Penggunaan Jenis Kemasan dan Suhu yang Berbeda untuk Penyimpanan Sementara Cabai Merah Keriting (Capsicum annuum L.) Segar

PENGGUNAAN JENIS KEMASAN DAN SUHU
YANG BERBEDA UNTUK PENYIMPANAN SEMENTARA
CABAI MERAH KERITING (Capsicum annuum L.) SEGAR

ASMERI LAMONA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penggunaan Jenis Kemasan dan
Suhu yang Berbeda untuk Penyimpanan Sementara Cabai Merah Keriting
(Capsicum annuum L.) Segar adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Asmeri Lamona
NRP F153110091

RINGKASAN
ASMERI LAMONA. Penggunaan Jenis Kemasan dan Suhu yang Berbeda untuk
Penyimpanan Sementara Cabai Merah Keriting (Capsicum annuum L.) Segar.
Dibimbing oleh Y. ARIS PURWANTO dan SUTRISNO.
Proses penanganan pasca panen cabai merah keriting selama transportasi
dan penyimpanan sementara merupakan permasalahan yang kritis karena susut
yang tinggi. Oleh sebab itu diperlukan alternatif penanganan yang dapat menekan
jumlah kehilangan selama pendistribusiannya. Salah satu alternatif yang dapat
digunakan adalah pengemasan kapasitas kecil dengan suhu penyimpanan yang
rendah. Penelitian ini menganalisis pengaruh jenis kemasan dan penyimpanan
suhu rendah terhadap kualitas cabai merah keriting segar selama penyimpanan
sementara dan menentukan kombinasi jenis kemasan dan suhu penyimpanan yang
optimum dalam menjaga mutu dan kesegaran cabai.

Setelah dipanen dan dilakukan sortasi, cabai merah keriting dikemas dalam
kemasan jala plastik, karung plastik dan plastik film polipropilen (PP) dengan
berat sampel 3 kg per kemasan. Selanjutnya dilakukan pengiriman dari rumah
kemasan ke Laboratorium dengan lama pengangkutan 5 jam pada kondisi suhu
udara lingkungan. Proses penyimpanan di Laboratorium dilakukan pada suhu
10 °C, 15 °C dan suhu ruang (28 °C – 32 °C). Selama penyimpanan, dilakukan
pengamatan secara visual dan pengukuran respirasi, susut bobot, nilai kekerasan
dan warna (L*, C* dan °hue).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis kemasan dan suhu
penyimpanan serta interaksi antara keduanya berpengaruh nyata terhadap laju
respirasi, susut bobot, nilai kekerasan dan tingkat kecerahan (L*). Penyimpanan
cabai dalam kemasan jala plastik pada suhu ruang menghasilkan nilai susut bobot
paling besar, yaitu 21.07%, pada penyimpanan suhu 10 °C nilai L* dan °hue-nya
paling tinggi serta nilai kekerasannya juga lebih tinggi, yaitu 0.42 kgf (4.12 N).
Cabai yang disimpan dalam kemasan plastik PP pada suhu ruang menghasilkan
laju produksi CO2 paling tinggi, yaitu 73.24 ml.kg-1.jam-1 dan nilai kekerasan
paling rendah, yaitu 0.30 kgf (2.9 N), namun penyimpanan pada suhu 10 °C
menghasilkan susut bobot paling rendah, yaitu 0.12% dengan tingkat kerusakan
paling kecil sehingga cabai dalam kemasan ini dapat bertahan sampai hari ke-29
penyimpanan.


Kata kunci : cabai merah keriting, kemasan, penyimpanan suhu rendah, umur
simpan, susut bobot

SUMMARY
ASMERI LAMONA. The Use of Different Packaging and Low Temperature for
Temporary Storage for Fresh Red Curly Chili (Capsicum annuum L.). Supervised
by Y. ARIS PURWANTO and SUTRISNO.

During postharvest handling of red curly chili, transportation and temporary
storage are critical step due to high losses. Therefore, it is necessary to find an
alternative treatment that will reduce losses during distribution and one of these is
packaging with small capacity and low temperature storage combination. Low
temperature is widely used to reduce spoilage and extend the shelf life of fresh
chili by slowing down the metabolism and reduce deterioration prior to transport
or storage of chilis. The objectives of this study were to analyze the effect of
packaging material and low temperature storage on the quality changes of fresh
red curly chili and to determine the optimum combination of packaging material
and temperature storage.
After being harvested, samples of red curly chili were sorted and packed in

differents packaging material of 3 kg and transported to the laboratory within 5
hours at ambient temperature condition. During storage period, the visual
appearance, change in respiration rate, weight loss, firmness and color were
measured. Waring, plastic sack and polyprophylene plastic were selected as
packaging materials, temperature of 10 °C, 15 °C and ambient temperature were
set as storage temperature.
The results show that packaging material and temperature storage and the
in-between interactions as these factor effected significantly the respiration rate,
weight loss, firmness and Lightness (L*) of red curly chili. The highest losses of
21.07% and firmness (about 0.42 kgf) was resulted for the combination of waring
packaging at ambient temperature. Highest CO2 production rate of 73.24 ml.kg1
.hr-1 and lowest firmness (about 0.3 kgf) was resulted for combination of
polyprophylene plastic packaging at ambient temperature but lowest weight loss
(0.12%) was found at 10 °C with smallest degree of damage in packaging that
shelf life can be extended up to 29 days.

Keywords: red curly chili, packaging, low temperature storage, shelflife, weight
loss

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGGUNAAN JENIS KEMASAN DAN SUHU
YANG BERBEDA UNTUK PENYIMPANAN SEMENTARA
CABAI MERAH KERITING (Capsicum annuum L.) SEGAR

ASMERI LAMONA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Pascapanen


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Lilik Pujantoro, MSc

Judul tesis

: Penggunaan Jenis Kemasan dan Suhu yang Berbeda untuk
Penyimpanan Sementara Cabai Merah Keriting (Capsicum
annuum L.) Segar
Nama
: Asmeri Lamona
NIM
: F153110091
Program Studi : Teknologi Pascapanen

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Y Aris Purwanto, MSc
Ketua

Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknologi Pascapanen

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal ujian : 04 Agustus 2015


Tanggal lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga Tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 ini ialah
pengemasan, dengan judul Penggunaan Jenis Kemasan dan Suhu yang Berbeda
untuk Penyimpanan Sementara Cabai Merah Keriting (Capsicum annuum L.)
Segar.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Y Aris Purwanto, MSc
dan Bapak Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr selaku pembimbing, yang telah banyak
memberi saran dan bimbingan dalam penyelesaian Tesis ini dan Bapak Dr Ir Lilik
Pujantoro, MSc yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pembimbing,
memberikan saran serta masukan yang berharga bagi penulis dalam penyelesaian
Tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Abah dan Ama serta
seluruh keluarga yang telah membantu studi penulis sampai penyelesaian Tesis
ini. Terimakasih atas segala doa dan dukungan serta kasih sayangnya selama ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


