Upaya Indonesia Dalam Pengambilalihan Pelayanan Navigasi Penerbangan Pada Flight Information Region Singapura Di Atas Kepulauan Riau Dan Natuna

(1)

Rizal Budi Santoso 44311007, Hubungan Internasional Unikom

Abstrak - Kontrol penuh wilayah udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna oleh Singapura yang memberikan pelayanan navigasi penerbangan yang melewati wilayah udara Indonesia di atas Kepulauan Riau dan Natuna sesuai dengan perjanjian yang dibuat oleh Indonesia dan Singapura pada tahun 1995. Indonesia saat ini berkeinginan untuk mengambil alih pengelolaan pelayanan navigasi penerbangan di atas Kepulauan Riau dan Natuna dari Singapura. Dalam penelitian ini peneliti mencoba untuk menganalisa mengenai langkah apa saja yang dilakukan oleh Indonesia, kendala apa saja yang diperoleh Indonesia dalam upaya pengambilalihan pelayanan navigasi penerbangan pada Flight Information Region Singapura di atas Kepulauan Riau dan Natuna, dan untuk mengetahui respon dari Pemerintah Singapura dalam menanggapi keinginan dari Indonesia. Hasil penelitian menunjukan bahwa Indonesia berupaya untuk mengambil alih pelayanan navigasi penerbangan pada Flight Information Region Singapura dengan mendirikan sebuah lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan Indonesia. Indonesia juga melakukan diplomasi dengan Singapura dengan melakukan pertemuan yang membahas mengenai FIR di atas Kepulauan Riau dan Natuna.

Abstract - the full control of the airspace over Riau and Natuna’s Islands to Singapore that provides navigations service for flight passing through Indonesian airspace over Riau and

Natuna’s Islands in accordance with agreements made by indonesia and Singapore in 1995.

Indonesia today wants to take over the management of air navigation service over the Riau and

Natuna’s Islands of Singapore. In this research, researcher trying to analyze about what steps are carried out by Indonesia, the constraints of any acquired Indonesia's efforts to takeover flight navigation services in the FIR Singapore above Riau Islands and Natuna, and to know the response of the Government of Singapore in response to wishes of Indonesia. The results showed that Indonesia seeks to take over the flight navigation service in the Flight Information Region Singapore by establishing an institution of air navigation service providers Indonesia. Indonesia also conduct diplomacy with Singapore with a meeting that discussed the FIR at the above Riau

and Natuna’s Islands.


(2)

Indonesia saat ini, selain pelayanan navigasi penerbangan dalam konfigurasi Flight Information Region (FIR) yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, terdapat pula pelayanan navigasi penerbangan yang didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian, antara lain perjanjian ruang udara dengan Singapura. Pendelegasian ruang udara Indonesia kepada Singapura, khususnya di atas Kepulauan Riau dan Natuna adalah untuk memberikan pelayanan navigasi penerbangan. Pada saat itu FIR yang ada yaitu FIR Natuna yang terdiri atas 3 sektor, yaitu Riau, Tanjung Pinang, dan Natuna, yang merupakan salah satu jalur penerbangan yang terpadat di regional Asia dan Pasifik dan dibentuk atas persetujuan bersama negara-negara anggota ICAO pada tahun 1946.

Pendelegasian ruang udara Indonesia kepada negara lain bermula pada saat diselenggarakan Regional Air Navigation

tersebut disepakati bahwa ruang udara diatas Kepulauan Riau dan Natuna dikelola oleh Singapura dengan ketinggian 20.000 kaki dan Malaysia dengan ketinggian dibawah 20.000 kaki. Kemudian pada tahun 1983, pada saat penyelenggaraan RAN Meeting II di Singapura, Indonesia berupaya merubah hasil kesepakatan RAN Meeting I namun hal tersebut tidak berhasil dilakukan (Buntoro, 2014 : 301).

Dalam RAN Meeting ke III tahun 1993 di Bangkok, Indonesia mengajukan proposal tentang perubahan batas Jakarta dan Singapura sekaligus menyatakan niatnya untuk mengambilalih pelayanan navigasi penerbangan pada ruang udara diatas Natuna tersebut yang pada awalnya adalah pembentukan TMA-Natuna yaitu melalui working paper „AIS/FAC/3-WP/55 19/2/93 Agenda Item 5 Airspace Organization and ATS Units Including en-route and terminal


(3)

Working Paper No. 55”. Pertemuan menyepakati bahwa working paper No. 55 dapat diterima, namun dengan adanya counter paper oleh Singapura, maka ICAO menyarankan agar dibicarakan secara bilateral antara Singapura dan Indonesia. Selanjutnya, RAN IV sedianya dilaksanakan pada tahun 2003, namun hingga saat ini belum dilakasanakan kembali (Buntoro, 2014 : 302).

Sesuai dengan saran ICAO agar diadakan pembicaraan dilateral antara pemerintah indonesia dan Singapura guna membicarakan perihal kehendak Indonesia untuk meninjau ulang batas FIR sekaligus pengambilalihan pelayanan navigasi penerbangan yang selama ini dikelola oleh FIR Singapura di atas kepulauan Riau dan Natuna, maka setelah melalui proses pembahasan yang cukup lama antara pemerintah Indonnesia yang diwakili oleh

Singapura yang diwakili oleh Civil Aviation Authority of Singapore (CAAS) menghasilkan suatu perjanjian mengenai pengalihan batas FIR Jakarta dan FIR Singapura, yaitu : Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Singapore on the Realigment of the Boundary between the Singapore Flight Information Region dan the Jakarta Flight Information region. Penandatanganan dilakukan oleh Menteri Perhubungan Indonesia dan Menteri Perhubungan Singapura pada tanggal 21 September 1995 di Singapura (Buntoro, 2014 : 303).

Berdasarkan perjanjian tersebut semua penerbangan yang melewati FIR Singapura harus mendapat Flight Clearance dari pemerintah Singapura dan hal itu menjadi kewajiban bagi pesawat asing yang terbang di wilayah udara negara lain,


(4)

dilakukan pemerintah Indonesia dengan pemerintah Singapura pada waktu itu berdasarkan pada ketentuan Annex 11 Konvensi Chicago 1994, dimana Indonesia dapat mendelegasikan ruang udaranya guna pemberian pelayanan navigasi penerbangan apabila belum mampu untuk mengontrolnya. Atas dasar tersebut Indonesia mendelegasikan ruang udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna karena begitu padatnya penerbangan baik nasional maupun internasional yang melewati wilayah udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna dan pada saat itu Indonesia belum mampu mengontrol penerbangan di atas Kepulauan Riau dan Natuna karena keterbatasan teknologi dan sumber daya manusia (SDM) (Buntoro, 2014 : 303).

Dalam Pasal 2 perjanjian pendelegasian pelayanan lalu lintas udara atau navigasi penerbangan antara Indonesia

Indonesia guna memberikan pelayanan navigasi penerbangan (lalu lintas udara) kepada FIR Singapura. Hal-hal penting dalam perjanjian tersebut adalah bahwa dasar penetapan batas yang dibuat sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982 dan Indonesia mendelegasikan tanggung jawab pemberian pelayanan navigasi penerbangan di sektor A diatas Kepulauan Riau kepada Singapura dari permukaan laut sampai dengan ketinggian 37.000 feet, sedangkan di sektor B diatas Tanjung Pinang, mulai dari permukaan laut sampai tak terhingga (unlimited height) serta sektor C diatas Kepulauan Natuna tidak termasuk dalam perjanjian tersebut. Terhadap pemberian pelayanan navigasi tersebut Pemerintah Singapura atas nama Pemerintah Indonesia memungut Route Air Navigation (RANS) Charge atas penerbangan sipil di sektor A tersebut (Kepres No 7 Tahun 1996).


(5)

yang dikelola oleh negara lain di atas wilayah Indonesia yang memberikan pelayanan navigasi penerbangan. Sebagai negara yang berdaulat Indonesia harus mengambilalih dan mengelola sendiri wilayah udara yang dikelola oleh negara lain sebagai bentuk upaya pemerintah Indonesia dalam mengantisipasi dan mengatasi pelanggaran di atas wilayah udara Indonesia, khususnya wilayah udara Indonesia di atas Kepulauan Riau dan Natuna yang masih dikelola oleh FIR Singapura berdasarkan perjanjian antara Indonesia Singapura tahun 1995 mengenai penyelarasan ulang garis batas antara FIR Singapura dan FIR Jakarta, yakni Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Singapore on the Realigment of the Boundary between the Singapore Flight Information Region dan

Ruang udara Indonesia di atas Kepulauan Riau yang selama ini dikenal dengan sektor A, B dan C adalah wilayah udara Indonesia yang dikelola oleh Singapura. Beberapa usaha pengambilalihan pernah dilakukan, namun belum berhasil. Sistem FIR masih dipegang oleh menara Air Traffic Control Singapura. Sehingga pesawat Indonesia yang terbang di area tersebut harus meminta ijin kepadanSingapuranmeskipunnterbangndiata snwilayahnIndonesiaN(http://dmc.kemhan.g o.id/post-pengambilalihan-pengelolaan-fir- di-kep-natuna-dan-kepri-dari-singapura-harus-dilakukan-bersama.htmlndiakses pada 11 September 2015).

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik mengetahui lebih jauh mengenai upaya Indonesia dalam mengambilalih pelayanan navigasi penerbangan yang dikelola oleh FIR Singapura diatas


(6)

Indonesia adalah negara yang berdaulat dan setiap wilayah yang termasuk kedalam NKRI ini haruslah dijaga dan tidak boleh dimasuki tanpa ijin oleh negara lain maka dari itu upaya yang dilakukan oleh Indonesia ini dalam mengambilalih pelayanan navigasi yang dikelola oleh Singapura ini merupakan langkah yang tepat bila mengacu kepada kepentingan untuk mengelola kekayaan negaranya, karena tidak wajar jika pesawat milik Indonesia ini terbang diatas Kepulauan Riau dan Natuna namun harus melapor kepada Singapura sebagai pihak yang mengelola FIR diatas Kepulauan Riau dan Natuna walaupun dengan alasan keamanan. Kedua Indonesia telah mempunyai aturan dalam Undang-undang bahwa Indonesia mempunyai wewenang dan tanggung jawab penuh dalam mengelola dan mengatur ruang udara demi kepentingan keselamatan penerbangan, perekonomian nasional,

dengan adanya teknologi yang telah dimiliki oleh Indonesia dalam bidang penerbangan dan dengan banyaknya Sumber Daya Manusia (SDM) membuat Indonesia merasa siap untuk mengelola secara mandiri pelayanan navigasi yang selama ini dikelola oleh FIR Singapura diatas Kepulauan Riau dan Natuna. Dengan demikian peneliti akan menjawab pertanyaan mengenai Bagaimana Upaya Pengambilalihan Pelayanan Navigasi Penerbangan Pada FIR Singapura Di Atas Kepulauan Riau dan Natuna Oleh Indonesia dalam kurun waktu 2012 - 2015?.

