Sebaran Dan Fragmentasi Lahan Sawah Dan Permukiman Di Kabupaten Bogor.
SEBARAN DAN FRAGMENTASI LAHAN SAWAH DAN
PERMUKIMAN DI KABUPATEN BOGOR
SITI NURJANNAH
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sebaran dan
Fragmentasi Lahan Sawah dan Permukiman di Kabupaten Bogor adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Siti Nurjannah
NIM A14080111
ii
ABSTRAK
SITI NURJANNAH. Sebaran dan Fragmentasi Lahan Sawah dan
Permukiman di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh KHURSATUL MUNIBAH
dan BAMBANG HENDRO TRISASONGKO.
Kedekatan letak Kabupaten Bogor terhadap Ibukota Jakarta menjadikan
Bogor sebagai salah satu daerah sub-urban bagi Jakarta. Hal tersebut berdampak
pada peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan terhadap pangan dan papan di
Kabupaten Bogor. Dalam penelitian ini, interpretasi visual dari citra Ikonos
digunakan untuk memantau distribusi dari sawah dan permukiman yang ada.
Selanjutnya, analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
sawah dan permukiman dengan sifat fisik seperti kemiringan lereng dan elevasi,
serta karakteristik sosio-ekonomi termasuk jarak dari jalan, kepadatan penduduk,
dan kerapatan jalan. Analisis patch digunakan untuk mengetahui indeks
fragmentasi masing-masing wilayah. Hasil analisis citra Ikonos menunjukkan
kenampakan sawah berwarna hijau kebiruan dengan tekstur halus, sedangkan
permukiman berwarna merah agak terang dan cenderung mengelompok. Luas
lahan sawah dan permukiman menurun dengan meningkatnya kelas lereng
maupun elevasi. Luas lahan sawah terendah pada jarak 0-100 m dari jalan,
tertinggi berada pada 100-200 m, dan semakin menurun dengan meningkatnya
jarak dari jalan. Sedangkan pada permukiman, luasan yang ada juga semakin
menurun dengan meningkatnya jarak dari jalan. Hubungan antara kepadatan
penduduk terhadap kepadatan permukiman cukup kuat (R2=0.679), berbeda
dengan kepadatan sawah (R2=0.133). Hubungan kerapatan jalan terhadap
kepadatan penduduk maupun terhadap kepadatan permukiman tidak berbeda jauh,
ditunjukkan dengan R2=0.001 dan R2=0.343. Fragmentasi sawah dan permukiman
didominasi oleh kecamatan dengan kelompok sedang. Indeks fragmentasi
umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti lereng, elevasi, dan kedekatan
letak dengan pusat kota.
Kata kunci: fragmentasi, lahan permukiman, lahan sawah, MPS, NumP
ii
ABSTRACT
SITI NURJANNAH. Distribution and Fragmentation of Paddy Fields and
Settlement in Bogor Regency. Supervised by KHURSATUL MUNIBAH and
BAMBANG HENDRO TRISASONGKO
Due to its proximity Bogor has been serving as one of Jakarta Sub-urban
areas. Increasing population food and residence has been evident in Bogor. In this
research, visual interpretation of Ikonos Image is used to monitor the distribution
of existing paddy fields and settlements. Furthermore, descriptive analysis was
studied to understand the relation of paddy and settlement with physical properties
such as slope, elevation, as well as socio-economic characteristics including
distance from street, population dens
ity, and street density. Patch analysis was use to investigate fragmentation
index for each district. Results show that Ikonos image visualize paddy as bluish
green with smooth texture, while settlement is shown bright red and clustered.
The width of paddy fields and settlements decreased with the increasing of slope
and elevation. There was a low number of paddy land parcel width within 0-100
m distance from street, with the highest on 100-200 m, and again decreased as the
distance increased. On settlement areas, the width also decreased with the
increasing distance from street. Relationhip between population density and
settlement density was fairly high (R2=0,679), in contrast to paddy (R2=0,133).
Meanwhile, street density and population density were least correlated, similiar to
settlement density, with R2=0,001 and R2=0,343 respectively. Paddy and
settlement fragmentation in district were found moderate. Fragmentation index
was commonly influenced by several factors, such as slope, elevation and distance
from the central of town.
Keywords: fragmentation, settlement, paddy land, MPS, NumP
iv
SEBARAN DAN FRAGMENTASI LAHAN SAWAH DAN
PERMUKIMAN DI KABUPATEN BOGOR
SITI NURJANNAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
vi
PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahiim. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya skripsi yang berjudul “Sebaran dan
Fragmentasi Lahan Sawah dan Permukiman di Kabupaten Bogor” dapat
diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
meraih gelar Sarjana Pertanian di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis berharap skripsi ini dapat
bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan bagi para pembacanya.
Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan, dukungan, nasihat, dan
bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan rasa
terimakasih kepada:
1. Dr. Khursatul Munibah, MSc dan Ir. Bambang Hendro Trisasongko, MSc
selaku Pembimbing Skripsi yang telah memberikan bimbingan, ide, kritik,
kesabaran, dan masukan bagi penulis dalam kegiatan penelitian dan
penulisan skripsi ini.
2. Dr. Boedi Tjahjono, MSc selaku dosen penguji yang telah memberikan
saran dan masukan bagi penulis dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.
3. Pemerintah Daerah Kabupaten Buru yang telah memberikan beasiswa
kepada penulis selama berada di bangku perkuliahan.
4. Orang tua tercinta, Bapak Imam Maksum dan Ibu Wijiati, kakak tersayang
Umi Rabitah serta suaminya Toto Hartoyo, dan seluruh keluarga yang
telah memberikan doa, motivasi, perhatian, pengorbanan, cinta, dan kasih
sayang.
5. Frenky Fauzi yang selalu memberi semangat, doa, dan membantu dalam
penyelesaian skripsi ini.
6. Soiler 45 terutama sahabat di Bagian PJIC, Keluarga Azimuth, serta
sahabat di Wisma Rahayu terima kasih atas kebersamaan dan dukungan
yang telah diberikan.
7. Kementan, Bagian Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah
LPPM IPB, dan BPS Kabupaten Bogor yang telah membantu memberikan
data-data yang diperlukan penulis untuk penelitian.
8. Semua pihak yang telah membantu kegiatan penelitian dan penyusunan
skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan bagi ilmu
pengetahuan, khususnya bidang Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan.
Bogor, Februari 2015
Siti Nurjannah
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
i
DAFTAR TABEL
ii
DAFTAR GAMBAR
ii
DAFTAR LAMPIRAN
iii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
2
METODOLOGI PENELITIAN
3
Lokasi, Waktu Penelitian, Bahan, dan Alat yang Digunakan
3
Metode Penelitian
4
Tahap Persiapan
4
Tahap Pengumpulan Data
4
Tahap Analisis Data
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Interpretasi Lahan Sawah dan Permukiman dari Citra Ikonos
Sebaran Lahan Sawah dan Permukiman Berdasarkan Sifat Fisik dan
Infrastruktur Jalan
8
8
11
Berdasarkan Kemiringan Lereng
11
Berdasarkan Elevasi
12
Berdasarkan Infrastruktur Jalan
14
Hubungan Kepadatan Penduduk dan Kerapatan Jalan Terhadap Kepadatan
Lahan Sawah dan Permukiman
15
Kepadatan Penduduk
15
Kerapatan Jalan
16
Fragmentasi Sawah dan Permukiman
17
Indeks Class Area
18
Indeks Number of Polygon
20
Indeks Mean Polygon Size
22
Indeks Polygon Size Standard Deviation
24
Indeks Mean Shape Index
26
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
30
30
ii
Saran
30
DAFTAR PUSTAKA
31
LAMPIRAN
34
RIWAYAT HIDUP
43
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
Indeks fragmentasi
Pengelompokan kelas indeks fragmentasi
Teknik analisis dan hasil yang diharapkan
Luas dan persentase lahan sawah dan permukiman berdasarkan kelas
lereng
5
5
7
12
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Peta wilayah administrasi Kabupaten Bogor
Diagram alir penelitian
Kenampakan sawah pada citra (a) dan pengamatan lapang (b)
Kenampakan sawah pada citra (a) dan pengamatan lapang (b)
Kenampakan sawah pada citra (a) dan pengamatan lapang (b)
Kenampakan permukiman pada citra (a) dan pengamatan lapang (b)
Kenampakan permukiman pada citra (a) dan pengamatan lapang (b)
Kenampakan permukiman pada citra (a) dan pengamatan lapang (b)
Sebaran lahan sawah dan permukiman tahun 2010
Luas sawah dan permukiman berdasarkan kelas lereng
Luas sawah dan permukiman berdasarkan elevasi
Luas lahan sawah dan permukiman berdasarkan jarak dari jalan
Kepadatan penduduk terhadap kepadatan sawah (a) dan kepadatan
penduduk terhadap kepadatan permukiman (b)
Kerapatan jalan terhadap kepadatan sawah (a) dan kerapatan jalan
terhadap kepadatan permukiman (b)
Contoh nilai indeks fragmentasi hasil analisis Patch
Kelas indeks CA sawah Kabupaten Bogor tahun 2010
Kelas indeks CA permukiman Kabupaten Bogor tahun 2010
Kelas indeks NumP sawah Kabupaten Bogor tahun 2010
Kelas indeks NumP permukiman Kabupaten Bogor tahun 2010
Kelas indeks MPS sawah Kabupaten Bogor tahun 2010
Kelas indeks MPS permukiman Kabupaten Bogor tahun 2010
Kelas indeks PSSD sawah Kabupaten Bogor tahun 2010
Kelas indeks PSSD permukiman Kabupaten Bogor tahun 2010
3
6
8
9
9
9
10
10
10
12
13
14
16
16
17
18
19
20
21
22
24
25
26
iii
24
25
Kelas indeks MSI sawah Kabupaten Bogor tahun 2010
Kelas indeks MSI permukiman Kabupaten Bogor tahun 2010
27
28
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tahapan pembuatan hillshade menggunakan software Global Mapper
13 dan Arcgis 9.3
Citra Ikonos Kabupaten Bogor tahun 2010
Luas lahan sawah dan permukiman serta persentase terhadap luas
Kabupaten Bogor pada masing-masing kecamatan
Peta sebaran lahan sawah dan permukiman berdasarkan kemiringan
lereng
Peta sebaran lahan sawah dan permukiman berdasarkan elevasi
Luas lahan sawah dan permukiman berdasarkan jarak dari jalan
Kepadatan penduduk masing-masing kecamatan
Kerapatan jalan masing-masing kecamatan
Nilai indeks fragmentasi sawah masing-masing kecamatan
Nilai indeks fragmentasi permukiman masing-masing kecamatan
34
35
36
37
37
38
39
40
41
42
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Laju perekonomian yang tinggi di Ibukota Jakarta menjadi magnet
tersendiri bagi para pencari kerja untuk datang ke Kota Jakarta. Hal tersebut
berakibat pada semakin tingginya laju urbanisasi tiap tahunnya. Laju
pertambahan jumlah penduduk yang tinggi berimbas pada wilayah
pinggiran (daerah penyangga) yang ikut mengalami pertumbuhan wilayah
yang cukup pesat. Menurut Firman (2003), pertumbuhan perkotaan di
Indonesia terutama di kota besar dan metropolitan secara fisik ditandai oleh
pertumbuhan yang pesat pada wilayah pinggiran perkotaan. Pada wilayah
tersebut proses sub-urbanisasi yaitu pergeseran fungsi-fungsi kekotaan ke
wilayah pinggiran perkotaan, berakibat pada tumbuhnya kawasan-kawasan
permukiman baru. Kecenderungan pertumbuhan kawasan permukiman di
wilayah pinggiran perkotaan dalam sistem metropolitan di Indonesia masih
akan terus berlanjut di masa mendatang, antara lain karena kecenderungan
pertumbuhan penduduk yang terus tinggi di metropolitan, terutama di
Jabodetabek.
Johnson (1984) menyatakan bahwa di antara wilayah perkotaan, perdesaan
dan pinggiran perkotaan, wilayah pinggiran perkotaan memberikan peluang paling
besar untuk usaha-usaha produktif dan peluang yang paling menyenangkan untuk
bertempat tinggal. Hal ini menjadikan wilayah pinggiran perkotaan merupakan
suatu wilayah peluberan kegiatan perkembangan kota dan merupakan daerah yang
berada dalam proses transisi dari daerah perdesaan menjadi perkotaan. Kabupaten
Bogor yang terletak di pinggiran Ibukota Jakarta juga menjadi kawasan yang
mengalami perkembangan cukup pesat. Hal tersebut berdampak pada
pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bogor yang semakin meningkat seiring
dengan tingginya perkembangan wilayah berupa meningkatnya permukiman,
industri, rekreasi, maupun pengembangan fasilitas umum.
