Pengaruh Iradiasi dan Suhu Terhadap Perubahan Kesegaran Cabai Merah (Capsicum annum L.) Selama Penyimpanan

PENGARUH IRADIASI DAN SUHU TERHADAP
PERUBAHAN KESEGARAN CABAI MERAH (Capsicum
annum L.) SELAMA PENYIMPANAN

NURUL AGUSTINA CHANDRADEWI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Iradiasi dan
Suhu Terhadap Perubahan Kesegaran Cabai Merah (Capsicum annum L.) Selama
Penyimpanan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2014
Nurul Agustina Chandradewi
F24090042

ABSTRAK
NURUL AGUSTINA CHANDRADEWI. Pengaruh Iradiasi dan Suhu Terhadap
Perubahan Kesegaran Cabai Merah (Capsicum annum L.) Selama Penyimpanan.
Di bimbing oleh FAHIM M TAQI dan SUNARMANI.
Cabai merah (Capsicum annum L.) merupakan salah satu tanaman
hortikultura yang mudah rusak dan banyak digunakan sebagai perasa makanan di
Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan penerapan teknologi pasca panen yang
tepat untuk menjaga kualitasnya . Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh
iradiasi (0, 500, dan 1000 gray) dan suhu penyimpanan (10 oC dan 30 oC)
terhadap kualitas dan umur simpan cabai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dosis iradiasi 500 dan 1000 gray tidak berpengaruh nyata terhadap susut bobot,
warna, tekstur cabai selama penyimpanan. Untuk penelitian selanjutnya
disarankan menggunakan dosis iradiasi yang lebih rendah dari 500 gray untuk
mempertahankan kesegaran cabai merah.

Kata kunci: iradiasi, penyimpanan, umur simpan, kualitas, cabai merah

ABSTRACT
NURUL AGUSTINA CHANDRADEWI. Effect of Irradiation and Temperature
on Red Chili Freshness (Capsicum annum L.) During Storage. Supervised by
FAHIM M TAQI and SUNARMANI
Red chili (Capsicum annum L.), a perishable horticultural products, is one
of the widely used food flavourings. Therefore, the application of suitable
postharvest technologies to maintain quality is required. The aim of this research
is the effects of different irradiation dose (0, 500 and 1000 gray) and storage
temperature (10 oC and 30 oC) on red chili quality and shelf life. Results showed
that the irradiation dose at 500 and 1000 gray did not affect weight loss, color,
texture of chili during storage. It is justifiable to use the irradiation dose below
500 gray for future research.
Keywords: irradiation, storage, shelf life, quality, red chili

PENGARUH IRADIASI DAN SUHU TERHADAP
PERUBAHAN KESEGARAN CABAI MERAH (Capsicum
annum L.) SELAMA PENYIMPANAN


NURUL AGUSTINA CHANDRADEWI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Pengaruh Iradiasi dan Suhu Terhadap Perubahan Kesegaran Cabai
Merah (Capsicum annum L.) Selama Penyimpanan
Nama
: Nurul Agustina Chandradewi
NIM
: F24090042


Disetujui oleh

Dr. Fahim M Taqi, STP., DEA
Pembimbing I

Ir. Sunarmani, MS
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Pengaruh Iradiasi dan Suhu Terhadap Perubahan Kesegaran Cabai

Merah (Capsicum annum L.) Selama Penyimpanan”.
Penelitian dan penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan bantuan
dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak terkait:
1. Bapak Sutardi, Ibu Purwati, Kakak-kakak Retno Puji Rahayu, Sri Indah
Permatasari, Agus Tri Laksono, Abang Ganda, serta Rio, Ryan, dan Bagas
yang telah memberi do’a, kasih sayang, nasehat, motivasi dan semangat yang
tak pernah henti.
2. Bapak Dr. Fahim M Taqi, STP., DEA selaku pembimbing skripsi dan dosen
semasa kuliah yang telah mengarahkan dan banyak memberi saran dalam
penyusunan skripsi ini.
3. Ibu Ir. Sunarmani, MS selaku pembimbing kedua dan peneliti dari Balai Pasca
Panen yang telah memberi wawasan selama penelitian berlangsung.
4. Bapak Dr-Ing. Dase Hunaefi, STP., MFoodST yang telah meluangkan waktu
untuk menguji hasil penelitian ini serta memberi banyak masukkan.
5. Bapak Dondy selaku peneliti dari Balai Pasca Panen yang selalu meluangkan
waktu untuk berdiskusi dan memberi banyak wawasan yang bermanfaat.
6. Balai Besar Penelitian Pasca Panen yang telah menyediakan tempat dan
mendanai penelitian ini sebagai kerjasama dalam penyusunan skripsi.
7. Pak Idris, Pak Tri, Pak Asep, Pak Sis, Pak Ayung, Bu Hikmah, Bu Dini, dan

teknisi lainnya. Terimakasih atas bantuan tenaga dan waktunya serta saran dan
bimbingan selama penelitian berlangsung.
8. Teman-teman seperjuangan: Ani, Via, dan Yora yang selalu bersama selama
masa-masa kuliah dan praktikum.
9. Teman-teman ITP 46, golprak P2, terima kasih atas kerjasama dan
kebersamaannya selama kuliah.
10. Seluruh rekan yang membantu dalam analisis dan menjadi panelis dalam
penelitian ini.
11. Seluruh pegawai Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas bantuan yang
telah diberikan.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangannya.
Akan tetapi, penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan
Ilmu dan Teknologi Pangan selanjutnya. Terima kasih.
Bogor, April 2014
Nurul Agustina Chandradewi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL


viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian


2

METODE

2

Bahan

2

Alat

2

Metode Penelitian

2

Pemanenan dan pengemasan


3

Iradiasi dan penyimpanan

3

Rancangan percobaan

4

Analisis
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan kimiawi

5
7
8

Susut bobot


10

Warna

12

Tekstur

17

Masa simpan

20

SIMPULAN DAN SARAN

23

Simpulan


23

Saran

23

DAFTAR PUSTAKA

24

LAMPIRAN

26

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.