Metoda Penelitian

Metode penelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode ini dipilih karena penelitian kualitatif bisa dilakukan oleh peneliti di bidang ilmu sosial dan politik, penelitian dalam metode ini tidak menggunakan analisis berupa grafik,


(7)

Pengertian Flight Information Region Flight Information Region (FIR) disebut juga dengan “ruang udara yang dilayani” merupakan suatu ruang udara yang ditetapkan dimensinya dan dilamannya terdapat Flight Information Service dan Alareting Service dengan suatu pembagian wilayah udara yang bertujuan untuk menjamin keamanan dan keselamatan penerbangan yang ditetapkan oleh negara-negara yang tergabung dalam ICAO dimana didalamnya diberikan pelayanan lalu lintas ataunnavigasinpenerbangann(http://eprints.u ndip.ac.id/46737/1/Seminar_nasional.pdf diakses pada 15 Januari 2016).

Konvensi Chicago 1944 pada Annex 11 tentang Air Traffic Services Article 2.5.2.1 menyatakan bahwa pada wilayah ruang udara tertentu yang didalamnya diberikan pelayanan informasi penerbangan (flight information services) dan pelayanan kesiagaan (alerting sevice) yang dirancang

dibentuk dan dipersiapkan untuk memberikan saran dan informasi secara penuh untuk keselamatan dan efisiensi penerbangan. Sedangkan Alareting Service adalah pelayanan yang diberikan kepada organisasi yang berkaitan dengan pesawat udara atau penerbangan yang membutuhkan pertolongan dan membantu organisasi yang membutuhkannbantuannpencarianndannpert olongann(http://eprints.undip.ac.id/46737/1/ Seminar_nasional.pdf diakses pada 15 Januari 2016).

Langkah-langkah yang dilakukan Indonesia dalam Mengambilalih Pelayanan Navigasi Penerbangan yang dikelola oleh FIR Singapura di atas Kepulauan Riau dan Natuna

1. Langkah – Langkah yang dilakukan Pemerintah Indonesia

Pemerintah Indonesia akan mengembangkan sistem control yang


(8)

dilakukan Singapura diatas Kepulauan Riau dan Natuna. Melalui Kementerian Perhubungan yang akan mengembangkan Jakarta Automated Air Traffic System (JAATS) yang berpusat di Bandara Internasional Soekarno – Hatta dan Makassar Automated Air Traffic System (MAATS) yang berpusat di Bandara Hasanuddin, Makassar.

JAATS Bandara Soekarno – Hatta akan mengontrol wilayah udara bagian barat yang akan terintegrasi dengan FIR Singapura. MAATS Bandara Hasanuddin mengontrol wilayah udara bagian timur yang akan terintegrasi dengan FIR Australia. JAATS Bandara Soekarno – Hatta dan MAATS Makassar juga akan saling terintegrasi satu sama lain. Hal tersebut diawali dengan pembanguna gedung dan menara baru di Jakarta yang dilengkapi sistem yang lebih canggih sehingga

meningkatkan kemampuan SDM ATC agar dapat diperoleh SDM yang berkualitas dan kuanntitas, sehingga upaya pengambilalihan FIR di atas Kepulauan Riau dan Natuna dapat segera terwujud.

2. Pendirian Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI)

Perusahaan Umum (Perum) Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) atau dikenal dengan Airnav Indonesia merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang didirikan tanggal 13 September 2012. Airnav Indonesia didirikan sesuai amanat UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan bertugas menyediakan pelayanan navigasi penerbangan. Air Nav Indonesia mengelola seluruh ruang udara Indonesia yang dibagi menjadi 2 (dua) Flight Information Region


(9)

kantor cabang dan 18 kantor distrik di seluruh Indonesia.

Tujuan didirikannya LPPNPI ini adalah untuk menyediakan pelayanan navigasi penerbangan dengan baik di seluruh Indonesia. Karena pada awalnya pelayanan navigasi penerbangan di Indonesia ini dilakukan oleh beberapa instansi, yaitu UPT Ditjen Perhubungan, PT. Angkasa Pura I, PT. Angkasa Pura II, dan bandar udara khusus. Sehingga menyebabkan adanya perbedaan tingkat kualitas pelayanan navigasi dan tidak fokusnya penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan. Selama ini di Indonesia sendiri ada 2 ruang udara yang masing-masing di kelola oleh PT. Angkasa Pura 1, pada MATSC (Makassar Air Traffic Service Center) dan PT. Angkasa Pura 2, pada JATSC (Jakarta Air Traffic Service Center), dimana masing-masing standar berbeda,

memiliki standar yang sama dan bisa lebih baik.

3. Kerjasama Air Nav Indonesia dengan The MITRE Corporation

Air Nav Indonesia mempunyai program dalam modernisasi alat navigasi penerbangan di Indonesia yang diberi nama IMANS (Indonesia Modernization of Air Navigation Services). Program ini diluncurkan untuk meningkatkan sistem navigasi penerbangan di Indonesia. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki 237 bandara dan ruang udara yang luas. AirNav ingin meningkatkan kualitas layanan navigasi, baik dari segi alat maupun kualitas sumber daya manusia.

Atas dasar tersebut Air Nav Indonesia melakukan kerjasama dengan perusahaan asal Amerika Serikat, yaitu The MITRE Corporation pada tanggal 6 Oktober 2015. The MITRE akan menjadi konsultan


(10)

Kerjasama Air Nav dan The Mitre Corporation ini meliputi kegiatan di bidang keselamatan dan keamanan penerbangan, moderenisasi sistem navigasi penerbangan, pengembangan dan peningkatan pelayanan dukungan penerbangan dan analisa kapasitas, pengembangan dan perencanaat ruang udara dan Bandar udara. Kerjasama ini berdurasi selama lima tahun dengan pilihan dapat diperpanjang untuk lima tahun berikutnya dengan nilai kontrak kerjasama sebesar US$ 2.3 juta. Diharapkan dengan kerjasama ini Indonesia dapat memperbaiki pelayanan navigasi penerbagan dan juga menyamai teknologi navigasi penerbangan dengan negara di kawasan Asia Tenggara. 4. Upaya Indonesia dalam Pengambilalihan

Pelayanan Navigasi Penerbangan pada Tingkat ICAO

Berdasarkan regulasi Air Navigation Plan dalam pengesahan sidang regional

realignment FIR diperlukan persetujuan terlebih dahulu dari negara-negara anggota ICAO lainnya karena negara lain juga yang akan menggunakan pelayanan navigasi. Maka dari itu Indonesia dan Singapura sempat mengajukan proposal joint latter kepada ICAO agar dibahas di dalam sidang. Namun pada akhirnya, proposal tersebut belum dapat menerima persetujuan dari ICAO karena adanya keberatan yang disampaikan oleh pihak Malaysia, dimana bila Indonesia mampu mengelola wilayah yang di delegasikan sebelumnya kepada Singapura yaitu sektor A, B, C dianggap tidak menguntungkan Malaysia terutama pada sektor B karena adanya hak akses penerbangan dari Malaysia Barat ke Malaysia Timur dan sebaliknya.

Keberatan Malaysia tersebut didasari dengan adanya perjanjian antara Indonesia dan Malaysia tentang “Rejim Hukum


(11)

Ruang Udara di atas Laut Teritorial Perairan Nusantara dan Wilayah Republik Indonesia yang terletak di antara Malaysia Timur dan Malaysia Barat”, yang ditandatangani tanggal 25 Pebruari 1982, serta telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 1 tahun 1983 tanggal 25 Pebruari 1983.

5. Perencanaan Perjanjian Trilateral Indonesia – Singapura – Malaysia

Pada tahun 2015 Presiden Republik Indonesia memberikan instruksi untuk mengambilaih pelayanan navigasi penerbangan di atas Kepulauan Riau dan Natuna dari FIR Singapura. Maka dari itu Indonesia mencoba merumuskan perjanjian Trilateral antara Indonesia, Singapura dan Malaysia mengenai realignment FIR di atas Kepulauan Riau dan Natuna.

Adanya Malaysia ini karena setiap Indonesia mengajukan realignment FIR,

pelayanan navigasi penerbangan diatas Kepulauan Riau dan Natuna, maka dari itu Malaysia dilibatkan dalam agenda Indonesia untuk mengambilalih pelayanan navigasi penerbangan.

Perencanaan perjanjian trilateral antara Indonesia, Singapura, dan Malaysia ini baru mencapai tahap pembicaraan dimana Presiden Republik Indonesia mengutus Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan untuk melakukan pembicaraan dengan Deputi Perdana Menteri SingapurandannDeputinPerdananMenterinM alaysian(http://www.cnnindonesia.com/nasi onal/20151004171137n20n82698/luhutnsing apuranmalaysiandukungnrinkendalikan-ruang-udara/ diakses pada 6 Februari 2016). Kesimpulan

Dari pembahasan tersebut dapat ditarik satu kesimpulan mengenai upaya


(12)

Information Region Singapura di atas Kepulauan Riau dan Natuna, yaitu dimana keberadaan FIR Singapura berdasarkan perjanjian Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Singapore on the Realigment of the Boundary between the Singapore Flight Information Region dan the Jakarta Flight Information region pada tanggal 21 September 1995 dan telah diratifikasi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1996 pada tanggal 2 Februari 1996 ini telah banyak menimbulkan kendala atau permasalahan bagi Indonesia baik dari aspek politik, ekonomi, maupun pertahanan keamanan, karena pengendalian ruang udara Indonesia khususnya yang berada di atas ruang udara Kepulauan Riau dan Natuna berada dalam control Air Traffic Control Singapura.

Singapura ini berdasarkan amanat Undang-undang No 1 tahun 2009 tentang penerbangan yang menargetkan pada tahun 2024 Indonesia harus sudah mengambilalih dan mengelola pelayanan navigasi penerbangan di Kepulauan Riau dan Natuna dari FIR Singapura. Secara teknis dan operasionalnya, Kementerian Perhubungan telah menyiapkan road map pengambilalihan FIR ini. Indonesia mampu untuk memberikan pelayanan navigasi yang setara atau sama baiknya dengan yang diberikan oleh Singapura maka Singapura pun tidak akan menolak rencana pengambilalihan ruang udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna.

Telah dilakukan berbagai upaya oleh pemerintah Indonesia dalam pengambilalihan pelayanan navigasi penerbangan pada FIR Singapura di atas Kepulauan Riau dan Natuna baik dalam hal


(13)

dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Membuat road map pengambilalihan pelayanan navigasi penerbangan yang akan menjadi acuan bagi pemerintah untuk mengambilalih pelayanan navigasi penerbangan pada FIR Singapura secara bertahap baik secara teknis maupun diplomatik. 2. Mendirikan Perusahaan Umum

(Perum) Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) atau dikenal dengan Airnav Indonesia merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang didirikan tanggal 13 September 2012. Airnav Indonesia didirikan sesuai amanat UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan bertugas untuk

mengelola seluruh ruang udara Indonesia yang dibagi menjadi 2 (dua) Flight Information Region (FIR), yaitu Jakarta FIR dan Ujung Pandang FIR.

