PENGESAHAN PENGUJI

5. Abũ Bakr al-Baihãqĩ Ahmad bin Husain bin ’Alĩ bin Musa -atau lebih dikenal dengan Imam al-Baihaqĩ-, lahir di bulan Sya’ban 384 H dan

meninggal pada tahun 458 H di Naisabur.

6. Abu Qãsim al-Qusyairĩ ’Abdu al-Karĩm bin Hauzãn bin ’Abdi al-Malik bin Thalhah bin Muhammad, salah satu guru al-Khathĩb al-Baghdãdĩ. Lahir 376 H dan wafat 465 H.

7. Abu Manshũr ’Umar bin Ahmad bin Muhammad bin Musa al-Jũrĩ. Seorang ulama pengikut mazhab Hanafĩ, yang sejak masa remaja menjadi murid pilihan as-Sulãmĩ. Meninggal 469 H.

8. Abu Bakr Ahmad bin ’Alĩ bin ’Abdillah bin ’Umar bin Khalf sy-Syairãzĩ, lahir pada tahun 398 H dan wafat 487 H.

9. Abu Abdillah al-Qãsim bin al-Fadhl bin Ahmad bin Ahmad bin Mahmũd ats-Tsaqafĩ (397-489 H).

56 Yãqũt al-Hamwĩ, Mu‘jamu al-Buldãn, jlid 2, hal 193 al-Khathĩb al-Baghdãdĩ, Tãrĩkhu Baghdãd, jilid 4, hal 324

10. Abu Hasan al-Madĩnĩ an-Naisãbũrĩ ’Alĩ bin Ahmad bin Muhammmad bin Ahmad bin ’Abbdillah bin Ismail (405-494 H).

5. Penilaian Ulama

Perdebatan antara ulama fikih dan ulama tasawuf sering terjadi, dan itu dimulai sejak akhir abad ke-2. Berbagai tuduhan dialamatkan pada as-Sulamĩ, sebagaimana tuduhan-tuduhan kepada sufi yang lain. Tuduhun-tuduhan kepada as-Sulamĩ semakin menjadi dengan adanya Haqã‘iqu at-Tafsĩr. Selain berkenaan dengan tafsirnya, tuduhan- tuduhan pada as-Sulamĩ juga karena sosok kesufiannya, yang dianggap memalsukan hadits.

Dalam menilai sosok as-Sulamĩ, khususnya mereka yang kontra, akan merujuk pada ungkapan Muhammad bin Yusuf al-Qaththãn 57 yang pernah dilontarkan pada al-

Khathĩb al-Baghdãdĩ (Ahmad bin ’Alĩ bin Tsãbit, w 463 H). Menurut al-Qaththãn, as- Sulamĩ tidak tsiqah, dan hanya sesaat belajar dari Abu ’Abbãs al-Ashamm. Tetapi

setelah Abu Abdillah bin al-Bai’ (Muhammad bin ’Abdillah bin Muhammad, atau lebih dikenal dengan al-Hãkim an-Naisãbũrĩ) meninggal, as-Sulãmĩ kembali belajar dari al- Ashamm berkenaan dengan sejarah Yahya bin Ma’ĩn (bin ’Awn bin Ziyãd, penulis kitab sejarah yang terkenal, w 233 H) dan berbagai pelajaran lainnya. Ia (as-Sulamĩ) juga memalsukan hadits untuk mendukung aliran tasawuf. Salah satu ulama yang mengutip ungkapan al-Qaththãn di atas adalah Ibn al-Jawzĩ (Abu al-Faraj ’Abdirrrahmãn, w 597 H). Jika dilihat dari redaksi bahasa berkenaan dengan biografi as-Sulãmĩ dalam al- Muntazham , Ibn al-Jawzĩ mengutip setengah dari penjelasan al-Khathĩb al-Baghdãdĩ. Agaknya Ibn al-Jauzĩ tidak seimbang dalam menilai as-Sulamĩ. Beliau hanya mengutip ungkapan al-Qaththãn tanpa mengutip komentar al-Khathĩb al-Baghdãdĩ yang

57 Abu ’Abdirrahmãn Muhammad bin Yusuf bin Ahmad al-Qaththãn an-Naisãbũrĩ, wafat 422 H. beliau adalah salah satu guru Abu Bakr al-Khathĩb al-Baghdãdĩ. Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru

A’lãmi an-Nubalã‘ , jilid 17, hal 423 A’lãmi an-Nubalã‘ , jilid 17, hal 423

hadits yang bermutu. 58 Berbeda dengan Ibn al-Jauzĩ -setelah mengemukakan penilaian al-Qaththãn dan al-Khathĩb al-Baghdãdĩ-, Tãjuddin as-Subkĩ (’Abdu al-Wahhãb bin ’Alĩ, w 771 H) menganggap penilaian al-Khathĩb al-Baghdãdĩ lebih tepat, bahkan tidak

menghiraukan penilaian al-Qaththãn. 59

Jika ditelesuri penilaian al-Qaththãn, sesungguhnya Abu ’Abbãs al-Ashamm – yang juga guru dari al-Hãkim an-Naisãbũrĩ- meninggal pada tahun 346 H. Sebagaimana pernah disebutkan sebelum ini, as-Sulamĩ mulai menuntut ilmu secara tertulis sejak usia

8 tahun atau sekitar tahun 333 H, salah satu gurunya adalah al-Ashamm. Bila dikaitkan dengan tahun wafat Abu ’Abbãs al-Ashamm, maka umur as-Sulãmĩ saat itu adalah 21 tahun. Bukankah jarak antara 8 dan 21 tahun merupakan masa yang panjang?

Bagaimana mungkin as-Sulamĩ belajar dari al-Ashamm setelah al-Hãkim an-Naisãbũrĩ meninggal, yaitu tahun 405?

Tuduhan bahwa as-Sulamĩ memalsukan hadits juga perlu ditinjau kembali. Layaknya ulama tasawuf lain, atau mungkin ulama fikih, dalam sekian karya mereka tentu terdapat hadits-hadits shahĩh, hasan, dha’ĩf, atau mungkin hadits palsu (al- mawdhũ’ ). As-Sulamĩ tidak memalsukan hadits, melainkan hanya mengutip hadits- hadits yang telah dikemukakan ulama-ulama sebelumnya. Sebagai contoh, dalam kitab Ãdãbu ash-Shuhbati , as-Sulamĩ mengemukakan hadits:

58 Abu al-Faraj ’Abdurrahmãn bin al-Jawzĩ, al-Muntazham fĩ Tãrĩkhi al-Mulũk wa al-Umam, Dãru

Shãdir, Beirut, 1358 H, jilid 8, hal 6, dan Talbĩsi Iblĩs, Dãru al-Kutub al-’Ilmiyyah, 2006, hal 178. Bandingkan

dengan: al-Khathĩb al-Baghdãdĩ, Tãrĩkhu Baghdãd, jilid 2, hal 248. 59

’Abdu al-Wahhãb as-Subkĩ, Thabaqãtu asy-Syãfi’iyyah al-Kubrã, Dãru Ihyã‘i al-Kutub al-

’Arabiyyah, Beirut, tt, jilid 4, hal 143 60

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Ãdãbu ash-Shuhbati, Dãru Maktabati at-Tarbiyah, Beirut, 1990,

hal 122

Hadits tersebut juga dikemukakan Imam al-Ghazãlĩ dalam kitabnya Ihyã‘u ’Ulũmi ad-Dĩn . Al-’Irãqĩ sebagai penyeleksi hadits kitab tersebut mengatakan bahwa hadits yang dimaksud diriwayatkan oleh as-Sulamĩ dalam Ãdãbu ash-Shuhbati. Jika ditelusuri, hadits tersebut juga telah dikemukakan oleh ulama sebelum as-Sulamĩ, seperti

abu Thãlib al-makkĩ. 61

Adanya hadits-hadits palsu dalam suatu karya tidak berarti penulisnya memalsukan hadits. Bahkan, al-Hãkim an-Naisãbũrĩ yang menamai kitabnya dengan al- Mustadraku ’alã ash-Shahĩhain , juga terdapat hadits-hadits lemah, bahkan palsu. Hal yang serupa juga berlaku pada as-Sulamĩ. Kenyataannya, mayorits hadits yang dimuat dalam Haqã‘iqu at-Tafsĩr berupa hadits shahĩh. Begitu juga dengan kitab-kitabnya yang lain, di dalamnya terdapat hadits-hadits dengan kwalitas yang berbeda.

Jika argumen di atas belum dapat diterima, ketika menafsirkan ayat 83 dari surah al-Anbiyã‘ (21), as-Sulamĩ membantah dengan tegas sebuah hadits yang

menyatakan bahwa seluruh tubuh nabi Ayyub dimakan ulat, sehingga hanya menyisakan

hati dan lidahnya. 62 Abu Nu’aim, teman seperjuangan as-Sulamĩ w 430, menilainya sebagai orang yang memiliki perhatian penuh terhadap tasawuf dan menjernihkannya dari berbagai pengaruh negatif terhadap cara salaf. As-Sulamĩ menjalani kesufiannya sesuai dengan

mazhab salaf, dan menantang mereka yang merusak kesucian mazhab ini (tasawuf). 63 Pujian Abu Nu’aim bukan sekedar pujian "tanda persahabatan". As-Sulamĩ sendiri dengan tegas mengecam tasawuf-tasawuf yang tidak sesuai dengan syariat. Sesungguhnya, setiap ilmu bathin yang tidak sesuai dengan ilmu zhahir, maka itu adalah ilmu yang sesat. Seorang sufi yang tidak memeiliki amalan yang dikenal secara syariat,

61 Abu Hãmid al-Ghazãlĩ, Ihyã‘u ’Ulũmi ad-Dĩn, Dãru al-Ma’rifah, Beirut, tt jilid 2, hal 158, Abu

Thãlib al-Makkĩ, Qũtu al-Qulũb, Dãru al-Fikr, Beirut, tt, jilid 2, hal 214 62

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqa‘iq at-Tafsĩr, Dãru al-Kutub al-’Ilmiyyah, Birut, 2001, jilid 2,

hal 10 63

Ahmad bin ’Abdillah bin Ahmad bin Ishaq, Hilyatu al-Awliyã‘ wa Thabaqãtu al-Asffiyã‘, Dãru

al-Kitãb, Beirut, 1405 H, jilid 2, hal 24 al-Kitãb, Beirut, 1405 H, jilid 2, hal 24

menyandang predikat sufi. 64

B. Haqã‘iqu at-Tafsĩr

1. Latarbelakang Penulisan As-Sulamĩ mengakui, faktor yang mendorongnya menulis tafsir adalah karena banyaknya ulama yang membahas makna zhahir al-Quran. Mereka membahas persoalan-persoalan tertentu dalam al-Quran. Sebagian dari mereka menulis faidah- faidah yang terkandung dalam al-Quran, ada yang membahas tentang bahasa –baik dari segi pemaknaan kata-kata yang sulit (musykil, gharĩb), ataupun kaidah bahasa (i’rãb)-, sementara sebagian ulama ada yang membahas masalah hukum, ada juga persoalan

naskh-mansũkh . Para ulama sufi -menurut as-Sulamĩ- tidak berbicara tentang makna al- Quran yang sebenarnya, melainkan hanya mengungkapkan makna-makna isyarat yang

tersembunyi, sesuai dengan pemahaman yang telah Allah karuniai pada mereka. Bahkan, pemahaman manusia tidak dapat menjangkau makan al-Quran yang sebenarnya dan tidak dapat menampung faidah al-Quran, kecuali dengan mukãsyafãt. Saidina ’Alĩ bin ’Abdu al-Muthallib (w 40 H) pernah mengatakan bahwa tidak ada wahyu selain al- Quran, melainkan memahaminya sesuai dengan anugrah Allah. Bertolak dari latarbelakang tersebut, menarik bagi as-Sulamĩ untuk mengumpulkan ungkapan- ungkapan ulama sufi –khususnya yang disandarkan dan disebut ( ﺕ ﺮـ ﻛﹸ ﺫ , ﺖﺒ ﺴـ  ﻧ ) dari Ibn

’Atha‘ dan Imam Ja’far- berkenaan dengan sebagian ayat al-Quran secara acak, namun

sesuai dengan urutan surah dalam mushaf. 65

64 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Al-Muqaddimah fĩ at-Tashawwuf, Maktabatu al-Kuulliyyãti al-

Azhariyyah, 1987, hal 86 65

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, hal 19. Sedangkan riwayat yang dimaksud adalah sebagaimana terdapat dalam Shahĩh Imam Bukhari dalam Kitãbu al-’Ilm (3) bab Kitãbatu al-’Ilm (39) nomor 111:

Sebagaimana pengakuannnya, as-Sulamĩ memaparkan tafsirnya sesuai dengan urutan surah, tapi tidak sesuai urut ayat dalam surah. Terkadang satu ayat dapat terulang dua kali setelah diselangi dengan ayat lain. Bahkan, terdapat beberapa ayat dalam surah al-A’rãf (7) yang ia tafsirkan dalam surah al-Anfãl (8). Berikut ini adalah penafsiran- penafsiran as-Sulamĩ sesuai dengan urutan dalam Haqã‘iqu at-Tafsĩr:

1 Al-Fãtihah

1-11, 15,17, 20-21, 28-31, 34-35, 37, 40-41,

45, 44, 46, 54-55, 60-61, 71,73, 81-82, 85,88,

96, 106, 112, 115, 117-118, 124-125, 82, 131, 128, 132, 144, 144, 154, 152, 158, 62, 172, 152, 208, 165, 177, 185-186, 197-199, 135,

187, 200-201, 210, 212, 219-220, 222, 245- 246, 249, 253, 255-257, 259-260, 258, 264,

270, 269, 272, 268, 273, 281, 284-285

3 Ãli ’Imrãn

1-9, 13-15, 17-19, 26, 28, 30-32, 35, 37, 39,

46, 49, 53-55, 60-61, 64, 68, 73-74, 79-80, 76, 83-85, 92, 96-97, 101, 103, 102, 106, 123, 128, 131, 134-135, 138-139, 133-134, 145,

150, 152, 154, 159, 160-161, 164, 167, 169, 171, 175-176, 172, 179, 180, 186-187, 190-

1, 5, 8-9, 11, 17, 19, 26-29, 31, 34, 32,, 36-37,

41, 43, 48-49, 51, 54, 56, 58-60, 63, 46, 62,

ﻡﻠﺴﻤ لﺠﺭ ﻪﻴﻁ ﻋﺃ ﻡﻬﻓ ﻭﺃ ﷲ ﺍ ﺏ ﺎﺘﻜ ﻻﺇ ﻻ لﺎﻗ ؟ﺏ ﺎﺘﻜ ﻡﻜﺩﻨﻋ لﻫ ﻲ ﻠﻌﻝ ﺕ ﻠﻗ لﺎﻗ ﺔﻔﻴﺤﺠ ﻲ ﺒﺃ ﻥﻋ : Dari Abu Juhaifah, ia berkata: aku bertanya pada ’Alĩ: "apakah kalian memiliki kitab (selain) al-

Quran?" Beliau menjawab: "tidak kecuali pemahaman yang Allah berikan pada orang Muslim"

64-66, 80, 69, 75-79, 82-83, 89, 97, 94-95, 98, 100, 102-103, 105, 139, 107-108, 113-114, 118, 120, 125, 128-129, 131,135, 6, 136, 139, 146-148, 153, 162, 172, 174.

5 Al-Mã‘idah 1-8, 12-13, 15-16, 18, 20, 23, 22, 27, 35, 41-

42, 44, 48, 54, 56, 63, 67, 69, 71, 80,74, 82- 833, 87-88, 92, 97, 93, 101, 109-110, 116-

6 Al-An’ãm 1-2, 3, 9-10, 54, 13-14, 17-19, 25, 28, 30, 32,

87 34-36, 38-42, 46, 48, 50-54, 57, 59, 62, 64-65,

67, 69-73, 75-77, 79, 82-83, 87, 90-95, 97, 96,

98, 101, 104-106, 108, 110, 114-116, 119-

122, 124-127, 133, 147, 149, 151-153, 159-

162, 164-165

7 Al-A’rãf 1-3, 6-8, 11-12, 16-17, 20-23, 25-27, 29, 31-

33, 36, 43, 46, 50, 52, 54-58, 62, 69, 64, 68,

82, 94, 96-97, 99, 102, 105, 114, 118, 120, 124, 128-130, 134, 137, 140, 142-146, 148, 150, 152, 155-160, 167, 169, 172, 175-176, 178-182, 192, 201,204-205, (ayat 185, 188-

189, 196, dan 198-199 terdapat dalam surah

al-Anfal)

8 Al-Anfãl 1-2,4-5, 7-8, 10, 9, 11, 17, 21-25, 27-30, 33,

37, 40, 42, 46, 48, 53, 60, 63-64, 66-67, 69,

3, 10, 13, 18, 21, 25-26, 28, 31, 33-34, 36-38,

40-41, 43, 46, 44, 48, 51, 54-55, 59-60, 67,

71, 73, 75 77, 76, 78, 88, 91-93, 98-100, 103- 105, 108-109, 111-112, 115-119, 122-124,

10 Yũnus

49 39-42-44, 49, 53, 55-58, 61-62, 64, 67, 82, 84,

1-7, 10, 12-14, 22-23, 25-26, 20-32, 34-36,

89, 94, 96-97, 100, 99, 101, 103, 105-109

11 Hũd

1, 3, 5-6, 9-10, 15, 17-18, 20, 23-24, 27, 29,

34, 37, 40, 43, 45-47, 49, 55-56, 69-70, 73-74,

80, 79, 81-84, 86, 88, 90

12 Yũsuf

13 Ar-Ra’d

2-17, 19-22, 24-2829, 33, 36-39, 41-43

14 Ibrãhĩm

1-3, 5, 7-8, 10-12, 19, 22-28, 30, 32, 34-38,

2-3, 9, 16-17, 19, 21-24, 26, 28-31, 35, 39-40,

42, 45, 47-50, 54, 72, 75,, 85, 87-89, 93, 97-

1-2, 7-9, 12, 16, 18, 21, 30, 32, 36-37, 40, 42,

44, 48, 51, 53-54, 62, 66, 68-69, 71-72, 74-75, 77-78, 83-84, 89-91, 95-97, 99-100, 102, 110- 111, 114, 119-123, 125-128

17 Al-Isrã‘

53 29-30, 34-37, 41, 44-45, 52, 54-55, 57, 59, 61-

1, 3, 7, 5, 8-10, 12-14, 16, 18-19, 21, 23-25,

62, 64-65, 67, 70-72, 74, 78, 80-81, 83-85, 100-101, 105, 107, 109, 110-111

18 Al-Kahf

1-2, 5-9, 11, 13-14-15, 17, 10,18-19, 21, 23-

24, 28-31, 46, 33, 44-47, 49-51, 55, 57, 59, 65-70, 77-78, 84, 88, 101, 103-104, 107-110

19 Maryam 1-7, 9, 8, 12-13, 15, 17, 21, 23, 25-26, 29-32,

48 38-39, 41-43, 46-52, 54, 56, 59, 62-63, 65-67, 71-72, 81-82, 76, 85, 93, 96

20 Thahã 1-3, 5-7, 9-14, 17-19, 21, 23, 25-27, 33-34,

59 36-37, 39-44, 46-47, 55, 67-68, 72, 81-86, 99, 106, 108-111, 114-115, 117-118, 121-124,

21 Al-Anbiyã‘

36 42-43, 47, 50-51, 66, 69, 78-79, 83-84, 87-90,

1, 3, 7, 10, 11, 18, 22-23, 27-28, 35, 37, 40,

94, 101, 103, 105-107, 110

22 Al-Hajj 1-3, 5, 11-12, 18, 23-28, 30, 32, 34-37, 45, 38,

46, 52, 54, 56, 58, 62-63, 66,72,-74, 77-78

23 Al-Mu‘minũn 1-3, 8-10, 12, 14-15, 17, 27, 29, 44, 51-53, 55,

38 57-62, 71, 73-76, 84, 91, 96, 99-101,, 106,

24 An-Nũr 1-2, 5, 14-15, 21-22, 26, 30-33, 35-37, 39-40,

44, 46, 48, 52, 54, 61-63

25 Al-Furqãn 1-3, 7, 20, 23-24, 26, 28, 31, 43-45, 48-49, 53-

54, 58-59, 61-67, 70-76

26 Asy-Syu’arã‘

1, 3, 5, 10, 12-13, 15, 18, 21, 23-24, 27-28,

26, 41-42, 50-51, 62, 77-84, 87, 89, 111, 114, 126-127, 136, 153, 193-194, 205, 212, 214,

4, 6, 10-11, 8, 15-16, 18-19, 21, 26, 29, 34,

40, 48, 50, 52, 59, 60-64, 69, 73-74, 80, 88, 91

28 Al-Qashash

4-5, 7-10, 12, 14, 17-18, 22-26, 29-31, 34-35,

41, 46, 51, 55-57, 60-61, 68, 73, 75-80, 83-85,

29 Al-’Ankabũt

1-6, 10, 13, 17, 21, 26, 29, 27, 41, 43, 45, 48-

49, 56-57, 59-60, 65, 69

30 Ar-Rũm

4, 7, 9-10, 12, 17, 20, 19, 26, 29-31, 39-41,

43, 46, 50, 52-54, 60

31 Luqmãn

2, 3, 6, 12-15, 17, 19, 20, 22, 27, 31-34

32 As-Sajdah

4-5, 7, 13, 15-18, 21, 24, 27, 30

33 Al-Ahzãb

1, 3-4, 6-8, 15, 21, 13-23-24, 31, 33, 35-39,

41-46, 50-51, 55-56, 70-72

34 Saba‘

35 Fãthir

1-3, 6, 10, 15, 32, 34-35

36 Yasin

1-2, 7, 9, 11-12, 22, 26, 33, 36, 55, 57-58, 61,

65, 68-70, 78, 82

37 Ash-Shaãffãt

4, 6, 40, 55, 84, 88-89, 99, 102-103, 106-108,

21 105, 110, 143, 161-162, 164-166

38 Shaãd

1-2, 6, 17, 20, 24-26, 29-30, 33, 35-36, 39, 44,

71-73, 78, 83, 87

39 Az-Zumar

40 42-43, 41, 44-45, 47, 49, 52-54, 56, 60-67, 69,

3, 7-11, 17-18, 21-22, 28, 33, 38, 29, 30, 36,

71, 74-75

40 Ghãfir (al-

1-4, 7, 13, 11, 14-19, 28, 37-38, 41, 43-44, 51-

Mu‘min)