Perkembangan wilayah pinggiran yang tinggi juga memberikan dampak
negatif, yaitu terjadinya alih fungsi (konversi) guna lahan dari kawasan pertanian
ke non pertanian secara besar besaran guna memenuhi kebutuhan lahan terbangun
yang semakin meningkat. Tanpa adanya pengaturan yang mendasar, alih fungsi
ini dengan berbagai dampak negatifnya, akan menyebar lebih luas lagi (Firman
2003). Perubahan penggunaan lahan juga berdampak pada fragmentasi
penggunaan lahan. Fragmentasi fisik lahan dan kepemilikan lahan mengakibatkan
tingginya biaya produksi persatuan unit lahan sehingga menurunkan daya saing
ekonomi karena tidak tercapainya economies of scale (Arsyad dan Rustiadi 2008).
Fragmentasi lahan didefinisikan sebagai keberadaan jumlah plot spasial
yang terpisah dari lahan yang dibudidayakan sebagai unit tunggal (McPherson,
1982 dalam Tan 2006). Sedangkan menurut Demetriou (2014), fragmentasi lahan,
yang juga dikenal sebagai peluruhan, pembagian atau penyebaran, didefinisikan
dalam literatur sebagai situasi di mana sebuah pertanian tunggal terdiri dari
berbagai spasial terpisah.
Lebih jauh Kjelland et al. (2007) menjelaskan bahwa dampak pertumbuhan
kawasan urban yang tidak terkontrol (urban sprawl) yang berpadu dengan
2
perubahan persepsi petani dalam memandang masa depan lahan pertaniannya
merupakan faktor penting dalam berkembangnya fragmentasi lahan. Pendapat
yang sama juga disampaikan oleh Irwin dan Bocstael (2007) yang menyatakan
bahwa fragmentasi berkaitan dengan tingkat urbanisasi yang tinggi. Peningkatan
fragmentasi terbesar mengarah ke luar dari pusat/inti kota atau berada di daerah
perbatasan/pinggiran kota.
Shresta (2012) yang melakukan penelitian di Phoenix (Amerika Serikat) juga
menemukan bahwa fragmentasi lahan yang terjadi merupakan efek dari urbanisasi
yang sangat cepat. Urbanisasi menjadikan fragmentasi terbesar berada di daerah
pinggiran kota, sedangkan inti/pusat perkotaan mengalami penurunan dengan
tekanan tertinggi fragmentasi berada di daerah dengan tingkat kepadatan yang
masih rendah. Niroula dan Thapa (2005) menambahkan bahwa untuk kawasan
Asia Selatan, fragmentasi juga dipicu oleh pertumbuhan penduduk yang sangat
cepat. Selain itu, pembagian lahan dengan sistem waris dan kemiskinan juga
memberikan andil terhadap fragmentasi yang terjadi. Tingginya fragmentasi di
Asia Selatan memberikan efek negatif yaitu dalam hal konservasi maupun
ekonomi.
Melihat besarnya pengaruh urbanisasi terhadap wilayah pinggiran maka
diperlukan penelitian analisi spasial yang dapat membantu mempermudah
pemantauan perkembangan penggunaan/penutupan lahan. Sistem Informasi
Geografi (SIG) merupakan alat yang handal untuk menangani data spasial (Barus,
2005). Teknologi penginderaan jauh yang dipadukan dengan SIG dapat
dimanfaatkan untuk memantau perkembangan wilayah.
Tujuan
Berdasarkan formulasi permasalahan di atas, maka perlu dilakukan studi
fragmentasi lahan di Kabupaten Bogor sebagai salah satu wilayah penyangga DKI
Jakarta. Secara spesifik tujuan dari penelitian ini adalah:
1)
Menganalisis distribusi dan karakteristik lahan sawah dan permukiman dari
citra Ikonos
2)
Menganalisis sebaran lahan sawah dan permukiman berdasarkan lereng,
elevasi, jarak dari jalan, kepadatan penduduk, dan kerapatan jalan
3)
Menganalisis fragmentasi lahan sawah dan permukiman
3
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi, Waktu Penelitian, Bahan, dan Alat yang Digunakan
Penelitian dilakukan di Kabupaten Bogor yang terdiri atas 40 kecamatan
dengan luas 298 838 ha. Wilayah administrasi Kabupaten Bogor ditampilkan pada
Gambar 1. Secara geografis, Kabupaten Bogor terletak di 6018’00 - 6047’10 LS
dan 106023’45 – 107013’30 BT. Secara administratif, batas-batas Kabupaten
Bogor adalah:
a)
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, Kabupaten/Kota
Bekasi, Kota Depok
b)
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten
Karawang
c)
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten
Cianjur
d)
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak (Provinsi Banten)
e)
Sebelah Tengah berbatasan dengan Kota Bogor.
Gambar 1 Peta wilayah administrasi Kabupaten Bogor
Analisis data spasial dilakukan di Divisi Penginderaan Jauh dan Informasi
Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
4
Bahan yang digunakan yaitu citra Ikonos Kabupaten Bogor tahun 2010 dan
peta sawah, peta administrasi, peta elevasi, peta lereng, peta jalan, dan data jumlah
penduduk.
Alat yang digunakan meliputi perangkat keras/komputer dengan perangkat
lunak (software) Microsoft Office, ArcView GIS 3.3, ArcGIS 9.3, Global Mapper
13, Patch Analyst 4.0, GPS (Global position system), kamera digital, dan alat tulis.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan melalui beberapa tahapan, yaitu: (1) Tahap
persiapan, (2) Tahap pengumpulan data, (3) Tahap analisis data.
Tahap Persiapan
Pada tahap ini dilakukan pemilihan topik penelitian, studi literatur,
pembuatan proposal dan pencarian data yang diperlukan serta metode yang
digunakan untuk analisis data.
Tahap Pengumpulan Data
Kegiatan yang dilakukan yaitu pengumpulan data baik data primer maupun
sekunder. Pengumpulan data primer meliputi peta lahan sawah dan permukiman
yang diperoleh dari Kementerian Pertanian RI serta pengecekan lapang. Data
sekunder meliputi, peta elevasi, peta jalan, dan peta lereng diperoleh dari Bagian
Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM IPB, data
SRTM
Kabupaten
Bogor
resolusi
30x30
m
diunduh
dari
http://earthexplorer.usgs.gov, dan data jumlah penduduk diperoleh dari BPS
Kabupaten Bogor.
Tahap Analisis Data
Tahap pengolahan dan analisis data terdiri atas analisis karakteristik lahan
sawah dan permukiman dari citra Ikonos, analisis sebaran lahan sawah dan
permukiman berdasarkan elevasi, kemiringan lereng, dan jarak dari jalan. Analisis
hubungan lahan sawah dan permukiman terhadap kerapatan jalan dan kepadatan
penduduk, serta analisis fragmentasi sawah dan permukiman.
Analisis karakteristik lahan sawah dan permukiman dari citra Ikonos
Analisis ini diawali dengan interpretasi dan verifikasi visual lahan sawah
dan pemukiman dengan pendekatan unsur rona, warna, bentuk, ukuran, tekstur,
pola, bayangan, situs, dan asosisasi. Setelah itu dilakukan pengecekan lapang
untuk memperkuat hasil analisis dengan membandingkan penggunaan lahan
sawah dan permukiman yang ada di lapang dengan peta lahan sawah dan
permukiman hasil interpretasi. Peta lahan sawah dan permukiman kemudian
ditumpangtindihkan dengan peta administrasi Kabupaten Bogor untuk mengetahui
luas sawah dan permukiman masing-masing kecamatan.
5
Analisis sebaran lahan sawah dan permukiman berdasarkan elevasi,
kemiringan lereng, dan jarak dari jalan
Analisis diawali dengan pembuatan buffer jalan dengan jarak setiap 100 m.
Selanjutnya peta buffer jalan, elevasi, dan kemiringan lereng masing-masing
ditumpangtindihkan dengan peta sawah dan permukiman untuk memperoleh
sebarannya.
Data SRTM resolusi 30x30 m digunakan untuk membuat peta kontur. Peta
kontur tersebut diproses lebih lanjut untuk mendapatkan bentuk visual relief
dengan tahap-tahap seperti tersaji pada Lampiran 1.
Analisis hubungan kerapatan jalan dan kepadatan penduduk terhadap
lahan sawah dan permukiman
Hubungan kerapatan jalan dan kepadatan penduduk terhadap luas sawah dan
permukiman dianalisis di tingkat kecamatan. Kerapatan jalan diperoleh dari
panjang jalan dibagi dengan luas masing-masing kecamatan, sedangkan kepadatan
penduduk diperoleh dari pembagian jumlah penduduk dengan luas masing-masing
kecamatan.
Analisis fragmentasi
Analisis fragmentasi dilakukan menggunakan extension patch analyst. Peta
sawah dan permukiman dianalisis ditingkat kecamatan untuk mendapatkan kelas
indeks fragmentasi. Indeks fragmentasi yang digunakan dijabarkan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Indeks fragmentasi
Indeks Fragmenstasi
Ukuran
CA (Class area)
Wilayah
NumP (Number of
Kerapatan
Patch)
dan
MPS (Mean Patch
Ukuran
Size)
Poligon
PSSD (Patch Size
Standard Deviation).
Ukuran
Bentuk
MSI (Mean Shape
Index)
Definisi
Jumlah semua poligon yang dimiliki oleh kelas
tertentu dengan satuan hektar (ha)
Total jumlah poligon dalam suatu wilayah dengan
satuan poligon
Rata-rata ukuran poligon dalam suatu wilayah
dengan satuan hektar (ha)
Variabilitas atau standar deviasi dari suatu wilayah
dengan satuan hektar (ha)
Nilai sama dengan 1 ketika semua patch melingkar
(untuk poligon) dan meningkat dengan
meningkatnya ketidakteraturan bentuk patch
Penetapan untuk interval kelas rendah, sedang, dan tinggi dilakukan
berdasarkan simpangan baku dari masing-masing indeks. Pengelompokan tersebut
ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Pengelompokan kelas indeks fragmentasi
Indeks
CA (ha)
NumP (poligon)
MPS (ha)
PSSD (ha)
MSI
Rendah
< 101
< 98
3.59
0.62-10.38 >10.38
1.47-1.66
>1.66
Rendah
1.92
6
Secara umum, tahapan-tahapan penelitian digambarkan dalam bentuk
diagram alir yang ditampilkan pada Gambar 2. Sedangkan tahapan berdasarkan
tujuan, jenis data, teknik analisis data, dan keluaran disajikan pada Tabel 3.
Gambar 2 Diagram alir penelitian
7
Tabel 3 Teknik analisis dan hasil yang diharapkan
No
Tujuan
Teknik
Keluaran
Analisis Data
Citra Ikonos
Interpretasi
Ciri-ciri umum lahan
Peta sawah dan
citra
sawah dan
permukiman
Analisis
permukiman pada
tahun 2010
tumpang
citra
Peta
tindih
Sebaran lahan sawah
administrasi
Pengecekan
dan permukiman
lapang
berdasarkan
kecamatan
Data
1
Analisis
karakteristik
lahan sawah dan
permukiman
dari citra Ikonos
2
Analisis sebaran
lahan sawah dan
permukiman
berdasarkan
elevasi,
kemiringan
lereng, jarak
dari jalan,
kerapatan jalan,
dan kepadatan
penduduk
Peta lahan
sawah dan
permukiman
Peta elevasi
Peta kemiringan
lereng
Peta jalan
Jumlah
penduduk
SRTM
Analisis
tumpang
tindih
Analisis
deskriptif
Sebaran lahan sawah
dan permukiman
berdasarkan elevasi,
kemiringan lereng,
jarak dari jalan
Hubungan kerapatan
jalan dan kepadatan
penduduk terhadap
lahan sawah dan
permukiman
3
Analisis
fragmentasi
sawah dan
permukiman
Peta lahan
sawah dan
permukiman
Analisis
patch
Pola sebaran
fragmentasi sawah
dan permukiman
berdasarkan masingmasing indeks
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
Interpretasi Lahan Sawah dan Permukiman dari Citra Ikonos
Interpretasi citra Ikonos dilakukan pada band atau saluran warna red green
blue (RGB) 321 yang ditampilkan pada lampiran 2. Pengaturan band pada citra
berguna untuk memudahkan mengenali kenampakan obyek berdasarkan rona dan
warna sebagai dasar interpretasi. Band komposit 432 untuk penampakan false
color red, 342 untuk false color green, dan 321 merupakan true color composite.
Kombinasi warna true color menghasilkan warna sesuai dengan yang ada di
permukaan bumi (natural color) sehingga lahan sawah dan permukiman lebih
mudah dikenali.
