Sejarah al-Quran dalam Pandangan Theodor Noldeke (1836-1930)

Sejarah al-Quran dalam Pandangan Theodor Noldeke (1836-1930)

Hayat Hidayat dan Moh. Hidayat

Dunia kajian ketimuran (orientalisme) muncul sebagai gejala baru yang meledak- ledak dalam sejarah peradaban anak manusia. Islam, sebagai identitas ketimuran dan peradaban utuh, mendapat perhatian yang sangat besar. Namun para orientalis mengkaji Islam dengan membawa misi lain; misi imprealisme, baik agama, budaya ataupun kepentingan politik, “sebab Islam merupakan kekuatan lain (the other) yang

mengkhawatirkan bagi Barat”. 46

Orientalisme mengkaji Islam hanya untuk menjajah dan meruntuhkan Islam dari dalam. Begitulah, dalam kamus batin kebanyakan muslim, orientalis telah ditaruh dalam kotak hitam. Padahal, tidak sedikit dari orientalis ‘yang baik-baik’ dan banyak memberikan sumbangsih besar terhadap kemajuan peradaban Islam. Edward Said, Annemarie Schimmel, dan Louis Massignon adalah tiga dari sekian banyak orientalis ‘yang mati-matian’ membela citra positif Islam di mata Barat. Salah satu sebabnya adalah karena, bagi Dunia Barat, “Islam tak lebih sebagai sumber masalah.” Kata Edward

Said dalam pengantar bukunya Covering Islam. 47

Orientalisme telah mengabdikan dirinya kepada pembahasan-pembahasan keilmuan. Hal ini terjadi karena beberapa faktor di antaranya: kebaikan dari kawan- kawan sebangsanya dengan memberikan harta dan kesempatan, adanya perustakaan- perpustakaan yang penuh dengan hasil pembahasan-pembahasan dan manuskrip- manuskrip yang sukar didapat, di samping itu mereka juga memahami bahasa Timur

dan Barat. 48 Sudah barang tentu, setiap pembahasan mereka mempunyai corak ketelitian,

ketabahan, penelitian yang luas perbandingannya, memakai buku-buku yang pokok dan manuskrip-manuskrip, pembuatan index-index yang kesemuannya ini tidak didapat pada kitab-kitab Arab kuno. Penyiaran mereka terhadap manuskrip-manuskrip terbitan yang rapih dan dilengkapi dengan penjelasan-penjelasan serta index-index persoalan,

tempat dan nama-nama yang cukup memudahkan orang banyak. 49

Kajian yang di geluti para orientalis bervariasi; ada yang berkonsentrasi pada bidang tafsir seperti Ignaz Goldziher, ada yang menekuni bidang hadis seperti Juynboll, dan ada juga yang mempelajari bidang Hukum seperti Joseph. Schacht. Di antara

46 Muhammad Imarah mengatakan dalam kolomnya di Azhar Magazine edisi bulan Maret 2005. 47 Serial Dialog Pencerahan Afkar, Orientalisme vs Oksidentalisme. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008) hal. 114.

48 A. Hanafi, Orientalisme, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1981) cet. I, hal. 17. 49 Ibid., hal. 17-18 48 A. Hanafi, Orientalisme, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1981) cet. I, hal. 17. 49 Ibid., hal. 17-18

Biografi Theodor Noldeke (1836-1931)

Noldeke merupakan dedengkot dari tokoh-tokoh orientalis Jerman yang tidak ada bandingnya, karena ia benar-benar mencurahkan kemampuan intelektualnya bagi pengkajian ketimuran. Dia juga memusatkan kajian pada sastra Yunani, dan mendalami tiga bahasa Semit, yaitu Arab, Suryani, dan Ibrani. Noldeke termasuk ilmuwan berumur panjang, sekitar 94 tahun.