52, 55-56, 60-61, 64-65, 77-78, 80-81, 85

41 Fushshilat

1-2, 4-6, 10, 12, 15, 17, 19, 22, 24-26,, 30-31,

33-37, 39, 42, 44, 49, 51, 53

42 Asy-Syũrã 1-2, 7, 9, 11-13, 15, 18-19, 20, 23-25, 28, 30,

2, 4, 13, 15, 28, 25, 31-33, 35-36, 41, 43-44,

55, 59, 67-72, 80, 89

44 Ad-Dukhãn 3-4, 10, 8, 21, 29, 32, 40, 42, 51, 56-58

45 Al-Jãtsiyah 3-4, 9, 13, 15, 17-19, 21, 23, 26, 28-29, 37

46 Al-Ahqãf

48 Al-Fath 1-4, 8-11, 18, 25-29

49 Al-Hujurãt

1-3, 5-15, 17

50 Qãf

1, 8-9, 16, 18, 21-22, 29, 32-33, 35, 37-38-45

51 Adz-Dzãriyãt

15, 5-6, 9, 17, 19-22, 24, 26, 49-50, 54-56, 58

52 Ath-Thũr 1-2, 4-5, 23, 26, 35, 27, 48

53 An-Najm 1-4, 8-12, 14, 18, 17, 23-24, 29, 37, 39-40, 42,

55 Ar-Rahmãn 1-4, 9, 11, 17, 19, 26-27, 29, 31, 46, 56, 60,

56 Al-Wãqi’ah

1, 3, 8-11, 13, 4, 19, 24-26, 30, 33, 61-62, 73-

75, 77, 79, 83-85, 88-91, 95-96

57 Al-Hadĩd 1-4, 6-7, 10-14, 16, 15, 19-25, 27-28

58 Al-Mujãdilah 6-7, 10, 9, 11, 19, 21-22

59 Al-Hasyr

2, 8, 7, 9, 13-14, 19, 2123

60 Al-Mumtahinah

61 Ash-Shaff

2, 5-6, 8, 19, 13

62 Al-Jumu’ah

63 Al-Munãfiqũn

64 At-Taghãbun

2-3, 9, 11, 14, 16-17

65 Ath-Thalãq

1-3, 10, 12

66 At-Tahrĩm

1-5, 10, 12, 14-15, 28, 26, 29

68 Al-Qalam

1, 3-4, 34, 42, 44, 48-49

69 Al-Hãqqah

1-2, 11-12, 18-24, 38-39, 44, 48, 50-51

70 Al-Ma’ãrij

4-7, 19-22, 32, 24, 33, 39, 44

1-2, 7, 3, 13, 16, 18, 21-22, 26, 28

73 Al-Muzammil

1-2, 4-9, 19-20

74 Al-Muddatstsir

1-4, 6, 31-32, 34-36, 38, 52, 56

75 Al-Qiyãmah

2, 13-14, 17, 20-23, 29

76 Al-Insãn

1-2, 5-7, 17, 21, 31

77 Al-Mursalãt

79 An-Nãzi’ãt

16-19, 24-25, 37-38, 40

80 ’Abasa

1-2, 5-7, 11, 17, 20, 23, 25, 34-35, 37-38, 40

81 At-Takwĩr

13-14, 19, 26, 28-29

82 Al-Infithãr

5-8, 10-11, 13-15, 19

83 Al-Muthaffĩn

1, 4, 9, 14-15, 22-24, 26-28

84 Al-Insyiqãq

1-2, 9, 15, 25, 13

85 Al-Burũj

1-3, 13-16, 22

86 Ath-Thãriq

87 Al-A’lã

1-3, 6-7, 9, 13-14, 16-17

88 Al-Ghãsyiah 2-3, 8, 13, 17, 19, 18, 20-21, 25, 22

1-2, 4, 8, 11-15

1-2, 4, 6-8

95 At-Tĩn

1-4

96 Al-’Alaq

100 Al-’Ãdiyãt

Al-Qãri’ah

6-7

At-Takãtsur

Al-’Ashr

Al-Fĩl

Al-Mã’ũn

Al-Kãfirũn

Al-Ikhlãsh

1-4

Al-Falaq

1-2

An-Nãs

Berkenaan dengan masa penulisannya, penulis tidak menemukan masa yang pasti kapan as-Sulãmĩ menulis tafsirnya. Beberapa litetarur kitab biografi menyebutkan pengakuan as-Sulamĩ yang menyatakan bahwa, ketika beliau pergi ke Baghdad, ia

bertemu dengan Abu Hãmid al-Isfirãyĩnĩ, 66 yang kemudian meminta kitab Haqã‘iqu at- Tafsĩr . 67 Adapun Abu Hãmid al-Isfirãyĩnĩ menetap di Baghdad sejak beliau berumur 20 tahun, tepatnya tahun 364 H. 68 Berdasarkan fakta tersebut, berat dugaan kalau Haqã‘iqu at-Tafsĩr ditulis antara tahun 360-370 H. Literatur-literartur yang membahas tentang as-Sulamĩ –baik tafsirnya atau karya-karyanya yang lain, baik secara khusus atau dalam pembahasan ilmu al-Quran-

menyatakan bahwa Haqã‘iqu at-Tafsĩr terdapat dalam jumlah yang besar, yang tersebar di beberapa perpustakaan, semuanya masih berupa manuskrip. Gerhard Bowering, misalnya, mengatakan bahwa kitab tafsir ini masih ditunggu terbitannya secara

kesuluruhan, meskipun sebagiannya sudah dipublikasikan oleh Massignon dan Nwyia. 69 Gerhard Bowering menyebutkan 42 manuskrip Haqã‘iqu at-Tafsĩr, mayoritasnya terdapat di berbagai perpustakaan di Istanbul, Turki. 70 Hal ini wajar, karena informasi

66 Ahmad bin Muhammad bin Ahmad, ulama fikih yang pernah dihadiri 700 ulama fikih dalam

pengajiannya. Beliau dijuluki Imam Syafi’ĩ pada masanya. Lahir 346-406 H. Muhammad bin Ahmad ad-

Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 17, hal 193 67

68 Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 17, hal 247

69 al-Khathĩb al-Baghdãdĩ, Tãrĩkhu Baghdãd, .jilid 2, hal 344 Penelitian yang ditulis L. Massignon berjudul: Essai Sur le Origins du Lexique de la mystique Musalmane , Paris 1922. Sedangkan penelitian P. Nwyia berdulul: Le Tafsir Mystique Atribué à Ga’far s-

Shãdiq , MUSJ 43, 1968. Tulisan tersebut diterjemahkan dalam bahasa Arab oleh ’Alĩ Zayyũr dengan judul: at- Tafsĩr ash-Shũfĩ li al-Quran ’inda ash-Shãdiq , Beirut 1979. Tulisan ini membahas penafsiran as-Sulamĩ yang bersumber dari Imam Ja’far. Nwya juga menulis tentang penfasiran yang bersumber dari melalui Ibn ’Atha‘ (w. 309 H). Adapun penafsiran as-Sulamĩ yang bersumber at-Tustarĩ, dikaji oleh Gerhard Bowering sendiri dengan judul: "The Mystical Vision of Existence in Classical Islam", Berlin, 1980. Lihat: Gerhard Bowering, The Quran Commentary of al-Sulami , dalam: W.B. Halllaq dan D.P. Little (editor), Islamic Studies Presented

to Charles J. Adams 70 , Leiden, 1991, hal 43 Gerhard Bowering, The Quran Commentary of al-Sulami, hal 46 to Charles J. Adams 70 , Leiden, 1991, hal 43 Gerhard Bowering, The Quran Commentary of al-Sulami, hal 46

pembahhasan ini. 71

2. Sumber Rujukan Penafsiran-penafsiran yang dikemukan as-Sulãmĩ bukanlah penafsiran beliau semata yang diperoleh dengan ladunni, tetapi sebagian besarnya berupa kutipan dari ulama-ulama sufi sejak abad kedua sampai abad keempat. Kebanyakan dari kutipan- kutipan tersebut tidak menyebutkan sumbernya. Terhadap kutipan-kutipan seperti ini, as- Sulamĩ hanya menyebutkan ﻞﻴ ﻗ , ﻢﻬﻀ ـ ﻌﺑ ﻗ ﻝﺎ , atau dengan menisbahkan pada kaum tertentu,

seperti ﺩﺍ ﺪـ ﻐﺒ ﲔﻳ ﻟ ﺍ ﺺ ـ ﻌﺑ ﻝﺎ ـﻗ , ﻗ ﺍ ﺮـ ﻌﻟ ﲔﻴ ﺍ ﺾ ـ ﻌﺑ ـﻗ ﻝﺎ . Sedangkan kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya, tidak kurang dari seratus ulama sufi yang menjadi rujukan as-Sulãmĩ dalam

Haqã‘iqu at-Tafsĩr . Hanya saja, as-Sulãmĩ sering menyebutkan sumber dengan kunya dan nasab, sehingga menyulitkan pembaca untuk menentukan tokoh yang dimaksud. Dari sekian sumber tersebut, hanya terdapat bebarapa kutipan yang menggunakan sanad, dengan 1 sampai 4 mata rantai. As-Sulamĩ juga tidak memperhatikan sumber

penafsirannya. Ulama kontraversial seperti al-Hallãj 72 dan Abu Yazĩd al-Busthãmĩ (w 261 H) juga menjadi rujukannya. Hal ini agaknya sebagai komitmennya untuk

71 Sebagai catatan, Sayyid ’Imrãn sebagai pen-tahqiq ktab ini, tidak menjelaskan versi mana yang

menjadi pegangannya. Tetapi, beliau mencantumkan periwayatan kitab ini dari ’Abdu al-Muhsin bin Syifã‘ bin Abi al-Ma’ãlĩ, dari Abu al-Khair Ahmad bin Ismail ath-Thalqãnĩ (w 590), dari Abu al-Abbas Ahmad bin Abi al-Fadhll bin Abi al-’Abbas asy-Syaqãnĩ, dari Ahmad bin Khalaf asy-Syairãzĩ, dari Abu Abdirrahman as-

Sulamĩ. 72

Abu Mughĩts al-Husain bin Manshũr Ulama sufi yang banyak lebih banyak mengutarakan syatahãt , dan ditolak oleh mayoritas ulama tasawuf. Wafat 309 H. Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘ , jilid 14, hal 313 Abu Mughĩts al-Husain bin Manshũr Ulama sufi yang banyak lebih banyak mengutarakan syatahãt , dan ditolak oleh mayoritas ulama tasawuf. Wafat 309 H. Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘ , jilid 14, hal 313

1. Ja’far bin Muhammad bin ’Alĩ (Ja’far ash-Shãdiq, w 148 H)

2. Muhammad bin Sahl at-Tustarĩ ulama sufi dan pakar hadits yang penuh dengan kata-kata mutiara. Beliau wafat 283 H

3. Junaid bin Muhammad al-Baghdãdĩ. Pakar fikih dan hadist yang maqbũl ini lahir dan tumbuh besar di Iraq. (w 297 H). beliau pernah menyatakan: "Barangsiapa belum menghafal al-Quran dan belum menuylis hadits, maka ia tidak bisa menjadi panutan dalam ilmu inib(tasawuf). Sesungguhnya ilmu kami diikat oleh al-Quran dan hadits".

4. Dulfu bin Jahdir, (Abu Bakr asy-Syiblĩ, w 334 H)

5. Ahmad bin Muhammad bin ’Atha‘ (w 309 H).

6. Abu Bakr Muhammad bin Musa al-Wãsithĩ (w 320 H). Berbeda dengan ulama lain, al-Wasithĩ sangat menguasai ilmu ushul dan ilmu zhahir.

Sementara komentar-komentarnya tentang tasawuf berbeda dengan komentar ulama-ulama lain.

7. Abu al-Qãsim an-Nashrãbãdzĩ Ibrahim bin Muhammad bin Mahwiyah. Murid asy-Syiblĩ sangat menguasai ilmu hadits dan sejarah. Baginya, landasan ilmu tasawuf harus sesuai dengan kitab dan hadits. Wafat 367 H.

8. Abu ’Abdillah Muhammad bin al-Fadhl bin al-’Abbãs bin Hafsh. Ulama sufi besar dari Balkh. Beliau diusir oleh ulama fikih dari daerahnya karena komentar-pemahamannya terhadap al-Quran dianggap bid'ah. Beliau pindah ke Samarqand, dan di Samarqand menjadi ulama yang dihormati. Wafat 310 H.

73 Sebagai contoh, as-Sulamĩ dalam kitabnya Tãrĩku ash-Shũfiyyah mengakui kalau Abu Yazĩd al- Busthãmĩ banyak mengeluarkan ungkapan-ungkapan syatahãt, selain kata-kata yang bermanfaat. Sebagaimana

dikutip: Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 13, hal 86

Sebagai catatan, penafsiran-penafsiran yang bersumber dari Imam Ja’far sangat minim mengandung sudut pandang Syi’ah dalam tafsir ini. Tidak diketahui, apakah sudut pandang tersebut telah diedit oleh mereka yang meriwayatkan Haqã‘iqu at-Tafsĩr, atau sengaja tidak dikemukan as-Sulamĩ. Apalagi, Nwyia menemukan dua naskah tafsir Imam Ja’far yang mengungkapkan beberapa pandangan Syi’ah, tetapi bertolak belakang dengan penafsiran Imam Ja’far yang diungkapkan as-Sulamĩ. Bahkan, salah satu manuskrip tafsir Imam Ja’far versi as-Sulamĩ mengandung penjelasan dari sudut

pandang Syi'ah. 74

BAB III

74 Sebagaimana dikutip: Michael A.Sells (edt), Early Islamic Mysticism, Paulist Press, New Jersey, 1996. Diterjemahkan oleh: Slamet Riyadi, Sufisme Klasik; Menelusuri Tradisi Teks Sufi, Mimbar Pustaka,

Bandung, 2003, hal 90

KONTROVERSI SEKITAR TAFSIR ISYÃRĨ

A. Pengertian Tafsir Isyãrĩ

Berkenaan dengan penafsiran al-Quran yang menggali makna yang tersembunyi (esetorik), terdapat beberapa istilah yang digunakan ulama al-Quran. Di antara istilah-istilah tersebut adalah: at-Tafsĩr al-Nazharĩ, at-Tafsĩr al-Isyãrĩ, at-Tafsĩr ar-Ramzĩ, at-Tafsir al-Bãthinĩ, dan al-Manhaj ar-Ramzĩ.

Husain adz-Dzahabĩ membagi penafsiran sufi pada dua bagian; At-Tafsĩr al- Nazharĩ, dan at-Tafsĩr al-Faidhĩ atau at-Tafsĩr al-Isyãrĩ. At-Tafsĩr al-Nazharĩ bersumber dari pembahasan-pembahasan teori dan ajaran-ajaran filsafat, lalu menjadikan al-Quran tunduk dengan teori-teori tersebut. Sedangkan at-Tafsĩr al-Isyãrĩ bersumber dari latihan jiwa atau perjalanan spritual, sehingga dapat memahami makna-makna yang

tersembunyi dari al-Quran 75 . Adapun at-Tafsĩr ar-Ramzĩ, sebagaimana diterapkan oleh

ath-Thabarsĩ (al-Fadhl bin Hasan, w 548 H), menafsirkan al-Quran sesuai dengan makna zhahir, lalu menyebutkan penafsiran bathin yang bersumber dari kalangan Syi’ah 76 . Nama lain untuk tafsir Isyãrĩ adalah al-Manhaj ar-Ramzĩ, istilah ini digunakan oleh Ahmad Khalĩl. 77 Penafsiran dengan al-Manhaj ar-Ramzĩ, diperoleh setelah amalan- amalan tasawuf berdasarkan wijdn dan dzauq. 78 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa penafsiran dengan al-Manhaj ar-Ramzĩ tidak mengabaikan makna teks secara literal, melainkan melalaui perjalanan spritual yang ditempuh para sufi, sesuai dengan pengalaman dan tingkatan masing-masing.

Bagi kaum sufi, al-Quran ibarat cakrawala yang mengandung makna yang tidak terbatas. Makna yang terkandung dalam al-Quran sangat luas, bahkan tidak dapat

76 Husain adz-Dzahabĩ, at-Tafsĩr wa al-Mufassirũn, Maktabah Wahbah, Qairo, 2000, jild 2, hal 352

77 Husain adz-Dzahabĩ, at-Tafsĩr wa al-Mufassirũn, jild 2, hal 141

78 Ahmad Khalĩl, Dirãsãt fĩ al-Quran, Dãru al-Ma’ãrif, Mesir, tt, hal 123. Al-Wajdu adalah apa yang muncul dalam hati, tanpa kesengajaan. Sedangkan dzauq adalah apa yang diketahui seorang hamba berkenaan dengan hal-hal yang ghaib, sebagai hasil dari ketekunan ibadah. Abu

al-Qãsim al-Qusyairĩ, ar-Risãlah al-Qusyairiyyah, Dãru al-Khair, Damaskus, 1991, hal 38 al-Qãsim al-Qusyairĩ, ar-Risãlah al-Qusyairiyyah, Dãru al-Khair, Damaskus, 1991, hal 38

$ZVƒÏ‰tn tβθßγs)ø tƒ tβρߊ%s3tƒ Ÿω ÏΘöθs)ø9$# ÏIωàσ‾≈yδ ÉΑ$yϑsù

Artinya: Maka Mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun? Maksud dari ayat tersebut bukan berarti orang-orang munafik tidak memahami ungkapan al-Quran, tapi mereka tidak memahami maksud Allah dari ungkapan al-Quran. Bagaimana mereka tidak memahami al-Quran, sedangkan al-Quran turun dengan bahasa Arab? Adapun sabda Rasul

’Abdullah bin Mas’ũd berkata: Rasulullah SAW bersabda: seandainya aku menjadikan kekasih, maka aku akan menjadikan Abu Bakr sebagai kekasih. Tetapi sahabat kalian (Abu Bakr) adalah kekasih Allah, dan al-Quran diturunkan dengan tujuh huruf, setiap huruf memiliki zhahir dan bathin.

Fokus pembahasan pada hadits tersebut adalah kata ﺮﻬﻇ dan kata ﻦﻄﺑ . Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan dua kata tersebut:

1. Menurut Hasan 80 , yang dimaksud dengan dua kata tersebut bahwa, kalau seseorang mencari makna bathinnya dan membandingkannya dengan zhahirnya, maka ia akan mendapatkan maknanya.

79 Shahĩh. Sulaiman bin Ahmad ath-Thabrãnĩ, al-Mu’jam al-Awsath, no: 773, Musnadu Abĩ Ya’lã,

Musnadu ’Abdullah bin Mas’ũd , no 5403

2. Menurut Abu ’Ubaidah 81 , yang dimaksud dengan zhahir adalah cerita tentang kehancuran umat masa lampau, sedangkan bathin adalah nasehat bagi generasi setelahnya.

3. Menurut Ibnu Mas’ũd 82 , makna ayat yang diamalkan oleh suatu kaum, dan akan diamalkan oleh kaum yang lain dengan makna yang berbeda.

4. Sebagian ulama kontemporer berpendapat bahwa, yang dimaksud dengan zhahir adalah lafadznya, sedangkan bathin adalah penakwilannya. Empat pendapat tersebut dijelaskan oleh az-Zarkasyĩ (w 784 H), dan

menurutnya, pendapat Abu ’Ubaidah lebih dekat pada kebenaran. Maksud kalimat ﻓ ﻪﻴ ﻣﻭ ﺎ

adalah: setiap huruf ada batas yang Allah kehendaki dari maknanya. Sedangkan kalimat ﻊﻠ ﻄﻣ ﺪﺣ ﻞﻜﻟ ﻭ : setiap makna dan hukum yang tersembunyi memiliki

pangkal untuk mengetahui maksudnya. 83

Lalu, apa hubungan hadits tersbut dengan tafsir Isyãrĩ? Husain adz-Dzahabĩ – setelah menanggapi bahwa pendapat Abu ’Ubaidah hanya terbatas pada kisah-kisah dalam al-Quran, sedangkan hadits tersebut berbicara tentang seluruh ayat al-Quran- mengemukakan pendapat Ibn Naqĩb (Jamãluddin Muhammad bin Sulaiman, w 698 H) dalam menjelaskan hadits tersebut:

Abu Sa’ĩd al-Hasan bin Abi al-Hasan Yasar, lebih dikenal dengan al-Hasan al-Bashrĩ. Beliau adalah tabi' yang tsiqah, namun banyak meriwayatkan hadits tanpa penyebutan sahabat (mursal), wafat 110 dalam umur mendekati 90 tahun. Ahmad bin ’Alĩ bin Hajar al-’Asqalãnĩ, Taqrĩbu at-Tahdzĩb, Dãru al-Fikr,

Beirut, 1986, jilid 1, hal 160 81

Ma’mar bin al-Mutsannã, pakar ilmu nahwu yang hidup semasa dengan ’Abdu al-Mãlik al- Ashma’ĩ (w 215). Lahir pada malam meninggalnya al-Hasan al-Bashrĩ dan wafat 203 H. Muhammad bin

Ahmad adz-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, Mu‘assatu ar-Risãlah, Beirut, 1993, jilid 9, hal 445 82

Perawi hadits tersebut, beliau adalah ’Abdullah bin Mas’ũd bin Ghafil bin Habĩb. Ulama besar dari kalangan sahabat, beliau juga salah satu sahabat yang mula-mula memeluk Islam. Meninggal 32 H.

Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 1, hal 461 83

Badruddĩn az-Zarkasyĩ, Burhãn fi ’Ulũm al-Qur‘ãn, Dãru al-Ma’rifah, Beirut, 1391 H, jilid 2, hal

Zhahirnya adalah apa yang jelas bagi orang yang memiliki ilmu (bahasa Arab), dan bathinnya adalah rahasia-rahasia yang terkadung, yang Allah pancarkan pada ulama-ulama sufi (hakikat) Berdasarkan penjelasan tersebut, adz-Dzahabĩ mengemukakan pengertian tafsir

Isyãrĩ : ﺏ ﺎـ ﺒﺭﻷ ﺭـ ﻬﻅ ﺘ ﺔﻴﻔﺨ ﺕ ﺍﺭ

Penakwilan ayat-ayat al-Quran selain makna yang dapat dipahami secara zhahir dengan (makna) isyarat yang tersembunyi oleh ulama tasawuf, namun

dapat disesuaikan antara makna bathin dan makna zhahir yang dimaksud.

Definisi yang diutarakan oleh adz-Dzahabĩ atau Ibn Naqĩb tidak jauh beda dengan komentar-komentar ulama sebelumnya seperti Ibn Shalãh (w 643 H) ataupun ulama setelahnya seperti Ibn ’Athã‘ as-Sakandarĩ (Ahmad bin Muhammad ’Abdu al- Karĩm, w 709 H) berkenaan dengan tafsir Isyãrĩ, sebagaimana dijelaskan selanjutnya. Dengan demikian, definisi adz-Dzahabĩ ini mencakup hakikat dari tafsir Isyãrĩ, beserta syarat dari tafsir Isyãrĩ; keterkaitan dengan makna dzahir

B. Perbedaan antara Tafsir Isyãri dan Tafsir Bãthiniyah

Meski riwayat terdahulu menggunakan kata bathin, namun kenyataanya, penafsiran Bãthinĩ lebih populer dinisbahkan pada kaum Bãthiniyah. Dalam menghukumi tafsir Isyãrĩ, terkadang sebagian orang menyamakannya dengan tafsir Bãthiniyah . Namun pada hakikatnya, kedua model penafsiran tersebut memiliki perbedaan.

Menurut sejarawan, aliran Bãthiniyah didirikan oleh mereka yang berketurunan dari agama Majusi, sekitar tahun 176 H. Salah satu dari mereka yang mendirikan ajaran ini adalah Maimũn bin Daishãn, 84 ia adalah orang yang pertama kali memperkenalkan aliran Bãthiniyah selama keberadaannya di penjara pemerintahan Irak. Bersama Muhammad bin Husain, 85 yang populer dengan nama Dandãn, Maimũn bin Daishãn berhasil mengikat para jamaah dalam jumlah yang besar, sehingga dengan mudah ia

dapat meneruskan dakwahnya di daerah Tuz. 86

Aliran Bãthiniyah merupakan ajaran orang kafir yang tidak mempercayai Tuhan, dengan tujuan menyeru pada agama Majusi dengan cara mentakwilkan ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Rasul sesuai dengan ajaran mereka. Hal ini terlihat dari sikap mereka yang mengingkari para Rasul dan syariat, serta membolehkan segala sesuatu yang sesuai dengan tabiat. ’Abdu al-Qãhir al-Baghdãdĩ (w. 429 H) pernah membaca

sebuah surat dari ’Ubaidullah bin Husain al-Qairawãnĩ 87 kepada Sulaiman bin Hasan bin

Sa’ĩd al-Jannãnĩ (w 320 H) yang isinya antara lain mengingkari hari kebangkitan dan pembalasan, serta mengingkari berbagai persoalan syariat. Menurut mereka, surga adalah kenikmatan dunia, dan azab adalah ketekunan para pengemban syariat dalam

menunaikan shalat, puasa, haji, dan jihad. 88

Dinamakan dengan Bãthiniyah karena penganut aliran ini meyakini bahwa ayat-ayat al-Quran memiliki makna bathin, dan makna itulah yang dikehendaki, bukan makna zhahir. Mereka juga meyakini bahwa pada setiap masa harus ada seorang Imam, sebagai rujukan dalam penakwilan makna zhahir al-Quran. Makna zhahir –menurut mereka- akan menimbulkan keraguan yang nyata, padahal ia (makna zhahir) –di mata

84 Penulis tidak menemukan biografinya. Namun Anaknya ’Abdullah meninggal 280 H.

Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 15, hal 149 85

86 Penulis tidsak menemukan biografinya ’Abdu al-Qãhir bin Thãhit bin Muhammad al- Baghdãdĩ, al-Farqu baina al-Firaq, Dãru al-Kutub

al-’Ilmiyah, Beirut, 2005, hal 221 87

88 Penulis tidak menemukan biografinya ’Abdu al-Qãhir bin Thãhit bin Muhammad al- Baghdãdĩ, al-Farqu baina al-Firaq, hal 221.

orang-orang yang memahaminya- memiliki berbagai isyarat makna yang mendalam. Maka, mereka yang berpaling dari isyarat-isyarat tersebut dan hanya berhenti pada makna zhahir, akan memperoleh beban dan belenggu syariat. Mereka yang mencapai tingkat ilmu bathin dan mengetahui hakikat ibadah, maka dia terbebas dari berbagai kewajiban syariat. Dengan cara tersebut, mereka termasuk orang-orang yang memperoleh keberuntungan, sebagaimana yang dimaksud oleh ayat 157 dalam surah al- A’raf (7):

óΟÎγøŠn=tæ ôMtΡ%x. ÉL©9$# Ÿ≅≈n=øñF{$#uρ öΝèδuŽñÀÎ) öΝßγ÷Ζtã ßìŸÒtƒuρ

Artinya: "dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada

pada mereka . 89

Dengan argumen tersebut, kaum Bãthiniyah berusaha menafsirkan al-Quran dengan menggali makna-makna bathin. Namun, makna-makna tersebut tidak bersumber

dari ijtihad, melainkan dari keinginan mereka semata. Makna-makna tersebut hanya untuk mendukung aliran mereka semata.