Tabel 1 Kandungan kimia cabai merah varietas amro
Tabel 2 Nilai L*, a*, b* cabai varietas amro H0
Tabel 3 Hasil uji organoleptik cabai merah selama penyimpanan
Tabel 4 Perkiraan umur simpan cabai varietas amro
DAFTAR GAMBAR

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.

Gambar 1 Diagram alir prosedur penelitian
Gambar 2 Susut bobot cabai kontrol selama penyimpanan
Gambar 3 Susut bobot cabai iradiasi 500 gray selama penyimpanan
Gambar 4 Susut bobot cabai iradiasi 1000 gray selama penyimpanan
Gambar 5 Penampakan visual cabai varietas Amro
Gambar 6 Nilai L cabai kontrol selama penyimpanan
Gambar 7 Nilai L cabai iradiasi 500 gray selama penyimpanan
Gambar 8 Nilai L cabai iradiasi 1000 gray selama penyimpanan
Gambar 9 Nilai a cabai kontrol selama penyimpanan
Gambar 10 Nilai a cabai iradiasi 500 gray selama penyimpanan
Gambar 11 Nilai a cabai iradiasi 1000 gray selama penyimpanan
Gambar 12 Nilai b cabai kontrol selama penyimpanan
Gambar 13 Nilai b cabai iradiasi 500 gray selama penyimpanan
Gambar 14 Nilai b cabai iradiasi 1000 gray selama penyimpanan
Gambar 15 Contoh kurva pengukuran tekstur cabai menggunakan instrumen
Brookfield CT3 Tekstur Analyzer
Gambar 16 Tekstur cabai kontrol selama penyimpanan
Gambar 17 Tekstur cabai iradiasi 500 gray selama penyimpanan
Gambar 18 Tekstur cabai iradiasi 1000 gray selama penyimpanan
Gambar 19 kurva penentuan batasan kritis umur simpan cabai

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Lampiran 1 Perubahan susut bobot cabai selama penyimpanan (g)
Lampiran 2 Perubahan warna cabai selama penyimpanan
Lampiran 3 Hasil uji statistik warna cabai selama penyimpanan variabel L
Lampiran 4 Hasil uji statistik warna cabai selama penyimpanan variabel a
Lampiran 5 Hasil uji statistik warna cabai selama penyimpanan variabel b
Lampiran 6 Perubahan tekstur (nilai kekerasan dalam g) cabai selama
penyimpanan
Lampiran 7 Hasil uji statistik tekstur cabai selama penyimpanan
Lampiran 8 Kandungan kimia cabai varietas Amro pada penyimpanan hari
ke-14

9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.

Lampiran 9 Nilai overall cabai kontrol hasil organoleptik pada
penyimpanan 10 oC
Lampiran 10 Nilai overall cabai iradiasi 500 gray hasil organoleptik pada
penyimpanan 10 oC
Lampiran 11 Nilai overall cabai iradiasi 1000 gray hasil organoleptik pada
penyimpanan 10 oC
Lampiran 12 Nilai overall cabai kontrol hasil organoleptik pada
penyimpanan 30 oC
Lampiran 13 Nilai overall cabai iradiasi 500 gray hasil organoleptik pada
penyimpanan 30 oC
Lampiran 14 Nilai overall cabai iradiasi 1000 gray hasil organoleptik pada
penyimpanan 30 oC
Lampiran 15 Perubahan cabai kontrol secara visual selama penyimpanan
Lampiran 16 Deskripsi perubahan visual cabai kontrol selama penyimpanan
Lampiran 17 Perubahan cabai iradiasi 500 gray secara visual selama
penyimpanan
Lampiran 18 Deskripsi perubahan visual cabai iradiasi 500 gray selama
penyimpanan
Lampiran 19 Perubahan cabai iradiasi 1000 gray secara visual selama
penyimpanan
Lampiran 20 Deskripsi perubahan visual cabai iradiasi 1000 gray selama
penyimpanan

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu produk hortikultura yang banyak dihasilkan di Indonesia adalah
cabai. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2012), pada tahun 2009 sampai
2012 produksi cabai di Indonesia diperkirakan mencapai 16,565 juta ton. Cabai
memiliki masa atau umur simpan yang sangat singkat, dimana hanya dapat
bertahan rata-rata 3-5 hari setelah di panen jika di simpan pada suhu ruang.
Selama penyimpanan akan terjadi kerusakan fisiologis akibat adanya proses
respirasi dan transpirasi yang masih berlangsung. Kerusakan juga sering terjadi
akibat adanya serangga ataupun berkembangnya mikroba pembusuk saat
penyimpanan dan transportasi dalam skala besar, tingkatan kerusakan dapat
mencapai 23 % per ton selama distribusi (BPS 2012). Oleh karena itu, sistem
penyimpanan dan transportasi produk hortikultura harus ditingkatkan dengan
melakukan kombinasi treatment pasca panen untuk mengatasi penurunan mutu
yang sangat cepat sehingga kesegaran produk tetap terjaga.
Iradiasi merupakan salah satu teknologi yang dapat digunakan dalam
mempertahankan kesegaran produk hortikultura (Subagyono 2010). Proses
iradiasi dapat menghambat pembelahan sel, sehingga proses kehidupan dalam sel
yang dapat menyebabkan kerusakan produk akan terganggu. Hal ini yang
digunakan sebagai dasar dalam penggunaan iradiasi sebagai teknik untuk
mempertahankan kesegaran produk hortikultura. Hasil penelitian Thomas tahun
1986, menunjukkan bahwa iradiasi dengan dosis 0.2-0.5 kGy dapat menghambat
pembelahan sel buah pisang sehingga proses pematangan buah akan tertunda dua
sampai tiga kali lipat dari pematangan normalnya. Mathur (1968) juga
menyatakan bahwa pada dosis iradiasi 0.2 kGy dapat memperpanjang umur
simpan pisang varietas Cavendish hingga 45 hari jika di simpan pada suhu 19 oC,
dibandingkan dengan pisang non-irradiated yang hanya mampu bertahan hingga
25 hari pada suhu penyimpanan yang sama.
Iradiasi sebenarnya masih menimbulkan kekhawatiran masyarakat yang
menganggap bahwa pangan iradiasi akan meninggalkan residu sehingga tidak
aman untuk di konsumsi. Disisi lain, pada beberapa penelitian menyatakan bahwa
iradiasi dapat menimbulkan perubahan kimia pada bahan pangan walaupun tidak
secara signifikan. Untuk itu, para ahli iradiasi melakukan penelitian secara penuh
terhadap keamanan pangan iradiasi. Hasilnya, pada tahun 1980 gabungan komisi
ahli dari FAO, IAEA, dan WHO menyatakan bahwa iradiasi pangan hingga dosis
10 kGy aman untuk di konsumsi tanpa uji toksisitas (ICGFI 1999). Di Indonesia
sendiri teknologi iradiasi telah dikembangkan sejak tahun 1968 dan mulai
diaplikasikan pada tahun 1987. Untuk menjamin bahwa pangan iradiasi itu aman,
maka pemerintah Republik Indonesia melalui Peraturan Menteri Kesehatan
mengeluarkan PERMENKES No.701/MENKES/PER/VIII/2009 yang berisi
tentang jenis pangan yang dapat di iradiasi, dosis serap maksimum yang diizinkan
dan tujuan iradiasi untuk keamanan pangan iradiasi.
Teknik iradiasi ini akan lebih baik jika dikombinasikan dengan metode
penyimpanan di suhu 10 oC untuk meningkatkan umur simpan. Sistem
pendinginan dalam penyimpanan produk hortikultura pasca panen seperti cabai