Bogor, Agustus 2015

Asmeri Lamona

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah

Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis Penelitian

1
1
4
4
4
5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Cabai dan Manfaatnya
Pengelompokkan Cabai
Panen Cabai
Pascapanen Cabai
Respirasi
Penyimpanan Dingin
Pemilihan Jenis Kemasan


5
5
5
6
7
10
11
13

3 METODE
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Prosedur Penelitian

15
15
15
16

4 HASIL PEMBAHASAN
Laju Respirasi
Susut Bobot
Nilai Kekerasan
Perubahan Warna
Pengamatan Visual

22
22
25
29
31
35

SIMPULAN DAN SARAN

36

DAFTAR PUSTAKA

36

LAMPIRAN

40

RIWAYAT HIDUP

44

DAFTAR TABEL
1 Permeabilitas beberapa jenis plastik pada suhu 30 °C dan kelembaban
udara (RH) 90%
2 Kombinasi perlakuan jenis kemasan (K) dan suhu penyimpanan (S)
3 Interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan terhadap laju
produksi CO2 dan laju konsumsi O2 cabai merah segar selama 5 hari
penyimpanan
4 Interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan terhadap susut
bobot (%) cabai merah segar selama 5 hari penyimpanan
5 Interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan terhadap nilai
kekerasan (N) cabai merah segar selama 5 hari penyimpanan
6 Analisis ragam dari faktor perlakuan dan interaksi antara perlakuan
terhadap parameter warna L*, C* dan °hue cabai selama 5 hari
penyimpanan
7 Interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan terhadap
perubahan nilai kecerahan (L*) cabai merah segar selama 5 hari
penyimpanan
8 Interaksi antara jenis kemasan dan suhu penyimpanan terhadap derajat
hue (°Hue) cabai merah segar selama 5 hari penyimpanan

3
21

25
27
30

32

32
34

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Pola laju respirasi produk hasil pertanian
Diagram alir penelitian
Jala plastik
Karung plastik
Plastik film Polyprophylene
Sistem notasi warna Hunter
Pola laju produksi CO2 cabai pada penyimpanan (a) suhu 10 °C, (b)
suhu 15 °C dan (c) suhu ruang (28 °C - 32 °C)
Pola laju konsumsi O2 cabai pada penyimpanan (a) suhu 10 °C, (b)
suhu 15 °C dan (c) suhu ruang (28 °C - 32 °C)
Susut bobot cabai pada penyimpanan (a) suhu 10°C, (b) suhu 15°C dan
(c) suhu ruang (28 °C - 32 °C)
Nilai kekerasan cabai pada penyimpanan (a) suhu 10°C, (b) suhu 15 °C
dan (c) suhu ruang (28 °C - 32 °C)
Perubahan nilai kecerahan (L*) cabai pada penyimpanan (a) suhu 10 °C,
(b) suhu 15 °C dan (c) suhu ruang (28 °C - 32 °C)
Umur simpan cabai merah keriting dalam beberapa kemasan pada suhu
yang berbeda

11
16
17
18
18
20
23
24
26
29
33
35

DAFTAR LAMPIRAN
1 Sistem distribusi dan pemasaran komoditas cabai merah dari daerah
sentra produksi cabai di Indonesia
2 Analisis ragam masing-masing parameter pengukuran

39
40

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cabai termasuk komoditas sayuran yang bernilai ekonomi tinggi dan
menjadi primadona di Indonesia, karena selain kandungan nutrisi dan kasiat
medisnya, permintaan terhadap cabai merah di pasaran selalu meningkat. Sejak
cabai dikenal luas oleh masyarakat, hampir setiap makanan di Indonesia
menyertakan cabai sebagai bumbu masak. Setiap hari cabai menjadi buruan
konsumen, baik di pasar tradisional maupun di swalayan. Cabai merah
dikonsumsi oleh rumah tangga dengan pangsa pasar penggunaanya mencapai 61%
dari total penggunaan cabai dalam negeri. Berdasarkan data SUSENAS 2009,
rata-rata tingkat konsumsi cabai merah per kapita mencapai 1,4 kg/tahun yang
berarti untuk konsumsi rumahtangga saja Indonesia harus menyediakan cabai
sebesar 252 ribu ton/tahun.
Selain dikonsumsi sebagai bahan pangan segar, cabai juga telah menjadi
bahan baku industri pengolahan makanan seperti saus dan sambal. Hingga tahun
2011 kebutuhan terhadap bahan baku cabai untuk industri mencapai 100 ton cabai
besar, 20 ton cabai keriting dan 15 ton cabai rawit (Syukur et al 2012). Tingginya
permintaan terhadap cabai ini meningkatkan minat para petani untuk menanam
cabai sehingga produktivitas cabai selalu tinggi. Berdasarkan data penghitungan
terakhir BPS tahun 2011, produksi cabai Indonesia mencapai 1.483.079 ton
dengan luas panen 239.770 ha sehingga produktivitas menjadi 6.19 ton/ha (BPS
2012).
Jika dibandingkan dengan jumlah konsumsi dalam negeri yang terus
mengalami peningkatan, jumlah produksi cabai dari tahun ke tahun selalu tidak
tetap sehingga harga cabai di pasaran selalu berfluktuasi. Produksi/panen raya
yang serentak di beberapa daerah sering menyebabkan harga cabai turun karena
jumlah produksi melimpah sementara jangkauan distribusinya tidak cukup luas
sehingga terjadi penumpukan di satu lokasi.
Di tingkat petani pada umumnya, setelah panen cabai langsung dijual ke
pedagang pengumpul pada hari itu juga tanpa ada penanganan tambahan. Pada
kondisi normal tanpa perlakuan tambahan cabai hanya tahan disimpan selama 2
sampai 3 hari1, setelah itu cabai akan mengalami penurunan mutu yaitu pelayuan
sebagai akibat dari tingginya laju transpirasi air sehingga bobot cabai akan
berkurang hingga 7.5%, bahkan dalam dua hari setelah panen pun cabai sudah
banyak yang busuk. Hal ini akan merugikan petani sehingga petani lebih memilih
menjual produknya dengan harga standar yang ditawarkan pengumpul atau
pedagang daripada harus menanggung resiko rugi. Dari pengumpul cabai dikirim
ke pedagang besar atau ke pedagang pengecer di pasar. Pada tingkat pedagang
besar, cabai yang diterima dari pengumpul biasanya telah disortir dan
dikelompokkan berdasarkan ukuran dan warnanya. Rata-rata pedagang besar
menetapkan standar tersendiri terhadap cabai yang diterimanya untuk memenuhi
permintaan konsumen yang berasal dari pasar induk lokal, pasar induk luar
1

Hasil survey terhadap beberapa petani cabai di sentra produksi cabai Kabupaten Garut-Jawa
Barat