Lahan sawah adalah suatu tipe penggunaan lahan yang memerlukan
genangan air. Sawah selalu mempunyai permukaan yang datar atau didatarkan
(dibuat teras) dan dibatasi oleh pematang untuk menahan air genangan
(Puslitbangtanak 2003). Dengan demikian, lahan sawah atau areal pertanian
dicirikan oleh pola pematang dengan tanaman padi.
Kenampakan lahan sawah pada citra memperlihatkan suatu pola yang teratur
atau terkonsentrasi dengan kenampakan berwarna hijau agak kebiruan atau
berwarna cokelat pucat dengan tekstur yang halus. Keadaan lahan sawah pada
lereng yang curam terlihat memiliki batas (pematang) lebih kecil dan keadaan di
lapang luas yang dimiliki pun relatif lebih sempit. Lereng curam juga ditandai
dengan pematang yang melengkung karena pengaruh perbedaan ketinggian
tempat yang cenderung berbentuk mengerucut ke atas. Lahan sawah pada lereng
yang datar mempunyai pematang yang berbentuk persegi panjang dan lebih luas.
Warna hijau agak kebiruan terlihat dominan ketika padi dalam masa
pertumbuhan, sedangkan warna hijau pucat ketika sawah sudah mulai memasuki
masa panen. Warna cokelat pucat juga menjadi ciri lahan sawah yang sedang
diberakan, atau lahan sawah yang ada dibiarkan tidak ditanami agar kembali
kesuburannya atau sedang menunggu masa tanam berikutnya. Gambar-gambar
berikut menampilkan citra dengan keadaan lahan sawah berbeda, seperti pada
lereng yang curam dengan kecenderungan bentuk petak lebih melengkung
(Gambar 3), lereng datar terlihat membentuk pola persegi atau persegi panjang
dan warna menjadi hijau kebiruan menandakan padi dalam masa pertumbuhan
(Gambar 4), dan warna hijau pucat kecokelatan merupakan masa setelah panen
atau sedang diberakan (Gambar 5).
(a)
(b)
Gambar 3 Kenampakan sawah pada citra (a) dan pengamatan lapang (b)
9
(a)
(b)
Gambar 4 Kenampakan sawah pada citra (a) dan pengamatan lapang (b)
(a)
(b)
Gambar 5 Kenampakan sawah pada citra (a) dan pengamatan lapang (b)
Permukiman didefinisikan sebagai areal atau lahan yang digunakan sebagai
tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
kehidupan. Kenampakan permukiman pada citra memiliki tekstur kasar, berwarna
warni dengan dominasi warna merah/agak terang, dan cenderung mengelompok
terutama di sekitar jalan. Beberapa pola kenampakan objek pada citra yaaitu pola
yang tidak teratur menggambarkan pemukiman yang padat penduduk (Gambar 6),
pola teratur menunjukkan kompleks perumahan (Gambar 7), dan pola tidak teratur,
memanjang atau mengelompok dalam ukuran kecil terjadi pada permukiman di
daerah pedesaan atau jauh dari pusat kota (Gambar 8). Peta sebaran lahan sawah
dan permukiman di Kabupaten Bogor ditampilkan pada Gambar 9.
(a)
(b)
Gambar 6 Kenampakan permukiman pada citra (a) dan pengamatan lapang (b)
10
(a)
(b)
Gambar 7 Kenampakan permukiman pada citra (a) dan pengamatan lapang (b)
(a)
(b)
Gambar 8 Kenampakan permukiman pada citra (a) dan pengamatan lapang (b)
Gambar 9 memperlihatkan sebaran lahan sawah dan permukiman di
Kabupaten Bogor. Lahan sawah terlihat mendominasi di wilayah timur Kabupaten
Gambar 9 Sebaran lahan sawah dan permukiman tahun 2010
11
Bogor, sedangkan permukiman lebih mendominasi wilayah utara yang berbatasan
langsung dengan Kota Depok. Persentase luas sawah tertinggi terdapat di
Kecamatan Jonggol (9.64% dari luas total lahan sawah di Kabupaten Bogor),
Cariu (8,29%), dan Sukamakmur (7.30%), sedangkan luas paling rendah terdapat
di Kecamatan Parung (0.09%) dan Bojong Gede (0.10%). Lahan permukiman
paling luas berada di Kecamatan Cileungsi (7.91%), Cibinong (7.60%), dan
Gunung Putri (7.17%), sedangkan paling rendah berada di Kecamatan Tenjo
(0.52%) dan Sukajaya (0.70%). Tabel luas lahan sawah dan permukiman masingmasing kecamatan ditampilkan pada Lampiran 3.
Sebaran Lahan Sawah dan Permukiman Berdasarkan Sifat Fisik dan
Infrastruktur Jalan
Berdasarkan Kemiringan Lereng
Peranan lereng telah ditunjukkan terkait dengan kemudahan pengelolaan
dan kelestarian lingkungan. Daerah yang berlereng curam mengalami erosi yang
terus-menerus sehingga tanah-tanah di tempat ini bersolum dangkal, kandungan
bahan organik rendah, dan perkembangan horison lambat dibandingkan dengan
tanah-tanah di daerah datar yang air tanahnya dalam. Perbedaan lereng juga
menyebabkan perbedaan air tersedia bagi tumbuhan sehingga mempengaruhi
pertumbuhan vegetasi di tempat tersebut dan seterusnya juga mempengaruh
pembentukan tanah (Hardjowigeno 1993). Luas lahan sawah dan permukiman
umumnya akan semakin menurun dengan meningkatnya kelas lereng. Hal tersebut
disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah kemiringan lereng yang tidak
datar memerlukan tenaga dan ongkos yang lebih besar, selain pengelolaan air
yang lebih sulit, juga lebih mudah terjadi erosi (Hardjowigeno dan Widiatmaka
2007).
Berdasarkan kelas lereng, luas lahan sawah menurun dengan semakin
meningkatnya kelas lereng, kecuali pada lereng 8-15% yang lebih rendah dari
kelas lereng lainnya (Gambar 10). Luas sawah pada lereng 8-15% hanya 3721.21
ha, sedangkan daerah terluas berada pada kelas lereng 0-8% yang mencapai
14072.56 ha (Tabel 4). Rendahnya lahan sawah pada lereng 8-15% disebabkan
penggunaan lahan lebih didominasi oleh kebun campuran, semak belukar, dan
hutan. Selain itu luas total pada lereng 8-15% juga lebih rendah dibandingkan
dengan luas pada kelas lereng yang lain. Luas sawah pada kelas lereng 0-8% dan
15-25% tidak berbeda jauh, hal tersebut dapat disebabkan pada kelas lereng 0-8%
lahan yang ada telah digunakan untuk permukiman, sedangkan lereng 15-25%
yang cenderung lebih curam mempunyai ketersediaan lahan sawah yang masih
luas. Peta sebaran lahan sawah dan permukiman berdasarkan lereng ditampilkan
pada Lampiran 4.
Luas lahan permukiman juga semakin menurun dengan meningkatnya
kelas lereng kecuali pada kelas lereng 8-15% yang lebih rendah dari kelas 15-25%.
Letak lahan yang sebagian besar berada di sebelah selatan dan jauh dari pusat kota
juga dapat menjadi salah satu penyebab rendahnya permukiman pada kelas lereng
tersebut. Permukiman paling luas berada pada kelas lereng 0-8% dengan luas
mencapai 22627.13 ha yang sebagian besar lahannya berada di bagian utara
12
Kabupaten Bogor. Kedekatan letak dengan Ibukota Jakarta juga memberi
pengaruh terhadap tingginya luas permukiman di wilayah tersebut.
Luas Lahan (ha)
90000
Sawah
Permukiman
60000
30000
0
0-8%
8-15%
15-25% 25-45%
>45%
Kemiringan Lereng
Gambar 10 Luas sawah dan permukiman berdasarkan kelas lereng
Luas lahan permukiman terlihat lebih mendominasi pada kelas lereng 0-8%,
tetapi untuk kelas lereng lainnya luas lahan sawah masih lebih tinggi (Tabel 4).
Lahan sawah yang semakin sempit sementara lahan permukiman semakin tinggi
dapat memberikan tekanan yang lebih tinggi sehingga lahan sawah dapat
terancam untuk terkonversi.
Tabel 4 Luas dan persentase lahan sawah dan permukiman berdasarkan kelas
lereng
Lereng
0-8%
8-15%
15-25%
25-45%
>45%
Sawah
(ha)
(% Total)
14072.56
3721.21
13111.94
9172.26
4429.37
17.46
21.24
23.24
14.80
5.38
Permukiman
(ha)
(% Total)
22627.13
2127.01
6618.58
3160.25
1235.60
28.07
12.14
11.73
5.10
1.50
Total Luas
Lahan (ha)
80605.46
17518.37
56424.57
61955.81
82257.22
Berdasarkan Elevasi
Luas lahan sawah yang tertinggi berada pada elevasi 0-500 mdpl (23391.04
ha), dan bersifat semakin menurun dengan semakin meningkatnya elevasi. Elevasi
terkait dengan iklim terutama suhu dan curah hujan. Elevasi juga berpengaruh
terhadap peluang untuk pengairan (Hardjowigeno 1993). Gandasasmita (2001)
juga menyatakan bahwa elevasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
penggunaan lahan sawah karena elevasi berkorelasi erat dengan suhu udara,
semakin tinggi elevasi maka semakin rendah suhu udara sehingga suhu udara
yang rendah menjadi pembatas utama bagi penggunaan lahan sawah. Sebaran luas
lahan sawah dan permukiman terhadap elevasi ditampilkan pada Gambar 11,
sedangkan peta sebarannya ditampilkan pada Lampiran 5.
Luas Lahan (ha)
13
30000
Sawah
20000
Permukiman
Total
10000
0
Sawah
Permukiman
Total
0 - 500
23391,04
25579,88
121662,50
500 - 1000
15464,68
8029,60
98864,82
1000 - 1500
5648,19
2154,65
71407,40
> 1500
3,49
4,66
6826,70
Elevasi (mdpl)
Gambar 11 Luas sawah dan permukiman berdasarkan elevasi
Luas lahan permukiman juga menurun dengan semakin meningkatnya
elevasi. Elevasi yang semakin tinggi umumnya penggunaan/penutupan lahan yang
lebih dominan adalah perkebunan, semak belukar, dan hutan. Elevasi 0-500 mdpl
mempunyai luas permukiman yang sangat tinggi yaitu 25579.88 ha atau sekitar
71% dari total luas permukiman. Luas lahan permukiman mengalami penurunan
yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan penurunan luas pada lahan sawah.
Pada elevasi 0-500 mdpl, luas lahan permukiman lebih tinggi, sedangkan pada
elevasi di atas 500 mdpl, luas lahan sawah yang ada lebih tinggi jika dibandingkan
dengan luas permukiman.
Penggunaan lahan sawah dan permukiman yang tinggi dan selisih luasan
yang kecil adalah pada elevasi 0-500 mdpl yang memperlihatkan persaingan
penggunaan lahan yang ketat. Menurut Barlowe (1986), setiap jenis penggunaan
lahan (pertanian maupun non pertanian) mempunyai nilai ekonomi lahan yang
berbeda, dimana jenis penggunaan lahan dengan keuntungan komparatif tertinggi
akan mempunyai kapasitas penggunaan lahan terbesar. Oleh karena itu
penggunaan lahan tertentu akan dialokasikan untuk kegiatan yang memberikan
nilai land rent tertinggi.
Land rent merupakan sisa surplus ekonomi sebagai bagian dari nilai
produksi total atau pendapatan total yang ada setelah pembayaran dilakukan untuk
semua faktor biaya total. Secara umum besaran land rent dari berbagai kegiatan
dapat diurutkan. Land rent tertinggi yaitu pada kegiatan industri, selanjutnya pada
tingkat yang lebih rendah berturut-turut perdagangan, permukiman, pertanian
intensif, pertanian ekstensif (Barlowe 1986).
Penelitian Pambudi (2008) yang dilakukan di Kecamatan Ciampea
Kabupaten Bogor memperlihatkan land rent lahan permukiman lebih tinggi jika
dibandingkan dengan lahan sawah. Land rent yang dihasilkan untuk lahan
pertanian yaitu Rp 1 297/m2/tahun, sedangkan untuk lahan permukiman mencapai
Rp 102 208/m2/tahun. Perbandingan land rent tersebut mencapai 1 : 79 yang
berarti land rent permukiman mencapai 79 kali lebih besar dibandingkan land rent
pertanian. Land rent yang tinggi menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan
lahan yang cenderung ke arah permukiman. Hal tersebut terlihat dari perubahan
penggunaan lahan yang terjadi yaitu untuk pertanian dari tahun 2000 - 2007
mengalami penurunan dengan laju pertumbuhan -2.70%, sedangkan pada lahan
14
permukiman mengalami penambahan dengan laju pertumbuhan sebesar +3.96%
tiap tahunnya.