2
banyak dilakukan sebagai upaya mempertahankan kesegarannya. Hasil penelitian
Rao et al. (2011) menyatakan bahwa penyimpanan paprika pada suhu rendah
(10oC) dapat menyebabkan kehilangan bobot yang lebih rendah yaitu sebesar 5.40
gram per 100 gram dibandingankan dengan cabai yang di simpan pada suhu ruang
(25oC) sebesar 7.59 gram per 100 gram selama sembilan hari masa simpan.
Di Indonesia ada beberapa penelitian yang dilakukan menggunakan
iradiasi, namun sampai saat ini penelitian mengenai efek kombinasi penyimpanan
suhu rendah dan iradiasi pada cabai belum pernah dilakukan. Melalui penelitian
ini, diharapkan dapat diperoleh informasi tentang pengaruh iradiasi dan suhu
penyimpanan dalam mempertahankan kesegaran cabai merah hingga periode
tertentu.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah 1) mengetahui pengaruh iradiasi dan suhu
penyimpanan terhadap perubahan warna, tekstur, dan umur simpan cabai merah
2) menduga umur simpan cabai yang telah di iradiasi selama penyimpanan.
METODE
Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah cabai merah
varietas amro yang di peroleh dari petani di desa Panjalu, kecamatan Sukamantri,
Karangsari, Ciamis Jawa Barat. Bahan pendukung yang digunakan untuk analisis
kimia antara lain aquades, etanol, acetonitril, I2, larutan amilum, hexane, selenium,
H2SO4, NaOH.
Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Cool Storage suhu 10 oC,
Chromameter Minolta CR-300, Brokfield CT3 Texture Analyzer, HPLC,
Destilator Buchi, kotak karton (28 x 28 x 12 cm) tipe single wall bergelombang,
blender, sudip, labu takar, erlennmeyer, neraca analitik, buret, dan alat-alat untuk
analisis parameter yang di uji. Untuk proses iradiasi digunakan fasilitas irradiator
milik BATAN.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh dosis iradiasi, suhu, dan
lama penyimpanan terhadap parameter warna, tekstur, kadar capsaicin, dan
vitamin C. Pengukuran semua parameter dilakukan secara objektif, khusus untuk
warna dan tekstur juga dilakukan secara organoleptik.

3
Pemanenan dan pengemasan
Cabai merah segar yang digunakan pada penelitian ini di peroleh dari petani
di desa Panjalu. Pemanenan cabai dilakukan pada umur 95-98 hari setelah bibit
cabai di tanam dengan kondisi cabai berwarna merah cerah seluruhnya.
Pemanenan dilakukan dengan memetik cabai merah beserta tangkainya.
Selanjutnya dilakukan proses sortasi untuk memisahkan cabai yang rusak atau
cacat. Setelah sortasi dilakukan, cabai di timbang sebanyak 250 gram dan di
kemas dalam kotak karton gelombang tipe dinding tunggal (single wall). Cabai
yang telah di kemas, di angkut menggunakan mobil berpendingin.
Iradiasi dan penyimpanan
Iradiasi dilakukan sehari setelah pemanenan berlangsung. Iradiasi ini
dilakukan pada dosis 500 Gy dan 1000 Gy menggunakan fasilitas irradiator
BATAN. Setelah di iradiasi, cabai di simpan pada suhu 10 oC dan 30 oC,
kemudian dilakukan pengamatan terhadap beberapa parameter meliputi susut
bobot, kadar capsaicin, kadar vitamin C, tekstur dan warna (objektif), serta uji
organoleptik terhadap warna dan tekstur setiap dua hari sekali selama dua minggu.
Diagram alir prosedur penelitian secara ringkas dapat di lihat pada gambar 1.

Cabai merah
Sortasi
Penimbangan 250gram
Pengemasan dalam karton box
Iradiasi 500 Gy dan 1000 Gy , kontrol
Penyimpanan suhu 10 oC, 30 oC
Pengamatan setiap 2 hari sekali
selama 14 hari penyimpanan
 Susut bobot
 Analisis kadar capsaicin
 Analisis kadar vitamin C
 Warna dan tekstur (objektif)
 Organoleptik warna, tekstur, dan
penerimaan keseluruhan
Gambar 1. Diagram alir prosedur penelitian

4
Rancangan percobaan ( Sudjana 1988)
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) faktorial dengan tiga faktor yaitu, faktor pertama (A) adalah dosis iradiasi
(0, 500 ,dan 1000 Gy), faktor kedua (B) adalah variasi suhu (10 dan 30 oC), dan
faktor ketiga (C) adalah lamanya penyimpanan ( 0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14 hari).
Rancangan percobaan ini digunakan untuk melihat pengaruh dosis iradiasi, suhu,
dan lama penyimpanan terhadap parameter warna dan tekstur cabai yang
mempengaruhi kesegarannya selama penyimpanan. Sesuai dengan rancangan
yang digunakan, maka model matematikanya adalah :
Yijkl = μ + Ai + Bj +Ck+ (AB)ij + (AC)ik+(BC)jk+(ABC)ijk+Kijkl
Keterangan :
Yijkl
μ
Ai
Bj
Ck
(AB)ij
(AC)ik
(BC)jk
(ABC)ijk
Kijkl