89 Bunyi ayat tersebut secara lengkap adalah:

Çtã öΝßγ8pκ÷]tƒuρ Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ ΝèδããΒù'tƒ È≅‹ÅgΥM}$#uρ Ïπ1u‘öθ−G9$# ’Îû öΝèδy‰ΨÏã $¹/θçGõ3tΒ …ç tΡρ߉Ågs† “Ï%©!$# ¥_ÍhΓW{$# ¢É<¨Ζ9$# tΑθß™§9$# šχθãèÎ7−Ftƒ tÏ%©!$#

Ï Î/ (#θãΖtΒ#u šÏ%©!$$sù 4 óΟÎγøŠn=tæ ôMtΡ%x. ÉL©9$# Ÿ≅≈n=øñF{$#uρ öΝèδuŽñÀÎ) öΝßγ÷Ζtã ßìŸÒtƒuρ y]Í×‾≈t6y‚ø9$# ÞΟÎγøŠn=tæ ãΠÌhptä†uρ ÏM≈t6Íh‹©Ü9$# ÞΟßγs9 ‘≅Ïtä†uρ ̍x6Ψßϑø9$#

šχθßsÎ=ø ßϑø9$# ãΝèδ y7Í×‾≈s9'ρé& € ÿ…ç yètΒ tΑÌ“Ρé& ü“Ï%©!$# u‘θ‘Ζ9$# (#θãèt7¨?$#uρ çνρã|ÁtΡuρ çνρ⑨“tãuρ

Artinya: "(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang umi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu- belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung . "

Imam al-Ghazãlĩ menyebutkan sembilan nama lain dari aliran Bãthiniyah, yaitu: al-Qarãmithah, al- Qirmathiyah, al-Khirmiyah, al-Hirmadĩniyah, al-Isma’ĩliyah, as-Sab’iyah, al-Babikiyah, al-Muhammirah, dan at-Ta’lĩmiyah. Lihat: Abu Hãmid al-Ghazãlĩ, Fadhã‘ihu al-Bãthiniyyah, Mu’assasatu Dãru al-Kutub ats- Tsaqãfiyyah, Kuwait, tt, hal 14 dan 57. Lihat pula: ’Abdurrahmãn bin al-Jawzĩ, Talbĩsu Iblĩs, Dãru al-Kutub al- ’Ilmiyah, Beirut, 2006, hal 123

Kaum Bãthiniyah juga menguatkan pendapat mereka dengan mengutip ayat 13 dalam surah al-Hadid (57):

Ü>#x‹yèø9$# Ï&Î#t6Ï% ÏΒ …çνãÎγ≈sßuρ èπuΗ÷q§9$# Ï ŠÏù …ç ãΖÏÛ$t/ 7>$t/ …ã&©! 9‘θÝ¡Î0 ΝæηuΖ÷t/ z>ΎÛØsù

Artinya: Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa. 90 Salah satu kitab yang memuat tafsir dari aliran Bãthiniyah adalah karya al- Qãdhĩ an-Nu’mãn bin Manshũr bin Ahmad at-Tamĩmĩ (juru dakwah dari kerajaan al- Fãthimiyyah, w 363 H). Di antara penafsiran-penafsirannya terlihat dalam surah Al- Jum’ah (62) ayat 2-5:

βÎ)uρ sπyϑõ3Ïtø:$#uρ |=≈tGÅ3ø9$# ãΝßγßϑÏk=yèãƒuρ öΝÍκŽÏj.t“ãƒuρ Ï ÏG≈tƒ#u öΝÍκöŽn=tã (#θè=÷Ftƒ öΝåκ÷]ÏiΒ Zωθß™u‘ z↵Íh‹ÏiΒW{$# ’Îû y]yèt/ “Ï%©!$# uθèδ

ãΛÅ3ptø:$# Ⓝ͕yèø9$# uθèδuρ 4 öΝÍκÍ5 (#θà)ysù=tƒ $£ϑs9 öΝåκ÷]ÏΒ t̍yz#uuρ ∩⊄∪ &Î7•Β 9≅≈n=|Ê ’Å∀s9 ã≅ö6s% ÏΒ (#θçΡ%x.

Penafsiran dua ayat tersebut, menurut an-Nu’mãn, Allah mengutus seorang Rasul kepada mereka yang memenuhi panggilan para Imam. Nabi Muhammad adalah Rasul pada masanya, dan akan selalu ada rasul setelah wafatnya nabi Muhammad, yaitu para Imam. Mereka yang hidup setelah nabi Muhammad atau hidup pada masa Nabi tapi tidak bertemu dengannya, akan bertemu dengan rasul-rasul –sebagai penerus beliau- yaitu para Imam. Imam merupakan karunia Allah yang dianugrahi kepada mereka yang setia mengikutinya, sebagaimana dimaksud oleh ayat setelahnya:

90 Lengkapnya, bunyi ayat tersebut adalah:

z>ΎÛØsù #Y‘θçΡ (#θÝ¡ÏϑtFø9$$sù öΝä.u!#u‘uρ (#θãèÅ_ö‘$# Ÿ≅ŠÏ% öΝä.Í‘θœΡ ÏΒ ó§Î6tGø)tΡ $tΡρãÝàΡ$# (#θãΖtΒ#u šÏ%©#Ï9 àM≈s)Ï ≈oΨßϑø9$#uρ tβθà)Ï ≈uΖßϑø9$# ãΑθà)tƒ tΠöθtƒ

Ü>#x‹yèø9$# Ï&Î#t6Ï% ÏΒ …çνãÎγ≈sßuρ èπuΗ÷q§9$# Ï ŠÏù …ç ãΖÏÛ$t/ 7>$t/ …ã&©! 9‘θÝ¡Î0 ΝæηuΖ÷t/

Artinya: "Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan Berkata kepada orang- orang yang beriman: "Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu". dikatakan (kepada mereka): "Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)". lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai

pintu. di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa."

ÉΟŠÏàyèø9$# È≅ôÒx ø9$# ρèŒ ª!$#uρ 4 â!$t±o„ tΒ Ï ‹Ï?÷σム«!$# ã≅ôÒsù y7Ï9≡sŒ

Maksud orang-orang yang memikul Taurat dalam ayat selanjutnya adalah orang-orang zhahir. Perumpamaan orang-orang zhahir adalah seperti keledai yang memahami kitab-kitab sesuai dengan pendapat-pendapat mereka. 91

tÏ%©!$# ÏΘöθs)ø9$# ã≅sWtΒ }§ø♥Î/ 4 #I‘$x ó™r& ã≅Ïϑøts† Í‘$yϑÅsø9$# È≅sVyϑx. $yδθè=Ïϑøts† öΝs9 §ΝèO sπ1u‘öθ−G9$# (#θè=Ïdϑãm tÏ%©!$# ã≅sVtΒ

tÏΗÍ>≈©à9$# tΠöθs)ø9$# “ωöκu‰ Ÿω ª!$#uρ 4 «!$# ÏM≈tƒ$t↔Î/ (#θç/¤‹x.

Dalam pandangan mereka, bersuci (thaharah) berarti membersihkan diri dari segala keyakinan selain pada Imam. Puasa adalah menahan diri untuk tidak membongkar rahasia para Imam. Menurut mereka, yang dimaksud dengan Shafã adalah Muhammad, dan Marwah adalah ’Alĩ. Ibadah haji berarti mengunjungi Imam serta senantiasa

berkhidmat padanya, dan thawaf tujuh kali adalah thawaf sampai pada tujuh Imam, yang

diawali dari nabi Muhammad. 92

Mayorits ulama –baik ulama tafsir ataupun ulama teology- menolak aliran Bãthiniyah ini, apalagi terhadap metode mereka dalam menafsirkan al-Quran karena mengabaikan makna zhahir. ’Abdu al-Qãhir al-Baghdãdĩ (w 429) menggolongkan aliran Bãthiniyah sebagai aliran yang keluar dari sekte Islam. Beliau mengingatkan bahwa aliran ini –bagi umat Islam- lebih berbahaya dari pada Yahudi dan Nashrani, bahkan

lebih bahaya dari Dajjal yang hanya terjadi dalam 40 hari. 93

Sebelum menguraikan berbagai penyimpangan aliran Bãthiniyah dalam persoalan ketuhanan, kenabiaan, imam, hari kiamat, dan persoalan syariat, Abu Hãmid Muhammad bin Muhammad al-Ghazãlĩ (w 505 H) –yang juga menafsirkan al-Quran dengan makna bathin- secara ringkas menyatakan bahwa aliran Bãthiniyah secara zhahirnya adalah aliran yang melampaui batas, dan bathinnya adalah aliran yang

92 al-Qãdhĩ an-Nu’mãn at-Tamĩmĩ, Ta‘wĩlu ad-Da’ã‘ĩm, Dãru al-Ma’ãrif, Mesir, tt, jilid 1, hal 314

93 Abu Hãmid al-Ghazãlĩ, Fadhã‘ihu al-Bãthiniyyah, hal 56 ’Abdu al-Qãhir bin Thãhit bin Muhammad al- Baghdãdĩ, al-Farqu baina al-Firaq, hal 221 93 Abu Hãmid al-Ghazãlĩ, Fadhã‘ihu al-Bãthiniyyah, hal 56 ’Abdu al-Qãhir bin Thãhit bin Muhammad al- Baghdãdĩ, al-Farqu baina al-Firaq, hal 221

yang wajib, dan tidak mengharamkan yang haram. 95

Ulama sufi dan kaum Bãthiniyah sama-sama memandang bahwa al-Quran memiliki makna zhahir dan makna bathin. Tetapi, jika dilihat penafsiran-penafsiran kaum Bãthiniyah, agaknya tidak ditemukan metode yang kongkrit atau pijakan yang tepat, melainkan mengingkari makna zhahir dan berpegangan pada penafsiran-penafsiran

bathin yang bersumber dari para Imam yang mereka anggap terjaga dari kesalahan (ma’shum) dan tidak memiliki mukjizat. Suatu hal yang mustahil mengetahui ke-

ma’shum -an seseorang melalui akal, sementara al-Quran dan hadits tidak pernah menyatakan demikian.

Penafsiran-penafsiran mereka agaknya tidak dapat dipahami juga, walaupun ditinjau dari segi bahasa. Penafsiran macam ini berbeda dengan kelompok teologi, yang

mungkin terdapat kesesuian dari sudut pandang bahasa. 96

95 Abu Hãmid al-Ghazãli, Fadhã‘ihu al-Bãthiniyyah, hal 37

96 ’Abdurrahmãn ibn al-Jawzĩ, Talbĩsu Iblĩs, hal 128 Dalam surah al-Qiyãmah (75) ayat 23 Allah berfirman:

4’n<Î) $pκÍh5u‘ ×οtÏß$tΡ

Artinya: Kepada Tuhannyalah mereka melihat. Menurut Az-Zamakhsyarĩ –salah satu pengikut alirat Mu’tazilah-, alasan ayat tersebut

mendahulukan kata بر untuk menunjukkan kekhususan, seperti ayat lain yang menyatakan "hanya kepada Allah dikembalikan semua urusan (pada hari kiamat). Sehingga, kata ة

berarti hanya nikmat Allah yang ditunggu, sebagaimana mereka tidak mengharap siapaun di dunia ini selain Allah. Dengan bahasa lain, mazhab Mu’tazilah meyakini bahwa manusia tidak dapat melihat Allah pada hari kiamat, tetapi hanya mengharap nikmat dan rahmat-Nya. Sedangkan mazhab Ahlu as-Sunnah mengkartikan kata yang terakhir dalam ayat tersebut dengan arti melihat dengan mata telanjang, dan itu dikuatkan dengan hadits Shahĩh. Adapun

Pada sisi lain, seandainya penakwilan mereka dianggap benar, bagaimana mungkin Allah menyampaikan firman-Nya dengan suatu bahasa sedangkan maksudnya diluar bahasa tersebut, tanpa menjelaskannya dalam kesempatan yang lain. Sedangkan ayat-ayat al-Quran yang mereka pandang sebagai dalil, nyatanya tidak mengandung unsur bukti untuk menguatkan pendapat tersebut.

C. Perkembangan Tafsir Isyãri

Tanpa mengecilkan para sahabat lain, Ibn ’Abbãs (w 68 H), ’Abdullah bin Mas’ũd (w 32 H), dan ’Alĩ bin Abi Thãlib (w 40 H) merupakan tiga tokoh utama tafsir di kalangan para sahabat, khususnya tafsir bathin. Bahkan, Ibn ’Abbãs sendiri mengakui kalau beliau mempelajari tafsir dari ’Alĩ, meski disisi lain beliau juga memuji penafsiran Ibn ’Abbãs dan mengajurkan pada sahabat lain untuk membelajari tafsir dari Ibn ’Abbãs.

Ibn ’Abbãs mengatakan:

97 ﺏ ﻝﺎﻁ ﻰ ﺒﺃ ﻥﺒ  ﻰ ﻠﻋ ﻥﻌﻓ ﻥﺁﺭﻘﻝﺍ ﺭﻴﺴﻔﺘ ﻥﻤ ﺕ ﺫﺨﺃ ﺎﻤ لﺎﻗ ﻪﻨﺃ ﺱ ﺎﺒﻋ ﻥﺒﺍ ﻥﻋ : Dari Ibn ’Abbãs, ia berkata: Semua penafsiran al-Quran yang aku ambil,

semuanya bersumber dari ’Alĩ. Begitu juga dengan pujian Ibn Mas’ũd tentang kepakaran ’Alĩ di bidang ilmu zhahir dan bathin al-Quran.

pendahuluan kata "Tuhan" untuk memberi perhatian kepada objek (Tuhan). Mahmũd bin ’Umar az-

Zamakhsyarĩ, al-Kasysyãf ’an Haqã‘iqi Ghawãmidhi at-Tanzĩl wa ’Uyũni al-Aqawĩl, Dãru al-Kutub al- ’Ilmiyyah, Beirut, 1995, jilid 4, hal 649 Lihat pulah: Muhammad Thãhir bin ’Ãsyũr, at-Tahrĩr wa at-Tanwĩr, ad-Dãr at-Tũnĩsiyyah, Tunis, 1984, jilid 29 hal 354. Sedangkan menurut bahasa, kata ! dapat berarti melihat dengan mata telanjang, dapat pula berarti menunggu. Lihat: Muhammad bin Mukrim bin Manzhũr al-Ifriqĩ,

Lisãn al-’Arab 97 , Dãru Shãdir, Beirut, tt, jilid 5, hal 215

Abu ’Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, al-Qurthubĩ, al-Jãmi’ li Ahkãmi al-Quran,

Dãru Ihyã‘i at-Turãts al-’Arabiy, Beirut, 1985, jilid 1, hal 35 98

Ahmad bin ’Abdillah bin Ahmad bin Ishaq, Hilyatu al-Awliyã‘ wa Thabaqãtu al-Asffiyã‘, Dãru

al-Kitãb, Beirut, 1405 H, jilid 1, hal 65

Dari Ibn Mas’ũd, ia berkata: sesunnguhnya al-Quran diturunkan dengan tujuh huruf, dan setiap huruf memiliki (makna) zhahir dan bathin. Sesungguhnya ’Alĩ mengetahui makna zhãhir dan bãthin dari alQuran.

Boleh jadi, ’Ibn Abbãs tidak selamanya belajar tafsir dari ’Alĩ, tapi yang pasti, komentar dua sahabat ini menunjukkan kecerdasan ’Alĩ dalam menafsirkan al-Quran. Penafsiran-penafsiran dengan makna bathin telah dimulai sejak zaman sahabat, khususnya tiga sahabat ini, seperti penafsiran terhadap huruf-huruf awal surah (al-huruf al-muqaththa’ah, fãwatihu as-suwar ).

Salah satu jalur penafsiran yang bersumber dari ’Alĩ adalah jalur az-Zuhrĩ (Muhammad bin Muslim bin Syihab, w 125 H), dari ’Ali Zaina al-’Ãbidĩn (cucu ’Alĩ bin Abi Thãlib, w 94 H), dari Husain bin ’Alĩ (w 61 H), dari ’Alĩ. Jalur ini dipandang paling benar daripada jalur yang lain, termasuk jalur yang dikutip oleh al-Bukhãrĩ sekalipun.

Meski demikian, jalur ini tidak lebih populer dari jalur yang lain karena banyak terjadi

pemalsuan pada generasi setelahnya. 99

Pada Abad kedua, muncul ulama tsiqah yang pakar di bidang fikih dan tasawuf, al-Hasan al-Bashrĩ (w 110 H). Selain itu juga ada Muhammad bin Ja’far ash-Shãdiq (w 148 H). Sosok Ja’far ash-Shãdiq memiliki peranan penting terhadap penafsiran bathin al- Quran, sebagaimana terlihat dalam tafsir as-Sulamĩ. Memasuki abad ketiga sampai awal abad keempat, muncul tujuh ulama besar yang secara terang-terangan mengungkapkan makna bathin dari al-Quran. Mereka adalah Dzũ an-Nũn al-Mishrĩ, 100 Sahl at-Tustarĩ (283 H), Abu Sa’ĩd al-Kharrãz, 101 al-Junaid (w 230 H), Ibn ’Atha‘ (w 309 H), Abu Bakr al-Wãsithĩ (w 320 H), dan Abu Bakr asy-Syiblĩ (334 H). Khusus tafsir at-Tustarĩ -

100 Husain adz-Dzahabĩ, at-Tafsĩr wa al-mufassirũn, jilid 1, hal 91 Tsawbãn bin Ibrahim, wafat 246 H. Beliau adalah ulama sufi pertama yang berbicara tentang al- ahwãl dan al-maqãmãt di daerahnya, namun diusir karena dituduh sebagai pengkhianat agama. Muhammad

bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 11, hal 532 101

Ahmad bin Isa al-Baghdãdĩ, wafat 286 H. ulama sufi pertama yang berbicara tentang al-fanã‘ dan al-baqã‘, dan menguasai segala pembahasan ilmu tasawf. Beliau juga di usir dari Mesir karena dituduh kafir. Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 13, hal 420 Ahmad bin Isa al-Baghdãdĩ, wafat 286 H. ulama sufi pertama yang berbicara tentang al-fanã‘ dan al-baqã‘, dan menguasai segala pembahasan ilmu tasawf. Beliau juga di usir dari Mesir karena dituduh kafir. Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 13, hal 420

Selanjutnya, dari abad keempat sampai abad ketujuh, karya-karya tafsir sufi diawali oleh as-Sulamĩ dan diikuti oleh muridnya, Imam al-Qusyairĩ (w 465 H) dengan karyanya Lathã‘ifu al-Isyãrãt. Kitab ini dianggap kitab tafsir pertama secara lengkap, dan sampai pada zaman sekarang ini. Tafsir yang semasa dengan al-Qusyairĩ adalah tafsir yang bersumber dari Khawjah ’Abdullah al-Anshãrĩ (w 481 H). Tafsir ini hanya sampai pada ayat 67 dari surah Shãd (38). Tafsir ini -beserta kelanjutannya- dapat ditemukan dalam karya muridnya Rasyĩduddĩn ad-Maibudĩ (w 520 H), dengan judul

Kasyfu al-Asrãr wa ’Uddatu al-Abrãr . 102 Abu Tsãbit ad-Dailamĩ (Muhammad bin ’Abdu al-Malik, w 598) juga menulis sebuah tafsir sufi dengan judul Futũhu ar-Rahmãn fĩ

Isyãrãti al-Quran wa at-Tafsĩr . Dua kitab lain yang terkenal adalah ’Arã‘isu al-Bayãn fĩ Haqã‘ĩqi al-Quran , karya Ruzbihãn bin Abi Nashr al-Baqlĩ asy-Syairãzĩ (w 606 H), dan ’Umar bin Muhammad bin ’Abdillah as-Suhrawardĩ (w 632 H) dengan karyanya Bughyatu al-Bayãn fĩ Tafsĩri al-Quran . Al-Baqlĩ menyusun tafsirnya dengan sederhana, serta dengan bahasa yang mudah dipahami. Selain mengemukakan pendapatnya sendiri, bahkan terhadap ayat yang belum ditafsirkan oleh ulama sufi sebelumnya, al-Baqlĩ juga banyak mengutip dari ulama-ulama sebelumnya, terutama as-Sulamĩ. 103

Pada generasi setelahnya, terdapat dua mazhab tasawuf terkemuka; mazhab Najmuddĩn al-Kubrã, dan mazhan Ibn ’Arabĩ dari Andalusia. Abu al-Jinãb Ahmad bin ’Umar al-Khayũqĩ (Najmuddĩn al-Kubrã, w 618 H) menulis sebuah tafsir dengan judul

Abdurrahman Habil, Tafsir-tafsir Esoteries Tradisonal, dalam: Sayyed Hossein Nasr (ed),

Ensiklopedi Spirituallita Islam 103 , ter: Rahmani Astuti, Mizan, Bandung, 2003, jilid 1, hal, 43. Husain adz-Dzahabĩ, at-Tafsĩr wa al-Mufassirũn, jilid 2, hal 390

’Ainu al-Hayãh . Karya tersebut berhenti sampai surah al-Mã‘idah (5), sebelum penulisnya meninggal dunia. Karya tersebut disempurnakan kembali dari surah pertama oleh muridnya Najmuddĩn ar-Rãzĩ (’Abdullah bin Muhammad al-Asdĩ, yang lebih dikenal dengan Dãyah, w 654 H) dengan judul Bahru al-Haqã‘iqi wa al-Ma’ãni fĩ Tafsiri as-Sab’i al-Matsãnĩ . Penafsiran ar-Rãzĩ tidak semata penafsiran Isyãrĩ, melainkan mencakup penafsiran zhahir, dan mengemasnya dengan bahasa yang mudah. Ternyata, masa hidup ar-Rãzĩ hanya cukup untuk menyempurnakan tafsirnya sampai pada ayat 18 dari surah adz-Dzãriyãt (51). Selanjutnya, tafsir yang kemudian berjudul Najmu al-Qurrã‘ , diteruskan oleh ’Alã‘uddĩn as-Samnãnĩ (Ahmad bin Muhammad bin Ahmad as-Sanadĩ, w 736 H) dari surah ath-Thũr (52) dengan mengulangi penafsiran surah al-Fãtihah. Berbeda dengan ar-Rãzi, as-Samnãnĩ mengemukakan semua tafsirnya dengan penafsiran Isyãrĩ. Penafsirannya juga dipenuhi dengan istilah-istilah ilmu

tasawuf, sehingga sulit dipahami. 104

Penafsiran-penafsiran sufi dari Ibn ’Arabĩ (Muhyiddĩn Muhammad bin ’Ali ath- Thã‘ĩ, w 628 H) dapat dilihat dalam karya-karyanya seperti Fushũshu al-Hikam dan al- Futũhãt al-Makkiyah . Hanya saja, penafsiran-penafsiran Ibn ’Arabĩ dinilai banyak mengandung aliran Wahdatu al-Wujũd. Adapun karyanya yang berjudul Tafsĩru al- Quran al-’Adzĩm , pada hakikitnya bukanlah karya Ibn ’Arabĩ sendiri. Tafsir tersebut adalah karya penerus Ibn ’Arabĩ, Jamãluddĩn ’Abdu ar-Razzãq al-Qasyãnĩ (w 730 H), dengan judul Ta‘wĩlãtu al-Quran. Murid Ibn ’Arabĩ, Shadruddĩn Muhammad bin Ishãq al-Qũnawĩ (w 673 H) menyusun sebuah tafsir surah al-Fãtihah dengan judul I’jãzu al- Bayãn fĩ Kasyfi Ba’dhi Asrãri Ummi al-Quran .

