Karakterisasi Benih dan Perkecambahan Aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr) serta Respon Pertumbuhan Bibit terhadap Intensitas Naungan

KARAKTERISASI BENIH DAN PERKECAMBAHAN AREN
(Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.) SERTA RESPON
PERTUMBUHAN BIBIT TERHADAP INTENSITAS NAUNGAN

HAFITH FURQONI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakterisasi Benih dan
Perkecambahan Aren (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.) serta Respon
Pertumbuhan Bibit terhadap Intensitas Naungan adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Hafith Furqoni
NIM A252120361

RINGKASAN
HAFITH FURQONI. Karakterisasi Benih dan Perkecambahan Aren (Arenga
pinnata (Wurmb.) Merr.) serta Respon Pertumbuhan Bibit terhadap Intensitas
Naungan. Dibimbing oleh AHMAD JUNAEDI dan ADE WACHJAR.
Tanaman aren (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.) dikelompokkan ke dalam
tanaman multi guna (multiple purpose trees). Tanaman aren merupakan tanaman
paling luas yang bisa dimanfaatkan seluruh bagiannya dibandingkan dengan
spesies palem lainnya. Potensi dari tanaman aren sangat tinggi dalam pemenuhan
kebutuhan diversifikasi pangan terutama karbohidrat, sumber gula, sampai
pemanfaatan sebagai bio-etanol. Pada kondisi lingkungan alami, aren
membutuhkan naungan untuk tumbuh dengan baik. Selain itu banyak terdapat
aksesi aren unggul lokal di setiap daerah Indonesia tetapi informasi mengenai
deskripsi agronomis aksesi aren lokal belum ada. Penelitian terdiri atas 2
percobaan. Tujuan percobaan pertama adalah mempelajari karakter morfologi
beberapa aren unggul lokal selama perkecambahan, sedangkan tujuan percobaan

ke dua adalah menguji pengaruh perbedaan naungan terhadap pertumbuhan bibit
aren di pembibitan.
Percobaan 1 menggunakan 5 aksesi (Pematang Siantar, Bengkulu Lebong,
Bengkulu Curup, Banten, dan Cianjur) dan 1 varietas (Kutai Timur) aren.
Percobaan menggunakan metode deskriptif dengan mengamati karakteristik
morfologi perkecambahan benih. Setiap aksesi dan varietas aren menggunakan 20
benih yang dikecambahkan di dalam polybag dan diulang sebanyak 5 kali
sehingga terdapat 100 benih yang digunakan. Benih diamati sampai 90 Hari
Setelah Semai (HSS) sampai munculnya apokol, plumula, dan radikula.
Pengamatan panjang apokol, panjang radikula, dan panjang plumula diukur
menggunakan 10 benih dari masing-masing aksesi dan varietas yang digunakan
dan disemai terpisah.
Percobaan 2 menggunakan bahan tanam aren varietas Kutai Timur dengan
umur ± 5 bulan (2-3 helai daun). Percobaan menggunakan rancangan acak
kelompok satu faktor dengan tiga ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah
intensitas naungan dengan taraf 0, 32, 56, dan 64% menggunakan paranet. Setiap
satuan percobaan terdapat 15 tanaman dan diambil 5 tanaman contoh serta satu
tanaman contoh lainnya untuk setiap pengamatan destruktif setiap 8 minggu
sampai 40 MSP.
Hasil percobaan 1 menunjukkan bahwa aksesi Pematang Siantar,

Bengkulu Lebong, Bengkulu Curup, Banten, Cianjur, dan varietas Kutai Timur
memiliki kisaran bobot buah 37.2–66.2 g, bobot benih 3.7–6.3 g, panjang benih
23.3–31.8 mm, diameter benih 17.6–20.7 mm, bobot basah benih 16.0–29.3 g,
bobot kering benih 13.4–21.8 g, Potensi Tumbuh Maksimum (PTM) 66–100%,
Daya Berkecambah (DB) 44–98%, kadar air benih 22–36%, rata–rata panjang
apokol 9.6–14.0 cm (90 HSS), panjang radikula 17.6–27.2 cm (90 HSS), dan
panjang plumula 8.3–19.2 cm (90 HSS). Perkecambahan benih aren dimulai
dengan pembentukan apokol yang berguna sebagai jalur pergerakan embrio
sebelum berkecambah.
Hasil percobaan 2 menunjukkan bahwa pertumbuhan bibit aren
dipengaruhi oleh tingkat naungan yang berbeda selama pembibitan. Pemberian

tingkat intensitas naungan 32, 56, dan 64% dapat meningkatkan peubah tinggi
tanaman sebesar 69.2%, diameter batang sebesar 22.3%, panjang pangkal pelepah
ke-6 dan ke-7 berturut-turut sebesar 48.4 dan 71.8%, panjang pelepah daun ke-7
sebesar 58.1%, nilai SPAD sebesar 28.7%, bobot biomassa total sebesar 106.4%,
dan laju tumbuh relatif sebesar 28.6% dibandingkan dengan tanaman yang tidak
dinaungi. Pemberian naungan 56 dan 64% dapat meningkatkan peubah panjang
pelepah daun ke-6 sebesar 51.1%, luas daun sebesar 139.1%, kandungan klorofil
a, klorofil b, dan klorofil total berturut-turut sebesar 74.9, 77,8, dan 75.7%

dibandingkan dengan bibit aren yang tidak dinaungi tetapi tidak berbeda dengan
perlakuan intensitas naungan 32%. Pemberian naungan 56% dapat meningkatkan
peubah bobot basah, bobot kering, dan volume akar berturut-turut sebesar 125.5,
101.7, dan 118.3% dibandingkan dengan bibit aren yang tidak dinaungi tetapi
tidak berbeda dengan perlakuan intensitas naungan 32 dan 64%.
Kata kunci: aksesi aren, intensitas naungan, karakterisasi kecambah

SUMMARY
HAFITH FURQONI. Seed and Germination Characterization of Sugar Palm
(Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.) and Growth Responses of Seedlings Under
Shading Intensities. Supervised by AHMAD JUNAEDI and ADE WACHJAR.
Sugar palm (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.) is grouped into a multiple
purpose trees (MPT). Besides yielding sugar, it provides a great number of other
products and benefits for its users, and it is one of the most diversified
multipurpose tree species in culture. The potenty of the sugar palm is very high in
meeting the diversified needs of food, especially as a carbohydrate source, sugar
source, and its utilization as a bio-ethanol source. In the natural environment,
sugar palm requires shade to grow well. In addition, there are many local sugar
palm accessions in every area of Indonesia, but there is no information regarding
the description of the local sugar palm accession agronomically. The study was