Noldeke lahir pada 2 Maret 1837 di kota Hamburg, Jerman. Untuk memasuki pendidikan tinggi Dia mempersiapkan diri dengan mempelajari sastra klasik, Yunani, dan Latin di kota Lingen (tempat ayahnya bertugas). Namun akhirnya dia tertarik pada kajian bahasa-bahasa Semit. Diantara alasannya adalah ketika Noldeke hendak masuk Universitas Gottingen pada tahun 1853, ayahnya menitipkan kepada sahabatnya, H. Ewald, pakar bahasa Semit, terutama bahasa Ibrani. Ewald kemudian mengarahkan Noldeke agar terlebih dahulu menekuni dua bahasa Semit, yaitu Arab dan Persia beserta sastranya.

Kemudian Noldeke juga belajar bahasa Suryani kepada H. Ewald; bahasa Arami, terutama untuk kajian kitab suci, kepada Bertheau, sebagai satu-satunya bahasa Aramiah yang dipelajari Noldeke di Universitas, sedangkan variasi dialek-dialek bahasa Aramiah yang lain dipelajarinya sendiri secara otodidak. Dan belajar bahasa Sansakerta kepada Benfay yang kemudian diteruskan di Universitas Kiel, saat menjadi professor di Universitas tersebut (1864-1872).

Ketika masih duduk sebagai mahasiswa, Noldeke juga sudah mulai mempelajari bahasa Turki dan Persia. Dia memperoleh gelar sarjana tingkat pertamanya pada tahun 1856 dengan risalah yang berjudul, “Tarikh Al-Qur’an”, yang kelak digeluti Noldeke secara total. Dua tahun kemudian, tahun 1858, akademik Paris mengumumkan pemberian hadiah bagi peneliti tentang sejarah Al-Qur’an. Kesempatan ini tidak dilewatkan begitu saja oleh Noldeke, ia segera mengajukan hasil penelitiannya tentang Sejarah Al-Qur’an. Akhirnya, bersama dengan dua rekan lainnya yaitu Sprenger dan Mitchelle Amari, masing-masing mendapatkan 1.333 Franc Prancis. Dua tahun setelah itu, tahun 1860, Noldeke dengan dibantu oleh muridnya Schwally, menerbitkan karangannya yang ditulis dalam bahasa Latin ke dalam bahasa Jerman, dengan beberapa

tambahan yang sangat luas, yang diberi judul Geschichte des Qorans. 50

50 Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: LKIS, 2003) cet. I., terj. Amroeni Drajat. Peristiwa terpenting pada abad ke-19 adalah publikasi karya sangat prospektif Noldeke Geschichte des Qorans pada 1860. Karya ini didukung penuh oleh Parisian

Acedemie des Inscription et Belle-letteres yang memilih dan memenangkan karya Noldeke sebagai monograf terbaik tentang al-Quran yang diumumkan pada 1857 (Jurnal Studi al-Quran, edisi kedua, h. 49).

Motivasinya

Tawaran hadiah sebesar 1.333 lebih Franc Prancis menjadi motivasi awal mengikutsertakan karyanya dalam lomba penulisan artikel yang diadakan oleh Akademi Inskripsi dan Sastra Paris. Namun, ia juga memiliki motivasi akademik yang tinggi, terbukti dua tahun setelah itu, tahun 1860, Noldeke dengan dibantu oleh muridnya Schwally, menerbitkan karangannya yang ditulis dalam bahasa Latin ke dalam bahasa Jerman, dengan beberapa tambahan yang sangat luas, yang diberi judul Geschichte des Qorans. Oleh karena itu, perlombaan mengenai penelitian sejarah al-Quran ini menjadi

salah satu motivasi T. Noldeke untuk meneliti al-Quran lebih lanjut 51 khususnya mengenai sejarahnya. Di samping itu ia pun terobsesi untuk membuktikan bahwa al- Qur’an bukanlah kitab orisinal agama Islam. Namun, hasil duplikat dari kitab agama terdahulu. Ia menuduh Muhammad sebagai impostor bukan sebagai seorang Nabi sebagaimana keyakinan umat muslim. Jadi, bisa disimpulkan bahwa motif kuat yang mendorong Noldeke mengkaji al-Qur’an dengan pendekatan sejarah adalah motif agama sebagaimana motif yang digunakan Ignaz Goldziher, ia berusaha sekuat tenaga untuk menjelaskan bahwa kitab yang menjadi pegangan agamanya adalah yang asli sedangkan kitab yang menjadi pegangan agama lain (khususnya Islam) adalah palsu.