Pada masa selanjutnya, tafsir-tafsir sufi terus bermunculan. Di antaranya adalah Nũru al-Qulũb karya Badruddĩn Mahmud bin Isrã‘il as-Sĩmãwĩ (w 820 H), karangan murni dari Ni’matullah bin Mahmud an-Nakhjuwanĩ (w 920 H) dengan judul al- Fawãtihu al-Ilãhiyah wa al-Mafãtihu al-Ghaibiyyah , dan Rũhu al-Bayãn karya Ismail

104 Husain adz-Dzahabĩ, at-Tafsĩr wa al-mufassirũn, jilid 2, hal 393

Haqqĩ bin Musthafã (w 1137 H). Kitab tafsir sufi lain yang terkenal saat ini adalah Rũhu al-Ma’ãnĩ karya Syihabuddĩn Mahmũd bin ’Abdillah bin Mahmũd al-Alũsĩ (w 1270 H).

Penafsiran-penafsiran sufi tersebut tidak sepenuhnya menafsirkan al-Quran dengan makna bathin. Sebagian mereka mencantumkan penafsiran-penafsiran zhahir. Hanya saja, kecenderungannya lebih dekat peda tafsir bathin. Penafsiran-penafsiran bathin terus berlanjut, walaupun hanya dengan tema tertentu atau terhadap surah tertentu dalam al-Quran.

D. Penilaian Ulama terhadap Tafsir Isyãrĩ

Berbeda dengan penafsiran kaum Bãthiniyah, ulama-ulama sufi yang menakwilkan al-Quran tidak menganggapnya sebagai tafsir. Bagi mereka, suatu ayat dapat mengandung perumpamaan yang sesuai dengan maksud pembicara. Oleh karena

itu, mereka menamakannya dengan "isyarat". Berkenaan dengan penakwilan macam ini, sebagian ulama menerimanya, sementara segolongan ulama menolaknya.

Ibn ’Atha‘ as-Sakandarĩ (Ahmad bin Muhammad ’Abdu al-Karĩm, w 709 H) menilai bahwa penafsiran kaum sufi terhadap ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits bukan berarti mengabaikan makna zhahir. Makna zhahir dapat dipahami secara bahasa, namun makna bathin hanya dipahami oleh mereka yang dibukakan hatinya oleh Allah. Mereka tetap mengakui adanya makna zhahir sebagaimana mestinya, dan memahami makna bathin sebagaimana Allah anugrahi. Maka tidak ada larangan mempelajari makna-makna tersebut. Larangan hanya berlaku apabila mereka mengakui bahwa suatu ayat hanya memiliki makna bathin. 105

Syihãbuddĩn al-Alũsĩ, (w 1270 H) dalam tafsirnya juga mengemukakan beberapa penafsiran sufi. Dalam muqaddihnya, beliau menilai ungkapan-ungkapan kaum sufi sebagai isyarat akan makna yang mendalam, yang dapat disesuaikan dengan makna zhahir. Ungkapan-ungkapan tersebut menunjukkan pada kesempurnaan iman dan

Ibn ’Athã‘ as-Sakandarĩ, Lathã‘ifu al-Minan, ats-Tsaqãfaah al-Islãmiyyah al-Ashĩlah, tt, 248 Ibn ’Athã‘ as-Sakandarĩ, Lathã‘ifu al-Minan, ats-Tsaqãfaah al-Islãmiyyah al-Ashĩlah, tt, 248

Penilain dua ulama di atas sesuai dengan apa yang diutarakan Imam al-Ghazãli (w 505 H). Imam al-Ghazãlĩ mengingatkan, penafsiran-penafsiran yang beliau utarakan dalam Misykãtu al-Anwãr bukanlah berarti menghilangkan makna zhahir, karena mengingkari makna zhahir adalah pendapat kaum Bãthiniyah yang hanya melihat makna bathin dengan mata telanjang, dan tidak membandingkan makna bathin dengan makna zhahir. Untuk mencapai kesempurnaan (dalam memahami al-Quran), harus digabungkan dua makna tersebut. Dalam surah Thahã (20) ayat 12:

( y7ø‹n=÷ètΡ ôìn=÷z$$sù y7•/u‘ O$tΡr& þ’ÎoΤÎ)

Tafsir bathin dari ayat tersebut bukan berarti Musa tidak memiliki dua sandal, dan tidak mendengar perintah tersebut. Musa memahami perintah tersebut sebagai

isyarat untuk mengabaikan alam. Dengan demikian, Musa telah menunaikan perintah makna zhahir dengan menanggalkan dua sandalnya, dan menunaikan perintah bathin dengan menanggalkan alam. Inilah yang dimaksud pemahaman dari yang tersurat kepada yang tersirat. Pada kesempatan yang lain, al-Ghazãlĩ juga mencontohkan satu hadits riwayat Imam al-Bukhãrĩ:

ﺓﺭﻭﺼ ﻻﻭ ﺏ ﻠﻜ Rumah dalam hadits tersebut diibaratkan dengan hati, yang merupakan tempat

singgahan para malaikat. Segala sifat yang tercela -seperti marah, syahwat, dengki, dan angkuh-, ibarat anjing. Dengan demikian, Allah tidak mengantar ilmu-Nya –dengan

106 Syihãbuddĩn al-Alũsĩ, Rũhu al-ma’ãnĩ fĩ Tafsĩri al-Qur’ãn al-’Adzĩm wa as-Sab’i al-Matsãnĩ,

Dãru al-Kutub al- ’Ilmiyyah, Beirut, 2001, jilid 1, hal 8 107

Muhammad bin Ismail al-Bukhãrĩ, al- Jãmi’ ash-Shahĩh, Kitãbu Bad’i al-Khlaq (63), Bãbu Idzã

Qãla Ahaduku Ãmĩn (7) , no 3053 Qãla Ahaduku Ãmĩn (7) , no 3053

Meskipun terdapat beberapa riwayat 109 yang mengecam tafsir logika (bi ar- ra‘y ), namun Imam al-Ghazãlĩ menolak larangan tersebut dengan empat alasan. Pertama , Rasulullah tidak menafsirkan semua ayat al-Quran kepada para sahabat. Jika demikian, penafsiran-penafsiran yang bersumber dari sahabat seperti Ibn ’Abbãs (w 68

H) dan Ibn Mas’ũd (w 32 H) dapat dikategorikan dalam tafsir bi ar-ra‘y versi mereka. Kedua , sering terjadi perbedaan penafsiraan di kalangan sahabat dan mufassir lainnya

yang tidak dapat dikompromikan. Keadaan yang demikian menunjukkan bahwa penafsiran-penafsiran tersebut bersumber dari ijtihad mereka masing-masing. Karena,

kalau salah satu penafsiran mereka bersumber dari Rasul, tentu akan ditolak penafsiran yang lain. Ketiga, Rasul pernah mendoakan Ibn ’Abbãs supaya dicerdaskan dalam penakwilan. 110 Jika persoalan takwil harus bersumber dari Rasul, maka Rasul tidak perlu mendoakan Ibn ’Abbãs. Keempat, dalam surah an-Nisã‘ (4) ayat 83 Allah memberi

Abu Hãmid al-Ghazãlĩ, Misykãtu al-Anwãr, dalam: al-Qushũr al-’Awãlĩ min Rasã‘ili al-Imãm al-Ghazãlĩ, Maktabatu al-Jundĩ, tt, 210. Abu Hãmid al-Ghazãlĩ, Ihyã‘u ’Ulũmi ad-Dĩn, Dãru al-Ma’rifah, Beirut, tt, jilid 1, hal 49. Pemahaman seperti ini juga dibenarkan oleh Ibn Tayymiyah 109

Di antara riwayat yang dimaksud: ﺃﻭـ ﺒﺘﻴﻠﻓ ﻡﻠﻋ ﺭﻴﻐﺒ ﻥﺁﺭﻘﻝﺍ ﻲ ﻓ لﺎﻗ ﻥﻤ

Dari Ibn ’Abbãs, ia berkata: Rasulullah bersabda: barangsiapa berbicara tentang al-Quran tanpa ilmu, maka tempatnya adalah di neraka. Shahĩh , Muhammad bin ’Ĩsã at-Turmudzĩ. Sunanu at-Turmudzĩ, Kitãbu Tafsĩri al-Quran, Bau al-

Ladzĩ Yufassiru bi Ra‘yihi, 110 no: 2950

Doa yang dimaksud adalah: لﻴﻭﺄﺘﻝﺍ ﻪﻤﻠﻋﻭ ﻥﻴﺩﻝﺍ ﻲ ﻓ ﻪﻬﻘﻓ ﻡﻬﻠﻝﺍ Shahĩh , Ahmad bin Hanbal, al-Musnadul, Musnad Banĩ Hãsyim, Musnad ’Abdullah bin al-’Abbãs,

no: 2397 no: 2397

Disisi lain, masih dari al-Ghazãlĩ, terdapat pula beberapa riwayat 112 –baik secara tegas atau tidak- yang menyatakan, bahkan menganjurkan untuk memahami al- Quran dengan makna bathin. Orang yang membatasi pemahaman al-Quran pada makna zhahir, berarti ia telah membatasi orang lain pada kemampuannya, sedangkan al-Quran dapat dipahami secara luas. Penafsiran dari makna zhahir bukanlah akhir dari segalanya. Apalagi, Allah terlebih dahulu menganugrahi nabi Sulaiman pemahaman sebelum diiringi dengan ilmu dan hukum (al-Anbiya [21]: 79).

Akhirnya, Imam al-Ghazãlĩ berkesimpulan bahwa alasan dari larangan tafsir bi ar-ra‘y adalah apabila seseorang memiliki suatu keyakinan (mazhab) yang menyimpang, lalu menafsirkan al-Quran sesuai dengan mazhabnya atau menjadikan (ayat) al-Quran

sebagai dalil untuk mendukung mazhabnya. Penafsiran macam ini boleh jadi karena faktor kesengajaan, dan boleh jadi karena faktor kesalahan, meskipun tujuannya baik.

Sebagaimana perintah makan sahur diartikan dengan zikir. 113 Alasan lain dari larangan tafsir bi ar-ra‘y adalah apabila sesorang menafsirkan al-Quran sesuai dengan kosa-kata bahasa Arab, tetapi tidak memperhatikan kaidah-kaidahnya seperti kata-kata yang sulit

Ayat yang dimaksud adalah:

3 öΝåκ÷]ÏΒ …ç tΡθäÜÎ7/ΖoKó¡o„ tÏ%©!$# ç yϑÎ=yès9 öΝåκ÷]ÏΒ ÌøΒF{$# ’Í<'ρé& #†n<Î)uρ ÉΑθß™§9$# ’n<Î) çνρ–Šu‘ öθs9uρ ( Ï Î/ (#θãã#sŒr& Å∃öθy‚ø9$# Íρr& ÇøΒF{$# zÏiΒ ÖøΒr& öΝèδu!%y` #sŒÎ)uρ

WξŠÎ=s% āωÎ) z≈sÜøŠ¤±9$# ÞΟçF÷èt6¨?]ω …ç çGuΗ÷qu‘uρ öΝà6øŠn=tã «!$# ã≅ôÒsù Ÿωöθs9uρ

Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah Karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu,

112 tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). 113 Di antaranya adalah riwayat Ibn Mas’ũd yang telah dikemukakan sebelumnya. Contoh yang dimaksud adalah sabda Rasul:

(Makan) sahurlah kalian, karena (makan) sahur ada berkah Muhammad bin Ismail al-Bukhãrĩ, al-Jãmi’ ash-Shahĩh, Kitãbu ash-Shawm (36), Bãbu Barakti as-

Sahũr, no: 1823 Sahũr, no: 1823

Penjelasan Imam al-Ghazãlĩ di atas menggambarkan bahwa penafsiran Isyãrĩ atau penafsiran bathin merupakan bagian dari tafsir logika. Pengelompokan ini agaknya karena ada kaitan bahasa antara tafsir logika dengan tafsir bathin.

Penilain ulama-ulama di atas memberi gambaran bahwa penafsiran kaum sufi berbeda dengan penafsiran kaum Bãthiniyah. Kaum sufi tetap memperhatikan makna

zhahir, meski banyak memfokuskan pada makna bathin. Oleh karena itu, sebagian ulama sufi memuat dalam karyanya berbagai penafsiran-penafsiran Isyãrĩ dan penafsiran zhahir, sementara sebagian ulama memuat karyanya dengan penafsiran Iisyãrĩ semata, namun dalam karyanya yang lain memuat penafsiran-penafsiran zhahir. Memang, tidak semua penafsiran sufi sesuai dengan makna zhahir, bahkan penafsiran mereka jauh dari

Dalam surah al-Isrã‘ (17) ayat 59 Allah berfirman: $pκÍ5 (#θßϑn=sàsù ZοuŽÅÇö7ãΒ sπs%$¨Ζ9$# yŠθßϑrO $oΨ÷s?#uuρ

Artinya: Telah kami berikan kepada Tsamud unta betina itu (sebagai mukjizat) yang dapat dilihat, tetapi mereka menganiaya unta betina itu. Jika dipahami sesuai redaksi, maka arti dari ayat tersebut adalah: Telah kami berikan kepada

Tsamũd unta betina yang dapat melihat (bukan unta betina yang buta). Dengan kata lain, terdapat kata yang dihilangkan dalam ayat tersebut. Seakan-akan, bunyi ayat di atas adalah:

$ 5Íκp #( θ ϑß =n às ùs ŎuοZ Ç 7ö Βã π ƒt u# πs $%s Ζ¨ #$9 Šy θ ϑß Or Ψo$ ?s÷ u# ρu

Abu Hãmid al-Ghazãlĩ, Ihyã‘u ’Ulũmi ad-Dĩn, jilid 1, hal 343 Abu Hãmid al-Ghazãlĩ, Ihyã‘u ’Ulũmi ad-Dĩn, jilid 1, hal 343

Ibnu Taymiyah (w 728 H) membagi ilmu bathin pada dua macam. Pertama, ilmu bathin yang menyelahi ilmu zhahir. Ilmu macam ini tidak dapat diterima, meskipun penganutnya berpedoman pada dalil, karena dalil tersebut juga tidak benar. Kategori macam ini banyak digeluti oleh penganut aliran Bãthiniyah, karena mereka menganggap al-Quran dan (syariat) Islam memiliki makna bathin yang menyalahi makna zhahir. Kedua , ilmu bathin yang tidak menyalahi ilmu zhahir. Ibn Taymiyah menganggap kategori ini oleh ulama sufi dinamakan dengan Isyãrãt, yaitu penjelasan kandungan al- Quran dengan penjelasan yang tidak sesuai dengan kehendak al-Quran sendiri. Beliau mencontohkan Haqã‘iqu at-Tafsĩr sebagai salah satu tafsir yang menerapkan cara ini. Apabila makna bathin ini diterapkan dengan cara qiyas, maka pemaknaan seperti ini

dapat diterima. Tetapi apabila suatu lafadz memiliki makna yang jelas namun diartikan dengan makna lain serta meyakininya, maka pemaknaan macam ini merupakan suatu

penyimpangan, sebagaimana kata ﻥﻮﻋﺮﻓ diartikan dengan ﺐﻠ ﻘﻟ ﺍ pada ayat 24 surah Thaha (20): 117

Menurut Imam al-Ghazãlĩ, terdapat dua macam syathahãt. Pertama, pengakuan-pengakuan atau ungkapan-ungkapan kaum sufi yang diperoleh dari rasa cinta yang begitu dalam kepada Allah, dan mengabaikan amalan-amalan zhahir dalam berhubungan dengan-Nya, bahkan sampai pada tingkat pengakuan ittihãd –seperti Abu Yazĩd al-Busthãmĩ dal al-Hallãj. Ungkapan-ungkapan ini bersumber dari tabiat yang ingin mensucikan diri dengan meperoleh maqãmãt dan ahwãl, namun mengabaikan amalan zhãhir. Oleh karena itu, mereka tidak berhak mengungkapkannya, karena akan menimbulkan bahaya besar dikalangan kaum awam. Kedua, kalimat-kalimat yang tidak bisa dipahami, yang pada hakikatnya memiliki makna zhãhir yang mendalam. Ungkapan-ungkapan yang demikian bisa jadi karena kalimat tersebut tidak dipahami oleh pengucapnya, atau dia memahaminya tetapi tidak bisa mengutarakannya dengan benar, boleh jadi juga karena dengan sengaja mengungkapkan makna tersebut sesuai dengan keinginannnyaa semata. Ungkapan-ungkapan macam ini juga tidak perlu diutarakan karena hanya menodai hati dan akal. Abu Hãmid al-Ghazãli, Ihyã‘u ’Ulũmi ad-Dĩn 117 , jilid 1, hal 36

Ibnu Taimiyah, Majmũ’u Fatãwã al-Kubrã. Dãru al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, 2000, jilid 6, hal 186. Mengenai pemahaman bathin dengan cara qiyas, beliau mencontohkan sebagimana yang dicontohkan al-Ghazãlĩ tentang hadits anjing di atas. Adapun contoh yang kedua, termasuk contoh yang ditolak al-Ghazãlĩ juga.

4xösÛ …ç ‾ΡÎ) tβöθtãöÏù 4’n<Î) ó=yδøŒ$#

Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad asy-Shãthibĩ (w. 790 H) tidak mengingkari kalau di dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang sulit dipahami, sama halnya beliau tidak mengingkari adanya makna zhahir dan makna bathin dalam memahami al-Quran. Tetapi beliau menegaskan, yang dimaksud makna zhahir adalah pemahaman yang sesuai dengan kaedah bahasa Arab. Setiap kata yang dipahami tidak sesuai dengan kaedah bahasa Arab, maka pemahaman tersebut tidak membawa faedah apapun dan tidak bisa dipercaya. Adapun maksud dan tujuan Allah yang terkandung dalam firman-Nya, serta setiap makna yang menuntut ketekunan hamba dalam ketauhidan dan ibadah, maka itulah makna bathin yang menjadi tujuan al-Quran. Dalam surah al-’Ankabũt (29) ayat 41 Allah berfirman:

ÏNθã‹ç6ø9$# š∅yδ÷ρr& ¨βÎ)uρ ( $\F÷t/ ôNx‹sƒªB$# ÏNθç6x6Ζyèø9$# È≅sVyϑx. u!$uŠÏ9÷ρr& «!$# Âχρߊ ÏΒ (#ρä‹sƒªB$# šÏ%©!$# ã≅sWtΒ

šχθßϑn=ôètƒ (#θçΡ$Ÿ2 öθs9 ( ÏNθç6x6Ζyèø9$# àMøŠt7s9

Ketika itu, orang-orang kafir mempertanyakan alasan Allah menyebutkan kata laba-laba, lalat –dan yang lainnya- dalam al-Quran. Pertanyaan tersebut muncul karena mereka memahami ayat tersebut sesuai dengan redaksinya. Pada hakikatnya, ayat tersebut memberi isyarat tentang orang-orang kafir yang menjadikan dunia ini sebagai permainan. Dengan kata lain, orang-orang beriman yang tidak berjalan sesuai dengan jalan Allah semasa di dunia ini, sama dengan orang-orang kafir. Dan kehidupan dunia ini dibaratkan dengan rumah laba-laba.

Setelah menguraikan contoh-contoh dari dua makna tersebut, Imam asy- Shãthibĩ menetapkan dua syarat yang harus dipenuhi dalam setiap makna bathin. Pertama , sesuai dengan tuntutan makna zhahir (kaedah bahasa Arab). Pemahaman- pemahaman yang tidak sesuai dengan lafazh al-Quran atau dengan maknanya, sama halnya dengan melakukan kebohongan terhadap al-Quran. Kedua, terdapat nas lain yang Setelah menguraikan contoh-contoh dari dua makna tersebut, Imam asy- Shãthibĩ menetapkan dua syarat yang harus dipenuhi dalam setiap makna bathin. Pertama , sesuai dengan tuntutan makna zhahir (kaedah bahasa Arab). Pemahaman- pemahaman yang tidak sesuai dengan lafazh al-Quran atau dengan maknanya, sama halnya dengan melakukan kebohongan terhadap al-Quran. Kedua, terdapat nas lain yang

Ulama kontemporer dari Tunisia, Muhammad Thãhir bin ’Ãsyũr, menetapkan tiga kategori untuk tafsir Isyãrĩ. Pertama, pemahaman Isyãrĩ terhadap suatu ayat yang dipandang dari sudut perumpamaan atau kiasan, karena adanya kesesuaian dengan makna (zhahir ayat). Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah (2) ayat 114:

!$yγÎ/#tyz ’Îû 4tëy™uρ …ç ßϑó™$# $pκŽÏù tx.õ‹ãƒ βr& «!$# y‰Éf≈|¡tΒ yìoΨ¨Β £ϑÏΒ ãΝn=øßr& ôtΒuρ

Kata mesjid dalam ayat di atas dipahami dengan arti hati. Hati merupakan tanda ketundukan hamba kepada Allah, sebagaimana mesjid tempat bersujud. Apabila hamba

telah tunduk kepada Allah, maka hatinya senantiasa bersujud untuk menyembah Allah dan berzikir pada-Nya. Menghalangi hati untuk berzikir pada Allah, serta menodainya dengan berbagai kecintaan dan menuruti hawa nafsu adalah suatu kedzaliman. Kedua, pemahaman Isyãrĩ suatu ayat dalam tataran optimisme. Suatu kalimat yang memiliki makna asli (sesuai dengan tulisannya), tetapi dipahami dengan makna berbeda dalam bentuk pendengaran. Dengan kata lain, seseorang meyakini makna asli dari suatu kalimat, tetapi ia menakwilkannya sesuai dengan perasaan yang muncul dalam hati dan pikirannya. Sebagai contoh, dalam surah al-Baqarah (2) ayat 255, Allah berfirman:

ßìx ô±o„ “Ï%©!$# #sŒ tΒ

Apabila kalimat tersebut diperoleh melalui pendengaran, bisa jadi pemahamannya adalah: ﻊﻔﺸﻳ ﻱ ﺫ ﻝﺫ ﻦﻣ . Sehingga, kalimat kedua ini berarti: barangsiapa

yang merendahkan kepemilikannya (nafsu), maka dia lebih dekat pada syafa’at. Ketiga,

118 Abu Ishaq asy-Syãthibĩ, al-Muwãfaqãt fĩ Ushũli asy-Syarĩ’ah, Dãru al-Kutub al-Ilmiyyah,

Beirut, tt, jilid 3, hal 287.

pemahaman tersebut berupa pelajaran dan nasehat yang dipetik oleh mereka yang menghayati makna al-Quran. Firman-Nya dalam surah al-Muzammil (73) ayat 16:

Wξ‹Î/uρ #Z‹÷{r& ç ≈tΡõ‹s{r'sù tΑθß™§9$# ãβöθtãöÏù 4|Âyèsù

Mereka yang menghayati dan mendalami makna al-Quran, memahami kata Fir'awn

dengan makna hati, dan kata Rasul dengan makna pembawa ilmu ma’rifat. Dengan demikian, orang-orang yang tidak mengamalkan ilmu ma’rifat akan memperoreh bencana (akibat yang tidak baik). 119

Adapaun ulama yang menolak tafsir Isyãrĩ di antarnya adalah Ibn al-Jawzĩ (w 597 H). Penolakan tersebut tercermin dari penolakannya terhadap penafsiran-penafsiran sufi tentang ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi. Setelah menguraikan beberapa contoh dari penafsiran sufi terhadap al-Quran dan hadits, serta membantahnya, Ibn al-Jawzĩ

120 berkesimpulan bahwa semua pemahaman mereka salah.

