskah drama
memerlukan suatu proses. Proses ini membutuhkan seperangkat perlengkapan. Ini dibutuhkan bukan saja untuk memahami maksud dan
pesan pengarang, tetapi juga untuk memahami bagaimana pengarang secara estetik menyampaikan maksud dan pesannya itu.
Berbagai teori digunakan untuk mengapresiasikan karya sastra drama itu. Kita kenal struktur dramatik Aristoteles. Titik pangkalnya adalah rumusan
tentang karya sastra drama yang baik biasanya memiliki alur cerita yang berbentuk piramida, diawali dengan unsur eksposisi, dilanjutkan dengan
komplikasi, memuncak pada klimaks, menurut kembali pada resolusi, dan berakhir pada konklusi.
Teori lain adalah yang bertitik-tolak dari tokoh utama cerita atau ada juga yang menggunakan teori strukturalistik yang dikembangkan oleh Etienne
Sourlau. Teori ini mendekati karya sastra drama dari sisi fungsi-fungsi yang terdapat di dalamnya. Namun demikian, karena drama adalah bagian dari
seni sastra dan seni peran maka proses apresiasinya bertolak dari intuitif. Dalam hal ini Saini K.M. 1965:55 berpendapat:
Pada dasarnya semua karya seni adalah pengetahuan intuitif. Makna karya seni hanya dapat dipahami melalui pikiran, perasaan, dan khayalan
sekaligus, dengan kata lain, dengan intuisi. Namun di dalam upaya memahami makna karya seni, kegiatan pikiran intelek, rasio, perasaan
emosi, daya khayal imajinasi tidak senantiasa seimbang. Kadang- kadang pikiran menonjol perannya, kadang-kadang perasaan, kadang-
kadang khayal. Di dalam menghadapi karya sastra drama dari gaya realisme, misalnya, intelek kita lebih banyak bekerja dibanding dengan
khayal; di dalam jenis melodrama, perasaan cenderung lebih dipancing untuk giat oleh sastrawannya.
Menyikapi pendapat di atas, sebagai seni peran atau teater, sastra drama telah melalui proses intuitif dari sutradara. Sastra drama itu telah diolah
dalam bentuk penafsiran, pemotongan cerita yang kurang menunjang, atau