Kerentanan Anak dan Kesejahteraan Anak Pada Keluarga Petani

KERENTANAN ANAK DAN KESEJAHTERAAN ANAK PADA
KELUARGA PETANI

DANISYA PRIMASARI

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kerentanan Anak dan
Kesejahteraan Anak Pada Keluarga Petani adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015
Danisya Primasari
NIM I24100034

ABSTRAK
DANISYA PRIMASARI. Kerentanan Anak dan Kesejahteraan Anak Pada
Keluarga Petani. Dibimbing oleh HERIEN PUSPITAWATI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kerentanan dan
kesejahteraan anak pada keluarga petani, mengidentifikasi tipologi kerentanan dan
kesejahteraan anak pada keluarga petani, dan menganalisis hubungan karakteristik
keluarga, karakteristik anak dengan kerentanan anak dan kesejahteraan anak.
Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga petani yang memiliki anak kelas 4
dan 5 SD yang bertempat tinggal di Desa Sindangjaya, Kecamatan Cipanas,
Kabupaten Cianjur dengan contoh sebanyak 35 anak. Pengambilan contoh
dilakukan dengan menggunakan metode probability sampling dengan teknik
random sampling. Hasil menunjukkan bahwa kerentanan internal pada keluarga
petani tergolong rendah, kerentanan eksternal anak tergolong rendah, dan
kesejahteraan anak pada keluarga petani tergolong rendah. Tipologi kerentanan
anak dan kesejahteraan anak pada keluarga petani termasuk dalam Tipe 1 dan
Tipe 4. Terdapat hubungan negatif signifikan antara besar keluarga dan urutan

anak dengan kesejahteraan anak, namun tidak ditemukan hubungan yang
signifikan antara karakteristik keluarga dan anak dengan kerentanan anak.
Kata kunci: kerentanan internal anak, kerentanan eksternal anak, kesejahteraan
anak, keluarga petani

ABSTRACT
DANISYA PRIMASARI. Vulnerability of Children and Child Well-being among
Farmer Families. Supervised by HERIEN PUSPITAWATI.
This reseacrh aimed to identified vulnerability and well-being of children
in a family of farmers, identified the typology of vulnerability and well-being of
children in the family farmer, and analyze the relationship between family
characteristics, characteristics of children with the vulnerability of children and
child well-being. The population in this research are family farmers who have
children 4 and 5 th grade who reside in the village Sindangjaya, District Cipanas,
Cianjur with a sample of 35 children. Sampling was conducted using probability
sampling method with random sampling techniques. The results showed that the
internal susceptibility to family farmers is low, relatively low external
vulnerability child, and child well-being on farm families is low. Typology
vulnerability of children and the well-being of children in a family of farmers
included in Type 1 and Type 4. There was a significant negative correlation

between family size and order of the child with the child's welfare, but found no
significant relationship between the characteristics of families and children with
children's vulnerability.
Keywords: internal vulnerability of children, external vulnerability of children,
child well-being, family farmers.

KERENTANAN ANAK DAN KESEJAHTERAAN ANAK PADA
KELUARGA PETANI

DANISYA PRIMASARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Science
pada
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2015

Judul Skripsi : Kerentanan Anak dan Kesejahteraan Anak Pada Keluarga Petani
Nama
: Danisya Primasari
NIM
: I24100034

Disetujui oleh,

Dr Ir Herien Puspitawati, M Sc, M Sc
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh,

Prof Dr Ir Ujang Sumarwan, M Sc
Ketua Departemen Ilmu keluarga dan Konsumen

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
kenikmatan dan kemudahan serta segala karunia-Nya. Rasa syukur juga penulis
haturkan pada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi motivator
kehidupan bagi penulis sehingga dalam menyusun penulisan karya ilmiah yang
berjudul “Kerentanan Anak dan Kesejahteraan Anak Pada Keluarga Petani” dapat
diselesaikan dengan baik.
Pembuatan karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk
itu terima kasih penulis ucapkan kepada berbagai pihak yang telah membantu
penulis dalam penulisan karya ilmiah ini. Atas bantuannya, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Herien Puspitawati. M.Sc., M.Sc selaku dosen pembimbing
skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu, ilmu-ilmu serta
pengalamannya untuk membimbing penulis dalam penulisan karya
ilmiah ini.
2. Dr. Ir. Istiqlaliyah Muflikhati, M.Si selaku dosen pemandu seminar, Dr.
Ir. Diah K. Pranadji, MS selaku dosen penguji I dan Dr. Megawati
Simanjuntak, SP, Msi selaku dosen penguji II atas kritik dan saran
untuk penyempurnaan karya ilmiah ini.

3. Alfiasari, SP, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah
membimbing penulis, memberikan masukan dan semangat selama
penulis menyelesaikan pendidikan S1.
4. Seluruh dosen Ilmu Keluarga dan Konsumen yang telah memberikan
banyak sekali ilmu dan isnpirasi kepada penulis.
5. Kepala Desa Sindangjaya, Kepala Sekolah SDN Sindanglaya, serta
Kepala Sekolah SDN Suryakancana yang telah memberikan izin serta
dukungan dalam proses pengambilan data dan informasi responden.
6. Kedua orang tua, ayahanda Daniel Herniadi dan Ibunda Anis Surtiani
serta saudara penulis Ibar Donny Rosyadhi atas segala jerih payah, do‟a,
kesabaran, semangat, saran serta kasih sayangnya tak akan pernah
terbalas yang senantiasa diberikan demi keberhasilan penulis.
7. Teman-teman satu tim penelitian penulis, Dwi Puspita Sari, Nurul
Izmah, Ilma Permadani Hidayat, kak Salsabila Khotibatunnisa, dan mba
Vivi Irzalinda serta teman-teman IKK 47 yang membantu, bekerjasama,
memberikan masukan, dan memberikan motivasi penulis selama
menyelesaikan penulisan ini.
8. Kepada semua pihak yang belum disebutkan, yang telah memberikan
kontribusi dalam menyelesaikan usulan penelitian ini, penulis ucapkan
terima kasih.