Pemahaman-pemahaman Isyãrĩ terhadap suatu ayat merupakan anugrah bagi mereka yang bertaqwa dan senantiasa dalam ibadah. Komentar ulama-ulama di atas, setidaknya menunjukkan dua sikap dalam menilai tafsir Isyãrĩ. Sebagian dari mereka menolak segala bentuk tafsir Isyãrĩ, dan sebagian lain menerimanya. Mereka yang menerima tafsir Isyãrĩ pun tidak menerimanya secara penuh, melainkan dengan memberi catatan-catatan atau syarat. Syarat yang ditetapkan asy-Shãthibĩ dapat dinilai singkat dan tepat. Suatu ayat yang dipahami sesuai dengan kaedah bahasa Arab dan tidak bertentangan dengan syariat, maka pemahaman tersebut dapat saja dikategorikan dalam bentuk qiyas, karena salah satu syarat qiyas adalah tidak bertentangan dengan syariat.

Muhammad Thãhir bin ’Ãsyũr, at-Tahrĩr wa at-Tanwĩr, jilid 1, hal 34 Abu al-Faraj ’Abdirrahmãn bin al-Jawzĩ, Talbĩsu Iblĩs, hal 326

BAB IV METODELOGI PENAFSIRAN AS-SULAMĨ DAN PENILAIAN ULAMA TERHADAP KARYANYA

Bab ini merupakan bab pertama dari kajian pokok tesis ini, yang diawali dengan membahas metodelogi penafsiran as-Sulamĩ, dan dilanjutkan dengan menanggapi penilaian ulama terhadap karyanya. Langkah ini ditempuh dengan mempertimbangkan bahwa sebelum menghukumi atau menilai tafsir as-Sulamĩ, terlebih dahulu melihat metodelogi yang digunakan dalam tafsirnya. Sehingga, dengan membahas metodelogi penafsiran as-Sulamĩ, dapat menanggapi penilaian-penilaian tersebut secara bijak, dengan berpedoman pada metodelogi yang dibahas. Tentunya, dalam menanggapi penilaian-penilaian tersebut, terlebih dahulu dipaparkan penilaian-

penilaian yang dimaksud.

A. Metodelogi Penafsiran

Berkenaan dengan metodelogi tafsir, Salah satu kitab yang populer dalam membahas metode penafsiran adalah karya al-Farmawĩ. Beliau mengemukakan empat metode dalam menafsirkan al-Quran, yaitu, Tahlĩlĩ, Ijmalĩ, Muqãran, dan Mawdhũ’ĩ. Metode Tahlĩlĩ dapat diterapkan dengan menggunakan beberapa corak yang berbeda, antara lain, bi al-Ma‘tsũr, bi ar-Ra‘y, Falsafĩ, Shũfi, ’Ilmĩ, Fiqhĩ, dan al-Adab al- Ijtimã’ĩ . 121 Jika corak-corak penafsiran yang diungkapkan oleh al-Farmawĩ tidak hanya dibatasi dalam metode Tahlĩlĩ, kenyataaannya corak-corak tersebut dapat pula diterapkan dalam metode lain seperti Mawdhũ’ĩ. Selain itu, jika tafsir bi al-Ma‘tsũr dianggap sebagai corak tafsir, kenyataanya corak al-Adab al-Ijtimã’ĩ dapat saja diterapkan dengan tafsir bi al-Ma‘tsũr.

121 ’Abd al-Hay al-Farmawĩ, al-Bidayãh fĩ at-Tafsĩr al-Mawdhũ’ĩ, tp, Cairo, 1977, hal 24

Husain adz-Dzahabĩ juga mengemukakan metode tafsir yaitu Tahlĩlĩ dan Mawdhũ’ĩ . Tafsir Tahlĩlĩ sudah diterapkan sejak masa awal pembukuan tafsir, sementara maudhui muncul dengan membahas tema tertentu dalam al-Quran. Tafsir bi al-Ma‘tsũr berkembang pada tafsir bi ar-Ra‘y, yang diawali dengan pembenaran terhadap penafsiran bi al-Ma‘tsũr yang bertentangan. Seiring dengan perkembangan ilmu, penafsiran bi ar-Ra‘y pun berkembang pada macam-macam model, sesuai dengan kepakaran penulisnya, seperti tasawuf, fikih dan bahasa. 122

Muhammad ’Abdu al-Adzĩm az-Zarqãnĩ mengungkapkan tiga macam penafsiran, yaitu: at-Tafsĩr bi ar-Riwãyah (bi al-Ma‘tsũr), at-Tafsĩr bi ad-Dirãyah (ar- Ra‘y) , dan at-Tafsĩr bi al-Isyãrah (al-Isyãrĩ). 123

Merujuk pada pembagian-pembagian di atas, penulis ingin menegaskan bahwa, penulisan tafsir dapat ditempuh dengan pendekatan (approach, ﺞﻬـ ﻨ ﳌﺍ ) ar-Riwãyah, ar-

Ra‘y , dan al-Isyãrĩ. Sedangkan Tahlĩlĩ, Ijmalĩ, Muqãran, dan Mawdhũ’ĩ merupakan metode ( ﺔـ ﻘﻳ ﺮﻄﻟ ﺍ ) penulisan tafsir. Adapun Falsafĩ, Shũfi, ’Ilmĩ, Fiqhĩ, dan al-Adab al-

Ijtimã’ĩ merupakan corak ( ﻥﻮﻠ ﻟ ﺍ ) penafsiran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, metode berarti cara kerja yang

bersistem untuk memudahkaan pelaksanaan suatu kegiatan, guna mencapai tujuan yang ditentukan. 124 Dengan demikian, metodelogi yang penulis maksudkan disini adalah cara kerja atau pendekatan penafsiran yang digunakan as-Sulamĩ untuk menafsirkan al-Quran untuk mencapai tujuannya, yaitu penafsiran Isyãrĩ.

Sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya, para ulama yang menerima tafsir Isyãrĩ , menetapkan syarat untuk tafsir Isyãrĩ yang dapat diterima. Dengan berbagai

Husain adz-Dzahabĩ, at-Tafsĩr wa al-Mufassirũn, Maktabah Wahbah, Qairo, 2000, jild 1, hal

146-149 123

Muhammad ’Abdu al-’Azhĩm az-Zarqãnĩ, Manãhil al-’Irfãn fĩ ’Ulũmi al-Quran, Dãru al-Fikr,

Beirut, 1996, jilid 2, hal 9. 124

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta, 2005, hal 740 Jakarta, 2005, hal 740

1. Penafsiran al-Quran dengan al-Quran. Dalam tafsir as-Sulamĩ juga ditemukan penafsiran al-Quran dengan al-Quran,

meski tidak sebanyak dalam kitab-kitab tafsir yang menggunakan pendekatan riwayat. Ketika menafsirkan ayat 35 dalam surah al-Baqarah (2):

$tΡθä3tFsù nοtyf¤±9$# ÍνÉ‹≈yδ $t/tø)s? Ÿωuρ $yϑçFøSÏ© ß]ø‹ym #´‰xîu‘ $yγ÷ΖÏΒ Ÿξä.uρ sπ¨Ψpgø:$# y7ã_÷ρy—uρ |MΡr& ôä3ó™$# ãΠyŠ$t↔‾≈tƒ $uΖù=è%uρ

tÏΗÍ>≈©à9$# zÏΒ

Mengutip dari Ibn ’Athã‘ (w 309 H), as-Sulamĩ menjelaskan bahwa larangan yang dimaksud adalah jenis pohon. Tetapi nabi Adam menganggap larangan tersebut hanya berlaku pada pohon yang ditunjuk, sehingga -karena ketidakhati-hatian- beliau memakan buah dari pohan lain yang sejenis. Makna yang demikian terkadung dalam surah Thahã (20) ayat 115: 125

$YΒ÷“tã …ç s9 ô‰ÅgwΥ öΝs9uρ zŤoΨsù ã≅ö6s% ÏΒ tΠyŠ#u #’n<Î) !$tΡô‰Îγtã ô‰s)s9uρ

Ayat 115 di atas berbicara tentang kisah nabi Adam di surga. Allah memerintahkan nabi Adam dan istrinya untuk tinggal dalam surga, melarang keduanya

125 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, Dãru al-Kutub al- ’Ilmiyyah, Beirut, 2001,

jilid 1, hal 57. Untuk teks arabnya lihat lampiran 1 jilid 1, hal 57. Untuk teks arabnya lihat lampiran 1

Hanya saja, menurut Ibn ’Abbãs (w 68 H), nabi Adam tidak memiliki kesabaran dan ketekunan untuk mengikuti perintah tersebut. Ketika itu, Iblis menunjukkan pada nabi Adam untuk memakan buah dari suatu pohon, tetapi beliau tidak menghiraukannya. Karena beliau tidak memiliki kesigapan yang kuat terhadap perintah Allah di atas, beliau memakan buah dari pohon lain yang sejenis, yang ditunjukkan Iblis. 126 Dari penafsiran di atas, terlihat keserasian yang erat antara dua ayat tersebut. Penafsiran Ibn ’Athã‘ di atas ingin menyatakan bahwa ayat 115 dalam surah Thaha merupakan penafsiran dari ayat 35 dalam surah al-Baqarah.

Penafsiran lain yang terlihat keserasian antara ayat dalam bentuk berbeda adalah ketika menafsirkan ayat 269 dalam surah al-Baqarah (2):

3 #ZŽÏWŸ2 #ZŽöyz u’ÎAρé& ô‰s)sù sπyϑò6Åsø9$# |N÷σムtΒuρ 4 â!$t±o„ tΒ sπyϑò6Åsø9$# ’ÎA÷σãƒ

Mengutip dari Ibn ’Athã‘ (w 309 H), hikmah yang dimaksud adalah status kenabian, sebagaimana terlihat dalam surah al-An’ãm (6) ayat 89: 127

4 nο§θç7‘Ζ9$#uρ u/õ3çtø:$#uρ |=≈tGÅ3ø9$# ãΝßγ≈oΨ÷s?#u tÏ%©!$# y7Í×‾≈s9'ρé&

Terdapat beragam penafsiran ulama dari kalangan sahabat dan tabi'in berkenaan dengan kata al-hikmah dalam surah al-Baqarah di atas. Ibn ’Abbãs (w 68 H) dan an- Nakha’ĩ 128 memaknainya dengan pemahaman terhadap al-Quran. Ibn ’Abbãs menambahkan, pemahaman tersebut berkenaan dengan ilmu naskh, muhkam dan

Abu ’Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, al-Qurthubĩ, al-Jãmi’ li Ahkãmi al-Quran, Dãru Ihyã‘i at-Turãts al-’Arabiy, Beirut, 1985, jilid 11, hal 251

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 80. Untuk teks arabnya lihat lampiran 1. Dalam tafsir as-Sulamĩ tertulis dengan redaksi yang berbeda, tetapi penulis tidak menemukan ayat al-Quran yang sesuai dengan redaksi berikut: ﹶ ﺓ ﻭ ﺒﱡ ﻨﻝﺍ ﻭ  ﻡﹾ ﻜ ﺤﹾ ﻝﺍ ﻭ  ﺏ ﺎﹶ ﺘِ ﻜﹾ ﻝﺍ  ﻩﺎﹶ ﻨ ﻴﹶ ﺘﺁ ﻭ

Ibrahim bin Yazĩd bin Qais bin al-Aswad. Salah satu tabi'in yang tsiqah, namun banyak haditsnya yang mursal. Wafat 96 H. Ahmad bin ’Alĩ bin Hajar al-’Asqalãnĩ, Taqrĩbu at-Tahdzĩb, Dãru al-Fikr, Beirut, 1986, jilid 1, hal 95

Dari keberagaman pemaknaan di atas, mayorits ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hikmah tidak sebatas pada kenabian, tetapi mencakup yang lebih umum lagi, seperti al-Quran, hadits, serta kebaikan-kebaikan yang lain. Hanya saja, hikmah yang paling tinggi adalah status kenabian. 133

Adapun alasan Ibn ’Athã‘ mengartikan al-hikmah dengan status kenabian, agaknya ingin menyatakan bahwa hikmah yang paling tinggi adalah status kenabian.

Karena nabi telah diberikan kitab, serta wewenang memahaminya. Jika suatu kaum mengikuti ajaran nabinya serta kitab yang diturunkan padanya, berarti umat tersebut telah diberikan hikmah, sebagaimana diartikan oleh ulama-ulama yang lain.

129 Abu ’Abdillah Mãlik bin Anas bin Mãlik al-Ashbahĩ perawi hadits paling tsiqah menurut al-

Bukhãrĩ, w 179 H. Ahmad bin ’Alĩ bin Hajar al-’Asqalãnĩ, Taqrĩbu at-Tahdzĩb,jilid 1, hal 516 130

Rabĩ’ bin Anas bin Ziyãd al-Bakrĩ, tabi'in yang shadũq, meninggal 139 H. Muhammad bin

Ahmad Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, Mu‘assatu ar-Risãlah, Beirut, 1993, jilid 6, hal 169 131

Rufai’ bin Mahrãn. Tabi'in yang tsiqah, namun haditsnya banyak mursal. Memeluk Islam pada masa pemerintahan Abu Bakr, wafat 90 H. Muhammad bin Ahmad Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 4, hal 207

132 Riwayat yang dimaksud adalah: لﺠﻭ ﺯﻋ ﷲ ﺍ ﺔﻓﺎﺨﻤ ﺔﻤﻜﺤﻝﺍ ﺱ ﺃﺭ لﺎﻗ ﺩﻭﻌﺴﻤ ﻥﺒﺍ ﻥﻋ :

Ibn Mas’ũd berkata: Rasa takut pada Allah adalah pangkal dari hikmah Mawqũf 133 , Ahmad bin Husain al-Baihaqĩ, Syu’bu al-Ĩmãn, Bãbu al-Khawf min Allah, no 742

Abu al-Fidã‘ Ismã’ĩl bin ’Umar bin Katsĩr, Tafsĩr al- ََ Quran al-’Azhĩm , Dãru Thayyibah jilid 1, hal 700, Abu ’Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, al-Qurthubĩ, al-Jãmi’ li Ahkãmi al-Quran, jilid

7, hal 34

Ketika menafsirkan ayat 106 dari surah al-Baqarah (2):

3 !$yγÎ=÷WÏΒ ÷ρr& !$pκ÷]ÏiΒ 9Žösƒ¿2 ÏNù'tΡ $yγÅ¡ΨçΡ ÷ρr& >πtƒ#u ôÏΒ ô‡|¡ΨtΡ $tΒ

As-Sulamĩ menafsirkan: Aku tidak memindahkan kamu dari satu keadaan (al- hãl ) kecuali Kami antar kamu ke maqãm 134 yang lebih mulia dan lebih tinggi darinya, sampai kamu mencapai keadaan paling tinggi, berupa kebersamaan dan pembicaraan tanpa perantara. Sebagaimana Allah berfirman dalam surah an-Najm (53) ayat 8-10: 135

4yr÷ρr& !$tΒ Íνωö6tã 4’n<Î) #yr÷ρr'sù ∩∪ 4’oΤ÷Šr& ÷ρr& È÷y™öθs% z>$s% tβ%s3sù ∩∇∪ 4’‾<y‰tFsù $tΡyŠ §ΝèO

Kata ﺦﺴﻧ berarti ﻝﺍ ﺯﺃ (menghilangkan, menghapus), dapat pula berarti ﻞﻘﻧ (memindahkan). Jika diartikan dengan menghapus, maka naskh dapat berarti menghapus

sesuatu dan manggantinya dengan yang lain, dapat pula berarti menghapus tanpa

menggantinya. 136 Adapun kata ﺔﻳ ﺍ dalam ayat di atas, sebagian ulama memahaminya

dengan ayat al-Quran, ada pula yang memahami dengan mukjizat. Sedangakan as- Sulamĩ memahami kata ayah dengan keadaan atau kedudukan Rasul dari sisi penghambaan.

Ayat dalam surah an-Najm, menurut as-Sulamĩ, membicarakan hubungan antara Allah dengan Rasul, bukan antara malaikat Jibril dengan Rasul. Dengan bahasa lain, Allah mendekat dengan nabi Muhammad sedekat dua ujung anak panah untuk menyampaikan firman-Nya, sehingga Rasul melihat-Nya. Pendapat ini dapat dikuatkan dengan riwayat Ibn ’Abbãs:

Dalam ilmu tasawuf, al-Hãl adalah suatu keadaan tertentu yang muncul dalam hati tanpa unsur kesengajaan dan usaha, seperti suka, duka, atau ketakutan. Adapun al-Maqãm adalah kedudukan spiritual hamba yang diperoleh melalui usaha. Abu al-Qãsim ’Abdu al-Karĩm bin Hauzãn, al-Qusyairĩ, ar-Risãlatu al- Qusyairiyyah 135 , Maktabatu al-Imãm al-A’dzam, Damaskus, tt, 132 dan 133

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 63. Untuk teks arabnya lihat

lampiran 1 136

Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 3, hal 61, al-Husain bin Muhammad al-Mufadhdhal,

ar-Rãghib al-Ashbahãnĩ, Mufradãtu Alfãzhi al-Quran, Dãru al-Qalam, Damskus, tt, jilid 2, hal 423

Dari Ibn ’Abbãs ia berkata: Rasulullah bersabda: Aku melihat Tuhanku Yang Maha Suci dan Maha Tinggi. Tetapi, jika dikaitkan dari ayat 5 (Yang diajarkan kepadanya oleh yang sangat

kuat ), maka yang mendekat pada nabi Muhammad adalah malaikat Jibril –karena di antara sifat malaikat Jibril dengan kekuatan dan kepercayaan (at-Takwir: 81 ayat 20-21). Terlebih lagi, ayat 8 dalam surah an-Najm dapat dipahami sebagai tindakan malaikat Jibril setelah menerima wahyu dari Allah, menyampaikan wahyu pada Rasul di bumi. Alasan lain yang membantah bahwa Rasul melihat Allah –sekaligus menguatkan argumen kedua (Jibril mendekat pada Rasul)- adalah riwayat lain yang juga bersumber dari Ibn ’Abbãs:

Dari Ibn ’Abbãs ia berkata tentang firman Allah: Hatinya tidak mendustakan apa yang Telah dilihatnya. Nabi Muhammad telah melihat Tuhannya dua kali dengan hatinya Meski pendapat pertama di atas menjadi pedoman as-Sulamĩ ketika

menafsirkan ayat 8 tersebut dalam surah an-Najm, namun beliau –dengan merujuk pada beberapa ulama sufi- menyatakan bahwa nabi Muhammad mendekat pada Allah dengan hatinya, bukan dengan penglihatan yang nyata.

Keterkaitan yang terdapat antara ayat 106 dalam surah al-Baqarah dengan ayat

8 -dan seterusnya- dalam surah an-Najm adalah sama-sama berbicara tentang al-Quran. Jika ayat 106 berbicara tentang naskh dalam al-Quran, ayat an-Najm berbicara tentang cara pewahyuan al-Quran, namun tidak menyinggung persoalan naskh. Alasan as-Sulamĩ mengaitkan ayat 106 dengan ayat 8 di atas agaknya hanya untuk menguatkan

137 Shahĩh Mawqũf, Ahmad bin Hanbal, al-Musnadu, Musnad Banĩ Hãsyim, Musnad ’Abdullah bin

al-’Abbãs , no: 2580 138

Shahĩh, Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Musnad Banĩ Hãsyim, Musnad ’Abdullah bin al-’Abbãs,

no: 1956 no: 1956

Penafsiran lain yang menggunakan metode penafsiran al-Quran dengan al- Quran di antaranya terdapat dalam ayat 131 dari surah Ãli ’Imrãn (3):

tÌÏ ≈s3ù=Ï9 ôN£‰Ïãé& ûÉL©9$# u‘$¨Ζ9$# (#θà)¨?$#uρ

Ibn ’Athã‘ (w 309 H) memahami ayat di atas ditujukan pada orang-orang awam, dikarenakan ketakutan mereka kepada neraka, juga alasan mereka meninggalkan maksiat agar terhindar dari api neraka. Adapun kepada orang-orang khusus, diperintahkan untuk bertakwa pada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam surah al- Baqarah (2) ayat 197:

É=≈t6ø9F{$# ’Í<'ρé'‾≈tƒ Èβθà)¨?$#uρ

Adapula yang merincikakannya pada tiga bagian. Ayat 131 di atas ditujukan pada orang-orang awam yang berdosa, supaya mereka bertaubat. Bagi golongan di

menjernihkan ketaatan dan mengikhlaskannya, serta menyingkirkan syirik kecil, sabagaimana dalam surah al- Baqarah (2) ayat 281:

atasnya (pertengahan)

diperintahkan

untuk

( «!$# ’n<Î) Ï ŠÏù šχθãèy_öè? $YΒöθtƒ (#θà)¨?$#uρ

Bagi orang-orang khusus (al-khash) Allah memerintahkan untuk senantiasa menunaikan perintah Allah pada setiap keadaan dengan pennuh kesengan, sebgaiaman dalam Ãli ’Imrãn: (3) ayat 102: 139

Ï Ï?$s)è? ¨,ym ©!$# (#θà)®?$# (#θãΨtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'‾≈tƒ

Dalam kamus bahasa al-Quran, ى$%& memiliki akar kata '(و, yang berarti *+, (menjaga). Menjaga sesuatu dari apa yang membahayakannya. 140 Adanya penjagaan

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 119. Untuk teks arabnya lihat

lampiran 1 lampiran 1

Dalam pandangan penulis, pengelompokan di atas merupakan metode dakwah al-Quran. Ada kalanya perintah takwa diiringi dengan tempat (al-Baqarah: 2 ayat 131), dan ada kalanya diiringi dengan zaman (al-Baqarah: 2 ayat 281). Kedua perintah tersebut mengingatkan manusia untuk menyiapkan diri menghadap Allah. Jika tidak mampu bertakwa pada Allah karena zat-Nya, maka jagalah diri dari api neraka, dengan mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Tetapi sebaik-baik takwa adalah mensucikan hati dari selain Allah, sehingga takwa tersebut benar-benar karena kecintaan pada Allah, bukan sekedar menjaga diri dari api neraka atau azab Allah yang

lainnya.

2. Penafsiran al-Quran dengan Sunnah Sebagaimana penafsiran al-Quran dengan al-Quran, penafsiran al-Quran

dengan hadits juga mendapat porsi tersendiri dalam tafsir as-Sulamĩ, termasuk hadits yang bersumber dari Allah (hadits qudsĩ). Hanya saja, as-Sulamĩ tidak menyeleksi hadis tersebut, sehingga terdapat hadits-hadits dengan kwalitas yang berbeda. Tetapi - as- Sulamĩ yang oleh sebagian ulama dituduh pemalsu hadits- muatan hadits shahĩh lebih banyak dari pada hadits dha’ĩf, apalagi palsu (mawdhũ’). Dalam tafsir as-Sulamĩ, terdapat pula penafsiran-penafsiran yang merupakan hadits, tetapi tanpa menyebutkan bahwa penafsiran tersebut adalah "hadits", atau "sabda Rasul".

