Hans Jansen dan Kajian Tafsir Modern di Mesir

Hans Jansen dan Kajian Tafsir Modern di Mesir

Umar Ubaidillah dan M. Chaidoni

Orientalisme adalah gelombang pemikiran yang mencerminkan sebuah lingkup studi tentang beragam persoalan ketimuran, termasuk Islam. Yang dijadikan objek studi ini mencakup agama, seni sastra, bahasa, dan budaya masyarakat Timur. Gelombang pemikiran ini telah memberikan andil besar dalam membentuk persepsi Barat terhadap Islam sebagai ajaran dan dunia Islam sebagai tempat di mana Islam hidup. Dalam beberapa kasus, pandangan Barat terkesan pejorative, seperti dengan mengungkapkan kemunduran pola pikir dunia Islam yang memicu timbulnya pertarungan peradaban antara Timur dengan Barat. Sejarah berdiri dan tokoh-tokoh pendiri bidang keilmuan ini agak sulit ditentukan kapan pastinya Orientalisme tumbuh untuk pertama kali. Sebagian sejarawan cenderung mengatakan bahwa Orientalisme bermula dari zaman daulah Islamiah di Andalusia. Sebagian lain mengatakan bahwa organisasi ini bermula ketika terjadi Perang Salib. Khusus tentang Orientalisme ketuhanan, keberadaannya sudah nampak secara resmi sejak dikeluarkannya keputusan Konsili Gereja Viena tahun 1312 M dengan memasukkan materi bahasa Arab ke dalam kurikulum berbagai Universitas di Eropa. 119 Orientalisme muncul di Eropa pada penghujung abad 18 M. Pertama kali muncul di Inggris tahun 1779 M; di Prancis tahun 1799 dan dimasukkan ke dalam Kamus Akademi Prancis pada tahun 1838. 120

Selain adanya motif-motif politik dan keagamaan, maupun ekonomi, harus kita akui bahwa beberapa orang di antara para orientalis telah menghabiskan umur, kekuatan, dan kemampuan mereka mempelajari agama Islam. Mereka membentuk organisasi untuk menyelidiki dan mempelajari masalah masalah ketimuran dan keislaman tanpa pengaruh pengaruh politik, ekonomi, atau agama lagi, tetapi semata mata kedoyanan atau kegemaran mereka menggali ilmu pengetahuan. Mereka mengarahkan kesungguh sungguhan yang hebat sekali. Bukan ingin membesar besarkan mereka ataupun ingin mengecilkan mereka. Bukan saja karena kesungguhan mereka dan jerih lelah yang mereka tumpahkan, tetapi juga karena hasil hasil penyelidikan mereka merupakan ilmu-ilmu yang jarang diketahui orang banyak dan pengalaman pengalaman, yang masa ini dan masa berabad abad tidak pernah disiarkan dan ditebarkan. Hal-hal tersebut merupakan sumbangan yang sangat berharga, meskipun selama ini hanya tersimpan. Majunya beberapa cabang ilmu pengetahuan dan bukti- bukti sejarah yang nilainya amat tinggi bermunculan karena jasa para orientalis ini. 121 Salah satu figur orientalis yang akan dikaji di dalam makalah ini adalah Hans Jansen.

119 Ahmad Abdul Hamid. Menyingkap Tabir Orientalisme, Jakarta: Pustaka Alkausar, April 1993, h. 49 120 http://blog.re.or.id/orientalisme.htm 121 Bey Arifin. Islam dan Para Orientalist. Surabaya: Bina Ilmu, 1983, h. 18

Johannes Julian Gijsbert Jansen, lahir di Amsterdam 17 November 1942. Ia belajar theology di Universitas Amsterdam dan lulus sebagai doktor di Universiteit Leiden pada tahun 1974 dengan disertasi tentang tafsir al-Qur’an modern di Mesir. Berbekal pengetahuan dan pengalaman penelitian doktoralnya, setelah lulus ia bekerja di Mesir. Sekembali dari Mesir ke Belanda, ia mengajar sebagai dosen di Universitas Leiden. Ia ditunjuk menjadi guru besar luar biasa bidang pemikiran Islam di universiteit Utrecht antara tahun 2003-2008. Ia lebih banyak menulis karyanya dalam bahasa Belanda. Karya-karya kesarjanaannya belakangan lebih berorientasi ke pemikiran modern dalam Islam, terutama dalam mengamati fenomena kemunculan gerakan fundamentalisme Islam, seperti tercermin dalam karyaya Dual Nature of Islamic Fundamentalism (1997). Keahlian barunya inilah yang membuatnya sering diundang dalam debat-debat di televise seputar masalah terorisme pasca peristiwa 11 September 2001. 122