: respon setiap parameter yang di uji
: nilai rata-rata yang sesungguhnya
: Pengaruh perlakuan iradiasi ke-i
: Pengaruh perlakuan suhu penyimpanan ke-j
: Pengaruh perlakuan lama penyimpanan ke-k
: Pengaruh interaksi iradiasi ke-i dengan suhu penyimpanan ke-j
: Pengaruh interaksi iradiasi ke-i dengan lama penyimpanan ke-k
: Pengaruh interaksi suhu penyimpanan ke-j dan lama
Penyimpanan ke-k
: Pengaruh interaksi iradiasi dengan suhu dan lama penyimpanan
: Galat percobaan

Analisis umur simpan ( Hough 2010 )
Pengujian umur simpan cabai dilakukan dengan menggunakan uji
penerimaan konsumen oleh 10 orang panelis terlatih. Uji penerimaan ini meliputi
parameter warna, tekstur, dan penerimaan keseluruhan (overall) yang dilakukan
dengan metode rating hedonik menggunakan skala garis 1-15 cm. Cabai di uji tiap
2 hari sekali hingga 14 hari pengamatan. Penentuan umur simpan dilakukan
dengan mencari batasan kritis cabai kontrol yang di simpan pada suhu ruang saat
sudah mulai di anggap rusak atau tidak dapat di terima panelis. Batas kritis ini di
dapat dari nilai rata-rata hasil uji organoleptik atribut overall pada hari dimana
cabai itu mengalami kerusakan secara visual dan sudah tidak di terima oleh
panelis. Penentuan umur simpan didasarkan pada hasil regresi linier penerimaan
cabai oleh panelis selama hari penyimpanan. Hari penyimpanan berada pada
sumbu x dan nilai organoleptik berada pada sumbu y. Nilai y yang menjadi
batasan kritis digunakan sebagai acuan dalam mencari umur simpan (sumbu x)
cabai yang di beri perlakuan iradiasi dan suhu pada persamaan garis masingmasing sampel.

5
Analisis
Susut bobot (AOAC 1994)
Pengukuran susut bobot dilakukan dengan menggunakan timbangan digital.
Penimbangan dilakukan sebelum cabai di simpan (bo) dan setiap interval hari
pengamatan (bt). Selanjutnya susut bobot didapatkan dengan melihat perbedaan
antara bobot awal dan bobot akhir sampel pada interval hari pengamatan terhadap
bobot sampel pada hari pertama sebelum di simpan yang dinyatakan dalam persen
(%). Rumus perhitungan susut bobot adalah sebagai berikut

bo = bobot awal cabai pada penyimpanan hari pertama (g)
bt = bobot cabai pada pengamatan hari berikutnya (g)
Analisis kadar capsaicin (Othman et al. 2011)
Analisis kandungan capsaicin dilakukan dengan instrumen High
Performance Liquid Chromatography (HPLC) varian 940-LC, jenis kolom yang
digunakan C18. Persiapan sampel dilakukan dengan menimbang 5 gram sampel
cabai merah, kemudian dihancurkan dengan blender. Sebanyak 2 gram hancuran
cabai dimasukkan kedalam labu takar 25 ml, kemudian dilarutkan dengan dengan
20 ml larutan etanol 95% kemudian di tera. Suspensi ini kemudian di ekstraksi
dengan meletakkan labu takar dalam waterbath ultrasonic selama 10 menit.
Setelah 10 menit, hasil ekstraksi diletakkan dalam ruang gelap selama 24 jam.
Sebanyak 10 ml supernatan hasil ekstraksi di saring hingga dua kali, yang pertama
di saring dengan kertas saring whatman no.1 dan yang kedua di saring dengan
kertas saring millipore 0.45 mµ. Sebanyak 5 mikroliter larutan sampel hasil
penyaringan diinjeksikan pada kolom menggunakan larutan elusi (fase gerak)
acetonitril : air dengan kecepatan aliran 1.0 ml/min. Hasil larutan elusi di monitor
menggunakan detektor UV vis pada panjang gelombang 254 nm. Konsentrasi
capsaicin dinyatakan dalam satuan mikrogram per gram sampel.
Analisis vitamin C (AOAC 1984)
Analisis kandungan vitamin C dilakukan dengan metode titrasi. Analisis ini
diawali dengan menimbang 10 g sampel yang kemudian dihancurkan dengan
blender. Hancuran cabai tersebut dimasukkan dalam labu takar 100 ml dan
ditambahkan pelarut hingga tanda tera. Setelah itu, larutan tersebut di saring
dengan kertas saring whatman no.1. Sebanyak 25 ml supernatan yang didapatkan
dimasukkan kedalam Erlenmeyer 125ml. Supernatan tersebut kemudian
ditambahkan dengan dua tetes larutan amilum sebagai indikator dan titrasi dengan
larutan I2 hingga larutan berubah warna menjadi biru.