Penulis menyadari bahwa penulisan karya ilmiah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi seluruh
pihak yang membutuhkan segala informasi yang terdapat didalammnya.
Bogor, Januari 2015
Danisya Primasari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian

3

TINJAUAN PUSTAKA


4

KERANGKA PEMIKIRAN

12

METODE PENELITIAN

15

Disain, Lokasi dan Waktu Penelitian

15

Jumlah dan Cara Pemilihan Responden

15

Jenis dan Cara Pengumpulan Data


16

Pengukuran dan Penilaian Variabel Penelitian

18

Pengolahan dan Analisis Data

19

Definisi Operasional

20

HASIL DAN PEMBAHASAN

21

Karakteristik Anak


23

Karakteristik Keluarga

23

Kerentanan Anak

27

Kesejahteraan Anak

31

Tipologi Kerentanan Anak dan Kesejahteraan Anak

34

Hubungan antara Karakteristik Keluarga dan Karakteristik Anak dengan
Kerentanan Anak dan Kesejahteraan Anak

37

Pembahasan Umum

39

SIMPULAN DAN SARAN

41

DAFTAR PUSTAKA

41

LAMPIRAN

47

RIWAYAT HIDUP

56

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Jenis variabel, satuan, skala, dan responden
Sebaran karakteristik anak
Sebaran usia, lama pendidikan, dan pekerjaan ayah dan ibu
Sebaran tipe petani, dan besar keluarga
Sebaran pendapatan dan pengeluaran keluarga
Sebaran kepemilikan aset keluarga
Persentase item nilai kerentanan internal anak
Sebaran dimensi kerentanan internal anak secara umum
Persentase item nilai kerentanan eksternal anak
Sebaran dimensi kerentanan eksternal anak secara umum
Persentase item nilai kesejahteraan subjektif anak
Sebaran dimensi kesejahteraan subjektif anak
Sebaran tipologi kerentanan anak dan kesejahteraan anak
Matriks tipologi kerentanan anak dan kesejahteraan anak
Koefisien korelasi Pearson karakteristik keluarga
dan karakteristik anak terhadap kerentanan
internal anak dan kesejahteraan anak

16
23
24
25
26
27
28
29
30
31
33
34
36
37

38

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

Kerangka pemikiran karakteristik keluarga, karakteristik
anak, kerentanan anak dan kesejahteraan anak
Metode penarikan contoh
Tipologi kerentanan anak dan kesejahteraan anak

14
15
35

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Kronologis sampling
Peta lokasi penelitian
Data kualitatif arti keluarga
Data kualitatif arti anak
Daftar responden berdasarkan tipologi kerentanan
Anak dan kesejahteraan anak
Koefisien korelasi karakteristik keluarga, karakteristik
anak, kerentanan internal anak, dan kesejahteraan anak
Kondisi pertanian Desa Sindangjaya

48
49
50
51
52
54
55

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anak yang rentan terjadi karena anak tidak memiliki akses yang sangat
terbatas terhadap kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, tidak
memperoleh sanitasi yang baik, dan kurangnya perhatian kasih sayang, cinta,
bimbingan dan dukungan dari (Skinner et al. 2004). Kemiskinan akan
menimbulkan permasalahan pada anak, salah satunya adalah kerentanan anak.
Keluarga dan anak-anak yang rentan memiliki sumberdaya yang terbatas seperti
pendidikan, kesempatan kerja, dan hambatan untuk memperoleh pelayanan sosial
lainnya (Zambrana & Dorrington 1998). Kerentanan dapat dilihat sebagai
penyebab kemiskinan, sebagai alasan mengapa orang miskin tetap miskin, atau
sebagai dampak dari kemiskinan (Permana 2008). Menurut Engle, Castle, &
Menon (1996) menyatakan tantangan yang dihadapi anak-anak sekarang adalah
perubahan zaman, termasuk peningkatan urbanisasi, kekerasan politik, kekerasan
pada anak, perubahan bentuk keluarga, dan dibeberapa daerah telah mengalami
penurunan pasokan makanan yang memadai. Kerentanan anak memiliki
peningkatan yang mencolok akibat ketegangan emosional dan kurang mampunya
anak untuk beradaptasi secara sosial (Tembong 2006). Keterbatasan ekonomi dan
pengetahuan orang tua di perdesaan dalam memberikan bimbingan dan
pengawasan pada anaknya, menimbulkan dampak anak menjadi putus sekolah dan
terpaksa harus memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, sehingga anak membantu
mencari nafkah bagi keluarganya dengan bekerja disekitar lingkungan anak atau
bahkan sampai ke luar kota (Anshor & Ghalib 2010).
Pengentasan kemiskinan merupakan salah satu prioritas pembangunan
Pemerintah Indonesia yang bertujuan untuk menurunkan tingkat kemiskinan
menjadi 8 hingga 10 persen pada tahun 2014 (UNICEF Indonesia 2013). Salah
satu tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yaitu berusaha membangun
kehidupan dan kesejahteraan perempuan dan anak-anak menjadi lebih baik,
khususnya melalui peningkatan harapan hidup, penurunan kemiskinan,
peningkatan kesehatan, gizi dan akses terhadap pendidikan. Menurut Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 8 tentang perlindungan anak menyatakan
bahwa Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial
sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. Hak anak adalah
bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh
orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Menurut UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979, Kesejahteraan anak adalah suatu tatanan
kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial.
Perundang-undangan nasional, baik Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, telah menyatakan pentingnya pengasuhan anak oleh orang tua
dan keluarga (Kemensos 2011). Kesejahteraan anak memerlukan perhatian khusus,
pertama karena masalah kesejahteraan anak tidak hanya berdampak pada saat
sekarang saja, tetapi akan memiliki dampak pada masa depan anak-anak. Kedua,
karena anak-anak merupakan salah satu kelompok yang paling menderita karena