3. Kerjasama Air Nav Indonesia dengan The MITRE Corporation yang bertujuan untuk mejadi konsultan bagi Indonesia dalam melakukan moderenisasi pelayanan navigasi di seluruh Indonesia. Kerjasama Air Nav dan The Mitre Corporation ini meliputi kegiatan di bidang keselamatan dan keamanan penerbangan, moderenisasi sistem navigasi penerbangan, pengembangan dan peningkatan pelayanan dukungan penerbangan dan analisa kapasitas, pengembangan dan perencanaat ruang udara dan Bandar udara.


(14)

kelanjutan dari penandatanganan MOU kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Amerika Serikat mengenai The US Indonesia Aviation Working Group pada 22 April 2015.

4. Indonesia mencoba mendapatkan kepercayaan negara anggota dan dewan anggota ICAO dengan mencalonkan diri sebagai dewan anggota ICAO pada tahun 2013. Hal ini berkaitan dengan upaya Indonesia dalam pengambilalihan pelayanan navigasi penerbangan pada FIR Singapura di atas Kepulauan Riau dan Natuna, karena dengan mendapatkan kepercayaan sebagai dewan anggota ICAO maka Indonesia semakin dekat untuk mendapatkan

5. Indonesia mencoba melakukan pembicaraan dengan Singapura dan Malaysia terkait keinginan Indonesia untuk mengambilalih dan mengelola pelayanan navigasi penerbangan pada FIR Singapura di atas Kepulauan Riau dan Natuna. Melalui pembicaraan tersebut Indonesia mencoba merencanakan pembentukan perjanjian trilateral antara Indonesia – Singapura – Malaysia mengenai realignment FIR.


(15)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Batas wilayah negara terutama terhadap ruang udaranya, sejak zaman dahulu telah menjadi suatu permasalahan, karena hal tersebut dapat dilihat pada sebuah dalil hukum Romawi yang berbunyi : “Cujus est solum, ejus est usque ad

coelum” yang berarti barang siapa yang memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki segala-gala yang berada diatas permukaan tanah tersebut sampainkenlangitndannsegalanapanyangnberadandindalamntanahn(http://www.ch appyhakim.com/2006/12/20/menyongsong -103-tahun-penerbangan/ diakses pada 17 September 2015).

Sampai pada saat berakhirnya Perang Dunia I, dalam rangka kepentingan hidup bersama dan ketertiban internasional, maka dengan itu dibuat perjanjian internasional mengenai penerbangan, yaitu Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation, di Paris 13 Oktober 1919 atau yang lebih dikenal dengan Konvensi Paris 1919 yang mengatur secara khusus tentang tata cara, status, ruang udara dunia dengan Protocol Paris pada 1 Mei 1920 dan pada 15 Juni 1929 Protokol Paris ini kembali diperbaharui. Pada Konvensi Paris 1919 ini dengan jelas menerima kedaulatan nasional sebuah negara. Pada pasal 1 Konvensi Paris 1919 menegaskan kedaulatan penuh dan ekslusif negara-negara peserta terhadap ruang udara diatas wilayahnya. Jadi prinsip utama dari Konvensi Paris 1919 ini


(16)

adalah ruang udara yang mengikuti status yuridik sebuah negara dimana ruang udara tersebut membawahi daratan dan laut wilayahnya (Mauna, 2005 : 424).

Pada tanggal 7 Desember 1944 telah disetujuinya Konvensi Chicago yang membahas tentang penerbangan sipil internasional, transit jasa-jasa udara internasional, dan juga alat angkutan udara internasional. Dengan adanya Konvensi Chicago 1944 ini maka sekaligus membatalkan Konvensi Paris 1919 yang sudah ada. Namun Konvensi Chicago 1944 ini tetap mengadopsi prinsip-prinsip yang ada dalam Konvensi Paris 1919 seperti pada pasal 1 Konvensi Chicago yang menyatakan menyatakan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang diatas wilayahnya (Mauna, 2005 : 427).

Konvensi Chicago 1944 ini juga mendirikan sebuah organisasi dengan nama International Civil Aviation Organization (ICAO) dengan tujuan untuk menyeragamkan ketentuan navigasi udara yang menyatakan bahwa fungsi dari ICAO diatur dalam pasal 44 Konvensi Chicago adalah untuk mengembangkan prinsip-prinsip dan teknik navigasi penerbangan internasional dan memperkuat perencanaan dan pengembangan alat angkutan udara internasional sehingga dapat melaksanakan perkembangan penerbangan sipil internasional secara teratur dan aman (Mauna, 2005 : 429).

Kedaulatan negara merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk dijaga oleh suatu negara. Negara yang berdaulat diartikan sebagai negara yang mempunyai kekuasaan tertinggi (supreme authority) yang berarti bebas dari kekuasaan negara lain, bebas dalam arti seluas – luasnya baik ke dalam maupun ke luar (Kusumaatmadja, 2003 : 16).


(17)

Wilayah kedaulatan negara mencakup pula ruang udara di atas wilayahnya. Ditegaskan dalam pasal 1 Konvensi Chicago 1944 yang berbunyi “The Contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory” (Pengakuan atas kedaulatan negara yang mutlak dan penuh tersebut berlaku bagi seluruh negara, meskipun negara yang bersangkutan bukan anggota konvensi) (Konvensi Chicago 1944).

Kedaulatan yang dimiliki oleh negara terkandung hal-hal yang berhubungan dengan kedaulatan dan tanggung jawab negara terhadap wilayahnya, sebagai negara yang berdaulat Indonesia dapat mengatur wilayah darat, laut maupun udara untuk kepentingan pertahanan, keamanan, keselamatan penerbangan, maupun kegiatan sosial lainnya (Kusumaatmadja, 2003 : 16).

Dengan lahirnya“United Nations Convention On The Law Of The Sea” (UNCLOS) atau Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Tentang Hukum Laut pada tanggal 10 Desember 1982 (Konvensi HukumLaut 1982/UNCLOS 1982) yang telah ditandatangani oleh 117 negara peserta termasuk Indonesia di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982 dan telah diratifikasi oleh Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985. Maka secara internasional telah ada pengakuan tentang prinsip-prinsip negara kepulauan yang sekian lama diperjuangkan oleh Bangsa Indonesia. Hal ini merupakan perwujudan dari konsep Doktrin Wawasan Nusantara yang merupakan satu kesatuan tanah, daratan, dan perairan dalam perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan pilitik, satu kesatuan social, satu kesatuan ekonomi, dan satu kesatuan pertahanan keamanan (Shaw, 2013 : 554).


(18)

Dengan diakuinya Indonesia sebagai negara kepulauan hal ini menjamin adanya integrasi wilayah udara nasional sesuai dengan Konvensi Chicago 1944 yang mengatakan bahwa kedaulatan ruang udara suatu negara adalah di atas wilayah daratan dan perairannya. Konvensi Chicago pasal 1 menyatakan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang diatas wilayahnya. Sedangkan dalam pasal 2, yang dimaksud dengan wilayah udara adalah ruang udara diatas bagian daratan dan perairan territorial yang berada di bawah kekuasaan kedaulatan, perlindungan atau mandat dari negara. Dengan demikian dapat diartikan bahwa ruang udara diatas wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia adalah ruang udara penuh dan utuh yang dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan pemiliknya (Konvensi Chicago 1944).

Pada wilayah udara Republik Indonesia saat ini, selain pelayanan navigasi penerbangan dalam konfigurasi Flight Information Region (FIR) yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, terdapat pula pelayanan navigasi penerbangan yang didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian, antara lain perjanjian ruang udara dengan Singapura. Pendelegasian ruang udara Indonesia kepada Singapura, khususnya di atas Kepulauan Riau dan Natuna adalah untuk memberikan pelayanan navigasi penerbangan. Pada saat itu FIR yang ada yaitu FIR Natuna yang terdiri atas 3 sektor, yaitu Riau, Tanjung Pinang, dan Natuna, yang merupakan salah satu jalur penerbangan yang terpadat di regional Asia dan Pasifik dan dibentuk atas persetujuan bersama negara-negara anggota ICAO pada tahun 1946.


(19)

Pendelegasian ruang udara Indonesia kepada negara lain bermula pada saat diselenggarakan Regional Air Navigation Meeting (RAN Meeting) I di Honolulu Hawai Tahun 1973, dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa ruang udara diatas Kepulauan Riau dan Natuna dikelola oleh Singapura dengan ketinggian 20.000 kaki dan Malaysia dengan ketinggian dibawah 20.000 kaki. Kemudian pada tahun 1983, pada saat penyelenggaraan RAN Meeting II di Singapura, Indonesia berupaya merubah hasil kesepakatan RAN Meeting I namun hal tersebut tidak berhasil dilakukan (Buntoro, 2014 : 301).

Dalam RAN Meeting ke III tahun 1993 di Bangkok, Indonesia mengajukan proposal tentang perubahan batas Jakarta dan Singapura sekaligus menyatakan niatnya untuk mengambilalih pelayanan navigasi penerbangan pada ruang udara diatas Natuna tersebut yang pada awalnya adalah pembentukan TMA-Natuna yaitu melalui working paper „AIS/FAC/3-WP/55 19/2/93 Agenda Item 5 Airspace Organization and ATS Units Including en-route and terminal area Aids : “Re-Aligment of Indonesian FIR”, atau yang dikenal dengan sebutan “Working Paper No. 55”. Pertemuan menyepakati bahwa working paper No. 55 dapat diterima, namun dengan adanya counter paper oleh Singapura, maka ICAO menyarankan agar dibicarakan secara bilateral antara Singapura dan Indonesia. Selanjutnya, RAN IV sedianya dilaksanakan pada tahun 2003, namun hingga saat ini belum dilakasanakan kembali (Buntoro, 2014 : 302).

Sesuai dengan saran ICAO agar diadakan pembicaraan dilateral antara pemerintah indonesia dan Singapura guna membicarakan perihal kehendak Indonesia untuk meninjau ulang batas FIR sekaligus pengambilalihan pelayanan


(20)

navigasi penerbangan yang selama ini dikelola oleh FIR Singapura di atas kepulauan Riau dan Natuna, maka setelah melalui proses pembahasan yang cukup lama antara pemerintah Indonnesia yang diwakili oleh Directorate General of Air Communnications (DGCA) dan pemerintah Singapura yang diwakili oleh Civil Aviation Authority of Singapore (CAAS) menghasilkan suatu perjanjian mengenai pengalihan batas FIR Jakarta dan FIR Singapura, yaitu : Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Singapore on the Realigment of the Boundary between the Singapore Flight Information Region dan the Jakarta Flight Information region. Penandatanganan dilakukan oleh Menteri Perhubungan Indonesia dan Menteri Perhubungan Singapura pada tanggal 21 September 1995 di Singapura (Buntoro, 2014 : 303).

