Kombinasi Metode Akustik dan Survei Trawl untuk Meningkatkan Akurasi Perhitungan Densitas Ikan Demersal di Perairan Tarakan

(1)

KOMBINASI METODE AKUSTIK DAN SURVEI TRAWL

UNTUK MENINGKATKAN AKURASI PERHITUNGAN

DENSITAS IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN TARAKAN

ASEP PRIATNA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kombinasi Metode Akustik dan Survei Trawl untuk Meningkatkan Akurasi Perhitungan Densitas Ikan Demersal di Perairan Tarakan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2014 Asep Priatna NRP C451110121


(4)

(5)

RINGKASAN

ASEP PRIATNA. Kombinasi Metode Akustik dan Survei Trawl untuk Meningkatkan Akurasi Perhitungan Densitas Ikan Demersal di Perairan Tarakan. Dibimbing oleh ARI PURBAYANTO, DOMU SIMBOLON dan TOTOK HESTIRIANOTO.

Eksploitasi sumberdaya ikan demersal di perairan Tarakan dengan menggunakan mini trawl (pukat hela) sudah berlangsung sejak lama. Ketersediaan data dan informasi status stok berserta penyebarannya, sangat penting dalam upaya pemanfaatan dan pengelolaannya. Terdapat sumber utama bias pada survei trawl, pertama trawl tidak dapat menangkap semua ikan yang berada pada jalur sapuannya, disebabkan ada ruang yang tidak tersapu oleh jaring trawl. Kedua, kesalahan sampling acak, dimana ikan tidak terdistribusi merata pada area yang diamati sehingga menghasilkan variabilitas hasil tangkapan. Identifikasi distribusi spasial sumberdaya ikan demersal sangat berguna dalam strategi penentuan posisi pengambilan contoh. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung densitas ikan hasil survei trawl yang dibandingkan dengan metode akustik, menentukan formula perhitungan densitas pada dead zonetrawl, dan menganalisis keterkaitan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan stok ikan demersal.

Penelitian yang memadukan antara samplingtrawl, akustik, dan lingkungan, telah dilakukan pada bulan Mei, Agustus, dan November 2012 di perairan Tarakan dan sekitarnya. Dari tiga trip tersebut diperoleh 60 stasiun pengambilan contoh, dengan data yang dikumpulkan dari tiap stasiun adalah komposisi jumlah dan jenis ikan demersal hasil tangkapan trawl yang dioperasikan simultan dengan metode akustik, aspek teknis operasional trawl (kedalaman, panjang warp, bukaan mulut jaring, kecepatan dan durasi towing), densitas ikan hasil akustik, tipe substrat dasar laut dan kelimpahan makrozoobentos.

Hasil uji-t berpasangan pada selang kepercayaan 95% dalam membandingkan densitas ikan demersal hasil akustik dengan hasil trawl menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan, dimana densitas trawl jauh lebih rendah dibanding dengan densitas akustik. Perbedaan hasil kedua metode menunjukkan bahwa pada pengoperasian trawl dasar, ikan demersal yang berada pada jalur sapuan tidak tertangkap semuanya. Disebabkan karena tingkah laku ikan menghindari trawl yang sulit untuk diestimasi, serta faktor-faktor teknis operasional trawl yang menyebabkan munculnya dead zone pada survei trawl. Seberapa besar jumlah ikan yang tidak dapat tertangkap ditentukan oleh daya tangkap dari trawl yang digunakan.

Estimasi kemampuan tangkap trawl (catchability) diperoleh berdasarkan korelasi positif antara densitas akustik dan trawl. Dari hubungan linier antar keduanya, diperoleh koefisien catchability sebesar 0,3. Nilai tersebut dapat menjadi acuan faktor koreksi nilai laju tangkap dari trawl yang digunakan dalam estimasi biomassa ikan demersal yang ada di perairan Tarakan. Sejumlah ikan yang tidak tertangkap karena dapat meloloskan diri dari trawl, atau ikan berada pada zona sapuan (catchability area) tapi tidak tertangkap karena adanya dead zone trawl sebagai akibat ketidaksempurnaan dalam pengoperasian trawl. Jumlah ikan yang tidak tertangkap tersebut diperkirakan sebanyak dua kali jumlah ikan yang tertangkap oleh trawl.


(6)

Analisis komponen utama dilakukan untuk mengidentifikasi variabel-variabel teknis yang diduga dapat mempengaruhi kinerja trawl, yaitu densitas ikan pada dead zone trawl (selisih antara densitas akustik dengan densitas trawl), kecepatan towing, durasi towing, panjang warp, pembukaan horizontal mulut jaring, bobot/jumlah biota non demersal pada codend, dan kedalaman perairan. Diperoleh bahwa variabel kecepatan dan durasi towing bukan komponen utama, sehingga keduanya tidak digunakan dalam membangun model persamaan untuk mengestimasi densitas ikan demersal pada dead zonetrawl. Berdasarkan keeratan hubungan antar komponen, terdapat tiga pengelompokkan yaitu pertama, panjang warp, bukaan horizontal trawl, dan kecepatan towing. Kedua, densitas ikan pada dead zone trawl, volume biota non demersal yang terdapat pada codend, dan durasi towing. Ketiga adalah faktor kedalaman yang bebas dari parameter lainnya.

Berdasarkan uji beda nyata dari keempat variabel yaitu kedalaman, panjang warp, bukaan trawl, dan biota non demersal pada cod end, terhadap densitas ikan demersal pada dead zone trawl, diperoleh bahwa hanya panjang warp dan kedalaman yang berpengaruh nyata. Artinya variabel panjang warp dan kedalaman merupakan komponen utama yang menentukan adanya dead zone trawl. Persamaan untuk mengestimasi nilai densitas ikan demersal yang terdapat pada dead zonetrawl (DTDZ) adalah Log DTDZ = 1.83 + 1.07*Log Panjang Warp – 3.45*Log Kedalaman + ε. Nilai DTDZ yang relatif tinggi cenderung diperoleh saat pengoperasian trawl pada kedalaman antara 10-20 meter. Pada perairan yang bersubstrat lumpur, nilai minimum DTDZ diperoleh pada rasio 3,5 panjang warp terhadap kedalaman, sementara untuk substrat pasir pada rasio 4,5.

Hasil analisis komponen utama menunjukkan bahwa semua parameter lingkungan yang diukur yaitu densitas, jenis dan ukuran ikan, kedalaman perairan, tipe substrat dan kelimpahan makrozoobentos memiliki peran di dalam ekosistem ikan demersal di perairan Tarakan. Analisis PCA menunjukkan bahwa faktor tipe substrat dan kelimpahan makrozoobentos memiliki keterkaitan langsung. Sementara keempat faktor lainnya berkorelasi secara parsial terhadap ekosistem.

Distribusi spasial ikan demersal di perairan Tarakan menunjukkan bahwa komposisi penyebaran lokasi dengan densitas ikan <50, 50-100, dan >100 ekor/100m3 masing-masing sebesar 67,5%, 10%, dan 22,5%. Analisis diskriminan menunjukkan bahwa, parameter kedalaman dan tipe substrat merupakan variabel diskriminan, yang mampu secara signifikan membedakan ketiga kategori densitas tersebut. Artinya kedua variabel tersebut sudah mampu secara nyata membedakan kondisi densitas sumberdaya ikan demersal di perairan Tarakan. Apakah lokasi tersebut mempunyai densitas ikan demersal yang rendah, sedang atau tinggi.

Berdasarkan fungsi klasifikasi yang terbentuk, makin besar nilai variabel kedalaman, maka makin cenderung masuk ke kategori densitas rendah. Sementara untuk variabel tipe substrat, makin besar nilai variabel tipe substrat, makin cenderung masuk ke kategori densitas tinggi. Artinya jika semakin dalam dasar perairan, densitas ikan demersal cenderung makin rendah dan sebaliknya. Sementara semakin berlumpur dasar perairan, maka densitas ikan demersal cenderung makin tinggi. Sebaliknya, semakin berpasir dasar perairan, densitas ikan cenderung berkurang.


(7)

SUMMARY

ASEP PRIATNA. Combination Acoustic and Trawl Surveys for Increasing Accuracy of Demersal Fish Density Estimation in Tarakan Waters. Supervised by ARI PURBAYANTO, DOMU SIMBOLON dan TOTOK HESTIRIANOTO.

The exploitation of demersal fish resources by small bottom trawlers in Tarakan waters has been occured long time ago. Data and information i.e standing stock and spatial distributions of fish were necessary for fisheries management and utilization. There were several source of bias on bottom trawl surveys. The bottom trawl was impossible caught all of fish available on catchability area, which was caused the presence of the trawl dead zone. In addition, there was a random sampling error, since fish undistributed evenly in sampling area, so that occurring the variability on catch composition. The knowledge about spatial distribution of demersal fish was necessary to decide position of trawl stations. The aims of this research are to compare demersal fish density from acoustic and bottom trawl, to determine a formula which estimated fish density on the dead zone trawl, and to analyze the relationship of environmental factors that affect to demersal fish stock.

The exploratory research was combining bottom trawling, acoustic, and environmental sampling, have been carried out in May, August, and November 2012 in Tarakan waters. Total of 60 stations acoustic-trawl were collected during research. The data were collected from each stations i.e catch composition of demersal fish from trawling which operated simultaneously with acoustic method, technical aspects of trawling (depth, warp length, trawl door opening, speed and towing duration), acoustic fish density, type of bottom substrate, and abundance of macrobenthos.

Paired t-test at 95% confidence interval, showed the significant difference between demersal fish density from acoustic and trawl surveys, where the trawl density was much lower than acoustic density. The density difference of both method, indicated that trawl were not caught all of demersal fish which available on the swept area during towing. Due to fish reactions to avoid the trawl, this case was difficult to estimate. The technical factors error when trawling, lead to the emergence of trawl dead zone. The volume density of demersal fish in the trawl dead zone was depended on catchability of trawl as fishing gear.

The estimation of trawl catchability was obtained by positive correlation between acoustic and trawl density. The linear relationship of both density, showed that the catchability coefficient of bottom trawl which was base in Tarakan was about 0.3. The catchability coefficient could be able as correction factor of catch rate of bottom trawl to be used for estimating fish biomass in Tarakan waters. That fish were not caught, due to escape from trawl. In addition, fish were available on catchability area, but were not caught, due to the trawl dead zone during trawling. It presence as a result some error when trawl operations. The number of them was estimated two times than density of fish caught by trawl. Principal component analysis was applied to identify the technical variables that might impact the performance of trawling, i.e fish density at trawl dead zone (difference between acoustic density and trawl density), towing speed, towing duration, warp length, horizontal opening of trawl mouth, number of non demersal


(8)

catch at codend, and depth. Both of towing speed and towing duration were not the main component for trawl operation, therefore were eliminated on a model equation to estimate demersal fish density at trawl dead zone. There were three groups relationship between components, i.e warp length, horizontal opening , and towing speed. Second, fish density at trawl dead zone, volume of non demersal organisms contained at codend, and towing duration. Third was a variable depth that not depended from the other parameters.

