Pengaruh Giberelin (Ga3), Suhu Dan Pengemasan Terhadap Mutu Cabai Merah Segar (Capsicum Annum L.) Selama Penyimpanan

i

PENGARUH GIBERELIN (GA3), SUHU DAN PENGEMASAN
TERHADAP MUTU CABAI MERAH SEGAR (Capsicum
annum L.) SELAMA PENYIMPANAN

ANI YATI WIBAWATI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Giberelin
(GA3), Suhu dan Pengemasan Terhadap Mutu Cabai Merah Segar (Capsicum
annum L.) Selama Penyimpanan adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Ani Yati Wibawati
NIM F24090070

ABSTRAK
ANI YATI WIBAWATI. Pengaruh Giberelin (GA3), Suhu dan Pengemasan
Terhadap Mutu Cabai Merah Segar (Capsicum annum L.) Selama Penyimpanan.
Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc dan Ir. Sunarmani, MS.
Cabai merah merupakan salah satu komoditas holtikultura yang banyak ditanam
di Indonesia dan tergolong sebagai produk yang mudah rusak. Oleh karena itu,
penanganan yang baik dibutuhkan untuk mempertahankan mutunya setelah dipanen.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh hormon giberelin (10 ppm dan
kontrol), suhu penyimpanan (10oC dan 30oC), dan pengemasan (dalam kantong
LDPE, dalam nampan styrofoam lalu dibungkus plastik wrapping dan tanpa
pengemas) terhadap mutu cabai merah segar selama penyimpanan. Berdasarkan hasil
analisis, pemberian giberelin pada cabai yang kemudian disimpan pada suhu rendah
(10oC) dengan kemasan LDPE dinilai mampu mempertahankan mutu cabai terutama

pada parameter susut bobot, tekstur, serta warna cabai selama penyimpanan.
Kata kunci: giberelin, penyimpanan, pengemas, mutu, cabai merah

ABSTRACT
ANI YATI WIBAWATI. Effect of Gibberellin (GA3), Temperature and Packaging
on Quality of Fresh Red Chili (Capsicum annum L.) During Storage. Supervised by
Prof. Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc and Ir. Sunarmani, Ms.
Red chili, a perishable horticultural commodity, is one of the widely grown
plants in Indonesia. Therefore, good postharvest handlings are needed to keep its
quality. The research investigated the effects of gibberellin hormone (10 ppm and
control), storage temperature (10oC and 30oC) and packaging (packing in LDPE,
tray pack (styrofoam tray with wrapping plastic overwrap to contain the produce)
and without packaging treatment) on quality of fresh red chili during storage. Based
on the research results, giving the gibberellin to samples stored at low temperature
(10oC) with LDPE packaging was capable to maintain the quality of chili especially
on weight loss, texture, and color during storage.
Keywords : gibberellin, storage, packaging, quality, red chili

v


PENGARUH GIBERELIN (GA3), SUHU DAN PENGEMASAN
TERHADAP MUTU CABAI MERAH SEGAR (Capsicum
annum L.) SELAMA PENYIMPANAN

ANI YATI WIBAWATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TERNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

vi


viii

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2013 di Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian dengan tema mempertahankan
mutu cabai pasca panen.
Penelitian ini dapat diselesaikan dengan bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, penulis ingin berterimakasih sebesar-besarnya kepada pihak
terkait:
1. Bapak Much. Azis, Ibu Siti Khotijah, Mbak Solikhatun, Mas Aris Muttaqin, Mas Ery
Hermawan, Kafa, dan Tsabita yang telah memberi do’a, kasih sayang, nasihat,
motivasi dan semangat yang tak pernah henti.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc selaku pembimbing skripsi dan dosen semasa
kuliah yang telah mengarahkan dan memberi saran dalam penyusunan skripsi ini.
3. Ibu Ir. Sunarmani, MS selaku pembimbing kedua dan peneliti dari Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian yang telah memberi
wawasan selama penelitian berlangsung
4. Bapak Dondy selaku peneliti dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Pascapanen Pertanian yang selalu meluangkan waktu untuk berdiskusi dan
memberi banyak wawasan yang bermanfaat.
5. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian yang telah
menyediakan tempat dan mendanai penelitian ini.
6. Pak Idris, Pak Tri, Pak Asep, Pak Sis, Pak Ayung, Bu Hikmah, Bu Dini, dan teknisi
lainnya. Terimakasih atas bantuan dan bimbingan selama penelitian berlangsung.
7. Nurul, Via, dan Yora yang selalu bersama selama masa-masa kuliah.
8. Maria, Dzikri, Brata, Linda, Octa, Mei, Devi, Ayu dan Endah yang selalu menemani,
menolong, memberi semangat dan motivasi selama ini.
9. Naila, Yana, Woro, Ikamanos 46 dan keluarga Ikamanos IPB lainnya yang selalu
bersama seperti keluarga, memberi nasihat dan motivasi selama ini.
10. Teman-teman ITP 46, golongan praktikum P4, terima kasih atas kerjasama dan
kebersamaannya selama kuliah.
11. Teman-teman kost Pondok Hijau, Pondok Rizki dan Perwira 100, terima kasih atas
kebersamaan, canda tawa, dan motivasi selama kost hingga sekarang.
12. Seluruh pegawai Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas bantuan yang telah
diberikan, terutama Bu Fitri, Bu Ina, Bu Sofi, Bu Novi, dan Bu Anie.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangannya. Akan tetapi, penulis
berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan Ilmu dan Teknologi Pangan
selanjutnya. Terima kasih.