divided into two experiments. The aim of the first experiment was to study the
agronomic traits some local sugar palm during germination and the aim of the
second experiment was to examine the effect of different shading intensities on
the growth of sugar palm seedlings in the nursery.
The first experiment used 5 accessions (Pematang Siantar, Bengkulu
Lebong, Bengkulu Curup, Banten, and Cianjur) and 1 variety (Kutai Timur) of
sugar palm. The experiment used descriptive method to observe the
morphological characteristics of seed germination. Each accession and variety of
sugar palm used 20 seeds germinated in the polybag and repeated 5 times so there
are 100 seeds were used. Seeds were observed until 90 days after sowing (DAS)
until the emergence of hypocotyl, plumule, and radicle. Observations of hypocotyl
length, radicle length, and plumule length were measured using 10 seeds of each
accession and variety and sowing separately.
The second experiment used five-month (2-3 leaves) years old of sugar
palm seedlings of Kutai Timur (dwarf sugar palm) variety. The experiment was
designed as a randomized block design with three replications. Shading nets for
reducing the light intensity by 0, 32, 56, and 64% were set up over the block
before planting. In each replication, 15 sugar palm seedlings were arranged and
placed at 50 cm x 50 cm spacing and there were 180 seedlings in total. From each
experimental unit was taken 5 sample seedlings to be observed and destructive

observation took apart the sample seedlings every 8 weeks up to 40 weeks after
treatment.
The first experiment results showed that the accession of Pematang Siantar,
Bengkulu Lebong, Bengkulu Curup, Banten, Cianjur, and variety of Kutai Timur
has range of fruit weight 37.2-66.2 g, range of seed weight 3.7–6.3 g, range of
seed length 23.3–31.8 mm, range of seed diameter 17.6–20.7 mm, range of seed
fresh weight 16.0–29.3 g, range of seed dry weight 13.4–21.8 g, range of potential
growth 66–100%, range of germination percentage 44–98%, range of seed water
content 22–36%, range of hypocotyl length 9.6–14.0 cm (90 DAS), range of
radicle length 17.6–27.2 cm (90 DAS), and range of plumule length 8.3–19.2 cm
(90 DAS). Sugar palm seeds germination begins with the formation of hypocotyl
as track the movement of the embryo prior to germination.

The second experiment results showed that the growth of sugar palm
seedlings was affected by different shading levels during nursery stage. Sugar
palm seedlings grown under 32, 56, and 64% of shading intensities showed
increasing of plant height (69.2%), stem diameter (22.3%), 6 th and 7th petiole
length of 48.4 and 71.8% respectively, 7th rachis length (58.1%), SPAD value
(28.7%), total biomassa (106.4%), and relative growth rate (28.6%) than those
grown without shading. Sugar palm seedlings grown under 56 and 64% of

shading intensities showed increasing of 6th rachis length (51.1%), leaf area
(139.1%), content of chlorophyll a, b and total of 74.9, 77.8, and 75.7%
respectively than those grown without shading but not significantly different with
32% shading intensity. Sugar palm seedlings grown under 56% of shading
intensity showed increasing of root fresh and dry weight, and root volume of
125.5, 101.7, and 118.3% respectively than those grown without shading but not
significantly different with 32 and 64% shading intensities.
Keywords: germination characterization, shading intensity, sugar palm accession

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KARAKTERISASI BENIH DAN PERKECAMBAHAN AREN

(Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.) SERTA RESPON
PERTUMBUHAN BIBIT TERHADAP INTENSITAS NAUNGAN

HAFITH FURQONI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Sudradjat, MS

Judul Tesis : Karakterisasi Benih dan Perkecambahan Aren (Arenga pinnata
(Wurmb.) Merr.) serta Respon Pertumbuhan Bibit terhadap

Intensitas Naungan
Nama
: Hafith Furqoni
NIM
: A252120361

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Ahmad Junaedi, MSi
Ketua

Dr Ir Ade Wachjar, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Agronomi dan Hortikultura


Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Maya Melati, MS, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 23 Juli 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian yang dipilih dan dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 hingga Juni 2014
ialah Karakterisasi Benih dan Perkecambahan Aren (Arenga pinnata (Wurmb.)
Merr.) serta Respon Pertumbuhan Bibit terhadap Intensitas Naungan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada
1. Dr Ir Ahmad Junaedi, MSi selaku ketua komisi pembimbing yang telah
membimbing mulai dari awal penyusunan proposal penelitian hingga
penulisan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas masukan dan

sumbangan ide-idenya dalam penelitian.
2. Dr Ir Ade Wachjar, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah
membimbing mulai dari awal penyusunan proposal penelitian hingga
penulisan tesis ini.
3. Dr Ir Sudradjat, MS selaku penguji luar komisi pembimbing yang telah
memberikan masukan dan koreksian dalam perbaikan tesis ini.
4. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas bantuan dana penelitian yang
dibiayai melalui Skema BOPTN, IPB tahun 2013.
5. Orang tua yang selalu memberikan dukungan penuh terhadap penulis untuk
mencari ilmu setinggi-tingginya.
6. Teman-teman seperjuangan di Mayor Agronomi dan Hortikultura angkatan
20l2 yang telah membantu selama proses penelitian, pengolahan data,
maupun semangat yang diberikan terhadap penulis.
Sebagian naskah dalam tesis ini pernah penulis seminarkan di The 9th
International Student Conference at Ibaraki University (ISCIU9) yang
diselenggarakan oleh College of Agriculture, Ibaraki University, Japan pada 24
November - 1 Desember 2013. Selain itu, sebagian penelitian juga telah
dimasukkan ke jurnal internasional Japanese Journal of Tropical Agriculture.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Hafith Furqoni

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis

1
1
2
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Aren
Pusat Asal dan Syarat Iklim dan Tanah
Pengaruh Naungan pada Tanaman
Status Penelitian Aren

3
3
4
4
5

KARAKTERISASI BENIH DAN PERKECAMBAHAN BERBAGAI AKSESI
DAN VARIETAS AREN (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.)
7
Pendahuluan
8
Metode Penelitian
8
Hasil dan Pembahasan
10
Kesimpulan dan Saran
20
RESPON PERTUMBUHAN BIBIT AREN (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.)
TERHADAP INTENSITAS NAUNGAN YANG BERBEDA
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Kesimpulan dan Saran

21
22
22
25
37

DAFTAR PUSTAKA

38

LAMPIRAN

41

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Rata-rata bobot buah dan bobot benih berbagai aksesi dan varietas aren
lokal di Indonesia
Rata-rata panjang dan diameter benih berbagai aksesi dan varietas aren
lokal di Indonesia
Rata-rata bobot basah dan bobot kering benih berbagai aksesi dan
varietas aren lokal di Indonesia
Rata-rata Potensi Tumbuh Maksimum (PTM) dan Daya Berkecambah
(DB) benih berbagai aksesi dan varietas aren lokal di Indonesia
Rata-rata panjang apokol benih berbagai aksesi dan varietas aren lokal
di Indonesia
Rata-rata panjang radikula berbagai aksesi dan varietas aren lokal di
Indonesia
Rata-rata tinggi tanaman bibit aren pada intensitas naungan yang
berbeda sampai 40 MSP
Rata-rata diameter batang bibit aren pada intensitas naungan yang
berbeda sampai 40 MSP
Rata-rata jumlah daun bibit aren pada intensitas naungan yang berbeda
sampai 40 MSP
Panjang pangkal pelepah dan pelepah daun bibit aren pada intensitas
naungan yang berbeda pada 40 MSP
Rata-rata luas daun bibit aren pada intensitas naungan yang berbeda
sampai 40 MSP
Rata-rata kandungan klorofil a dan b, klorofil total, nisbah klorofil b/a
bibit aren pada intensitas naungan yang berbeda sampai 40 MSP
Rata-rata nilai SPAD bibit aren pada intensitas naungan yang berbeda
sampai 40 MSP
Ketebalan daun dan kerapatan stomata pada daun yang berbeda pada
bibit aren dengan intensitas naungan yang berbeda pada 40 MSP
Rata-rata bobot basah dan bobot kering akar bibit aren pada intensitas
naungan yang berbeda sampai 40 MSP
Rata-rata volume akar, panjang akar, dan jumlah akar primer bibit aren
pada intensitas naungan yang berbeda sampai 40 MSP