2
propinsi dan pasar modern. Cabai yang diberi penangan tambahan ini dapat
bertahan dalam kondisi segar 6 sampai 8 hari2. Sistem distribusi dan pemasaran
cabai merah ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Terlambatnya penyeberangan antar
pulau atau gangguan selama pendistribusian menyebabkan cabai terlambat sampai
ke tujuan, sehingga kondisi cabai sudah berubah dan mutunya pun sudah menurun.
Secara fisiologi, setelah dipanen cabai merah tetap melakukan kegiatan
metabolisme seperti respirasi dimana laju respirasi ini tergantung dari kondisi
lingkungannya. Aktivitas respirasi ini tidak bisa dihentikan tetapi bisa dikurangi
dengan cara salah satunya melalui penyimpanan pada suhu rendah yang
dikombinasikan dengan pengemasan yang tepat. Pendinginan yang tepat dapat
memperpanjang umur simpan cabai karena proses ini dapat menurunkan aktifitas
respirasi, transpirasi, terjadinya perubahan warna dan kebusukan. Walker (2010)
menyatakan bahwa penggunaan ruang pendingin lebih cocok untuk penyimpanan
cabai karena dapat mempertahankan kesegaran produk untuk waktu yang lebih
lama. Kondisi optimum penyimpanan cabai merah segar berada di antara 5 °C 10 °C dengan kelembaban relatif 95% (Thompson 2002). Pantastico (1986)
menyatakan bahwa untuk penyimpanan cabai merah di daerah tropis sebaiknya
dilakukan pada suhu 42 °F - 45 °F (5.6 °C – 7.2 °C) dengan kelembaban 90% 95% agar cabai dapat bertahan selama dua minggu. Penyimpanan pada suhu yang
lebih rendah dapat menyebabkan chilling injury yang akan menyebabkan produk
menjadi lunak, munculnya bintik dan lubang pada permukaan kulit dan sangat
rentan terhadap kebusukkan (Purwanto et al 2005; 2011; Jansasithorn 2010).
Penggunaan suhu rendah yang sesuai dapat mempertahankan kesegaran cabai 2
sampai 3 minggu (Purwanto et al 2013). Menurut Manolopoulou (2010), suhu
penyimpanan yang direkomendasikan untuk penyimpanan cabai bell peppers agar
tidak mengalami chilling injury berkisar antara 7 °C sampai 13 °C tergantung
varietas dan tingkat kematangan cabai. Untuk jenis Paprika, suhu optimum
penyimpanannya adalah 7 °C sampai 10 °C (Jansasithorn 2010). Penggunaan suhu
5 °C untuk penyimpanan ternyata menghasilkan cabai dengan gejala chilling
injury lebih banyak dibandingkan penggunaan suhu 10 °C dan penyimpanan cabai
pada suhu 7 °C mulai memperlihatkan gejala chilling injury setelah hari ke-12
penyimpanan.
Penyimpanan suhu rendah pada cabai mungkin saja dapat dilakukan pada
tingkat pengumpul dan pedagang agar umur simpan cabai ini menjadi lebih lama.
Melimpahnya produksi cabai dapat ditanggulangi dengan perlakuan ini sehingga
harganya tidak berfluktuasi dan cabai tidak ada yang terbuang karena sudah
rusak/busuk sebelum laku terjual. Untuk itu perlu adanya langkah kongkrit dari
pemerintah dan pengusaha yang bergerak di rantai dingin (cold chain) untuk
mempertahankan mutu produk hasil pertanian hortikultura ini. Salah satunya
adalah dengan penyediaan pendingin pada pasar-pasar induk khususnya tempat
yang menampung produk hasil hortikultura.
Selain penyimpanan suhu rendah, pengemasan juga dapat mempengaruhi
tingkat kerusakan cabai. Teknologi yang berkembang saat ini sudah
memungkinkan penyimpanan yang lebih lama melalui penggunaan kemasan aktif
dan proses pelilinan untuk mengurangi kehilangan air selama penyimpanan.
Namun penerapan metode ini hanya efektif untuk skala kecil, sementara untuk
2

Hasil survey terhadap beberapa pedagang besar/supplier cabai di sentra produksi cabai
Kabupaten Garut-Jawa Barat

3
cabai dengan ukuran satuan yang kecil dan jumlahnya yang banyak memerlukan
teknologi penanganan yang lebih efektif, terutama pada kondisi dimana masa
produksi melimpah
Angka kehilangan pada pascapanen buah dan sayuran dapat mencapai 20% 50% di negara berkembang dan 5% - 25% di negara maju (Amiruzzaman 2000;
Rahman et al 2012). Sifat perishable yang dimiliki cabai sebagai salah satu
produk hortikultura menjadikannya salah satu komoditi yang mengalami
penyusutan lebih banyak baik pada waktu panen, transportasi, penyimpanan dan
pemasarannya. Dengan kandungan air yang cukup tinggi (55% - 85%) pada saat
panen menyebabkan cabai merah memiliki tingkat kerusakan yang dapat
mencapai 40% (BP3 BPTP 2010), sehingga perlu dilakukan penanganan yang
dapat menahan hilangnya air dari cabai. Penggunaan kemasan yang berbahan
dasar plastik dapat menjadi alternatif dalam memilih kemasan untuk cabai karena
plastik mempunyai permeabilitas terhadap air yang rendah, sehingga plastik dapat
menghambat terjadinya kehilangan air bahan yang dikemasnya. Nilai
permeabilitas dari beberapa jenis plastik dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Permeabilitas beberapa jenis plastik pada suhu 30 °C dan kelembaban
udara (RH) 90%
Plastik film
(ketebalan 25µm)

Laju transmisi uap air
(WVTR) (g m-2/day)

Laju transmisi oksigen (OTR)
(cm3m-2/day)

10-20
7-10
5-7
1000
0.5-1.0
300-400
70-150
15-20
0

6500-8500
1600-2000
2000-2500
0.5
2-4
50-75
4500-6000
100-150
0

LDPE
HDPE
PP
EVOH
PVdC
PA
PS
PET
Aluminium
Sumber: Kirwan MJ dan Strawbridge JW (2003)

Beberapa hasil penelitian menjelaskan bahwa penggunaan kemasan plastik
untuk mengemas produk hortikultura yang disimpan pada suhu rendah memberi
pengaruh nyata terhadap kehilangan bobot cabai. Walker (2010) menyatakan
bahwa penyimpanan cabai dengan kotak akan menghilangkan bobot sekitar 3.5%
pada suhu 24 °C setiap harinya, namun hanya 0.5% jika menggunakan suhu
penyimpanan 8 °C, sedangkan jika menggunakan kemasan plastik polietilen (PE),
kehilangan bobotnya lebih rendah, bobot yang hilang setelah 1 minggu
penyimpanan hanya mencapai 0.3% pada penyimpanan suhu 24 °C dan 0.2 %
pada suhu 8 °C. Zaulia et al (2006) juga melaporkan hasil penelitian yang
menggunakan beberapa kemasan plastik untuk penyimpanan cabai dengan
minimally process. Diantara kemasan plastik yang digunakan, plastik jenis PP
memberikan hasil lebih baik, cabai potong dapat mempertahankan mutu dan
kesegarannya sampai 4 minggu dengan suhu penyimpanan 2 °C. Purwanto et al
(2013) menyatakan bahwa penggunaan kemasan karton dapat mempertahankan