Bogor, Maret 2016
Ani Yati Wibawati

ix

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN .................................................................................................... 1

Latar Belakang ...................................................................................................... 1
Tujuan Penelitian .................................................................................................. 2
METODE ................................................................................................................. 2
Bahan .................................................................................................................... 2
Alat ....................................................................................................................... 2
Tahapan Penelitian ................................................................................................ 3
Prosedur Analisis .................................................................................................. 5
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 12
Komposisi kimia ................................................................................................. 12
Susut bobot ......................................................................................................... 19
Tekstur ................................................................................................................ 22
Warna ................................................................................................................. 24
Vitamin C............................................................................................................ 28
Capsaicin............................................................................................................. 30
Organoleptik ....................................................................................................... 32
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................... 38
Simpulan ............................................................................................................. 38
Saran ................................................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 39
LAMPIRAN ........................................................................................................... 41

RIWAYAT HIDUP ................................................................................................ 70

x

DAFTAR TABEL
1

Komposisi kimia cabai merah segar kontrol dan cabai merah dengan
perlakuan GA3 pada hari ke-0
12

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

Diagram alir tahapan pelaksanaan penelitian
Perubahan kadar air cabai selama penyimpanan dalam kemasan LDPE
Perubahan kadar air cabai selama penyimpanan dalam kemasan styrofoam

Perubahan kadar air cabai selama penyimpanan tanpa pengemas (hampar)
Perubahan kadar abu cabai selama penyimpanan dalam kemasan LDPE
Perubahan kadar abu cabai selama penyimpanan dalam kemasan
styrofoam
Perubahan kadar abu cabai selama penyimpanan tanpa pengemas (hampar)
Perubahan kadar lemak cabai selama penyimpanan dalam kemasan LDPE
Perubahan kadar lemak cabai selama penyimpanan dalam kemasan
styrofoam
Perubahan kadar lemak cabai selama penyimpanan tanpa pengemas
(hampar)
Perubahan kadar protein cabai selama penyimpanan dalam kemasan LDPE
Perubahan kadar protein cabai selama penyimpanan dalam kemasan
styrofoam
Perubahan kadar protein cabai selama penyimpanan tanpa pengemas
(hampar)
Perubahan kadar karbohidrat cabai selama penyimpanan dalam kemasan
LDPE
Perubahan kadar karbohidrat cabai selama penyimpanan dalam kemasan
styrofoam
Perubahan kadar karbohidrat cabai selama penyimpanan tanpa pengemas

(hampar)
Perubahan susut bobot cabai selama penyimpanan dalam kemasan LDPE
Perubahan susut bobot cabai selama penyimpanan dalam kemasan
styrofoam
Perubahan susut bobot cabai selama penyimpanan tanpa pengemas
(hampar)
Perubahan nilai kekerasan cabai selama penyimpanan dalam kemasan
LDPE
Perubahan nilai kekerasan cabai selama penyimpanan dalam kemasan
styrofoam
Perubahan nilai kekerasan cabai selama penyimpanan tanpa pengemas
(hampar)
Perubahan nilai L cabai selama penyimpanan dalam kemasan LDPE
Perubahan nilai L cabai selama penyimpanan dalam kemasan styrofoam

4
13
13
14
14
15
15
16
16
16
17
17
18
18
19
19
20
21
21
22
23
23
25
25

xi

25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49

Perubahan nilai L cabai selama penyimpanan tanpa pengemas (hampar)
Perubahan nilai a cabai selama penyimpanan dalam kemasan LDPE
Perubahan nilai a cabai selama penyimpanan dalam kemasan styrofoam
Perubahan nilai a cabai selama penyimpanan tanpa pengemas (hampar)
Perubahan nilai b cabai selama penyimpanan dalam kemasan LDPE
Perubahan nilai b cabai selama penyimpanan dalam kemasan styrofoam
Perubahan nilai b cabai selama penyimpanan tanpa pengemas (hampar)
Perubahan kandungan vitamin C cabai selama penyimpanan dalam
kemasan LDPE
Perubahan kandungan vitamin C cabai selama penyimpanan dalam
kemasan styrofoam
Perubahan kandungan vitamin C cabai selama penyimpanan tanpa
pengemas (hampar)
Perubahan kadar capcaisin cabai selama penyimpanan dalam kemasan
LDPE
Perubahan kadar capcaisin cabai selama penyimpanan dalam kemasan
styrofoam
Perubahan kadar capcaisin cabai selama penyimpanan tanpa pengemas
(hampar)
Perubahan skor penilaian warna cabai selama penyimpanan dalam
kemasan LDPE
Perubahan skor penilaian warna cabai selama penyimpanan dalam
kemasan styrofoam
Perubahan skor penilaian warna cabai selama penyimpanan tanpa
pengemas (hampar)
Perubahan skor penilaian warna tangkai cabai selama penyimpanan dalam
kemasan LDPE
Perubahan skor penilaian warna tangkai cabai selama penyimpanan dalam
kemasan styrofoam
Perubahan skor penilaian warna tangkai cabai selama penyimpanan tanpa
pengemas (hampar)
Perubahan skor penilaian tekstur cabai selama penyimpanan dalam
kemasan LDPE
Perubahan skor penilaian tekstur cabai selama penyimpanan dalam
kemasan styrofoam
Perubahan skor penilaian tekstur cabai selama penyimpanan tanpa
pengemas (hampar)
Perubahan skor penilaian overall cabai selama penyimpanan dalam
kemasan LDPE
Perubahan skor penilaian overall cabai selama penyimpanan dalam
kemasan styrofoam
Perubahan skor penilaian overall cabai selama penyimpanan tanpa
pengemas (hampar)

26
26
26
27
27
27
28
29
29
30
31
31
32
32
33
33
34
34
35
36
36
36
37
37
38

xii

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Analisis ragam kadar air cabai selama penyimpanan
Analisis ragam kadar abu cabai selama penyimpanan
Analisis ragam kadar lemak cabai selama penyimpanan
Analisis ragam kadar protein cabai selama penyimpanan
Analisis ragam kadar karbohidrat cabai selama penyimpanan
Perubahan susut bobot cabai selama penyimpanan (%)
Analisis ragam susut bobot cabai selama penyimpanan
Analisis ragam tekstur cabai selama penyimpanan
Analisis ragam warna cabai selama penyimpanan variabel L
Analisis ragam warna cabai selama penyimpanan variabel a
Analisis ragam warna cabai selama penyimpanan variabel b
Analisis ragam vitamin C cabai selama penyimpanan
Perubahan skor organoleptik warna cabai selama penyimpanan (cm)
Analisis ragam organoleptik warna cabai selama penyimpanan
Perubahan skor organoleptik warna tangkai cabai selama penyimpanan
(cm)
Analisis ragam organoleptik warna tangkai cabai selama penyimpanan
Perubahan skor organoleptik tekstur cabai selama penyimpanan (cm)
Analisis ragam organoleptik tekstur cabai selama penyimpanan
Perubahan skor organoleptik overall cabai selama penyimpanan (cm)
Analisis ragam organoleptik overall cabai selama penyimpanan