13
14
14
15
16
18
26
27
28
29
29
31
32
32
34
35

DAFTAR GAMBAR
1

2

Ciri-ciri morfologi benih aren sebelum dan sesudah perkecambahan. (a)
Posisi embrio pada benih aren berada pada sisi kiri atau kanan
punggung benih, (b) Jaringan yang menyerupai cincin yang tumbuh
pada bagian yang diskarifikasi, (c) Apokol yang merupakan jaringan
memanjang seperti tabung.
Perkembangan apokol mulai dari pemanjangan sampai berkecambah.
(a) Apokol yang mengalami pembesaran pada bagian bawah, (b) Calon

11

akar yang tumbuh pada bagian bawah apokol, (c) Plumula yang tumbuh
dari bagian apokol yang telah pecah.
3 Penampang melintang 4 aksesi dan 1 varietas buah aren di Indonesia
4 Kecambah normal dari tiap aksesi dan varietas aren di Indonesia pada
90 HSS. (A) Aksesi Pematang Siantar, (B) Aksesi Bengkulu Curup, (C)
Aksesi Bengkulu Lebong, (D) Aksesi Banten, (E) Aksesi Cianjur, dan
(F) Varietas Kutai Timur.
5 Potongan melintang apokol di bawah mikroskop
6 Penampang membujur apokol bagian bawah. (A) Apokol bagian bawah
yang dipotong melintang, terdapat tabung kecil memanjang dan
menempel pada bagian bawah apokol dan merupakan tempat embrio,
(B) Tabung kecil tempat embrio, (C) Posisi embrio di dalam tabung
kecil, (D) Penampang membujur apokol yang belum membesar bagian
bawah dan embrio belum terbentuk, (E) dan (F) Embrio aren yang
berada pada tabung kecil pada bagian bawah apokol.
7 Respon tinggi tanaman terhadap tingkat naungan yang berbeda pada 40
MSP. P0 = intensitas naungan 0%, P1 = intensitas naungan 32%, P3 =
intensitas naungan 56%, dan P3 = intensitas naungan 64%
8 Irisan melintang daun aren menunjukkan tidak ada perbedaan jumlah
lapisan jaringan palisade dan bunga karang daun. (A) perlakuan tanpa
naungan, (B) perlakuan intensitas naungan 32%, (C) perlakuan
intensitas naungan 56%, dan (D) perlakuan intensitas naungan 64%
pada 40 MSP.
9 Anatomi daun aren tersusun atas 1-2 lapis jaringan palisade dan 1 lapis
jaringan bunga karang.
10 Bobot biomassa total bibit aren pada 8-40 minggu setelah perlakuan
11 Laju tumbuh relatif bibit aren pada 8-40 minggu setelah tanam

12
12

17
18

19

27

33
33
36
36

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Deskripsi karakter morfologi lima aksesi dan satu varietas aren di
Indonesia
Deskripsi varietas aren Kutai Timur
RIWAYAT HIDUP

1
1
44

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman aren (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.) dikelompokkan ke dalam
tanaman multi guna (multiple purpose trees). Tanaman ini tumbuh baik di daerah
basah terutama di wilayah tropis Asia (Mogea et al. 1991). Aren merupakan
tanaman asli Asia Tenggara dan dapat ditemui di hutan hujan tropis maupun hutan
kering (Orwa et al. 2009). Biasanya tanaman ini tumbuh di dekat pemukiman
warga dimana perbanyakan utama digolongkan ke dalam antropokorik dan
zookorik. Antropokorik yaitu penyebaran benih tanaman karena adanya aktivitas
manusia sebagai media penyebarannya, sedangkan zookorik yaitu penyebaran
benih tanaman karena adanya aktivitas hewan sebagai media penyebarannya.
Sebaliknya aren dapat tumbuh dengan baik di perbatasan antara hutan sekunder
dan hutan hujan tropis primer mulai dari dataran rendah sampai ketinggian
mencapai 1 400 m diatas permukaan laut (dpl). Selain itu, tanaman aren dianggap
merupakan tanaman yang paling luas yang bisa dimanfaatkan seluruh bagiannya
dibandingkan dengan spesies palem lainnya (Mogea et al. 1991).
Secara geografis, aren merupakan tanaman asli di wilayah kepulauan
Indo-Malaya, dengan pusat penyebaran di Indonesia. Tanaman aren dapat ditemui
di semua wilayah tropis Asia Selatan dan Asia Tenggara, mulai 75 oBT di India
dan Sri Lanka sampai 145 oBT di Guam dan Papua Nugini, dan membujur dari 25
o
LU di Myanmar sampai 10 oLS di Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Kegunaan
yang sangat beragam menjadikan aren sebagai tanaman tertua yang telah
dibudidayakan dan kemungkinan merupakan tanaman sumber gula sebelum
dibudidayakannya tebu (Mogea et al. 1991).
Pertumbuhan aren sampai siap panen membutuhkan waktu yang cukup
lama. Perkecambahan benih aren membutuhkan waktu sekitar 4 sampai 20 bulan
bergantung pada sumber benihnya (Chantaraboon et al. 2010). Selama 3 tahun
pertama, pertumbuhan bibit sangat lambat dan membutuhkan waktu 10 sampai 12
tahun dari bibit untuk memasuki tahap berbuah. Menurut Harada et al. (2005),
bunga aren akan muncul dari bagian paling atas tanaman dan selanjutnya bunga
muda akan muncul mengikuti pada bagian bawahnya. Sekitar 6 sampai 8 bunga
pada bagian atas merupakan bunga betina yang akan menghasilkan buah. Buah
akan matang setelah 3 sampai 5 tahun setelah keluarnya bunga (Florido dan Mesa
2003). Selanjutnya bagian bawah dari bunga betina akan muncul bunga jantan
yang akan disadap dan diambil niranya (Mogea et al. 1991; Harada et al. 2005;
Orwa et al. 2009).
Aren bisa dimanfaatkan bagian niranya sebagai sumber pembuatan gula
merah dan bio-etanol (Florido dan Mesa 2003; Harada et al. 2005). Selain itu
hampir seluruh bagian lain dari tanaman aren dapat dimanfaatkan. Buah muda
dari bunga betina biasa digunakan untuk kolang-kaling, daun digunakan untuk
sapu lidi, bagian batang bisa diambil patinya sebagai sumber tepung, bagian luar
kayu digunakan sebagai bahan furnitur, dan ijuk biasa digunakan untuk atap
rumah tradisional maupun sapu (Mogea et al. 1991; Florido dan Mesa 2003;
Harada et al. 2005; Widodo et al. 2009).