4
kualitas cabai lebih baik dibandingkan kemasan jala plastik dan karung plastik
pada suhu simpan 10 °C sampai 17 hari penyimpanan dan penggunaan kemasan
karton dan keranjang memberikan hasil yang sama terhadap perubahan kualitas
cabai selama transportasi dari pendistribusiannya (Pangidoan et al 2014).
Melihat fungsi plastik yang sangat efektif digunakan untuk mengemas cabai
pada suhu rendah, maka dilakukan pengemasan terhadap cabai dengan skala retail
(3 kg) yang kemudian disimpan pada beberapa suhu untuk melihat berapa lama
cabai dapat bertahan dan bagaimana penurunan mutunya selama penyimpanan.
Hasil yang didapat akan memperlihatkan berapa besar penurunan mutu cabai
selama penyimpanan sementara jika menggunakan beberapa kemasan dan
pengaturan suhu yang berbeda.
Perumusan Masalah
Besarnya jumlah produksi cabai yang tidak sejalan dengan kecepatan
pendistribusian menyebabkan terjadinya penumpukkan cabai pada satu lokasi
yang akan menurunkan harga jual. Tentu saja ini akan merugikan banyak pihak
terutama petani karena harga jual cabai tidak dapat menutupi ongkos produksi.
Sementara di pihak lain, konsumen yang berada pada lokasi yang jauh letaknya
dari sumber produksi cabai mengalami kelangkaan pasokan yang diiringi dengan
melambungnya harga. Terhambatnya pendistribusian cabai untuk jangkauan
daerah yang lebih luas yang disebabkan oleh pendeknya umur simpan cabai
menjadi permasalahan utama sehingga dilakukannya penelitian ini. Apa jenis
kemasan yang dapat digunakan dan berapa suhu penyimpanan yang dapat dipakai
agar cabai mempunyai umur simpan yang lebih lama dengan kualitas yang dapat
dipertahankan sehingga cabai dapat didistribusikan untuk area yang lebih luas,
diharapkan dapat menjadi alternatif penyelesaian masalah yang ada.
Tujuan Penelitian
Tujuan utama dilakukannya penelitian ini adalah untuk menganalisis
pengaruh kemasan yang dikombinasikan dengan perlakuan suhu rendah untuk
penyimpanan sementara terhadap perubahan kualitas cabai merah keriting segar
dan menentukan kombinasi jenis kemasan dan suhu penyimpanan yang optimum
dapat menjaga kualitas cabai.
Manfaat Penelitian
Penggunaan kemasan yang sesuai untuk menyimpan cabai merah keriting
yang dikombinasikan dengan penggunaan suhu simpan yang pas dapat menjaga
kualitas dan kesegaran cabai untuk waktu yang lebih lama. Hal ini akan
bermanfaat baik di kalangan petani dan pedagang cabai serta konsumen karena
jumlah produksi cabai yang melimpah pada satu lokasi dapat didistribusikan
untuk daerah yang lebih luas sehingga tidak terjadi penumpukkan cabai yang
menyebabkan harganya tidak stabil. Pendistribusian cabai yang merata dapat
menjaga kestabilan harga jual cabai sehingga menguntungkan bagi produsen cabai
dan konsumen dapat memperoleh cabai dengan kualitas yang masih bagus
walaupun berada di daerah yang jauh dari sentra produksi.

5
Hipotesis Penelitian
Penggunaan kemasan plastik film untuk penyimpanan cabai dan pengaturan
suhu rendah (dingin) untuk penyimpanan serta kombinasi antara keduanya dapat
mempertahankan mutu dan kesegaran cabai untuk waktu yang lebih lama.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Cabai dan Manfaatnya
Tanaman cabai berasal dari bagian tropis dan subtropis Benua Amerika,
khususnya Kolombia, Amerika Selatan. Selanjutnya menyebar ke Amerika Latin
dan akhirnya menyebar luas ke daerah tropis dan subtropis bersamaan dengan
penyebaran rempah-rempah oleh para pedagang di zaman dahulu.
Tanaman cabai termasuk family Solanaceae, genus Capsicum. Capsicum
annuum L. termasuk salah satu spesies dari ±30 spesies dalam genus tersebut.
Tanaman cabai ini tergolong tanaman perdu dengan rasa buah pedas yang
disebabkan oleh kandungan alkoloid capsaicin yang terdapat pada pericarp dan
plasenta buahnya (dapat dilihat berupa bunga karang penghubung antar biji-biji
cabai). Cabai merah mempunyai tingkat kepedasan 100-250.000 unit scoville
(Sembiring 2009).
Secara umum cabai memiliki banyak kandungan gizi dan vitamin,
diantaranya kalori, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, vitamin A, B1 dan
vitamin C (BP3 BPTP 2010). Pada cabai segar terdapat sejumlah vitamin B, C, E
dan provitamin A (karotenoid). Cabai segar sangat kaya akan kandungan vitamin
C dengan indeks 111 mg per 100 gram dibanding jeruk yang hanya mengandung
37 mg dalam 100 gram bahan (The National Institute of Nutrition, Hyderabad)
sehingga sangat efektif untuk digunakan sebagai stimulant sistem imun dan
sebagai agen penyembuh terutama untuk kerusakan yang terjadi pada sel tubuh.
Kandungan vitamin C pada cabai meningkat selama terjadi pemasakan buah dan
mencapai maksimum pada saat buah bewarna merah masak dan kemudian akan
menurun kembali. Pada cabai kering, kandungan vitamin C banyak yang hilang
pada saat proses pengeringan namun vitamin A meningkat 100 kali lipat. Vitamin
A merupakan salah satu anti oksidan yang sangat kuat dan juga merupakan agen
anti peradangan. Selain itu cabai juga memiliki kegunaan pada sistem sirkulasi
dalam tubuh. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa cabai dapat menahan
penumpukan kolesterol serta dapat menurunkan jumlah agregat platelet dalam
darah sehingga akan mengurangi resiko serangan jantung dan stroke. Bahan ini
juga dapat menurunkan tekanan darah dan meningkatkan sirkulasi yang terjadi di
sekitarnya.
Pengelompokkan Cabai
Capsicum annuum L. dikelompokkan dalam varietas longum, varietas
abbreviata, varietas grossum dan varietas minimum. Berdasarkan karakter
buahnya, terutama bentuk dan ukuran buah, spesies Capsicum annuum L.