Pemikiran Theodor Noldeke

Al-Quran adalah kitab suci agama Islam yang menjadi rujukan dan standar utama dan pertama di dalam Islam. Oleh umat Islam, al-Quran diyakini orisinalitas, kebenaran, dan keterpeliharaannya. Al-Quran juga menjadi simbol pemersatu umat Islam. Mazhab dan aliran Islam boleh bermacam-macam, tetapi al-Quran yang mereka pegang tetap satu. Al-Quran disepakati sebagai landasan dan sekaligus pedoman hidup di sepanjang sejarah Islam. T. Noldeke termasuk kelompok orientalis yang menggugat orisinalitas dan otentisitas al-Quran dengan harapan untuk mengurangi kekuatan dan peran dalam masyarakat. T. Noldeke menggambarkan al-Quran sebagai duplikasi dari kitab-kitab yang sudah ada sebelumnya dengan melacak hubungan dan analisis semantik mufradat

al-Quran dan kitab-kitab sebelumnya. 52 Baginya Muhammad saw. Itu seorang impostor, bukan Nabi, al-Quran itu hasil karangan Muhammad serta tim redaksi sesudahnya. 53 Noldeke sebenarnya mengembangkan pemikiran Abraham Geiger yang mengatakan bahwa Al-Quran terpengaruh oleh agama Yahudi. Pertama, dalam hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin. kedua, peraturan-peraturan hukum dan moral.

Ketiga, tentang pandangan terhadap kehidupan. 54

T. Noldeke pernah mengemukakan pendapatnya mengenai Al-Qur’an sebagai berikut:

51 Ibid, h. 49. 52 Nasaruddin Umar, Al-Quran di Mata Mantan Intelektual Muslim: Ibn Warraq dan Mark A. Gabriel, dalam Jurnal Studi al-Quran, edisi

kedua, h. 91-93. 53 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, cetakan pertama Februari 2008, h. 24.

54 http://pikirancerah.wordpress.com/tag/orientalisme/ pada tgl 30/9/`11 jam 7.53.

“Kita tidak hanya mempunyai tanggapan-tanggapan yang penuh keseluruhan dari watak Muhammad itu, bahkan ia mempunyai karya yang otentik yaitu Al-Qur’an, yang disampaikan atas nama Allah. Sekalipun demikian tokoh yang luar biasa dan menarik dan mengerikan itu dalam banyak hal tetap merupakan teka-teki. Ia banyak sekali mendalami agama Yahudi dan agama Kristen, tapi hanya melalui laporan lisan belaka dan pasti kita tidak akan puas dengan banyaknya khayalan (the grossness of imagination), kekurangan logika (the undenibable poverty of thought), dan lain sebagainya …”

Dalam satu artikel Encyclopedia Britannica (1891) Noldeke, menyebutkan banyak kekeliruan dalam al-Quran karena “kejahilan Muhammad” tentang sejarah awal agama Yahudi—kecerobahan nama-nama dalam perincian yang lain yang ia curi dari sumber- sumber Yahudi. Dengan membuat daftar kesalahan yang menyebut,