Berdasarkan perjanjian tersebut semua penerbangan yang melewati FIR Singapura harus mendapat Flight Clearance dari pemerintah Singapura dan hal itu menjadi kewajiban bagi pesawat asing yang terbang di wilayah udara negara lain, termasuk wilayah udara Indonesia. Kebijakan membuat perjanjian yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan pemerintah Singapura pada waktu itu berdasarkan pada ketentuan Annex 11 Konvensi Chicago 1994, dimana Indonesia dapat mendelegasikan ruang udaranya guna pemberian pelayanan navigasi penerbangan apabila belum mampu untuk mengontrolnya. Atas dasar tersebut Indonesia mendelegasikan ruang udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna karena begitu padatnya penerbangan baik nasional maupun internasional yang melewati wilayah udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna dan pada saat itu Indonesia belum


(21)

mampu mengontrol penerbangan di atas Kepulauan Riau dan Natuna karena keterbatasan teknologi dan sumber daya manusia (SDM) (Buntoro, 2014 : 303).

Dalam Pasal 2 perjanjian pendelegasian pelayanan lalu lintas udara atau navigasi penerbangan antara Indonesia dan Singapura, telah ditentukan bahwa Indonesia mendelegasikan ruang udara Indonesia guna memberikan pelayanan navigasi penerbangan (lalu lintas udara) kepada FIR Singapura. Hal-hal penting dalam perjanjian tersebut adalah bahwa dasar penetapan batas yang dibuat sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982 dan Indonesia mendelegasikan tanggung jawab pemberian pelayanan navigasi penerbangan di sektor A diatas Kepulauan Riau kepada Singapura dari permukaan laut sampai dengan ketinggian 37.000 feet, sedangkan di sektor B diatas Tanjung Pinang, mulai dari permukaan laut sampai tak terhingga (unlimited height) serta sektor C diatas Kepulauan Natuna tidak termasuk dalam perjanjian tersebut. Terhadap pemberian pelayanan navigasi tersebut Pemerintah Singapura atas nama Pemerintah Indonesia memungut Route Air Navigation (RANS) Charge atas penerbangan sipil di sektor A tersebut (Kepres No 7 Tahun 1996).

Pemerintah Indonesia mencoba mengkaji ulang Flight Information Region yang dikelola oleh negara lain di atas wilayah Indonesia yang memberikan pelayanan navigasi penerbangan. Sebagai negara yang berdaulat Indonesia harus mengambilalih dan mengelola sendiri wilayah udara yang dikelola oleh negara lain sebagai bentuk upaya pemerintah Indonesia dalam mengantisipasi dan mengatasi pelanggaran di atas wilayah udara Indonesia, khususnya wilayah udara Indonesia di atas Kepulauan Riau dan Natuna yang masih dikelola oleh FIR


(22)

Singapura berdasarkan perjanjian antara Indonesia Singapura tahun 1995 mengenai penyelarasan ulang garis batas antara FIR Singapura dan FIR Jakarta, yakni Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Singapore on the Realigment of the Boundary between the Singapore Flight Information Region dan the Jakarta Flight Information region (Buntoro, 2014 : 303).

Ruang udara Indonesia di atas Kepulauan Riau yang selama ini dikenal dengan sektor A, B dan C adalah wilayah udara Indonesia yang dikelola oleh Singapura. Beberapa usaha pengambilalihan pernah dilakukan, namun belum berhasil. Sistem FIR masih dipegang oleh menara Air Traffic Control Singapura. Sehingga pesawat Indonesia yang terbang di area tersebut harus meminta ijin kepadanSingapuranmeskipunnterbangndiatasnwilayahnIndonesiaN(http://dmc.ke mhan.go.id/post-pengambilalihan-pengelolaan-fir-di-kep-natuna-dan-kepri-dari-singapura-harus-dilakukan-bersama.htmlndiakses pada 11 September 2015).

Berdasarkan Pasal 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang penerbangan menyatakan bahwa negara berdaulat penuh dan ekslusif atas wilayah udara Republik Indonesia, maka Indonesia mempunyai wewenang dan tanggung jawab penuh dalam mengelola dan mengatur ruang udara demi kepentingan keselamatan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara. Sebagai negara anggota International Civil Aviation Organization (ICAO) sejak 27 april 1950 Indonesia mempunyai kewajiban internasional dalam memberikan pelayanan navigasi semua penerbangan nasional maupun internasional yang melewati wilayah udara


(23)

Indonesia, sebagaimana yang telah diamanatkan Undang-undang penerbangan diatas yang menyebutkan bahwa wilayah udara Indonesia ini yang berupa ruang udara di atas laut dan daratan merupakan kekayaan nasional yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara (Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009).

Dengan dikuasainya FIR diatas Kepulauan Riau dan Natuna oleh Singapura ini memberikan dampak yang sangat luas, pertama menyebabkan pelanggaran kedaulatan wilayah udara Indonesia. Kedua dalam bidang ekonomi yang membuat Indonesia tidak bisa mengelola wilayah udara yang merupakan kekayaan nasional sesuai amanat Undang-undang. Kerugian yang didapat Indonesia tersebut menjadi pertimbangan utama dalam mengambilalih wilayah udara Indonesia yang dikelola oleh Singapura.

Alasan ketiga adalah keamanan dimana seringnya pesawat militer Singapura yang masuk tanpa adanya izin dari Indonesia. Pesawat militer yang digunakan oleh Singapura untuk latihan diatas wilayah Indonesia tepatnya di utara pulau bintan adalah jet tempur Northrop F-5 dan F-16 Fighting Falcon. Meskipun hal tersebut berkaitan dengan perjanjian antara Indonesia dan Singapura tentang Military Training Areas (MTA), namun perjanjian tersebut berakhir pada tahun 2001 maka dari itu pesawat militer Singapura tidak lagi berhak melintas di atas wilayah udara Indonesia karena dapat membahayakan pertahanan dan keamanan Indonesian(http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151004164716n20n82695/p erang-udara-indonesia-singapura/ diakses pada 19 Oktober 2015).


(24)

Perjanjian tersebut diatur dalam Agreement between the goverment of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Singapore on Military Training in Areas 1 and 2. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Jenderal TNI (Purn) Edi Sudrajat yang kala itu menjabat sebagai Menhankam dan Menhan Singapura saat itu Tony Tan. Kemudian perjanjian tersebut disahkan melalui Keppres No.8/1996. .MTA merupakan wilayah udara Indonesia yang diperkenankan untuk latihan udara Singapura karena mereka tidak memiliki wilayah udara untuk latihan. Wilayah MTA 1 ini berawal pada titik dari sebelah barat daya Singapura hingga Tanjung Pinang, Kepri, termasuk di utara Pulau Bintan. Sementara MTA 2 yang berada di sebelah barat, membentang dari sisi timurnSingapuranhingganKepulauannNatunan(http://news.detik.com/berita/30110 79/pesawat-tempur-singapura-kerap-latihan-di-ruang-udara-ri diaksesnpadan13 September 2015).

Seiring berjalannya perjanjian tersebut Indonesia tidak menerima keuntungan apapun, maka dari itu pada tahun 2001 Indonesia tidak memperpanjang perjanjian tersebut karena lebih banyak merugikan Indonesia. Meskipun perjanjian mengenai MTA ini sudah selesai, pada tahun 2007 MTA ini digantikan dengan defence cooperation agreement (DCA) karena sudah habis masa perjanjiannya. Perjanjian tersebut harusnya belum berlaku karena Indonesia sendiri belum meratifikasi perjanjian tersebut. Namun pihak dari Singapura menganggap perjanjian mengenai DCA ini sudah berlaku sehingga pesawat militer Indonesia ini sering kali diingatkan bahwa daerah tersebut adalah kawasan terlarangndannhanyanbisandiaksesnolehnSingapuransajan(http://news.metrotvnew


(25)

s.com/read/2015/09/08/167361/panglimanpastikanntninusirnpesawatntempurnsin gapura-dari-natuna diakses pada 13 September 2015).

Upaya pengambilalihan pelayanan navigasi penerbangan yang dikelola oleh FIR Singapura diatas Kepulauan Riau dan Natuna ini sudah lama dilakukan. Pada tahun 2010 Indonesia memasukan masalah realignment FIR ini kedalam salah satu agenda pertemuan antara Presiden RI dengan pemerintah Malaysia. Pada tahun 2012 Indonesia mengadakan pertemuan di Bali dan telah mencapai kesepakatan bahwa FIR wilayah Batam dan Kepri yang saat ini dikuasai Singapura akan dikembalikan ke Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 458 menyatakan bahwa wilayah udara Republik Indonesia, yang pelayanan naviasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 (lima belas) tahun sejak Undang-undang ini berlaku. Artinya Indonesia pada tahun 2024 ini dapat mengambilalih pelayanan navigasi penerbangan yang selama ini dikelolanolehnFIRnSingapurandiatasnKepulauannRiaundannNatunan(http://berita gar.id/artikel/berita/indonesia-bisa-berdaulat-di-udara-pada-2024-25022ndiakses pada 22 September 2015).

Pada tahun 2013 Indonesia kembali gagal untuk duduk di Dewan (Council) Part III dari ICAO pada sidang ke-38 yang berlangsung pada 24 September 2013 sampai dengan 4 Oktober 2013 di Montreal, Kanada. Berbagai upaya perbaikan telah dilakukan termasuk sebelumnya Indonesia telah membuka kembali Kantor Kepentingan Indonesia ICAO di Montreal, Kanada pada tanggal 2


(26)

Februari 2012. Keinginan Indonesia untuk merebut kembali wilayah ruang udara yang pernah hilang, kini mulai bangkit dengan dibentuknya Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI). Diharapkan setelah melakukan konsolidasi organisasi yang kuat akan memungkinkan LPPNPInbisanmengambilnalihnFIRn(http://www.theglobalnreview.com/content_ detail.php?lang=id&id=17476&type=6#.Vgwb9fmqqkp diakses pada 30 September 2015).

Untuk memudahkan peneliti dalam mengkaji upaya pengambilalihan pelayanan navigasi penerbangan yang dikelola oleh Flight Information Region Singapura oleh Indonesia, peneliti menggunakan beberapa penelitian terdahulu sebagai acuan dalam pembahasan. Beberapa penelitian terdahulu yang akan digunakan oleh penulis adalah pertama penelitian yang dilakukan oleh Amirizal Mansur dari Universitas Pertahanan pada tahun 2011 dengan judul “Flight Information Region (FIR): Implikasi Penguasaan Air Traffic Control oleh Singapura di Kepulauan Riau”. Dalam penelitian ini, Mansur membahas masalah pendelegasian FIR diatas Kepulauan Riau kepada Singapura ditinjau dari aspek kedaulatan, pertahanan dan ekonomi. Melalui penelitian ini, Mansur memberikan data terkait cara perhitungan jumlah kerugian ekonomi yang dialami oleh Indonesia ketika mendelegasikan FIR diatas Kepulauan Natuna kepada Singapura. Mansur juga memberikan data terkait jumlah Rans Charge yang seharusnya dibayarkan oleh Singapura kepada Indonesia.

Penelitian yang dilakukan oleh Mansur ini mempunyai kesimpulan bahwa implikasi yang muncul dari penguasaan ATC oleh Singapura mungkin sesuatu


(27)

yang tidak diperkirakan oleh pemerintah Indonesia pada saat itu. Pemerintah Indonesia perlu proaktif untuk melakukan dialog dengan negara Singapura karena semua permasalahan yang berhubungan dengan pengambilalihan FIR tergantung dari hasil pembicaraan kedua negara. Adapun ICAO sebagai organisasi penerbangan internasional hanya sebagai pihak yang mengesahkan saja hasil pembicaraan yang dilakukan antara pemerintah Indonesia dan Singapura.