140 al-Husain bin Muhammad al-Mufadhdhal, ar-Rãghib al-Ashbahãnĩ, Mufradãtu Alfãzhi al-Quran,

jilid 2, hal 530

Ketika menafsirkan ayat 96 dari surah al-Baqarah (2): ;ο4θuŠym 4’n?tã Ĩ$¨Ψ9$# š⇑tômr& öΝåκ¨Ξy‰ÉftGs9uρ

Mengutip dari Muhammad bin al-Fadhl (w 310 H), as-Sulamĩ menyatakan bahwa keinginan orang-orang kafir untuk hidup lebih lama karena mereka menyadari dosa-dosa mereka. Oleh karena itu, sikap Rasul harus berbeda dengan sikap mereka. Seorang Rasul harus merindukan kematian, guna menyingkap (al-mukãsyafah) tabir keghaiban, juga untuk menghindari keterasingan (al-wahsyah), serta untuk mencapai pada tingkat keakraban (al-uns). 141 Selanjutnya, as-Sulamĩ mengkaitkan dengan sabda Rasul:

ﻩﺀﺎﻘﻝ ﷲ ﺍ ﻩﺭﻜ ﷲ ﺍ ﺀﺎﻘﻝ ﻩﺭﻜ ﻥﻤﻭ ﻩﺀﺎﻘﻝ ﷲ ﺍ ﺏ ﺤﺃ ﷲﺍ ﺀﺎ ﻘ ﻝ ﺏ ﺤﺃ ﻥﻤ Sebagimana terlihat, ayat 96 di atas menyatakan bahwa orang-orang kafir

sangat menikmati kehidupan dunia, bahkan ingin hidup selama mungkin. Bagi mereka, dunia adalah surga. Namun, jika ingin berbeda dengan orang kafir dan menyukai pertemuan dengan Allah, haruskah seorang nabi atau orang beriman yang lain merindukan kematian, sebagaimana sabda hadits di atas?

Selengkapnya, hadits di atas bersumber dari istri Nabi, ’Ãisyah: ﻥـ ﻤﻭ ﻩﺀﺎﻘﻝ ﷲ ﺍ ﺏ ﺤﺃ

Dalam istilah tasawuf, al-mukãsyafah adalah kehadiran hati tanpa perlu penjelasan bukti dan penjelasan cara. Al-wahsyah adalah keterasingan ketika hamba jauh dari Allah. Al-uns adalah kesenangan yang luar biasa ketika hati dipenuhi cinta dan keindahan. Abu Hãmid al-Ghazãlĩ, Ihyã‘u ’Ulũmi ad-Dĩn, jilid 4, hal 339. Amatullah Armstrong, Khazanah Istilah Sufi; Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, ter: Nashrullah, Ahmad Baiquni, Mizan, Bandung, 2000, hal 312, Abu al-Qãsim ’Abdu al-Karĩm bin Hauzãn, al-Qusyairĩ, ar-Risãlatu al-Qusyairiyyah 142 , hal 152

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 63. Untuk teks arabnya lihat

lampiran 1

ﻩﺀﺎﻘﻝ ﷲ ﺍ ﻩﺭﻜﻭ ﷲ ﺍ ﺀﺎﻘﻝ ﻩﺭﻜ ﻪﻁ ﺨﺴﻭ ﷲ ﺍ ﺏ ﺍﺫﻌﺒ ﺭﺸﺒ Dari ’Ãisyah beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang

menyukai pertemuan dengan Allah, Allah menyukai pertemuan dengannya, dan barangsiapa membenci pertemuan dengan Allah, Allah pun membenci pertemuan dengannya. Aku berkata: Wahai nabi Allah! Apakah yang dimaksud kebencian mati? Setiap kami enggan mati. Beliau menjawab: Bukan demikian, tetapi seorang beriman apabila disampaikan kabar gembira tentang rahmat Allah, keridhaan-Nya dan surga-Nya, ia akan menyukai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun menyukai pertemuan dengannya. Dan sesungguhnya apabila orang kafir diberi kabar gembira dengan azab Allah dan kemurkaan- Nya, ia membenci pertemuan dengan Allah dan Allah pun membenci pertemuan dengan-Nya. Merujuk pada riwayat ’Ãisyah di atas, maka kelanjutan hadits tersebut dapat

menjelaskan kecintaan bertemu dengan Allah yang dimaksud. Imam an-Nawawĩ (Abũ Zakariya Yahya bin Syaraf, ulama hadits dan fikih bermazhab Syãfi’ĩ, W 676 H) menjelaskan bahwa, keengganan yang dimaksud adalah keengganan yang dirasakan menjelang maut, karena khawatir taubatnya atau amalannya tidak diterima. Menjelang maut, seseorang akan diberitakan padanya perihal balasan yang akan diperoleh. Bagi orang yang memiliki amal kebajikan akan menginginkan kematian dan bertemu dengan Allah, guna memperoleh balasan amal kebajikannya. Allah pun merindukan pertemuan dengannya, guna menepati janjinya. Sebaliknya, orang yang amalannya dipenuhi dengan kejahatan tidak menginginkan pertemuan dengan Allah, karena ia tau bahwa balasan

Muslim bin al-Hajjãj al-Qusyairĩ, Shahĩh Muslim, Kitãbu ad-Dzikr wa ad-Du’ã‘ wa at-Tawbah

wa al-Istighfãr, babu man Ahabba Liqã‘a Allah Ahabba Allah liqã‘ahu , no: 2684 wa al-Istighfãr, babu man Ahabba Liqã‘a Allah Ahabba Allah liqã‘ahu , no: 2684

Penjelasan Imam an-Nawawĩ di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud pertemuan dengan Allah adalah jalan yang ditempuh untuk bertemu dengan-Nya. Barangsiapa menyukai pertemuan dengan-Nya akan mempersipakan diri dengan segala amal kebajikan, serta mengabaikan kemegahan dunia. Sedangkan orang-orang yang enggan menghadap Allah akan menikmati kemegahan dunia, tanpa batas.

Meski "pertemuan" dalam hadits di atas tidak berarti "kematian", namun jalan untuk bertemu Allah adalah "kematian". Dengan demikian, ayat 96 dan hadits di atas sama-sama menyatakan bahwa orang yang menikmati dan bermegah-megah dengan kehidupan dunia tanpa amal kebajikan, enggan bertemu Allah. Bahkan, mereka menginginkan kehidupan yang lebih panjang. Makna inilah yang agaknya dikehendaki

oleh Muhammad bin al-Fadhl terkait pernyataannya di atas. Boleh jadi pula, Muhammad bin al-Fadh menyimpulkan hadits di atas bahwa manusia akan melihat Allah di akhirat.

Dengan alasan tersebut, penulis melihat keserasian antara ayat 96 dengan hadits yang dikutip Muhammad bin al-Fadhl.

Selain hadits shahĩh, terdapat pula pengkaitan ayat dengan hadits dha’ĩf dalam tafsir as-Sulamĩ. Salah saatunya terlihat ketika as-Sulamĩ menafsirkan ayat 180 dari surah Ãli ’Imrãn (3):

(#θè=σr2 $tΒ tβθè%§θsÜã‹y™ ( öΝçλ°; @ŽŸ° uθèδ ö≅t/ ( Νçλ°; #ZŽöyz uθèδ Ï&Î#ôÒsù ÏΒ ª!$# ãΝßγ9s?#u !$yϑÎ/ tβθè=y‚ö7tƒ tÏ%©!$# ¨t|¡øts† Ÿωuρ

׎Î6yz tβθè=yϑ÷ès? $oÿÏ3 ª!$#uρ 3 ÇÚö‘F{$#uρ ÏN≡uθ≈yϑ¡¡9$# ß^≡uŽÏΒ ¬!uρ 3 Ïπyϑ≈uŠÉ)ø9$# tΠöθtƒ Ï Î/

Merujuk pada Ibn ’Athã‘(w 309 H), ayat di atas mengisyaratkan bahwa mengajak pada kedermawanan dan menghindari kekikiran dapat dilakukan dengan mengorbankan harta, jiwa, niat, dan ruh. Barangsiapa yang kikir di jalan Allah, kekikiran

Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawĩ, al-Manhaj Syarhu Muslim bin al-Hajjãj, Dãru

Ihyã‘i at-Turãts al-’Arabiy, Beirut, Beirut, 1392 H, jilid 17, hal 10 Ihyã‘i at-Turãts al-’Arabiy, Beirut, Beirut, 1392 H, jilid 17, hal 10

145 ﺀﺎﺨﺴﻝﺍ ﻰ ﻠﻋ ﻻﺍ ﷲ ﺍ ﻲ ﻝﻭ لﺒﺠ ﺎﻤ ﻡ : ﻠﺴﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﺍ ﻰ ﻠﺼ ﻲ ﺒﻨﻝﺍ ﻥﻋ  ﻱِ ﻭ ﺭ Dalam rentetan riwayat, salah satu perawi hadits di atas adalah Yusuf bin as-

Safar. Oleh ulama hadits beliau dikategorikan sebagai orang yang berbohong (ب-آ); memalsukan hadits. Karena Yusuf bin as-Safar satu-satunya perawi yang cacat, maka hadits tersbut dapat dikategorikan dha’ĩf. Dalam riwayat lain terdapat tambahan /0,و

1234ا pada kelanjutannya. 146

Sementara itu, tidak ditemukan riwayat lain yang lebih kuat dengan makna

yang sama. Penggunaan kata ﻱِ  ﻭ ﺭ , dalam hadits di atas agaknya sebagai isyarat bahwa

hadits tersebut adalah dha’ĩf. Penggunaan lafadz demikian juga terlihat pada sebagian hadits-hadits dha’ĩf lain, dan hadist-hadits palsu dalam tafsir as-Sulamĩ. Meski terdapat keserasian dalam pengkaitan hadits di atas dengan ayat 180 dari surah Ali ’Imrãn (3), yang sama-sama mengecam sifat kikir, namun permasalahan yang mungkin terjadi ketika riwayat tersebut dihadapkan pada orang yang tidak mengetahui ilmu hadits.

Penafsiran lain yang terdapat dalam surah an-Nisã‘ (4) ayat 34:

3 ¸ξ‹Î6y™ £ÍκöŽn=tã (#θäóö7s? Ÿξsù öΝà6uΖ÷èsÛr& ÷βÎ*sù Bagi as-Sulamĩ, larangan pada akhir ayat di atas adalah larangan untuk menyusahkan mereka (para istri) dalam mencari kecintaan dan ketulusan hati. Mereka tidak dapat menguasai hati mereka, karena hati hanya milik Allah. Rasul bersabda:

145 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 129. Untuk teks arabnya lihat

lampiran 1 146 ’Abdullah bin ’Adiy, al-Kãmil fi adh-Dhu’afã‘, Dãru al-Fikr, Beirut, 1988, jilid 1, hal 187

Secara keseluruhan, ayat di atas berbicara tentang tata tertib kehidupan rumah tangga, khususnya antara suami dan istri. Suami merupakan pemimpin keluarga, karena kelebihan yang telah Allah anugerahkan, dan karena suami telah menenafkahkan istri. Ayat tersebut melarang para suami menyakiti istri dengan perkataan atau tindakan, apabila telah mematuhi suaminya. Dengan bahasa lain, apabila istri-istri yang membangkang tersebut sudah mematuhi suminya, maka suami tidak berhak memisahkan mereka dari tempat tidur, atau memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan dan membekas.

Sedangkan as-Sulamĩ memaknai larangan menyusahkan istri dalam ayat di atas sebagai larangan menyusahkan mereka perihal merebut kecintaan dan keikhlasan hati

mereka. Dengan penafsiran demikian, as-Sulamĩ mengkaitkan ayat di atas dengan hadist

shahĩh yang berbicara tentang usaha Rasul dalam bersikap adil terhadap istri-istri beliau. Meski seorang suami dapat bersikap adil secara lahiriah, seperti bermalam atau nafkah, tertapi ia tidak dapat bersikap adil dalam hal kecintaan, yang bersumber dari hati. Istri Rasul, ’Ãisyah pernah bercerita:

Dari ’Ãisyah, beliau berkata: Rasulullah membagi (bermalam di antara istri- istrinya), maka beliau pun bersikap adil. Dan beliau bersabda: Ya Allah, inilah bagianku yang dapat aku lakukan. Maka janganlah Engkau mencelaku terhadap apa yang tidak kumiliki (yaitu hati).

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 146. Untuk teks arabnya lihat

lampiran 1 148

Shahĩh, Sulaiman bin al-Asy’ats Abu Dãwud as-Sajastãni, Sunanu Abĩ Dãwud, Kitãbu an-Nikãh

(6), Bãbu al-Qism baina an-Nisã‘ (39), no: 2134

Dengan demikian, pengkaitan ayat 34 dengan hadits di atas, agaknya memberi isyarat bahwa istri-istri yang dulunya membangkang, lalu patuh pada suaminya, belum tentu kepatuhan tersebut dikarenakan cinta, melainkan karena takut hukuman -misalkan. Oleh karena itu, suami tidak berhak memaksa istri untuk meraih cintanya. Namun, mungkinkah bubungan antara suama dengan isteri terjalin tanpa rasa cinta?

Kiranya, hadits di atas lebih tepat dikaitkan dengan ayat yang berbicara tentang sikap yang harus dijalani seorang suami yang memiliki lebih dari satu istri untuk tidak terlalu condong pada salah satu istrinya (an-Nisã‘: 4 ayat 129). Namun, penafsiran as- Sulamĩ dapat pula dipahami bahwa hati manusia hanya miliki Allah, dan hendaknya selalu diperuntukkan pada Allah.

Selain hadits-hadits dari Rasul sendiri, as-Sulamĩ juga menafsirkan al-Quran dengan hadits-hadits Qudsĩ. Salah satu penafsiran demikian terlihat ketika as-Sulamĩ

menafsirkan ayat 48 dari surah an-Nisã‘ (4):

$¸ϑøOÎ) #“uŽtIøù$# ωs)sù «!$$Î/ õ8Ύô³ç„ tΒuρ 4 â!$t±o„ yϑÏ9 y7Ï9≡sŒ tβρߊ $tΒ ãÏ øótƒuρ Ï Î/ x8uŽô³ç„ βr& ãÏ øótƒ Ÿω ©!$# ¨βÎ)

$¸ϑŠÏàtã

Membanggakan amalan, serta meminta imbalan atau pujian dari amalan merupakan perbuatan syirik yang tidak diampuni Allah. Selanjutnya, as-Sulamĩ mengutip sebuah hadits Qudsĩ:

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 149. Selengkapnya, hadits tersebut berbunyi:

Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah meriwayatkan dari Tuhannya: Aku adalah sebaik- baik sekutu. Barangsiapa mengerjakan suatu amalan lalu ia menyukutukan-Ku dalam amalan tersebut, maka Aku bebasa dari amalan tersebut, dan amalannya bagi sekutunya

Shahĩh , Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Musnad al-Mukatstsirĩn min ash-Shahãbah, Musnadu Abi Hurairah,

no: 7986

Para ulama membagi pada tiga kategori syirik. 150 Pertama, syirik dengan meyakini ada tuhan selain Allah. Kategori ini merupakan syirik paling besar, dan kategori ini pula yang dikehendaki ayat 48 di atas. Kedua, meyakini keterlibatan selain Allah dalam perbuatan, meskipun tidak mengingkari ketuhanan-Nya. Sebagaimana terkandung dalam hadits Qudsĩ yang shahĩh:

ﺀﻲ ﺸ ﺎﻬﻨﻤ ﷲ ﺱ ﻴﻝﻭ ﻡﻜﻫﻭﺠﻭﻝ ﺎﻬﻨﺈﻓ ﻡﻜﻫﻭﺠﻭﻝﻭ ﷲ ﺍﺫﻫ ﺍﻭﻝﻭﻘﺘ ﻻﻭ Dari adh-Dhahãk bin Qais al-Fahrĩ, ia berkata: Rasulullah bersabda:

Sesungguhnya Allah berfirman: Aku adalah sebaik-baik sekutu. Maka siapa yang menjadikan sekutu bagi-Ku, maka ia untuk sekutu-Ku. Wahai manusia,

ikhlaskanlah segala amalan kalian demi Allah, karena Allah tidak menerima amalan kecuali yang diikhlaskan pada-Nya. Dan janganlah kalian mengatakan "ini demi Allah dan kerabat(ku)." Karena yang demikian adalah untuk kerabatnya, dan tidak untuk Allah sama sekali. Dan janganlah kalian mengatakan "ini demi Allah dan untuk kerelaan kalian." Karena yang demikian adalah untuk kerelaan kalian semata, dan tidak untuk Allah sama sekali. Kategori ketiga adalah syirik dalam ibadah. Yaitu, beribadah dengan tujuan

tertentu, selain Allah. Rasul mengistilahkan syirik ini dengan syirik kecil, riya'. Syirik macam ini terkandung dalam hadits yang dikemukakan as-Sulamĩ di atas.

Hadits yang dikutip as-Sulamĩ menunjukkan bahwa ibadah apa saja yang dilakukan dengan tujuan tertentu selain Allah, terrmasuk perbuatan syirik. Namun

Abu ’Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, al-Qurthubĩ, al-Jãmi’ li Ahkãmi al-Quran,

jilid 5, hal 181 151

Shahĩh, ’Alĩ bin ’Umar ad-Dãruquthnĩ, Sunanu ad-Dãruquthnĩ, Kitabu ath-Thahãrah (1), Bãbu

an-Niyyah (14) , no: 3 an-Niyyah (14) , no: 3

Persoalan lain yang berkaiatan dengan hadits adalah penafsiran yang mengisyaratkan penafsiran Rasul. Sebagai contoh, dalam surah Yũnus (10) ayat 26:

( ×οyŠ$tƒÎ—uρ 4o_ó¡çtø:$# (#θãΖ|¡ômr& tÏ%©#Ïj9

Sebagaimana penafsiran al-Wãsithĩ (w 320 H), as-Sulamĩ menafsirkan ayat di atas dengan singkat. Menurutnya, orang-orang yang berbuat baik dalam bermuamalah dengan Allah –dengan musyãhadah-, akan memperoleh kenikmatan mu’ãmalah, yaitu ﲎﺴﳊﺍ dan dapat melihat Allah, yaitu ﺓﺩﺎﻳ ﺰﻟ ﺍ . 152

Tanpa menyebutkan riwayat "sabda Rasul", menafsirkan kata az-ziyãdah dengan arti melihat Allah sesuai dengan penafsiran Rasul terhadap ayat di atas: ﻙ ﺭﺎـ ﺒﺘ ﷲ ﺍ لﻭـ ﻘﻴ ﺔﻨﺠﻝﺍ ﺔﻨﺠﻝﺍ لﻫﺃ لﺨﺩ ﺍﺫﺇ لﺎﻗ ﻡﻠﺴﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﺍ ﻰ ﻠﺼ ﻲ ﺒﻨﻝﺍ ﻥﻋ ﺏ ﻴﻬﺼ ﻥﻋ :

Dari Shuhaib, bahwa Rasulullah bersabda: Apabila ahli surga memasuki surga, maka Allah mengatakan kepada mereka: "Apakah kalian mau Aku

tambahkan sesuatu?" Mereka menjawab: "Bukankah Engkau telah menjadikan muka kami putih berseri? Bukankah Engkau telah memasukkan

152 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 300. Untuk teks arabnya lihat

lampiran 1 153

Muslim bin al-Hajjãj al-Qusyairĩ, Shahĩh Muslim, kitabu al-Ĩmãn (1), Bãbu Itsbãtu Ru‘yati al-

Mu‘mĩn fi al-Ãkhirati Rabbahum, no: 181 Mu‘mĩn fi al-Ãkhirati Rabbahum, no: 181

3. Penafsiran as-Sulamĩ dan Kaitannya dengan Bahasa Selain al-Quran dan hadits, pedoman lain yang digunakan as-Sulamĩ dalam penafsirannya adalah bahasa. Meski tidak menguraikan secara panjang-lebar makna dari satu kalimat, dan tentunya tidak dominan, tetapi faktor bahasa memiliki pengaruh tersendiri dalam penafsiran as-Sulamĩ.

Pemaknaan suatu kalimat di antaranya terlihat pada surah al-Baqarah (2) ayat 208:

Zπ©ù!$Ÿ2 ÉΟù=Åb¡9$# ’Îû (#θè=äz÷Š$# (#θãΖtΒ#u šÏ%©!$# $y㕃r'‾≈tƒ

As-Sulamĩ mengartikan kata ِ ﻢﹾ ﻠ  ﺴﻟ ﺍ di atas dengan merujuk pada dua ulama sufi besar. Ibn ’Athã‘ (w 309 H) memahami kata tersebut dengan makna menunaikan segala

perintah dan menjauhi segala larangan. Bagi al-Junaid (w 230 H), ِ7ْ2904ا berarti kerelaan terhadap keputusan. 154

Kata ِ7ْ2904ا merupakan bentuk kata benda (mashdar) dari kata َ7ِ2َ:, yang berarti damai. Makna yang sama juga terkandung dalam kata 7ْ2َ04ا. 155 Mayoritas ulama tafsir dari kalangan sahabat dan tabi'in mengartikan kata as- silm di atas dengan makna Islam. Penafsiran serupa juga diikuti oleh ulama-ulama tafsir klasik seperti Muhammad bin Jarĩr Bin Yazĩd ath-Thabarĩ (w 310 H), Abu al-Fidã‘ Ismã’ĩl bin ’Umar (Ibn Katsĩr, w 774 H) dan al-Qurthubĩ (w 671 H). Sedangkan kata as- salm (al-Anfãl: 8 ayat 61, dan Muhammad: 47 ayat 35) diartikan dengan damai. Berbeda dengan tiga ulama agung di atas, ulama tafsir kontemporer Thãhir bin ’Ãsyũr

154 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 70. Untuk teks arabnya lihat lampiran 1 155

Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 12, hal 289 Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 12, hal 289

Ayat 208 di atas menyeru orang-orang yang beriman untuk masuk dalam as- silm dengan keseluruhan. Jika ayat kata as-silm diartikan dengan damai, maka ayat tersebut mengajak orang-orang yang telah mengikrarkan diri telah beriman untuk senantiasa menjalin kedamaian di antara mereka, menghindari perpecahan. Jika kata as- silm diartikan dengan Islam, maka ayat tersebut mengajak orang-orang yang beriman untuk benar-benar memeluk Islam dengan sepenuh hati, menerima semua ajaran Islam; menunaikan segala perintah dan meninggalkan segala larangan, serta menerima segala

takdir. Dua makna tersebut dapat disesuaikan dengan penafsiran yang dikemukakan as- Sulamĩ

Penafsiran lain terkait dengan pemaknaan kalimat terdapat juga dalam surah al- Baqarah (2) ayat 187, Allah berfirman:

3 ωÉf≈|¡yϑø9$# ’Îû tβθà Å3≈tã óΟçFΡr&uρ €∅èδρçŽÅ³≈t7è? Ÿωuρ

Fokus penafsiran dalam ayat tersebut adalah berkenaan dengan i'tikaf. Mengutip dari al-Wãsithĩ (w 320 H), as-Sulamĩ mengartikan i'tikaf dengan menahan nafsu, raga, dan mengendalikan waktu. Dengan makna demikian, seseorang selalu dalam keadaan i'tikaf, dimanapun ia berada. 157

156 Muhammad Thãhir bin ’Ãsyũr, at-Tahrĩr wa at-Tanwĩr, ad-Dãr at-Tũnĩsiyyah, Tunis, 1984, jilid

2, hal 275 157

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 74. Untuk teks arabnya lihat

lampiran 1

Dalam ayat di atas, Allah menghalalkan bagi hamba-Nya untuk mencapuri istri pada setiap keadaan –selain dalam keadaan puasa- kecuali dalam keadaan i'tikaf, dan di segala tempat kecuali di mesjid.

Kata ف <=>ا berakar dari kata َ?َ<َ> dengan arti menetap pada suatu tempat. ’Akafa juga berarti menahan (َ@َAَ,). Orang yang menetap di pada sauatu tempat dan menahan diri dari keinginan lain dikatakan ?آ > atau ?ِ<=BC. 158 Dalam istilah syari'at, i'tikaf dikenal dengan berdiam di mesjid dengan niat dan syarat-syarat tertentu.