Berdasarkan Infrastruktur Jalan
Fasilitas mempunyai pengertian yang luas yaitu meliputi prasarana dan
sarana. Prasarana atau infrastruktur adalah alat (mungkin tempat) yang paling
utama dalam kegiatan sosial atau kegiatan ekonomi. Sedangkan sarana adalah
alat yang membantu prasarana tersebut. Prasarana dan sarana misalnya pabrik
dengan mesinnya, jalan dengan mobil, dan sawah dengan bajak (Jayadinata 1992).
Prasaran atau infrastruktur transportasi khususnya jalan adalah jenis infrastruktur
yang menentukan pembangunan suatu wilayah. Efek limpasan investasi
infrastruktur jalan terhadap pertumbuhan ekonomi tidak saja berdampak di
wilayah itu sendiri tetapi juga berdampak pada wilayah-wilayah di sekitarnya
(Calderon dan Serven 2004).
Keberadaan jalan terhadap lahan sawah dan permukiman saling berkaitan,
demikian juga jarak dari jalan terhadap penggunaanlahannya. Lahan sawah
berjarak 0-100 m dari jalan mempunyai luas lebih rendah jika dibandingkan
dengan jarak 100-500 m. Luasan yang rendah tersebut karena sebagian besar
lahan yang ada telah digunakan untuk permukiman atau lahan terbangun lainnya.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Rustiadi dan Barus (2012) yang
menyatakan lahan sawah yang berada di pinggiran jalan akan menjadi daerah
konversi. Luas lahan sawah tertinggi terdapat pada lahan dengan jarak 100-200 m
dari jalan dan semakin menurun dengan bertambahnya jarak dari jalan.
Aksesbilitas (jalan) ini berpengaruh terhadap luasan sawah, karena jalan memberi
kemudahan untuk mengangkut hasil panen ataupun alat produksi. Sebaran lahan
sawah dan permukiman berdasarkan jarak dari jalan ditampilkan pada Gambar 12,
sedangkan tabel luas lahan sawah ditampilkan pada Lampiran 6.
Luas lahan permukiman tertinggi terdapat pada jarak 0-100 m dari jalan.
Tingginya permukiman pada jarak tersebut dikarenakan kemudahan akses yang
ada sehingga pada jarak tersebut lebih dipilih untuk daerah permukiman. Hasil
penelitian ini mirip dengan pendapat Bourne (1978) yang mengatakan bahwa
salah satu faktor yang sangat menentukan dalam menentukan lokasi permukiman
adalah aksesbilitas, yaitu kemudahan dalam mencapai jalan raya utama.
12000
Luas Lahan (ha)
10000
Sawah
8000
Permukiman
6000
4000
2000
0
1
6
11
16
21
26
Jarak dari Jalan (Ratus m)
31
36
Gambar 12 Luas lahan sawah dan permukiman berdasarkan jarak dari jalan
15
Luasan lahan sawah dan permukiman semakin menurun dengan semakin
jauhnya jarak lahan terhadap jalan. Akses yang semakin sulit menjadi penyebab
penggunaan lahan yang ada menjadi semakin terbatas. Murgante dan Danase
(2011) juga menyatakan bahwa pertumbuhan perkotaan lebih terkonsentrasi di
sepanjang jalur utama jaringan jalan. Aksesibilitas dan jarak dari infrastruktur
menjadi pertimbangan untuk memilih daerah permukiman.
Berdasarkan sifat fisik, secara umum Kabupaten Bogor mempunyai
kemiringan lereng dan elevasi yang bervariasi. Bagian utara kemiringan lereng
yang ada cenderung datar dengan tingkat elevasi yang rendah, dan semakin ke
selatan kemiringan lereng dan ketinggian yang ada semakin meningkat. Hal
tersebut disebabkan adanya Gunung Gede Pangrango dan Halimun Salak yang
berada di perbatasan Kabupaten Bogor dengan Sukabumi dan Cianjur. Pola
sebaran lahan sawah dan permukiman umumnya juga berkembang sesuai kondisi
topografi yang ada. Lahan sawah terlihat lebih mendominasi di Kabupaten Bogor
bagian timur dengan tingkat kemiringan lereng cenderung datar serta elevasi
berkisar antara 0 – 1000 mdpl. Sedangkan di bagian selatan dan barat yang
mempunyai kemiringan lereng lebih bervariasi, lahan sawah yang ada lebih
menyebar.
Lahan permukiman sebagian besar berada di wilayah utara dan di sekitar
Kota Bogor. Wilayah utara merupakan tempat yang strategis untuk permukiman
karena lebih dekat dengan Ibukota Jakarta, berbatasan dengan Kota Bogor, dan
berbatasan dengan pusat industri (Bekasi). Fasilitas jalan yang semakin baik juga
mendukung daerah tersebut sebagai pilihan untuk tempat tinggal. Kondisi
topografi yang ada juga mendukung aktifitas manusia, karena berada pada
kemiringan lereng yang datar (0-8%) dan ketinggian antara 0-500 mdpl.
Penyebaran permukiman di Kabupaten Bobor semakin sedikit dengan semakin
jauhnya jarak dari pusat Kota Bogor dan Jakarta.
Hubungan Kepadatan Penduduk dan Kerapatan Jalan Terhadap
Kepadatan Lahan Sawah dan Permukiman
Kepadatan Penduduk
Kepadatan mengacu pada perbandingan luas terhadap wilayahnya. Jumlah
dan kepadatan penduduk secara lengkap ditampilkan pada Lampiran 7.
Berdasarkan Gambar 13 terlihat bahwa kepadatan penduduk lebih berkaitan
dengan kepadatan permukiman (R2= 0.679) daripada kepadatan sawah (R2=
0.133). Hubungan kepadatan penduduk dengan kepadatan sawah mempunyai
hubungan negatif, mengindikasikan bahwa ada kecenderungan dengan semakin
tingginya kepadatan penduduk maka kepadatan sawah akan semakin berkurang.
Secara tidak langsung, semakin tinggi jumlah penduduk pada suatu wilayah maka
permintaan terhadap permukiman juga meningkat sehingga harus mengorbankan
penggunaan lahan lain untuk memenuhi permintaan tersebut.
Kepadatan Sawah (ha/ha)
kepadatan sawah (ha/ha)
Expon. (kepadatan sawah (ha/ha))
0,5
0,4
0,3
y = 0,1624e-0,015x
R² = 0,1336
0,2
0,1
0
0
50
100
Kepadatan Penduduk (jiwa/ha)
Kepadatan Permukiman (ha/ha)
16
Kepadatan permukiman (ha/ha)
Linear (Kepadatan permukiman (ha/ha))
0,8
y = 0,005x + 0,0448
0,6
R² = 0,5276
0,4
0,2
0,0
0
50
100
Kepadatan Penduduk (jiwa/ha)
(a)
(b)
Gambar 13 Kepadatan penduduk terhadap kepadatan sawah (a) dan kepadatan
penduduk terhadap kepadatan permukiman (b)
Hubungan kepadatan penduduk dan permukiman terlihat searah,
menandakan semakin tinggi jumlah penduduk maka luas permukiman juga akan
semakin
meningkat.
Setiap
individu
masyarakat
membutuhkan
papan/permukiman, akan tetapi tidak semua masyarakat tersebut membutuhkan
lahan sawah karena tidak semua bekerja sebagai petani. Selain itu, Kabupaten
Bogor yang berfungsi sebagai daerah pinggiran Ibukota Jakarta lebih berperan
sebagai daerah tujuan hunian bagi para pekerja di ibukota.
Kerapatan Jalan
Hubungan kerapatan jalan ditunjukkan pada Gambar 14, sedangkan tabel
kerapatan jalan disajikan pada Lampiran 8. Dalam gambar tersebut terlihat
hubungan kerapatan jalan terhadap kepadatan sawah sangat rendah, ditunjukkan
dengan nilai R2= 0.001 dengan tidak adanya pola tertentu, sedangkan hubungan
kerapatan jalan dengan kepadatan permukiman mempunyai tingkat R2 yang lebih
tinggi yaitu 0.343 dan searah/positif.
kepadatan permukiman
Expon. (kepadatan permukiman)
0,5
Kepadatan Permukiman
(ha/ha)
Kepadatan Sawah (ha/ha)
Kepadatan sawah
0,4
0,3
0,2
0,1
0,0
0
5
10
Kerapatan Jalan (m/ha)
15
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0,0
y = 0,0197e0,2423x
R² = 0,3434
0
5
10
15
Kerapatan Jalan (m/ha)
(a)
(b)
Gambar 14 Kerapatan jalan terhadap kepadatan sawah (a) dan kerapatan jalan
terhadap kepadatan permukiman (b)
17
Menurut Purwoto dan Kurniawan (2009), wilayah dengan aktifitas ekonomi
yang bertumpu pada bidang agraris cenderung kurang membutuhkan dukungan
transportasi, perbaikan prasarana transportasi memberikan pengaruh yang lebih
kecil terhadap pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi pada wilayah dengan aktifitas
ekonomi bertumpu pada perdagangan dan jasa yang membutuhkan mobilitas yang
tinggi, perbaikan prasarana transportasi akan mendukung meningkatnya aktifitas
yang dilakukan sehingga perbaikan jalan memberikan pengaruh pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi, sebagaimana ditunjukkan oleh wilayah Jawa dan
Sumatera.
Fragmentasi Sawah dan Permukiman
NumP dapat digunakan untuk mengukur tingkat fragmentasi yang terjadi.
NumP yang tinggi dalam suatu luasan tertentu menandakan tingkat fragmentasi
yang tinggi pula. Selain NumP, MPS juga dapat dijadikan sebagai indikator
fragmentasi. Nilai MPS suatu daerah yang lebih kecil dari lainnya menandakan
daerah tersebut lebih terfragmentasi (Herzog and Lausch, 2001). Selain itu, CA,
PSSD, dan MSI dapat juga dimanfaatkan untuk analisis fragmentasi lahan.
Gambar 15 memperlihatkan contoh peta hasil analisis patch dalam bentuk
yang lebih sederhana agar lebih mudah dalam memahami perbedaan dari nilai
setiap indeks fragmentasi. Peta tersebut merupakan hasil potongan lahan sawah di
Kecamatan Cariu, dan diolah dengan skala yang hampir sama.
(a)
(b)
Gambar 15 Contoh nilai indeks fragmentasi hasil analisis Patch
Nilai indeks CA merupakan hasil penjumlahan dari semua luas poligon
yang ada. Nilai indeks CA pada Gambar (a) adalah 281.79 ha, jauh lebih tinggi
dari Gambar (b) yang hanya 85.01 ha. Hal tersebut terlihat jelas pada visual
Gambar (a) poligon yang ada mempunyai ukuran yang lebih besar jika
dibandingkan pada Gambar (b) meskipun Gambar (a) mempunyai jumlah NumP
atau jumlah poligon lebih sedikit yaitu 8 poligon, sedangkan pada Gambar (b)
berjumlah 9 poligon. Nilai rata-rata poligon atau MPS pada Gambar (a) jauh lebih
tinggi yaitu 35.22 ha, sedangkan pada Gambar (b) hanya 9.45 ha. Nilai MPS yang
tinggi pada Gambar (a) dikarenakan secara umum pada gambar tersebut
18
mempunyai poligon yang berukuran hampir sama dan dengan luasan yang tinggi.
PSSD pada Gambar (a) juga lebih tinggi yaitu 13.54 ha, sedangkan pada Gambar
(b) yaitu 7.44 ha. Hal tersebut disebabkan pada Gambar (a) mempunyai perbedaan
selisih ukuran poligon yang lebih tinggi dimana luas poligon tertinggi 59.82 ha
dan terendah 16.72 ha, sedangkan pada Gambar (b) luas tertinggi hanya 19.53 ha
dan yang terendah 0.78 ha. Nilai indeks MSI atau ukuran rata-rata bentuk pada
Gambar (a) lebih rendah yaitu 1.83, sedangkan pada Gambar (b) nilai yang
dimiliki jauh lebih tinggi yaitu 2.57. Bentuk yang secara visual terlihat semakin
tidak teratur pada Gambar (b) menyebabkan nilai MSI yang ada semakin tinggi.
Sedangkan untuk hasil analisis Patch lengkap Kabupaten Bogor untuk lahan
sawah ditampilkan pada Lampiran 9, dan pada lahan permukiman ditampilkan
pada Lampiran 10.