2
kemiskinan, dan yang ketiga karena masih kurangnya informasi langsung
tentang kehidupan anak (Fernandes et al. 2010). Pada usia sekolah dasar, anak
akan mengalami tahapan penting dalam pembentukan kepribadiannya. Hurlock
(1980) juga mengatakan bahwa masa usia anak sekolah dasar, merupakan masamasa penting karena kondisi-kondisi yang menimbulkan kebahagiaan pada masa
ini dan akan terus menciptakan kebahagiaan pada tahun-tahun selanjutnya. Oleh
karena itu, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana kerentanan dan kesejahteraan
anak pada keluarga petani di Desa Sindangjaya, Kecamatan Cipanas, Kabupaten
Cianjur.
Perumusan Masalah
Kehadiran seorang anak merupakan keberkahan yang luar biasa bagi
sebuah keluarga yang telah menjalani kehidupan rumah tangga. Anak merupakan
salah satu golongan penduduk yang berada dalam situasi kerentanan dalam
kehidupan dilingkungan masyarakat. Kehidupan anak dipandang sangat lemah
karena memiliki ketergantungan terhadap orang tuanya. Jika orang tua lalai dalam
menjalankan tanggung jawabnya, maka anak akan menghadapi masalah baik itu
fisik, psikologi dan sosial (BPS 1996). Kondisi demikian akan mengganggu
proses tumbuh kembang anak. Pertumbuhan dan perkembangan yang tidak wajar
pada anak, menjadikan anak mengalami gangguan dalam proses belajar tentang
status dan peranannya bagi kehidupan.
Menurut Kumpulainen (2006) kerentanan merupakan salah satu
permasalahan yang dapat membahayakan kondisi individu, komunitas, ataupun
suatu daerah. Simanjuntak (2010a) menyatakan bahwa pendekatan subjektif
dilihat berdasaarkan pemahaman penduduk mengenai standar hidup dan
bagaimana mereka mengartikannya. Dengan demikian penduduk akan
mempunyai pandangan sendiri mengenai arti kesejahteraan yang mungkin dapat
berbeda dengan pandangan objektif. Kesejahteraan keluarga akan memengaruhi
kehidupan anak yang berdampak pada kesejahteraan anak. Hastuti (2009)
menyatakan bahwa kualitas anak pada saat ini, merupaakan produk dari hasil
proses pembentukan yang terjadi selama berada dalam keluarganya. Tahun 2012
UNICEF Indonesia mengeluarkan laporan tahunan, sebanyak 2,3 juta anak usia 7
sampai 15 tahun di Indonesia tidak bersekolah. Sebanyak 42% anak putus sekolah
di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Kebanyakan anak yang
putus sekolah sewaktu masa transisi dari SD ke SMP 1 . Kemendikbud (2013)
menggambarkan pada tahun 2007, dari 100 persen anak-anak yang masuk SD,
yang melanjutkan sekolah hingga lulus hanya 80 persen, sedangkan 20 persen
lainnya putus sekolah. Diketahui bahwa 80 persen yang lulus SD, hanya sekitar 60
persen yang melanjutkan ke SMP maupun sekolah tingkat lainnya, kemudian dari
jumlah tersebut yang sekolah hingga lulus sekitar 48 persen. Sementara itu, dari
48 persen tersebut, yang melanjutkan ke SMA tinggal 21 persen dan berhasil lulus
10 persen, sedangkan yang melanjutkan ke SMP dari 61 persen menjadi 70 persen,
dan yang masuk ke perguruan tinggi menjadi 4,4 persen. Mendikbud menyatakan,
secara nasional angka partisipasi kasar (APK) sudah cukup baik, tetapi masih
1

Pikiran Rakyat Online. 2014. Di Pulau Jawa, 42% Anak Putus Sekolah [Internet]. [Diakses 2014
November 16].Tersedia pada: http://www.pikiran-rakyat.com/node/289284

3

terdapat kabupaten-kabupaten yang masih dibawah rata-rata nasional. Demikian
juga angka putus sekolah masih cukup besar, dijenjang SD dari kelompok
ekonomi paling rendah masih ada 13 persen secara nasional yang tidak tamat SD,
artinya anak putus sekolah sebelum tamat, sementara dari mereka yang lulus SD
sebesar 87,0 persen hanya 56,7 persen yang melanjutkan ke jenjang sekolah
menengah SMA/Sederajat (Kemendikbud 2013).
ILO (International Labour Organization) memperkirakan terdapat 152
juta pekerja anak yang berusia antara 5 hingga 14 tahun. Menurut Amelia (2013)
sebagian besar dari pekerja anak berasal dari kelompok-kelompok yang
terpinggirkan dalam masyarakat dan datang dari keluarga yang hidup dalam
kemiskinan. Untuk konteks Indonesia, per 2013 Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) menyatakan ada 4,7 juta jiwa pekerja anak. Dilihat dari lokasi
kerja, dari total pekerja anak, terdapat 1,1 juta anak yang bekerja di kawasan
perkotaan dan lainnya, 2,3 juta pekerja anak di perdesaan. Permasalahan tersebut
merupakan beberapa contoh yang ditimbulkan akibat rendahnya kesejahteraan
keluarga yang berdampak pada anak. Untuk menanggulangi kerentanan anak serta
meningkatkan kesejahteraan anak maka diperlukan kajian mengenai kerentanan
anak dan kesejahteraan anak. Berdasarkan hal tersebut, maka masalah yang akan
diteliti yaitu:
1. Bagaimana kerentanan dan kesejahteraan anak pada keluarga petani?
2. Bagaimana tipologi kerentanan dan kesejahteraan anak pada keluarga
petani?
3. Bagaimana hubungan karakteristik keluarga, karakteristik anak terhadap
kerentanan anak dan kesejahteraan anak?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kerentanan anak dan
kesejahteraan anak pada keluarga petani di Desa Sindangjaya, Kecamatan Cipanas,
Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi kerentanan anak dan kesejahteraan anak pada keluarga
petani
2. Mengidentifikasi tipologi kerentanan anak dan kesejahteraan anak pada
keluarga petani
3. Menganalisis hubungan karakteristik keluarga, karakteristik anak dengan
kerentanan anak dan kesejahteraan anak.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi yang bermanfaat
bagi masyarakat mengenai kerentanan anak dan kesejahteraan anak pada keluarga
petani. Penelitian ini merupakan sarana untuk mengembangkan diri dari ilmu yang
telah didapatkan selama perkuliahan serta dapat memberikan tambahan

4
pengetahuan atau referensi bagi penelitian selanjutnya. Berdasarkan informasi
tersebut, penelitian ini dapat menjadi acuan penelitian-peneilitian selanjutnya
terkait kerentanan anak dan kesejahteraan bagi anak. Bagi pemerintah dan instansi
diharapkan dapat membuat kebijakan yang dapat mendukung kesejahteraan anak.
Bagi perkembangan ilmu pengetahuan diharapkan dapat menambah wawasan,
pengalaman, ilmu pengtahuan serta aplikasinya khususnya dalam bidang ilmu
keluarga. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
mengenai kehidupan keluarga terutama anak.

