Pengertian Saksi dan Kesaksian

1. Pengertian Saksi dan Kesaksian

Pada dasarnya setiap orang dapat menjadi saksi, sepanjang ia memenuhi kriteria sebagai saksi. Kriteria saksi dapat dilihat dalam definisi saksi dan kesaksian yang diatur dalam Pasal 1 butir 26 dan Pasal 1 butir 27 KUHAP. Menurut Pasal 1 butir

26 KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan alami sendiri. Sedangkan keterangan saksi atau kesaksian menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP adalah salah

satu alat bukti dalam peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, REVISI

lihat sendiri, dan alami sendiri dengan menyebut alasan-alasan dari pengetahuannya itu. Melalui kedua ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa kriteria saksi itu ada tiga, yaitu harus mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri.

Dengan adanya keharusan mendengar sendiri, melihat sendiri dan mengalami sendiri, berarti KUHAP tidak menerima kesaksian yang berasal dari “katanya orang lain” atau testimonium de auditu sebagai alat bukti yang sah. Hal ini sebagaimana juga dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP bahwa dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium

de auditu. Penolakan terhadap testimonium de auditu sebagai alat bukti keterangan saski juga dikemukakan oleh para ahli hukum, antara lain:

a. Andi Hamzah:

Tidak diperkenankannya kesaksian de auditu sebagai alat bukti dalam KUHAP selaras dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil dan untuk perlindungan

44 dr. bambang sugeng rukmono, s.h., m.h.

terhadap hak asasi manusia. Sebab keterangan saksi yang ha- nya mendengar dari orang lain tidak terjamin kebenarannya. 3

b. S.M. Amin

Memberi daya bukti kepada kesaksian-kesaksian de auditu berarti syarat “didengar sendiri, dilihat sendiri, atau dialami sendiri, tidak dipegang lagi. Sehingga perolehan daya bukti dari keterangan-keterangan yang diucapkan seseorang di luar sumpah, juga dapat dibenarkan. Hal ini berarti, keterangan- keterangan seseorang yang tidak dijumpai hakim, dijadikan alat bukti. Padahal pokok pikiran agar kesaksian diucapkan dihadapan hakim sendiri, supaya hakim dapat menilai keterangan-keterangan saksi itu, ditinjau dari sudut dapat atau

REVISI

tidak dipercaya berdasarkan tinjauan terhadap pribadi saksi, gerak-geriknya dan lain-lainya. Oleh karena itu, keterangan de auditu rasanya lebih tepat tidak diberi daya bukti yang dapat dianggap mempunyai dasar kebenaran. 4

c. Wirjono Prodjodikoro:

Hakim dilarang memakai sebagai alat bukti suatu keterangan “de auditu” yaitu tentang suatu keadaan yang kejadiannya hanya saksi tersebut dengar dari orang lain. Keterangan semacam ini tidak boleh dipakai tentang terjadinya suatu keadaan. Larangan ini baik, bahkan semestinya. Akan tetapi, haruslah diperhatikan bahwa kalau ada saksi yang menerangkan telah melanggar terjadinya sesuatu keadaan dari orang lain, kesaksian semacam ini tidak selalu dapat dikesampingkan begitu saja. Mungkin saja pendengaran suatu peristiwa dari orang lain itu dapat berguna untuk penyusunan suatu rangkaian pembuktian terhadap terdakwa. 5

3 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara ..., Op. Cit., hlm. 242. 4 S.M. Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1981),

hlm. 35. 5 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sumur

Bandung, 1967), hlm. 80.

Kesaksian Pejabat Bank

Pengertian saksi dan keterangan saksi dalam KUHAP mengalami perluasan setelah munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 65/PUU-VIII/2010. Dalam putusan a quo, MK berpendapat bahwa seorang saksi tidak harus selalu mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri. Menurut MK, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak

selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. 6 Dengan adanya putusan MK yang mengubah pengertian saksi tersebut, maka yang dapat menjadi saksi bukan hanya mereka yang melihat sendiri, mengalami sendiri, dan mendengar sendiri.

REVISI

KUHAP menempatkan ‘keterangan saksi’ dalam sistem pembuktian sebagai alat bukti penting atau bisa dikatakan sebagai alat bukti kunci. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, di mana dalam penyusunan atau urut-urutan sistematika alat bukti yang sah, keterangan saksi ditempatkan pada urutan pertama di antara alat bukti yang lain. Selain itu, juga dapat dilihat dari banyaknya pasal dalam KUHAP yang memuat dan mengatur secara rinci dan khusus tentang saksi, mulai dari ‘Ketentuan Umum’, kemudian pada tiap tahap pemeriksaan seperti penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang tingkat pertama, pemeriksaan tingkat banding dan kasasi. Banyaknya ketentuan dalam KUHAP yang mengatur alat bukti saksi karena kesaksian merupakan alat bukti kunci guna pembuktian perbuatan dari pada kesalahan seseorang (tersangka/terdakwa). Hal ini berarti akan menyentuh hak asasi manusia dalam hal ini terkenanya perampasan kemerdekaan dari seseorang.

6 Lihat selengkapnya dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 65/PUU-VIII/2010.

46 dr. bambang sugeng rukmono, s.h., m.h.