6
digolongkan menjadi empat tipe, yaitu cabai besar, cabai keriting, cabai rawit dan
paprika. Untuk memenuhi permintaan cabai, baik kualitas maupun kuantitasnya,
para ahli telah menciptakan cabai dengan keunggulan-keunggulan tertentu yang
menguntungkan para petani sebagai produsen dan para konsumen. Cabai baru
yang tercipta tersebut umumnya mampu berproduksi lebih tinggi dibandingkan
dengan cabai biasa dan umurnya genjah (cepat dipanen). Jenis cabai seperti ini,
baik cabai merah besar, cabai keriting dan cabai rawit, biasa disebut cabai unggul.
Syukur et al (2012) menyatakan bahwa varietas yang mempunyai karakter unggul
ini dapat digunakan dalam budidaya cabai agar diperoleh cabai dengan mutu dan
produktivitas tinggi.
1) Cabai besar, dengan varietas unggulannya adalah var. IPB CH3, Gada,
Adipati, Imperial, Hot Beauty, Selekta IPB dan Seloka IPB,
2) Cabai keriting, dengan varietas unggulannya adalah TM 999, TM 888,
dan Pesona IPB, dan
3) Cabai rawit, dengan varietas unggulannya adalah Pelita, Bara dan Taruna.
Panen Cabai
Pemanenan buah cabai di Indonesia umumnya dilakukan dengan tangan.
Panen awal dan lamanya waktu panen tanaman cabai tergantung kepada jenis dan
varietasnya, baik varietas berumur genjah, sedang atau dalam. Umumnya, varietas
yang sama yang ditanam di dataran rendah dan dataran tinggi menunjukkan panen
awal yang berbeda. Tanaman cabai yang ditanam di dataran rendah lebih cepat
dipanen dibandingkan dengan tanaman cabai yang ditanam di dataran tinggi.
Frekuensi panen sangat tergantung kepada situasi lapangan. Masa panen
tergantung pada varietas cabai yang ditanam. Secara normal, frekuensi panen
dapat dilakukan 12 – 20 kali sampai tanaman berumur 7 bulan. Selain varietas,
masa panen cabai juga sangat tergantung kepada keadaan pertanaman dan
perlakuan yang diberikan terhadap tanaman. Masa panen cabai rawit lebih lama
dibandingkan dengan varietas cabai lainnya, tetapi tidak lebih dari 7 bulan.
Di dataran rendah masa panen pertama adalah pada umur 75 HST – 85 HST
dan di dataran tinggi agak lambat yaitu pada tanaman berumur 85 HST – 95 HST
dengan interval waktu panen 3 – 4 hari sekali sampai 16 – 20 kali panen (Syukur
et al 2012). Umur panen cabai pada dasarnya ditentukan oleh tiga hal, yaitu
varietas, lokasi penanaman dan kombinasi pemupukan yang digunakan. Cabai
dipanen pada saat buah memiliki bobot maksimal, bentuknya padat dan warnanya
tepat merah menyala (untuk cabai merah) dengan sedikit garis hitam (90% masak).
Umumnya buah cabai merah dipetik apabila telah masak penuh dengan ciri-ciri
seluruh bagian buah berwarna merah.
Dalam pelaksanaan panen cabai ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
1. Panen dilakukan pagi hari setelah ada sinar matahari,
2. Cara pemanenan buah cabai dilakukan dengan mengikutsertakan batang
buahnya dan dijaga supaya tidak merusak ranting dan percabangan
tanaman cabai,
3. Buah yang dipanen adalah yang benar-benar tua, tandanya buah
berwarna merah, hijau kemerahan atau hitam kemerahan,
4. Saat panen langsung dilakukan sortasi, buah yang rusak atau kena hama
langsung dipisahkan,

7
5.
6.

Kematangan cabai disesuaikan dengan permintaan, lama penyimpanan
dan lamanya transportasi ke pasar.
Setelah dipanen, lakukan sortir awal. Buah cabai yang terkena penyakit,
terutama cendawan dikubur dalam lubang atau dibakar supaya tidak
menular ke buah dan tanaman lainnya
Pascapanen Cabai

Usaha pascapanen produk hasil pertanian hortikultura (menurut UndangUndang RI Nomor 13 Tahun 2010) dilakukan untuk mencapai hasil yang
maksimal, memenuhi standar mutu produk, menekan kehilangan hasil dan
kerusakan serta meningkatkan nilai tambah pada penanganan, pengolahan dan
transportasi produk. Kegiatan pascapanen ini hanya dapat dilakukan di bangsal
pascapanen atau di tempat yang memenuhi persyaratan sanitasi. Di samping itu,
pemerintah juga telah mengeluarkan Permentan No.44 Tahun 2009 tentang
Pedoman Penanganan Pascapanen Hasil Pertanian yang Baik (Good Handling
Practise / GHP) yang juga berlaku untuk produk hortikultura. Tujuannya adalah
untuk mempertahankan mutu dan meningkatkan daya saing. Selain itu juga untuk
menekan angka kehilangan hasil/kerusakan hasil, memperpanjang daya simpan,
mempertahankan kesegaran, meningkatkan daya guna, meningkatkan nilai tambah,
meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dan sarana, meningkatkan daya
saing, memberikan keuntungan yang optimum dan atau mengembangkan usaha
pascapanen hasil pertanian yang berkelanjutan.
Cabai sebagai salah satu produk hortikultura yang memiliki nilai ekonomis
tinggi perlu mendapatkan perlakuan pascapanen yang sesuai dengan GHP yang
telah diberlakukan. Teknologi penanganan pascapanen untuk cabai segar dapat
diawali sejak proses pemetikan yang tepat serta ditempatkan pada kondisi yang
sejuk dan tidak tertutup. Cabai yang baru dipanen dapat langsung disortasi untuk
menghindari terjadinya penularan penyakit dan cendawan penyebab penyakit.
Grading juga dapat langsung dilakukan untuk pengelompokkan sesuai mutu atau
dapat dilakukan proses pascapanen lainnya sesuai dengan tujuan pemasaran. Pada
proses sortasi dan grading ini, sudah dapat ditentukan cabai yang akan dijual
segar atau diolah menjadi alternatif produk lain. Sayangnya, proses sortasi dan
grading ini tidak dilakukan para petani karena terbatasnya pengetahuan dan
fasilitas. Selain itu, kejelasan spesifikasi produk yang diinginkan konsumen tidak
diketahui secara jelas oleh petani. Spesifikasi produk yang diminta oleh pasar
biasanya hanya diketahui oleh pedagang pengumpul. Keadaan ini menyebabkan
daya tawar petani lebih rendah daripada daya tawar pedagang pengumpul.
Dalam penanganan pasca panen, ada beberapa hal yang harus dilakukan :
a. Sortasi dan Grading
Konsumen terutama pasar swalayan, restoran dan hotel lebih
mengutamakan spesifikasi produk yang mereka inginkan dan untuk ini
mereka berani membayar lebih besar jika dibandingkan dengan pasar
tradisional (wet market). Untuk itu diperlukan sortasi dan grading terhadap
buah cabai yang diinginkan konsumen, baik rumah tangga, kelompok
konsumen swalayan, restoran, hotel, industri pangan olahan tradisional
maupun skala industri. Umumnya, sortasi dan grading telah dilakukan oleh
pedagang pengumpul.