TINJAUAN PUSTAKA
Teori Struktural Fungsional
Pendekatan struktural fungsional adalah pendekatan teori sosiologi yang di
terapkan dalam sebuah institusi keluarga. Struktural fungsional pada prinsipnya
berkisar pada beberapa konsep, namun yang paling penting adalah konsep fungsi
dan konsep struktur. Menurut Puspitawati (2012), penganut pandangan teori
struktural-fungsional melihat system sosial sebagai suatu sistem yang seimbang,
harmonis dan berkelanjutan. Pendekatan stuktural-fungsional menekankan pada
keseimbangn system yang stabil dalam keluarga dan kestabilan sistemsosial
dalam masyarakat. Pendekatan teori struktural fungsional dapat digunakan untuk
menganalisis peran anggota keluarga agar dapat berfungsi dengan baik untuk
menjaga keutuhan keluarga dan masyarakat (Newman dan Grauerholz 2002).
Puspitawati (2012) menyatakan bahwa pendekatan teori struktural-fungsional
dapat digunakan dalam menganalisis peran keluarga agar dapat berfungsi dengan
baik untuk menjaga keutuhan keluarga dan masyarakat. Teori struktural
fungsional ini memandang bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang
terdiri dari beberapa bagian atau subsistem yang saling berintegrasi satu dengan
yang lainnya. Adanya perubahan diawali oleh tekanan-tekanan yang kemudian
terintegrasi dan berakhir pada titik keseimbangan yang selalu berlangsung tidak
sempurna, teori ini melihat adanya ketidakseimbangan yang abadi layaknya
sebuah siklus untuk mewujudkan keseimbangan yang baru.
Menurut Ihromi (2004) masyarakat menurut pendekatan strukturalfungsional dipandang sebagai suatu sistem yang dinamis, yang memiliki
subsistem atau bagian-bagian yang saling berhubungan. Puspitawati (2012)
menyatakan bahwa keseimbangan dalam keluarga serta kestabilan sistem sosial
merupakan hal yang ditekankan pada pendekatan struktural fungsional.
Keseimbangan keluarga dapat terwujud apabila subsistem yang ada dalam
keluarga tersebut dapat bekerja secara maksimal dan bertindak sesuai norma dan
nilai-nilai yang telah diterapkan (Ihromi 2004). Megawangi (1999) menjelaskan
bahwa struktur dalam keluarga mencakup tiga elemen utama yang saling terkait
dan merupakan satu kesatuan: 1) Status sosial yaitu sebagai identitas dan
kepemilikan dalam sistem individu serta merupakan gambaran hubungan timbal
balik antar individu dengan status sosial yang berbeda, 2) Fungsi sosial
merupakan peran dan fungsi masing-masing sosial yang berbeda-beda, 3) Norma

5

sosial yang berperan dalam mengatur tingkah laku individu dalam kehidupan
sosialnya.
Kerentanan Anak
I.

Definisi kerentanan anak
1. Anak rentan dipandang sebagai seseorang yang tidak memiliki akses yang
sangat terbatas terhadap kebutuhan dasar, mereka masih memiliki kedua
orang tua tetapi hak anak tidak terpenuhi oleh kedua orang tuanya.
Kerentanan yang kontekstual bagi anak merupakan anak yang tidak
terpenuhi kebutuhan dasar dan terdapat masalah di lingkungan anak
(Skinner et al. 2004).
2. Anak-anak rentan adalah kondisi yang dapat mengancam kesejahteraan
anak pada masa sekarang sampai masa depan anak yang berasal dari
lingkungan dimana anak dibesarkan. Faktor lingkungan yang
mempengaruhi kerentanan anak adalah tidak terpenuhinya kebutuhan
dasar anak seperti emosional, fisik, sosial, perkembangan dan / atau
budaya anak ketika berinteraksi di rumah atau di komunitas yang lebih
luas. (Bannett 2012).
3. Anak yang rentan adalah indivdu yang hidup dalam keadaan dengan risiko
yang tinggi untuk perkembangan dan pertumbuhan anak sehingga anak
tidak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal (The President‟s
Emergency Plan for AIDS Relief 2006).
4. Kerentanan anak adalah sejauh mana seorang anak dapat menghindari atau
memodifikasi dampak dari ancaman keamanan. Hal ini menggambarkan
bagaimana usia masing-masing anak, fisik, intelektual dan sosial,
emosional fungsi perilaku / peran dalam keluarga dan kemampuan untuk
melindungi dirinya sendiri berkontribusi atau mengurangi kemungkinan
bahaya yang mengancam anak (IHS for the Ohio Child Welfare Trainning
Program 2011).
5. Mothers reported that vulnerable children also had more somatic
problems and were more aggressive, destructive, and poorly socialized.
Perrin et al. described the vulnerable children in their study as having
difficulties with dicipline, self control and peer realtions and also having
internalizing and somatic complaints (De Ocampo et al. 2003).
II. Konsep kerentanan anak
1. Konsep kerentanan tidak hanya terbatas pada individu seperti anak-anak,
tetapi sering digunakan untuk merujuk juga ke rumah tangga (Smart 2003).
2. Menurut Sunarti et al. (2009) konsep kerentanan yang pada awalnya
berkembang dalam disiplin ilmu-ilmu sosial seperti bidang psikologi,
sosiologi, dan komunikasi, serta digunakan dalam unit analisis mikro
(individu, keluarga, dan masyarakat), kemudian dikembangkan dan
diperluas konsepnya pada tataran institusi dan kerentanan kawasan.
Demikian pula komponennya diperluas dengan memasukkan kerentanan
fisik dan lingkungan.
3. Vulnerable Populations Models (VPM) digunakan sebagai kerangka
teoritis untuk membimbing perawatan dan tindak lanjut dari risiko tinggi
pada bayi prematur. VPM digunakan untuk menindak lanjuti morboditas
dan mortalitas pada kerentanan bayi prematur. Penggunaan VPM

6
menawarkan model evaluasi yang berhubungan dengan risiko relatif
(risiko prenatal, biofisiologis, dan risiko psikososial), ketersediaan
sumberdaya (status sosial ekonomi, pendidikan ibu, dan perawatan
prenatal), dan status kesehatan (Purdy 2008).
4. The literature is replete with descriptions from numerous diciplines
identifying the use of vulnerable with people at risk for adverse healthrelated outcomes. This term has been useful for generating nursing theory
on conceptualizing vulnerable populations (Flaskerud & Winslow 1998),
aiding health-related research conducted with the Vulnerable Populations
Models (VPM) as a framework. From the field of family and community
medicine, researchers examining sociologic stressors determined that
neither exposure nor vulnerability to daily stressors explained
socioeconomic differences in daily health (Gryzwacz, Almeide, Neupert, &
Ettner 2004). Thus, being more vulnerable was not specifically associated
with poorer health status. However, better education and higher
socioeconis status may have altered health status. (Purdy 2008).
5. The “Ten Elements of Mental Health Promotion and Demotion.” A
conceptual mental health model developed by MacDonald dan O’Hara
(1998), was used as a guide to identify mental health promoting and
demoting factors. Promoting factors include interplay of environmental
quality, self-esteem, emotional processing, self-management, and social
participation. Demoting factors include environmental deprivation,
emotional abuse, emotiional negligence, stress, and social alienation
(Krikpatrick et al. 2012).
6.
The concepts of child vulnerability and parent overprotectiveness
and their relationship to medical problems during the neonatal perios,
developmental outcomes and later behavior problems in the child. The
assumption has been made that persistent parental anxiety about the
child’s vulnerability may cause the child to defiantly react with risky or
dangerous behavior against the lack of parental confidence (De Ocampo
et al. 2003).
III. Indikator kerentanan
1. Menurut Skinner et al. (2004) terdapat 12 indikator individu untuk
menentukan kerentanan pada anak diantaranya: Problem emosional dan
psikologis; setiap cacat fisik atau mental atau kesulitan jangka panjang
lainnya yang akan membuat anak sulit untuk melakukan sesuatu secra
mandiri; penyakit menahun; penyalahgunaan pada tingkat fisik atau
emosional; tidak ceria, kusam, tidak semangat di kelas, menyedihkan,
pakaian kotor dan robek, sering mengantuk; Menggunakan obat
terlarang, misalnya: lem, alkohol, rokok; Mengabaikan tugas sekolah,
tidak sekolah secara teratur (bolos), tidak taat peraturan sekolah; Tidak
mendapatkan makanan sehat yang cukup dan terus menerus
menunjukkan tanda-tanda kelaparan; Tidak tidur dengan baik;
Kebersihan yang buruk atau tidak merawat diri dengan baik; Tidak
memiliki pakaian atau memakai pakaian kotor sepanjang waktu; Tidak
mendapatkan kasih sayang, cinta, bimbingan dan dukungan dari
orangterdekat.