41
43
44
45
46
47
48
50
52
53
55
57
59
60
61
62
64
65
67
68

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cabai merupakan salah satu komoditas sayuran yang sangat penting dan banyak
ditanam di Indonesia. Cabai memiliki kegunaan sebagian besar untuk konsumsi
rumah tangga. Cabai merah (Capsicum annum L.) yang selama ini dikonsumsi
sebagai pembangkit selera makan ternyata juga memiliki banyak kandungan gizi dan
vitamin yang diperlukan oleh tubuh manusia (Harpenas dan Dermawan 2009).
Kebutuhan akan cabai terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah
penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku cabai.
Konsumen semakin menginginkan adanya cabai segar yang bermutu tinggi baik
untuk konsumsi segar maupun industri pengolahan, antara lain penampakan yang
baik, relatif tahan lama, dan tidak cepat layu selama penyimpanan. Masalah mutu
cabai perlu menjadi perhatian mengingat sifat komoditas cabai yang mudah rusak
(busuk) akibat masih berlangsungnya proses fisiologis seperti respirasi dan
transpirasi. Kerusakan umumnya juga disebabkan oleh sistem transportasi dan
penanganan yang kurang baik setelah pemanenan. Oleh karena itu, penanganan pasca
panen yang baik merupakan salah satu alternatif yang dibutuhkan untuk mengatasi
masalah penurunan mutu produk hortikultura.
Pengemasan yang baik merupakan salah satu upaya agar komoditas dapat
dilindungi dari kerusakan, benturan mekanis, fisik, kimia, dan mikrobiologis
sehingga mutunya tetap atau hanya mengalami sedikit penurunan pada saat diterima
oleh konsumen akhir. Pengemasan dalam kantong-kantong film atau pada nampannampan yang dibungkus dapat menambah umur beberapa jenis komoditi, baik dalam
keadaan didinginkan maupun tidak didinginkan, pembusukan, kehilangan lengas dan
kerusakan mekanis dapat dikurangi (Pantastico 1986).
Pengemasan akan lebih baik jika dikombinasikan dengan metode penyimpanan
pada suhu rendah untuk mempertahankan mutu cabai. Menurut Pantastico (1986)
penjagaan mutu yang paling baik adalah bila pengemasan yang baik dikombinasikan
dengan penyimpanan atau pengangkutan yang disertai pendinginan. Sistem
pendinginan dalam penyimpanan produk hortikultura pasca panen seperti cabai
banyak dilakukan sebagai upaya mempertahankan mutu. Hasil penelitian Rao et al.
(2011) menyatakan bahwa penyimpanan paprika pada suhu rendah (10oC) dapat
menyebabkan kehilangan bobot yang lebih rendah yaitu sebesar 5.40 gram per 100
gram dibandingankan dengan cabai yang di simpan pada suhu ruang (25 oC) sebesar
7.59 gram per 100 gram selama sembilan hari masa simpan. Rachmawati et al. (2009)
melaporkan bahwa cabai rawit yang disimpan pada suhu 10 oC memiliki kandungan
vitamin C tertinggi sebesar 35.2 mg/100mL dibandingankan dengan cabai yang
disimpan pada suhu 20 oC sebesar 31.6 mg/100mL dan suhu ruang (29oC) sebesar
23,6 mg/100mL selama 15 hari masa simpan.
Upaya untuk mempertahankan mutu buah dan sayuran dapat juga dilakukan
dengan pemberian senyawa penghambat proses pematangan. Senyawa-senyawa
tersebut meliputi semua jenis hormon pertumbuhan seperti sitokinin, auksin, giberelin

2

dan kinetin. Pemberian hormon giberelin (GA3) dapat menunda proses pematangan
buah mangga (Khader et al. 1988). Penundaan tersebut terkait pengaruh GA3 dalam
menghambat aktifitas α amylase dan peroxidase. Hasil penelitian Widjanarko (1989)
menyatakan bahwa penggunaan giberelin 10 ppm pada cabai yang disimpan dengan
modifikasi atmosfir dapat menghambat perombakan pati dan perubahan pH selama 2
minggu penyimpanan. Hasil penelitian Nurhayati (2009) menunjukkan bahwa buah
manggis dengan bahan pelapis hormon giberelin 10 ppm menunjukkan penurunan
mutu yang relatif kecil untuk parameter sepal visual, susut bobot, dan tingkat
kekerasan kulit.
Penelitian ini mempelajari pengaruh penggunaan giberelin (GA3), suhu
penyimpanan, dan jenis pengemasan terhadap mutu cabai merah segar. Melalui
penelitian ini, diharapkan dapat diperoleh informasi tentang perlakuan penyimpanan
yang tepat dalam mempertahankan mutu cabai merah segar.

Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh hormon
giberelin (GA3), suhu penyimpanan, dan pengemasan terhadap mutu cabai merah
segar selama penyimpanan.

METODE
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cabai merah segar
(Capsicum annum L.) varietas Amro dengan umur panen 95 hari setelah tanam
dengan kondisi cabai berwarna merah cerah seluruhnya yang diperoleh dari petani di
Desa Panjalu, Kecamatan Sukamantri, Karangsari, Ciamis, Jawa Barat. Selain itu,
digunakan bahan kimia untuk perlakuan pencelupan maupun analisis kimia. Bahan
kimia yang digunakan untuk perlakuan pencelupan adalah hormon Giberelin.
Hormon Giberelin yang digunakan berasal dari jenis GA3 dengan merek dagang
Pytotech 6500 yang diperoleh dengan cara pemesanan beberapa hari sebelumnya dari
Toko Setia Guna Bogor. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis kimia terdiri
dari aquades, etanol, Na2S2O3, KIO3, KI, HCl, dan bahan kimia lainnya untuk
analisis parameter yang diuji.

Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Chromameter Minolta CR-300,
CT3 Texture Analyzer Brookfield, HPLC varian 940-LC, kantong plastik LDPE
dengan ukuran 35 cm x 24 cm dan ketebalan 0.04 mm, nampan styrofoam dengan
ukuran 14.3 cm x 21 cm x 5 cm dan ketebalan 2 mm, plastik wrapping, keranjang

3

plastik, baskom plastik, pengaduk kayu, perforator, kipas angin, gelas ukur, blender,
sudip, labu takar, erlenmeyer, neraca analitik, piring kecil, sendok kecil, dan alat-alat
lain untuk analisis parameter yang diuji.

Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan. Diagram alir tahapan
penelitian secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1.
Pemanenan dan sortasi

Sampel cabai merah varietas Amro diambil dari petani yang berlokasi di Desa
Panjalu, Kecamatan Sukamantri, Karangsari, Ciamis, Jawa Barat. Pemanenan dilakukan
dengan memetik cabai merah beserta tangkainya. Cabai yang dipetik berumur 95 hari
setelah tanam dengan kondisi cabai berwarna merah cerah seluruhnya. Cabai
selanjutnya ditransportasi selama 7 jam menuju Bogor menggunakan mobil
berpendingin. Setelah tiba di Bogor, cabai selanjutnya disortasi untuk menghilangkan
kotoran selain cabai atau cabai busuk yang tidak diinginkan.
Pencelupan dan pengemasan

Cabai hasil sortasi selanjutnya dicelupkan ke dalam larutan GA3 dengan
konsentrasi 10 ppm selama 30 detik, sedangkan cabai kontrol tidak melalui
pencelupan terlebih dahulu. Cabai kemudian dikeringkan menggunakan hembusan
udara (dikeringanginkan) selama 15 menit dan selanjutnya diberi perlakuan
pengemasan. Perlakuan pengemasan yang dilakukan yaitu : (1) dalam kantong
plastik LDPE berlubang 8 dengan diameter lubang 0.5 cm, (2) dalam nampan
styrofoam lalu ditutup dengan plastik wrapping dan (3) tanpa pengemas (dihampar di
dalam keranjang plastik). Berat cabai per kemasan 250 g.
Penyimpanan

Cabai yang sudah dikemas disimpan di ruang penyimpanan pada suhu 10 oC dan
30 C untuk dilakukan pengamatan.
o

Pengamatan

Pengamatan dilakukan pada hari ke-0, 8, dan 14 untuk parameter kadar air,
kadar abu, protein, lemak dan karbohidrat, serta kadar capcaisin. Pengamatan
dilakukan setiap 2 hari untuk parameter susut bobot, tekstur, warna, kadar vitamin C,
dan uji organoleptik.

4

Cabai merah

Sortasi

Pencelupan
A. selama 30 detik ke
dalam larutan GA3 10 ppm
B.

Tanpa Pencelupan GA3

Pengeringan menggunakan
hembusan udara selama 15 menit

Pengemasan dalam kantong
LDPE berlubang 8 dengan
diameter lubang 0.5 cm

Pengemasan dalam nampan
styrofoam lalu dibungkus
plastik wrapping

Penyimpanan pada
suhu 10oC
C

Tanpa pengemas
(Penghamparan di
udara terbuka)

Penyimpanan pada
suhu 30oC

Pengamatan :
Proksimat
Susut bobot
Warna
Tekstur
Kadar vitamin C
Kadar capcaisin
Uji organoleptik

Gambar 1 Diagram alir tahapan pelaksanaan penelitian

5

Rancangan percobaan (Mattjik dan Sumertajaya 2013)
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)
Faktorial dengan empat faktor yaitu, faktor pertama (A) adalah giberelin (GA3) (tanpa
GA3 dan GA3 10 ppm), faktor kedua (B) adalah variasi suhu (10 dan 300C), fakor ketiga
(C) adalah jenis pengemasan (dalam kantong LDPE lubang 8, dalam nampan styrofoam
lalu dibungkus plastik wrapping, dan tanpa pengemas (dihampar di udara terbuka)), dan
faktor keempat (D) adalah lamanya penyimpanan ( 0, 2, 4, 6, 8, 10, 12 dan 14 hari).
Sesuai dengan rancangan yang digunakan, maka model matematikanya adalah:
Yijkl = μ + Ai + Bj +Ck+ Dl+(AB)ij + (AC)ik+(AD)il+(BC)jk+(BD)jl+(CD)kl+
(ABC)ijk+(ABD)ijl+(ACD)ikl+(BCD)jkl+(ABCD)ijkl+Kijkl
Keterangan :
Yijkl
μ
Ai
Bj
Ck
Dl
(AB)ij
(AC)ik
(AD)il
(BC)jk
(BD)jl
(CD)kl
(ABC)ijk
(ABD)ijl
(ACD)ikl
(BCD)jkl
(ABCD)
Kijkl

= respon setiap parameter yang diuji
= nilai rata-rata yang sesungguhnya
= pengaruh perlakuan GA3 ke-i
= pengaruh perlakuan suhu penyimpanan ke-j
= pengaruh perlakuan pengemasan ke-k
= pengaruh perlakuan lama penyimpanan ke-l
= pengaruh interaksi GA3 dengan suhu penyimpanan
= pengaruh interaksi GA3 dengan pengemasan
= pengaruh interaksi GA3 dengan lama penyimpanan
= pengaruh interaksi suhu penyimpanan dengan pengemasan
= pengaruh interaksi suhu penyimpanan dan lama penyimpanan
= pengaruh interaksi pengemasan dan lama penyimpanan
= pengaruh interaksi GA3 dengan suhu penyimpanan dan pengemasan
= pengaruh interaksi GA3 dengan suhu penyimpanan dan lama
penyimpanan)
= pengaruh interaksi GA3 dengan kemasan dan lama penyimpanan)
= pengaruh interaksi suhu penyimpanan dengan pengemasan dan lama
penyimpanan
= pengaruh interaksi antara GA3 dengan suhu penyimpanan,
pengemasan, dan lama penyimpanan
= galat percobaan

Prosedur Analisis
Kadar air (BSN 1992)
Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode oven. Penetapan kadar air
diawali dengan pengeringan cawan aluminium pada suhu 105oC selama 15 menit,
kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 1-2 gram sampel
dimasukkan ke dalam cawan aluminium tersebut dan dikeringkan dalam oven pada

6

suhu 105oC selama tiga jam lalu didinginkan dalam desikator, dan ditimbang sampai
diperoleh berat sampel kering yang relatif konstan.
Kadar air dalam basis basah dihitung dengan rumus :