Jika dilihat arti i'tikaf secara bahasa, maka penafsiran al-Wãsithĩ di atas sesuai dengan arti bahasa. Al-Wãsithĩ tidak membatasi i'tikaf pada saat tertentu atau pada tempat tertentu, yaitu mesjid, melainkan memahaminya dengan arti lebih luas. Memang, para ulama fikih sepakat bahwa i'tikaf hanya dapat dilakukan di mesjid. Sedangkan penafsiran al-Wãsithĩ di atas agaknya memberi isyarat bahwa menahan diri tidak hanya

dilakukan di mesjid, tetapi menahan nafsu dan raga –dari keburukan- hendaknya tetap siaga dimanapun berada. Ketika menafsirkan kalimat di atas, Ibrahim bin ’Umar bin al-

Hasan (Burhãnuddĩn al-Biqã’ĩ, w 885 H) memahami bahwa fokus larangan dalam ayat tersebut adalah mencampuri istri –selain dalam keadaan puasa- dalam keadaan i'tikaf. Penyebutan kata mesjid dalam ayat tersebut tidak berarti dihalalkan mencampuri istri ketika beri'tikaf di luar mesjid. Mesjid hanyalah salah satu tempat beri'tikaf, dan larangan tersebut tetap berlaku bagi orang yang beri'tikaf dimanapun tempatnya. Pengkaitan kata mesjid dengan kata i'tikaf dalam ayat di atas merupakan larangan untuk mencampuri isteri di mesjid. 159 Ungkapan Imam al-Biqã’ĩ di atas dengan jelas menunjukkan bahwa i'tikaf tidak hanya berlaku di mesjid, tetapi dapat dilaksanakan di tempat lain asalkan utuk menahan nafsu dan untuk beribadah.

Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 12, hal 289

Ibrahim bin ’Umar, al-Biqã’ĩ, Nadzmu ad-Durar fĩ Tanãsubi al- Ãyãt wa as-Suwar, Dãru al-

Kutub al- ’Ilmiyyah, Beirut, 2002, jilid 1, hal 350

Ayat 39 dalam surah Ãli ’Imrãn (3) menceritakan:

#Y‰Íh‹y™uρ «!$# zÏiΒ 7πyϑÎ=s3Î/ $P%Ïd‰|ÁãΒ 4z÷ósu‹Î/ x8çŽÅe³u;ム©!$# ¨βr& É>#tósÏϑø9$# ’Îû ’Ìj?|ÁムÖΝÍ←!$s% uθèδuρ èπs3Í×‾≈n=yϑø9$# ç ø?yŠ$oΨsù tÅsÎ=≈¢Á9$# zÏiΒ $wŠÎ;tΡuρ #Y‘θÝÁymuρ

Ibn ’Athã‘ (w 309 H) mengartikan DE: dengan makna kayakinan pada hakikat Allah. Ja’far 160 mengartikannya dengan orang yang tidak melihat ciptaan berkenaan dengan sifat, keadaan, dan bentuknya. Muhammad bin ’Ãlĩ bin al-Hasan at-Turmudzĩ (w 255 H) memahami kata tersebut sebagai sosok orang yang menyikapi nikmat atau tidak diberi nikmat dengan keadaan yang sama.

Bagi Abu al-Husain al-Warrãq (Muhammad bin Sa’d an-Naisãbũrĩ, w sebelum 320 H) as-sayyid adalah sosok yang tidak dikalahkan oleh hawa nafsunya. Penafsiran lain dikemukakan oleh al-Junaid (w 230 H). Menurutnya, as-sayyid adalah orang yang

mengabaikan ciptaan, sebagai pemberian dari Allah. 161

Ulama tafsir dari kalangan sahabat dan tabi'in menafsirkkan kata sayyid dengan beragam makna. Ibn ’Abbãs (w 68 H), dan adh-Dhahãk 162 mengartikannya dengan orang yang bijaksana lagi bertakwa. Qatãdah (w 118 H) mengartikannya sebagai sosok yang tinggi dari sisi keilmuan dan ibadah. Sa’ĩd bin al-Musayyab 163 memaknainya dengan

As-Sulamĩ tidak menjelaskann siapa Ja’far yang dimaksud, Ja’far al-Khuldĩ (Abu Muhammad Ja’far bin Muhammad bin Nashĩr w 348 H), Ja’far ash-Shãdiq (w 148 H), atau Ja’far al-Marãwahĩ. Penyebutan seperti ini banyak ditemukan dalam tafsir ini. 161

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 99. Untuk teks arabnya lihat

lampiran 1 162

Abu al-Qãsim adh-Dhahãk bin Muzãhim, tabi'in shadũq, riwayatnya banyak yang mursal. Wafat

antara 102-106 H. Ahmad bin ’Alĩ bin Hajar al-’Asqalãnĩ, Taqrĩbu at-Tahdzĩb, jilid 1, hal 280 163

Sa’ĩd bin al-Musayyab bin Hazn, wafat 94 H. Hadits-hadits mursal yang bersumber darinya

merupakan hadits paling shahĩh. Ahmad bin ’Alĩ bin Hajar al-’Asqalãnĩ, Taqrĩbu at-Tahdzĩb, jilid 1, hal 141 merupakan hadits paling shahĩh. Ahmad bin ’Alĩ bin Hajar al-’Asqalãnĩ, Taqrĩbu at-Tahdzĩb, jilid 1, hal 141

Kata DE: berakar dari kata د$0H G د: , dengan makna ق$+H G قJ , K+&را (tinggi). Dengan demikian, sayyid bermakna orang yang tinggi dari orang lain dari sisi keilmuan, harta, dan manfaat. Kata sayyid selanjutnya diartikan dengan pemimpin, karena seorang pemimpin lebih tinggi dari kaumnya. 166 Muhammad Thãhir bin ’Ãsyur mendefinisikan kata sayyid sebagai orang yang melaksanakan tugas untuk memperbaiki manusia demi kehidupan dunia dan akhirat. Thãhir bin ’Ãsyur juga menolak memahami kata sayyid dengan makna takwa, mengetahui, bijaksana, atau yang lainnya yang serupa, dengan alasan bahwa penyebutan kata tersebut –dalam ayat 29- didahului dengan kata "dan" (wa), begitu juga dengan kata setelahnya. Baginya, nabi Yahya disifati dengan sayyid karena beliau memperoleh ilmu agama sejak beliau lahir, sehingga dihormati oleh

kaumnya, sebagaimana diungkapkan dalam surah Maryam (19) ayat 12-13. 167

Jika merujuk pada penafsiran para sahabat dan tabi'in, penafsiran-penafsiran yang dikemukakan as-Sulamĩ menggambarkan wujud dari takwa, bijaksana, dan taat beribadah. Menyikapi nikmat atau tidak diberi nikmat dengan sikap yang sama menunjukan sikap yang bijaksana. Begitu juga dengan sifat ketuhanan dan tidak melihat ciptaan-Nya yang menunjukkan sikap takwa dan mengendalikan hawa nafsu. Sikap- sikap tersebut menunjukkan tingginya kedudukan nabi Yahya di antara kaumnya.

Firman Allah dalam surah an-Nisã‘ (4) ayat 41: #Y‰‹Íκy− ÏIωàσ‾≈yδ 4’n?tã y7Î/ $uΖ÷∞Å_uρ 7‰‹Îγt±Î0 ¥π¨Βé& Èe≅ä. ÏΒ $uΖ÷∞Å_ #sŒÎ) y#ø‹s3sù

Abu ’Abdillah berasal dari Barbar. Pakar tafsir yang tsiqah. Meski dituduh pemalsu hadits, namun tidak pernah terbukti. Wafat 104. Ahmad bin ’Alĩ bin Hajar al-’Asqalãnĩ, Taqrĩbu at-Tahdzĩb, jilid 1, hal 397

Ibn Katsĩr, Tafsĩr al- Quran al-’Azhĩm َ َ , jilid 2, hal 37, Abu ’Abdillah Muhammad bin Ahmad

bin Abi Bakr, al-Qurthubĩ, al-Jãmi’ li Ahkãmi al-Quran, jilid 4, hal 77 166

Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisan al-’Arab, jilid 3, hal 231 Muhammad Thãhir bin ’Ãsyũr, at-Tahrĩr wa at-Tanwĩr, jilid 3, hal 240

Secara singkat, as-Sulamĩ menafsirkan bahwa Allah akan mendatangkan wali dan dari setiap umat, dan mendatangkan nabi Muhammad untuk membenarkan kewalian mereka, atau menyalahkannya. 168 Sedangkan penafsiran yang populer di kalangan ulama tafsir yang dimaksud dengan syahĩd adalah Rasul.

Kata DELM merupakan bentuk kata subjek (ism fa’ĩl) dari kata DَLNH G DِLَM , kata pluralnya adalah د LMا, seperi EO dengan pluralnya ر O ا. Kata DLM bermakna P, (hadir). Syahida dapat pula berarti melihat dengan mata telanjang, karena orang yang menghadiri akan melihat apa yang ia hadiri. Selanjutnya, kata syahida dapat berarti menolong, karena orang yang menghadiri akan membantu orang yang dihadiri. 169 Populernya, kata syahĩd diartikan dengan saksi. Nabi sebagai syahĩd karena beliau menjadi saksi untuk membenarkan keingkaran kaumnya. Adapun kata al-waliy – sebagaimana penafsiran as-Sulamĩ terhadap kata syahĩd- berarti an-nashĩr (penolong),

kata kerjanya adalah ﻲﻠ ﻳ - ﻟ  ﻭ ﻲِ . 170 Dengan demikian, ditinjau dari segi kebahasaan, terdapat persamaan makna antara kata syahĩd dengan kata al-waliy.

Imam al-Qusyairĩ menjelaskan, kata waliy –sebagai subjek- dapat bermakna objek, yaitu orang yang dipilih Allah untuk mengemban urusan-Nya. Kata waliy sebagai subjek berarti orang yang selalu beribadat dan taat pada Allah tanpa pernah berbuat maksiat. 171 Makna demikian tergambar dalam firman Allah, surah Yũnus (10) ayat 62- 63:

šχθà)−Gtƒ (#θçΡ%Ÿ2uρ (#θãΖtΒ#u šÏ%©!$# ∩∉⊄∪ šχθçΡt“øts† öΝèδ Ÿωuρ óΟÎγøŠn=tæ ê’öθyz Ÿω «!$# u!$uŠÏ9÷ρr& āχÎ) Iωr&

Artinya: Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.

168 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 148. Untuk teks arabnya lihat

lampiran 1 169

170 Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 3, hal 238

171 Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 15, hal 405 Abu al-Qãsim ’Abdu al-Karĩm bin Hauzãn, al-Qusyairĩ, ar-Risãlatu al-Qusyairiyyah, hal 402

Jika merujuk pada definisi al-Qusyairĩ, meski pada kenyataannya wali berbeda dengan nabi, maka kreteria seorang wali juga terdapat pada Nabi. Sampai di sini, barangkali dapat dikompromikan antara makna nabi dengan makna wali yang terkandung dalam kata syahĩd. Persoalan selanjutnya adalah kata "mereka" (ءRSه). Bagi as-Sulamĩ, kata "mereka" kembali kepada DELNU. Sehingga, status nabi Muhammad menjadi "hakim" untuk membenarkan atau menyalahkan kesaksian setiap syahĩd (Rasul) sebelum beliau. Meski benar, sebagaimana kesaksian nabi Muhammad pada nabi Nuh, pemahaman demikian lebih tepat dikemukakan dalam surah al-Baqarah (2) ayat 143. Memang, selanjutnya as-Sulamĩ mengutip ayat 143 tersebut, tetapi ayat 63 ini menyatakan bahwa nabi Muhammad menjadi saksi untuk umatnya ( ءRSه –bukan untuk ) para Rasul- sebagaimana dinyatakan pula dalam surah al-Baqarah ayat 143: Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan

agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.

Jika kata "mereka" dipahami kembali pada "syahĩd", maka pemahaman yang demikian ada benarnya selama kata syahĩd tersebut dipahami dengan arti wali sebagaimana manusia biasa, tidak dipahami dengan arti Nabi. Dengan demikian, seakan- akan ayat tersebut berarti: Maka bagaimanakah, apabila kami mendatangkan seorang wali dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi untuk membenarkan atau menyalahkan statusnya sebagai wali.

Namun, jika kata syahĩd –dalam ayat 41 di atas- tidak dipahami dengan makna Nabi tetapi dipahami dengan arti wali, kiranya pemahaman demikian tidak tepat. Kesaksian nabi Muhammad terhadap nabi Nuh menggambarkan bahwa setiap Nabi menjadi saksi bagi umatnya, dan nabi Muhammad menjadi saksi utuk Nabi-nabi yang lain –sebagaimana dalam ayat 143 dalam surah al-Baqarah. Rasul bersabda:

Dari Abi Sa’ĩd, ia berkata: Rasulullah bersabda: ketika Nuh dan umatnya datang (di hari kiamat), Allah menanyakan padanya: "Apakah kamu sudah menyampaikan (amanat-Ku)?" Beliau menjawab: "ya, Tuhanku. Lalu" Allah menanyakan pada umatnya: "apakah ia telah menyampaikan?" Umatnya menjawab: "tidak, tidak ada seorang Nabi pun datang pada kami." Lalu Allah menanyakan pada Nuh: "siapa yang menjadi saksi untuk kamu?" Beliau menjawab: "Muhammad dan umatnya". Maka kita akan bersaksi bahwa ia

telah menyampaikan, dan itulah arti: Dan demikian (pula) kami Telah

menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu

menjadi saksi atas (perbuatan) manusia. Dan al-wasth berari adlil. Penafsiran lain terdapat dalam surah al-Furqãn (25) ayat 72, Allah berfirman:

$YΒ#tÅ2 (#ρ“÷sd Èθøó‾=9$$Î/ (#ρ“÷sd #sŒÎ)uρ u‘ρ–“9$# šχρ߉yγô±o„ Ÿω šÏ%©!$#uρ Kata ﺭﻭﺰﻟ ﺍ , menurut Ibn ’Athã‘ (w 309 H), adalah persaksian dengan lisan, tanpa

persaksian hati. Bagi Ja’far, az-zũr adalah keinginan-keinginan jiwa, serta mengikuti nafsunya. Sahl at-Tustarĩ (w 283 H) mengartikannya dengan menghadiri majlis-majlis orang bid'ah. Sebagian ulama sufi lain memahami, setiap perkumpulan yang tidak dapat menambah keagamaan seseorang atau menambah kedekatannya dengan Allah, maka yang demikian adalah perkumpulan az-zũr. 173

172 Muhammad bin Ismail al-Bukhãrĩ, al-Jãmi’ ash-Shahĩh, Kitãbu al-Anbiyã’ (64), Bãbu Qawli

Allah: Innã Arsalnã Nũhã ilã Qawmihi (5), 173 no: 3161

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 2, hal 69. Untuk teks arabnya lihat

lampiran 1

Para mufassir dari kalangan sahabat dan tabi'in berbeda pendapat tentang makna az-zũr. Sebagian dari mereka –seperti adh-Dhahãk (w antara 102-106 H), Ibn Zaid (w 93 H), dan Ibn ’Abbãs (w 68 H)- mengartikannya dengan syirik. 174 Ada pula yang mengartikannya dengan kebiasaan orang-orang kafir, nyanyian, dan suatu permainan orang musyrik diberi nama az-zũr. 175 Keberagaman makna di atas dapat dikelompokkan pada perbuatan-perbuatan orang-orang musyrik.

Kata az-zũr bermakna dusta, bohong. kata َرّوز bermakna menghiasi. رّوYZ4ا م\<4ا artinya ucapan yang dihiasi. 176 Kata az-zũr dapat diartikan kebohongan yang dihiasi, sehingga mendekati kebenaran. Meski kata az-zũr lebih populer digunakan pada ucapan, tetapi az-zũr dapat pula berupa perbuatan; perbuatan dusta. Jika dikaitkan dengan kata ﻥﻭﺪﻬﺸﻳ yang berarti menghadiri, maka ayat di atas bermakna tidak menghadiri perbuatan-

perbuatan dusta; buruk –seperti orang-orang musyrik menyembah berhala, permainan-

permaianan mereka-, dan tidak mengadiri ucapan-ucapan dusta, seperti nyanyian- nyanyian yang menjurus pada kemaksiatan. Jika makna ini dapat diterima, maka penafsiran-penafsiran yang dikemukakan as-sulamĩ terkandung dalam makna az-zũr. R روY4ا نوDLNH berarti tidak menghadiri perbuatan-perbuatan dan pembicaraan-pembicaran yang salah. Jika menghadirinya saja tidak dibenarkan, apalagi melakukannya. Sebagaiman terkandung dalam surah al-An’ãm (6) ayat 68, Allah berfirman:

Syirik merupakan bagian paling besar dari az-Zũr, sesuai dengan sabda Nabi:

Dari Anas bin Mãlik berkata: Rasulullah menyebutkan atau ditanya tentang dosa besar, beliau bersabda: menyekutukan Allah, membunuh, dan durhaka pada dua orang tua. Lalu beliau bertanya: maukah kamu saya beritakan dosa besar yang paling besar? (yaitu) ucapan bohong atau sumpah palsu.

Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjãj, Shahĩh Muslim, Kitabu al-Ĩmãn (1), Bãbu Bayãni al-Kabã‘ir wa

Akbarihã (38), 175 no: 88

Abu ’Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, al-Qurthubĩ, al-Jãmi’ li Ahkãmi al-Quran,

jilid 13, hal 79, Ibn Katsĩr, Tafsĩr al- 176 ََ Quran al-’Azhĩm , jilid 6, hal 131 Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 4, hal 333 jilid 13, hal 79, Ibn Katsĩr, Tafsĩr al- 176 ََ Quran al-’Azhĩm , jilid 6, hal 131 Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 4, hal 333

tÏΗÍ>≈©à9$# ÏΘöθs)ø9$# yìtΒ 3“tò2Éj‹9$# y‰÷èt/ ô‰ãèø)s? Ÿξsù ß≈sÜø‹¤±9$#

Artinya: Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat kami, Maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), Maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).

B. Penilaian Ulama

Sebagaimana mufassir-mufassir sufi sebelum as-Sulamĩ, mereka mendapat kecaman ketika penafsiran mereka berbeda dengan penafsiran mayoritas ulama.

Berbagai kecaman juga datang pada Haqã‘iqu at-Tafsĩr sejak abad ke-5, sejak dilontarkan oleh ’Ali bin Ahmad al-Wãhidĩ (w 468 H). Beliau mengatakan, sebagaimana

dikutip Jalãluddin as-Sayũthĩ: "Abu ’Abdirrahmãn as-Sulãmĩ menulis Haqã’iqu at- Tafsĩr. Barangsiapa meyakini tulisan itu sebagai tafsir, ia sesunggugnya telah kafir". Dapat dipamami, selain terhadap Haqã‘iqu at-Tafsĩr, tuduhan al-Wãhidĩ tersebut juga berlaku untuk tafsir sufi secara keseluruhan. Namun, Ibn ash-Shalãh 177 menyanggah tuduhan tersebut. Menurutnya, ungkapan-ungkapan kaum sufi bukanlah penafsiran, karena kalau demikian, tidak ada bedanya dengan kaum Bãthiniyah. Apa yang mereka ungkapakan hanya ungkapan sesuatu yang setara dengan yang setara (kiasan). Meski demikian, pemaknaan seperti itu tidaklah terlalu dipermudah, karena khawatir akan terjadi kesalahpahaman. 178

Abu ’Amr, ’Utsmãn bin ’Abdurrahmãn bin ’Utsmãn. Pakar fikih tafsir, hadits, bahasa, dan fatwa-fatwanya dinilai tepat. Di antara kitabnya yang terkenal adalah ’Ulũmu al-Hadĩts, atau lebih dikenal Muqaddimatu Ibn Shalãh . Jenazahnya dishalatkan dua kali pada tahun 643 H karena banyaknya jamaah. Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 23, hal 140 178

Jalãluddin as-Sayũthĩ, al-Itqãn fĩ ’Ulũmi al-Quran, Maktabatu Dãri at-Turãts, Cairo, 1983, jilid 2, hal 171. Sanggahan Ibn ash-Shalãh, lebih-kurang, sesuai dengan apa yang diutarakan as-Sulãmĩ dalam

Penilaian yang nyaris sama dilontarkan oleh Syamsuddin ad-Dzahabĩ (w 748 H). Setelah memuji keagungan as-Sulamĩ dan karya-karyanya, beliau menganggap bahwa Haqã‘iqu at-Tafsĩr penuh dengan penyimpangan dan penafsiran kaum Qarmithah (Bãthiniyyah). 179

Terlepas dari sanggahan Ibn ash-Shalãh, penilaian al-Wãhidĩ dan ad-Dzahabĩ tersebut jauh dari kebenaran. Menyamakan Haqã‘iqu at-Tafsĩr dengan penafsiran kaum Bãthiniyyah tidak tepat. Kaum Bãthiniyyah mengingkari makna zhahir, sedangkan as- Sulamĩ dengan tegas mengakui makna zhahir, sebagaimana dalam beberapa karyanya yang lain. Hanya saja, beliau sengaja menulis tafsir sesuai dengan penafsiran kaum sufi. Dalam Haqã‘iqu at-Tafsĩr terdapat penafsiran-penafsiran yang sesuai dengan penafsiran ulama zhahir, seperti dalam ayat 35 surah al-Baqarah (2). Selebih dari itu, banyak ulama yang menganggap komentar al-Wãhidĩ di atas sebagai kekeliruan yang dimaafkan. Dan,

bila adz-Dzahabĩ menganggap tafsir as-Sulamĩ penuh dengan penyimpangan, kenapa beliau memuji as-Sulãmĩ dan karya-karyanya?

Oleh karena itu, Tãjuddin as-Subkĩ (w 771 H) membantah anggapan gurunya ad-Dzahabĩ tersebut. Baginya, Haqã‘iqu at-Tafsĩr sebuah kitab yang memuat penakwilan-penakwilan sufi yang tidak sesuai dengan makna zhahir. 180 Husain adz- Dzahabĩ juga menilai bahwa seluruh kandungan Haqã‘iqu at-Tafsĩr bernuansa Isyãrĩ. 181 Satu segi, penilaiain Tãjuddin as-Subkĩ benar, karena tafsir as-Sulamĩ tidak sama dengan penafsiran kaum Bãthiniyyah, melainkan penakwilan-penakwilan sufi. Namun, menyatakan penafsiran-penafsiran as-Sulamĩ tidak sesuai dengan tafsir zhahir tidak

pendahuluannya. Apa yang beliau ungkapkan bukanlah tafsir, melainkan isyarat-isyarat yang halus, yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu. 179

Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Tãrĩkhu al-Islãm wa Wafayãtu al-Masyãhĩr wa al-A’lãm, Dãru al-Kitãb al-’Arabiy, 1993, hal 307. Dalam kesempatan yang lain, beliau menilai bahwa as-Sulãmĩ dengan Haqã‘iqu at-Tafsĩr -nya mendatangkan berbagai musibah dan penakwilan Bãthiniyyah. Lihat: Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Tadzkirat al-Huffãdz, an-Nizhãmiyah, India, tt, jilid 3, 1046 180

’Abdu al-Wahhãb as-Subkĩ, Thabaqãtu asy-Syãfi’iyyah al-Kubrã, Dãru Ihyã‘i al-Kutub al-

’Arabiyyah, Beirut, tt, jilid 4, hal 143 181

Husain adz-Dzahabĩ, at-Tafsĩr wa al-mufassirũn, Maktabah Wahbah, Qairo, 2000, jild 2 jilid 2,

hal 386 hal 386

Ibn al-Jawzĩ (w 597 H) menganggap Haqã‘iqu at-Tafsĩr sebagai tafsir sufi yang penuh dengan makna yang tidak wajar, tanpa landasan satupun dari ilmu pokok (ushũl). 182 Kenyataannya, dari uraian di atas, terdapat kesesuaian antara penafsiran as- Sulamĩ dengan ilmu pokok syariat, paling tidak keserasian dengan al-Quran atau hadits.