Kedua penelitian yang dilakukan oleh Niam Chomsky dari Universitas Slamet Riyadi pada tahun 2012 dengan judul “Strategi Diplomasi Indonesia dalam Menyelesaikan Sengketa Flight Information Region diatas Kepulauan Natuna dengan Singapura dan Malaysia”. Dalam penelitiannya Niam membahas kedaulatan udara yang menjadi sengketa Flight Information Region diatas Kepulauan Natuna antara Indonesia, Malaysia dan Singapura. Melalui penelitian ini, Niam memberikan data terkait proses terbentuknya hukum kedaulatan udara hingga melahirkan konsep kedaulatan udara yang biasa digunakan dalam hukum internasional, penerapan konsep kedaulatan udara di negara kepulauan, pengaruh FIR Kepulauan Natuna terhadap stabilitas kawasan, pendelegasian FIR Kepulauan Natuna kepada Malaysia dan Singapura, status pengelolaan ruang udara dan FIR Kepulauan Natuna, dampak pendelegasian FIR Kepulauan Natuna kepada Singapura dan Malaysia, dan sengketa yang muncul akibat status pengelolaan FIR Kepulauan Natuna. Penelitian ini juga memberikan data mengenai strategi diplomasi Indonesia dalam menyelesaikan sengketa FIR dengan Malaysia dan Singapura, hingga capaian yang berhasil diperoleh oleh Indonesia dan pihak terkait dalam penyelesaian sengketa FIR Kepulauan Natuna.


(28)

Persamaan peneliti dengan dua penelitian yang dilakukan diatas mengangkat masalah yang sama, yaitu kedaulatan wilayah udara Indonesia yang dikelola oleh Singapura. Kedaulatan bagi sebuah negara sangat penting dalam menjaga kelangsungan hidup dan keutuhan wilayah suatu negara, karena menurut Friedrich Ratzel besar kecilnya penghayatan suatu bangsa atas konsepsi ruangnya akan menentukan besar kecilnya wilayah negaranya (Wahyono, 2009 : 45).

Penelitian yang dilakukan peneliti berbeda dengan dua penelitian diatas, dimana peneliti ingin mengetahui bagaimana respon yang dilakukan oleh Singapura dalam menanggapi upaya Indonesia dalam mengambil alih pelayanan navigasi penerbangan yang dikelola oleh FIR Singapura diatas Kepulauan Riau dan Natuna. Mengingat penerbangan menuju Singapura ini sangatlah padat bila pelayanan navigasi penerbangan berhasil diambil alih kembali oleh Indonesia akan berdampak pada ekonomi dimana pemasukan dibidang jasa pelayanan navigasi penerbangan yang selama ini didapatkan Singapura atas nama pemerintah Indonesia.

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik mengetahui lebih jauh mengenai upaya Indonesia dalam mengambilalih pelayanan navigasi penerbangan yang dikelola oleh FIR Singapura diatas kepulauan Riau dan Natuna dengan beberapa alasan antara lain : pertama, Indonesia adalah negara yang berdaulat dan setiap wilayah yang termasuk kedalam NKRI ini haruslah dijaga dan tidak boleh dimasuki tanpa ijin oleh negara lain maka dari itu upaya yang dilakukan oleh Indonesia ini dalam mengambilalih pelayanan navigasi yang dikelola oleh Singapura ini merupakan langkah yang tepat bila mengacu kepada kepentingan


(29)

untuk mengelola kekayaan negaranya, karena tidak wajar jika pesawat milik Indonesia ini terbang diatas Kepulauan Riau dan Natuna namun harus melapor kepada Singapura sebagai pihak yang mengelola FIR diatas Kepulauan Riau dan Natuna walaupun dengan alasan keamanan. Kedua Indonesia telah mempunyai aturan dalam Undang-undang bahwa Indonesia mempunyai wewenang dan tanggung jawab penuh dalam mengelola dan mengatur ruang udara demi kepentingan keselamatan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara. Ketiga dengan adanya teknologi yang telah dimiliki oleh Indonesia dalam bidang penerbangan dan dengan banyaknya Sumber Daya Manusia (SDM) membuat Indonesia merasa siap untuk mengelola secara mandiri pelayanan navigasi yang selama ini dikelola oleh FIR Singapura diatas Kepulauan Riau dan Natuna.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut yang menjadi dasar pertimbangan peneliti untuk mengadakan penelitian dengan judul “Upaya Indonesia Dalam Pengambilalihan Pelayanan Navigasi Penerbangan Pada Flight Information Region Singapura Di Atas Kepulauan Riau dan Natuna.

Adapun ketertarikan penulis untuk meneliti dan mengangkat isu tersebut didukung oleh beberapa mata kuliah disiplin Ilmu Hubungan Internasional, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Hukum Internasional, dimana hukum udara internasional menjadi salah satu kajian hukum internasional, khususnya mengenai konsep kedaulatan wilayah udara yang menjadi dasar oleh Indonesia dalam upaya


(30)

pengambilalih pelayanan navigasi penerbangan yang dikelola oleh Singapura diatas Kepulauan Riau dan Natuna.

2. Hubungan Internasional di Asia Tenggara, dalam mata kuliah ini mempelajari interaksi yang dilakukan antar negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Wilayah Negara Indonesia dan Singapura terletak dikawasan Asia Tenggara dan seringkali terjadi interaksi oleh kedua negara mengenai wilayah udara.

3. Studi Keamanan Internasional, dalam mata kuliah ini mempelajari konsep keamanan suatu negara yang menjadi faktor penting dalam kehidupan bernegara suatu bangsa. Berdasarkan mata kuliah ini peneliti menilai pelanggaran kedaulatan yang dilakukan oleh Singapura ini telah mengganggu keamanan Indonesia.

4. Diplomasi dan Negosiasi, dalam mata kuliah ini mempelajari mengenai strategi dalam melakukan diplomasi dan negosiasi dalam upaya pengambilalihan pelayanan navigasi penerbangan pada FIR Singapura diatas Kepulauan Riau dan Natuna oleh Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Rumusan Masalah Mayor

“Bagaimana Upaya Pengambilalihan Pelayanan Navigasi Penerbangan Pada FIR Singapura Di Atas Kepulauan Riau dan Natuna Oleh Indonesia ?”


(31)

1.2.2 Rumusan Masalah Minor

1. Apa saja langkah-langkah yang telah dilakukan Indonesia dalam mengambilalih pelayanan navigasi penerbangan yang dikelola oleh Singapura diatas Kepulauan Riau dan Natuna ?

2. Kendala apa saja yang dihadapi Indonesia dalam mengambilalih pelayanan navigasi penerbangan FIR Singapura di atas Kepulauan Riau dan Natuna ?

3. Bagaimana respon Singapura terhadap upaya Indonesia dalam mengambilalih pelayanan navigasi penerbangan FIR Singapura di atas Kepulauan Riau dan Natuna ?

Upaya Indonesia untuk mengambilalih pengelolaan FIR dari otoritas FIR Singapura ini telah menghasilkan perjanjian antara Indonesia dengan Singapura pada tahun 1995 yang membagi ruang udara Indonesia menjadi tiga sektor, yaitu sektor A diatas Kepualauan Riau, sektor B diatas Tanjung Pinang, dan sektor C diatas Kepulauan Natuna. Karena rentang waktu yang begitu panjang penelitian ini dibatasi dari tahun 2012-2015, karena dalam kurun waktu tersebut Indonesia melakukan berbagai upaya yang salah satunya dengan mengadakan pertemuan dengan Singapura dalam agenda pembahasan mengenai FIR Kepulauan Riau dan Natuna, selain itu juga pada waktu tersebut Indonesia mencalonkan diri menjadi anggota Dewan ICAO.


(32)

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana upaya dari Indonesia dalam mengambilalih pelayanan navigasi penerbangan yang dikelola oleh FIR Singapura diatas Kepulauan Riau dan Natuna berdasarkan perjanjian antara Indonesia dan Singapura tahun 1995.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan antara lain :

1. Mengetahui langkah-langkah yang telah dilakukan Indonesia dalam mengambil alih pelayanan navigasi penerbangan yang dikelola oleh Singapura diatas Kepulauan Riau dan Natuna.

2. Mengetahui kendala apa saja yang dihadapi oleh Indonesia dalam upaya pengambilalihan pelayanan navigasi penerbangan yang dikelola oleh FIR Singapura diatas Kepulauan Riau dan Natuna.

3. Mengetahui respon dari pemerintah Singapura mengenai upaya pengambilalihan pelayanan navigasi penerbangan yang dikelola oleh FIR Singapura diatas Kepulauan Riau dan Natuna oleh Indonesia.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

Diharapkan dapat menambah wawasan peneliti serta memberikan atau menambah pembedaharaan pustaka, serta dapat memberikan sedikit sumbangan


(33)

bagi Ilmu pengetahuan studi Ilmu Hubungan Internasional, Hukum Internasional, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Studi Keamanan Internasional, dan Diplomasi dan Negosiasi mengenai upaya pengambilalihan pelayanan navigasi penerbangan pada FIR Singapura Di Atas Kepulauan Riau dan Natuna Oleh Indonesia.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Diharapkan menambah wawasan ilmu pengetahuan, pengalaman dan kemampuan peneliti di bidang Ilmu Hubungan Internasional dan Hukum Internasional.

2. Sebagai bahan referensi bagi penstudi Hubungan Internasional dan Hukum Internasional.

3. Sebagai bahan referensi bagi Pemerintah RI, khususnya Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri, TNI, dan Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia.


(34)

20 2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Hubungan Internasional

Hubungan internasional adalah hubungan yang melintasi batas negara yang dengan adanya hubungan internasional dapat menghilangkan sekat-sekat yang ada yang menjadi penghalang para aktor hubungan internasional dalam menjalin hubungan. Hubungan yang melintasi batas negara tersebut mencakup hubungan antara satu negara dengan negara lain, hubungan yang dibangun baik itu berupa hubungan kerjasama maupun hubungan yang bersifat konflik. Dalam buku Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Anak Agung Banyu Perwita &Yanyan Mochamad Yani menyatakan:

”Hubungan Internasional merupakan bentuk interaksi antara aktor atau anggota masyarakat yang satu dengan aktor atau anggota masyarakat lain yang melintasi batas-batas negara. Terjadinya hubungan internasional merupakan suatu keharusan sebagai akibat adanya saling ketergantungan dan bertambah kompleksnya kehidupan manusia dalam masyarakat internasional sehingga interdependensi tidak memungkinkan adanya suatu negara yang menutup diri terhadap dunia luar” (Perwita dan Yani, 2005: 3-4).

Hubungan internasional adalah suatu upaya yang harus dilakukan oleh negara-negara karena makin banyaknya kompleksitas yang dihadapi masyarakat dunia internasional ini menciptakan ketergantungan antara satu negara dengan negara lain. semakin banyaknya interdependensi menyebabkan tidak adanya satu negara didunia ini yang dapat menutup diri dari dunia luar, karena kebutuhan setiap negara makin kompleks.