2
Saat ini pengembangan budidaya aren secara intensif belum ada padahal
potensi dari tanaman aren sangat tinggi dalam pemenuhan kebutuhan diversifikasi
pangan terutama karbohidrat, sumber gula, sampai pemanfaatan sebagai bioetanol. Aren yang telah dibudidayakan juga mengalami permasalahan pada fase
pembibitan dan pemindahan ke lapangan. Pada kondisi lingkungan alami, aren
membutuhkan naungan untuk tumbuh dengan baik. Akan tetapi penelitianpenelitian mengenai pengaruh naungan pada fase pembibitan belum dilakukan.
Dengan demikian perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui perbedaan
naungan pada bibit aren.
Pengaturan tingkat naungan diperlukan untuk mengatur intensitas cahaya
sesuai dengan kebutuhan bibit. Kebutuhan cahaya setiap spesies akan berbeda.
Pada jenis tanaman yang membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi, intensitas
naungan yang terlalu tinggi akan menyebabkan terjadinya etiolasi, sedangkan
intensitas naungan yang rendah akan menyebabkan kurangnya perlindungan
tanaman (bibit) dari sinar matahari langsung, curah hujan yang tinggi, angin serta
fluktuasi suhu yang ekstrim (Siahaan et al. 2007).
Selain itu, banyak terdapat aksesi aren unggul lokal di setiap daerah
Indonesia tetapi informasi mengenai deskripsi agronomis aksesi aren lokal belum
ada. Karakterisasi ini dapat berguna sebagai informasi deskripsi aren unggul lokal
dan bisa dijadikan acuan untuk pengembangan varietas aren unggul.

Perumusan Masalah
Aren saat ini tumbuh di lahan secara alamiah. Umumnya perbanyakan dan
penyebaran aren dilakukan dengan bantuan musang dengan mengkonsumsi buah
yang matang. Potensi aren yang baik secara ekonomi maupun ekologi telah
mengantarkan kepada kebutuhan untuk melakukan budidaya aren, mulai dari
penyediaan bibit, penanaman hingga pemeliharaan. Dalam teknologi budidaya
aren ini, masih banyak hal secara ilmiah yang masih belum diketahui sehingga
memerlukan penelitian dalam rangka memperoleh teknologi budidaya anjuran
sebagai Good Agricultural Practices (GAP).
Indonesia sebagai salah satu habitat asal dari tanaman aren memiliki
penyebaran aren yang meluas meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia. Aksesi
aren dari berbagai wilayah ini belum dideskripsikan secara morfologis bagi
kepentingan identifikasi genotipe, yang lebih lanjut dapat dikategorisasi sebagai
varietas. Informasi karakteristik berbagai aksesi ini sejak perkecambahan
diperlukan bagi pertimbangan pemilihan jenis (ekotipe) yang sesuai dengan
karakteristik lingkungan tumbuh dan kebutuhan atau tujuan penanaman. Selain
itu, informasi karakter tiap aksesi dapat digunakan untuk perakitan varietas
unggul.
Dalam usaha budidaya tanaman, ketersediaan bibit tanaman bermutu
sangat mutlak diperlukan sebagai komponen penting asupan sarana produksi
pertanian. Ketersediaan bibit aren bermutu dapat dipenuhi melalui teknologi
pembibitan yang baik. Namun demikian, saat ini belum terdapat teknologi standar
atau rekomendasi bagi pembibitan aren. Salah satu kebutuhan penting dalam
pembibitan aren adalah mengetahui tingkat intensitas cahaya yang optimum untuk
menunjang pertumbuhan bibit yang baik. Hal ini didasari atas kenyataan secara

3
empirik bahwa aren umumnya tumbuh pada lahan dengan penaungan alami
dengan vegetasi di sekitarnya.
Saat ini, informasi ilmiah mengenai aren dalam berbagai media publikasi
masih dirasakan minim. Hal ini kemungkinan terkait dengan statusnya sebagai
tanaman minor (orphan crop) yang memang kenyataannya belum dilakukan usaha
budidaya. Dengan demikian, informasi ilmiah dari hasil penelitian ini akan sangat
berpotensi untuk dipublikasikan dalam media ilmiah (khususnya melalui jurnal)
yang kiranya akan sangat berarti bagi sumbangan khasanah pengetahuan
mengenai aren.

Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian bertujuan untuk mendapatkan informasi
pendeskripsian agronomis aksesi aren, serta informasi dasar mengenai kebutuhan
intensitas cahaya matahari yang diatur melalui penaungan pada fase pembibitan.
Secara khusus tujuan pada percobaan pertama adalah mempelajari karakter
agronomi beberapa aren unggul lokal selama perkecambahan, sedangkan tujuan
percobaan kedua adalah menguji pengaruh perbedaan intensitas naungan terhadap
pertumbuhan bibit aren di pembibitan.

Hipotesis
1. Setiap aksesi aren memiliki karakter agronomi yang berbeda.
2. Tingkat intensitas naungan yang berbeda berpengaruh terhadap pertumbuhan
bibit aren.

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Aren
Tanaman aren digolongkan ke dalam tanaman palem yang besar dengan
batang tunggal dan tidak bercabang. Akar mampu tumbuh sampai kedalaman 10
m. Tinggi tanaman bisa mencapai 15 sampai 20 m dengan diameter batang
berkisar 30 sampai 40 cm saat dewasa (Mogea et al. 1991; Florido dan Mesa
2003; Orwa et al. 2009). Bentuk daun menyirip ke atas dan memiliki panjang
sampai 8.5 m. Warna daun hijau tua pada bagian atas dan berwarna keputihan
pada bagian bawahnya sehingga memberikan penampilan pohon hijau kotor
(Mogea et al. 1991; Orwa et al. 2009). Bagian batang diselimuti oleh selubung
daun yang berwarna hitam yang disebut ijuk. Selubung daun muda biasanya
menutupi bagian batang bawah dengan bentuk yang masih lembut hampir seperti
rambut putih (Orwa et al. 2009). Selama 3 sampai 5 tahun setelah berkecambah,
tanaman aren akan membentuk daun rosette tetapi belum terdapat batang
(Elberson dan Oyen 2010).
Bunga tersusun dalam kelompok besar, panjang mencapai 2 m dengan
bunga jantan dan bunga betina terpisah (Elberson dan Oyen 2010). Ciri khas dari

4
tanaman aren yaitu bunga muncul pertama kali pada bagian atas lalu diikuti bunga
selanjutnya pada bagian bawahnya. Biasanya 6 sampai 8 bunga pada bagian atas
merupakan bunga betina dan bunga lain pada bagian bawahnya adalah bunga
jantan (Mogea et al. 1991). Panjang bunga jantan sekitar 1 m, berwarna ungu dan
memiliki bau yang tidak sedap. Sedangkan kelompok bunga betina lebih panjang
dibandingkan dengan bunga jantan dan akan mencapai tingkat kematangan buah
yang sangat lambat dan buah berubah menjadi mengkilap, coklat, berukuran
seperti buah plum. Buah aren akan matang setelah 3 sampai 5 tahun. Setiap bunga
baru akan muncul pada bagian aksis daun (Florido dan Mesa 2003). Panjang buah
berkisar antara 5 sampai 8 cm dan terdapat 2 sampai 3 biji yang keras berwarna
hitam. Perkecambahan biji tanaman aren sulit untuk diprediksikan secara alami
dan mampu berkecambah antara 1 bulan sampai lebih dari 1 tahun (Elberson dan
Oyen 2010).