7

IV.

2. Kondisi keluarga yang membuat kerentanan pada anak Skinner et al.
(2004): Pengasuh tidak mau atau bersedia untuk merawat anak-anak;
Orang tua pemabuk, miskin, dan emosional terganggu; Anggota
keluarga ada yang cacat atau sakit parah baik fisik maupun mental;
Rumah tangga terlalu banyak anggota keluarga, salah satunya jumlah
anak-anak terlalu banyak untuk pengasuh; Orang tua bercerai; Keluarga
atau pengasuh yang kasar, pengasuh tidak mengetahui cara pengasuhan
yang baik; Kurangnya sumberdaya keuangan untuk melakukan
perawatan yang memadai bagi anak; Kurangnya bimbingan dan arahan
dari orang tua,
3. Lingkungan tempat tinggal anak yang mempengaruhi kerentanan anak
Skinner et al. (2004): Terdapat lingkungan yang berbahaya bagi anak;
Anak tidak memiliki fasilitas yang memadai sebagai seorang anak,
misalnya: fasilitas pendidikan dan bermain anak; Lingkungan yang tidak
aman, seperti pemukiman yang kurang layak, banyaknya kejahatan, dan
kurangnya toilet; Tingginya tingkat kemiskinan; Terdapatnya komunitas
gengter dan penggunaan narkoba
4. Menurut Sunarti et al. (2009) terdapat beberapa indikator kuantitatif
kerentanan sosial ekonomi pada tingkat individu yang sering digunakan,
yaitu diantaranya: Usia (dibawah 5 tahun dan diatas 65 tahun),
pendapatan, gender, status kerja, jenis tempat tinggal, rumah tempat
tinggal sendiri atau berkelompok dengan keluarga besar, tenure / beban
kerusakan bangunan rumah terkait apakah rumah milik pribadi, sewa,
atau kredit, asuransi kesahatan; asuransi rumah (dan isi); kepemilikan
kendaraan (negatif), kecacatan, dan status tabungan / hutang.
5. Terdapat tiga cara pengkategorian kerentanan anak dari berbagai
intervensi menurut lembaga The President‟s Emergency Plan for AIDS
Relief, OGAC (2006):
1) Level anak – Memastikan penyediaan intervensi inti yang
menciptakan peluang bagi anak-anak yang rentan untuk tumbuh
dan berkembang sesuai dengan norma-norma dalam komunitas
mereka dan dalam budaya mereka
2) Level keluarga / Pengasuh – Melatih dan memberikan dukungan
langsung kepada pengasuh untuk meningkatkan kemampuan
mereka untuk dapat merawat anak-anak yang rentan.
3) Level sistem – Membangun kapasitas lokal, regional, dan nasional
untuk memperkuat struktur dan jaringan yang mendukung
perkembangan anak yang sehat, untuk mengumpulkan dan
menggunakan informasi, dan untuk mengembangkan respon
kebijakan dan program yang mengarah pada perawatan yang
komprehensif dan efektif untuk kerentanan anak.
Faktor yang memengaruhi kerentanan anak
1. Terdapat 3 masalah yang dapat mempengaruhi kerentanan pada anak
Skinner et al. (2004):
- Masalah materi, kurangnya akses anak terhadap kebutuhan dasar
seperti keuangan, makanan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan dan
pendidikan.

8

-

2.

3.

4.

5.

6.

- Masalah emosional, kurangnya rasa peduli, cinta, dukungan, dan
kurang dapat menahan emosi.
- Masalah sosial, termasuk kurangnya teman sebaya anak, tidak adak
model peran yang dapat diikuti oleh anak, kurangnya bimbingan
ketika anak mengalami kesulitan, dan risiko di lingkungan terdekat
anak.
Faktor yang memengaruhi kerentanan anak adalah kematian orang tua;
penyakit kronis orang tua; kecacatan anak; kemiskinan; perumahan
yang buruk; akses ke layanan (pendidikan, kesehatan, pelayanan
kesehatan); Pakaian yang tidak memadai (Skinner et al. 2004).
Sumber internal: Calkins menyatakan bahwa bawaan khusus untuk
anak mencakup sistem Psycologis neiroregulatory, sifat tempramental,
dan komponen kognitif. Sumber eksternal: Calkins menyatakan
bahwa pengembangan regulasi emosional meliputi interaksi awal
dengan pengasuh. (Calkins 1994 dalam Duncan dan Caughy 2009).
Para ahli sosial menyepakati beberapa faktor utama yang berpengaruh
terhadap kerentanan sosial, diantaranya adalah kurangnya akses
terhadap sumberdaya (informasi, pengetahuan, dan teknologi),
terbatasnya akses terhadap kekuatan dan keterwakilan politik, modal
sosial, koneksi dan jejaring sosial, adat kebiasaan dan nilai budata
(Cutter, Susan l, Bryan J. Boruff, dan W. Lynn Shirley 2003 dalam
Sunarti et al. 2009)
Keprihatinan tentang kesehatan anak yang berkaitan dengan penyakit
yang serius yang sebelumnya pernah di rasakan anak, orang tua tahut
bahwa anaknya akan meninggal, dan kesulitan menetapkan batasan
perilaku anak secara signifikan terkai dengan kerentanan anak yang
tinggi. Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang ditandai
dengan kombinasi kerentanan yang tinggi dan perlindungan orang tua
yang overprotective memiliki tingkat keparahan stres untuk anak dan
orang tua (Thomasgard dan Metz 1999).
AIDS orphas suffered more psychological dis tress than nonorphans in
both short-term and long-term studies. Depression, anxiety, and
withdrawal from society inhibited the normal grieving process and
contributed to greater anxiety and other internal and external
sympptoms of distress (Li et al 2008; Nyamukapa et al. 2008).
Common factors that affect the psychological well-being of AIDS
orphans have been categorized into the following themes: bereavement,
caregiving, new homes, belonging, contact with extended family, abuse,
poverty, access to services, school and peers, physical safety, crime,
stigme and gossip, and positive activities (Cluver & Gardner 2007).
Cluver and Orkin (2009) and Li et al. (2008) found a particularly
strong relationship be\tween negative mental health and poverty. They
also identified the following factoers that contributed to negative
mental health status: food insecurity, AIDS-related stigma, bullying,
vulnerability to sexually transmitted diseases, and multiple death in the
family (Kirkpatrick 2012).
Kerentanan baik individu atau tingkat masyarakat tergantung pada
berbagai faktor, seperti kepadatan penduduk, pembangunan ekonomi,