Sumber lain menyebutkan bahwa sejak 1983, Jansen telah menjadi pengajar studi tentang Arab dan Islam di Universitas Leiden. Buku pertamanya, The Interpretation of Qur’an in Modern Egypt (Leiden: E J Brill, 1974), telah di terjemahkan ke dalam bahasa Bosnia dan Turki, bahkan dicetak baru-baru ini di Indonesia. Selain sejumlah artikel dan beberapa buku dalam bahasa Belanda, ia telah menulis dua buku lainnya dalam bahasa Inggris: The Neglected Duty: The Creed of Sadat’s Assasins and Islamic Resurgence in The Midle East (New York: Macmillan, 1986), dan The Dual Nature Islamic Fundamentalism (London: Hurst dan Company, 1997). Ia juga seorang penulis terjemahan Qur’an dalam bahasa Belanda. Dia menulis secara teratur untuk sebuah surat kabar mingguan dan memiliki kolom mingguan di halaman surat kabar keagamaan pada beberapa provinsi. 123

Jansen lulus dalam sidang disertasi doktornya di Rijks Universitiet Leiden tahun 1972. 124 Riwayat pendidikannya dimulai dengan mempelajari bahasa Arab dan Semit di Amsterdam, Leiden, dan Kairo. Setelah menyelesaikan tahun pertama teologi di Universitas Amsterdam, ia melajutkan program doctoralnya di Universitas Leiden. Setelah lulus, ia bekerja di Mesir sebagai Direktur Dutch Institute di Kairo. Sekembalinya ke Belanda, ia kemudian menjadi asisten profesor di universitas Leiden dan Groningen. Dari tahun 2003 sampai dengan 1 Mei 2008, ia telah diangkat sebagai profesor pemikiran Islam kontemporer di Universitas Utrecht. Ia juga diangkat sebagai anggota Dewan Penasehat Nasional untuk Pembangunan dan aktif dalam kegiatan sosial bersama organisasi Palang Merah. 125

Motivasi Ilmiah

Sebagai bagian dari pencarian ilmiahnya, Jansen pernah tinggal di Kairo pada tahun 1966-1967 atas beasiswa yang di berikan oleh Egyptian-Dutch Exchange Scholarship. Ketika mengunjunggi took-toko buku di kota Mesir, dia di terkejut oleh masih adanya

122 http://de.wikipedia.org/wiki/Hans_Jansen 123 http://www.religioscope.com/info/dossiers/textIslamism/faraj_jansen.htm 124 http://agama.kompasiana.com/2010/11/09/ 125 http://de.wikipedia.org/wiki/Hans_Jansen 122 http://de.wikipedia.org/wiki/Hans_Jansen 123 http://www.religioscope.com/info/dossiers/textIslamism/faraj_jansen.htm 124 http://agama.kompasiana.com/2010/11/09/ 125 http://de.wikipedia.org/wiki/Hans_Jansen

Motivasi lain yang menambah Jansen untuk menekuni dunia tafsir adalah kurangnya kepustakaan Barat menyediakan literature tentang beberapa aliran dalam penafsiran Al-Quran. Kenyataan ini menjadi faktor yang mendorong Jansen untuk mengadakan kajian terhadap koleksi tafsir Al-Quran di Mesir, karena banyaknya koleksi tafsir yang di wilayah tersebut yang belum tersentuh oleh peneliti Barat. Sebenarnya, mulai akhir dekade enampuluhan Universitas Leiden memiliki J. Brugman sebagai salah seorang spesialis budaya dan sastra Timur Tengah yang melahirkan doktor doktor muda untuk spesialis wilayah mesir dan sekitarnya. Di tangannyalah Jansen menjadi anak didik yang berada di bawah bimbingannya.