Pusat Asal dan Syarat Iklim dan Tanah
Tanama aren tumbuh secara alami di wilayah basah Asia Tenggara,
tersebar meluas mulai dari India, Indonesia (Jawa, Sumatra, dan Irian Jaya),
Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Myanmar, Thailand, Vietnam dan sampai ke
utara ke kepulauan Ryukyu (Elberson dan Oyen 2010). Tanaman aren tersebar
antara 75 oBT sampai 145 oBT dan 25 oLU sampai 10 oLS (Mogea et al. 1991).
Tanaman aren dapat tumbuh baik di hutan primer maupun sekunder, sering
berdekatan dengan pemukiman warga. Seringkali tanaman ini ditemui tumbuh di
bantaran sepanjang sungai (Florido dan Mesa 2003).
Meskipun tanaman aren dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang subur,
tanaman ini juga mampu tumbuh pada tanah yang berbeda mulai dari tanah liat
sampai pasir berlempung dan tanah laterit, dengan syarat tanpa adanya
penggenangan yang intensif. Tanaman aren sering dijumpai pada tanah subur pada
lereng dan hutan sekunder. Pentingnya suhu tinggi menunjukkan pertumbuhan
yang lambat pada dataran yang lebih tinggi. Pada ketinggian permukaan laut,
pembungaan akan mulai setelah 5 sampai 7 tahun dan pada ketinggian 900 m akan
berbunga setelah 10 sampai 12 tahun setelah berkecambah. Meskipun tanaman
aren tumbuh baik di sekitar ekuator, tetapi dapat dijumpai pada lintang yang lebih
tinggi (sampai 30o lintang) yang dicirikan dengan intensitas musim kering yang
lebih panjang (Elberson dan Oyen 2010).

Pengaruh Naungan pada Tanaman
Intensitas cahaya adalah jumlah sinar matahari yang sampai pada
permukaan tanaman, biasanya satuan yang digunakan adalah persentase.
Sedangkan naungan bertolak belakang dengan intensitas cahaya, bila intensitas
naungan semakin tinggi maka intensitas cahaya akan semakin rendah.
Cahaya sangat diperlukan oleh tanaman terutama tanaman yang memiliki
zat hijau daun (klorofil). Tanpa cahaya, tanaman tidak akan melakukan proses
fotosintesis pada daun yang selanjutnya menghasilkan energi yang digunakan
tanaman untuk tumbuh. Ada jenis tanaman yang memerlukan cahaya penuh (C4),

5
tetapi ada juga yang memerlukan cahaya secara terbatas atau sesuai dengan fase
pertumbuhannya (C3).
Informasi penelitian mengenai naungan pada tanaman aren belum ada saat
ini. Beberapa penelitian mengenai pengaruh naungan terhadap pertumbuhan
tanaman telah dilakukan pada beberapa tanaman kehutanan. Gatti et al. (2011)
melaporkan bahwa naungan 70% memberikan respon pertumbuhan dan
perkembangan yang terbaik pada tanaman Euterpe edulis. Pertumbuhan bibit
terbaik juga ditunjukkan tanaman Fraxinus excelsior L., Fagus sylvatica L.,
Quercus robur L., dan Acer pseudoplatanus L. pada intensitas naungan 60%
sampai 80% (Harmer 1999).
Cardilo dan Bernal (2006) juga melakukan
penelitian pada tanaman Quercus suber L. tentang respon morfologi dan
pertumbuhan bibit pada naungan yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tanaman mampu bertahan pada tingkat intensitas cahaya 20% untuk laju
pertumbuhan relatif tetapi intensitas cahaya di bawah 50% menghasilkan
akumulasi biomasa akar yang rendah dan tanaman yang mendapatkan intensitas
cahaya di bawah 5% menunjukkan gejala etiolasi dan laju asimilasi netto yang
hampir tidak ada. Singhakumara et al. (2003) menyebutkan bahwa tinggi bibit,
diameter akar, dan bobot kering empat spesies Syzygium meningkat signifikan
pada naungan yang lebih terang pada perlakuan yang menerima intensitas cahaya
50%, 54%, dan 100%. Penelitian lain juga dilakukan oleh Saldana-Acosta et al.
(2009) yang menyatakan bahwa pertumbuhan bibit terbaik terjadi pada tingkat
naungan tertinggi (55 sampai 60%) pada tanaman kehutanan (Citharexylum,
Dendropanax, Fraxinus, Quercus, Magnolia, dan Juglans). Page dan Awarau
(2012) menyebutkan bahwa bibit Aquilaria crassna pada perlakuan naungan 50%
secara signifikan memberikan respon tinggi tanaman terbaik dibandingkan
tanaman yang terkena sinar matahari penuh selama 60 minggu tetapi tidak
berbeda secara signifikan pada rata-rata diameter batang.

Status Penelitian Aren
Eksplorasi tanaman aren telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Mogea et
al. (1991) melakukan penelitian tentang penyebaran aren secara geografis dan
kegunaan dari tanaman tersebut. Selain itu penelitian juga mengambil studi kasus
beberapa lokasi di Indonesia untuk mengetahui kegunaan dan penyebaran aren di
setiap daerah yang berbeda. Mogea et al. (1991) mengambil empat lokasi sebagai
contoh yaitu Kutai Kalimantan Timur, Sumatra Utara, Jawa Barat, dan Sulawesi
Utara. Keragaman, konservasi dan kearifan lokal dari tanaman aren di Taman
Nasional Gunung Halimun juga telah diteliti (Harada et al. 2005). Hasil eksplorasi
menunjukkan bahwa tanaman aren dianggap sangat penting bagi warga lokal
dalam menunjang kehidupan sehari-hari. Karena itu masyarakat yang tinggal di
wilayah tersebut sangat membutuhkan bantuan untuk mengembangkan tanaman
yang berkelanjutan, sehingga ekosistem hutan tidak rusak.
Pongsattayapipat dan Barfod (2005) melakukan identifikasi terhadap aren
lokal Thailand. Hasil eksplorasi menunjukkan terdapat tiga spesies Arenga yang
hampir memiliki karakteristik yang sama. Ketiga spesies tersebut adalah A.
obtusifolia, A. westerhoutii, dan A. pinnata. Identifikasi yang dilakukan meliputi
karakter vegetatif dan reproduktif yaitu perilaku dan morfologi daun, fenologi,