9

V.

ketersediaan pangan, status kesehatan, lingkungan dan kondisi
geografis dan kualitas ketersediaan pelayanan sosial (UNICEF 2011)
7. Orang tua yang merasakan anak mereka rapuh, akan kesulitan untuk
memisahkan diri dari anak tetapi orang tua tidak menunjukkan untuk
melindungi anak mereka. Masalah kesehatan selama periode neonatal
tidak berhubungan dengan kerentanan yang dirasakan anak. (De
Ocampo et al. 2003).Keterlambatan perkembangan dan kerentanan
yang dirasakan oleh anak yang usianya lebih tua akan cenderung
berkurang dari waktu ke waktu. Tidak ada hubungan antara variabel
status sosial ekonomi rendah dan kerentanan yang dirasakan anak (De
Ocampo et al. 2003).
8. Anak-anak yang lebih tua dinilai memiliki masalah yang lebih internal
seperti depresi atau kecemasan, tetapi tidak ada hubungan yang
signifikan antara nilai CVS dan perilaku eksternal (De Ocampo et al.
2003).
9. Anak-anak sangat rentan terhadap dampak kekerasan dan penelantaran
sehingga anak membutuhkan perlindungan (Daniel 2010).
Kerentanan anak berpengaruh terhadap variabel lain
1.
Kerentanan pada anak dapat menyebabkan peningkatan stres bagi
orang tua (IHS for the Ohio Child Welfare Trainning Program 2011).
2.
Kerentanan anak dapat mempengaruhi perkembangan kognitif anak
seperti anak menjadi stres, anak menjadi kurang berkompeten, dan
kepekaan anak terhadap lingkungan menjadi berkurang (Guralnick
1998)
3.
Kesalahan dalam pola asuh akan mengganggu anak-anak dalam tahap
perkembangan, kurang untuk mendapatkan kesehatan baik fisik
maupun psikologi dengan baik sehingga dapat menimbulkan
kerentanan pada anak (Bruskas 2008).
4.
Anak-anak yang dikategorikan rentan mengalami peningkatan yang
signifikan dalam masalah perilaku dan kesehatan (Forsyth et al. 1996).

Kesejahteraan Anak
I.

Definisi kesejahteraan anak
1. Kesejahteraan secara umum dipahami sebagai kualitas kehidupan
masyarakat yang dinamis ketika seseorang dapat memenuhi tujuan
pribadi dan sosial mereka. Hal ini dipahami baik dalam kaitannya
dengan ukuran objektif, seperti pendapatan keluarga, sumberdaya
pendidikan dan status kesehatan, dan indikator subjektif seperti
kebahagiaan, persepsi kualitas hidup dan kepuasan kehidupan (Statham
dan Chase 2010).
2. Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan yang mencakup aspek
kualitas hidup anak di dalam keutuhan satuan keluarga dan budaya
bangsa yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya
dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial ke arah
perkembangan pribadi untuk terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya
(BPS 1996).

10

II.

III.

3. Kesejahteran psikologis didiefinisikan sebagai ada atau tidak adanya
gejala tekanan psikologis, seperti kecemasan yang berlebihan dan
suasana hati yang tidak menentu (Wong et al. 2009).
4. Well being has been defined by individual characteristics of an
inherently positive state (happiness). It has also been defined on a
continuum from positive to negative, such as how one might measure
self-esteem. Well being can also be defined in terms of one’s context
(standard living), absence of wellbeing (depression), or in a collective
manner (shared understanding). Well being could be defined and
operationalized at the individual level within a specific domain (physical,
social, cognitive, or psychological) or at the environmental context
(Pollard & Lee 2003).
Konsep kesejahteraan anak
1. Konsep-konsep seperti „kesejahteraan‟, „kepuasan hidup‟, dan „ kualitas
hidup‟ sering digunakan secara bergantian, dan menggabungkan aspek
objektif dan subjektif dari kehidupan seseorang. Fakta yang dapat
diamati seperti pendapatan keluarga, struktur keluarga, prestasi
pendidikan, status pendidikan dan perasaan masing-masing individu
tentang hal-hal tentang kehidupan secara umum (Statham dan Chase
2010).
2. Social indicators were written in the late 1960s and early 1970s, and
can trace to these origins the different conceptual approaches to
developing child well being indicators that exist today. For example,
Campbell and Converse (1972) were concerned with developing
objective indicators of the quality of life, such as aspirations,
expectations, and life satisfaction, whereas (Lippman 2007).
3. As in the study of ecological models has evolved to recognize the
importance of the interaction between the individual and their
environmental (Bronfonbrenner 1998), so too have several recent child
well being indicator efforts focused on capturing the interaction of
children and their environments (Lippman 2007).
Indikator kesejahteraan anak
1. Empat dimensi kesejahteraan anak yang terdapat dalam Statham dan
Chase (2010): 1) Kehidupan rumah (ukuran hubungan anak dengan
orang tua mereka); 2) Orientasi pendidikan (ukuran seberapa baik anak
melakukan di sekolah), 3) Nilai diri yang rendah (Satu indikator
kesejahteraan subjektif atau kurangnya kesejahteraan), dan perilaku
berisiko (sebagai ukuran pengambilan risiko atau perilaku anti sosial).
2. Menurut Badan Pusat Statistik (1996) pemilihan indikator-indikator
didasarkan 3 aspek utama yaitu aspek kelangsungan hidup (survival),
aspek perkembangan (development), dan aspek perlindungan
(protection)
3. Empat dimensi kesejahteraan anak menurut Moore et al (2008) untuk
pengembangan individu anak dapat dilihat dari:
1) Fisik. Kesejahteraan fisik mengacu pada status biologis individu
termasuk kesehatan mereka secara keseluruhan dan fungsi, berat badan,
dan keterlibatan dalam perilaku gaya hidup sehat.

11

IV.

