Mengapa Harus (Membela) Korban

16 ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA ASASI EDIS MARET-APRIL 2012 16 ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA ASASI EDIS MARET-APRIL 2012

Dalam perjuangannya mencapai hal-hal di atas, Omah Tani tidak hanya bergerak di wilayah masyarakat sipil saja (dengan melakukan desakan/tekanan), namun juga menghubungkan diri dengan gerakan politik dan masuk ke ranah negara sebagai usaha untuk memperbaiki kualitas representasi politik lokal Batang.

Omah Tani telah berkembang menjadi organisasi yang tidak hanya mengurusi persoalan petani dan nelayan saja, sebagaimana awal ia didirikan. Kini, mereka juga memfasilitasi pembentukan Omah Rakyat untuk melakukan advokasi kebijakan yang berorientasi kepada kesejahteraan warga kebanyakan. Omah Rakyat ini beranggotakan kelas menengah terdidik, termasuk individu-individu aktivis politik yang keterlibatannya di sini tidak mewakili partai mereka, tetapi lebih berdasar kepada visi dan komitmen pribadi mereka, serta kalanganmiskinperkotaan.Merekajuga mengembangkan sayap organisasi dengan memfasilitasi pembentukan Omah Buruh, untuk Bupati Yoyok Riyo Sudibyo dan Wakil Bupati Soetadi (tidak tampak) disambut warga dan para melakukan advokasi perburuhan.

petani anggota Omah Tani setelah pelantikan pada 13 Februari 2012sumber: Rozikin (Omah Tani)

Omah Tani dan Omah Rakyat, juga Omah Meski masih jauh dari ideal, namun apa yang Buruh yang saling terhubung ini, telah menyatukan dilakukan Omah Tani, juga Omah Rakyat, baik lewat

pelbagai elemen gerakan sosial dan desakan/tekanan maupun usaha memperbaiki mengkoneksikannya dengan aktivitas politik formal di representasi politik dengan mengandalkan gerakan Batang. Kontak-kontak dengan jejaring mereka berbasis massa yang terorganisir dengan baik, telah lakukan dengan Konsorsium Pembaruan Agraria memberikan sejumlah capaian dalam pemajuan hak (KPA), DEMOS, ICW, ELSAM, KontraS, KaSUM, dsb. asasi manusia di Kabupaten Batang.

Omah Tani, misalnya, juga memanfaatkan Desentralisasi dan otonomi daerah tidak kontak dengan lembaga ecolabelling . Lembaga dengan sendirinya mengidap hal-hal yang buruk,

tersebut memperoleh informasi dari Omah Tani bila seperti “pembajakan” oleh elite. Bila ada usaha dan terjadi pelanggaran hak asasi manusia sehubungan strategi yang tepat, desentralisasi bisa membuahkan dengan operasi Perhutani di daerahnya. Hal ini dapat manfaat yang kongkrit, karena ia telah mendekatkan mengancam pemberian sertifikat ecolabelling bagi warga dengan para pengambil keputusan/kebijakan. Perhutani. Padahal sertifikat tersebut amat Apa yang dilakukan Omah Tani dan terjadi di Batang, dibutuhkan agar kayu-kayu Perhutani dapat meski masih butuh untuk terus berproses, mungkin menembus pasar global di mana harganya bisa bisa menjadi inspirasi bagi gerakan sosial dalam mencapai sepuluh kali lipat dari harga di pasar lokal. memajukan situasi-kondisi hak asasi manusia di Kontak dengan lembaga ecolabelling ini, bagi Omah daerahnya. Tani dapat membantu para petani saat menghadapi persoalan sengketa lahan dengan pihak Perhutani.

Penutup

Keterangan

Apa yang dapat dipelajari dari pengalaman Omah Tani di Batang? Agar hak asasi manusia bisa tertanam 1 Hilma Safitri, 2010, Gerakan Politik Forum Perjuangan Petani dalam kebijakan dan kinerja pemerintah (lokal), hal

Kabupaten Batang, Bandung: Yayasan Akatiga, h.1-2 tersebut mensyaratkan adanya kemauan politik dari 2. Hari Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Batang Masa Bakti Untuk lengkapnya, silakan lihat Prioritas Program Kerja 100

pemerintah setempat. Agar ada kemauan politik,

2012-2017 dalam www.batangkab.go.id

maka representasi politik secara substantif harus 3. B. Herry-Priyono, “Konstitusi dan Negara Kesejahteraan”, benar-benar berlangsung. Bila kualitas representasi

outline untuk diskusi Lingkar Muda Indonesia (LMI) dan Harian

buruk, maka perlu adanya usaha untuk

Kompas , Jakarta, 15 Mei 2012.

memperbaikinya, atau setidaknya melakukan desakan/tekanan. Seperti yang disampaikan Herry Priyono, “kemauan politik” adalah nama bagi langkah perubahan yang terpaksa dilakukan karena sederetan desakan/tekanan ( pressure ). 3

17

ASASI EDISI MARET-APRIL 2012 ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

18 ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA

pemecatan pegawai negeri, penangkapan ribuan aktivis PKI, pengusiran paksa petani dari lahannya, sampai pada pengerahan tenaga Tapol untuk kerja paksa. Nampaknya operasi militer tersebut memang dirancang sebagai instrumen yang serbaguna dan represif, praktiknya cukup guna membuat “tunduk tertindas” bagi orang-orang yang dituduh subversif saat itu.