Test of significance for four variables, i.e depth, warp length, horizontal opening, non demersal biota at codend which were affect to volume density at trawl dead zone, showed that only two variable warp length and depth were significant. It means that both variable warp length and depth were the main component, that would be determine the presence of trawl dead zone. Therefore, the model equations to estimate the volume density of demersal fish at trawl dead zone (DTDZ) was DTDZ = 1.83 + 1.07*Log Warp length – 3.45*Log Depth + ε.

Principal component analysis showed that all measured environmental parameters, i.e fish density, family, weight, depth, substrate and macrobenthos abundance have role in the ecosystem of demersal fish in Tarakan waters. Both of substrate and macrobenthos have a direct relationship. While the other parameters partially correlated to the ecosystem.

Spatial distribution of demersal fish in Tarakan waters showed that the distribution of fish density <50, 50-100, and >100 ind/100m3 were 67,5%, 10%, and 22,5% respectivelly. Discriminant analysis showed that both depth and substrate were discriminant variable, which would be able to significantly differentiate for three density categories. That both of variable have been able to significantly distinguished the state of demersal fish density at any area in Tarakan waters.

The classification function determined that increased the depth variable, the density will be more inclined into low category. While increased the substrate variable, the density will be more inclined into high category. This means that if bottom depth more increase, demersal fish density would be lower and vice versa. While getting muddy bottom, fish density tend to be higher. Conversely, fish density will getting lower in sandy bottom.


(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(10)

(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap

KOMBINASI METODE AKUSTIK DAN SURVEI TRAWL

UNTUK MENINGKATKAN AKURASI PERHITUNGAN

DENSITAS IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN TARAKAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(12)

(13)

Judul Tesis : Kombinasi Metode Akustik dan Survei Trawl untuk Meningkatkan Akurasi Perhitungan Densitas Ikan Demersal di Perairan Tarakan Nama : Asep Priatna

NIM : C451110121

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc Ketua

Prof. Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc

Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Perikanan Tangkap

Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 8 April 2014 (4 Februari 2014)


(14)

(15)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat Nya penyusunan tesis ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Tesis yang berjudul ”Kombinasi Metode Akustik dan Survei Trawl untuk Meningkatkan Akurasi Perhitungan Densitas Ikan Demersal di Perairan Tarakan” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister sains pada program studi Mayor Teknologi Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Institut Pertanian Bogor.

Penyusunan tesis ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ari Purbayanto, Prof. Dr. Domu Simbolon, dan Dr. Totok Hestirianoto selaku komisi pembimbing yang telah mengarahkan dan membantu penyelesaian tesis ini. Selain itu kepada Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc selaku penguji luar komisi dan Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc sebagai Ketua Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap yang telah memberikan banyak saran dan masukan dalam perbaikan penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada Prof. Ali Suman selaku Kepala BPPL berserta tim survei laut demersal yang telah memfasilitasi sehingga kegiatan penelitian ini dapat terlaksana. Demikian pula kepada semua pihak yang telah membantu dalam pemikiran dan tenaga sehingga tesis dapat diselesaikan.

Tidak dipungkiri bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, hasil dan pembahasannya tidak lepas dari keterbatasan dan kekurangan. Namun demikian penulis berharap isi tesis ini dapat bermanfaat dalam metode kajian stok khususnya sumberdaya ikan demersal di Indonesia.

Bogor, Mei 2014 Asep Priatna


(16)

(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Sumberdaya Ikan Demersal di Perairan Tarakan 6

Ikan Demersal 7

Trawl Dasar 9

Survei Akustik 11

Tipe Substrat Dasar Laut 15

3 METODE 16

Waktu dan Tempat 16

Alat dan Bahan 16

Prosedur Pengumpulan Data 17

Analisis Data 19

4 HASIL 30

Perbandingan Densitas Ikan Hasil Trawl dengan Akustik 30 Densitas Ikan Demersal pada Dead zone Survei Trawl 33 Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Stok Sumberdaya Ikan Demersal 39

4 PEMBAHASAN 45

Perbandingan Densitas Ikan Hasil Trawl dengan Akustik 45 Densitas Ikan Demersal pada Dead zone Survei Trawl 49 Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Stok Sumberdaya Ikan Demersal 53

5 SIMPULAN DAN SARAN 56

Simpulan 56

Saran 56

DAFTAR PUSTAKA 57

LAMPIRAN 63

RIWAYAT HIDUP 69


(18)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 5

2 Trawl dasar (bottom trawl) 9

3 Skema perhitungan tinggi mulut jaring untuk bukaan tegak rendah dan

bukaan tinggi 10

4 Metode swept area 11

5 Ilustrasi bagian ujung bim akustik (wavefront) sesaat mengenai dasar

perairan 14

6 Integrator akustik dead zone 14

7 Diagram Sand, Silt and Clay 15

8 Peta lokasi penelitian 16

9 Ilustrasi pengoperasian trawl simultan dengan akustik 17 10 Posisi stasiun trawl-akustik bulan Mei, Agustus dan November 2012 17 11 Skema teknik pengukuran jarak antara dua warp 18

12 Skema perhitungan pembukaan mulut trawl 19

13 Pembagian kolom perairan dalam pengintegrasian echo 21 14 Proses pengumpulan dan analisis data untuk tujuan pertama dan kedua 28 15 Proses pengumpulan dan analisis data untuk tujuan ketiga 29 16 Distribusi vertikal densitas ikan demersal (n/m3) terhadap dasar

perairan pada waktu pengoperasian trawl selama penelitian 31 17 Kurva regresi linier antara nilai log densitas trawl dengan log-densitas

akustik terkoreksi dead zone dan log-densitas akustik tidak terkoreksi

dead zone 31

18 Regresi log-linier densitas trawl dengan densitas akustik 32 19 Diagram korelasi antar komponen faktor F1 dan F2 terhadap

masing-masing variabel teknis trawl 35

20 Penyebaran stasiun akustik-trawl terhadap faktor F1 dan F2 36 21 Distribusi densitas ikan demersal pada dead zone trawl (DTDZ) terhadap

kedalaman pada substrat lumpur (kiri) dan substrat pasir (kanan) 38 22 Distribusi densitas ikan demersal pada dead zone trawl (DTDZ) terhadap

rasio panjang warp/kedalaman pada substrat lumpur (kiri) dan substrat

pasir (kanan) 38

23 Distribusi densitas ikan demersal pada dead zone trawl (DTDZ) terhadap kedalaman (kiri) dan terhadap rasio warp/kedalaman (kanan) 39 24 Diagram korelasi antar komponen faktor F1 dan F2 terhadap

masing-masing variabel ekosistem 40

25 Penyebaran stasiun akustik-trawl terhadap faktor F1 dan F 41 26 Peta territorial centroid masing-masing kategori densitas ikan 44


(19)

DAFTAR TABEL

1 Klasifikasi sedimen berdasarkan ukuran 15

2 Setting Parameter EY60 pada waktu akuisisi data akustik 18 3 Parameter regresi antara data akustik dengan data trawl untuk

masing-masing layer relatif terhadap dasar perairan 30

4 Nilai statistik uji-t antara densitas akustik (n/m3) dan trawl (n/m3) 32 5 Rata-rata densitas dead zonetrawl tiap trip dan perlakuan 33 6 Uji-t beda rata-rata densitas dead zonetrawl antar dua trip 33

7 Matrik korelasi antar variabel 34

8 Nilai akar ciri dan persentase keragaman masing-masing komponen 34

9 Korelasi antara variabel dan faktor bersama 34

10 Uji-t dari empat variabel yang digunakan pada regresi 37

11 Koefisien variabel pada persamaan regresi 37

12 Tabel ANOVA untuk persamaan regresi model-2 38

13 Matrik korelasi antar variabel 39

14 Nilai akar ciri dan persentase keragaman masing-masing komponen 40

15 Korelasi antara variabel dan faktor bersama 40

16 Test statistik Wilk's L terhadap masing-masing variabel 42

17 Variabel yang membentuk fungsi diskriminan 42

18 Nilai akar ciri, persentase diskriminan, dan koefisien korelasi 43 19 Korelasi antara variabel bebas dengan fungsi diskriminan 43 20 Tingkat ketepatan pengklasifikasian besarnya densitas ikan demersal 45

DAFTAR LAMPIRAN

1 Aspek teknis operasional trawl 63

2 Komposisi jenis ikan demersal hasil tangkapan trawl 64 3 Densitas ikan demersal dan kondisi lingkungan tiap stasiun trawl 65 4 Contoh perhitungan tinggi backstep zone tiap stasiun akustik-trawl 66 5 Uji-t terhadap densitas akustik-trawl pada masing-masing stasiun 66 6 Desain dan spesifikasi jaring trawl dasar di Tarakan 67 7 Wahana penelitian dan proses pengumpulan data 68


(20)

(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak dua dekade terakhir ini sumberdaya ikan di Selat Makasar telah mengalami tekanan penangkapan. Peningkatan eksploitasi ikan demersal dan udang di pantai timur Kalimantan termasuk di perairan Tarakan sudah berlangsung sejak lama. Eksplotasi udang dan ikan demersal cenderung meningkat dengan beroperasinya metode penangkapan baru, yaitu mini trawl (pukat hela) dari kelas ukuran dibawah 30 GT yang berpangkalan di berbagai tempat dan beroperasi di perairan pantai. Informasi dari berbagai kegiatan menunjukkan bahwa armada penangkapan jenis mini trawl telah mencapai lebih dari 1000 unit yang berpangkalan di pantai Timur Kalimantan dengan daerah penangkapan telah menjangkau seluruh bagian perairan sampai dengan perairan dangkal dan terkonsentrasi di lokasi yang padat kelimpahan (Sadhotomo 2004).

Upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan demersal di perairan Tarakan, harus disertai dengan suatu manajemen pengelolaan yang merupakan faktor terpenting dalam keberlanjutan eksploitasi sumberdaya ikan di perairan tersebut. Salah satu syarat agar pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dilakukan dengan baik, adalah ketersediaan data dan informasi status stok yang akurat dan dapat dipercaya khususnya mengenai densitas ikan demersal yang cukup potensial di perairan tersebut. Oleh karena itu, penelitian tentang status stok ikan demersal di wilayah pantai timur Kalimantan seperti di perairan Tarakan sangat penting untuk dilaksanakan. Selain banyak dari jenis ikan ini yang bernilai ekonomis tinggi, juga tersebar di seluruh perairan Indonesia, seperti perairan Tarakan di Timur Kalimantan (DKP 2010).