Keterangan :
W = bobot sampel sebelum dikeringkan (g)
W1 = bobot cawan + sampel setelah dikeringkan (g)
W2 = bobot cawan kosong (g)
Kadar abu (BSN 1992)
Analisis kadar abu dilakukan dengan metode pengabuan kering. Cawan
porselin yang digunakan dikeringkan terlebih dahulu di dalam oven bersuhu 105 oC
selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 2-3 gram
sampel ditimbang di dalam cawan porselen tersebut. Selanjutnya cawan porselen
berisi sampel dibakar sampai tidak berasap dan diabukan dalam tanur listrik pada
suhu maksimum 550oC sampai pengabuan sempurna (berat konstan). Setelah
pengabuan selesai, cawan berisi contoh didinginkan dalam desikator dan ditimbang
sampai bobot tetap.
Kadar abu dihitung dengan rumus :
a. Kadar abu dalam basis basah

b. Kadar abu dalam basis kering

Keterangan :
W = bobot sampel sebelum dikeringkan (g)
W1 = bobot cawan + sampel setelah dikeringkan (g)
W2 = bobot cawan kosong (g)
Kadar protein metode kjeldahl (BSN 1992)
Sebanyak 0.5 g sampel ditimbang menggunakan neraca analitik. Selanjutnya
sampel dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 ml dan ditambahkan 2 g serbuk SeO2
dan 12.5 ml H2SO4 pekat. Labu kjeldahl berisi sampel, serbuk SeO2 dan H2SO4 pekat
selanjutnya dipanaskan di atas penangas listrik atau api pembakar sampai mendidih
dan larutan menjadi jernih dan kehijau-hijauan (sekitar 2 jam) dan kemudian
didinginkan. Setelah dingin, larutan kemudian diencerkan dan dimasukkan ke dalam

7

labu ukur 100 ml. Sebanyak 5 ml larutan dipipet dan dimasukkan ke dalam alat
penyuling, lalu ditambahkan 5 ml NaOH 30%. Selanjutnya larutan disuling selama
kurang lebih 10 menit, sebagai penampung digunakan 20 ml larutan asam borat 2%
yang telah dicampur indikator BCG-MM (campuran bromcresol green dan metil
merah). Ujung pendingin dibilas dengan air suling. Selanjutnya dilakukan titrasi
dengan larutan HCL 0.1 N.
Kadar protein dihitung dengan rumus :
a. Kadar protein dalam basis basah

Kadar protein (% bb) = Kadar nitrogen (% bb) x fk
b. Kadar protein dalam basis kering

Keterangan :
V1
= volume HCL akhir
V2
= volume HCL awal
N
= normalitas HCL
Fp
= faktor pengenceran
Fk
= faktor konversi : 6.25
W
= bobot sampel (mg)
Kadar lemak metode soxhlet (BSN 1992)
Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven, kemudian
didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Sebelum pengukuran kadar lemak,
sampel dibungkus dengan selongsong kertas yang dialasi dengan kapas. Selanjutnya
selongsong kertas yang berisi sampel tersebut disumbat dengan kapas dan
dikeringkan dalam oven pada suhu tidak lebih dari 800oC selama kurang lebih satu
jam. Selongsong kemudian dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet yang
dihubungkan dengan labu lemak berisi labu didih yang sudah dikeringkan dan telah
diketahui bobotnya. Selanjutnya dilakukan ekstraksi selama 6 jam. Labu lemak yang
berisi lemak hasil ekstraksi dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC, didinginkan
dalam desikator dan ditimbang. Pengeringan diulangi hingga mencapai bobot
konstan.
Kadar lemak dihitung dengan rumus :
a. Kadar lemak dalam basis basah

8

b. Kadar lemak dalam basis kering

Keterangan :
W = bobot sampel awal(g)
W1 = bobot labu lemak kosong (g)
W2 = bobot labu lemak + sampel setelah dipanaskan (g)
Kadar karbohidrat metode by difference (Winarno 2008)
Kadar karbohidrat dihitung dari selisih 100% dari jumlah kadar air, abu,
protein, dan lemak. Pada analisis ini diasumsikan bahwa karbohidrat merupakan
bobot sampel selain air, abu, lemak dan protein.
Kadar karbohidrat dihitung dengan rumus:
Kadar karbohidrat (% bk) = 100% - kadar abu (%
lemak (%

- kadar protein (%

- kadar

Susut bobot
Susut bobot dihitung untuk mengetahui sejauh mana losses yang terjadi selama
penyimpanan. Hal ini dilakukan dengan menghitung bobot awal dan bobot akhir dari
cabai tersebut dengan timbangan digital.
Susut bobot dihitung dengan rumus :
Susut bobot (%)
Keterangan :
W1 = bobot awal
W2 = bobot akhir
Warna (Jowitt et al. 1987)

Pengukuran warna buah cabai dilakukan menggunakan alat Chromameter
Minolta CR-300. Beberapa cabai diletakkan pada sebuah papan dan warna cabai
dibaca dengan detektor digital yang dinyatakan dalam satuan L∗, a∗, dan b∗. Notasi
L*: 0 (hitam); 100 (putih) menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna
akromatik putih, abu-abu, dan hitam. Notasi a*: warna kromatik campuran merahhijau dengan nilai +a* (positif) dari 0 sampai +80 untuk warna merah dan nilai –a*
(negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b*: warna kromatik campuran
biru-kuning dengan nilai +b* (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan
nilai –b* (negatif) dari 0 sampai -70 untuk warna biru.