8
Sortasi perlu dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah terjadinya
kerusakan. Taufik (2010) menyatakan bahwa penundaan sortasi akan
mempercepat pembusukkan karena bagian cabai yang mengalami kerusakan
seperti patah atau berpenyakit akan mudah menyebar ke cabai yang lainnya
apalagi jika suhu lingkungan tinggi. Kehilangan hasil akan semakin tinggi
seiring dengan penundaan proses ini.
Penampilan produk yang seragam, baik ukuran panjang, diameter,
bentuk, permukaan, warna, maupun kekerasan buah, akan memberikan
penilaian yang lebih baik. Grading terhadap cabai biasanya lebih ditekankan
pada pemerataan warna dan ukuran. Rata-rata konsumen lebih memilih
cabai dengan warna merah maksimal sehingga warna merah cabai dapat
juga dijadikan parameter pengukuran secara visual.
b. Pengemasan
Tujuan dilakukan pengemasan terhadap bahan hasil hortikultura adalah
untuk perlindungan terhadap produk dan mempermudah dalam penanganan,
distribusi serta pemasarannya (Ahmad, 2013). Pengemasan yang baik
diperlukan agar kualitas bahan yang dikemasnya dapat terjaga sampai ke
pasar. Pengemasan yang baik dapat mencegah kehilangan hasil karena
kerusakan mekanis (akibat benturan, tekanan dan himpitan karena tumpukan
yang tidak teratur pada saat pengangkutan), maupun karena kerusakan
fisiologis atau biologis (akibat pengaruh lingkungan, misalnya terik
matahari dan temperatur yang tinggi) yang dapat mempercepat proses
transpirasi (penguapan air) dan respirasi (pernafasan). Selain itu,
pengemasan yang baik juga harus dapat mempertahankan kualitas buah
cabai, memperbaiki penampilan atau penampakan buah, mempermudah
pengangkatan dan pengangkutan, lebih aman, menjamin kebersihan bahan
yang dikemas, memudahkan perhitungan dan meningkatkan nilai ekonomis.
Pengemasan buah cabai harus memperhatikan jenis dan desain kemasan,
dimana dua hal ini akan berpengaruh terhadap keawetan dan tingkat
kerusakan bahan yang dikemasnya. Dalam bukunya Cahyono (2003)
menyebutkan kemasan berupa keranjang bambu, karton, kantong jala atau
karung goni cukup baik digunakan untuk mengemas cabai namun sebelum
itu cabai dikemas dulu dengan kantong plastik polietilen yang telah diberi
lubang kecil di sekelilingnya dengan diameter lubang 0.5 cm dan jarak antar
lubang 8 cm. lubang ini difungsikan sebagai ventilasi agar kondisi udara di
dalam kantong tidak panas sehingga kerusakan akibat respirasi dan
transpirasi dapat dikurangi.
Para petani dan pedagang cabai untuk pasar tradisional biasanya
mengemas cabai dengan karung plastik yang diberi lubang-lubang ini,
sedangkan pasar swalayan menghendaki kemasan dalam karton.
Penggunaan karton sebenarnnya lebih dapat menjaga cabai dari kerusakan
mekanis dibanding jika dikemas dengan karung plastik karena karton
memiliki tekstur yang kaku sehingga dapat menahan tekanan dari luar.
Menurut Nur H dan Sinaga (1993), penggunaan kemasan karton
berkapasitas 20 kg lebih baik dibanding dengan kemasan yang berkapasitas
lebih besar karena semakin besar ukuran kemasan maka akan semakin besar
juga susut bobotnya. Masing-masing jenis kemasan memiliki kelemahan
tersendiri sesuai dengan sifat dari bahan dasarnya, seperti kemasan karton

9
mudah menyerap kelembaban sehingga akan mempengaruhi dalam sifat
kekakuannya. Kemasan karung plastik/goni dan jala plastik lebih kuat
namun tidak dapat melindungi bahan yang dikemas dari benturan dan
tekanan luar. Sedangkan kemasan plastik lebih cocok untuk mengemas
bahan hasil pertanian hortikultura yang disimpan dalam suhu rendah karena
sifatnya yang dapat menahan air dan udara yang masuk namun jika
digunakan pada penyimpanan suhu ruang dapat meningkatkan respirasi
bahan yang dikemasnya.
c. Penyimpanan
Di Indonesia, cabai umumnya lebih banyak diperdagangkan dalam
bentuk segar. Karena itu, para produsen dan pengelola komoditas cabai
berupaya supaya cabai tetap kelihatan segar. Untuk itu diperlukan tindakan
yang benar pada saat handling, pengemasan dan penyimpanan agar mutu
tetap stabil dan bisa diterima konsumen dengan harga yang tinggi.
Setelah pemetikan, cabai masih mengalami proses fisiologi.
Kecepatannya sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan, seperti temperatur
dan kelembaban tempat penyimpanannya. Karena proses fisiologis ini tidak
dapat dihentikan maka lajunya dapat dikurangi atau diperlambat agar umur
simpan produk menjadi lebih lama. Laju respirasi dapat ditahan dengan cara
mengatur temperatur dan kelembaban udara lingkungan penyimpanan, atau
dapat juga dengan cara menempatkan produk dalam ruangan yang sistem
udaranya terkendali. Selain laju respirasi, harus juga ditekan laju transpirasi
yaitu proses penguapan dari buah cabai dengan cara meningkatkan
kelembaban udara dan menurunkan temperatur, atau dengan menempatkan
buah cabai dalam kemasan tertentu untuk mengurangi gerakan udara di
sekeliling cabai.
d. Pengangkutan
Transportasi memiliki peranan penting untuk memindahkan cabai dari
lapangan ke tempat pengolahan (sortasi dan grading), kemudian ke pasar
dan gudang. Selama proses pengangkutan perlu dicermati penanganannya.
Pengangkutan dengan truk konvensional seperti kendaraan bak terbuka
berbeda dengan sistem non konvensional seperti kontainer dengan sistem
udara terkendali. Pengangkutan dengan sistem non konvensional cabai
relatif lebih aman dari kerusakan fisik, fisiologis maupun mekanis. Namun,
pengangkutan dengan kontainer baru digunakan oleh perusahaan besar yang
mendapat kontrak dengan pasar swalayan. Sementara itu, untuk pasar
tradisional, buah cabai lebih sering diangkut dengan mobil bak terbuka.
e. Pemasaran
Pemasaran produk pertanian khususnya cabai masih belum memiliki
kepastian, terutama harga. Saat ini, harga produk pertanian masih
dipengaruhi oleh banyaknya suplai di pasar, musim dan event-event tertentu
seperti hari raya keagamaan. Jika suplai cabai di pasar terlalu banyak,
harganya akan turun dan sebaliknya, jika suplai sedikit harganya akan
meningkat dari harga rata-rata. Faktor yang paling mempengaruhi harga
cabai di pasaran adalah pengaruh musim.
Tidak semua buah cabai yang dipanen bisa dijual karena secara fisik
mengalami kerusakan. Kerusakan atau kehilangan hasil pasca panen cabai bisa