Indeks Class Area
Luaran hasil CA sawah menunjukkan bahwa Kabupaten Bogor didominasi
oleh kelompok kecamatan dengan luas lahan sawah pada kelas sedang (dengan
luas 101 - 2124 ha) yaitu 82.5%, kelas tinggi (>2124 ha) 12.5%, dan rendah (
PERMUKIMAN DI KABUPATEN BOGOR
SITI NURJANNAH
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sebaran dan
Fragmentasi Lahan Sawah dan Permukiman di Kabupaten Bogor adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Siti Nurjannah
NIM A14080111
ii
ABSTRAK
SITI NURJANNAH. Sebaran dan Fragmentasi Lahan Sawah dan
Permukiman di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh KHURSATUL MUNIBAH
dan BAMBANG HENDRO TRISASONGKO.
Kedekatan letak Kabupaten Bogor terhadap Ibukota Jakarta menjadikan
Bogor sebagai salah satu daerah sub-urban bagi Jakarta. Hal tersebut berdampak
pada peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan terhadap pangan dan papan di
Kabupaten Bogor. Dalam penelitian ini, interpretasi visual dari citra Ikonos
digunakan untuk memantau distribusi dari sawah dan permukiman yang ada.
Selanjutnya, analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
sawah dan permukiman dengan sifat fisik seperti kemiringan lereng dan elevasi,
serta karakteristik sosio-ekonomi termasuk jarak dari jalan, kepadatan penduduk,
dan kerapatan jalan. Analisis patch digunakan untuk mengetahui indeks
fragmentasi masing-masing wilayah. Hasil analisis citra Ikonos menunjukkan
kenampakan sawah berwarna hijau kebiruan dengan tekstur halus, sedangkan
permukiman berwarna merah agak terang dan cenderung mengelompok. Luas
lahan sawah dan permukiman menurun dengan meningkatnya kelas lereng
maupun elevasi. Luas lahan sawah terendah pada jarak 0-100 m dari jalan,
tertinggi berada pada 100-200 m, dan semakin menurun dengan meningkatnya
jarak dari jalan. Sedangkan pada permukiman, luasan yang ada juga semakin
menurun dengan meningkatnya jarak dari jalan. Hubungan antara kepadatan
penduduk terhadap kepadatan permukiman cukup kuat (R2=0.679), berbeda
dengan kepadatan sawah (R2=0.133). Hubungan kerapatan jalan terhadap
kepadatan penduduk maupun terhadap kepadatan permukiman tidak berbeda jauh,
ditunjukkan dengan R2=0.001 dan R2=0.343. Fragmentasi sawah dan permukiman
didominasi oleh kecamatan dengan kelompok sedang. Indeks fragmentasi
umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti lereng, elevasi, dan kedekatan
letak dengan pusat kota.
Kata kunci: fragmentasi, lahan permukiman, lahan sawah, MPS, NumP
ii
ABSTRACT
SITI NURJANNAH. Distribution and Fragmentation of Paddy Fields and
Settlement in Bogor Regency. Supervised by KHURSATUL MUNIBAH and
BAMBANG HENDRO TRISASONGKO
Due to its proximity Bogor has been serving as one of Jakarta Sub-urban
areas. Increasing population food and residence has been evident in Bogor. In this
research, visual interpretation of Ikonos Image is used to monitor the distribution
of existing paddy fields and settlements. Furthermore, descriptive analysis was
studied to understand the relation of paddy and settlement with physical properties
such as slope, elevation, as well as socio-economic characteristics including
distance from street, population dens
ity, and street density. Patch analysis was use to investigate fragmentation
index for each district. Results show that Ikonos image visualize paddy as bluish
green with smooth texture, while settlement is shown bright red and clustered.
The width of paddy fields and settlements decreased with the increasing of slope
and elevation. There was a low number of paddy land parcel width within 0-100
m distance from street, with the highest on 100-200 m, and again decreased as the
distance increased. On settlement areas, the width also decreased with the
increasing distance from street. Relationhip between population density and
settlement density was fairly high (R2=0,679), in contrast to paddy (R2=0,133).
Meanwhile, street density and population density were least correlated, similiar to
settlement density, with R2=0,001 and R2=0,343 respectively. Paddy and
settlement fragmentation in district were found moderate. Fragmentation index
was commonly influenced by several factors, such as slope, elevation and distance
from the central of town.
Keywords: fragmentation, settlement, paddy land, MPS, NumP
iv
SEBARAN DAN FRAGMENTASI LAHAN SAWAH DAN
PERMUKIMAN DI KABUPATEN BOGOR
SITI NURJANNAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
vi
PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahiim. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya skripsi yang berjudul “Sebaran dan
Fragmentasi Lahan Sawah dan Permukiman di Kabupaten Bogor” dapat
diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
meraih gelar Sarjana Pertanian di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis berharap skripsi ini dapat
bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan bagi para pembacanya.
Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan, dukungan, nasihat, dan
bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan rasa
terimakasih kepada:
1. Dr. Khursatul Munibah, MSc dan Ir. Bambang Hendro Trisasongko, MSc
selaku Pembimbing Skripsi yang telah memberikan bimbingan, ide, kritik,
kesabaran, dan masukan bagi penulis dalam kegiatan penelitian dan
penulisan skripsi ini.
2. Dr. Boedi Tjahjono, MSc selaku dosen penguji yang telah memberikan
saran dan masukan bagi penulis dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.
3. Pemerintah Daerah Kabupaten Buru yang telah memberikan beasiswa
kepada penulis selama berada di bangku perkuliahan.
4. Orang tua tercinta, Bapak Imam Maksum dan Ibu Wijiati, kakak tersayang
Umi Rabitah serta suaminya Toto Hartoyo, dan seluruh keluarga yang
telah memberikan doa, motivasi, perhatian, pengorbanan, cinta, dan kasih
sayang.
5. Frenky Fauzi yang selalu memberi semangat, doa, dan membantu dalam
penyelesaian skripsi ini.
6. Soiler 45 terutama sahabat di Bagian PJIC, Keluarga Azimuth, serta
sahabat di Wisma Rahayu terima kasih atas kebersamaan dan dukungan
yang telah diberikan.
7. Kementan, Bagian Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah
LPPM IPB, dan BPS Kabupaten Bogor yang telah membantu memberikan
data-data yang diperlukan penulis untuk penelitian.
8. Semua pihak yang telah membantu kegiatan penelitian dan penyusunan
skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan bagi ilmu
pengetahuan, khususnya bidang Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan.
Bogor, Februari 2015
Siti Nurjannah
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
i
DAFTAR TABEL
ii
DAFTAR GAMBAR
ii
DAFTAR LAMPIRAN
iii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
2
METODOLOGI PENELITIAN
3
Lokasi, Waktu Penelitian, Bahan, dan Alat yang Digunakan
3
Metode Penelitian
4
Tahap Persiapan
4
Tahap Pengumpulan Data
4
Tahap Analisis Data
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Interpretasi Lahan Sawah dan Permukiman dari Citra Ikonos
Sebaran Lahan Sawah dan Permukiman Berdasarkan Sifat Fisik dan
Infrastruktur Jalan
8
8
11
Berdasarkan Kemiringan Lereng
11
Berdasarkan Elevasi
12
Berdasarkan Infrastruktur Jalan
14
Hubungan Kepadatan Penduduk dan Kerapatan Jalan Terhadap Kepadatan
Lahan Sawah dan Permukiman
15
Kepadatan Penduduk
15
Kerapatan Jalan
16
Fragmentasi Sawah dan Permukiman
17
Indeks Class Area
18
Indeks Number of Polygon
20
Indeks Mean Polygon Size
22
Indeks Polygon Size Standard Deviation
24
Indeks Mean Shape Index
26
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
30
30
ii
Saran
30
DAFTAR PUSTAKA
31
LAMPIRAN
34
RIWAYAT HIDUP
43
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
Indeks fragmentasi
Pengelompokan kelas indeks fragmentasi
Teknik analisis dan hasil yang diharapkan
Luas dan persentase lahan sawah dan permukiman berdasarkan kelas
lereng
5
5
7
12
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Peta wilayah administrasi Kabupaten Bogor
Diagram alir penelitian
Kenampakan sawah pada citra (a) dan pengamatan lapang (b)
Kenampakan sawah pada citra (a) dan pengamatan lapang (b)
Kenampakan sawah pada citra (a) dan pengamatan lapang (b)
Kenampakan permukiman pada citra (a) dan pengamatan lapang (b)
Kenampakan permukiman pada citra (a) dan pengamatan lapang (b)
Kenampakan permukiman pada citra (a) dan pengamatan lapang (b)
Sebaran lahan sawah dan permukiman tahun 2010
Luas sawah dan permukiman berdasarkan kelas lereng
Luas sawah dan permukiman berdasarkan elevasi
Luas lahan sawah dan permukiman berdasarkan jarak dari jalan
Kepadatan penduduk terhadap kepadatan sawah (a) dan kepadatan
penduduk terhadap kepadatan permukiman (b)
Kerapatan jalan terhadap kepadatan sawah (a) dan kerapatan jalan
terhadap kepadatan permukiman (b)
Contoh nilai indeks fragmentasi hasil analisis Patch
Kelas indeks CA sawah Kabupaten Bogor tahun 2010
Kelas indeks CA permukiman Kabupaten Bogor tahun 2010
Kelas indeks NumP sawah Kabupaten Bogor tahun 2010
Kelas indeks NumP permukiman Kabupaten Bogor tahun 2010
Kelas indeks MPS sawah Kabupaten Bogor tahun 2010
Kelas indeks MPS permukiman Kabupaten Bogor tahun 2010
Kelas indeks PSSD sawah Kabupaten Bogor tahun 2010
Kelas indeks PSSD permukiman Kabupaten Bogor tahun 2010
3
6
8
9
9
9
10
10
10
12
13
14
16
16
17
18
19
20
21
22
24
25
26
iii
24
25
Kelas indeks MSI sawah Kabupaten Bogor tahun 2010
Kelas indeks MSI permukiman Kabupaten Bogor tahun 2010
27
28
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tahapan pembuatan hillshade menggunakan software Global Mapper
13 dan Arcgis 9.3
Citra Ikonos Kabupaten Bogor tahun 2010
Luas lahan sawah dan permukiman serta persentase terhadap luas
Kabupaten Bogor pada masing-masing kecamatan
Peta sebaran lahan sawah dan permukiman berdasarkan kemiringan
lereng
Peta sebaran lahan sawah dan permukiman berdasarkan elevasi
Luas lahan sawah dan permukiman berdasarkan jarak dari jalan
Kepadatan penduduk masing-masing kecamatan
Kerapatan jalan masing-masing kecamatan
Nilai indeks fragmentasi sawah masing-masing kecamatan
Nilai indeks fragmentasi permukiman masing-masing kecamatan
34
35
36
37
37
38
39
40
41
42
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Laju perekonomian yang tinggi di Ibukota Jakarta menjadi magnet
tersendiri bagi para pencari kerja untuk datang ke Kota Jakarta. Hal tersebut
berakibat pada semakin tingginya laju urbanisasi tiap tahunnya. Laju
pertambahan jumlah penduduk yang tinggi berimbas pada wilayah
pinggiran (daerah penyangga) yang ikut mengalami pertumbuhan wilayah
yang cukup pesat. Menurut Firman (2003), pertumbuhan perkotaan di
Indonesia terutama di kota besar dan metropolitan secara fisik ditandai oleh
pertumbuhan yang pesat pada wilayah pinggiran perkotaan. Pada wilayah
tersebut proses sub-urbanisasi yaitu pergeseran fungsi-fungsi kekotaan ke
wilayah pinggiran perkotaan, berakibat pada tumbuhnya kawasan-kawasan
permukiman baru. Kecenderungan pertumbuhan kawasan permukiman di
wilayah pinggiran perkotaan dalam sistem metropolitan di Indonesia masih
akan terus berlanjut di masa mendatang, antara lain karena kecenderungan
pertumbuhan penduduk yang terus tinggi di metropolitan, terutama di
Jabodetabek.
Johnson (1984) menyatakan bahwa di antara wilayah perkotaan, perdesaan
dan pinggiran perkotaan, wilayah pinggiran perkotaan memberikan peluang paling
besar untuk usaha-usaha produktif dan peluang yang paling menyenangkan untuk
bertempat tinggal. Hal ini menjadikan wilayah pinggiran perkotaan merupakan
suatu wilayah peluberan kegiatan perkembangan kota dan merupakan daerah yang
berada dalam proses transisi dari daerah perdesaan menjadi perkotaan. Kabupaten
Bogor yang terletak di pinggiran Ibukota Jakarta juga menjadi kawasan yang
mengalami perkembangan cukup pesat. Hal tersebut berdampak pada
pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bogor yang semakin meningkat seiring
dengan tingginya perkembangan wilayah berupa meningkatnya permukiman,
industri, rekreasi, maupun pengembangan fasilitas umum.