9

Tekstur

Pengukuran tekstur cabai menggunakan CT3 Texture Analyzer Brookfield
dengan jenis probe TA7. Analisis ini menggunakan metode kompresi pada bagian
tengah cabai dengan kecepatan 2 mm/s dan beban 4.5 gram. Alat yang cukup
canggih ini berguna untuk mensimulasi apa yang dirasakan mulut atau gigi. Biasanya
analisis dilakukan untuk produk akhir atau juga tahap-tahap proses tertentu yang pada
akhirnya menentukan tekstur yang akan terbentuk. Alat tersebut dihubungkan dengan
PC, sehingga profil yang terjadi saat proses simulasi berlangsung dapat dipantau dari
monitor.
Kadar vitamin C (Jacobs, dalam Sudarmaji et al. 1984)

Penentuan kadar vitamin C dengan menggunakan prinsip reduktometri.
Standarisasi larutan Na2S2O3
Standarisasi Na2S2O3 dilakukan dengan mencampurkan terlebih dahulu 5 ml
larutan baku primer KIO3 0,1 N, ditambah 5 ml KI 1 N, dan 5 ml HCl 1 N di dalam
erlenmeyer 100 ml. Setelah itu dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 N hingga larutan
berubah warna menjadi kuning muda. Setelah itu tambahkan 1 ml larutan amilum dan
titrasi hingga larutan tidak bewarna.
Standarisasi larutan I2
Larutan I2 distandarisasi dengan larutan Na2S2O3 yang telah distandarisasi
terlebih dahulu. Sebanyak 5 ml larutan Na2S2O3 ditambah dengan 0,5 ml larutan
amilum sebagai indikator di dalam erlenmeyer 100 ml. Setelah itu, dititrasi dengan
larutan I2 hingga larutan berubah warna menjadi biru.
Analisis sampel
Sejumlah ± 10 g sampel ditimbang, ditambah 100 ml akuades, dan dihancurkan
dengan blender. Setelah itu, diambil 25 ml sampel ditambahkan dengan dua tetes
larutan amilum sebagai indikator, dan titrasi hingga larutan berubah warna menjadi
coklat.
Kadar vitamin C dihitung dengan rumus :

Keterangan :
V
= volume iod yang digunakan (ml)
N
= normalitas iod hasil standarisasi
FP
= faktor pengenceran
W
= berat sampel (gram)
Kadar capcaisin (Othman et al. 2011)

Analisis kandungan capsaicin dilakukan dengan instrumen High Performance
Liquid Chromatography (HPLC) varian 940-LC, jenis kolom yang digunakan C18.
Persiapan sampel dilakukan dengan menimbang 5 gram sampel cabai merah,
kemudian dihancurkan dengan blender. Sebanyak 2 gram hancuran cabai dimasukkan
kedalam labu takar 25 ml, kemudian dilarutkan dengan 25 ml larutan etanol 95%

10

kemudian ditera. Suspensi ini kemudian diekstraksi dengan meletakkan labu takar
dalam waterbath ultrasonic selama 10 menit. Setelah 10 menit, hasil ekstraksi
diletakkan dalam ruang gelap selama 24 jam. Sebanyak 10 ml supernatan hasil
ekstraksi disaring hingga dua kali, yang pertama disaring dengan kertas saring
whatman no.1 dan yang kedua disaring dengan kertas saring millipore 0.45 mμ.
Sebanyak 5 mikroliter larutan sampel hasil penyaringan diinjeksikan pada kolom
menggunakan larutan elusi (fase gerak) acetonitril : air dengan kecepatan aliran 1.0
ml/min. Hasil larutan elusi dimonitor menggunakan detektor UV vis pada panjang
gelombang 254 nm. Konsentrasi capsaicin dinyatakan dalam satuan mikrogram per
gram sampel.
Kadar capcaisin dihitung dengan rumus:

Keterangan :
V
= volume ekstrak (ml)
W
= berat sampel (g)
Organoleptik (Waysima dan Adawiyah 2011)

Analisis sensori uji organoleptik yang dilakukan menggunakan metode skoring
dengan skala garis. Panelis diminta memberikan penilaian terhadap atribut tekstur,
warna, warna tangkai serta penerimaan cabai secara overall. Panelis yang diambil
responnya adalah panelis terlatih sebanyak 10 orang.
Warna cabai

Uji terhadap warna cabai merah dilakukan menggunakan uji rating. Sampel
cabai utuh hasil perlakuan yang akan diuji disajikan di atas piring kecil, kemudian
panelis diminta untuk memberikan penilaian fisik terhadap warna cabai. Skala
yang digunakan adalah skala garis berupa garis horizontal dengan panjang 15 cm.
Masing-masing tanda batas diberi label dengan deskripsi intensitas warna dengan
“coklat” di ujung kiri dan “merah” di ujung kanan. Panelis memberikan penilaian
(respon) berupa garis horizontal tersebut. Data didapatkan dari respon panelis
dengan cara mengukur dari ujung sebelah kiri hingga titik pertemuan garis
vertikal dan garis horizontal (respon panelis).
Warna tangkai cabai

Uji terhadap warna tangkai cabai merah dilakukan menggunakan uji rating.
Sampel cabai utuh hasil perlakuan yang akan diuji disajikan di atas piring kecil,
kemudian panelis diminta untuk memberikan penilaian fisik terhadap warna
tangkai cabai. Skala yang digunakan adalah skala garis berupa garis horizontal
dengan panjang 15 cm. Masing-masing tanda batas diberi label dengan deskripsi
intensitas warna dengan “coklat” di ujung kiri dan “hijau” di ujung kanan. Panelis
memberiksn penilaian (respon) berupa garis horizontal tersebut. Data didapatkan

11

dari respon panelis dengan cara mengukur dari ujung sebelah kiri hingga titik
pertemuan garis vertikal dan garis horizontal (respon panelis).
Tekstur

Uji terhadap tekstur cabai merah dilakukan menggunakan uji rating. Sampel
cabai utuh hasil perlakuan yang akan diuji disajikan di atas piring kecil, kemudian
panelis diminta untuk memberikan penilaian fisik terhadap tekstur cabai. Skala
yang digunakan adalah skala garis berupa garis horizontal dengan panjang 15 cm.
Masing-masing tanda batas diberi label dengan deskripsi intensitas tekstur dengan
“susah dipatahkan” di ujung kiri dan “mudah dipatahkan” di ujung kanan. Panelis
memberiksn penilaian (respon) berupa garis horizontal tersebut. Data didapatkan
dari respon panelis dengan cara mengukur dari ujung sebelah kiri hingga titik
pertemuan garis vertikal dan garis horizontal (respon panelis).
Kesukaan (Overall)

Uji kesukaan terhadap cabai merah dilakukan menggunakan uji rating
hedonik. Sampel cabai utuh hasil perlakuan yang akan diuji disajikan di atas
piring kecil, kemudian panelis diminta untuk memberikan penilaian fisik terhadap
keseluruhan cabai. Skala yang digunakan adalah skala garis berupa garis
horizontal dengan panjang 15 cm. Masing-masing tanda batas diberi label dengan
deskripsi intensitas kesukaan dengan “tidak suka” di ujung kiri dan “suka” di
sebelah kanan. Panelis memberikan penilaian (respon) berupa garis horizontal
tersebut. Data didapatkan dari respon panelis dengan cara mengukur dari ujung
sebelah kiri hingga titik pertemuan garis vertikal dan garis horizontal (respon
panelis).
.