Ketersediaan data mengenai status stok dan penyebaran sumberdaya ikan demersal yang akurat dan dapat dipercaya merupakan informasi dasar yang sangat penting dalam upaya pemanfaatan dan pengelolaannya. Kondisi kepadatan dan penyebaran stok ikan demersal di wilayah perairan Tarakan sudah seharusnya dilakukan, mengingat daerah ini merupakan salah satu sentra perikanan trawl demersal. Walaupun aktivitas perikanan trawl demersal di lokasi penelitian termasuk skala kecil, namun diharapkan dapat menjadi sampling site bagi sentra perikanan trawl di wilayah perairan lainnya.

Teknik-teknik yang banyak digunakan dalam pendugaan stok di antaranya adalah metode operasi trawl dan metode akustik. Hidroakustik memiliki beberapa kelebihan untuk mengukur bias pada metode sapuan trawl dasar, mengingat bahwa seluruh kolom air disampling terus menerus, termasuk di atas headrope trawl tersebut. Oleh karena itu secara potensial ada manfaat substansial yang bisa didapat dengan menggabungkan dua metode tersebut untuk meningkatkan presisi dan akurasi dalam estimasi secara keseluruhan (McQuinn et al. 2005). Gabungan trawl dan hidroakustik selama survei penelitian untuk meningkatkan akurasi estimasi biomassa ikan bukanlah hal yang baru, beberapa penelitian diantaranya oleh Bez et al. (2007), yang melakukan perbandingan data akustik yang didapatkan bersamaan pada saat operasi trawl.

Informasi sumberdaya ikan yang didapatkan melalui survei insitu akan memberikan manfaat yang lebih ketika survei tersebut dilakukan secara periodik


(22)

2

pada waktu yang berbeda dan berkelanjutan. Agar dapat dilakukan perbandingan yang baik antara survei satu dengan survei berikutnya, dibutuhkan konsistensi metode yang digunakan. Konsistensi metode yang harus diperhatikan meliputi skema sampling yang dilakukan untuk perolehan data, pemrosesan data dan analisis data, karena sekecil apapun perubahan baik itu dari segi sampling maupun pemrosesan dan analisis data yang dilakukan akan memberikan pengaruh terhadap data yang dihasilkan (Shevelev et al. 1998).

Perumusan Masalah

Penggunaan trawl dasar sebagai sarana penelitian untuk menghitung potensi sumberdaya ikan demersal atau pendugaan stok dengan metode swept area sudah lama digunakan. Dalam survei dengan metode swept area, kemampuan tangkap (catchability) trawl serta kemampuan ikan untuk melolosakan diri (escapement factor) dari alat tangkap trawl dapat diestimasi. Perhitungan dapat dilakukan dengan pengoperasian trawl dasar simultan dengan pengoperasian hidroakustik. Penggunaan dua metode tersebut diharapkan akan mengungkapkan keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh dan sekaligus juga kelemahan-kelemahan yang mungkin akan muncul (Shevelev et al. 1998), sehingga akan saling melengkapi dan meningkatkan akurasi dan presisi dalam estimasi status stok sumberdaya ikan di suatu perairan (Bez et al. 2007).

Reaksi penghindaran ikan sebagai tingkah laku dalam merespon datangnya kapal maupun trawl, merupakan variabel yang sulit diukur. Tingkah laku alami seperti distribusi horizontal dan vertikal, reaksi penghindaran terhadap kapal dan trawl, mengindikasikan adanya perbedaan nilai kelimpahan ikan hasil pengukuran akustik dengan hasil trawl. Perbedaan nilai keduanya dapat mengestimasi seberapa besar ikan yang tidak dapat tertangkap oleh trawl. Perbandingan yang digunakan tidak lepas dari beberapa asumsi, mengingat begitu kompleksnya komponen-komponen dalam sistem integrasi kedua metode akustik-trawl. Pengetahuan detail tentang keterbatasan metodologi akan berguna ketika mencoba untuk mengukur dan berusaha untuk mengurangi bias dalam estimasi stok.

Ada dua sumber utama yang mengakibatkan tidak akuratnya estimasi kelimpahan ikan demersal dengan survei trawl, pertama adalah kesalahan pengukuran, merupakan kesalahan sistematik atau bias yang timbul karena trawl tidak menangkap semua ikan yang tersedia pada jalur sapuannya, dimana efisiensi trawl atau "catchability" kurang dari satu. Kedua adalah kesalahan sampling, yang berkaitan dengan variabilitas spasial distribusi ikan (Grosslein dan Laurec 1982). Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui seberapa besar dan faktor-faktor penyebab dari kedua jenis kesalahan tersebut, guna memaksimalkan efisiensi desain survei trawl juga untuk meningkatkan akurasi dalam perhitungan tentang perubahan biomassa ikan.

Pada pengoperasian trawl, sejumlah ikan yang tersedia pada jalur sapuan (catchability area) tidak akan tertangkap semuanya. Secara teknis, ini berarti bahwa ada ruang atau area yang tidak tersapu oleh jaring trawl (dead zone trawl), sehingga ikan yang berada pada deadzone trawl tidak dapat tertangkap. Melalui integrasi metode akustik dan trawl yang dioperasikan secara simultan, jumlah ikan yang berada pada dead zone trawl dapat diestimasi. Selain itu, melalui


(23)

3 pengukuran aspek teknis operasional trawl seperti kedalaman, panjang warp, bukaan trawl, kecepatan towing, durasi towing, kecepatan arus, dan kecepatan angin dapat diidentifikasi mengenai faktor-faktor teknis yang menyebabkan dead zone pada survey trawl. Pengetahuan mengenai faktor penyebab dead zone tersebut, akan bermanfaat dalam efisiensi teknis serta perbaikan metode pada pengoprasian trawl.

Jenis kesalahan kedua adalah kesalahan sampling acak atau ragam. Nilai kepadatan stok ikan demersal yang diperoleh merupakan jumlah biomassa dari sumberdaya ikan terhadap luasan area yang diamati. Perolehan nilai kepadatan stok tersebut belum mencerminkan kondisi penyebaran sumberdaya ikan yang sebenarnya. Fakta bahwa ikan tidak terdistribusi secara merata melainkan membentuk rumpun-rumpun tertentu (shoal) menurut ruang dan waktu, yang menghasilkan variabilitas tinggi pada hasil tangkapan.

Pola distribusi spasial ikan demersal terutama dipengaruhi oleh kedalaman suatu perairan. Selain itu dipengaruhi juga oleh tipe dasar dan kandungan substrat perairan, yang berfungsi menentukan densitas organisme lain seperti bentos sebagai sumber makanan ikan demersal (Hutabarat 2000). Analisis terhadap sebaran spasial berguna untuk mengetahui pola agregasi dari sumberdaya ikan di suatu perairan yang diamati sehingga dapat diprediksi keberadaan sebenarnya di alam. Pengetahuan distribusi spasial ikan tersebut sangat berguna dalam teknik dan strategi sampling dalam hal penentuan posisi stasiun trawl.

Begitu kompleksnya berbagai faktor yang dapat menyebabkan bias dalam pengukuran kelimpahan ikan demersal dengan metode swept area, menuntut adanya suatu pengembangan metode dalam upaya mengurangi bias tersebut. Suatu sistem penelitian eksplorasi antara survei trawl, akustik, serta lingkungan biotik/abiotik yang dilakukan secara simultan, merupakan solusi yang dapat menghasilkan berbagai informasi yang dapat digunakan untuk meningkatkan akurasi perhitungan kelimpahan sumberdaya ikan.

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan adalah untuk:

1) Membandingkan densitas ikan demersal hasil survei trawl dengan akustik 2) Menentukan formula perhitungan densitas ikan demersal pada dead zone

survei trawl

3) Menganalisis keterkaitan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi densitas sumberdaya ikan demersal

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:

1) Informasi tentang kondisi dan distribusi stok sumberdaya ikan demersal di perairan Tarakan, yang berguna untuk menentukan karakteristik daerah penangkapan yang sesuai dalam usaha pemanfaatannya.


(24)

4

2) Pengembangan metode dalam upaya meningkatkan akurasi perhitungan dalam estimasi kelimpahan sumberdaya ikan demersal, sehingga dapat memberikan kontribusi dalam pengelolaan perikanan trawl demersal secara berkelanjutan.

Ruang Lingkup Penelitian

Sebagai upaya dalam meningkatkan akurasi perhitungan stok ikan demersal, dilakukan dengan pendekatan terpadu antara sampling trawl, akustik, dan lingkungan. Untuk memecahkan masalah bias dalam estimasi densitas ikan demersal sebagai akibat kesalahan pengukuran dalam estimasi kelimpahan dengan survei trawl, adalah dengan kombinasi metode swept area berdasarkan trawl yang simultan dengan akustik. Berdasarkan metode swept area akan diperoleh informasi nilai estimasi densitas relatif, standing stok, dan komposisi jenis ikan yang menghuni perairan. Hasil analisis terhadap perbedaan nilai densitas dari kedua metode dapat digunakan untuk mengkaji kemampuan tangkap (catchability) alat tangkap trawl yang digunakan.

Perbedaan hasil pengukuran densitas ikan demersal hasil akustik dengan hasil trawl, mengindikasikan bahwa target ikan demersal yang berada pada jalur penangkapan (catchability area) tidak dapat tertangkap semuanya karena berada pada area yang tidak tersapu oleh jaring trawl (dead zone trawl). Selain estimasi terhadap besarnya densitas ikan demersal yang berada pada dead zone trawl, melalui integrasi kedua metode, faktor-faktor yang menjadi penyebab adanya dead zone pada pengoprasian trawl dapat pula diidentifikasi.

Melalui analisis hubungan faktor-faktor oseanografi dengan densitas ikan, dapat diketahui distribusi spasial sumberdaya ikan demersal. Keberadaan ikan di suatu perairan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Parameter-parameter lingkungan yang dikaji adalah faktor kedalaman perairan, tipe substrat, dan makrozobentos, yang merupakan faktor paling berpengaruh terhadap penyebaran ikan demersal. Selain untuk pola penyebaran, kajian lingkungan juga digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesalahan sampling dalam penentuan posisi stasiun trawl secara stratified random sampling.