Rezim Soeharto cukup dengan modal Operasi Kopkamtib yang tidak hanya untuk membuat “tunduk tertindas” tahanan politik (Tapol) G-30-S 1965, melainkan juga pembenaran untuk menggiring rakyat kecil menuju ladang kerja paksa. Mereka bekerja di bawah pengawasan “bedil tentara” bekerja dari jam tujuh pagi sampai jam enam sore: tanpa putusan pengadilan, tanpa upah, tanpa pangan mencukupi, tanpa sandang, dan tanpa tempat penampungan yang wajar. Mereka seringkali dipekerjakan di rumah-rumah perwira militer, dan muncul beban kerja baru: sebagai tukang, pembantu rumah tangga, mencuci pakaian, membersihkan kamar mandi, memperbaiki bagian-bagian rumah yang rusak, dan membuat perabotan kebutuhan rumah tangga. Pendeknya: sedang mengalami perbudakan.

Kebijakan kerja paksa rejim Soeharto dapat dilacak melalui data administrasi KOPKAMTIB, macam Petunjuk Pelaksana (Juklak) Kopkamtib No.: PELAK-002/KOPKAM/10/1968 tanggal 16 Oktober 1968 Tentang Kebijaksanaan Penyelesaian Tahanan/Tawanan G.30.S/PKI.” Pokok kebijakannya mengatakan, “bagi Tapol yang ada di dalam tahanan dimanfaatkan tenaganya guna tujuan produktif.” Selanjutnya, ketentuan Juklak ini mengatakan dalam keperluan pemanfaatan tenaga Tapol diadakan klasifikasi pula menurut keahlian dan kecakapan

K ekuasaan pemerintahan otoriter ditandai

sejumlah hal: dukungan ideologi militerisme menindas, tidak mentolerir perbedaan pendapat, pendekatan kekerasan, dan

gemar bertindak bengis terhadap rakyatnya sendiri; disamping pemerintahan yang korup. Ringkasnya, pemerintahan tidak ramah HAM karena gemar menabrak hukum-hukum HAM.

Menurut Hilmar Farid, pelanggaran HAM berat Orde Baru dimulai sejak menjebluknya G/30 S 1965. Sejak peristiwa kelam itu, hanya hitungan hari setelahnya, pembunuhan, penangkapan, penyiksaan massal terhadap PKI dan simpatisannya. Sangat mencekam. Korban yang luput dari pembunuhan massal digiring ke kamp-kamp tahanan dan mengalami siksaan berat. Mereka ditahan beberapa bulan dan nasibnya tak menentu di tangan para penyiksa di kamp-kamp maut. Mereka kemudian dikeluarkan dari kamp dan digiring melalui pengawalan ketat “bedil tentara” menuju ladang kerja paksa. Dengan demikian segera dimulainya praktik kerja paksa di proyek-proyek pembangunan infrastruktur skala daerah maupun nasional.

Menurut Razif, seorang sejarahwan sosial muda, praktik kerja paksa secara besar-besaran mengerahkan tenaga tahanan politik, dimulai sejak 1966 hingga 1970-an meliputi wilayah-wilayah Sumatera, Jawa, Sulawesi Tengah, dan Pulau Buru. Saya menggunakan istilah “kerja paksa” di sini merujuk UU No. 19 Tahun 1999 tentang Penghapusan Kerjapaksa. Dalam UU tersebut menjelaskan definisi “kerja paksa” sebagai berikut: (a) alat penekanan atau pendidikan politik atau sebagaihukumanataspemahamanatau pengungkapan pandangan politik atau ideologi yang bertentangan dengan sistem politik, sosial, dan ekonomi yang berlaku; (b) cara mengerahkan dan menggunakantenagakerjauntuktujuan pembangunan ekonomi; (c) alat untuk mendisiplinkan pekerja; (d) hukuman atas keikutsertaan dalam pemogokan; dan (e) cara melakukan diskriminasi atas dasar ras, sosial, kebangsaan, atau agama.

Sejarah mencatat, pada 10 Oktober 1965 setelah menjebluknya G/30 S 1965, Soeharto menciptakan Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang pada tahun-tahun berikutnya melahirkan sejumlah lusinan SK, SP, Juklak, Putusan, yang relevan. Semua itu dia gunakan untuk melancarkan pembersihan dan