10
disebabkan hama penyakit, kerusakan fisik dan kerusakan mekanis. Kerusakan
yang disebabkan hama penyakit merupakan bawaan dari lapangan. Hama penting
yang sering merusak buah cabai di Indonesia di antaranya lalat buah (Bactrocera
dorsalis Hend) dan ulat buah prodenia (Spodoptera Litura F). Sementara itu,
penyakit yang sering menyerang buah cabai adalah antraknosa, Collectrchum
nigrum, dan Phythopthora capsici.
Kerusakan secara mekanis, fisiologis dan fisik lebih sering disebabkan oleh
pengelolaan yang kurang cermat dan hati-hati dalam penanganan pasca panen.
Kerusakan mekanis biasanya terjadi pada saat pemetikan, pengangkutan dari
lapangan dan pengangkutan ke pasar, penanganan saat bongkar muat, serta tidak
ada packaging atau wadah yang baik dalam pengangkutan dan cenderung
menggunakan karung untuk mengangkutnya. Kerusakan fisiologis yang biasa
terjadi pada cabai adalah pelayuan menuju ‘senescence’ akibat meningkatnya
suhu lingkungan yang dapat mempercepat laju respirasi. Sedangkan kerusakan
fisik biasanya disebabkan oleh adanya tekanan lingkungan, sengatan matahari,
kelembaban tinggi dan temperatur tinggi. Keadaan seperti ini menyebabkan buah
cabaiakan lebih cepat membusuk.
Respirasi
Respirasi merupakan suatu proses biologis dimana terjadi produksi energi
dalam tanaman atau binatang secara reaksi kimia. Pada sebagian besar organisme,
hal tersebut diperoleh dengan mengambil oksigen dari lingkungan dan
ditransportasikan ke seluruh sel. Dalam sel akan terjadi reaksi dengan molekulmolekul makanan yang pada akhirnya akan mengeluarkan karbondioksida, air dan
sejumlah energi yang terjaring dalam ATP. Udara yang membentuk atmosfer
mengelilingi permukaan bumi terdiri dari 78% nitrogen, 21% oksigen dan 0.003%
karbondioksida serta kurang dari 1% merupakan gas mulia yang di dalamnya
terdapat gas argon, neon dan sebagainya (Winarno 2002).
Produk hasil pertanian akan terus melanjutkan kehidupannya walaupun
setelah dipanen. Begitu juga halnya dengan komoditi hortikultura, dimana pada
umumnya akan melaksanakan pernafasan dalam suatu seri reaksi yang sangat
kompleks setelah terpisah dari tanaman utamanya (Winarno 2002). Pada
umumnya perubahan-perubahan fisikokimiawi yang terjadi dalam produk hasil
pertanian berhubungan dengan metabolisme oksidatif, termasuk respirasi. Proses
ini akan sangat berpengaruh terhadap perubahan mutu, gangguan-gangguan
fisiologi, daya simpan, kemasakan dan penanganan komoditi (Pantastico 1986).
Laju respirasi sangat dikendalikan oleh suhu. Setiap kenaikan suhu 10 °C
laju pernafasan akan meningkat dua (double) kali atau tiga kali, hal ini mengikuti
hukum Van’t Hoffs yang menyatakan bahwa laju dari seluruh reaksi kimia dan
biokimia akan meningkat dua kali atau tiga kali dengan setiap peningkatan suhu
10 °C. Pengukuran laju respirasi dapat dilakukan dengan menentukan substrat
(gula) yang hilang, O2 yang diserap dan CO2 yang dikeluarkan serta panas dan
energi yang dihasilkannya (Muchtadi TR dan Sugiyono 2013). Lakitan (2004)
menambahkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi laju respirasi yaitu
ketersediaan substrat, ketersediaan oksigen, suhu penyimpanan, jenis dan umur
tanaman. Laju respirasi tinggi pada buah terjadi saat sel aktif membelah dan

11
kemudian akan menurun. Oleh karena itu pemanenan pada saat buah masih muda
akan mengakibatkan laju respirasi yang lebih tinggi.
Laju respirasi merupakan petunjuk yang baik untuk mengetahui daya
simpan produk hasil pertanian. Intensitas respirasi dianggap sebagai ukuran laju
jalannya metabolisme sehingga dapat dianggap sebagai petunjuk untuk
pengukuran daya simpan (Muchtadi TR dan Sugiyono 2013). Daya simpan
komoditi akan berbanding terbalik dengan laju pernafasan atau laju evolusi
panasnya (Winarno 2002).
Banyak hasil pertanian hortikultura yang memperlihatkan kenaikan respirasi
yang cepat selama pematangan. Secara konvensional buah dan sayuran ini
dinamakan produk klimaterik. Sedangkan produk lain yang mempunyai pola
respirasi cendrung menurun sampai masa ‘senescence' dinamakan produk non
klimaterik (Muchtadi TR dan Sugiyono 2013). Pola laju respirasi masing-masing
jenis ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Pola laju respirasi produk hasil pertanian
Cabai termasuk ke dalam kelompok non klimaterik (Lurie et al 1986; Biles
et al 1993 dalam Krajayklang 2000). Fonseca et al (2002) menyatakan bahwa
umumnya kelompok non klimakterik mempunyai laju respirasi yang tinggi pada
awal perkembangan buah dan akan menurun selama proses pemasakan.
Kelompok buah klimakterik juga mempunyai laju respirasi yang tinggi diawal
perkembangannya dan menurun setelah terjadi peningkatan laju respirasi
mendadak yang terjadi bertepatan dengan proses pemasakan atau pelayuan.
Proses respirasi akan menyebabkan terjadinya perubahan pada kandungan
kimia dan fisik bahan. Perubahan tersebut pada umumnya terjadi pada warna,
tekstur, padatan terlarut dan tingkat keasaman. Pada kondisi normal dimana
ketersediaan oksigen mencukupi, maka proses respirasi akan berlangsung secara
aerobik. Respirasi aerobik merupakan reaksi kompleks yang melibatkan reaksi
enzim sepanjang jalur glikolisis, proses Tricarboxylic Acid (TCA) dan transpor
elektron (Yam dan Lee 1995).
Penyimpanan Dingin
Penyimpanan merupakan kegiatan penanganan yang dilakukan terhadap
suatu bahan/produk agar dapat dipergunakan untuk waktu yang lebih lama.
Penyimpanan dapat berfungsi untuk menjaga mutu namun tidak dapat