Berikut batasan-batasan mengenai ruang lingkup dalam penelitian ini: 1) Trawl yang digunakan adalah jenis mini trawl dengan target utama adalah

ikan demersal yang umum digunakan pada usaha skala kecil, dengan nama lokal adalah pukat hela;

2) Perikanan trawl skala kecil adalah kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan kapal ikan yang ukurannya kurang dari 30 GT;

3) Sumberdaya ikan demersal adalah berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya yang sebagian besar hidupnya menggunakan habitat dasar perairan;

4) Densitas ikan demersal adalah jumlah ikan demersal dalam suatu volume perairan tertentu, yang dinyatakan dalam satuan ekor/m3;

5) Akustik adalah suatu metode aplikasi echo target, yang digunakan untuk mengukur densitas ikan demersal secara langsung dan real time, yang ditempatkan tepat di bawah kapal dan jauh di depan trawl;

6) Catchability adalah kemampuan menangkap dari trawl yang digunakan terhadap ikan demersal yang berada pada area catchability


(25)

5 7) Area catchability adalah ruang yang tersedia pada jalur penangkapan selama

proses penarikan jaring trawl;

8) Dead zone trawl adalah ruang atau area yang tidak tersapu selama proses penarikan jaring trawl;

9) Aspek teknis trawl adalah faktor-faktor yang berperan dalam suatu sistem operasi trawl, seperti kedalaman, panjang warp, kecepatan dan durasi towing; 10)Faktor lingkungan adalah parameter-parameter lingkungan pada habitat ikan

demersal yang berpengaruh terhadap densitas maupun penyebarannya.

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan suatu perbaikan metode untuk memecahkan permasalahan dalam meningkatkan akurasi perhitungan estimasi stok sumberdaya ikan demersal. Bagan alir kajian estimasi densitas ikan demersal menggunakan kombinasi metode akustik dan survei trawl di Perairan Tarakan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Bagan alir kajian estimasi densitas ikan demersal menggunakan kombinasi metode akustik dan survei trawl

Mengembangkan metode untuk meningkatkan akurasi perhitungan dalam pengkajian stok ikan demersal

Trawl

• Komposisi jenis

hasil tangkapan

• Densitas-trawl

catchability

densitas pada

dead zone trawl

Hidroakustik

Densitas-akustik

Oseanografi

Biotik Abiotik

Kedalaman

Tipe substrat

• benthos

Kepadatan stok

Biomassa

Analisis perbedaan densitas ikan demersal hasil trawl dengan akustik

Formula perhitungan densitas ikan demersal pada dead zone survey trawl

Keteraitan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan stok SDI

pengkajian densitas dan biomassa ikan demersal

• pengkajian kemampuan tangkap trawl

• pengkajian pengaruh faktor biotik dan abiotik terhadap distribusi ikan demersal

Permasalahan utama

Informasi yang akurat sangat diperlukan dalam pengkajian stok ikan demersal

Informasi lingkungan yang berpengaruh terhadap SDI demersal masih terbatas Saran pemecahan

Pemecahan masalah: pendekatan terpadu antara metode swept area, akustik, oseanografi


(26)

6

TINJAUAN PUSTAKA

Sumberdaya Ikan Demersal di Perairan Tarakan

Tiga kegiatan perikanan tangkap yang dominan (dalam jumlah alat tangkap dan hasil tangkapan) terdapat di Kota Tarakan yaitu perikanan pukat tarik, perikanan tugu dan perikanan kelong. Pukat tarik (mini trawl) adalah alat tangkap ikan jenis jaring penangkap berbentuk kantong yang dilengkapi dengan sepasang (2 buah) papan pembuka mulut jaring (otter board). Target penangkapannya (main catch) adalah udang dan ikan dasar (demersal). Pengoperasian alat tangkap ditarik melayang di atas dasar perairan oleh 1 (satu) buah kapal motor. Pada alat tangkap kelong (setnet) dan tugu (trapnet) hasil tangkapan utamanya yang dominan adalah ikan-ikan demersal dan udang. Alat tangkap tugu banyak terdapat pada wilayah timur laut perairan kota Tarakan, yang merupakan alat tangkap yang memanfaatkan ruaya ikan dalam proses penangkapannya. Alat tangkap kelong tersebar disepanjang pesisir pulau Tarakan, terutama pesisir barat. Target tangkapan (main catch) dari alat tangkap pukat tarik adalah udang dan ikan nomei, dengan spesifikasi alat seperti trawl (fishand shrimp trawl). Target tangkapan tugu adalah udang dan ikan demersal lainnya (economic fishes), demikian juga pada alat tangkap kelong. Hasil tangkapan sampingan pada ketiga jenis alat tangkap ikan tersebut diindikasikan terjadi karena alat tangkap tersebut memiliki spesifikasi (mesh size) pada bagian kantong yang sangat kecil sehingga tidak selektif terhadap ukuran ikan dan spesies (Firdaus 2005).

Penelitian yang dilakukan Firdaus (2010) tentang hasil tangkapan dan laju tangkap secara kuantitatif yang menggambarkan komposisi hasil tangkapan dan nilai laju tangkap dari ketiga unit perikanan pukat tarik (mini trawl), tugu (trapnet) dan kelong (setnet) di Perairan Tarakan, menunjukkan bahwa dalam operasi penangkapan pukat tarik memiliki 2 (dua) target tangkapan, yaitu ikan pepija (nomei hc) dan udang (shrimp) dalam 2 (dua) musim penangkapannya. Ikan nomei juga menjadi target tangkapan pada pengoperasian perikanan tugu (trapnet) dan ikan-ikan pelagis kecil di sekitar pantai dan muara menjadi tangkapan utama perikanan kelong (setnet). Pengoperasian pukat tarik dengan target tangkapan ikan nomei memiliki nilai laju tangkap sebesar 16,1 kg/jam dan pada perikanan tugu memiliki nilai laju tangkapan sebesar 1,67 kg/jam. Nilai laju tangkap dari pengoperasian kelong sebesar 5,39 kg/hari dan pukat tarik dengan udang sebagai target tangkapan memiliki nilai laju tangkap sebesar 2,05 kg/jam.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL 2012), status kekayaan jenis ikan demersal yang tertangkap di perairan Tarakan tercatat 86 spesies yang tergolong dalam 45 famili. Informasi tersebut dapat dijadikan sebagai base line data untuk dijadikan sebagai pembanding dengan perairan yang sama atau di perairan lain. Hasil penelitian di sekitar perairan yang berdekatan seperti Bulungan, Tarakan dan Nunukan pada bulan Agustus (Mulyadi et al. 2005) memperlihatkan kekayaan jenisnya relatif rendah (31 famili, 45 genus), tetapi di Selat Makasar lebih tinggi mencapai 175 spesies dari 59 famili (BPPL 2011). Perbedaan jumlah kekayaan jenis pada masing-masing perairan dapat terjadi, kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor seperti perbedaan


(27)

7 luasan daerah yang disurvei, perbedaan waktu pelaksanaan atau tingkat ketajaman identifikasi spesies.

Komposisi hasil tangkapan ikan demersal di Tarakan berbeda berdasarkan musim yaitu musim barat dan musim timur. Pada musim barat hasil tangkapan didominasi oleh moa/belut laut, tenggiri, kakap merah (Lutjanus boutton), bawal putih, kerapu, kakap baramudi, pari, hiu, otek/manyung, dan kakap hitam sedangkan pada musim timur adalah 10 besar yang dominan adalah tenggiri, kerapu, moa/belut laut, kakap baramudi, otek/manyung, merah/Lutjanus boutton, pari, kakap hitam, senangin, bawal putih.

Komposisi jenis ikan yang tertangkap tampak tidak berbeda di antara tiga trip penangkapan, indikasi tersebut menunjukkan bahwa musim angin (moonson) tidak berpengaruh. Kelompok ikan yang mendominasi umumnya adalah ikan peperek(famili Leiognathidae) dan kelompok ikan gulama (famili Scianidae). Memperhatikan variasi laju tangkap tiap musim, menujukkan bahwa musim angin berpengaruh terhadap bobot hasil tangkapan maupun distribusi secara horisontal. Hal tersebut diduga ada kaitannya dengan kondisi lingkungan, karena masing-masing memiliki karakteristik massa air yang berbeda. Laju tangkap tinggi cenderung terjadi pada musim selatan (Agustus), dimana kondisi salinitas dan suhu air tampak relatif tinggi (31,5‰ dan 29 oC), dibandingkan pada musim peralihan, bulan Mei (suhu 28,8 oC, salinitas 28,5‰) maupun musim utara bulan Nopember (suhu 28,5 oC, salinitas 29,5 ‰).

Ikan Demersal Habitat dan Penyebaran

Sumberdaya ikan demersal adalah jenis-jenis ikan yang hidup di dasar atau dekat perairan dengan ciri utama adalah : memiliki aktifitas yang relatif rendah, gerak ruaya yang tidak jauh dan membentuk gerombolan yang tidak terlalu besar, sehingga penyebarannya relatif lebih merata dibandingkan dengan ikan pelagis (Aoyama 1973 dalam Badrudin et al. 1998). Jenis ini banyak dijumpai di dekat perairan muara sungai yang merupakan daerah yang sangat subur secara ekologis, karena terjadi penumpukan zat hara dari daratan (Jasman 2001).

Umumnya ikan demersal mengelompok pada perairan yang bersubstrat lumpur, lumpur berpasir, pasir, karang dan karang berpasir. Hampir semua perairan sampai dengan kedalaman 100 meter dengan permukaan dasar relatif rata, jenis substrat lumpur dan lumpur berpasir serta sedikit berkarang merupakan daerah penyebaran yang potensial untuk penangkapan ikan demersal.

Menurut Badrudin et al. (2004) pola sebaran ikan kurisi (Nemipteridae) kepadatan stoknya makin tinggi dengan makin dalamnya perairan. Ikan kurisi cenderung mengelompok pada perairan yang lebih dalam. Ikan beloso (Synodontidae) sebarannya makin tinggi dengan makin dalamnya perairan. Ikan kuniran (Mullidae) merupakan jenis ikan lepas pantai. Ikan layur (Trichiuridae) cenderung menggerombol di perairan dangkal pada kedalaman 10 – 20 m. Ikan peperek(Leiognathidae) merupakan ikan yang menggerombol di perairan dangkal.

Biota lain yang hidup di dasar dekat perairan meliputi jenis Crustacea (udang, rajungan, kepiting) dan jenis Mollusca (cumi-cumi, sotong, gurita, tiram, simping,


(28)

8

remis dan kerang dasar) dan binatang lainnya (teripang, binatang laut). (Dwiponggo 1983 dalam Mulyadi et al. 2001).