Pemikiran Jansen dalam Tafsir

Tafsīr al-Qurān sebagai sebuah karya senantiasa berhubungan dengan pemikiran penulisnya dan latar belakang sosial historis yang melingkupi lahirnya karya tafsir tersebut. Untuk itu, diperlukan analisis untuk memetakan kecenderungan atau corak yang mendominasi karya tafsir tersebut berdasarkan kecenderungan penafsirnya serta konteks sosial historis yang melingkupinya. Dengan diketahuinya corak dari Tafsīr fī Zhilāl al-Qurān, maka akan dapat dilakukan analisis terhadap substansi penafsirannya; sehingga diketahui konsep Tafsīr fī Zhilāl al-Qurān mengenai good government.

Pengkaji tafsir memang banyak yang meragukan apakah Tafsīr fī Zhilāl al-Qurān layak dikategorikan sebagai sebuah karya tafsir yang menggunakan sejumlah kaidah baku dan metode penafsiran al-Qurān pada umumnya. Jansen yang meneliti karya-karya tafsir al-Qurān di masa Mesir modern menyatakan bahwa karya tafsir Sayyid Quthb, Tafsīr fī Zhilāl al-Qurān hampir-hampir bukan merupakan tafsir al-Qurān dalam pengertiannya yang ketat, tetapi lebih merupakan kumpulan besar khutbah-khutbah keagamaan. 127

Menurut Jansen dalam bukunya yang dalam edisi Indonesia-nya berjudul Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, model penafsiran Tanthawi cukup mempengaruhi sebagian besar masyarakat ketika itu, bahkan hingga kini, terutama bagi mereka yang bergerak di bidang ilmu alam, fisika, biologi dan sebagainya. Namun begitu, tetap saja ada sekelompok orang yang justru menyerang pendapat-pendapat Tanthawi. Serangan- serangan itu dijawabnya dengan senyum dan hujjah intelektual. 128

Pada masa tafsir modern, tafsir yang orisinil, baru, dan unik adalah tafsir milik Muhammad Abduh. Dianggap baru karena Abduh menyuguhkan penjelasannya agar mudah dipahami oleh orang awam. Berbeda dengan tafsir sebelumnya yang hanya menyuguhkan uraian disiplin keilmuan si penafsir. Menurut Jansen, tafsir pada

126 J.J.G. Jansen. Diskursus Tafsir al-Quran Modern. Yogyakarta. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997, h. 2. 127 http:/munirulabidin.wordpress.com/2011/08/19/latar-historis-penulis-tafsir-fi-tafsir-fi-zhilal-al-quran 128 Jansen, J.J.G. Diskursus Tafsir al-Quran Modern (Terj).Yogyakarta: Tiara Wacana 126 J.J.G. Jansen. Diskursus Tafsir al-Quran Modern. Yogyakarta. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997, h. 2. 127 http:/munirulabidin.wordpress.com/2011/08/19/latar-historis-penulis-tafsir-fi-tafsir-fi-zhilal-al-quran 128 Jansen, J.J.G. Diskursus Tafsir al-Quran Modern (Terj).Yogyakarta: Tiara Wacana

Pandangannya terhadap Kisah Israiliyat

Masuknya kisah-kisah Israiliyyat dalam penafsiran Al-Qur’an dengan berbagai bentuk dan manifestasinya, sebenarnya sudah sejak abad pertama Islam, menjadi salah satu bahan pembicaraan dan pemikiran para cendekiawan Islam, dimana banyak diantara mereka mensinyalir bahwa kisah-kisah itu banyak mengandung unsur-unsur yang membahayakan dan mengancam citra kemurnian ajaran Islam.

Apabila dikalangan kaum Muslim yang hidup dimasa kita sekarang ini masih banyak bermunculan kritik-kritik dan penolakan-penolakan, seperti dinyatakan oleh J.J.G. Jansen dalam bukunya The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, "Modernist Moslems often reject the Israiliyyat traditions because of the irrational, miraculous and fantastical character" 129 , maka sebenarnya itu bukanlah sesuatu yang baru, melainkan hanyalah sebagai kelanjutan belaka dari apa yang telah dirintis ulama ulama kita terdahulu.