12

HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi kimia
Hasil analisis terhadap kadar air, abu, lemak, protein dan karbohidrat terhadap
cabai segar awal yang diberi perlakuan GA3 maupun tidak (kontrol) dapat dilihat
pada Tabel 1. Berdasarkan data pada tabel tersebut terlihat bahwa nilai kadar air, abu,
lemak, protein dan karbohidrat tidak berbeda secara signifikan antara cabai merah
segar yang diberi perlakuan GA3 dengan cabai merah segar kontrol. Hal ini
menunjukkan bahwa perlakuan pencelupan dalam larutan GA3 tidak menyebabkan
perbedaan komposisi kimia cabai merah pada hari ke-0.
Tabel 1 Komposisi kimia cabai merah segar kontrol dan cabai merah dengan
perlakuan GA3 pada hari ke-0
Parameter
Cabai merah kontrol
Cabai merah dengan
perlakuan GA3
a
Air (% bb)
77.94±0.79
79.20 ± 0.31 a
Abu (% bk)
6.33±1.46 a
5.74±0.57 a
a
Lemak (% bk)
10.18±1.09
10.31±0.66 a
Protein (% bk)
17.52±0.9 a
18.38±0.51 a
a
Karbohidrat (% bk)
65.97±3.14
65.57±0.95 a
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata (p>0.05)

Kadar air
Hasil analisis ragam pada Lampiran 1 menunjukkan bahwa perlakuan hormon
berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap kadar air cabai selama penyimpanan. Cabai
yang diberi hormon giberelin (GA3) memiliki kadar air yang lebih tinggi
dibandingkan dengan cabai tanpa diberi perlakuan GA3.
Suhu penyimpanan juga berpengaruh terhadap kadar air cabai. Kadar air cabai
yang disimpan pada suhu 10 oC lebih tinggi secara nyata dibandingkan kadar air cabai
yang disimpan pada suhu 30 oC. Hal ini disebabkan pada suhu ruang, transpirasi dan
respirasi berlangsung sangat cepat, sehingga kehilangan air lebih cepat. Hal serupa
ditemukan dalam penelitian Babarinde dan Fabunmi (2009) dimana buah okra yang
disimpan pada suhu ruang mengalami penurunan kadar air lebih tinggi dibandingkan
suhu dingin.
Selain penggunaan hormon GA3 dan suhu penyimpanan, jenis pengemas juga
berpengaruh terhadap kadar air cabai. Berdasarkan uji lanjut pada Lampiran 1
menunjukkan bahwa kemasan LDPE menghasilkan nilai kadar air cabai tertinggi
selama penyimpanan, diikuti oleh cabai yang disimpan dalam kemasan styrofoam,
sedangkan terendah diperoleh dari perlakuan tanpa pengemas (hampar). Hal ini
menunjukkan bahwa kemasan LDPE mampu mempertahankan kadar air cabai selama
penyimpanan Hal ini disebabkan karena kemasan LDPE merupakan kemasan yang
kedap air (Pantastico 1986).

13

Gambar 2, 3 dan 4 menunjukkan perubahan kadar air cabai yang menurun
selama penyimpanan. Kombinasi perlakuan tanpa penggunaan GA3, suhu
penyimpanan 30oC, dan tanpa pengemas memiliki kadar air terendah sampai akhir
penyimpanan.

Kadar air (% bb)

85.00
80.00
GA3 10'c

75.00

GA3 30'c
70.00

Non GA3 10'c
Non GA3 30'c

65.00
0

7

8

14

Lama penyimpanan (hari)

Gambar 2 Perubahan kadar air cabai selama penyimpanan dalam kemasan LDPE

Kadar air (% bb)

80.00

75.00

GA3 10'c
GA3 30'c

70.00

Non GA3 10'c
Non GA3 30'c

65.00
0

7

8

14

Lama penyimpanan (hari)

Gambar 3 Perubahan kadar air cabai selama penyimpanan dalam kemasan
styrofoam

14

Kadar air (% bb)

80.00

75.00
GA3 10'c
GA3 30'c

70.00

Non GA3 10'c
Non GA3 30'c

65.00
7 8

0

14

Lama penyimpanan (hari)

Gambar 4 Perubahan kadar air cabai selama penyimpanan tanpa pengemas
(hampar)
Kadar abu
Kadar abu menunjukkan kandungan mineral pada bahan pangan. Kandungan
mineral yang terdapat pada cabai antara lain kalium, fosfor, dan besi (Prajnanta
2007).
Hasil analisis ragam pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa pemberian GA3,
suhu penyimpanan dan jenis pengemas tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap
kadar abu cabai selama penyimpanan. Gambar 5, 6 dan 7 menunjukkan perubahan
kadar abu cabai yang naik pada hari ke-8 dan kemudian turun pada hari ke 14
penyimpanan. Hal ini belum dapat dijelaskan mekanisme terjadinya.

Kadar abu (% bk)

9.00

6.00
GA3 10'c
GA3 30'c

3.00

Non GA3 10'c
Non GA3 30'c

0.00
0

7 8

14

Lama penyimpanan (hari)

Gambar 5 Perubahan kadar abu cabai selama penyimpanan dalam kemasan
LDPE

15

Kadar abu (% bk)

9.00

6.00

GA3 10'c
GA3 30'c

3.00

Non GA3 10'c
Non GA3 30'c

0.00

0

7 8

14

Lama penyimpanan (hari)

Gambar 6 Perubahan kadar abu cabai selama penyimpanan dalam kemasan
styrofoam

Kadar abu (% b/k)

9.00

6.00
GA3 10'c
GA3 30'c

3.00

Non GA3 10'c
Non GA3 30'c

0.00
0

7

8

14

Lama penyimpanan (hari)