(35)

Pola interaksi hubungan internasional tidak dapat dipisahkan dengan segala bentuk interaksi yang berlangsung dalam pergaulan masyarakat internasional, baik oleh pelaku negara (state-actor) maupun oleh pelaku-pelaku bukan negara (non-state actor). Pola hubungan atau interaksi ini dapat berupa kerjasama (coorperation), persaingan (competition), dan pertentangan (conflict) (Rudy, 2003 : 2).

Robert Jackson dan George & Sorensen juga mengatakan, bahwa

“Hubungan Internasional kontemporer selain mengkaji hubungan politik, juga mencakup sekelompok kajian lainnya seperti tentang interdependensi perekonomian, kesenjangan utara-selatan, keterbelakangan, perusahaan internasional, hak-hak asasi manusia, organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional, lingkungan hidup, gender, dan lain sebagainya (Jackson & Sorensen, 2009:34).”

Sistem internasional menjadi semakin kompleks pasca berakhirnya perang dingin, dimana selama perang dingin sistem internasional lebih fokus pada isu-isu high politics seperti perang, politik, keamanaan dan militer bergeser ke low politics seperti masalah lingkungan hidup, hak asasi manusia, ekonomi, budaya dan terorisme. Karena hal-hal tersebut Anak Agung Banyu Perwita & Yanyan Mochamad Yani dalam bukunya Pengantar Ilmu Hubungan Internasional menyatakan bahwa:

“Dengan berakhirnya Perang Dingin dunia berada dalam masa transisi. Hal itu berdampak pada studi Hubungan Internasional yang mengalami perkembangan yang pesat. Hubungan internasional kontemporer tidak hanya memperhatikan politik antar negara saja, tetapi juga subjek lain meliputiterorisme, ekonomi, lingkungan hidup, dan lain sebagainya. Selain itu Hubungan Internasional juga semakin kompleks. Interaksi tidak hanya dilakukan negara saja, melainkan juga aktor-aktor lain, yaitu aktor non-negara juga memiliki peranan yang penting dalam Hubungan Internasional” (Perwita dan Yani, 2005: 7-8).


(36)

2.1.2 Kerjasama Internasional

Pola interaksi Hubungan Internasional dapat dipisahkan dengan segala bentuk interaksi yang berlangsung dalam pergaulan masyarakat internasional, baik oleh pelaku negara (state actor), maupun oleh pelaku bukan negara (nonstate actor). Pola hubungan atau interaksi ini dapat berupa kerjasama (cooperation), persaingan (competition), dan pertentangan (conflict) (Rudy, 2003:2).

Sejalan dengan perkembangan peradaban, kelompok manusia yang pada mulanya cenderung berpindah-pindah, mereka mulai hidup menetap dan mengenal bagaimana bertahan hidup dengan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kemudian terjadi pertentangan-pertentangan antar kelompok untuk memperebutkan satu wilayah tertentu, dan untuk mempertahankan hak hidup mereka pada lokasi yang mereka anggap baik bagi sumber penghidupan kelompoknya, mereka memilih seseorang dari kelompoknya yang ditugaskan untuk mengatur dan memimpin kelompoknya. Kemudian dengan meluasnya kepentingan kelompok yang ada dan untuk dapat mengatasi kesulitan yang mereka hadapi, baik yang datangnya dari dalam maupun luar, mereka merasakan perlu adanya suatu organisasi seperti dikenal sekarang yang mengatur tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam kelompok yang bergabung menjadi kelompok yang lebih besar (Rudy, 2009 : 65).

Perkembangan di dalam Poitik Luar Negeri, dimana terdapat pola-pola yang salah satunya ialah pola kerjasama yang akan menjelaskan kemana arah suatu negara melangkah, apakah cenderung kepada kerjasama politik, ekonomi,


(37)

sosial budaya atau kepada pertahanan dan keamanan. Perhatian utama di dalam teori Hubungan Internasional itu sendiri ialah studi mengenai penyebab-penyebab konflik yang menunjang suatu kerjasama. Oleh karena itu, teori hubungan politik yang meliputi konflik, membentuk dasar yang paling penting bagi pembentukan teori Hubungan Internasional (Dougherty dan Pfaltzgraff, 2000 : 418).

Isu utama dari kerjasama internasional yaitu berdasarkan pada sejauh mana keuntungan bersama yang diperoleh melalui kerjasama tersebut dapat mendukung konsepsi dari kepentingan tindakan yang unilateral dan kompetitif. Kerjasama internasional terbentuk karena kehidupan internasional meliputi berbagai bidang seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan (Perwita & Yani, 2005 : 33).

Adapun beberapa faktor yang menjadi fokus perhatian di dalam suatu kerjasama internasional adalah sebagai berikut :

1. Pertama, negara bukan lagi sebagai aktor eksklusif dalam politik internasional melainkan hanya bagian dari jaringan interaksi politik, militer, ekonomi dan kultural bersama-sama dengan aktor-aktor ekonomi dan masyarakat sipil

2. Kedua, kerjasama internasional tidak lagi semata-mata ditentukan oleh kepentingan masing-masing negara yang terlibat di dalamnya, melainkan juga oleh institusi internasional, karena institusi internasional seringkali bukan hanya bisa mengelola berbagai kepentingan yang berbeda dari negara-negara anggotanya, tetapi juga


(38)

memiliki dan bisa memaksakan kepentingannya sendiri (Sugiono, 2006 : 6).

Berikut adalah bentuk-bentuk dari kerjasama internasional berdasarkan pada jumlah negara yang mengikuti sebuah kerjasama :

a. Kerjasama bilateral

Kerjasama yang dilakukan antar dua negara. Kerjasama ini biasanya dalam bentuk hubungan diplomatik, perdagangan, pemdidikan dan kebudayaan. Kerjasama bilateral cenderung lebih mengutamakan pendekatan secara kekerabatan, seperti memberikan bantuan berupa dana untuk fasilitas kegiatan ataupun berupa pinjaman.

b. Kerjasama regional

Dilakukan oleh beberapa negara dalam suatu kawasan atau wilayah. Kerjasama ini biasanya dilakukan dalam bidang politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan (ASEAN dan Liga Arab).

c. Kerjasama Multilateral

Dilakukan oleh beberapa negara dalam bidang tertentu, diantaranya bidang ekonomi (APEC), sosial (ILO,WHO), pertahanan dan keamanan (NATO) (Djelantik, 2008 : 85-87).

2.1.2.1Kerjasama Bilateral

Hubungan bilateral dapat dikatakan sebagai hubungan yang dijalankan oleh dua negara yang berdaulat. Seperti yang diungkapkan oleh T. May Rudy


(39)

bahwa Kerjasama bilateral adalah kerjasama yang yang diadakan oleh dua buah negara untuk mengatur kepentingan kedua belah pihak (Rudy, 2002 : 127).

Hubungan bilateral ataupun bilateralisme, mengacu pada hubungan politik dan budaya yang melibatkan dua negara. Kebanyakan diplomasi yang terjadi saat ini berbentuk hubungan bilateral. Alternatif diplomasi lainnya adalah multilateral yang melibatkan banyak negara dan unilateral, jika satu negara bertindak sendiri. Seringkali terjadi perdebatan mengenai bagaimana efektivitas dari penerapan diplomasi bilateral dan multilateral. Penolakan terhadap diplomasi bilateral pertama kali terjadi setelah berakhirnya Perang Dunia I, ketika para politikus menyimpulkan bahwa sistem perjanjian internasional bilateral sebelumnya pecah di Perang Dunia I yang sifatnya kompleks menyebabkan perang tidak dapat dihindarkan. Kondisi ini kemudian melahirkan pembentukan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang menerapkan aktivitas diplomasi multilateral. Reaksi yang sama menolak perjanjian dagang terjadi setelah Depresi ekonomi dunia tahun 1930an. Kesepakatan-kesepakatan dagang bilateral menyebabkan meningkatnya tarif yang memperparah kejatuhan ekonomi beberapa negara. Maka setelah Perang Dunia, negara-negara Barat melakukan berbagi kesepakatan multilateral seperti General Agreement on Tariff and Trade (GATT) (Berrige, 2003 : 132).

Ketika sebuah negara mengakui kedaulatan negara lain dan setuju untuk menjalin hubungan diplomatik dengan negara yang berdaulat tersebut, kemudian masing-masing negara yang bersangkutan akan mengirimkan perwakilan negaranya sebagai bentuk fasilitas untuk mendukung hubungan bilateral tersebut


(40)

melalui dialog dan kerjasama. Hubungan tersebut dapat terlaksana di berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan.

Adapun jalan yang ditempuh ketika hubungan bilateral berjalan tidak sebagaimana mestinya, seperti adanya pelanggaran yang dilakukan salah satu pihak yang menyimpang dari kesepakatan bersama, maka hubungan multilateral dan unilateral yang dijadikan sebagai alternatif ketika suatu negara bertindak sewenang-wenang (freewill).

“Dalam diplomasi bilateral, konsep utama yang digunakan adalah sebuah negara akan mengejar kepentingan nasionalnya demi mendapatkan keuntungan yang maksimal dan cara satu-satunya adalah dengan membuat hubungan baik dan berkepanjangan antar negara”(Rana, 2002: 15-16).

2.1.3 Perjanjian Internasional

Perjanjian Internasional pada Statuta Mahkamah Internasional pasal 38, sumber-sumber hukum internasional adalah perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh negara-negara beradab, dan keputusan pengadilan dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya menurut sumber hukum internasional (Mauna, 2005 : 84).

Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, semua dokumen sepanjang bersifat lintas negara, sepanjang yang menjadi pihak adalah pemerintah Indonesia, diperlakukan sebagai perjanjian internasional dan disimpan dalam Ruang Perjanjian (treaty room) Kementerian Luar Negeri. Perjanjian yang dibuat Pemerintah dengan organisasi non pemerintah juga dianggap sebagai perjanjian


(41)

internasional. Setelah lahirnya Undang-Undang tersebut, Indonesia telah menunjukkan konsistensi tentang perjanjian (Agusman, 2010 : 24).

Dalam Konvensi Wina 1969 dan 1986 telah memuat definisi tentang perjanjian internasional, yaitu perjanjian internasional yang dibuat antara negara (dan organisasi internasional) dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, baik yang terkandung dalam instrumen tunggal atau dalam dua atau lebih instrumen yang terkait.

Selanjutnya, definisi ini diadopsi oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang perjanjian internasional dengan sedikit modifikasi, yaitu setiap perjanjian di bidang hukum publik, yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain.

Dari pengertian ini, maka terdapat beberapa kriteria dasar yang harus dipenuhi oleh suatu dokumen perjanjian untuk dapat ditetapkan sebagai suatu perjanjian internasional menurut Konversi Wina 1969 dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, yaitu:

1. Perjanjian tersebut harus berkarakter internasional (an international agreement), sehingga tidak mencakup perjanjian-perjanjian yang berskala nasional seperti perjanjian antarnegara bagian atau antara Pemerintah Daerah dari suatu negara nasional.