Perkembangan wilayah pinggiran yang tinggi juga memberikan dampak
negatif, yaitu terjadinya alih fungsi (konversi) guna lahan dari kawasan pertanian
ke non pertanian secara besar besaran guna memenuhi kebutuhan lahan terbangun
yang semakin meningkat. Tanpa adanya pengaturan yang mendasar, alih fungsi
ini dengan berbagai dampak negatifnya, akan menyebar lebih luas lagi (Firman
2003). Perubahan penggunaan lahan juga berdampak pada fragmentasi
penggunaan lahan. Fragmentasi fisik lahan dan kepemilikan lahan mengakibatkan
tingginya biaya produksi persatuan unit lahan sehingga menurunkan daya saing
ekonomi karena tidak tercapainya economies of scale (Arsyad dan Rustiadi 2008).
Fragmentasi lahan didefinisikan sebagai keberadaan jumlah plot spasial
yang terpisah dari lahan yang dibudidayakan sebagai unit tunggal (McPherson,
1982 dalam Tan 2006). Sedangkan menurut Demetriou (2014), fragmentasi lahan,
yang juga dikenal sebagai peluruhan, pembagian atau penyebaran, didefinisikan
dalam literatur sebagai situasi di mana sebuah pertanian tunggal terdiri dari
berbagai spasial terpisah.
Lebih jauh Kjelland et al. (2007) menjelaskan bahwa dampak pertumbuhan
kawasan urban yang tidak terkontrol (urban sprawl) yang berpadu dengan
2
perubahan persepsi petani dalam memandang masa depan lahan pertaniannya
merupakan faktor penting dalam berkembangnya fragmentasi lahan. Pendapat
yang sama juga disampaikan oleh Irwin dan Bocstael (2007) yang menyatakan
bahwa fragmentasi berkaitan dengan tingkat urbanisasi yang tinggi. Peningkatan
fragmentasi terbesar mengarah ke luar dari pusat/inti kota atau berada di daerah
perbatasan/pinggiran kota.
Shresta (2012) yang melakukan penelitian di Phoenix (Amerika Serikat) juga
menemukan bahwa fragmentasi lahan yang terjadi merupakan efek dari urbanisasi
yang sangat cepat. Urbanisasi menjadikan fragmentasi terbesar berada di daerah
pinggiran kota, sedangkan inti/pusat perkotaan mengalami penurunan dengan
tekanan tertinggi fragmentasi berada di daerah dengan tingkat kepadatan yang
masih rendah. Niroula dan Thapa (2005) menambahkan bahwa untuk kawasan
Asia Selatan, fragmentasi juga dipicu oleh pertumbuhan penduduk yang sangat
cepat. Selain itu, pembagian lahan dengan sistem waris dan kemiskinan juga
memberikan andil terhadap fragmentasi yang terjadi. Tingginya fragmentasi di
Asia Selatan memberikan efek negatif yaitu dalam hal konservasi maupun
ekonomi.
Melihat besarnya pengaruh urbanisasi terhadap wilayah pinggiran maka
diperlukan penelitian analisi spasial yang dapat membantu mempermudah
pemantauan perkembangan penggunaan/penutupan lahan. Sistem Informasi
Geografi (SIG) merupakan alat yang handal untuk menangani data spasial (Barus,
2005). Teknologi penginderaan jauh yang dipadukan dengan SIG dapat
dimanfaatkan untuk memantau perkembangan wilayah.
Tujuan
Berdasarkan formulasi permasalahan di atas, maka perlu dilakukan studi
fragmentasi lahan di Kabupaten Bogor sebagai salah satu wilayah penyangga DKI
Jakarta. Secara spesifik tujuan dari penelitian ini adalah:
1)
Menganalisis distribusi dan karakteristik lahan sawah dan permukiman dari
citra Ikonos
2)
Menganalisis sebaran lahan sawah dan permukiman berdasarkan lereng,
elevasi, jarak dari jalan, kepadatan penduduk, dan kerapatan jalan
3)
Menganalisis fragmentasi lahan sawah dan permukiman
3
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi, Waktu Penelitian, Bahan, dan Alat yang Digunakan
Penelitian dilakukan di Kabupaten Bogor yang terdiri atas 40 kecamatan
dengan luas 298 838 ha. Wilayah administrasi Kabupaten Bogor ditampilkan pada
Gambar 1. Secara geografis, Kabupaten Bogor terletak di 6018’00 - 6047’10 LS
dan 106023’45 – 107013’30 BT. Secara administratif, batas-batas Kabupaten
Bogor adalah:
a)
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, Kabupaten/Kota
Bekasi, Kota Depok
b)
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten
Karawang
c)
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten
Cianjur
d)
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak (Provinsi Banten)
e)
Sebelah Tengah berbatasan dengan Kota Bogor.
Gambar 1 Peta wilayah administrasi Kabupaten Bogor
Analisis data spasial dilakukan di Divisi Penginderaan Jauh dan Informasi
Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
4
Bahan yang digunakan yaitu citra Ikonos Kabupaten Bogor tahun 2010 dan
peta sawah, peta administrasi, peta elevasi, peta lereng, peta jalan, dan data jumlah
penduduk.
Alat yang digunakan meliputi perangkat keras/komputer dengan perangkat
lunak (software) Microsoft Office, ArcView GIS 3.3, ArcGIS 9.3, Global Mapper
13, Patch Analyst 4.0, GPS (Global position system), kamera digital, dan alat tulis.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan melalui beberapa tahapan, yaitu: (1) Tahap
persiapan, (2) Tahap pengumpulan data, (3) Tahap analisis data.
Tahap Persiapan
Pada tahap ini dilakukan pemilihan topik penelitian, studi literatur,
pembuatan proposal dan pencarian data yang diperlukan serta metode yang
digunakan untuk analisis data.
Tahap Pengumpulan Data
Kegiatan yang dilakukan yaitu pengumpulan data baik data primer maupun
sekunder. Pengumpulan data primer meliputi peta lahan sawah dan permukiman
yang diperoleh dari Kementerian Pertanian RI serta pengecekan lapang. Data
sekunder meliputi, peta elevasi, peta jalan, dan peta lereng diperoleh dari Bagian
Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM IPB, data
SRTM
Kabupaten
Bogor
resolusi
30x30
m
diunduh
dari
http://earthexplorer.usgs.gov, dan data jumlah penduduk diperoleh dari BPS
Kabupaten Bogor.
Tahap Analisis Data
Tahap pengolahan dan analisis data terdiri atas analisis karakteristik lahan
sawah dan permukiman dari citra Ikonos, analisis sebaran lahan sawah dan
permukiman berdasarkan elevasi, kemiringan lereng, dan jarak dari jalan. Analisis
hubungan lahan sawah dan permukiman terhadap kerapatan jalan dan kepadatan
penduduk, serta analisis fragmentasi sawah dan permukiman.
Analisis karakteristik lahan sawah dan permukiman dari citra Ikonos
Analisis ini diawali dengan interpretasi dan verifikasi visual lahan sawah
dan pemukiman dengan pendekatan unsur rona, warna, bentuk, ukuran, tekstur,
pola, bayangan, situs, dan asosisasi. Setelah itu dilakukan pengecekan lapang
untuk memperkuat hasil analisis dengan membandingkan penggunaan lahan
sawah dan permukiman yang ada di lapang dengan peta lahan sawah dan
permukiman hasil interpretasi. Peta lahan sawah dan permukiman kemudian
ditumpangtindihkan dengan peta administrasi Kabupaten Bogor untuk mengetahui
luas sawah dan permukiman masing-masing kecamatan.
5
Analisis sebaran lahan sawah dan permukiman berdasarkan elevasi,
kemiringan lereng, dan jarak dari jalan
Analisis diawali dengan pembuatan buffer jalan dengan jarak setiap 100 m.
Selanjutnya peta buffer jalan, elevasi, dan kemiringan lereng masing-masing
ditumpangtindihkan dengan peta sawah dan permukiman untuk memperoleh
sebarannya.
Data SRTM resolusi 30x30 m digunakan untuk membuat peta kontur. Peta
kontur tersebut diproses lebih lanjut untuk mendapatkan bentuk visual relief
dengan tahap-tahap seperti tersaji pada Lampiran 1.
Analisis hubungan kerapatan jalan dan kepadatan penduduk terhadap
lahan sawah dan permukiman
Hubungan kerapatan jalan dan kepadatan penduduk terhadap luas sawah dan
permukiman dianalisis di tingkat kecamatan. Kerapatan jalan diperoleh dari
panjang jalan dibagi dengan luas masing-masing kecamatan, sedangkan kepadatan
penduduk diperoleh dari pembagian jumlah penduduk dengan luas masing-masing
kecamatan.
Analisis fragmentasi
Analisis fragmentasi dilakukan menggunakan extension patch analyst. Peta
sawah dan permukiman dianalisis ditingkat kecamatan untuk mendapatkan kelas
indeks fragmentasi. Indeks fragmentasi yang digunakan dijabarkan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Indeks fragmentasi
Indeks Fragmenstasi
Ukuran
CA (Class area)
Wilayah
NumP (Number of
Kerapatan
Patch)
dan
MPS (Mean Patch
Ukuran
Size)
Poligon
PSSD (Patch Size
Standard Deviation).
Ukuran
Bentuk
MSI (Mean Shape
Index)
Definisi
Jumlah semua poligon yang dimiliki oleh kelas
tertentu dengan satuan hektar (ha)
Total jumlah poligon dalam suatu wilayah dengan
satuan poligon
Rata-rata ukuran poligon dalam suatu wilayah
dengan satuan hektar (ha)
Variabilitas atau standar deviasi dari suatu wilayah
dengan satuan hektar (ha)
Nilai sama dengan 1 ketika semua patch melingkar
(untuk poligon) dan meningkat dengan
meningkatnya ketidakteraturan bentuk patch
Penetapan untuk interval kelas rendah, sedang, dan tinggi dilakukan
berdasarkan simpangan baku dari masing-masing indeks. Pengelompokan tersebut
ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Pengelompokan kelas indeks fragmentasi
Indeks
CA (ha)
NumP (poligon)
MPS (ha)
PSSD (ha)
MSI
Rendah
< 101
< 98
3.59
0.62-10.38 >10.38
1.47-1.66
>1.66
Rendah
1.92
6
Secara umum, tahapan-tahapan penelitian digambarkan dalam bentuk
diagram alir yang ditampilkan pada Gambar 2. Sedangkan tahapan berdasarkan
tujuan, jenis data, teknik analisis data, dan keluaran disajikan pada Tabel 3.
Gambar 2 Diagram alir penelitian
7
Tabel 3 Teknik analisis dan hasil yang diharapkan
No
Tujuan
Teknik
Keluaran
Analisis Data
Citra Ikonos
Interpretasi
Ciri-ciri umum lahan
Peta sawah dan
citra
sawah dan
permukiman
Analisis
permukiman pada
tahun 2010
tumpang
citra
Peta
tindih
Sebaran lahan sawah
administrasi
Pengecekan
dan permukiman
lapang
berdasarkan
kecamatan
Data
1
Analisis
karakteristik
lahan sawah dan
permukiman
dari citra Ikonos
2
Analisis sebaran
lahan sawah dan
permukiman
berdasarkan
elevasi,
kemiringan
lereng, jarak
dari jalan,
kerapatan jalan,
dan kepadatan
penduduk
Peta lahan
sawah dan
permukiman
Peta elevasi
Peta kemiringan
lereng
Peta jalan
Jumlah
penduduk
SRTM
Analisis
tumpang
tindih
Analisis
deskriptif
Sebaran lahan sawah
dan permukiman
berdasarkan elevasi,
kemiringan lereng,
jarak dari jalan
Hubungan kerapatan
jalan dan kepadatan
penduduk terhadap
lahan sawah dan
permukiman
3
Analisis
fragmentasi
sawah dan
permukiman
Peta lahan
sawah dan
permukiman
Analisis
patch
Pola sebaran
fragmentasi sawah
dan permukiman
berdasarkan masingmasing indeks
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
Interpretasi Lahan Sawah dan Permukiman dari Citra Ikonos
Interpretasi citra Ikonos dilakukan pada band atau saluran warna red green
blue (RGB) 321 yang ditampilkan pada lampiran 2. Pengaturan band pada citra
berguna untuk memudahkan mengenali kenampakan obyek berdasarkan rona dan
warna sebagai dasar interpretasi. Band komposit 432 untuk penampakan false
color red, 342 untuk false color green, dan 321 merupakan true color composite.
Kombinasi warna true color menghasilkan warna sesuai dengan yang ada di
permukaan bumi (natural color) sehingga lahan sawah dan permukiman lebih
mudah dikenali.