Dan jikalau sinyalemen para cendekiawan di atas itu benar, maka sikap yang harus kita ambil terhadap kisah-kisah Israiliyyat itu pun tidaklah identik dengan sikap menolak secara apriori, karena ternyata tidak sedikit pula diantara kisah-kisah itu yang nilai keshahihannya cukup meyakinkan, baik ditinjau dari segi riwayah maupun dari segi diroyah. Yang penting bagi kita ialah mengetahui gambaran yang sebenarnya dari kisah-kisah itu, sehingga kita dapat menempatkannya pada proporsinya yang wajar. Dengan demikian kitapun akan lebih dapat terhindar dari perngkap ekses-ekses yang ditimbulkan. Dalam konteks semacam inilah, pembahasan tentang beberapa aspek disekitar kisah-kisah Israiliyyat yang masuk kedalam penafsiran Al-Qur'an ini kami ketengahkan. 130

Pendekatan

Kajian tentang tafsir modern yang dilakukan Jansen diawali dengan tafsir Abduh yang merupakan embrio pembaruan di bidang kajian al-Qur’an. Jansen mengelompokkan karya tafsir modern menjadi tiga bagian. Pertama, tafsir yang dipenuhi pengadopsian temuan-temuan keilmuan mutakhir atau tafsir ilmi. Kedua, tafsir yang “dibasahi” analisis linguistic dan filologik; dan ketiga, tafsir yang bersinggungan dengan persoalan-persoalan keseharian umat. 131 Dalam wacana tafsir Al Quran selama ini kita mengenal beberapa perspektif penulisan tafsir, seperti maudhu'i, sastra, ilmiah, dll. Pengklasifikasian seperti itu memang baik, tapi belum mampu memberi gambaran yang utuh mengenai genre tafsir yang ada. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka kehadiran buku Jansen ini menjadi berarti. Dalam rangka memberi

129 Jansen, The Interpretation of the Koran in modern Egypt,(Leiden : 1980) 130 http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--amalikmada 131 http:// Wahyunisheefa.blog.com 129 Jansen, The Interpretation of the Koran in modern Egypt,(Leiden : 1980) 130 http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--amalikmada 131 http:// Wahyunisheefa.blog.com

Ketiga tipologi tafsir yang digagas Jansen dengan mengamati perkembangan tafsir modern di Mesir sebenarnya lagi-lagi bukan bentuk pemetaan berdasarkan kronologi waktu, melainkan pada kecenderungan penafsiran ittijahatut tafsir ditambah wilayah kajian yang lingkupnya terbatas di Mesir saja. 134

Sikap terhadap Orientalisme

Sudah menjadi kewajiban umat Islam untuk mengembalikan dan menjaga keaslian ajaran Islam. Ini memang pekerjaan besar tidak cukup jika dikerjakan segelintir orang. Yang dibutuhkan sekarang ini adalah kesadaran berpikir tentang Islam. Dan menurut penulis, kesadaran ini sebagai modal awal membangun peradaban Islam. Kesadaran berpikir itu juga meliputi strategi dan sikap kita melawan invasi pemikiran.

Di sini kita mengetahui bahwasanya J.J.G Jansen ini banyak meneliti tentang tafsir tafsir yang ada di Mesir baik tafsir modern maupun tafsir yang ditulis oleh para ulama pada Abad abad sebelumnya baik tafsir yang ditulis oleh Dr. Aisyah Abdurrohman Binti as-Shati. Ia adalah wanita yang pertama yang menulis tafsir Al-Quran. dan dia juga mengatakan bahwa tafsir di Mesir ini perlu mendapat perhatian lebih daripada yang diperoleh sekarang ini.

Terhadap gagasan para orientalis, agaknya kita tidak boleh terlalu percayay, karena banyak juga orientalis yang bermaksud menghancurkan agama Islam, serta ada pula yang ingin memurtadkan orang orang Islam, atau ada pula yang ingin menjadikan umat Islam ragu terhadap agamanya. Tetapi ada juga orientalis yang berjasa karena mereka telah melakukan penelitian dan menemukan ilmu-ilmu yang selama ini masih tersimpan tetapi berkat meraka meneliti itu maka terbukalah ilmu ilmu yang baru tersebut itu pun perlu kita hargai. Tetapi hal tersebut tidak bisa menafikan sikap kita untuk tetap mencurigai mereka, yang bukan saja tanpa alasan kita mencurigai mereka, karena mereka bukan muslim, dan mereka mempelajari agama Islam. Oleh karen itu kita harus hati hati kepada mereka. 135

132 Jansen, J.J.G. Diskursus Tafsir al-Quran Modern (Terj) Yogyakarta: Tiara Wacana. 133 http://tiarawacana.co.id/kat_infobuku.php?ID 134 http://nazhroul.wordpress.com/2010/05/22 135 Ahmad Abdul Hamid. Menyingkap Tabir Orientalisme, Jakarta: Pustaka Alkausar, 1993, h. 266.