Menurut Laevastu dan Hayes (1987) pada umumnya ikan demersal melewatkan waktu siang di dasar perairan dan menyebar pada kolom air, hal ini dilakukan untuk menghindari konsentrasi pytoplankton yang pada waktu siang hari mengeluarkan zat beracun. Substrat dasar sangat mempengaruhi kelimpahan populasi ikan demersal.

Dibanding sumberdaya ikan pelagis, potensi sumberdaya ikan demersal relatif lebih kecil, tetapi banyak dari jenis ikan ini yang bernilai ekonomis tinggi. Ikan demersal tersebar di seluruh perairan Indonesia, terutama di paparan Sunda dan Laut Arafura dengan kecenderungan kepadatan atau sediaan potensi tinggi di daerah pantai. Daerah penangkapan ikan demersal di Indonesia cukup luas, antara lain meliputi hampir seluruh perairan Paparan Sunda yaitu Selat Malaka, Laut Cina Selatan dan Laut Jawa. Juga di Paparan Sahul yang mencakup Laut Arafura yaitu sekitar Dolak, Tembaga Pura, Kepulauan Aru dan Tanimbar. Selain itu di perairan pantai barat Sumatera mulai dari Aceh Barat, pantai selatan Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, pantai timur Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Kesemuanya merupakan daerah penangkapan yang mempunyai prospek cukup baik untuk dikembangkan.

Akibat aktifitas yang rendah dan gerak ruaya yang tidak jauh, maka daya tahan ikan demersal terhadap tekanan penangkapan relatif rendah dan tingkat mortalitas cenderung sejalan dengan peningkatan upaya penangkapan. Sehingga terdapat asumsi bahwa apabila intensitas penangkapan ditingkatkan dua kali, maka mortalitas penangkapan (fishing mortality) meningkat dua kali (Wigan 1998).

Perikanan demersal di Indonesia merupakan tipe perikanan multispesies, akan tetapi jumlah individu dari masing-masing jenis tersebut relatif rendah. Boer et al. (2001) dan Widodo et al. (1998) mengemukakan bahwa terdapat berpuluh jenis ikan demersal di perairan Indonesia. Ikan ini biasanya dieksploitasi dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap (multigears) ikan dasar seperti trawl dasar (bottom trawl), jaring insang dasar (bottom gillnet), rawai dasar (bottom long line), bubu (trap) dan lain sebagainya. Hasil tangkapan ikan demersal pada umumnya terdiri dari berbagai jenis species dimana komposisi hasil tangkapan masing-masing jenis tersebut tidak terlalu besar. Ikan tersebut antara lain : kakap merah/bambangan (Lutjanus spp), peperek (Leiognatus spp), manyung (Arius spp), kurisi (Nemipterus spp), kuniran (Upeneus spp), tiga waja (Epinephelus spp), bawal (Pampus spp) dan lain-lain.

Faktor Lingkungan

Suhu, salinitas, kecerahan dan kedalaman memberikan pengaruh terhadap keberadaan jenis-jenis ikan demersal tertentu, sedangkan terhadap kepadatan biomassa ikan demersal pengaruh tersebut kecil. Pengaruh suhu, salinitas, kecerahan dan kedalaman terhadap biomassa ikan demersal tidak bersifat sendiri-sendiri, tetapi secara bersama-sama mempengaruhi kepadatan biomassa ikan demersal (Ridho et al. 2004). Ruaya ikan demersal tidak didasarkan pada pengaruh suhu, salinitas atau makanan, tetapi untuk berpijah (Efendi 2002).

Menurut Widodo dan Suadi (2008) bahwa perairan dangkal dengan kedalaman kurang dari 100 meter dengan dasar perairan yang berlumpur serta relatif datar merupakan daerah penangkapan ikan demersal yang baik. Contoh dari


(29)

9 perairan tersebut adalah pada paparan Sunda (Selat Malaka, Laut Jawa dan Laut Cina Selatan serta Paparan Sahul).

Yusof (2002) menyatakan bahwa perbedaan jumlah hasil tangkapan diperoleh pada kedalaman yang berbeda. Hasil penelitiannya di perairan Peninsular Malaysia yaitu pada jenis substrat dasar pasir dan pasir berlumpur dengan kedalaman kurang dari 80 m, hasil tangkapan pada kedalaman 5-18 m tertangkap 62–89 spesies sementara pada kedalaman lebih dari 18 m diperoleh jumlah spesies yang lebih banyak yaitu 154-191 spesies. Ikan yang mendominasi penangkapan adalah pari (10,79%). Loliginidae (10,63%), Nemipteridae (7,09%), Mullidae (5,83%), dan Synodontidae (3,18%).

Ikan-ikan demersal umumnya dapat hidup dengan baik di perairan yang bersubstrat lumpur atau lumpur berpasir (Dwiponggo et al. 1989 vide Suharto 1999). Hasil penelitian Masrikat (2009) menunjukkan bahwa ikan demersal tertangkap dengan jumlah individu terbanyak ditemukan pada lokasi dengan dasar perairan lumpur berpasir. Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa ada dua kelompok dari scorpaeniformes yang melimpah di daerah tropis, biasanya pada substrat dasar perairan yang berpasir. Sciaenidae menyukai daerah substrat yang berlumpur dan ikan snapper menyukai daerah yang berbatu-batu.

Faktor-faktor abiotik seperti jenis substrat dasar perairan, kedalaman, kondisi oseanografi sangat berpengaruh terhadap distribusi komunitas ikan-ikan demersal di perairan Laut Jawa. Hubungan antara keterkaitan tipe substrat dan komunitas ikan demersal di perairan Laut Jawa menunjukkan pola yang berbeda untuk lima jenis ikan dominan yaitu pepeperek(leiognathus splendens), biji nangka (Upeneus sulphureus), kurisi (Nemipterus japanicus), pepeperek(Leiognathus bindus) dan beloso(Saurida longimanus) (Pujiyati 2008).

Trawl Dasar

Trawl dasar (bottom trawl) merupakan jaring yang berbentuk kerucut dengan mulut terbuka lebar yang ditahan oleh pemberat pada tali ris bawah dan pelampung pada tali ris atas (Gambar 2). Pada waktu kapal bergerak, mulut jaring akan dipertahankan untuk tetap terbuka oleh kedua buah otter board (berbahan kayu atau besi) yang dipasang pada warp secara seimbang sehingga cenderung untuk berpencar. Kedua otter board dihubungkan ke bagian jaring dengan bridles, dari otter board disambung ke kapal dengan tali penarik (warp). Bridles ini bisa mencapai panjang 200 meter dan dapat menyapu dasar perairan yang luas, menakut-nakuti ikan dan menggiringnya ke muka jaring hingga meningkatkan efektifitas jaring (Sparre dan Venema 1999).


(30)

10

Prinsip dasar dari metode penangkapan ikan dengan trawl adalah menyaring air dengan jaring agar ikan yang berada di dalam kolom air tersebut tersaring, sehingga ikan tersebut terkumpul dibagian kantong jaring. Jaring ditarik dengan menggunakan kapal motor, arah dan kecepatannya sama dengan kecepatan kapal. Kecepatan menarik jaring disesuaikan dengan kecepatan renang ikan hasil tangkapan. Mulut jaring diusahakan membuka seluas mungkin, ditarik dengan kecepatan tertentu pada selang waktu tertentu, menempuh suatu lintasan dengan harapan mendapatkan sejumlah hasil tangkapan tertentu (Ayodhyoa dan Baskoro 1996).

Trawl merupakan alat tangkap yang bersifat aktif, artinya alat ini dalam pengoperasiannya mengejar sasaran. Alat ini juga bersifat non selektif, karena selain ikan demersal yang tertangkap, terdapat juga jenis ikan pelagis yang diduga tertangkap pada saat jaring sedang hauling. Disamping itu berbagai ukuran ikan dapat tertangkap.

Oleh karena karakter dan efektivitasnya dalam memanfaatkan sumberdaya ikan demersal maka trawl dasar secara luas telah dipergunakan untuk memonitor stok ikan demersal di suatu wilayah perairan, khususnya untuk mengetahui indeks kelimpahannya (Spare dan Venema 1999).

Bukaan horizontal mulut trawl

Pembukaan mulut jaring ke samping (horizontal net opening) atau biasa disebut dengan lebar mulut jaring trawl. Selama towing, bukaan ini sangat bervariasi tergantung pada kecepatan towing, kondisi cuaca, keadaan dasar perairan, arus, warp, sudut yang dibentuk wire terhadap otter board, serta desain trawl itu sendiri (Fridman 1986).

Menurut FAO (1993) bukaan kesamping trawl adalah sebesar h x X2, dimana h adalah panjang ris atas, X2 adalah koefisien. Koefisien untuk kawasan Asia Tenggara berkisar antara 0,4-0,66 (FAO, 1993). Paully (1983) menyarankan nilai pendekatan X2=0,5. Sparre and Venema (1992) menganjurkan untuk memperkirakan besarnya bukaan trawl adalah dengan cara mengukur beda sudut bukaan warp pada gallows.

Bukaan vertikal mulut trawl

Skema perhitungan tinggi mulut jaring (vertical opening) disajikan pada Gambar 3 (FAO 1990).

Gambar 3 Skema perhitungan tinggi mulut jaring untuk trawl bukaan tegak rendah (kiri) dan bukaan tinggi (kanan)

N HR

S Vo

a N

HR

S Vo

a


(31)

11 Untuk trawl dasar 2 panel dengan bukaan tegak rendah vertical opening dapat dihitung dengan persamaan (FAO 1990):

VO = 2 x N x a x 0,05 sampai 0,06 ………. (1) Sementara trawl dasar 4 panel dengan bukaan tinggi vertical opening dapat dihitung dengan persamaan (FAO 1990):

VO = 2 x N x a x 0,06 sampai 0,07 ………. (2) dimana:

Vo = bukaan vertikal mulut jaring

N = lebar dihitung menurut jumlah mata bagian depan jaring a = lebar mata dihitung dalam meter pada tiap-tiap bagian jaring Metode Swept area

Metode swept area adalah metode yang digunakan untuk menduga besarnya stok ikan dengan cara menyapu suatu area perairan yang akan diduga stoknya dengan menggunakan alat tangkap trawl dasar (bottom trawl). Alat ini memiliki selektivitas yang rendah sehingga daya tangkapnya tinggi (Aziz 1989).