2) Psikologis. Status mental dan emosional individu termasuk bagaimana
mereka berpikir tentang diri mereka sendiri dan masa depan mereka,
bagaimana mereka menangani dan mengatasi situasi dan bebas dari
masalah yang kompromi adaptasi fungsional mereka.
3) Sosial. Sosial kesejahteraan meliputi beberapa elemen yang
berhubungan dengan seberapa baik individu mampu bergaul dalam
ekologi sosial. Ini termasuk keterampilan sosial dasar, keterlibatan
dalam kegiatan konstruktif, kemampuan untuk dapat berhubungan
secara emosional dengan orang dan terlalu berteman.
4) Pendidikan. Kesejahteraan kognitif dan pendidikan meliputi
keterampilan yang berkaitan dengan kemampuan seorang anak untuk
belajar, mengingat dan cukup untuk usia mereka. Struktur tumbuh dan
berkembang dengan pengalaman baru dan memungkinkan anak-anak
untuk mengelola lingkungan mereka. Sebuah tugas perkembangan
utama bagi anak-anak adalah untuk dapat menerapkan keterampilan
kognitif mereka untuk menjadi produktif dan terlibat di sekolah.
4. Indikator kesejahteraan anak menurut Pollard dan Lee (2003) terdapat
lima dimensi untuk menentukan kesejahteraan anak diantaranya:
kesejahteraan fisik, psikologis, kognitif, sosial dan ekonomi. Dimensi
sosial hanya mencakup perspektif sosiologis, dimensi psikologis
mencakup indikator yang berhubungan dengan emosi, kesehatan mental,
penyakit mental. Dimensi kognitif mencakup indikator yang dianggap
intelektual atau terkalit dalam sekolah.
5. Lippman (2007) recommended the following domains for indicators of
children’s well being: health, socioemotional status and functioning,
moral and ethical attitudes and behavior, intellectual status and
functioning, and other capacities such as music, art, mechanical, and
athletic. In addition to child well being indicators, they recommended a
separate group of indicators on resources, both within the home and
extended family, and outside the home and family.
6. Empat dimensi kesejahteraan anak menurut Statham dan Chase (2010):
1) Kehidupan rumah, hubungan antar anak dan orang tua; 2) Orientasi
pendidikan (Seberapa baik anak lakukan di sekolah); 3) Nilai diri yang
rendah (indikator kesejahteraan subjektif atau kurangnya kesejahteraan);
dan Perilaku yang berisiko (perilaku anti sosial).
Faktor yang memengaruhi kesejahteraan anak
1. Faktor risiko biasanya berada pada tingkat individu, keluarga, sekolah,
kelompok sebaya, dan lingkungan masyarakat luas (Wong et al. 2009).
 Tingkat keluarga, kualitas hubungan antara orang tua dan anak
merupakan faktor penting yang mempengaruhi perkembangan anak
dan remaja. Hubungan dekat dengan orang tua akan meningkatkan
perasaan anak dari dukungan dan rasa aman, dan konflik antar generasi
akan berkurang.
 Hubungan sekolah dan persahabatan juga sangat berpengaruh dalam
perkembangan anak-anak dan remaja usia sekolah. Kurangnya
dukungan dari teman sebaya, misalnya tidak memiliki teman, putus dari
hubungan menjalin tali kasih laki-laki dan perempuan merupakan faktor
yang mempengaruhi kesehatan anak terutama remaja dan meningkatkan

12

V.

sifat anti sosial terhadap anak. Hubungan antar guru dan murid di
sekolah akan meningkatkan akademik siswa dan kesehatan psikologis
siswa akan lebih baik. Penelitian lain menemukan bahwa terdapatnya
bullying di sekolah akan menjadikan psikologis anak menjadi buruk dan
prestasi akademik anak menurun.
2. Faktor keluarga memainkan peranan penting dalam menentukan
kesehatan mental anak. Tiga aspek lingkungan keluarga yang penting
dalam menentukan kesehatan mental anak yaitu dukungan sosial,
pengasuhan pengelolaan tekanan psikologis, dan fungsi keluarga. Fungsi
yang baik di masing-masing aspek (tinggi dukungan sosial, rendah
tekanan psikologis, dan tingginya kehangatan) dalam keluarga akan
menciptakan lingkungan keluarga yang positif. Kurang berjalannya
fungsi keluarga yang baik akan menghasilkan lingkungan keluarga yang
rentan (Thompson et al. 2007)
Kesejahteraan anak memengaruhi variabel lain
1. Belajar erat kaitannya dengan kesejahteraan. Hubungan posotif antara
belajar dan kesejahteraan menunjukkan perubahan dari masa kanakkanak ke remaja. Hubungan positif antara kesejahteraan dengan orang
tua erat kaitannya dengan peningkatan waktu bersama (Statham dan
Chase 2010).
2. Anak-anak yang berusia 8 sampai 12 tahun kesejahteraan anak dapat
tercapai apabila hubungan interpersonal dengan keluarga dan temanteman (termasuk hewan peliharaan), dan kegiatan positif atau hal-hal
yang harus dilakukan berjalan sesuai tahap perkembangannya. Ada
perbedaan yang terlihat antara anak-anak, orang tua dan guru dilihat dari
apa yang paling penting bagi kesejahteraan anak (Sixmith et al. 2007).

KERANGKA PEMIKIRAN
Pendekatan grand theory yang digunakan pada penelitian ini adalah teori
struktural-fungsional yang menekankan bahwa dalam kehidupan keluarga harus
mempunyai aturan atau fungsi agar mencapai keseimbangan sehingga keluarga
dapat merasakan kebahagiaan (Puspitawati 2012). Keluarga merupakan institusi
pertama dan utama dalam pengembangan sumberdaya manusia. Untuk
menjalankan perannya tersebut maka keluarga harus berfungsi dengan baik.
Berdasarkan teori struktural-fungsional, kerentanan anak belum optimalnya
fungsi keluarga dalam memfasilitasi kebutuhan anak. Kerentanan merupakan
potensi yang merugikan bagi individu atau keluarga, sehingga dapat menurunkan
kesejahteraan individu atau keluarga (Mealli et al. 2006). Salah satu faktor
kerentanan yang berpotensi membahayakan perkembangan anak yaitu kesulitan
dalam berinteraksi dan proses perkembangan anak yang kurang tepat (Daniel
2010). Menurut Skinner et al. (2004) dan Bannett (2012) kerentanan anak dapat
terjadi karena kebutuhan dasar anak seperti emosional, fisik, sosial, dan
perkembangan interaksi anak di keluarga dan lingkungan tidak terpenuhi,
sehingga anak tidak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal (The
President‟s Emergency Plan for AIDS Relief 2006). Kerentanan pada anak dapat