6
waktu pembungaan, bentuk bunga, dan buah. Sehingga taksonomi yang benar
memungkinkan untuk menghasilkan pemetaan yang tepat dari rentang penyebaran
tanaman aren yang penting untuk sumber manajemen dan usaha konservasi ke
depan. Pongsattayapipat dan Barfod (2009) juga telah melakukan kajian untuk
memperjelas status ekonomi-botani dari tanaman aren di Thailand. Penelitian
lebih ditujukan untuk mengetahui penggunaan tanaman aren di daerah yang
berbeda, penghasilan yang didapat dari pemanfaatan tanaman aren, nilai tambah
produsen, eksploitasi tanaman untuk kegunaan lain, dan umur tanaman saat
mengeluarkan bunga.
Penelitian-penelitian tentang teknik budidaya aren mulai dari pembibitan
sampai penanaman di lapangan belum banyak dilakukan. Beberapa penelitian
mengenai pematahan dormansi benih untuk meningkatkan daya berkecambah dan
penyeragaman waktu berkecambah telah dilakukan (Rofik dan Muniarti 2008;
Widiyawati et al. 2009; Chantaraboon et al. 2009, 2010). Menurut Rofik dan
Muniarti (2008) metode skarifikasi tepat pada posisi embrio (deoperkulasi)
merupakan teknologi sederhana yang paling efektif untuk mematahkan dormansi
benih aren. Media tanam yang digunakan sebagai media penyemaian dapat
menggunakan alternatif antara media pasir, kokopit, dan arang sekam.
Chantaraboon et al. (2009, 2010) telah melakukan penelitian mengenai
perbedaan umur masak buah terhadap daya berkecambah, waktu yang tepat untuk
memisahkan bibit dari indukan untuk ditanam ke persemaian dan pengaruh
pemupukan selama pembibitan. Penelitian menggunakan tanaman spesies Arenga
westerhoutii. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa benih aren yang telah
berumur 36 bulan dengan pelukaan pada kedua sisi memberikan hasil tertinggi
terhadap perkecambahan benih. Selain itu waktu yang tepat untuk memisahkan
bibit dan menanamnya ke persemaian adalah ketika bibit memiliki satu daun dan
daun dipotong 2/3 bagian. Metode ini dianggap mampu mengurangi evaporasi dan
membantu pertumbuhan akar. Chantaraboon et al. (2009) menyatakan bahwa
pemupukan tidak memberikan respon yang berbeda terhadap kontrol pada
tanaman berumur 1 sampai 3 tahun namun berbeda dengan penelitian
Chantaraboon et al. (2010) yang menyatakan bahwa pemupukan memberikan
respon yang nyata dibandingkan dengan kontrol yang tanpa menggunakan pupuk.

7
KARAKTERISASI BENIH DAN PERKECAMBAHAN BERBAGAI
AKSESI DAN VARIETAS AREN (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.)
(Seed and Germination Characterization of Sugar Palm (Arenga pinnata
(Wurmb.) Merr.) Accession and Variety)
Abstrak
Karakterisasi aksesi aren lokal belum tersedia saat ini. Informasi
karakterisasi ini akan berguna dalam pengembangan varietas unggul aren di
Indonesia. Tujuan penelitian adalah mempelajari karakter morfologi beberapa aren
unggul lokal mulai dari buah, benih hingga perkecambahan. Percobaan
menggunakan metode deskriptif dengan mengamati karakteristik morfologi
perkecambahan benih. Setiap aksesi dan varietas aren menggunakan 20 benih yang
dikecambahkan di dalam polybag dan diulang sebanyak 5 kali. Pengamatan
dilakukan sampai 90 Hari Setelah Semai (HSS). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa aksesi aren Pematang Siantar, Bengkulu Lebong, Bengkulu Curup, Banten,
Cianjur, dan varietas Kutai Timur memiliki kisaran bobot buah 37.2-66.2 g, bobot
benih 3.7-6.3 g, panjang benih 23.3-31.8 mm, diameter benih 17.6-20.7 mm, bobot
basah benih 16.0-29.3 g, bobot kering benih 13.4-21.8 g, Potensi Tumbuh
Maksimum (PTM) 66-100%, Daya Berkecambah (DB) 44-98%, kadar air benih
22-36%, panjang apokol 9.6-14.0 cm (90 HSS), panjang radikula 17.6-27.2 cm (90
HSS), dan panjang plumula 8.3-19.2 cm (90 HSS).
Kata kunci: aksesi aren, karakterisasi benih, perkecambahan

Abstract
Characterization of local sugar palm accessions are not currently
available. This characterization information will be useful in the development of
high yielding varieties of sugar palm in Indonesia. The aims of this research was
to study the morphology characters of sugar palm ranging from fruits, seeds until
germination. The experiment used descriptive method to observe the
morphological characteristics of seed germination. Each accession and variety
used 20 of sugar palm seeds germinated in the polybag and repeated 5 times.
Observations were carried out up to 90 days after sowing (DAS). The results
showed that the accession of Pematang Siantar, Bengkulu Lebong, Bengkulu
Curup, Banten, Cianjur, and variety of Kutai Timur has range of fruit weight 37.266.2 g, range of seed weight 3.7-6.3 g, range of seed length 23.3-31.8 mm, range
of seed diameter 17.6-20.7 mm, range of seed fresh weight 16.0-29.3 g, range of
seed dry weight 13.4-21.8 g, range of potential growth 66-100%, range of
germination percentage 44-98%, range of seed water content 22-36%, range of
hypocotyl length 9.6-14.0 cm (90 DAS), range of radicle length 17.6-27.2 cm (90
DAS), and range of plumule length 8.3-19.2 cm (90 DAS).
Keywords: germination, seed characterization, sugar palm accessions

8
Pendahuluan
Tanaman aren (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.) merupakan tanaman asli
di wilayah kepulauan Indo-Malaya, dengan pusat penyebaran di Indonesia.
Tanaman aren dapat ditemui di semua wilayah tropis Asia Selatan dan Asia
Tenggara, dari 75 oBT di India dan Sri Lanka sampai 145 oBT di Guam dan Papua
Nugini, dan membujur dari 25 oLU di Myanmar sampai 10 oLS di Nusa Tenggara
Timur, Indonesia (Mogea et al. 1991). Penyebaran tanaman aren di Indonesia
tersebar mulai dari pulau Sumatra sampai ke Papua. Penyebaran tanaman aren
paling banyak terdapat di pulau Jawa (19 757 ha), Sulawesi (16 951 ha), Sumatra
(15 802 ha), dan Kalimantan (1 816 ha) (Kementan 2013).
Pada daerah sentra aren pemanfaatan tanaman aren beragam oleh
masyarakat sekitar. Penyebaran tanaman aren di pulau Jawa lebih banyak terdapat
di wilayah Jawa Barat terutama Banten, Bogor, Cianjur, dan Garut. Masyarakat
Jawa Barat memanfaatkan aren sebagai sumber pembuatan gula merah, minuman
tradisional yang disebut lahang, tepung sagu, dan kolang-kaling. Di Kalimantan
Timur, masyarakat memanfaatkan tanaman aren sebagai sumber pembuatan gula
merah. Selain itu, ijuk juga menjadi produk utama yang dihasilkan dari tanaman
aren. Di Sumatra Utara, tanaman aren selain dimanfaatkan untuk pembuatan gula
merah, nira yang dihasilkan juga digunakan oleh masyarakat sekitar sebagai
minuman tradisional (tuak). Masyarakat Sulawesi Utara juga memanfaatkan
tanaman aren sebagai sumber minuman tradisional (saguer) sebagai produk utama
(Mogea et al. 1991).
Kegunaan tanaman aren yang begitu banyak dan bervariasi antar wilayah
memberikan kesempatan untuk pengembangan aren dalam skala besar. Tanaman
aren dari tiap lokasi yang berbeda merupakan aksesi aren lokal yang belum
dideskripsikan secara morfologi. Karakterisasi tanaman aren mulai dari benih,
perkecambahan, pembibitan, dan tanaman dewasa yang telah menghasilkan akan
memberikan informasi dari masing-masing aksesi aren lokal di Indonesia.
Informasi deskripsi ini akan berguna dalam mengetahui sifat unggul yang
nantinya bisa digunakan untuk perakitan varietas unggul. Permasalahan saat ini
yaitu informasi mengenai karakterisasi atau pendeskripsian aksesi aren lokal di
Indonesia belum ada sehingga perlu dilakukan penelitian tentang karakterisasi
aksesi aren lokal yang ada di Indonesia.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari karakter morfologi
beberapa aren unggul lokal mulai dari buah, benih hingga perkecambahan.