2. Perjanjian tersebut harus dibuat oleh negara dan/atau organisasi internasional (by subject of international law), sehingga tidak mencakup perjanjian yang


(42)

sekalipun bersifat internasional namun dibuat oleh non subjek hukum internasional, seperti perjanjian antara negara dengan perusahaan multinasional.

3. Perjanjian tersebut tunduk pada rezim hukum internasional (governed by international law) yang oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional disebut dengan “diatur dalam hukum internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”. Perjanjian -perjanjian yang tunduk pada hukum perdata nasional tidak mencakup dalam kriteria ini (Agusman, 2010 : 20).

Dapat disimpulkan bahwa yang disebut perjanjian internasional adalah semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, yang diatur oleh hukum internasional dan berisikan ikatan-ikatan yang mempunyai akibat-akibat hukum. Sehubungan dengan itu ada dua unsur pokok dalam definisi perjanjian internasional tersebut, yaitu:

1. adanya Subjek Hukum Internasional Negara adalah subjek hukum internasional yang mempunyai kapasitas penuh untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional.

2. rejim Hukum Internasional Suatu perjanjian merupakan perjanjian internasional apabila perjanjian tersebut diatur oleh rejim hukum internasional (Mauna, 2005 : 88).

T. May Rudy menggolongkan perjanjian internasional menjadi dua bagian, Treaty Contract dan Law Making. Berikut penjelasannya:


(43)

“Penggolongan perjanjian internasional sebagai sumber hukum formal adalah penggolongan perjanjian dalam Treaty Contract dan Law Making Treaties. Treaty Contract dimaksudkan perjanjian seperti kontrak atau perjanjian hukum perdata, hanya mengakibatkan hak dan kewajiban antara pihak yang mengadakan perjanjian itu” (Rudy, 2002 : 44).

Perjanjian internasional dibedakan sesuai dengan materi dari perjanjian itu sendiri. Pada umumnya bentuk dan nama perjanjian menentukan bahwa materi yang diatur oleh perjanjian tersebut memiliki bobot kerjasama yang berbeda tingkatannya. Namun demikian, secara hukum perbedaan tersebut tidak relevan dan tidak harus mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang tertuang di dalam suatu perjanjian internasional.

Adapun dalam membuat suatu perjanjian internasional diharuskan melewati beberapa tahap yaitu:

1. Perundingan (Negotiation)

Kebutuhan negara akan hubungan dengan negara lain untuk membicarakan berbagai masalah yang timbul diantara negara-negara itu akan menimbulkan kehendak negara-negara untuk mengadakan perundingan, yang dapat melahirkan suatu traktat.

2. Penandatanganan (Signature)

Setelah berakhirnya perundingan tersebut, maka pada teks treaty yang telah disetujui itu oleh wakil-wakil berkuasa penuh dibubuhkan tandatangan dibawah traktat. Akibat penandatanganan suatu traktat tergantung pada ada tidaknya ratifikasi traktat itu, apabila traktat harus diratifikasi maka


(44)

penandatanganan hanya berarti bahwa utusan-utusan telah menyetujui teks dan bersedia menerimanya.

3. Ratifikasi

Ratifikasi yaitu pengesahan atau penguatan terhadap perjanjian yang telah ditandatangani. Ada tiga sistem menurut makna ratifikasi diadakan yaitu, ratifikasi semata-mata dilakukan oleh badan eksekutif, ratifikasi dilakukan oleh badan perwakilan (legislatif), sistem dimana ratifikasi perjanjian dilakukan bersama-sama oleh badan legislatif dan eksekutif (Rudy, 2002:130).

Mulai berlakunya suatu perjanjian baik bilateral maupun multilateral, pada umumnya ditentukan oleh aturan penutup dari perjanjian itu sendiri. Para pihak dalam perjanjian internasional menentukan bila perjanjian tersebut mulai berlaku secara efektif. Adapun suatu perjanjian mulai berlaku dan aturan-aturan yang umumnya dipakai dalam perjanjian tersebut.

Pasal 3 Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 menyebutkan bahwa berlakunya perjanjian internasional dapat dilakukan melalui penandatanganan, pengesahan, dan pertukaran dokumen perjanjian atau nota diplomatik, serta cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional.

2.1.4 Hukum Internasional

Hukum Internasional juga merupakan salah satu kajian dalam hubungan internasional. Ruang lingkup dari hukum internasional dewasa ini sangat luas. Mulai dari regulasi ekspedisi ruang angkasa hingga mengenai pembagian dasar


(45)

laut, dan dari perlindungan hak asasi manusia sampai ke pengelolaan sistem keuangan internasional, keterlibatan dari hukum internasional ini telah meluas dari perhatian utamanya dalam menjaga perdamaian (Shaw, 2013 : 43).

Karakter dasar dari hukum internasional yang paling utama adalah politik dunia yang berorientasikan negara. Karena dalam politik dunia banyak faktor yang melintasi batas-batas negara dan menciptakan ketegangan dalam politik dunia, seperti hubungan ekonomi yang tidak memadai, keprihatinan internasional atas hak asasi manusia dan pesatnya kekuatan teknologi baru. Kebijakan negara dan perimbangan kekuatan, baik internasional dan regional, merupakan kerangka yang diperlukan dimana hukum internasional beroperasi (Shaw, 2013 : 43).

Hukum internasional dapat didefinisikan sebagai keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku dan terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk mentaati dan karenanya benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain dan meliputi juga :

1. Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan-hubungan mereka satu sama lain dan hubungan mereka dengan negara-negara dan individu-individu. 2. Kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan non-negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan badan non-negara tersebut penting bagi masyarakat internasional (Kusumaatmadja & Agoes, 2003 : 8).


(46)

Pada dasarnya hukum internasional didasarkan atas beberapa pemikiran sebagai berikut :

1. Masyarakat internasional yang terdiri dari sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka (independen) dalam arti masing-masing berdiri sendiri tidak berada dibawah kekuasaan yang lain (multi state system).

2. Tidak ada suatu badan yang berdiri diatas negara-negara baik dalam bentuk negara (world state) maupun badan supranasional yang lain.

3. Merupakan suatu tertib hukum koordinasi antar anggota masyarakat internasional sederajat. Masyarakat Internasional tunduk pada hukum internasional sebagai tertib hukum yang mengikat secara koordinatif untuk memelihara & mengatur berbagai kepentingan bersama (Rudy, 2006: 2).

Negara-negara memiliki kepentingan bersama dalam membangun dan memelihara ketertiban nasional sehingga mereka dapat hidup berdampingan dan berinteraksi atas dasar stabilitas, kepastian dan dapat diramalkan. Untuk tujuan itu, negara-negara diharapkan menegakkan hukum internasional untuk menjaga komitmen perjanjian mereka dan mematuhi aturan, konvensi, dan kebiasaan tatanan hukum internasional. Mereka juga diharapkan mengikuti praktek-praktek diplomasi yang telah diterima dan mendukung organisasi internasional. Hukum internasional, hubungan diplomatik dan organisasi internasional hanya dapat bertahan dan berjalan lancar jika pengharapan tersebut umumnya disadari oleh seluruh negara sepanjang waktu (Jackson & Sorensen, 2007: 6).


(47)

Hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional. Dalam hukum internasional, negara bukan saja sebagai subjek utama tetapi juga sebagai aktor hukum internasional yang paling berperan dalam membuat hukum internasional baik melalui partisipasinnya pada berbagai hubungan atau interaksi internasionnal, maupun melalui perjanjian-perjanjian internasional yang dibuatnya dengan negara atau aktor lainnya, ataupun melalui keterikatannya terhadap keputusan dan resolusi organisasi-organisasi internasional. Dengan demikian, hukum internasional dapat dirumuskan sebagai suatu kaidah atau norma-norma yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subjek hukum internasional, yaitu negara, lembaga dan organisasi internasional, serta individu dalam hal tertentu (Mauna, 2005 : 2).

Sumber-sumber Hukum Internasional Menurut Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice) pasal 38, ayat 1, dinyatakan bahwa tata urutan sumber-sumber material hukum internasional, yaitu:

1. Traktat-traktat dan konvensi-konvensi. 2. Kebiasaan internasional.

3. Prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab. 4. Keputusan-keputusan yudisial dan opini-opini hukum, sebagai alat tambahan


(48)

Dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional tidak memasukkan keputusan-keputusan badan arbitrasi sebagai sumber hukum internasional karena dalam prakteknya penyelesaian sengketa melalui badan arbitrasi hanya merupakan pilihan hukum dan kesepakatan para pihak dalam perjanjian. Dilain pihak, prinsip-prinsip umum hukum dimasukkan kedalam Pasal 38 tersebut sebagai sumber hukum, sebagai upaya memberikan wewenang kepada mahkamah internasional untuk membentuk kaidah-kaidah hukum baru apabila ternyata sumber-sumber hukum lainnya tidak dapat membantu mahkamah dalam menyelesaikan suatu sengketa. Prinsip-prinsip umum tersebut harus digunakan secara analog dan diperoleh dengan jalan memilih konsep-konsep umum yang berlaku bagi semua sistem hukum nasional (Mauna, 2005: 8-9).

Dalam sistem hukum internasional tidak ada kekuasaan tertinggi yang dapat memaksakan keputusan-keputusannya kepada negara-negara, tidak ada badan legislatif internasional yang membuat ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat langsung negara-negara anggota di samping tidak adanya angkatan bersenjata untuk melaksanakan sanksi-sanksi kepada negara-negara pelanggar hukum (Mauna, 2005 : 2).

Hukum laut merupakan salah satu cabang dari hukum internasional, karena laut merupakan jalan raya yang menghubungkan seluruh dunia. Melalui laut, masyarakat dari berbagai negara mengadakan segala mecam pertukaran, mulai dari komoditi perdagangan sampai ilmu pengetahuan. Laut merupakan sarana penting dalam hubungan politik internasional. Sejarah mencatat banyaknya


(49)

kompetisi antara negara-negara besar untuk menguasai laut, karena barang siapa yang menguasai laut akan menguasai lalu lintas laut dan barang siapa yang menguasai lalu lintas di laut akan menguasai dunia (Mauna, 2005 : 306).

Pentingnya laut dalam hubungan antar bangsa menyebabkan pentingnya arti hukum laut internasional. Tujuan hukum ini adalah untuk mengatur kegunaan rangkap dari laut, yaitu sebagai sumber jalan raya, dan sebagai sumber kekayaan serta sebagai sumber tenaga. Hal ini bisa dilihat pada Pasal 2 ayat 2 Konvensi United Nations Conference on the Law Of the Sea 1982 yang menyatakan bahwa kedaulatan suatu negara pantai meliputi ruang udara diatas laut wilayah serta dasar laut dan lapisan tanah dibawahnya. Ini berarti bahwa negara pantai mempunyai wewenang penuh bukan saja terhadap udara diatas laut wilayah tetapi juga atas semua sumber-sumber kekayaan yang terdapat di dalam laut, di dasar laut, dan lapisan tanah di bawahnya (Mauna, 2005 : 374).