6
Kadar vitamin C di hitung dengan rumus :

Keterangan :
X
: Kadar vitamin C
V
: Volume iod yang digunakan (ml)
N
: Normalitas iod hasil standarisasi
FP : Faktor pengenceran
W
: Berat sampel (gram)
Analisis warna (Jowitt et al. 1987)
Pengukuran warna buah cabai dilakukan menggunakan alat chromameter
minolta CR-300. Beberapa cabai diletakkan pada sebuah papan dan warna cabai di
baca dengan detektor digital yang dinyatakan dalam satuan L∗, a∗, dan b∗. Notasi
L*: 0 (hitam); 100 (putih) menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna
akromatik putih, abu-abu, dan hitam. Notasi a*: warna kromatik campuran merahhijau dengan nilai +a* (positif) dari 0 sampai +80 untuk warna merah dan nilai –
a* (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b*: warna kromatik
campuran biru-kuning dengan nilai +b* (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna
kuning dan nilai –b* (negatif) dari 0 sampai -70 untuk warna biru.
Analisis tekstur
Analisis pengukuran tekstur cabai dilakukan menggunakan Brookfield CT3
Tekstur Analyzer. Prinsip pengukuran tekstur dengan texture analyzer ialah
tekanan / deformation, yaitu mengukur besarnya gaya yang dibutuhkan untuk
menekan sampel hingga patah. Dengan metode kompresi, probe akan bergerak
kebawah perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mm/s menuju bagian tengah buah
cabai yang ditempatkan pada dudukan sampel dengan jarak dudukan 3 cm hingga
cabai patah. Probe yang digunakan pada pengukuran tekstur cabai ialah probe
TA7, probe ini berbentuk pisau. Tingkat kekerasan cabai di pantau sebagai fungsi
dari waktu dan gaya. Out put yang dihasilkan dapat di lihat dalam bentuk grafik,
di mana titik puncak tertinggi dalam grafik merupakan kekerasan cabai yang
terukur.
Organoleptik (Waysima dan Adawiyah 2011)
Pada penelitian ini, uji organoleptik dilakukan menggunakan metode
skoring dengan skala garis. Panelis diminta memberikan penilaian terhadap atribut
tekstur, warna, serta penerimaan cabai secara overall. Panelis yang di ambil
responnya adalah panelis terlatih sebanyak 10 orang. Uji organoleptik ini
dilakukan tiap dua hari sekali selama penyimpanan.

7
a. Tekstur
Uji organleptik terhadap tekstur cabai dilakukan untuk mengetahui
tingkat kerusakan tekstur terhadap kelayakan konsumsi cabai. Beberapa
cabai utuh diletakkan di atas piring kecil. Panelis diminta untuk
mematahkan bagian tengah cabai dan memberikan penilaian pada skala
garis yang di berikan.
Kriteria : Tekstur buah cabai
Sulit di patahkan

Mudah di patahkan

b. Warna
Uji organleptik pada warna cabai dilakukan untuk mengetahui
perubahan warna cabai selama penyimpanan. Beberapa cabai utuh
diletakkan di atas piring. Panelis di minta untuk memperhatikan warna
cabai secara keseluruhan dan memberikan penilaian fisik terhadap warna
cabai pada skala garis yang diberikan.
Kriteria : Warna buah cabai
Coklat

Merah

c. Overall
Uji organleptik pada artibut overall dilakukan untuk mengetahui
penerimaan konsumen terhadap sampel yang diujikan. Beberapa cabai
utuh diletakkan di atas piring. Panelis di minta untuk memperhatikan
penampakan cabai baik dari segi warna buah, adanya pertumbuhan kapang,
warna tangkai, tekstur serta masih layak atau tidaknya cabai di konsumsi
dan memberikan penilaian pada skala garis yang diberikan.
Kriteria : Overall
Tidak suka

Suka

HASIL DAN PEMBAHASAN
Cabai merupakan salah satu tanaman hortikultura yang berasal dari
anggota genus capsicum. Cabai sendiri terdiri dari beberapa jenis, namun di
Indonesia hanya beberapa jenis cabai yang di kenal oleh masyarakat yaitu cabai
besar, cabai keriting, cabai rawit, dan paprika. Cabai yang digunakan dalam
penelitian adalah cabai varietas amro yang tergolong dalam jenis cabai keriting.
Setelah di panen, cabai masih melakukan proses respirasi dalam
mempertahankan sistem fisiologisnya sehingga terlihat segar. Salah satu upaya
dalam mempertahankan kesegaran cabai atau memperpanjang umur simpannya

8
adalah menggunakan teknik iradiasi yang di kombinasikan dengan penyimpanan
di suhu rendah.
Iradiasi pangan merupakan metode penyinaran terhadap pangan dengan
ionisasi untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan, membebaskan
pangan dari jasad renik patogen serta mencegah pertumbuhan tunas (Permenkes
2009). Iradiasi juga dapat dimanfaatkan untuk menunda pematangan beberapa
jenis buah-buahan dan sayuran yang dimungkinkan karena terjadinya perubahan
pada fisiologi jaringan buah atau sayuran. Iradiasi gamma telah direkomendasikan
untuk meningkatkan shelf life pada buah segar seperti pepaya (Paull 1996).
Iradiasi ini diperoleh melalui penggunaan radioisotop Cobalt-60 atau Cesium-137.
Iradiasi pangan menggunakan Co-60 merupakan metode yang banyak digunakan
karena tingkat kebocoran pallet yang rendah (Alatas dkk 2012). Iradiasi
dilaporkan dapat menyebabkan perubahan kimia dalam komponen dinding sel
seperti pektin, selulosa, dan hemi selulosa yang berpengaruh terhadap tekstur
buah blewah yaitu terjadi pelunakan jaringan namun tidak secara signifikan
(Boynton 2004).
Untuk lebih meningkatkan efektifitas dalam memperpanjang umur simpan,
perlakuan iradiasi dapat dikombinasikan dengan penyimpanan suhu rendah.
Menurut Pantastico (1989), penggunaan suhu rendah ini bertujuan untuk
mempertahankan kesegaran cabai dengan penghambatan respirasi selama
penyimpanan. Penyimpanan di suhu rendah dapat memperlambat kecepatan
reaksi-reaksi metabolisme, dimana pada umumnya setiap penurunan suhu 8 oC
kecepatan reaksi akan berkurang menjadi setengahnya.
Kandungan kimiawi
Iradiasi dengan dosis 0, 500, dan 1000 gray tidak berpengaruh nyata
(p>0.05) terhadap kadar air cabai setelah di iradiasi. Hasil analisis menunjukkan
bahwa kadar air cabai varietas amro pasca panen sebesar 77.94%, sedangkan
setelah cabai di iradiasi dengan dosis 500 dan 1000 gray maka kadar air cabai
berturut-turut menjadi 77.05% dan 77.50%. Hal yang sama ditemukan pada
penelitian Moreno et al. (2006) yang menunjukkan bahwa proses iradiasi tidak
mempengaruhi kadar air bluberries secara signifikan yang berkisar antara 79.60%
hingga 81.80% setelah iradiasi dengan dosis 3.2 kGy.
Tabel 1 Kandungan kimia cabai merah varietas amro
Parameter
Air (%b/b)
Abu (%b/b)
Protein (%b/b)
Lemak (%b/b)
Karbohidrat (%b/b)
Vitamin C (mg/100g)
Capsaicin (ppm)