Lahan sawah adalah suatu tipe penggunaan lahan yang memerlukan
genangan air. Sawah selalu mempunyai permukaan yang datar atau didatarkan
(dibuat teras) dan dibatasi oleh pematang untuk menahan air genangan
(Puslitbangtanak 2003). Dengan demikian, lahan sawah atau areal pertanian
dicirikan oleh pola pematang dengan tanaman padi.
Kenampakan lahan sawah pada citra memperlihatkan suatu pola yang teratur
atau terkonsentrasi dengan kenampakan berwarna hijau agak kebiruan atau
berwarna cokelat pucat dengan tekstur yang halus. Keadaan lahan sawah pada
lereng yang curam terlihat memiliki batas (pematang) lebih kecil dan keadaan di
lapang luas yang dimiliki pun relatif lebih sempit. Lereng curam juga ditandai
dengan pematang yang melengkung karena pengaruh perbedaan ketinggian
tempat yang cenderung berbentuk mengerucut ke atas. Lahan sawah pada lereng
yang datar mempunyai pematang yang berbentuk persegi panjang dan lebih luas.
Warna hijau agak kebiruan terlihat dominan ketika padi dalam masa
pertumbuhan, sedangkan warna hijau pucat ketika sawah sudah mulai memasuki
masa panen. Warna cokelat pucat juga menjadi ciri lahan sawah yang sedang
diberakan, atau lahan sawah yang ada dibiarkan tidak ditanami agar kembali
kesuburannya atau sedang menunggu masa tanam berikutnya. Gambar-gambar
berikut menampilkan citra dengan keadaan lahan sawah berbeda, seperti pada
lereng yang curam dengan kecenderungan bentuk petak lebih melengkung
(Gambar 3), lereng datar terlihat membentuk pola persegi atau persegi panjang
dan warna menjadi hijau kebiruan menandakan padi dalam masa pertumbuhan
(Gambar 4), dan warna hijau pucat kecokelatan merupakan masa setelah panen
atau sedang diberakan (Gambar 5).
(a)
(b)
Gambar 3 Kenampakan sawah pada citra (a) dan pengamatan lapang (b)
9
(a)
(b)
Gambar 4 Kenampakan sawah pada citra (a) dan pengamatan lapang (b)
(a)
(b)
Gambar 5 Kenampakan sawah pada citra (a) dan pengamatan lapang (b)
Permukiman didefinisikan sebagai areal atau lahan yang digunakan sebagai
tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
kehidupan. Kenampakan permukiman pada citra memiliki tekstur kasar, berwarna
warni dengan dominasi warna merah/agak terang, dan cenderung mengelompok
terutama di sekitar jalan. Beberapa pola kenampakan objek pada citra yaaitu pola
yang tidak teratur menggambarkan pemukiman yang padat penduduk (Gambar 6),
pola teratur menunjukkan kompleks perumahan (Gambar 7), dan pola tidak teratur,
memanjang atau mengelompok dalam ukuran kecil terjadi pada permukiman di
daerah pedesaan atau jauh dari pusat kota (Gambar 8). Peta sebaran lahan sawah
dan permukiman di Kabupaten Bogor ditampilkan pada Gambar 9.
(a)
(b)
Gambar 6 Kenampakan permukiman pada citra (a) dan pengamatan lapang (b)
10
(a)
(b)
Gambar 7 Kenampakan permukiman pada citra (a) dan pengamatan lapang (b)
(a)
(b)
Gambar 8 Kenampakan permukiman pada citra (a) dan pengamatan lapang (b)
Gambar 9 memperlihatkan sebaran lahan sawah dan permukiman di
Kabupaten Bogor. Lahan sawah terlihat mendominasi di wilayah timur Kabupaten
Gambar 9 Sebaran lahan sawah dan permukiman tahun 2010
11
Bogor, sedangkan permukiman lebih mendominasi wilayah utara yang berbatasan
langsung dengan Kota Depok. Persentase luas sawah tertinggi terdapat di
Kecamatan Jonggol (9.64% dari luas total lahan sawah di Kabupaten Bogor),
Cariu (8,29%), dan Sukamakmur (7.30%), sedangkan luas paling rendah terdapat
di Kecamatan Parung (0.09%) dan Bojong Gede (0.10%). Lahan permukiman
paling luas berada di Kecamatan Cileungsi (7.91%), Cibinong (7.60%), dan
Gunung Putri (7.17%), sedangkan paling rendah berada di Kecamatan Tenjo
(0.52%) dan Sukajaya (0.70%). Tabel luas lahan sawah dan permukiman masingmasing kecamatan ditampilkan pada Lampiran 3.
Sebaran Lahan Sawah dan Permukiman Berdasarkan Sifat Fisik dan
Infrastruktur Jalan
Berdasarkan Kemiringan Lereng
Peranan lereng telah ditunjukkan terkait dengan kemudahan pengelolaan
dan kelestarian lingkungan. Daerah yang berlereng curam mengalami erosi yang
terus-menerus sehingga tanah-tanah di tempat ini bersolum dangkal, kandungan
bahan organik rendah, dan perkembangan horison lambat dibandingkan dengan
tanah-tanah di daerah datar yang air tanahnya dalam. Perbedaan lereng juga
menyebabkan perbedaan air tersedia bagi tumbuhan sehingga mempengaruhi
pertumbuhan vegetasi di tempat tersebut dan seterusnya juga mempengaruh
pembentukan tanah (Hardjowigeno 1993). Luas lahan sawah dan permukiman
umumnya akan semakin menurun dengan meningkatnya kelas lereng. Hal tersebut
disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah kemiringan lereng yang tidak
datar memerlukan tenaga dan ongkos yang lebih besar, selain pengelolaan air
yang lebih sulit, juga lebih mudah terjadi erosi (Hardjowigeno dan Widiatmaka
2007).
Berdasarkan kelas lereng, luas lahan sawah menurun dengan semakin
meningkatnya kelas lereng, kecuali pada lereng 8-15% yang lebih rendah dari
kelas lereng lainnya (Gambar 10). Luas sawah pada lereng 8-15% hanya 3721.21
ha, sedangkan daerah terluas berada pada kelas lereng 0-8% yang mencapai
14072.56 ha (Tabel 4). Rendahnya lahan sawah pada lereng 8-15% disebabkan
penggunaan lahan lebih didominasi oleh kebun campuran, semak belukar, dan
hutan. Selain itu luas total pada lereng 8-15% juga lebih rendah dibandingkan
dengan luas pada kelas lereng yang lain. Luas sawah pada kelas lereng 0-8% dan
15-25% tidak berbeda jauh, hal tersebut dapat disebabkan pada kelas lereng 0-8%
lahan yang ada telah digunakan untuk permukiman, sedangkan lereng 15-25%
yang cenderung lebih curam mempunyai ketersediaan lahan sawah yang masih
luas. Peta sebaran lahan sawah dan permukiman berdasarkan lereng ditampilkan
pada Lampiran 4.
Luas lahan permukiman juga semakin menurun dengan meningkatnya
kelas lereng kecuali pada kelas lereng 8-15% yang lebih rendah dari kelas 15-25%.
Letak lahan yang sebagian besar berada di sebelah selatan dan jauh dari pusat kota
juga dapat menjadi salah satu penyebab rendahnya permukiman pada kelas lereng
tersebut. Permukiman paling luas berada pada kelas lereng 0-8% dengan luas
mencapai 22627.13 ha yang sebagian besar lahannya berada di bagian utara
12
Kabupaten Bogor. Kedekatan letak dengan Ibukota Jakarta juga memberi
pengaruh terhadap tingginya luas permukiman di wilayah tersebut.
Luas Lahan (ha)
90000
Sawah
Permukiman
60000
30000
0
0-8%
8-15%
15-25% 25-45%
>45%
Kemiringan Lereng
Gambar 10 Luas sawah dan permukiman berdasarkan kelas lereng
Luas lahan permukiman terlihat lebih mendominasi pada kelas lereng 0-8%,
tetapi untuk kelas lereng lainnya luas lahan sawah masih lebih tinggi (Tabel 4).
Lahan sawah yang semakin sempit sementara lahan permukiman semakin tinggi
dapat memberikan tekanan yang lebih tinggi sehingga lahan sawah dapat
terancam untuk terkonversi.
Tabel 4 Luas dan persentase lahan sawah dan permukiman berdasarkan kelas
lereng
Lereng
0-8%
8-15%
15-25%
25-45%
>45%
Sawah
(ha)
(% Total)
14072.56
3721.21
13111.94
9172.26
4429.37
17.46
21.24
23.24
14.80
5.38
Permukiman
(ha)
(% Total)
22627.13
2127.01
6618.58
3160.25
1235.60
28.07
12.14
11.73
5.10
1.50
Total Luas
Lahan (ha)
80605.46
17518.37
56424.57
61955.81
82257.22
Berdasarkan Elevasi
Luas lahan sawah yang tertinggi berada pada elevasi 0-500 mdpl (23391.04
ha), dan bersifat semakin menurun dengan semakin meningkatnya elevasi. Elevasi
terkait dengan iklim terutama suhu dan curah hujan. Elevasi juga berpengaruh
terhadap peluang untuk pengairan (Hardjowigeno 1993). Gandasasmita (2001)
juga menyatakan bahwa elevasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
penggunaan lahan sawah karena elevasi berkorelasi erat dengan suhu udara,
semakin tinggi elevasi maka semakin rendah suhu udara sehingga suhu udara
yang rendah menjadi pembatas utama bagi penggunaan lahan sawah. Sebaran luas
lahan sawah dan permukiman terhadap elevasi ditampilkan pada Gambar 11,
sedangkan peta sebarannya ditampilkan pada Lampiran 5.
Luas Lahan (ha)
13
30000
Sawah
20000
Permukiman
Total
10000
0
Sawah
Permukiman
Total
0 - 500
23391,04
25579,88
121662,50
500 - 1000
15464,68
8029,60
98864,82
1000 - 1500
5648,19
2154,65
71407,40
> 1500
3,49
4,66
6826,70
Elevasi (mdpl)
Gambar 11 Luas sawah dan permukiman berdasarkan elevasi
Luas lahan permukiman juga menurun dengan semakin meningkatnya
elevasi. Elevasi yang semakin tinggi umumnya penggunaan/penutupan lahan yang
lebih dominan adalah perkebunan, semak belukar, dan hutan. Elevasi 0-500 mdpl
mempunyai luas permukiman yang sangat tinggi yaitu 25579.88 ha atau sekitar
71% dari total luas permukiman. Luas lahan permukiman mengalami penurunan
yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan penurunan luas pada lahan sawah.
Pada elevasi 0-500 mdpl, luas lahan permukiman lebih tinggi, sedangkan pada
elevasi di atas 500 mdpl, luas lahan sawah yang ada lebih tinggi jika dibandingkan
dengan luas permukiman.
Penggunaan lahan sawah dan permukiman yang tinggi dan selisih luasan
yang kecil adalah pada elevasi 0-500 mdpl yang memperlihatkan persaingan
penggunaan lahan yang ketat. Menurut Barlowe (1986), setiap jenis penggunaan
lahan (pertanian maupun non pertanian) mempunyai nilai ekonomi lahan yang
berbeda, dimana jenis penggunaan lahan dengan keuntungan komparatif tertinggi
akan mempunyai kapasitas penggunaan lahan terbesar. Oleh karena itu
penggunaan lahan tertentu akan dialokasikan untuk kegiatan yang memberikan
nilai land rent tertinggi.
Land rent merupakan sisa surplus ekonomi sebagai bagian dari nilai
produksi total atau pendapatan total yang ada setelah pembayaran dilakukan untuk
semua faktor biaya total. Secara umum besaran land rent dari berbagai kegiatan
dapat diurutkan. Land rent tertinggi yaitu pada kegiatan industri, selanjutnya pada
tingkat yang lebih rendah berturut-turut perdagangan, permukiman, pertanian
intensif, pertanian ekstensif (Barlowe 1986).
Penelitian Pambudi (2008) yang dilakukan di Kecamatan Ciampea
Kabupaten Bogor memperlihatkan land rent lahan permukiman lebih tinggi jika
dibandingkan dengan lahan sawah. Land rent yang dihasilkan untuk lahan
pertanian yaitu Rp 1 297/m2/tahun, sedangkan untuk lahan permukiman mencapai
Rp 102 208/m2/tahun. Perbandingan land rent tersebut mencapai 1 : 79 yang
berarti land rent permukiman mencapai 79 kali lebih besar dibandingkan land rent
pertanian. Land rent yang tinggi menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan
lahan yang cenderung ke arah permukiman. Hal tersebut terlihat dari perubahan
penggunaan lahan yang terjadi yaitu untuk pertanian dari tahun 2000 - 2007
mengalami penurunan dengan laju pertumbuhan -2.70%, sedangkan pada lahan
14
permukiman mengalami penambahan dengan laju pertumbuhan sebesar +3.96%
tiap tahunnya.