2.1.5 Hukum Udara Internasional

Hukum Udara Internasional merupakan rezim hukum yang berlaku di ruang udara (Air Space) di atas wilayah daratan dan lautan/perairan suatu negara. Hukum udara adalah seperangkat peraturan yang mengatur penggunaan ruang udara dan subjek hukum lain di ruang udara (Wiradipraja, 2014 : 3).

Batas wilayah negara terutama terhadap ruang udaranya, sejak zaman dahulu telah menjadi suatu permasalahan, karena hal tersebut dapat dilihat pada sebuah dalil hukum Romawi yang berbunyi : “Cujus est solum, ejus est usque ad


(50)

coelum” yang berarti barang siapa yang memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki segala-gala yang berada diatas permukaan tanah tersebut sampainkenlangitndannsegalanapanyangnberadandindalamntanah (Hakim, 2014 : 10).

Sampai pada saat berakhirnya Perang Dunia I, dalam rangka kepentingan hidup bersama dan ketertiban internasional, maka dengan itu dibuat perjanjian internasional mengenai penerbangan, yaitu Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation, di Paris 13 Oktober 1919 atau yang lebih dikenal dengan Konvensi Paris 1919. yang mengatur secara khusus tentang tata cara, status, ruang udara dunia dengan Protocol Paris pada 1 Mei 1920 dan pada 15 Juni 1929 Protokol Paris ini kembali diperbaharui. Pada Konvensi Paris 1919 ini dengan jelas menerima kedaulatan nasional sebuah negara. Pada pasal 1 Konvensi Paris 1919 menegaskan kedaulatan penuh dan ekslusif negara-negara peserta terhadap ruang udara diatas wilayahnya. Jadi prinsip utama dari Konvensi Paris 1919 ini adalah ruang udara yang mengikuti status yuridik sebuah negara dimana ruang udara tersebut membawahi daratan dan laut wilayahnya (Mauna, 2005 : 424).

Pada tanggal 7 Desember 1944 telah disetujuinya Konvensi Chicago yang membahas tentang penerbangan sipil internasional, transit jasa-jasa udara internasional, dan juga alat angkutan udara internasional. Dengan adanya Konvensi Chicago 1944 ini maka sekaligus membatalkan Konvensi Paris 1919 yang sudah ada. Namun Konvensi Chicago 1944 ini tetap mengadopsi prinsip-prinsip yang ada dalam Konvensi Paris 1919 seperti pada pasal 1 Konvensi


(51)

Chicago yang menyatakan menyatakan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang diatas wilayahnya (Mauna, 2005 : 427).

Kedua konvensi tersebut menjelaskan secara jelas bahwa wilayah negara juga terdiri dari laut wilayahnya yang berdekatan. Hal ini juga dinyatakan oleh United Nations Conference on the Law Of the Sea 1982 yang menyatakan bahwa kedaulatan suatu negara pantai meliputi ruang udara diatas laut wilayah serta dasar laut dan lapisan tanah dibawahnya. Ini berarti bahwa negara pantai mempunyai wewenang penuh bukan saja terhadap udara diatas laut wilayah tetapi juga atas semua sumber-sumber kekayaan yang terdapat di dalam laut, di dasar laut, dan lapisan tanah di bawahnya (Mauna, 2005 : 374).

Dalam kegiatan lalu lintas udara internasional sering terjadi pelanggaran kedaulatan udara suatu negara oleh pesawat sipil maupun militer. Dalam hal ini negara yang kedaulatan udaranya dilanggar dapat menyergap pesawat asing tersebut dan diminta untuk mendarat. Sepanjang menyangkut pesawat sipil, negara yang kedaulatannya dilanggar tidak boleh menggunakan tindakan balasan tanpa batas. Tindakan yang diambil haruslah bijaksana dan tidak membahayakan nyawa para penumpang yang ada dalam pesawat tersebut. Hal tersebut telah diatur dalam Protokol Montreal 1983 yang memuat amandemen terhadap Pasal 3 Konvensi Chicago (Mauna, 2005 : 433).

Konvensi Chicago 1944 ini juga mendirikan sebuah organisasi dengan nama International Civil Aviation Organization (ICAO) dengan tujuan untuk menyeragamkan ketentuan navigasi udara yang diatur dalam pasal 44 Konvensi


(1)

iv

3. Yth. Bapak Andrias Darmayadi, S.IP, M.Si.,Ph.D sebagai Ketua Program Studi Ilmu Hubungan Internasional yang telah memberikan begitu banyak ilmu pengetahuan yang menambah wawasan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan mendidik serta memberikan banyak masukan dalam perkuliahan serta penyusunan skripsi.

4. Yth. Bapak H.Budi Mulyana, S.IP, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini.

5. Yth. Ibu Dewi Triwahyuni, S.IP, M.Si, sebagai Dosen telah memberikan banyak ilmu pengetahuan dan wawasan serta membagikan pengalamannya selama menjalani perkuliahan, dan juga memberikan masukan dan arahan serta saran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. 6. Yth. Ibu Sylvia Octa Putri, S.IP, sebagai Dosen telah memberikan banyak

ilmu pengetahuan dan wawasan serta membagikan pengalamannya selama menjalani perkuliahan, dan juga memberikan masukan dan arahan serta saran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

7. Kedua Orang Tua yang telah merawat dan membesarkan saya, serta selalu memberikan dukungan baik moral, materil, dan doa yang menjadi motivasi peneliti sehingga penelitian ini dapat selesai tepat pada waktunya serta semua yang telah diberikan sampai saat ini yang tidak dapat terbalaskan sampai kapanpun.


(2)

v

8. Yth. Ibu Dwi Endah Susanti, S.E, Sekretariat Prodi Ilmu Hubungan Internasional yang telah banyak membantu peneliti selama masa kuliah dan juga semasa menyelesaikan skripsi baik dalam aspek administrasi terutama pada saat administrasi untuk mengikuti seminar usulan penelitian dan sidang sarjana sehingga skripsi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

9. Yth. Ibu Fedra Devata Rossi sebagai Kepala Bagian Kerjasama Perbatasan, Direktorat Perjanjian Politik Keamanan Wilayah Kementerian Luar Negeri yang dengan terbuka menerima dan membantu saya untuk melakukan riset/penelitian guna terkumpulnya data-data skripsi yang diperlukan.

10.Yth. Bapak Noviansyah, sebagai Kepala Sub Bagian Tata Usaha, Direktorat Navigasi Penerbangan Kementerian Perhubungan yang dengan terbuka menerima dan membantu saya untuk melakukan riset/penelitian guna terkumpulnya data-data skripsi yang diperlukan.

11.Terima Kasih kepada GGC, Achmad Alfaron Alamsyah, Ade Apriliansyah, Ady Wardana, Dwi F. Moenardy, Ande Nureza PA, Handi Aryana Meisandi, Gani Rachman, Rangga Gilang, Syahid Faisal Kamal yang telah membantu dan berbagi pengalaman dengan keabsurtannya selalu menghibur peneliti dari awal masa perkuliahan sampai saat ini.

12.Terima Kasih Kepada The Parking Squad, Yudi Black, Molen, Iman Kobra, dan Babeh yang dengan setia dan sabar menyediakan tempat parkir


(3)

vi

motor untuk peneliti dan teman-teman yang lainnya sehingga dapat mengikuti perkuliahan tepat waktu.

13.Terima Kasih kepada DPC GMNI Bandung yang telah memberikan banyak ilmu dalam setiap diskusinya dan juga pengalaman dalam setiap agendanya sehingga saya dapat menjadi kader GMNI yang lebih baik, Merdeka, GMNI Jaya, Marhaen Menang.

14.Terima Kasih kepada GMNI Komisariat UNIKOM yang telah bersedia untuk mempercayakan tonggak kepemimpinan GMNI Komisariat Unikom kepada saya dan berjuang bersama-sama dalam menciptakan kader GMNI yang revolusioner, Merdeka, GMNI Jaya, Marhaen Menang.

15.Terima kasih untuk teman-teman dan seluruh mahasiswa Hubungan Internasional Angkatan 2011 terima kasih untuk supportnya selama pengerjaan skripsi dan semuanya baik pertemanan dan lain-lain selama menjalani perkuliahan.

16.Semua pihak yang telah membantu sebelum dan selama pelaksanaan penelitian skripsi yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

17.Terima Kasih kepada Astria Anggraeni sebagai kekasih hati yang telah memberikan masa – masa yang indah baik dalam suka maupun duka, serta memberikan dukungannya dalam mengerjakan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.


(4)

vii

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, Oleh karena itu, Peneliti mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun sehingga dapat menyempurnakan tugas akhir ini di masa mendatang.

Akhir kata, semoga Penulisan skripsi ini bisa dapat bermampaat bagi para pembacanya.

Bandung, Februari 2016 Peneliti


(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Bentuk Pertanggungjawaban Indonesia Atas Protes Malaysia Dan Singapura Dalam Masalah Kabut Asap Dan Kebakaran Hutan Di Propinsi Riau

7 69 97

KAJIAN YURIDIS MENGENAI PERJANJIAN FLIGHT INFORMATION REGION (FIR) INDONESIA-SINGAPURA DI KEPULAUAN NATUNA DITINJAU DARI KONVENSI CHICAGO TAHUN 1944 SERTA PENGARUH TERHADAP KEDAULATAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA.

0 3 10

SKRIPSI KAJIAN YURIDIS MENGENAI PERJANJIAN FLIGHT INFORMATION KAJIAN YURIDIS MENGENAI PERJANJIAN FLIGHT INFORMATION REGION (FIR) INDONESIA-SINGAPURA DI KEPULAUAN NATUNA DITINJAU DARI KONVENSI CHICAGO TAHUN 1944 SERTA PENGARUH TERHADAP KEDAULATAN NEGARA K

0 10 13

BAB I PENDAHULUAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI PERJANJIAN FLIGHT INFORMATION REGION (FIR) INDONESIA-SINGAPURA DI KEPULAUAN NATUNA DITINJAU DARI KONVENSI CHICAGO TAHUN 1944 SERTA PENGARUH TERHADAP KEDAULATAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA.

0 2 23

PENUTUP KAJIAN YURIDIS MENGENAI PERJANJIAN FLIGHT INFORMATION REGION (FIR) INDONESIA-SINGAPURA DI KEPULAUAN NATUNA DITINJAU DARI KONVENSI CHICAGO TAHUN 1944 SERTA PENGARUH TERHADAP KEDAULATAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA.

0 2 34

Promosi Sekolah Penerbangan Junior Pilot Flight Training di Indonesia.

0 8 14

DASAR HUKUM PENGENDALIAN FLIGHT INFORMATION REGION SINGAPURA DALAM RANGKA REALIGNMENT FLIGHT INFORMATION REGION SINGAPURA OLEH INDONESIA.

0 0 17

Pelayanan Navigasi Penerbangan Flight Information Region (FIR) di Ruang Udara Wilayah Negara Berdaulat - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 16

PERUSAHAAN UMUM (PERUM) LEMBAGA PENYELENGGARA PELAYANAN NAVIGASI PENERBANGAN INDONESIA

0 0 63

UNGKAPAN TRADISIONAL MASYARAKAT MELAYU NATUNA PROPINSI RIAU KEPULAUAN

0 2 132