Dosis Iradiasi pada Cabai (Gy)
0
500
1000
a
a
77.94±0.79
77.05±0.32
77.50±0.87 a
1.39±0.28 a
1.66±0.31 a
1.36±0.47 a
3.86±0.08 a
4.19±0.04 b
4.21±0.07 b
2.24±0.17 a
1.40±0.18 b
1.48±0.08 b
a
a
14.57±1.17
13.70±0.24
15.45±1.04 a
103.67±11.22 a
114.20±4.72 a
64.17±6.54 b
2965.86
1357.25
1177.55

Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil yang
tidak berbeda sangat nyata (p>0.05)

9
Iradiasi yang dilakukan pada cabai tidak mempengaruhi peningkatan atau
penurunan kadar abu yang signifikan (p>0.05). Kadar abu cabai kontrol, 500 gray ,
dan 1000 gray berturut-turut sebesar 1.39%, 1.66%, dan 1.36%. Kilonzo and
Nthenge (2012) juga mengungkapkan bahwa kandungan mineral pada pangan
yang di iradiasi akan tetap stabil seperti kondisi awalnya.
Iradiasi yang dilakukan dalam penelitian ini menyebabkan kenaikan
protein cabai. Hasil analisis menunjukkan kadar protein cabai tanpa iradiasi
sebesar 3.86%. Sementara itu kadar protein cabai setelah di iradiasi meningkat
menjadi 4.19% dan 4.21% berturut-turut untuk dosis iradiasi 500 dan 1000 gray.
Menurut Dwiloka (2002) iradiasi dapat menyebabkan perubahan konformasi
protein pada rantai samping asam amino sehingga akan terjadi perubahan
kandungan protein setelah iradiasi. Selain itu, terjadinya inaktivasi enzim akibat
iradiasi menyebabkan perhitungan protein akan lebih tinggi dari cabai kontrol.
Kadar lemak cabai tanpa iradiasi berbeda nyata dengan cabai yang di
iradiasi. Cabai tanpa iradiasi memiliki kandungan lemak sebesar 2.24%,
sedangkan untuk cabai iradiasi 500 gray dan 1000 gray berturut-turut sebesar
1.40% dan 1.48%. Dari hasil ini terlihat bahwa iradiasi menyebabkan penurunan
kadar lemak cabai. Gugus karbonil serta ikatan ester yang terkandung dalam
bahan pangan tergolong peka terhadap iradiasi. Akibat iradiasi, senyawa ester
yang ada dalam pangan akan terionisasi dan tereksitasi. Sehingga cabai hasil
iradiasi memiliki kandungan lemak yang lebih kecil dari cabai tanpa iradiasi
(Dwiloka 2002).
Analisis karbohidrat dilakukan dengan metode by difference. Hasil analisis
menunjukkan bahwa ketiga cabai memiliki kadar karbohidrat berkisar 13.70%
hingga 15.45% (b/b). Berdasarkan uji statistik, iradiasi tidak menyebabkan
perbedaan kandungan karbohidrat cabai secara nyata pada taraf signifikansi 5%.
Dari analisis ini hanya sedikit terlihat perbedaan kandungan kimia dari tiap
sampelnya, hal ini dapat dipengaruhi oleh kondisi atau komposisi awal sampel
sebelum di iradiasi.
Cabai merupakan salah satu buah yang banyak mengandung vitamin C.
Dwiloka (2002) menjelaskan bahwa asam askorbat merupakan senyawa kimia
yang peka terhadap iradiasi. Hasil analisis menunjukkan pemberian dosis iradiasi
hingga 500 gray tidak mengubah kandungan vitamin C secara signifikan.
Kandungan vitamin C yang terkandung pada cabai kontrol sebesar
103.67mg/100g, nilai ini tidak berbeda nyata dengan cabai yang telah di iradiasi
dengan dosis 500 gray (114.20 mg/100g). Penurunan kandungan vitamin C terjadi
pada cabai yang di iradiasi dengan dosis 1000 gray. Pada iradiasi dengan dosis
1000 gray, kandungan vitamin C turun menjadi 64.17 mg/100g. Data ini
menunjukkan vitamin yang terdeteksi akan semakin rendah seiring dengan
bertambahnya dosis iradiasi. Hal ini disebabkan adanya perubahan ikatan rantai
makromolekul menjadi molekul asam organik yang lain (Dwiloka 2002).
Capsaicin (C18H27NO3) termasuk dalam senyawa capsaicinoid, yaitu zat
kimia yang menimbulkan rasa pedas pada cabai. Tingkat kepedasan cabai di
tentukan oleh adanya capsaicin (Topuz and Feramus 2004). Semakin tinggi
kandungan capsaicinoid (terutama capsaicin dan dihidrocapsaicin) pada cabai,
maka semakin tinggi tingkat kepedasannya. Kandungan capsaicin pada cabai
segar sekitar 2965.86 ppm, sedangkan untuk cabai yang di iradiasi dengan dosis
500 dan 1000 gray berturut-turut adalah 1357.25 ppm dan 1177.55 ppm. Hasil ini