13

menimbulkan kesulitan dalam emosinya seperti cepat merasa marah, mimpi yang
buruk, merasa khawatir, tidak senang atau sedih, dan merasa sendirian
(Kirkpatrick et al. 2012).
Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan yang mencakup aspek
kualitas hidup anak di dalam keutuhan satuan keluarga dan budaya bangsa yang
dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara
rohani, jasmani, maupun sosial ke arah perkembangan pribadi untuk terwujudnya
manusia Indonesia seutuhnya (BPS 1996). Upaya untuk menciptakan
kesejahteraan anak perlu memerhatikan faktor-faktor yang dapat memengaruhinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan baik individu maupun masyarakat
dipengaruhi oleh kepadatan penduduk, pembangunan ekonomi, ketersediaan
pangan, status kesehatan, lingkungan dan kondisi geografis (UNICEF 2011).
Faktor lainnya berasal dari keadaan luar diri anak. Teori Bronfenbrenner
mengatakan salah satu faktor luar berasal dari lingkungan keluarga dan
masyarakat. Keluarga merupakan salah satu lingkungan terdekat bagi anak,
sehingga keluarga menjadi salah satu bagian penting untuk menciptakan
kesejahteraan anak.
Faktor yang individu yang tumbuh dalam kemiskinan dan memiliki
masalah kesehatan yang cukup serius seperti masalah kesehatan sehingga
menyebabkan individu tersebut rentan. Sebagian besar anak rentan yang di asuh
oleh pengasuhnya memiliki perasaan kebingungan, ketakutan, kekhawatiran,
kehilangan, kesedihan, kecemasan dan stres (Bruskas 2008). Menurut Skinner et
al. (2004) permasalahan yang dapat mempengaruhi kerentanan pada anak yaitu
masalah materi, emosional, dan sosial. Calkins (1994) dalam Duncan dan Caughy
(2009) sumber kerentanan internal anak mencakup psikologis, tempramental dan
kognitif serta sumber kerentanan eksternal anak berupa interaksi awal dengan
pengasuh. Faktor risiko yang dapat memengaruhi kesejahteraan anak berada pada
tingkat individu, keluarga, sekolah, kelompok teman sebaya, dan lingkungan
mayarakat (Wong et al. 2009).
Karakteristik keluarga yang terdiri atas usia orang tua, pendidikan orang
tua, pekerjaan orang tua, pendapatan dan pengeluaran keluarga, besar keluarga
serta aset merupakan landasan struktural keluarga dalam menjalankan fungsifungsi keluarga. Karakteristik anak yang terdiri usia anak, jenis kelamin, dan
urutan kelahiran anak. Kerangka pemikiran pada penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 1.

14

Karakteristik Keluarga
- Usia Ayah dan Ibu
- Pendidikan Ayah dan
Ibu
- Pekerjaan Ayah dan Ibu
- Pendapatan Keluarga
- Pengeluaran Keluarga
- Besar Keluarga
- Aset

Pengasuhan Orang tua

Karakteristik Anak
- Usia Anak
- Jenis Kelamin
- Urutan Kelahiran

Kerentanan Anak
Internal

Kesejahteraan Anak
Kerentanan Anak
Eksternal

Karakteristik Lingkungan
- Keluarga
- Masyarakat

Keterangan:
= Variabel yang diteliti
= Variabel yang tidak diteliti
= Hubungan yang diteliti
= Hubungan yang tidak diteliti
Gambar 1 Kerangka pemikiran

15

METODE PENELITIAN
Disain, Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Strategi Nasional (Stranas)
yang berjudul “Analisis Gender tentang Strategi Hidup Keluarga, Investasi dan
Kualitas Anak dalam Mencapai Target Millenium Development Goals (MDGs)
pada Petani Dataran Tinggi” yang diketuai oleh Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc,
M.Sc. dengan anggota Dr. Ir. Ma‟mun Sarma, MS, M.Ec dan Dr. Ir. Lilik Noor
Yuliati, MFSA. Disain pada penelitian ini adalah cross sectional study, yaitu
dengan mengobservasi banyak orang dalam satu periode waktu tertentu dan tidak
berkelanjutan. Lokasi penelitian yaitu di Desa Sindangjaya, Kecamatan Cipanas,
Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive
dengan pertimbangan bahwa jumlah petani di Jawa Barat tergolong tinggi dan
Kabupaten Cianjur merupakan kawasan pertanian dataran tinggi. Penelitian ini
dilakukan pada bulan April sampai dengan Juni 2014.
Jumlah dan Cara Pemilihan Responden
Populasi pada penelitian ini adalah keluarga petani yang memiliki anak
kelas 4 dan 5 SD yang tinggal di Desa Sindangjaya, Kecamatan Cipanas,
Kabupaten Cianjur. Responden pada penelitian ini adalah ibu dan anak.
Penentuan responden dilakukan secara random sampling dengan kriteria ibu
memiliki anak kelas 4 dan 5 SD, pekerjaan orang tua sebagai petani, dan bersedia
untuk dijadikan sampel. Jumlah contoh pada penelitian ini adalah 35 anak. Berikut
adalah kerangka pengambilan contoh pada penelitian pada Gambar 2:
Purpossive
Alasan: provinsi sentra produksi sayuran

Kabupaten Cianjur

Purpossive
Alasan: desa sentra produksi sayuran

Desa Sindangjaya
Kecamatan Cipanas

SDN. Sindanglaya
107 siswa

63 siswa

SDN. Suryakancana
48 siswa

Jumlah 84

Jumlah populasi di 2 SD

21 siswa

n = 35

Random Sampling dengan SPSS

Keterangan: Siswa berasal dari keluarga petani

Gambar 2 Metode penarikan contoh

16
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder. Data primer didapatkan dari wawancara langsung dengan anak dan ibu
serta menggunakan alat bantu berupa kuesioner terstruktur. Data sekunder
diperoleh dari absensi siswa kelas 4 dan 5 SDN Sindanglaya dan SDN
Suryakancana, Desa Sindangjaya yang orang tuanya bekerja sebagai petani dan
literatur lainnya seperti buku-buku, artikel, internet, dan literatur-literatur lainnya
yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga atau instansi pemerintahan serta bahan
pustaka yang diambil dari hasil penelitian terdahulu. Secara detail variabel, satuan,
skala, dan responden disajikan pada Tabel 1
Tabel 1 Jenis variabel, skala, dan kategori data
Jenis
Variabel
Data
Karakteristik Keluarga

Alat & Cara
Pengukuran

Skala
Data

Usia Ayah dan ibu

Rasio
(tahun)

Lama Pendidikan
Ayah dan ibu

Rasio
(tahun)

Pekerjaan Ayah dan
ibu

Primer
Tipe Petani

Kuesioner
dengan
wawancara
tertulis

Gustiana (2012)
1. Petani pemilik
2. Petani penyewa
3. Petani penggarap
4. Buruh tani

Rasio (Rp)
Rasio (Rp)

Rasio
(orang)

Besar Keluarga

BKKBN (1996)
1. Keluarga kecil (≤ 4
orang)
2. Keluarga sedang
(5-6 orang)
3. Keluarga besar (≥ 7
orang)

Ordinal
0=Tidak;
1= Ya

Aset

Umur Anak

1= Petani;
2= Bukan Petani;
3= Tidak Bekerja/Ibu
Rumah Tangga
Ibu

Nominal

Kat