Metode ini digunakan untuk menghitung rata-rata hasil tangkapan per satuan upaya atau per satuan luas dan dikenal dengan indeks kelimpahan stok. Indeks ini kemudian diubah dalam satuan ukuran absolut dari biomassa. Biomassa dihitung dengan melakukan beberapa dugaan terhadap hal-hal yang dianggap kritis. Berkaitan dengan dilakukannya pendugaan, mungkin ditemukan adanya kekurang telitian (Tampubolon 1991).

Pada penentuan besarnya stok dengan metode swept area digunakan asumsi, yaitu (1) terdapat hubungan yang proporsional antara hasil tangkapan per satuan upaya dengan kepadatan stok (upaya penangkapan konstan), (2) rata-rata kepadatan stok dari bagian yang diteliti menyebar merata di seluruh daerah survei. Pada prinsipnya, metode ini memperoleh hasil tangkapan per satuan luas (kg/m2) atau volume (kg/m3) sebagai ukuran kelimpahan stok sumberdaya ikan demersal. Hasil tangkapan per satuan waktu dikonversi menjadi hasil tangkapan per satuan luas, melalui luas sapuan jaring per satuan waktu (Gambar 4).

Gambar 4 Metode swept area (sumber: Sparre and Venema 1999) Survei Akustik

Target Strength

Target strength (TS) adalah ukuran yang menggambarkan kemampuan suatu target untuk memantulkan gelombang suara yang datang mengenainya. Kekuatan pantulan gema (echo) dari ikan atau target lainnya umumnya disebut target strength (Ehrenberg 1983). Nilai TS individu ikan bergantung pada ukuran dan bentuk ikan, sudut datang pulsa, orientasi ikan terhadap transducer, keberadaan gelembung renang, acoustic impedance dan elemen ikan (daging, tulang,


(32)

12

kekenyalan kulit dan distribusi sirip ekor) walaupun pengaruh elemen terakhir ini kecil karena nilai kerapatannya tidak berbeda jauh dari air sebagai medium hidup.

TS dapat didefinisikan dalam rumusan intensity target strength atau energi target strength. Formulasi intensitas target strength (intensity target strength) adalah sebagai berikut:

TSi = 10 log r ………..… (3) dimana:

TSi = Target strength intensity

Ir = Intensitas suara pantulan pada satu meter dari target Ii = Intensitas suara yang mengenai target

Menurut MacLennan dan Simmonds (2005) TS merupakan backscattering cross section (σbs) dari sinyal target yang kembali, hubungan antara TS dan σbs dinyatakan dalam bentuk:

TS = 10 log(σbs) ……….. (4) Salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap nilai TS adalah ukuran ikan. Untuk spesies yang sama, pada umumnya makin besar ukuran ikan, makin besar nilai TS-nya. Secara akustik, ukuran panjang ikan (L) berhubungan dengan scattering crossection (σbs) menurut persamaan σbs = aL2 yang dengan demikian hubungan antara target strength (TS) dan L menjadi sebagai berikut

TS = 20 log(L) + A ………..…… (5) di mana A adalah nilai target strength untuk 1 cm panjang ikan (normalized target strength) yang bergantung pada jenis spesies ikan. Khusus untuk ikan-ikan yang mempunyai gelembung renang (bladder fish), hubungan linear tersebut sudah banyak diteliti dan diuji kebenarannya (MacLennan dan Simmonds 2005), akan tetapi untuk ikan-ikan yang tidak mempunyai gelembung renang (bladderless fish) masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Dalam kenyataannya nilai 20 log L dalam persamaan di atas juga bervariasi karena sangat tergantung dari spesies ikan dan faktor-faktor instrumen yang digunakan. Dengan mengetahui nilai A tersebut sebenarnya secara kasar dapat membedakan spesies ikan.

Namun untuk mengetahui spesies ikan yang sebenarnya, selain memerlukan pengalaman dan ketelitian dalam menginterpretasi echogram, juga perlu verifikasi dengan alat penangkapan ikan, underwater camera/video camera dan sebagainya. Pada hubungan TS dan L untuk ikan demersal seperti cod, haddock dan redfish, Jakobsen et al. (1997) dan Hjellvik et al. (2003) menggunakan persamaan:

TS = 20 log(L) - 68 ………..…… (6) Integrasi Echo

Metode Integrasi echo (Echo Integration, EI) telah lama digunakan untuk memperkirakan kelimpahan ikan. Perhitungan densitas ikan dilakukan dengan mengintegrasikan echo yang berasal dari kelompok-kelompok ikan yang terdeteksi. Kelompok ikan tersebut dianggap membentuk suatu lapisan perairan dengan tebal perairan sesuai dengan ketebalan kelompok ikan. Lapisan perairan ini merupakan bidang-bidang datar dan integrasi echo dilakukan untuk bidang datar berlapis-lapis dan berturut-turut hingga seluruh volume perairan yang dibentuk kelompok ikan terintegrasi secara keseluruhan (Simmonds dan MacLennan 2005).

Metode EI merupakan teknik yang efisien dan dapat dipercaya untuk pendugaan stok ikan, karena itu berlaku untuk setiap pola distribusi ikan,


(33)

13 schooling, ikan yang tersebar, atau berlapis-lapis, dan mudah diimplementasikan oleh program komputer terkini.

Secara historis, integrator pada split beam echo sounder melakukan integrasi dengan arah vertikal dalam lapisan-lapisan perairan dan merata-ratakan secara horizontal sepanjang alur pelayaran. Namun, pada prinsipnya, rata-rata horisontal sangat penting dan lebih baik untuk dilakukan terlebih dahulu. Teknologi komputer digital telah memungkinkan urutan integrasi, dan dapat merata-rata berdasarkan ping untuk setiap sampel data berkecepatan tinggi (Furusawa 2011).

Berbeda dari echo integrator analog, berkat teknologi digital yang sangat maju, saat ini integrasi atau rata-rata echo, pertama dibuat berdasarkan ping dan kedua berdasarkan jarak. Sv rata-rata <Sv> dari proses integrasi untuk setiap sel (rw × J) diperoleh dengan persamaan (Furusawa 2011):

…………...…...…. (7) dimana:

r ke r + rw = kisaran lapisan integrasi j = indeks ping

J = periode integrasi Sv = raw Sv

dengan rata-rata tersebut, maka ada kemungkinan untuk mengasumsikan bahwa distribusikan schooling ikan yang sangat besar dan homogen dapat diamati.

Dead zone akustikdi dekat dasar perairan

Akustik dead zone adalah zona di dekat dasar perairan dimana ikan tidak

dapat di deteksi secara akustik yang disebabkan oleh efek aditif dari volume zona

yang tidak tercakup (unsample zone) oleh bim akustik (Ona and Mitson 1996). Pada konteks akustik pulsa tunggal, dasar perairan merupakan variabel kedalaman dengan perubahan kontur skala kecil dan berbagai tingkat kekasarannya. Pantulan echo dari ikan biasanya mempunyai amplitudo lebih kecil dari echo dasar perairan, dan ketika posisi ikan sangat dekat dengan dasar perairan, echo keduanya secara efektif untuk bersatu, dimana tidak ada pemisahan antar kedua echo tersebut.

Perlu diketahui bahwa dalam estimasi kelimpahan total dari agregasi ikan di dekat dasar laut, terdapat keterbatasan deteksi maupun diskriminasi untuk ikan pada zona tersebut. Hal ini memerlukan studi dari faktor-faktor yang secara unik mempengaruhi pulsa akustik dan echo ketika ikan dan dasar perairan saling berdekatan satu sama lain.

Pada survei untuk mengestimasi kelimpahan ikan demersal, sangat penting untuk mengetahui faktor lain yang berpengaruh pada sampling di daerah dekat dasar perairan. Proses estimasi membutuhkan pengetahuan tentang faktor koreksi yang harus diterapkan untuk mengkompensasi jarak aman (backstep) dan acoustic dead zone melalui intervensi manual untuk memulai integrasi echo.

Hasil tangkapan trawl dasar dengan kelimpahan yang cukup besar, yang diperoleh setelah terlebih dahulu mengkoreksi rekaman dasar laut “clean bottom recordings” pada echogram terutama di perairan dangkal, dapat meyakinkan bahwa pada akustik dead zone terdapat sejumlah ikan yang tetap tidak terdeteksi oleh echosounder (ICES 1995).


(34)

14

Kondisi ikan di dekat dasar perairan hubungannya dengan akustik dead zone dilustrasikan pada Gambar 5 (Ona and Mitson 1996). Gambar 5 merupakan ilustrasi yang menunjukkan bagian ujung bim akustik (wavefront) sesaat mengenai dasar perairan. Objek nomor 1 sampai 7 merupakan bagian lintasan ikan dengan ketinggian dorsi-ventral fh. Posisi ikan ditempatkan pada posisi strategis untuk menggambarkan beberapa faktor yang terjadi ketika mendeteksi ikan dekat dasar perairan. Selain itu berguna dalam integrasi echo selanjutnya. Posisi ikan 1, 2, dan 3 menyentuh dasar perairan, dan jelas hanya ikan-1 yang akan terdeteksi, meskipun echo-nya tidak akan selesai dipisahkan dari echo dasar laut. Untuk ikan 6 dan 7, wavefront telah melalui sebagian dari mereka, pada saat itu sumbu bim akustik (acoustic beam axis) menyentuh dasar laut. Pada posisi ikan tersebut, maka yang akan dipantulkan hanya echo secara parsial. Ikan nomor 4 dan 5 akan tampak berada pada dasar perairan karena berada pada kisaran yang sama seperti dasar laut. Setelah wavefront pada sumbu akustik mengenai dasar laut, mungkin tidak banyak ikan yang terdeteksi, sehingga ikan 2 dan 3 akan tertingal karena berada di acoustic dead zone (ADZ).

Gambar 5 Ilustrasi bagian ujung bim akustik (wavefront) sesaat mengenai dasar perairan yang terdapat ikan pada berbagai posisi terhadap bim akustik

Mitson (1983) mengambil pendekatan yang sederhana dan menyimpulkan bahwa pasti ada dead zone, dimana ketinggiannya didefinisikan sebesar cτ/2 di

atas dasar laut, di mana c adalah kecepatan perambatan gelombang dalam meter/detik dan τ adalah durasi pulsa yang ditransmisikan dalam detik.

Ona dan Mitson (1996) mendefinisikan integrator dead zone terdiri tiga zona (Gambar 6). Acoustic dead zone (ADZ) adalah zona dimana echo ikan yang lemah melebur di dalam echo dasar laut yang kuat. Backstep zone (BSZ) adalah zona yang diatur manual untuk menghilangkan celah echo dasar laut yang masuk dalam integrasi. Partial integration zone (PIZ) sebagai zona dimana echo ikan tidak sepenuhnya terintegrasi. Jumlah ketiga zona disebut integrator dead zone (IDZ).