10
bertolak belakang dengan penelitian Topuz and Feramus (2004) yang menyatakan
bahwa iradiasi gamma yang dilakukan hingga 10 kGy meningkatkan kandungan
capsaicin pada paprika secara signifikan dari 197 ppm menjadi 217 ppm. Iradiasi
dapat menyebabkan perubahan konformasi molekul senyawa sehingga
mempengaruhi hasil ekstraksi capsaicin dari sampel yang di uji. Kandungan
capsaicin ini juga dipengaruhi oleh usia buah, iklim, cahaya, tanah, kelembaban,
pemupukan dan suhu selama pertumbuhan tanaman (Topuz and Feramus 2004).
Susut bobot
Selama penyimpanan, produk hortikultura pasca panen akan mengalami
penurunan bobot. Penurunan bobot ini disebabkan oleh proses respirasi dan
transpirasi yang terjadi dalam buah maupun sayur. Proses respirasi merupakan
proses penyerapan oksigen dari udara untuk memecah karbohidrat menjadi air dan
karbondioksida (Soesanto 2006). Sedangkan transpirasi merupakan proses transfer
massa dimana uap air bergerak dari permukaan buah atau sayuran ke udara sekitar.
Proses hilangnya air menyebabkan kelayuan, penyusutan, serta hilangnya
crispiness dari buah dan sayuran. Hal ini dapat mempengaruhi penampilan,
tekstur, rasa, dan massa dari produk buah dan sayur tersebut (Burton 1982).
Pengukuran susut bobot dilakukan dengan cara menimbang sampel cabai
yang di kemas dalam karton. Pengukuran susut bobot dilakukan dengan tiga
ulangan untuk setiap perlakuannya. Semua sampel di timbang bobotnya tiap dua
hari sekali menggunakan kotak sampel yang sama selama penyimpanan. Susut
bobot di hitung secara akumulatif dari hari pertama hingga hari ke empatbelas
sehingga diketahui berapa persentase penurunan bobot sampel selama
penyimpanan.
Selama proses penyimpanan, seluruh sampel mengalami penurunan bobot
dengan tingkat yang berbeda-beda untuk masing-masing perlakuan. Berdasarkan
hasil penelitian, perlakuan iradiasi tidak menunjukkan pengaruh yang nyata
(p>0.05) terhadap pola penurunan bobot. Untuk sampel yang di simpan pada suhu
yang sama, pemberian iradiasi pada dosis 0 , 500, dan 1000 gray menunjukkan
pola penurunan bobot yang sama. Setelah disimpan pada suhu 10 oC selama 14
hari, cabai tanpa iradiasi mengalami kehilangan bobot sebesar 12.17%, sedangkan
cabai yang di iradiasi dengan dosis 500 dan 1000 gray berturut-turut mengalami
penurunan bobot sebesar 11.16% dan 10.56%. Hal serupa ditemukan pada
penelitian Moreno et al (2006) yang menjelaskan bahwa iradiasi hingga dosis
3.2kGy pada buah bluberries tidak menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan terhadap perubahan bobot sampel jika dibandingkan dengan bluberries
tanpa iradiasi.
Sebaliknya, suhu penyimpanan mempengaruhi pola penurunan bobot
sampel secara nyata (p0.05) terhadap perubahan
warna cabai. Pada cabai kontrol, nilai L, a, dan b berturut-turut di hari pertama
penyimpanan sebesar 40.28, 39.92, dan 29.27. Nilai-nilai yang ada pada tabel 2
menunjukkan tidak adanya pengaruh iradiasi yang nyata terhadap perubahan
warna cabai setelah di iradiasi. Hal yang sama ditemukan pada sampel cabai yang
disimpan pada semua suhu penyimpanan yang di uji. Pada suhu penyimpanan
yang berbeda, pemberian iradiasi dengan dosis 0 , 500, dan 1000 gray tidak
menunjukkan perubahan warna cabai selama 14 hari penyimpanan. Jika di lihat
dari gambar 6, 7, dan 8, setiap kurva yang disajikan menunjukkan nilai yang
saling berhimpit.

13
Tabel 2 Nilai L*, a*, b* cabai varietas amro H0
Dosis iradiasi
(gray)
0
500
1000

L

a

b

40.28
40.17
38.51

39.92
42.07
42.31

29.27
30.60
34.71

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa suhu penyimpanan tidak
mempengaruhi perubahan warna cabai secara signifikan (p>0.05). Fenomena yang
sama juga ditemukan dalam penelitian Akter dan Khar (2012) yang menunjukkan
bahwa pada hari ke -13 suhu penyimpanan 12 dan 25 oC tidak berpengaruh
signifikan terhadap perubahan warna tomat. Pada cabai kontrol, penyimpanan
cabai di suhu 10 oC tidak menunjukkan perbedaan warna cabai secara nyata
dengan penyimpanan cabai di suhu ruang. Dari lampiran 2 terlihat bahwa selama
penyimpanan baik nilai L, a, maupun b memiliki nilai yang tidak jauh berbeda
untuk kedua suhu penyimpanan yang diujikan.
50.00

Niali L

40.00
30.00
Suhu 10'C

20.00

Suhu 30'C
10.00
0.00
0

2

4

6

8

10

12

14

Lama penyimpanan

Gambar 6 Nilai L cabai kontrol selama penyimpanan
50.00

Niali L

40.00
30.00
Suhu 10'C

20.00

Suhu 30'C
10.00
0.00
0

2

4

6

8

10

12

14

Lama penyimpanan

Gambar 7 Nilai L cabai iradiasi 500 gray selama penyimpanan

14
50.00

Niali L

40.00
30.00
Suhu 10'C

20.00

Suhu 30'C
10.00
0.00
0

2

4

6

8

10

12

14

Lama penyimpanan

Gambar 8 Nilai L cabai iradiasi 1000 gray selama penyimpanan
Pengukuran warna secara objektif tidak dapat mendeteksi perbedaan yang
nyata terhadap perubahan warna cabai, namun sedikit berbeda dengan
pengamatan secara visual seperti yang ada pada lampiran 15, 17, dan 19.
Berdasarkan gambar yang telah disebutkan akan nampak adanya perubahan secara
visual yang melibatkan warna cabai, tumbuhnya kapang, dan perubahan warna
tangkai selama penyimpanan.
Pada suhu penyimpanan 10 oC selama 14 hari pengamatan, cabai tanpa
iradiasi maupun yang di iradiasi masih terlihat berwarna merah seperti hari
pertama penyimpanan. Suhu 10 oC tidak menunjukkan efek yang signifikan
terhadap perubahan warna cabai selama penyimpanan. Cabai masih terlihat
berwarna merah dengan tangkai yang berwarna hijau dan tidak nampak adanya
pertumbuhan kapang hingga empat belas hari penyimpanan. Efek yang sama juga
ditemukan pada sampel yang di iradiasi dengan dosis 500 gray dan 1000 gray.
Di lain sisi, suhu terlihat mempengaruhi perubahan penampakan cabai.
Pada cabai tanpa iradiasi yang di simpan pada suhu 10 oC tidak memperlihatkan
perubahan warna cabai secara signifikan. Namun untuk penyimpanan cabai pada
suhu ruang akan nampak perubahan visual cabai seperti yang terlihat pada
lampiran 15. Pada hari ke 14 sampel akan terlihat berwarna merah dengan bintik
hitam dan sedikit jamur di dekat pangkal buah serta memiliki tangkai yang terlihat
berwarna coklat. Efek yang sama juga ditemukan pada cabai yang di iradiasi
dimana penyimpanan di suhu ruang akan menunjukkan pertumbuhan kapang
namun dengan persentase yang berbeda pada masing-masing dosis iradiasi yang
diberikan.