Berdasarkan Infrastruktur Jalan
Fasilitas mempunyai pengertian yang luas yaitu meliputi prasarana dan
sarana. Prasarana atau infrastruktur adalah alat (mungkin tempat) yang paling
utama dalam kegiatan sosial atau kegiatan ekonomi. Sedangkan sarana adalah
alat yang membantu prasarana tersebut. Prasarana dan sarana misalnya pabrik
dengan mesinnya, jalan dengan mobil, dan sawah dengan bajak (Jayadinata 1992).
Prasaran atau infrastruktur transportasi khususnya jalan adalah jenis infrastruktur
yang menentukan pembangunan suatu wilayah. Efek limpasan investasi
infrastruktur jalan terhadap pertumbuhan ekonomi tidak saja berdampak di
wilayah itu sendiri tetapi juga berdampak pada wilayah-wilayah di sekitarnya
(Calderon dan Serven 2004).
Keberadaan jalan terhadap lahan sawah dan permukiman saling berkaitan,
demikian juga jarak dari jalan terhadap penggunaanlahannya. Lahan sawah
berjarak 0-100 m dari jalan mempunyai luas lebih rendah jika dibandingkan
dengan jarak 100-500 m. Luasan yang rendah tersebut karena sebagian besar
lahan yang ada telah digunakan untuk permukiman atau lahan terbangun lainnya.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Rustiadi dan Barus (2012) yang
menyatakan lahan sawah yang berada di pinggiran jalan akan menjadi daerah
konversi. Luas lahan sawah tertinggi terdapat pada lahan dengan jarak 100-200 m
dari jalan dan semakin menurun dengan bertambahnya jarak dari jalan.
Aksesbilitas (jalan) ini berpengaruh terhadap luasan sawah, karena jalan memberi
kemudahan untuk mengangkut hasil panen ataupun alat produksi. Sebaran lahan
sawah dan permukiman berdasarkan jarak dari jalan ditampilkan pada Gambar 12,
sedangkan tabel luas lahan sawah ditampilkan pada Lampiran 6.
Luas lahan permukiman tertinggi terdapat pada jarak 0-100 m dari jalan.
Tingginya permukiman pada jarak tersebut dikarenakan kemudahan akses yang
ada sehingga pada jarak tersebut lebih dipilih untuk daerah permukiman. Hasil
penelitian ini mirip dengan pendapat Bourne (1978) yang mengatakan bahwa
salah satu faktor yang sangat menentukan dalam menentukan lokasi permukiman
adalah aksesbilitas, yaitu kemudahan dalam mencapai jalan raya utama.
12000
Luas Lahan (ha)
10000
Sawah
8000
Permukiman
6000
4000
2000
0
1
6
11
16
21
26
Jarak dari Jalan (Ratus m)
31
36
Gambar 12 Luas lahan sawah dan permukiman berdasarkan jarak dari jalan
15
Luasan lahan sawah dan permukiman semakin menurun dengan semakin
jauhnya jarak lahan terhadap jalan. Akses yang semakin sulit menjadi penyebab
penggunaan lahan yang ada menjadi semakin terbatas. Murgante dan Danase
(2011) juga menyatakan bahwa pertumbuhan perkotaan lebih terkonsentrasi di
sepanjang jalur utama jaringan jalan. Aksesibilitas dan jarak dari infrastruktur
menjadi pertimbangan untuk memilih daerah permukiman.
Berdasarkan sifat fisik, secara umum Kabupaten Bogor mempunyai
kemiringan lereng dan elevasi yang bervariasi. Bagian utara kemiringan lereng
yang ada cenderung datar dengan tingkat elevasi yang rendah, dan semakin ke
selatan kemiringan lereng dan ketinggian yang ada semakin meningkat. Hal
tersebut disebabkan adanya Gunung Gede Pangrango dan Halimun Salak yang
berada di perbatasan Kabupaten Bogor dengan Sukabumi dan Cianjur. Pola
sebaran lahan sawah dan permukiman umumnya juga berkembang sesuai kondisi
topografi yang ada. Lahan sawah terlihat lebih mendominasi di Kabupaten Bogor
bagian timur dengan tingkat kemiringan lereng cenderung datar serta elevasi
berkisar antara 0 – 1000 mdpl. Sedangkan di bagian selatan dan barat yang
mempunyai kemiringan lereng lebih bervariasi, lahan sawah yang ada lebih
menyebar.
Lahan permukiman sebagian besar berada di wilayah utara dan di sekitar
Kota Bogor. Wilayah utara merupakan tempat yang strategis untuk permukiman
karena lebih dekat dengan Ibukota Jakarta, berbatasan dengan Kota Bogor, dan
berbatasan dengan pusat industri (Bekasi). Fasilitas jalan yang semakin baik juga
mendukung daerah tersebut sebagai pilihan untuk tempat tinggal. Kondisi
topografi yang ada juga mendukung aktifitas manusia, karena berada pada
kemiringan lereng yang datar (0-8%) dan ketinggian antara 0-500 mdpl.
Penyebaran permukiman di Kabupaten Bobor semakin sedikit dengan semakin
jauhnya jarak dari pusat Kota Bogor dan Jakarta.
Hubungan Kepadatan Penduduk dan Kerapatan Jalan Terhadap
Kepadatan Lahan Sawah dan Permukiman
Kepadatan Penduduk
Kepadatan mengacu pada perbandingan luas terhadap wilayahnya. Jumlah
dan kepadatan penduduk secara lengkap ditampilkan pada Lampiran 7.
Berdasarkan Gambar 13 terlihat bahwa kepadatan penduduk lebih berkaitan
dengan kepadatan permukiman (R2= 0.679) daripada kepadatan sawah (R2=
0.133). Hubungan kepadatan penduduk dengan kepadatan sawah mempunyai
hubungan negatif, mengindikasikan bahwa ada kecenderungan dengan semakin
tingginya kepadatan penduduk maka kepadatan sawah akan semakin berkurang.
Secara tidak langsung, semakin tinggi jumlah penduduk pada suatu wilayah maka
permintaan terhadap permukiman juga meningkat sehingga harus mengorbankan
penggunaan lahan lain untuk memenuhi permintaan tersebut.
Kepadatan Sawah (ha/ha)
kepadatan sawah (ha/ha)
Expon. (kepadatan sawah (ha/ha))
0,5
0,4
0,3
y = 0,1624e-0,015x
R² = 0,1336
0,2
0,1
0
0
50
100
Kepadatan Penduduk (jiwa/ha)
Kepadatan Permukiman (ha/ha)
16
Kepadatan permukiman (ha/ha)
Linear (Kepadatan permukiman (ha/ha))
0,8
y = 0,005x + 0,0448
0,6
R² = 0,5276
0,4
0,2
0,0
0
50
100
Kepadatan Penduduk (jiwa/ha)
(a)
(b)
Gambar 13 Kepadatan penduduk terhadap kepadatan sawah (a) dan kepadatan
penduduk terhadap kepadatan permukiman (b)
Hubungan kepadatan penduduk dan permukiman terlihat searah,
menandakan semakin tinggi jumlah penduduk maka luas permukiman juga akan
semakin
meningkat.
Setiap
individu
masyarakat
membutuhkan
papan/permukiman, akan tetapi tidak semua masyarakat tersebut membutuhkan
lahan sawah karena tidak semua bekerja sebagai petani. Selain itu, Kabupaten
Bogor yang berfungsi sebagai daerah pinggiran Ibukota Jakarta lebih berperan
sebagai daerah tujuan hunian bagi para pekerja di ibukota.
Kerapatan Jalan
Hubungan kerapatan jalan ditunjukkan pada Gambar 14, sedangkan tabel
kerapatan jalan disajikan pada Lampiran 8. Dalam gambar tersebut terlihat
hubungan kerapatan jalan terhadap kepadatan sawah sangat rendah, ditunjukkan
dengan nilai R2= 0.001 dengan tidak adanya pola tertentu, sedangkan hubungan
kerapatan jalan dengan kepadatan permukiman mempunyai tingkat R2 yang lebih
tinggi yaitu 0.343 dan searah/positif.
kepadatan permukiman
Expon. (kepadatan permukiman)
0,5
Kepadatan Permukiman
(ha/ha)
Kepadatan Sawah (ha/ha)
Kepadatan sawah
0,4
0,3
0,2
0,1
0,0
0
5
10
Kerapatan Jalan (m/ha)
15
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0,0
y = 0,0197e0,2423x
R² = 0,3434
0
5
10
15
Kerapatan Jalan (m/ha)
(a)
(b)
Gambar 14 Kerapatan jalan terhadap kepadatan sawah (a) dan kerapatan jalan
terhadap kepadatan permukiman (b)
17
Menurut Purwoto dan Kurniawan (2009), wilayah dengan aktifitas ekonomi
yang bertumpu pada bidang agraris cenderung kurang membutuhkan dukungan
transportasi, perbaikan prasarana transportasi memberikan pengaruh yang lebih
kecil terhadap pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi pada wilayah dengan aktifitas
ekonomi bertumpu pada perdagangan dan jasa yang membutuhkan mobilitas yang
tinggi, perbaikan prasarana transportasi akan mendukung meningkatnya aktifitas
yang dilakukan sehingga perbaikan jalan memberikan pengaruh pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi, sebagaimana ditunjukkan oleh wilayah Jawa dan
Sumatera.
Fragmentasi Sawah dan Permukiman
NumP dapat digunakan untuk mengukur tingkat fragmentasi yang terjadi.
NumP yang tinggi dalam suatu luasan tertentu menandakan tingkat fragmentasi
yang tinggi pula. Selain NumP, MPS juga dapat dijadikan sebagai indikator
fragmentasi. Nilai MPS suatu daerah yang lebih kecil dari lainnya menandakan
daerah tersebut lebih terfragmentasi (Herzog and Lausch, 2001). Selain itu, CA,
PSSD, dan MSI dapat juga dimanfaatkan untuk analisis fragmentasi lahan.
Gambar 15 memperlihatkan contoh peta hasil analisis patch dalam bentuk
yang lebih sederhana agar lebih mudah dalam memahami perbedaan dari nilai
setiap indeks fragmentasi. Peta tersebut merupakan hasil potongan lahan sawah di
Kecamatan Cariu, dan diolah dengan skala yang hampir sama.
(a)
(b)
Gambar 15 Contoh nilai indeks fragmentasi hasil analisis Patch
Nilai indeks CA merupakan hasil penjumlahan dari semua luas poligon
yang ada. Nilai indeks CA pada Gambar (a) adalah 281.79 ha, jauh lebih tinggi
dari Gambar (b) yang hanya 85.01 ha. Hal tersebut terlihat jelas pada visual
Gambar (a) poligon yang ada mempunyai ukuran yang lebih besar jika
dibandingkan pada Gambar (b) meskipun Gambar (a) mempunyai jumlah NumP
atau jumlah poligon lebih sedikit yaitu 8 poligon, sedangkan pada Gambar (b)
berjumlah 9 poligon. Nilai rata-rata poligon atau MPS pada Gambar (a) jauh lebih
tinggi yaitu 35.22 ha, sedangkan pada Gambar (b) hanya 9.45 ha. Nilai MPS yang
tinggi pada Gambar (a) dikarenakan secara umum pada gambar tersebut
18
mempunyai poligon yang berukuran hampir sama dan dengan luasan yang tinggi.
PSSD pada Gambar (a) juga lebih tinggi yaitu 13.54 ha, sedangkan pada Gambar
(b) yaitu 7.44 ha. Hal tersebut disebabkan pada Gambar (a) mempunyai perbedaan
selisih ukuran poligon yang lebih tinggi dimana luas poligon tertinggi 59.82 ha
dan terendah 16.72 ha, sedangkan pada Gambar (b) luas tertinggi hanya 19.53 ha
dan yang terendah 0.78 ha. Nilai indeks MSI atau ukuran rata-rata bentuk pada
Gambar (a) lebih rendah yaitu 1.83, sedangkan pada Gambar (b) nilai yang
dimiliki jauh lebih tinggi yaitu 2.57. Bentuk yang secara visual terlihat semakin
tidak teratur pada Gambar (b) menyebabkan nilai MSI yang ada semakin tinggi.
Sedangkan untuk hasil analisis Patch lengkap Kabupaten Bogor untuk lahan
sawah ditampilkan pada Lampiran 9, dan pada lahan permukiman ditampilkan
pada Lampiran 10.
Indeks Class Area
Luaran hasil CA sawah menunjukkan bahwa Kabupaten Bogor didominasi
oleh kelompok kecamatan dengan luas lahan sawah pada kelas sedang (dengan
luas 101 - 2124 ha) yaitu 82.5%, kelas tinggi (>2124 ha) 12.5%, dan rendah (