12
meningkatkannya, karena itu diperlukan penanganan awal pada bahan sebelum
dilakukan penyimpanan. Ahmad (2013) berpendapat bahwa penyimpanan sangat
bermanfaat untuk mempertahankan kualitas selama menunggu transportasi dalam
pemasaran, mencegah suplai berlebihan ke pasar melalui pengaturan suplai setiap
hari, memperpanjang waktu rentang pemasaran dan jika memungkinkan
menunggu waktu yang tepat untuk memasarkan produk dengan harga yang baik.
Buah-buahan dan sayuran merupakan komoditas yang mudah sekali
mengalami kerusakan setelah pemanenan, baik kerusakan fisik, mekanis maupun
kerusakan fisiologis yang menyebabkan menurunnya tingkat kesegaran produk,
padahal sebagian besar buah dan sayuran lebih disukai dikonsumsi dalam keadaan
segar. Oleh karena itu diupayakan berbagai cara untuk mempertahankan
kesegaran buah dan sayuran tersebut agar dapat bertahan lebih lama dan dapat
dikonsumsi dalam keadaan segar dalam waktu yang lebih lama setelah panen.
Pendinginan merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
mempertahankan kesegaran hasil pertanian, khususnya sayuran (Sembiring 2009).
Pendinginan dapat memperlambat atau mencegah terjadinya penurunan mutu
produk hasil pertanian yang tidak diinginkan akibat masih berlangsungnya proses
metabolisme dalam produk, seperti terjadinya reaksi pencoklatan dan pelayuan
dimana proses pelayuan ini juga merupakan salah satu faktor utama yang menjadi
penyebab terjadinya penurunan bobot bahan. Terjadinya pelayuan selama
penyimpanan disebabkan oleh keluarnya air bahan karena suhu lingkungan tempat
penyimpanan lebih tinggi dan kelembaban udara sekitanya rendah. Untuk itu
diperlukan ruang penyimpanan hasil hortikultura berupa ruang berpendingin yang
dapat mempertahankan keseimbangan antara suhu bahan dengan lingkungannya
serta kelembaban udara sehingga proses transpirasi pada bahan dapat ditekan. Hal
serupa juga dikemukakan oleh Ahmad (2013) yang menyatakan bahwa
penyimpanan suhu rendah dapat menekan laju kehilangan air dari produk karena
nilai ketidakcukupan tekanan uap air (pressure vapor deficiency, PVD) akan
turun seiring dengan penurunan suhu. Penggunaan suhu rendah untuk
penyimpanan juga telah terbukti dapat menahan terjadinya proses-proses
metabolisme seperti perubahan warna dan laju respirasi.
Penyimpanan dalam ruang berpendingin (cold storage) pada prinsipnya
memposisikan produk pada kondisi udara dingin dalam suatu ruang berpendingin.
Dalam penempatannya produk tunggal atau yang ada dalam kemasan harus
disusun sedemikian rupa sehingga aliran udara dapat mencapai masing-masing
produk atau kemasan produk. Aliran udara dapat diperkuat dengan penggunaan
kipas yang akan meningkatkan efisiensi pendinginan dari ruang pendingin.
Suhu di atas 21 °C dapat mempercepat terjadinya pemasakan pada produk
hortikultura karena tingginya laju respirasi dan produksi etilen yang selanjutnya
dapat menyebabkan terjadinya penurunan mutu produk. Respirasi merupakan
perubahan fisiko kimia yang terjadi pada buah dan sayuran yang berhubungan
dengan metabolism oksidatif. Aktivitas ini akan menghasilkan energi dan panas
yang akan mempercepat proses pemasakan (Syarief et al 1993). Laju respirasi
dapat ditekan jika kondisi suhu lingkungan sekitarnya rendah. Beberapa penelitian
memperlihatkan bahwa penggunaan suhu 7 °C - 13 °C untuk penyimpanan produk
hortikultura seperti cabai dapat menekan laju respirasi dan memperpanjang umur
simpan sampai 4 minggu. Karena itu penyimpanan dingin dapat digunakan untuk
penyimpanan produk hortikultura yang mempunyai laju respirasi tinggi.

13
Penyimpanan pada suhu rendah (dingin) merupakan cara terbaik untuk
mempertahankan kesegaran cabai. Suhu optimal pendingin bergantung pada
varietas cabai dan tingkat kematangannya. Teknologi pascapanen yang biasa
diterapkan pada produk sayuran segar adalah teknologi pendinginan dalam lemari
pendingin (Refrigerator Air Cooling) (Sembiring 2008). Pendingin dengan
menggunakan rerigerator ini umumnya lebih mudah penggunaanya dibanding
dengan cara lainnya. Namun cara ini sulit diterapkan di tingkat petani karena
biayanya mahal (Taufik 2010). Menurut Pantastico (1986), penanganan
pascapanen seperti pendinginan sangat disarankan untuk daerah tropis. Untuk
cabai merah segar, disarankan disimpan pada suhu 42 °F - 45°F (5.6 °C - 7.2 °C)
dengan kelembaban 90-95% agar cabai dapat bertahan selama dua minggu
penyimpanan. Selain itu, perlu dilakukan pengemasan terhadap bahan agar
mutunya tetap terjaga selama penyimpanan. Perlu diingat, bahwa walaupun
pendinginan yang tepat dapat mempertahankan nilai kualitas cabai segar dari
petani sampai ke konsumen namun meminimalkan cidera fisik akibat kerusakan
mekanik, serangan hama penyakit dan paparan etilen juga berperan penting dalam
mempertahankan kualitas produk.
Pemilihan Jenis Kemasan
Kemasan berfungsi sebagai tempat atau wadah pelindung produk/barang
dari kemungkinan rusak, memudahkan kepercayaan dan pencitraan produk,
memberi kesan terhadap produk dan sebagai alat pemasaran untuk mempertinggi
daya jual produk. Memilih kemasan seringkali menjadi keputusan yang kompleks.
Akan selalu ada pilihan untuk dipertimbangkan terkait dengan harga, ketahanan,
pemakaian ulang dan perlindungan (Kitinoja dan Kader 2002). Selain itu dalam
melakukan pengemasan pun harus memperhatikan faktor-faktor penting seperti
karakteristik produk yang akan dikemas, alat transportasi yang akan digunakan
untuk memindahkan produk serta cara penyimpanannya.
Kemasan yang umum dipakai sebagai pembungkus adalah kantong
berbahan dasar plastik serta kotak yang terbuat dari kertas/kardus atau kayu.
Karung yang terbuat dari plastik atau serat tumbuhan juga sering menjadi pilihan
untuk mengemas produk, karena cendrung lebih murah dan mudah didapatkan.
Namun tidak ada jenis karung yang dapat dijadikan kemasan untuk produk segar
karena tidak dapat sepenuhnya melindungi produk dari kerusakan baik akibat
benturan maupun serangan serangga perusak karena sifatnya yang fleksibel dan
memiliki rongga-rongga halus yang dapat dimasuki oleh serangga-serangga kecil
seperti kutu atau kumbang. Kotak yang terbuat dari kertas tebal/kardus sering
digunakan sebagai kemasan sekunder atau tersier karena sifatnya lebih kaku
sehingga dapat melindungi produk yang dikemas di dalamnya.
Pemakaian kemasan plastik saat ini lebih mendominasi di berbagai industri,
terutama sebagai pembungkus baik untuk produk retail maupun dalam skala besar.
Pada industri makanan, plastik selalu menjadi alternatif utama untuk digunakan
sebagai wadah pembungkus karena sifatnya yang ringan, kuat, praktis, fleksibel,
tahan air, bersifat termoplastis (heat seal), harga lebih murah dan mudah dibawabawa. Kemasan plastik yang cocok untuk penyimpanan buah-buahan dan sayuran
terutama untuk pembentukkan atmosfer di dalam kemasan adalah plastik yang
lebih permiabel terhadap O2 daripada CO2 (Hall et al dalam Syarief 1993).

14
Biasanya plastik-plastik yang tersedia di pasaran lebih permiabel terhadap O 2
daripada CO2, hal ini menyebabkan akumulasi laju CO2 dari respirasi lebih sedikit
dibanding laju penyusutan O2. Dalam kemasan yang rapat, semua O2 bebas dalam
waktu singkat akan terpakai habis, p