“[Bahkan] orang Yahudi yang paling tolol sekalipun tidak akan pernah salah menyebut Haman (menteri Ahasuerus) untuk menteri Firaun, atau pun menyebut Miriam saudara perempuan Musa dengan Maryam (Miriam) ibunya al-Masih….[Dan] dalam kebodohannya tentang sesuatu di luar tanah Arab, ia menyebutkan suburnya negeri Mesir-di mana hujan hampir-hampir tidak pernah kelihatan dan tidak pernah hilang karena

hujan, dan bukan karena kebanjiran yang disebabkan oleh sungai Nil” 55

Pendekatan yang digunakan T. Noldeke

Secara umum ada tiga metodologi yang digunakan oleh kalangan orientalis ketika mengkaji ketimuran. Pertama, pendekatan filologi. Kedua, pendekatan kritik sejarah. Ketiga, pendekatan ontologi. Metode filologi, sebagaimana yang paling sering diterapkan oleh kalangan orientalis, mencakup beberapa fase: penelitian dan dan pengkritikan nilai naskah (textual criticism), bentuk karya tulis (form criticism) dan penulusuran sumber karya (source criticism). Tiga fase ini merupakan prasyarat yang harus dibenahi dahulu sebelum memasuki wilayah diskursus kajian yang diaplikasikan dengan upaya penelusuran dan pengumpulan sumber rujukan asal terutama memburu tulisan tangan berupa manuskrip-manuskrip berbagai versi, meneliti otentisitasnya, menilai otoritasnya dan kemudian membuat edisi kritisnya.

Konsekuensinya tentu menyoroti kemungkinan-kemungkinan terjadinya berbagai kesalahan dalam proses penyalinan dari perubahan, penambahan, penyisipan, pengabaian dan sebagainya. Bahkan juga mencari sumber rujukan asli yang disinyalir sebagai sumber inspirasi dan ide karya tulisan itu dalam mengembangkan gagasan- gagasan orisinalnya. Hal ini meniscayakan adanya tulisan itu, betapa pun autentik, akan kembali pada kubangan hitam sebagai “karya bajakan” karena ditarik jauh kebelakang “asal muasal” di mana akan ditemukan “persenyawaannya”. Metodologi ini pertama kali diperkenalkan oleh Ernest Renan, perintis orientalis modern generasi kedua, sementara

55 M.M. Azami, The History of The Qur’anic Text, (Jakarta: GIP, 2005) hal. 341. Terj. Sohirirn Solihin, dkk.

generasi pertama adalah Silvestre De Sacy. Sacy dianggap sebagai bapak orientalis modern yang memperkenalkan metodologi antropologi rasional. Namun pada perkembangannya, metodologi Sacy tidak diterapkan oleh kalangan orientalis setelahnya, dan tergantikan oleh mentodologi filologinya Renan yang cukup menonjol kala itu hingga Foucault berani menggelarinya “si arsip zaman”.

Kedua, pendekatan krtitik sejarah (historical criticism). Pendekatan ini sedikit berbeda dengan yang pertama, jika yang pertama berorientasi partikularistik, namun yang kedua ini berorientasi universal dan menggeneralisir. Tertuju kepada data kebenaran informasi mencakup perbandingan antara sejarah dan legenda, antar fakta dan fiksi, antar realitas dan mitos. Indikatornya bisa jadi kontradiksi dari sumber informasi dengan sumber lainnya, variasi dan inkonsistensi berbagai versi meskipun berasal dari sumber yang sama. Termasuk kejanggalan dan keganjilan bahasa yang digunakan. Karya yang bermetodologikan ini banyak juga diterapkan kalangan orientalis, karena pada dasarnya hampir mendekati metodologi filologis. Seperti terlihat dalam karya-karya orientalis ternama, seperti T.J. De Boer dalam Tarikh al-Falsafah fi al- Islam, di mana ia mengatakan bahwa filsafat Islam murni dari helenistik filsafat Yunani. Atau contoh lain T. Noldeke dalam Geschicte des Qorans dengan edisi Arab bertajuk Tarikh al-Quran, yang mendaku-dalih bahwa cerita-cerita para Nabi, segenap ajaran dan pewahyuan dalam al-Quran berasal dari ajaran murni Yahudi.