Gambar 7 Perubahan kadar abu cabai selama penyimpanan tanpa pengemas
(hampar)
Kadar lemak
Hasil analisis ragam pada lampiran 3 menunjukkan bahwa perlakuan hormon
dan suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhdap kadar lemak cabai selama
penyimpanan. Sementara itu, jenis pengemas terlihat berpengaruh terhadap kadar
lemak cabai selama penyimpanan. Kemasan LDPE menghasilkan kadar lemak
tertinggi selama penyimpanan, diikuti oleh cabai yang disimpan dalam pengemas
styrofoam, sedangkan terendah diperoleh dari perlakuan tanpa pengemas (hampar).
Hasil pengamatan pada Gambar 7, 8 dan 9 menunjukkan perubahan kadar
lemak cabai yang turun pada hari ke-8 dan kemudian naik pada hari ke-14
penyimpanan. Hal ini kemungkinan disebakan karena terjadinya hidrolisis lemak
cabai kemudian diikuti sintesis lemak tersebut. Hal serupa ditemukan dalam
penelitian Ueda et al. (1970) dimana pada buah tomat terjadi penurunan lemak saat
timbulnya perubahan warna dan meningkat pada stadium matang penuh.

16

Kadar lemak (% bk)

15.00

10.00

GA3 10'c
GA3 30'c

5.00

Non GA3 10'c
Non GA3 30'c

0.00

0

7 8

14

Lama penyimpanan (hari)

Gambar 8 Perubahan kadar lemak cabai selama penyimpanan dalam kemasan
LDPE
Kadar lemak (% bk)

15.00

10.00
GA3 10'c
GA3 30'c

5.00

Non GA3 10'c
Non GA3 30'c

0.00
0

7

8

14

Lama penyimpanan (hari)

Gambar 9 Perubahan kadar lemak cabai selama penyimpanan dalam kemasan
styrofoam

Kadar lemak (% bk)

15.00

10.00
GA3 10'c
GA3 30'c

5.00

Non GA3 10'c
Non GA3 10'c

0.00
0

7 8

14

Lama penyimpanan (hari)

Gambar 10 Perubahan kadar lemak cabai selama penyimpanan tanpa
pengemas (hampar)

17

Kadar protein
Hasil analisis ragam pada Lampiran 4 menunjukkan bahwa pemberian GA3,
suhu penyimpanan dan jenis pengemas tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap
kadar protein cabai selama penyimpanan. Gambar 11, 12 dan 13 menunjukkan
perubahan kadar protein cabai yang meningkat pada hari ke-8 kemudian sedikit
menurun pada hari ke-14 penyimpanan. Hal ini kemungkinan disebakan karena
terjadinya sintesis protein cabai kemudian diikuti hidrolisis protein tersebut. Hal
serupa ditemukan dalam penelitian Hulme (1954) dimana buah apel mengalami
peningkatan protein selama klimakterik, yang berkaitan dengan sistem fosforilasi
kaya energi, kemudian protein tersebut sedikit menurun pada tahap pematangan
berikutnya.

Kadar protein (% bk)

25
20

15

GA3 10'c

10

GA3 30'c
Non GA3 10'c

5

Non GA3 30'c

0

0

7

8

14

Lama penyimpanan (hari)

Gambar 11 Perubahan kadar protein cabai selama penyimpanan dalam kemasan
LDPE

Kadar protein (% bk)

30
25
20
15

GA3 10'c

10

GA3 30'c

5

Non GA3 10'c

0

Non GA3 30'c
0

7

8

14

Lama penyimpanan (hari)

Gambar 12 Perubahan kadar protein cabai selama penyimpanan dalam kemasan
styrofoam

18

Kadar protein (% bk)

30

20

GA3 10'c
GA3 30'c

10

Non GA3 10'c
Non GA3 30'c

0

0

7

8

14

Lama penyimpanan (hari)

Gambar 13 Perubahan kadar protein cabai selama penyimpanan tanpa
pengemas (hampar)

Kadar karbohidrat (% bk)

Kadar karbohidrat
Hasil analisis ragam pada Lampiran 5 menunjukkan bahwa pemberian GA3,
suhu penyimpanan dan jenis pengemas tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap
kadar karbohidrat cabai selama penyimpanan. Gambar 14, 15 dan 16 menunjukkan
perubahan kadar karbohidrat cabai yang menurun selama penyimpanan. Hal ini
disebakan karena terjadinya hidrolisis karbohidrat (pati) menjadi gula untuk
membentuk energi (Winarno 2002).
70.00
60.00
50.00
40.00

GA3 10'c

30.00

GA3 30'c

20.00

Non GA3 10'c

10.00

Non GA3 30'c

0.00
0

7

8

14

Lama penyimpanan (hari)

Gambar 14 Perubahan kadar karbohidrat cabai selama penyimpanan dalam
kemasan LDPE

Kadar karbohidrat (% bk)

19

70.00

GA3 10'c

60.00

GA3 30'c
Non GA3 10'c
Non GA3 30'c

50.00
0

7 8

14

Lama penyimpanan (hari)

Kadar karbohidrat (% bk)

Gambar 15 Perubahan kadar karbohidrat cabai selama penyimpanan dalam
kemasan styrofoam
70.00

GA3 10'c

60.00

GA3 30'c
Non GA3 10'c
Non GA3 30'c

50.00
0

7 8

14

Lama penyimpanan (hari)

Gambar 16 Perubahan kadar karbohidrat cabai selama penyimpanan tanpa
pengemas (hampar)

Susut bobot
Produk hortikultura umumnya mengalami penurunan bobot selama
penyimpanan. Kehilangan (susut) bobot pada produk tersebut disebabkan oleh
kehilangan air sebagai akibat dari proses penguapan serta kehilangan karbon selama
respirasi. Air dibebaskan dalam bentuk uap air pada proses transpirasi dan respirasi
melalui stomata, lentisel, dan bagian jaringan tumbuhan lain yang berhubungan dengan
sel epidermis (Muchtadi 1992). Ia juga mengemukakan bahwa susut bobot buah akibat
respirasi dan transpirasi dapat ditekan dengan cara menaikkan RH, menurunkan suhu,
mengurangi gerakan udara dan penggunaan kemasan.
Selama proses penyimpanan, semua sampel cabai mengalami susut bobot
dengan besaran yang berbeda-beda untuk setiap perlakuan yang diuji. Berdasarkan
analisis ragam pada Lampiran 7 menunjukkan bahwa pemberian GA3 pada cabai

20

berpengaruh nyata (p