Metode Penelitian
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Departemen Agronomi dan
Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada bulan Juni 2013
sampai Juni 2014.

9
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah lima aksesi dan satu varietas aren lokal
yaitu Pematang Siantar, Bengkulu Curup, Bengkulu Lebong, Banten, Cianjur, dan
Kutai Timur. Media penyemaian benih menggunakan media arang sekam. Alat
yang digunakan antara lain penggaris, timbangan analitik, jangka sorong digital,
pisau, oven, cawan, dan bak penyemaian.

Metode Percobaan
Percobaan menggunakan metode deskriptif dengan mengamati
karakteristik morfologi perkecambahan benih. Setiap aksesi dan varietas aren
menggunakan 20 benih yang dikecambahkan di dalam polybag dan diulang
sebanyak 5 kali sehingga terdapat 100 benih yang digunakan. Benih diamati
sampai 90 Hari Setelah Semai (HSS) sampai munculnya apokol, plumula, dan
radikula. Pengamatan panjang apokol, panjang radikula, dan panjang plumula
diukur dengan menggunakan 10 benih dari masing-masing aksesi dan varietas
yang digunakan dan disemai terpisah.
Pelaksanaan dimulai dengan persiapan benih, deoperkulasi dan media
semai. Buah aren yang diperoleh direndam dalam air selama 5 hari. Tujuan
perendaman adalah mempermudah melepaskan kulit buah dan menghilangkan
kalsium oksalat yang melekat pada benih. Sisa daging buah dibersihkan dengan
cara digosok-gosokkan benih menggunakan serbuk gergaji, setelah kulit buah
terlepas maka benih dipilih untuk diberi perlakuan. Benih aren dipilih dengan
ukuran yang sama, tidak cacat dan memiliki stuktur kulit benih yang mengkilap
(Matana 2013).
Benih aren yang telah dipilih lalu diberikan perlakuan pematahan
dormansi agar benih cepat berkecambah. Menurut Rofik dan Muniarti (2008)
perlakuan pematahan dormansi dan media semai yang terbaik untuk
perkecambahan benih aren adalah dengan cara deoperkulasi dan disemai
menggunakan media arang sekam. Deoperkulasi adalah metode skarifikasi tepat
pada posisi embrio. Setelah perlakuan deoperkulasi, benih langsung dimasukkan
ke dalam media serbuk gergaji yang telah dilembabkan untuk mencegah benih
rusak karena embrio menjadi kering. Setelah semua benih dideoperkulasi lalu
direndam larutan klorox 1% selama 30 menit untuk mengurangi kontaminasi oleh
cendawan (Matana 2013). Selanjutnya benih ditanam pada media perkecambahan.
Tahapan ke dua yaitu pemeliharaan. Benih yang telah disemai, disiram
setiap hari untuk menjaga kelembaban. Penyiraman dilakukan dengan cara
menyemprot bagian atas media tanam dengan sprayer sampai media tanam basah.
Penyiraman juga bertujuan agar air selalu tersedia dan diserap oleh benih sehingga
proses pematahan dormansi terjadi.
Tahapan ke tiga yaitu pengamatan karakteristik morfologi perkecambahan
aren. Pengamatan dilakukan pada 90 Hari Setelah Semai (HSS) untuk peubah
Potensi Tumbuh Maksimum (PTM) dan Daya Berkecambah (DB). Pengamatan
panjang apokol, panjang radikula, dan panjang plumula dilakukan pada 30, 60,
dan 90 HSS.

10
Pengamatan
Pengamatan dilakukan terhadap peubah-peubah sebagai berikut:
a. Potensi Tumbuh Maksimum (PTM). Pengamatan dilakukan pada benih yang
tumbuh normal maupun abnormal pada pengamatan terakhir (90 hari)
kemudian dipersentasekan. Rumus untuk menghitung PTM adalah:

b. Daya Berkecambah (DB). Persentase DB benih dihitung berdasarkan jumlah
kecambah normal (KN) pada 90 Hari Setelah Semai (HSS) (Rofik dan
Muniarti 2008). Kecambah normal yaitu kecambah yang telah memiliki
radikula dan plumula. Rumus yang digunakan yaitu:

c. Kadar air benih. Benih sebanyak 5 buah dipotong-potong kemudian
dikeringkan dalam oven 105 oC selama 17 jam.

d.

e.
f.

g.
h.
i.

keterangan:
M1 = berat cawan kosong (g)
M2 = berat cawan dan benih sebelum dioven (g)
M3 = berat cawan dan benih setelah dioven (g)
Bobot basah dan kering benih. Benih sebanyak 5 buah ditimbang untuk
mendapatkan bobot basah lalu benih dimasukkan ke dalam oven selama 48
jam dengan suhu 80 oC lalu ditimbang untuk mendapatkan bobot kering.
Panjang dan diameter benih. Pengukuran panjang dan diameter benih diukur
sebelum benih dikecambahkan menggunakan jangka sorong digital.
Panjang apokol. Panjang apokol diukur pada 30, 60, dan 90 HSS
menggunakan 10 kecambah dari masing-masing aksesi dan varietas yang
digunakan.
Panjang plumula. Plumula diamati pada 30, 60, 90 HSS, pengamatan plumula
hanya dilakukan pada kecambah yang telah muncul plumulanya.
Panjang radikula. Radikula diamati pada 30, 60, 90 HSS, pengamatan
dilakukan terhadap kecambah yang telah muncul radikulanya.
Pengamatan mikroskopik apokol.