(35)

Integrasi echo ik (interference) dari kua adalah ikan yang ter tersebut telah lama di

Furusawa (2011) tidak begitu parah se benar tentang zona i sebelumnya membing

Berdasarkan ukur (mud), pasir (sand) Ukuran-ukuran partike menentukan klasifika ukuran partikelnya me Tabe Jenis Part Boulder ( Cobble (b Pebble (b Granule ( Sand (pas Silt (Lum Clay (tan Karakteristik se dan kendali terhadap menentukan morfolo suhu, salinitas dan fakt sedimen dilakukan m

Gambar 7 D

ikan di dekat dasar laut belum tentu mudah ka kuatnya gema dasar laut. Alasan utama dari ke terasosiasi di dalam IDZ tersebut. Kasus akus

dibahas serta beberapa metode pemecahan telah di 2011) mengemukakan bahwa keberadaan dead

seperti yang telah ditekankan. Diperlukan pe ini, misalnya pada unsample zone yang dapa bingungkan untuk masalah dead zone.

Tipe Substrat Dasar Laut

ukuran butirnya, sedimen dapat diklasifikasika ) dan kerikil (gravel) (Poerbondono dan D tikel sedimen merupakan salah satu cara yan ikasi sedimen. Tabel 1 merupakan klasifika menurut Dale dan William (1989).

bel 1 Klasifikasi sedimen berdasarkan ukuran

artikel Diameter Partikel (m

(batu besar) > 256

(batu kecil) 64 – 256

(batu kerikil) 4 – 64

(butir) 2 – 4

asir) 0,062 – 2

mpur) 0,004 – 0,062

anah liat) < 0,004

sedimen dapat menentukan morfologi fungsiona dap distribusi bentos. Adaptasi terhadap tipe ologi, cara makan dan adaptasi fisiologi orga

faktor kimia lainnya (Hutabarat dan Stewart 2000 n menggunakan diagram pasir, lumpur dan tanah

Diagram sand, silt and clay (Blott dan Kenneth 2001)

15 h karena gangguan

kesulitan tersebut akustik dead zone

lah dikemukakan. dead zone tersebut n pemahaman yang apat diukur, yang

ikan yaitu lumpur Djunasjah 2005). ang mudah untuk ikasi berdasarkan

(mm)

ional, tingkah laku tipe substrat akan organisme terhadap 2000). Klasifikasi nah liat (Gambar 7).


(36)

16

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Survei eksplorasi yang terdiri dari operasi trawl dasar yang simultan dengan deteksi hidroakustik telah dilaksanakan pada bulan Mei, Agustus, dan November 2012. Lokasi penelitian berada di perairan Tarakan dan sekitarnya (Gambar 8) yang merupakan daerah operasi penangkapan (fishing ground) ikan demersal dan udang oleh trawl dasar (pukat tarik/pukat hela).

Data dan informasi yang digunakan pada penyusunan tesis ini adalah hasil survei yang merupakan bagian dari kegiatan penelitian yang dilakukan Balai Penelitian Perikanan Laut, dengan judul “Pengkajian Sumberdaya Ikan Demersal di WPP 716-Laut Sulawesi dan WPP 712-Laut Jawa”, dimana penulis terlibat di dalam kegiatan tersebut.

Gambar 8 Peta lokasi penelitian Alat dan bahan

Peralatan dan bahan yang digunakan selama penelitian diantaranya adalah 1) Armada pukat hela milik nelayan setempat berukuran 20 GT sebagai wahana

penelitian, beserta jaring trawl dasar (pukat hela) untuk menangkap ikan demersal.

2) Perangkat akustik SIMRAD EY-60, frekuensi transducer 120 KHz untuk akuisisi data akustik dan kedalaman, dilengkapi dengan GPS untuk menentukan posisi kapal dan target ikan.

3) Van veen grab, untuk mengambil sampel substrat dasar dan benthos

4)Ayakan, digunakan untuk menyaring benthos dari substrat dasar perairan dengan ukuran mata saringan 500 µm (no.35).

5) Timbangan, untuk mengukur bobot tiap jenis hasil tangkapan trawl

117° 117.1° 117.2° 117.3° 117.4° 117.5° 117.6° 117.7° 117.8° 117.9° 118° Bujur timur

3° 3.1° 3.2° 3.3° 3.4° 3.5° 3.6°

L

in

ta

n

g

u

ta

ra P. Tarakan

P. Bunyu P. Baru


(37)

17 6)Inclinometer, untuk mengukur sudut kemiringan warp

7) Meteran, mengukur panjang antar blok pada buritan dan jarak antar warp.

Prosedur Pengumpulan data Hasil tangkapan trawl

Sistem trawl dasar digunakan untuk mengumpulkan data tangkapan ikan demersal, rata-rata waktu penarikan jaring (towing) adalah 1 jam dengan rata-rata kecepatan 3 knot untuk tiap stasiunnya. Setiap proses pengoperasian trawl tersebut simultan dengan akuisisi data akustik (Gambar 9).

Gambar 9 Ilustrasi pengoperasian trawl simultan dengan akustik

Pada survei bulan Mei, Agustus, dan November 2012 masing-masing telah diperoleh sebanyak 21, 20, dan 21 stasiun trawl-akustik (Gambar 10). Biota hasil tangkapan tiap stasiun trawl disortir, ditimbang, dan ditabulasi berdasarkan jenisnya. Identifikasi jenis ikan berdasarkan referensi Kailola dan Trap (1984).

Gambar 10 Posisi stasiun trawl-akustik bulan Mei, Agustus dan November 2012

117.3° 117.4° 117.5° 117.6° 117.7° 117.8° 117.9° 118° 118.1°

Bujur timur 3°

3.1° 3.2° 3.3° 3.4° 3.5° 3.6°

P. Tarakan

P. Bunyu P. Baru

Keterangan: Mei November Agustus


(38)

18

Bukaan mulut trawl

Teknik pengukuran bukaan horizontal mulut jaring dengan mengukur panjang tali penarik (warp) pada setiap towing (AB), mengukur jarak antara dua warp pada posisi antar dua blok (A-AI), dan mengukur jarak antara dua warp pada posisi 1 meter dari blok (A2-A4), skema teknik pengukuran jarak antara dua warp disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11 Skema teknik pengukuran jarak dua warp (sumber: Suharto 1999) Akustik

Akuisisi data akustik adalah simultan dengan pengoperasian trawl, sehingga lintasan perekaman data akustik akan sama dengan posisi dan jarak selama towing (Gambar 9). Pengumpulan data akustik-trawl dimulai dari perairan Juata Laut (perairan Tarakan bagian Utara) menuju ke arah timur dan selanjutnya ke arah selatan (Gambar 10). Area penelitian secara spesifik dibagi menjadi 3, yaitu perairan Juata laut, sebelah timur, dan sebelah selatan Pulau Tarakan. Distribusi area penelitian tersebut terkait dengan daerah penangkapan untuk masing-masing jenis ikan demersal oleh nelayan setempat yaitu armada pukat hela.

Perekaman data menggunakan sofware ER60. Tabel 2 adalah pengaturan parameter-parameter sistem akustik pada waktu akuisisi data.

Tabel 2 Setting Parameter EY60 pada waktu akuisisi data akustik

Parameter Nilai

Frequency 120 KHz

Pulse Duration 0.512 ms

Power transmit 50 watt

Sound speed 1545 m/s

Absorption Coef. 38.52 dB/km

Parameter lingkungan

Faktor lingkungan yang akan dikaitkan dengan keberadaan ikan demersal meliputi tipe substrat dasar, kelimpahan makrozoobenthos, serta kedalaman perairan. Pengambilan sampel substrat dan benthos untuk masing-masing stasiun, dilakukan pada setiap akhir pengoperasian trawl atau saat hauling, menggunakan Van veen grab berukuran 20 x 20 cm2. Untuk benthos, sampel substrat disaring menggunakan ayakan 500 µm. Tiap sampel dari masing-masing stasiun ditampung dalam botol sampel 100 ml dan diawetkan dengan formalin 4%. Sementara informasi kedalaman perairan tiap stasiun trawl diperoleh deteksi echosounder yang tercatat secara otomatis bersama dengan data akustik.


(39)

19 Analisis Data

Volume saringan trawl

Perhitungan estimasi volume saringan trawl adalah dengan mengalikan luasan area yang disapu (swept area) dengan tinggi bukaan mulut jaring trawl. Perhitungan dilakukan untuk setiap stasiun trawl, yang kemungkinan besar akan terjadi perbedaan nilai volume pada masing-masing stasiun. Volume air yang tersaring (m3) digunakan untuk menentukan nilai densitas ikan tiap stasiun trawl (kg/m3).

Teknik pengukuran bukaan horizontal mulut jaring memanfaatkan persamaan trigonometri. Pembukaan mulut jaring ke samping (horizontal opening) dihitung dengan mengasumsikan bahwa jaring trawl berbentuk bangun kerucut pada saat dioperasikan (Gambar 12).

Gambar 12 Skema perhitungan pembukaan mulut jaring ke samping Bukaan mulut jaring dihitung dengan (Tampubolon dan Monintja 1995): BB’ = (HB-AI)/2

Sin α = BB’/AB = CC’/AC CG = (2 x CC’) + AI DF/CG = DE/CE

DF = (DE/CE) x CG ……….……...……… (8) dimana:

AI = jarak antara dua blok

HB = jarak antara dua warp, diukur 1 meter dari blok ke arah jaring AC = panjang warp

CD = panjang net pendant + otter pendant DEF = panjang tali ris atas

CG = jarak antara dua otterboard DF = bukaan horizontal mulut jaring

Luas area yang tersapu oleh trawl dihitung dengan (Pauly et al. 1996):

A = DF x V x t ………..……….…..…..……….. (9) dimana :

A = luas area yang disapu oleh trawl (m²) DF = bukaan horizontal mulut jaring (m) V = kecepatan kapal (m/detik)


(1)

64

Lampiran 1 Aspek teknis operasional

trawl

(lanjutan)

Trip Trawl Kedalaman (m) Backstep (m) Warp (m) Bukaan trawl (m) Durasi towing (menit) Kec. Towing (m/s) Jarak towing (m) Keterangan