15
50.00

Niali a

40.00
30.00
Suhu 10'C

20.00

Suhu 30'C
10.00
0.00
0

2

4

6

8

10

12

14

Lama penyimpanan

Gambar 9 Nilai a cabai kontrol selama penyimpanan
50.00

Niali a

40.00
30.00
Suhu 10'C

20.00

Suhu 30'C
10.00
0.00
0

2

4

6

8

10

12

14

Lama penyimpanan

Gambar 10 Nilai a cabai iradiasi 500 gray selama penyimpanan

50.00

Niali a

40.00
30.00
Suhu 10'C

20.00

Suhu 30'C
10.00
0.00
0

2

4

6

8

10

12

14

Lama penyimpanan

Gambar 11 Nilai a cabai iradiasi 1000 gray selama penyimpanan

16
50.00

Niali b

40.00
30.00
Suhu 10'C

20.00

Suhu 30'C
10.00
0.00
0

2

4

6

8

10

12

14

Lama penyimpanan

Gambar 12 Nilai b cabai kontrol selama penyimpanan
50.00

Niali b

40.00
30.00
Suhu 10'C

20.00

Suhu 30'C
10.00
0.00
0

2

4

6

8

10

12

14

Lama penyimpanan

Gambar 13 Nilai b cabai iradiasi 500 gray selama penyimpanan

50.00

Niali b

40.00
30.00
Suhu 10'C

20.00

Suhu 30'C
10.00
0.00
0

2

4

6

8

10

12

14

Lama penyimpanan

Gambar 14 Nilai b cabai iradiasi 1000 gray selama penyimpanan

17
Tekstur
Iradiasi telah diketahui memiliki efek langsung terhadap penurunan
kekerasan dalam buah seperti tomat, pelunakan biasanya terlihat dalam beberapa
jam setelah perlakuan (Akter dan Khan 2012). Pada penelitian ini pengukuran
tekstur cabai dilakukan menggunakan instrumen Brookfield CT3 Tekstur
Analyzer. Instrumen ini akan merekam data hasil pengukuran dan mengubahnya
dalam bentuk kurva hubungan gaya dan waktu. Tekstur dalam penelitian ini
dijelaskan sebagai nilai dari kekerasan cabai. Kekerasan cabai di ukur berdasarkan
daya tahannya terhadap tekanan yang diberikan hingga sampel patah. Apabila di
lihat melalui kurva seperti yang ada pada gambar 15, maka kekerasan cabai
ditentukan dari nilai puncak yang terlihat pada kurva setelah sampel diberikan
gaya. Nilai ini dianggap sebagai gaya terbesar yang dibutuhkan untuk
mematahkan sampel.

Gambar 15 Contoh kurva pengukuran tekstur cabai menggunakan instrumen Brookfield
CT3 Tekstur Analyzer

Selama penyimpanan, kekerasan cabai akan mengalami perubahan. Semakin
lama cabai di simpan maka kekerasan cabai akan menurun. Cabai yang awalnya
terlihat segar dan mudah untuk dipatahkan akan terlihat mengalami perubahan
menjadi keriput dan sulit dipatahkan / liat seiring lamanya penyimpanan.
Cabai yang tidak di iradiasi, secara visual memiliki penampakan kulit buah
yang halus serta tidak terlihat adanya kerusakan setelah di panen. Pada hari
pertama penyimpanan, cabai yang di iradiasi dengan dosis 500 dan 1000 gray
memiliki kekerasan yang lebih kecil dibandingkan dengan cabai tanpa iradiasi.
Semakin tinggi dosis iradiasi yang diberikan, makin sulit cabai dipatahkan dengan
penampakan yang semakin keriput. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya
perubahan struktur dinding sel dan kelarutan pektin (Moreno et al 2006).
Hasil pengamatan yang dapat di lihat pada gambar 16, 17, dan 18
menunjukkan adanya penurunan kekerasan seiring lamanya penyimpanan.
Semakin kecil gaya yang dibutuhkan untuk mematahkan cabai, maka kekerasan
cabai semakin rendah. Penurunan kekerasan cabai terjadi karena adanya

18
perubahan komposisi dinding sel selama penyimpanan. Protopektin yang
merupakan pembentuk kekerasan dinding sel akan pecah menjadi pektin yang
larut dalam air sehingga terjadi penurunan tingkat kekerasan (Aryanti 1992).
Berdasarkan uji statistik, iradiasi tidak berpengaruh nyata terhadap tekstur
cabai pada taraf signifikansi 5%. Dalam hasil analisis, sampel yang iradiasi
dengan dosis 0 , 500, dan 1000 gray dan di simpan pada suhu 10 oC menunjukkan
pola penurunan kekerasan cabai yang hampir sama. Fenomena ini juga ditemukan
pada semua suhu yang diujikan, akan tetapi sampel yang di simpan pada suhu
10oC di nilai lebih baik dari sampel yang di simpan pada suhu ruang. Hasil
penelitian ini serupa dengan penelitian buah tomat yang dilakukan oleh Akter dan
Khar (2012). Mereka mengungkapkan bahwa buah tomat yang di simpan pada
suhu 12 oC tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kekerasan tomat
iradiasi dengan non-iradiasi.
Sebaliknya, suhu penyimpanan mempengaruhi pola penurunan kekerasan
cabai secara nyata (p