Terakhir pendekatan ontologi. Pendekatan ini adalah pendekatan yang bukan bawaan dari Barat, melainkan murni dari metodologi rahim Islam sendiri. Artinya sama sekali tidak menggunakan dua pendekatan radikal di atas. Justru ada pengakuan dan kemudian mempelajarinya sebagai pisau analisis kajian. Pendekatan ini tidak memperdulikan akan timbulnya perseteruan, bahkan kadang menjadi begitu kontras dan teralienasi dalam penerapan metodologi Barat yang lazim—sekalipun kadang di satu sisi mengelaborasi metodologi Barat. Seperti karya apik Louis Massignon dalam al- Hallaj al-Shufi al-Syahid fi Islam ketika menjadikan figur al-Hallaj, sufi yang martir, sebagai “guru spritualnya”. Ia merasa muak dengan budaya hedonisme dan matrialisme

Barat dan menemukan kedamaian dalam sosok spritualitas al-Hallaj. 56 Dari ketiga metodologi di atas, T. Noldeke menggunakan pendekatan yang kedua

yaitu kritik sejarah. Noldeke menggunakan skema kronologis yang membagi masa pewahyuaan menjadi tiga periode Mekah dan satu periode Madinah, yang paling diterima secara umum di masa itu. Terlepas dari kronologi standar yang empat periode, terdapat skema lain. Yang paling terkenal adalah skema Muir (lima periode Mekah

termasuk masa pra-kenabian dan satu periode Madinah). 57

Sikap Terhadap Noldeke dan Orientalis lainnya

Meskipun para orientalis telah memberikan jasa-jasa besar kepada kita dalam memahami khazanah Islam baik Al-Qur’an atau Hadis, namun mereka tidak terlepas dari fanatisme yang berdasarkan agama dan ras. Oleh karena itu, pembahasan-pembahasan

56 Faiq Ihsan Anshari, Pencarian Sebuah Keautentikan, dalam Jurnal Aufklarung, cetakan I November 2007, h. 102-104. 57 M. Quraish Shihab, Orientalisme, dalam Jurnal Studi al-Quran, edisi kedua, h. 49.

mereka penuh dengan kekeliruan dan bahkan kebohongan-kebohongan yang disengaja, yang mengharuskan para pembaca berhati-hati. Bahkan banyak persoalan bahasa dan kesusastraan serta sejarah yang disalahgunakan dari kebenaran (distorsi). Menurut A. Hanafi, kesalahan-kesalahan mereka lebih menonjol lagi dalam proyek bersama mereka yaitu Encyclopaedia of Islam, terutama dalam hal-hal yang berhubungan dengan soal-

soal keagamaan murni. 58

Namun kesalahan-kesalahan mereka nampaknya dapat ditoleransi dan dimengerti karena objek kajian mereka adalah Islam yang notabene agama yang mereka tidak sukai, sehingga hasil penelitiannya terkesan subjektif dan bias dari kebenaran hakiki. M.M. Azami berkata dalam bukunya The History of The Qur’anic Text bahwa siapa saja yang hendak menulis perihal Islam, hendaknya terlebih dahulu dia menarik sebuah keputusan percaya bahwa Muhammad adalah seorang Nabi. Para ilmuwan yang mengakui bahwa ia benar-benar seorang Rasul dan yang paling mulia di antara para nabi, mereka bakal menikmati kepustakaan hadis yang mengagungkan dan wahyu

keTuhanan yang dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi. 59

Setelah mengkaji tentang motivasi dan pemikiran T. Noldeke, kami rasa kita harus hati-hati terhadap hasil-hasil pemikiran yang telah disumbangkannya. Karena, banyak penemuannya yang tidak bisa diterima oleh kita sebagai seorang muslim, sebagaimana kesimpulannya bahwa Muhammad adalah seorang pembohong dan penjiplak karya orang lain, disamping subyektivitas dia dalam mengkaji al-Qur’an yang diposisikan sebagai karya Muhammad. Sikap ini bukan karena melihat sosok dia sebagai seorang orientalis non-muslim, namun sebagai sikap kritis terhadap setiap hasil penelitian ilmiah.

58 A. Hanafi, orientalisme, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1981) cet. I hal. 19. 59 M.M. Azami, The History of The Qur’anic Text, (Jakarta: GIP, 2005) hal. 381. Terj. Sohirirn Solihin, dkk.