Nov

1

20.5

0.25

90

11.5

58

1.8

4614

error

Nov

2

14.7

0.24

108

10.9

77

1.4

4058

Nov

3

14.0

0.24

144

11.5

57

1.6

3639

Nov

4

11.2

0.23

144

10.9

60

2.2

6214

Nov

5

12.2

0.23

144

10.2

61

1.9

5165

Nov

6

11.9

0.23

144

9.5

56

1.7

4114

Nov

7

14.8

0.24

162

10.2

52

1.8

3953

Nov

8

37.0

0.30

144

11.3

52

2.2

5357

Nov

9

33.7

0.29

144

11.2

52

2.0

4685

Nov

10

28.6

0.28

144

12.3

60

2.0

5609

Nov

11

44.7

0.32

144

12.2

62

2.1

5946

Nov

12

41.7

0.31

144

12.3

68

2.0

6131

Nov

13

14.5

0.24

144

11.2

60

1.9

5028

Nov

14

19.0

0.25

162

11.2

55

2.3

5909

Nov

15

13.3

0.23

286

11.2

59

1.4

3333

Nov

16

38.4

0.30

286

12.3

57

1.8

4550

Nov

17

45.0

0.32

162

12.3

61

1.8

4898

Nov

18

20.2

0.25

162

11.2

58

2.0

5322

Nov

19

30.6

0.28

162

11.2

55

1.5

3413

Nov

20

11.7

0.23

162

10.1

74

1.7

5537

Nov

21

13.0

0.23

162

9.4

58

1.5

3339

Lampiran 2 Komposisi jenis ikan demersal hasil tangkapan

trawl

Mei

Agustus

November

Famili

%

Famili

%

Famili

%

Scianidae

43

Leiognathidae

86.7

Leiognathidae

63.3

Leiognathidae

38.8

Scianidae

4.5

Scianidae

20.2

Harpadontidae

6.4

Apogonidae

2

Mullidae

3

Ariidae

3

Mullidae

1.9

Apogonidae

2.8

Gerreidae

1.7

Harpadontidae

1.1

Harpadontidae

2.5

Polynemidae

1.2

Gerreidae

1.1

Gerreidae

1.4

Mullidae

1

Polynemidae

0.6

Ariidae

1.3

Cynoglossidae

0.8

Tetraodontidae

0.3

Nemipteridae

0.9

Ephippidae

0.6

Trichyuridae

0.3

Cynoglossidae

0.8


(2)

65

Lampiran 3 Densitas ikan demersal dan kondisi lingkungan tiap stasiun

trawl

Trip Stasiun Trawl Famili Dominan Tipe substrat Makrozoo bentos (ind/m2)

Kedalaman (m) W rata- (gram) Densitas (n/m3)

Kategori densitas

Mei 1 Sciaenidae Berlumpur 225 17.86 5.53 8.00 < 50

Mei 2 Sciaenidae Berlumpur 1 14.01 11.21 12.0 < 50

Mei 6 Sciaenidae Berlumpur 775 10.35 13.26 64.0 50-100

Mei 8 Sciaenidae Berlumpur 175 13.03 33.52 11.0 < 50

Mei 9 Sciaenidae Pasir 25 11.23 14.29 32.0 < 50

Mei 12 Leiognathidae Berlumpur 25 46.45 3.64 1.00 < 50

Mei 14 Leiognathidae Berlumpur 100 40.36 21.00 1.00 < 50

Mei 16 Leiognathidae Lumpur Berpasir 450 26.07 5.36 2.00 < 50

Agt 1 Harpadontidae Berlumpur 25 19.90 85.40 35.0 < 50

Agt 2 Harpadontidae Berlumpur 250 15.66 20.49 23.0 < 50

Agt 3 Harpadontidae Lumpur Berpasir 1600 13.78 92.54 33.0 < 50

Agt 5 Sciaenidae Pasir berlumpur 650 15.10 38.34 6.00 < 50

Agt 8 Leiognathidae Berlumpur 850 30.64 6.78 4.00 < 50

Agt 9 Leiognathidae Berlumpur 25 9.61 8.20 15.0 < 50

Agt 10 Sciaenidae Berlumpur 250 12.40 11.49 61.0 50-100

Agt 11 Leiognathidae Berlumpur 200 10.16 6.01 17.0 < 50

Agt 12 Leiognathidae Berlumpur 1800 25.07 5.93 0.00 < 50

Agt 13 Apogonidae Berlumpur 875 51.11 4.05 1.00 < 50

Agt 14 Apogonidae Lumpur Berpasir 1025 34.35 4.34 2.00 < 50

Agt 15 Apogonidae Berlumpur 875 24.40 3.76 2.00 < 50

Agt 17 Leiognathidae Pasir berlumpur 650 12.75 9.09 131 > 100

Agt 18 Sciaenidae Berlumpur 25 21.63 6.06 7.00 < 50

Agt 19 Sciaenidae Berlumpur 250 15.98 18.45 87.0 50-100

Agt 20 Leiognathidae Berlumpur 250 14.76 6.49 42.0 < 50

Nov 2 Sciaenidae Pasir berlumpur 1 14.74 12.07 108 > 100

Nov 3 Leiognathidae Pasir berlumpur 125 13.96 6.56 152 > 100

Nov 5 Leiognathidae Pasir berlumpur 1 12.16 6.99 367 > 100

Nov 6 Leiognathidae Pasir 1 11.93 11.67 211 > 100

Nov 7 Leiognathidae Pasir berlumpur 200 14.79 7.02 144 > 100

Nov 8 Leiognathidae Pasir berlumpur 75 36.99 5.45 9.00 < 50

Nov 10 Leiognathidae Pasir berlumpur 1 28.58 5.00 1.00 < 50

Nov 11 Apogonidae Pasir berlumpur 125 44.74 3.52 3.00 < 50

Nov 12 Leiognathidae Pasir berlumpur 25 41.70 3.17 10.0 < 50

Nov 13 Leiognathidae Pasir berlumpur 25 14.53 8.38 250 > 100

Nov 14 Leiognathidae Pasir berlumpur 50 19.03 16.88 62.0 50-100

Nov 15 Sciaenidae Pasir 25 13.27 11.11 179 > 100

Nov 16 Leiognathidae Pasir berlumpur 1 38.35 5.62 6.00 < 50

Nov 17 Apogonidae Pasir berlumpur 225 45.02 3.84 8.00 < 50

Nov 18 Leiognathidae Pasir berlumpur 1 20.22 6.02 109 > 100


(3)

66

Lampiran 4 Contoh perhitungan tinggi

backstep zone

tiap stasiun akustik-trawl

menggunakan persamaan

Ona and Mitson (1996)

Trip Trawl dek,i dek,i + 1 m θ (7,5o/2) tan θ θ2 c (m/s) τ (ms) DZt,i (m) Mei 1 16.9 17.9 3.5 0.06 12.25 1545.32 0.512 0.25 Mei 2 13.0 14.0 3.5 0.06 12.25 1545.32 0.512 0.24 Mei 3 24.8 25.8 3.5 0.06 12.25 1545.32 0.512 0.27 Mei 4 13.6 14.6 3.5 0.06 12.25 1545.32 0.512 0.24 Mei 5 15.0 16.0 3.5 0.06 12.25 1545.32 0.512 0.24 Agt 1 18.9 19.9 3.5 0.06 12.25 1545.28 0.512 0.25 Agt 2 14.7 15.7 3.5 0.06 12.25 1545.28 0.512 0.24 Agt 3 12.8 13.8 3.5 0.06 12.25 1545.28 0.512 0.24 Agt 4 15.3 16.3 3.5 0.06 12.25 1545.28 0.512 0.24 Agt 5 14.1 15.1 3.5 0.06 12.25 1545.28 0.512 0.24 Nov 1 19.5 20.5 3.5 0.06 12.25 1545.32 0.512 0.25 Nov 2 13.7 14.7 3.5 0.06 12.25 1545.32 0.512 0.24 Nov 3 13.0 14.0 3.5 0.06 12.25 1545.32 0.512 0.24 Nov 4 10.2 11.2 3.5 0.06 12.25 1545.32 0.512 0.23 Nov 5 11.2 12.2 3.5 0.06 12.25 1545.32 0.512 0.23

Lampiran 5 Hasil perhitungan uji-t terhadap densitas akustik-trawl pada masing

masing stasiun menggunakan program Minitab 14.

————— 1/13/2014 12:37:31 AM ——————————————————

Welcome to Minitab, press F1 for help.

Paired T-Test and CI: akustik, trawl

Paired T for akustik - trawl

N Mean StDev SE Mean akustik 50 81446.2 121733.5 17215.7 trawl 50 2595.0 2602.9 368.1 Difference 50 78851.1 120496.7 17040.8

95% CI for mean difference: (44606.4, 113095.9)

T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = 4.63 P-Value = 0.000


(4)

67

Lampiran 6 Desain dan spesifikasi jaring

trawl

dasar di Tarakan

11,5m

9 m

3,5 m

1,5 m

90 #

d/9

# 1 ½”

300 #

270 #

d/9 # 1 ½”

75 #

d/15

# 1 ¼”

d/18

# 1 ¼” 5,5 m

6 m

3 m 1,20 m

75 #

d/15

# 1 ¼”

# 1 ¼” d/18

3 m 6,5 m

6 m

Nama lokal : pukat hela, lampara dasar

Head Rope

: 26 meter

Ground Rope

: 28 meter

Sayap jaring : panjang 11,5 m (diameter mata jaring 1,5 inch)

Badan jaring

: panjang 9 m (diamter mata jaring 1,5 inch)

Kantong jaring : panjang 5 m (diameter mata jaring 1,25 inchi)


(5)

68

Lampiran 7 Wahana penelitian dan proses pengumpulan data

Kapal mini trawl

Setting jaring trawl

Akustik (Echosunder EY-60) Sortir dan pengukuran hasil tangkapan


(6)

69

RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara,

dilahirkan di Sumedang pada tanggal 26 Januari 1979 dari

pasangan Bapak Nana Maryudin dan Ibu Enok Rokayah.

Pendidikan penulis diawali pada tahun 1986 masuk di SD

Negeri Ciuyah II kemudian melanjutkan sekolah di SMP

Negeri I Cimalaka pada tahun 1991 dan tahun 1994

menamatkan Sekolah Menengah Atas di SMU Negeri 1

Sumedang. Pada tahun 1997-2002 penulis menempuh

pendidikan (S1) di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2003 sampai sekarang bekerja

sebagai peneliti bidang sumberdaya dan lingkungan di Balai Penelitian Perikanan

Laut, Balitbang KP, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selama tahun

2011-2014, penulis melanjutkan studi program pascasarjana (S2) di Program Studi

Teknologi Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

Publikasi yang berkaitan dengan tesis ini yaitu Pendekatan survei akustik

untuk menganalisis kemampuan tangkap

trawl

yang berbasis di Tarakan, yang

diterbitkan pada Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia (JPPI) volume 20 No.1

Maret 2014.