Hasil dan Pembahasan
Kondisi Umum Percobaan
Percobaan menggunakan berbagai aksesi aren lokal dan satu varietas yang
telah dilepas oleh Kementerian Pertanian pada tahun 2011. Aksesi aren lokal yang
digunakan berasal dari Pematang Siantar, Bengkulu Curup, Bengkulu Lebong,
Banten, dan Cianjur, sedangkan varietas yang digunakan adalah varietas Kutai
Timur. Buah dari masing-masing lokasi diperoleh secara terpisah dengan kondisi
yang sangat beragam. Buah yang telah matang ditunjukkan dengan kulit buah
yang telah berwarna kuning. Beberapa aksesi aren diperoleh buah yang telah
matang sempurna tetapi buah yang diperoleh pada aksesi Bengkulu Lebong masih
berwarna hijau kekuningan. Aksesi Banten hanya diperoleh benih saja dan tidak

11
mendapatkan buah matang yang bisa diamati. Sulitnya mendapatkan buah yang
masak seragam menjadi kendala karena lokasi aksesi yang sangat berjauhan.
Perkecambahan benih aren diawali dengan proses imbibisi air yang diikuti
oleh pertumbuhan apokol pada bagian benih yang telah diskarifikasi. Posisi
embrio pada benih aren terletak pada bagian kiri atau kanan punggung benih
dengan ciri-ciri adanya lekukan berbentuk bulat pada bagian punggung benih
(Gambar 1a).

a

b

c

Gambar 1. Ciri-ciri morfologi benih aren sebelum dan sesudah perkecambahan.
(a) Posisi embrio pada benih aren berada pada sisi kiri atau kanan
punggung benih, (b) Jaringan yang menyerupai cincin yang tumbuh
pada bagian yang diskarifikasi, (c) Apokol yang merupakan jaringan
memanjang seperti tabung.
Imbibisi air pada benih aren tidak menyebabkan benih membengkak
karena endosperm benih aren yang sangat keras. Proses perkecambahan benih
aren diawali dengan munculnya jaringan berwarna putih seperti cincin pada
bagian benih yang telah diskarifikasi (Gambar 1b). Jaringan yang menyerupai
cincin ini muncul setelah 1-2 Minggu Setelah Semai (MSS). Jaringan ini akan
berkembang dan membentuk tabung memanjang yang disebut apokol (Gambar
1c). Apokol berfungsi sebagai jalur pergerakan embrio dari dalam benih dan
bergerak ke bagian bawah apokol untuk proses perkecambahan. Perkecambahan
aren termasuk ke dalam tipe epigeal karena benih aren terangkat ke permukaan
tanah (Matana 2013).
Perkembangan apokol diawali saat pembentukan jaringan seperti cincin.
Setelah jaringan yang menyerupai cincin membesar lalu pada bagian tengah
jaringan tersebut akan tumbuh memanjang ke bagian bawah media tanam yang
disebut sebagai apokol. Matana (2013) melaporkan bahwa perkembangan
kecambah membentuk jaringan menyerupai cincin terjadi setelah 10 Hari Setelah
Semai (HSS). Apokol akan terus memanjang sampai ukuran tertentu. Setelah
proses pemanjangan selesai, bagian bawah apokol akan membesar (Gambar 2a).
Diduga pembesaran bagian bawah apokol tersebut karena embrio telah
berkembang dan akan siap untuk berkecambah. Proses perkecambahan diawali
dengan munculnya calon akar dari bagian bawah apokol. Perbedaan calon akar
dan bagian bawah apokol sangat terlihat jelas dengan mengecilnya pertumbuhan
akar pada ujung apokol yang membesar (Gambar 2b). Setelah calon akar tumbuh,
apokol akan pecah pada bagian tengah dan tumbuh plumula (Gambar 2c). Ratarata dari 5 aksesi dan 1 varietas yang digunakan dalam percobaan ini,
perkecambahan benih aren telah terjadi sampai 90 HSS.

12

a

b

c

Gambar 2. Perkembangan apokol mulai dari pemanjangan sampai berkecambah.
(a) Apokol yang mengalami pembesaran pada bagian bawah, (b)
Calon akar yang tumbuh pada bagian bawah apokol, (c) Plumula yang
tumbuh dari bagian apokol yang telah pecah.
Bobot Buah dan Benih
Buah aren berbentuk bulat dengan membentuk tiga lengkungan pada
sisinya yang mencirikan terdapat 3 biji di dalam buah. Buah muda aren berwarna
hijau dan berubah menjadi kuning setelah matang. Proses pematangan buah aren
terjadi cukup lama. Menurut Mogea et al. (1991) buah aren akan masak fisiologis
setelah 3 tahun dari penyerbukan. Setiap buah aren mengandung 2-3 biji dengan
ciri-ciri lengkungan yang terisi penuh. Jika salah satu lengkungan tidak sempurna
atau tidak terisi penuh maka di dalam buah hanya terdapat 2 biji. Potongan
melintang buah aren menunjukkan bahwa susunan biji membentuk segitiga
dengan bagian punggung biji berada pada bagian luar (Gambar 3). Pada bagian
biji yang telah terbelah terdapat bagian putih kecil di bagian punggung biji.
Bagian putih tersebut adalah bakal embrio yang nantinya akan tumbuh
membentuk apokol dan tumbuh ke bagian bawah tanah jika ditanam.

Gambar 3. Penampang melintang 4 aksesi dan 1 varietas buah aren di Indonesia

13

Daging buah aren sangat keras pada kondisi masih muda atau berwarna
hijau tetapi pada buah yang telah tua daging buah akan lebih lunak dan mudah
untuk memisahkan biji dari daging buahnya. Daging buah aren mengandung
kalsium oksalat (Smits 1996). Kalsium oksalat ini akan menyebabkan rasa perih
dan gatal jika terkena kulit. Menurut Matana (2013) cara untuk mengurangi
kandungan kalsium oksalat sebelum memisahkan biji dari buah adalah dengan
cara perendaman selama 5 hari. Perendaman lebih memudahkan untuk
menghilangkan daging buah yang melekat pada biji tetapi tidak mengurangi rasa
gatal jika terkena kulit pada percobaan ini.
Bobot buah 5 aksesi dan 1 varietas aren Indonesia bervariasi (Tabel 1).
Rata-rata bobot buah aren menunjukkan bahwa buah aren Bengkulu Lebong
memiliki bobot yang lebih berat dibandingkan dengan bobot buah lainnya sebesar
66.2 ± 6.6 g. Rata-rata bobot buah aren aksesi Pematang Siantar, Bengkulu Curup,
dan Cianjur berada pada kisaran 49.2-53.6 g, sedangkan bobot buah paling rendah
yaitu varietas Kutai Timur sebesar 37.2 ± 2.4 g.
Tabel 1. Rata-rata bobot buah dan bobot benih berbagai aksesi dan varietas aren
lokal di Indonesia
Aksesi dan Varietas
Pematang Siantar
Bengkulu Curup
Bengkulu Lebong
Banten
Cianjur
Kutai Timur

Bobot Buah (g buah-1)
53.6 ± 4.3
52.1 ± 2.2
66.2 ± 6.6
49.2 ± 3.8
37.2 ± 2.4

Bobot Benih (g benih-1)
4.6 ± 0.6
4.7 ± 0.4
6.3 ± 0.6
3.7 ± 0.6
5.4 ± 0.4
3.8 ± 0.4

Bobot benih 5 aksesi dan 1 varietas aren juga bervariasi (Tabel 1). Buah
yang memiliki bobot buah ter