Ulama lain yang banyak mengkritik Haqã‘iqu at-Tafsĩr adalah Ibn Taimiyah (w 728 H). Beliau menganggap Haqã‘iqu at-Tafsĩr sebagai salah satu di antara sekian tafsir yang menjelaskan kandungan al-Quran secara benar, namun penjelasan tersebut tidak sesuai dengan kehendak al-Quran. 183 Selain itu, Ibn Taimiyah "memvonis" bahwa Haqã’iqu at-Tafsĩr memuat penafsiran-penafsiran Isyãrĩ, yang sebagiannya benar dan

bermanfaat, sebagian yang lain berupa nukilan yang tidak dapat diterima, dan sebagian lain adalah kebohongan terhadap sumber, seperti yang bersumber dari Ja’far ash-

Shãdiq. 184 Hal ini tidak lepas dari figur Imam Ja’far –beserta ayah dan kakeknya- yang merupakan sosok penuh ilmu dan taat beragama. Oleh karena itu, kelompok Syi’ah, khususnya golongan Rãfidhah, memalsukan riwayat-riwayat dengan me-nisbat-kannya pada Ja’far.

Dua komentar Ibn Taymiyah di atas kiranya dapat dibenarkan. Penilaian pertama mengisyaratkan pada penafsiran yang tidak sesuai pada konteks ayat. Jika merujuk pada metode pertama di atas, salah satu contohnya terlihat dalam penafsiran ayat 106 dari surah al-Baqarah (2). Adapun kategori pertama dari penilaian kedua

183 Abu al-Faraj ’Abdurrrahmãn bin al-Jawzĩ, Talbĩsi Iblĩs, hal 178 Ahmad bin ’Abdul Halĩm bin Taimiyah, Muqaddimah fĩ Ushũli at-Tafsĩr, Dãr Ibn Hazm, Beirut, 1997, hal 82 184

Ahmad bin ’Abdul Halĩm bin Taimiyah, Fatãwã Ibn Taymiyah, Dãru ak-Kutub al-’Ilmiyah,

Beirut, 2000, jilid 6, hal 187 Beirut, 2000, jilid 6, hal 187

As-Sulamĩ tidak memperhatikan kwalitas setiap hadits yang ia kutip. Nampaknya, hal itu beliau tempuh sebagai wujud komitmennya untuk mengungkapkan setiap makna bathin dari al-Quran yang bersumber dari ulama sufi, temasuk Imam Ja’far. Bukankah dalam tafsir ath-Thabarĩ banyak terdapat hadits-hadits lemah dan palsu? Syamsuddin adz-Dzahabĩ memuji as-Sulamĩ dengan pertanyaan-pertanyaan yang beliau ajukan kepada Imam Dãruquthnĩ tentang kwalitas perawi. 185 Pujian tersebut menunjukkan bahwa as-Sulamĩ –selain di bidang tasawuf- juga pakar di bidang hadits.

Meski berbagai penilaian negatif dialamatkan pada as-Sulamĩ, namun beliau adalah sosok yang dicintai baik oleh orang awam atau orang tertentu, oleh pemimpin atau rakyat. Karya-karyanya diterima oleh setiap kalangan, dan dihargai dengan harga

yang tinggi. Guru as-Sulamĩ, Ahmad bin Muhammad bin Zakariya an-Nasawĩ (w 396 H), menghargai Haqã‘iqu at-Tafsĩr dengan seribu dinar. Ketika as-Sulamĩ menempuh

perjalanan ke Hamdan, salah satu pemimpin kota tersebut meminta salinan Haqã‘iqu at- Tafsĩr dengan harga satu kuda dan seratus dinar. Nashr bin Sabkatakĩn (w 412 H), seorang pemimpin perang yang alim, juga menulis Haqã‘iqu at-Tafsĩr sebanyak sepuluh jilid, ayat-ayat di dalamnya ditulis dengan tinta emas. 186 Tidak hanya pada masa hidupnya, tafsir as-Sulamĩ juga menjadi salah satu rujukan bagi ulama-ulama abad selanjutnya. Mukhlis M. Hanafi dalam disertasinya memaparkan beberapa penafsiran Abu al-Fadhl Muhammad bin Husain al-Ma’ĩnĩ (w 584 H) pada akhir kitabnya yang bersumber dari Haqã‘iqu at-Tafsĩr. 187

Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 17, hal 247. Pertanyaan- pertanyaan yang dimaksud adalah sebagaimana termuat dalam: Su‘ãlãt Abĩ Abdirrahmãn as-Sulãmĩ li ad- Dãruquthnĩ 186 .

Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 17, hal 247 Mukhlis M. Hanafi, Kitãbu Lawãmi’u al-Burhãn wa Qawãthi’u al-Bayãn fi Ma’ãni al-Quran;

Dirãsah wa Tahqiq , Jãmi’atu al-Azhar, 2005, jilid 1, hal 85

Ketika membantah aliran Jabariyyah dan Qadariyyah, Abu ’Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al-Anshãrĩ (Imam al-Qurthubĩ, w 671 H) dengan jelas mengutip dari as-Sulamĩ bahwa orang yang benar-benar meyakini segala ibadahnya untuk Allah dan hanya pada-Nya memohon pertolongan (al-Fãtihah: 1 ayat 5), maka ia telah terbebas dari dua aliran tersebut. 188 Begitu juga dalam ayat 3 dalam surah al- Baqarah (2) bahwa iman pada yang ghaib demi kebaikan hati, mendirikan shalat demi kebaikan badan, dan nafkah adalah untuk kebaikan harta. 189 Meski demikian, terdapat pula penafsiran-penafsiran yang di bantah oleh Imam al-Qurthubĩ, seperti penafsiran bahwa orang-orang dimurkai (al-Fãtihah: 1 ayat 7) adalah orang-orang tidak membaca surah al-Fãtihah dalam shalat. 190

Dengan berbagai macam penilaian ulama, Haqã‘iqu at-Tafsĩr tetaplah kitab tafsir yang harus diakaui keberadaannya, dan penulisnya adalah seorang ulama besar.

Penafsiran-penafsiran di dalamnya lebih banyak mengandung manfaat dari pada kekeliruan. Jika kitab-kitab tafsir yang bernunsa fikih –misalnya- dianggap bermanfaat

untuk menambah pengetahuan dalam tata cara bermuamalah dengan Allah dan manusia, maka kitab tafsir ini juga bermanfaat untuk lebih mendekatkan diri pada Allah dengan benar.

Abu ’Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, al-Qurthubĩ, al-Jãmi’ li Ahkãmi al-Quran,

jilid 1, hal 145 189

Abu ’Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, al-Qurthubĩ, al-Jãmi’ li Ahkãmi al-Quran,

jilid 1, hal 179 190

Abu ’Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, al-Qurthubĩ, al-Jãmi’ li Ahkãmi al-Quran,

jilid 1, hal 150

BAB V ANALISIS PENAFSIRAN DALAM HAQÑIQU AT-TAFSĨR

Setelah menguraikan beberapa contoh tentang metodelogi penafsiran as-sulamĩ yang ditinjau dari sisi penafsiran dengan ayat al-Quran, hadits, dan bahasa, berikut ini akan dipaparkan lebih jauh penafsiran-penafsiran as-sulamĩ terhadap tema-tema tertentu dalam al-Quran. Meski tema-tema berikut ini tidak selamanya dikaitkan dengan ayat al- Quran, hadits, dan bahasa, namun pembahasan ini diuraikan untuk melihat lebih jauh tentang penafsiran-penafsiran as-sulamĩ yang dikatakan sesat. Dalam bab ini, menulis menampilkan 43 contoh –dari 2197 ayat- yang ditafsirkan as-sulamĩ. Penulis berusaha bersikap objektif dalam memilih contoh-contoh tersebut, dengan menampilkan penafsiran-penafsiran yang sesuai dengan syariat (dapat diterima), dan penafsiran-

penafsiran yang dipandang bertentangan dengan syariat (al-Quran dan hadits) atau bahasa. Bagaimanapun, penafsiran dalam tafsir ini banyak mengandung kebenaran.

A. Ayat-ayat Kawniyyah

Salah satu metode dakwah yang digunakan al-Quran untuk mengajak manusia beriman pada Allah, serta meyakini kenabian dan hari kebangkitan adalah dengan mengajak manusia memperhatikan alam ini. Bahkan, terdapat sekian banyak ayat al- Quran yang mengajak manusia untuk mengenal Allah dengan memperhatikan alam semesta beserta isinya. Namun, penafsiran yang berbeda terlihat dalam kitab ini. Dengan alasan demikianlah tema ini dijadikan contoh berkenaan dengan penafsiran as- sulamĩ.

Ayat-ayat kawniyyah yang dimaksud adalah ayat-ayat yang berbicara tentang penciptaan alam, serta menyuruh manusia untuk memperhatikan rahasia-rahasia dan hikmah dibalik penciptaan tersebut. Sebagain dari ayat-ayat kawniyyah tersebut mengkisahkan tentang cara Allah menciptakan ciptaan-Nya dan cara mengurusnya, Ayat-ayat kawniyyah yang dimaksud adalah ayat-ayat yang berbicara tentang penciptaan alam, serta menyuruh manusia untuk memperhatikan rahasia-rahasia dan hikmah dibalik penciptaan tersebut. Sebagain dari ayat-ayat kawniyyah tersebut mengkisahkan tentang cara Allah menciptakan ciptaan-Nya dan cara mengurusnya,

Beikut ini dikemukakan beberapa contoh dari penafsiran yang terdapat dalam tafsir as-sulamĩ berkenaan dengan ayat-ayat kawniyyah.

Firman Allah dalam surah Yũnus (10) ayat 5:

$tΒ 4 z>$|¡Åsø9$#uρ tÏΖÅb¡9$# yŠy‰tã (#θßϑn=÷ètFÏ9 tΑΗ$oΨtΒ …çνu‘£‰s%uρ #Y‘θçΡ tyϑs)ø9$#uρ [!$u‹ÅÊ š[ôϑ¤±9$# Ÿ≅yèy_ “Ï%©!$# uθèδ

tβθßϑn=ôètƒ 5Θöθs)Ï9 ÏM≈tƒFψ$# ã≅Å_Áx ム4 Èd,ysø9$$Î/ āωÎ) šÏ9≡sŒ ª!$# t,n=y{

Menurut penafsiran as-sulamĩ, terdapat bermacam-macam matahari. Matahari ma’rifah , cahayanya akan memancar pada anggota tubuh, sehingga menghiasinya untuk berkhidmah. Bulan kerinduan (al-uns) akan mensucikan niat dengan cahaya tauhid, sehingga menempatkannya pada posisi tafrĩd. 192

Hanafĩ Ahmad, at-Tafsĩr al-’Ilmiy li al-ãyãt al-Kawniyyah fi ĩ al-Quran, Dãru al-Ma’ãrif, Mesir,

tt, hal 34 192

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, Dãru al-Kutub al- ’Ilmiyyah, Beirut, 2001, jilid 1, hal 295 Tafrĩd adalah mengasingkan diri dari segala materi, dan mengesakan Allah dalam setiap perbuatan. Sehingga, segala perbuatannya tidak memiliki tujuan tertentu atau imbalan tertentu. Muhammad al-Kalãbadzĩ, at-Ta’arruf li Madzhabi Ahli at-Tashawwuf , Dãru al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, 1400 H, hal 111

Penafsiran as-sulamĩ di atas menggambarkan sisi lain dari matahari. Matahari bukan hanya terbatas pada planet yang menyinari bumi, yang darinya bersumber cahaya, melainkan juga ma’rifah. Bila seseorang memiliki ma’rifah, maka cahayanya akan memancar pada seluruh anggota tubuh, sehingga seluruh anggota tubuhnya senantiasa mengabdi pada Allah. Imam al-Qusyairĩ (w 465 H) menjelaskan, al-Ma’rifah adalah suatu sifat untuk mengetahui Allah sesuai dengan nama-nama-Nya dan dan sifat-sifat- Nya, menjalin muamalah yang benar dengan Allah, menjauhi akhlak yang tercela, menjauhi dari godaan nafsu, dan menjaga hati dari bisikan selain Allah. 193 Sebagaimana bulan yang menerangi malam, sifat al-uns juga dapat mensucikan niat dengan cahaha ketauhidan. Dalam pandangan Imam al-Ghazãlĩ (w 505 H), sifat al-uns adalah salah satu pengaruh yang timbul dari rasa cinta. Seseorang yang mengalami kesenangan hati karena kedekatan dengan Allah dan kehadiran bersama-Nya, dan tidak pernah berpaling

pada yang lain, maka ia telah mencapai tingkat uns. 194 Jika dikaitkan dengan penafsiran as-sulamĩ, seseorang yang telah mencapai pada tingkatan al-uns akan mentuluskan niat

ibadahnya kepada Allah semata. Dengan demikian, jika dapat diterima, penafsiran as- sulamĩ di atas dapat dikategorikan sebagai perumpamaan. Matahari yang menyinari dan menghiasi bumi diumpamakan dengan al-ma’rifah yang menyinari anggota badan agar senantiasa berkhidmah pada Allah. Sementara bulan yang menerangi kegelapan malam diumpamakan dengan al-uns yang menerangi "kegelapan niat". Orang yang selalu rindu pada Allah, karena kedekatan dengan-Nya, akan mentuluskan segala khidmah dan amalannya pada Allah, tanpa mengharap imbalan tertentu.

Abu al-Qãsim ’Abdu al-Karĩm bin Hauzãn, al-Qusyairĩ, ar-Risãlatu al-Qusyairiyyah, Maktabatu

al-Imãm al-A’dzam, Damaskus, tt, hal 472 194 Abu Hãmid al-Ghazãlĩ, Ihyã‘u ’Ulũmi ad-Dĩn, Dãru al-Ma’rifah, Beirut, tt, jilid 4, hal 339

Firman Allah dalam surah ar-Ra’d (13) ayat 3:

Å´øóム( È÷uΖøO$# È÷y`÷ρy— $pκŽÏù Ÿ≅yèy_ ÏN≡tyϑ¨V9$# Èe≅ä. ÏΒuρ ( #\≈pκ÷Ξr&uρ zÅ›≡uρu‘ $pκŽÏù Ÿ≅yèy_uρ uÚö‘F{$# £‰tΒ “Ï%©!$# uθèδuρ

tβρ㍩3x tGtƒ 5Θöθs)Ïj9 ;M≈tƒUψ y7Ï9≡sŒ ’Îû ¨βÎ) 4 u‘$pκ¨]9$# Ÿ≅øŠ©9$#

As-sulamĩ mengungkapkan bahwa, ayat tersebut berbicara tentang kemulian para wali. Allah telah membentangkan bumi dan menancapkan padanya tiang-tiang yaitu para wali-Nya, dan pemimpin-pemimpin dari para hamba-Nya. Kepada merekalah tempat berlindung, dan kepada merekalah memohon bantuan. Orang yang berjalan menuju para wali akan beruntung. Sebaliknya, barangsiapa yang usahanya bukan untuk mereka, maka ia akan rugi. 195

Ayat di atas dengan jelas menyatakan bahwa Allah telah menjadikan gunung- gunung berdiri dengan tegak terhadap bumi yang dibentangkan-Nya. Hal ini karena

gunung berfungsi sebagi tiang untuk menjaga keseimbangan bumi, sebagaimana disebutkan dalam surah an-Naba’ (78) ayat 7. Jika dikaitkan dengan penafsiran as-

sulamĩ, barangkali penafsiran ini dapat dikategorikan pula dalam bentuk perumpamaan. Jika gunung –benda tidak berakal- dijadikan sebagai tiang untuk menjaga keseimbangan bumi, maka –dalam penafsiran as-sulamĩ - Allah menjadikan para wali –makhluk yang berakal- sebagai tiang untuk menjaga keseimbangan penghuni bumi.

Penafsiran yang mungkin agak rancu adalah menjadikan para wali sebagai pelindung dan penolong, serta menganggap beruntung orang yang menemui para wali. Dalam sebuah hadits qudsĩ diyatakan:

195 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 295

Dari Abi Hurairah, ia berkata: Rasulullah bersabda: sesungguhnya Allah berkata: "barangsiapa memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengizankan untuk memeranginya. Dan tidaklah hamba-Ku mendekati-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai kecuali melebihi dari apa yang telah Aku wajibkan padanya, dan tidaklah hamba-Ku mendekati-Ku dengan amalan sunah kecuali Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengaran yang ia dengar dengannya, dan penglihatannya yang ia lihat dengannya, dan tangannya yang ia bentanggakan dan kakinya yang ia berjalan dengannya. Dan apabila ia meminta pada-Ku, sungguh Aku akan memberkannya, apabila dia meminta perlidungan-Ku, sungguh Aku akan melindunginya. Dan Aku tidak memiliki keraguan terhadap pekerjaan-Ku kecuali keraguan-Ku terhadap orang beriman yang membenci maut, Aku pun membenci kebenciannya." Dari hadits di atas dapat dipahami, orang yang memusuhi orang yang Allah

cintai (wali) berarti telah menantang Allah. Siapa yang menantang Allah, Ia akan mengancamnya, siapa yang diancamnya-Nya, Ia akan menghancurkan orang tersebut. Sebaliknya, orang yang mencintai wali Allah dan menuju padanya, maka ia akan beruntung karena Allah akan mencintainya. Ketekunan dalam menunaikan ibadah sunah untuk mendekatkan diri pada Allah merupakan salah satu ciri seorang wali. Karena kedekatan tersebutlah ia memperoleh apa yang terkandung dalam kelanjutan hadits di atas.

Dengan demikian, penafsiran as-sulamĩ merupakan bentuk pemulian dan penghormatan terhadap para wali. Jika pertolongan yang dimaksud adalah pertolongan

Muhammad bin Ismail al-Bukhãrĩ, al-Jãmi’ ash-Shahĩh, Kitãbu ar-Riqãq (84) Bãbu at-

Tawãdhu’ (38), no: 6137 Tawãdhu’ (38), no: 6137

Ketika menafsirkan ayat 16 dalam surah al-Hijr (15):

š̍Ïà≈¨Ψ=Ï9 $yγ≈¨Ψ−ƒy—uρ %[`ρãç/ Ï!$yϑ¡¡9$# ’Îû $uΖù=yèy_ ô‰s)s9uρ

Secara zhahir, ayat tersebut dengan jelas menyatakan bahwa Allah menghiasi langit dengan bintang-bintang, dan menjadikan bintang-bintang tersebut sebagai tanda untuk menempuh perjalanan darat dan laut dalam kegelapan. Ayat tersebut juga memberi isyarat bahwa Allah telah menghiasi hati dengan berbagai cahaya agar dijadikan petunjuk untuk memperoleh al-ma’rifah. Hanya mereka yang terbuka mata hatinya yang dapat menjadikan tanda-tanda tersebut sebagai petunjuk. 197

Penafsiran as-Sulamĩ di atas dengan jelas tergambar dalam konteks perumpamaan. Kata kerja dari ء Z04ا adalah $Z0H – Z: , yang berarti tinggi ( K+&را – \> ) .

ء Z04ا adalah sesuatu yang tinggi atau atap dari sesuatu. Langit dinamakan ء Z04ا karena ia menjadi atap bagi bumi. 198

Jika Allah menjadikan bintang-bintang di langit sebagai hiasan, dan juga sebagai petunjuk dalam perjalanan manusia (al-Nahl; 16 ayat 16), hal yang sama juga berlaku pada manusia. Tidak bisa dipungkri bahwa hati memiliki kedudukan yang tinggi bagi manusia, meski ia tidak berada pada bagian tertinggi dari tubuh manusia. Imam al- Ghazalĩ menyatakan bahwa hati merupakan raja bagi anggota tubuh yang lain, dan menyetarakan ketaatan anggota tubuh terhadap hati dengan ketaatan malaikat kepada Allah, yang tidak bisa dilanggar. Hanya saja, ketaatan malaikat pada Allah mesti benar, sementara ketaatan anggota tubuh tehadap hati boleh jadi benar, boleh jadi pula salah. 199 Bahkan, Rasul memberi ultimatum bahwa baik atau buruknya seseorang tergantung pada

198 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 351

199 Ibn Manzhũr al-Ifriqĩ, Lisãn al-’Arab, Daru Shãdir, Beirut, tt, jilid 14, hal 397 Abu Hãmid al-Ghazãlĩ, Ihyã‘u ’Ulũmi ad-Dĩn, jilid 3, hal 5 199 Ibn Manzhũr al-Ifriqĩ, Lisãn al-’Arab, Daru Shãdir, Beirut, tt, jilid 14, hal 397 Abu Hãmid al-Ghazãlĩ, Ihyã‘u ’Ulũmi ad-Dĩn, jilid 3, hal 5

Contoh lain terlihat ketika as-Sulamĩ menafsirkan ayat 61 dalam surah an-Naml (27):

3 #¹“Å_%tn Ç÷ƒtóst7ø9$# š÷t/ Ÿ≅yèy_uρ €†Å›≡uρu‘ $oλm; Ÿ≅yèy_uρ #\≈yγ÷Ρr& !$yγn=≈n=Åz Ÿ≅yèy_uρ #Y‘#ts% uÚö‘F{$# Ÿ≅yèy_ ¨Βr&

šχθßϑn=ôètƒ Ÿω öΝèδçŽsYò2r& ö≅t/ 4 «!$# yì¨Β × ≈s9Ïr&

Dalam menafsirkan ayat tersbut, as-Sulamĩ merujuk pada Ibn ’Athã‘ (w 309 H). Menurutnya, bumi (ضر`ا) yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah jiwa (@+a4ا). Allah menamakan jiwa dengan bumi karena jiwa tercipta dari bumi (tanah), dan jiwa selalu

berada di sekitar tanah di saat hidup atau mati. Seakan-akan, ayat tersebut menanyakan: Siapakah yang telah menjadikan bagi jiwa tempat berdiam ketika bermunajat di waktu

sempit, dan yang menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, yaitu lidah yang selalu berdzikir, mata yang melihat dengan mengambil pelajaran, dan telinga yang mendengar dengan kesadaran, dan yang menjadikan untuk jiwa-jiwa tersebut gunung-gunung untuk

Hadits yang dimaksud adalah: ﺱ ﺎﻨﻝﺍ ﻥﻤ ﺭﻴﺜﻜ ﻥﻬﻤﻠﻌﻴ ﻻ ﺕ ﺎﻬﺒﺘﺸﻤ ﺎﻤﻬﻨﻴﺒﻭ ﻥﻴﺒ ﻡﺍﺭﺤﻝﺍ

Rasulullah bersabda: sesungguhnya perkara halal adalah jelas, dan perkara haram pun jelas. Di antara keduanya ada perkara syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa berhati-hati pada perkara syubhat, maka ia telah membersihkan diri untuk agama dan kehormatannya. Barangsiapa tergelincir dalam syubhat, berarti ia telah jatuh dalam keharaman, seperti pengembala yang mengembala di sekitar tanah terlarang, sedikit demi sedikit ia akan jath ke dalamnya. Ketahuilah, tiap-tiap raja punya tanah larangan. Ketahuilah sesungguhnya larangan Allah adalah hal yang diharamkan. Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Apabila (daging tersebut) baik, akan baik pula seluruh tubuh. Apabila (daging tersebut) rusak, akan rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah, sessungguhnya ia adalah hati

Muslim bin al-Hajjãj al-Qusyairĩ, Shahĩh Muslim, Kitãbu al-Masãqãtu (22), Bãbu Akhdzi al-Halãl wa Tarki asy-Syubhãt (20), no: 1599

(mengkokohkan)nya yaitu para wali sebagai rujukan di waktu menyimpang, lalu mengembalikanya pada jalan yang benar, dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut, yaitu di saat ingat (Allah) dan di saat lalai. Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain) yang dapat berbuat kelembutan seperti ini? 201

Ulama-ulama tafsir zhahir mengartikan kata ضر`ا dalam ayat tersebut dengan bumi. Bumi, salah satu planet di alam ini yang keberadaannya tergantung, bisa berdiri dengan kokoh tanpa goyah sedikitpun, padahal di bumi yang bergantung tersebut terdapat sungai-sungai. Allah juga menjadikan gunung sebagai penopang bumi, dan di bumi juga terdapat pemisah yang erat agar tidak bercampur antara laut yang asin dengan laut yang tawar. Keadaan yang demikian menunjukkan keaguangan ciptaan Allah yang tidak dapat diciptakan oleh tuhan yang lain. 202

Penafsiran yang dikemukakan as-Sulamĩ di atas mengambarkan konteks perumpamaan. Dengan rahmat-Nya, Allah menjadikan manusia tenang untuk

bermunajat di kala sempit, dan menjadikan bagi manusia organ-organ untuk tujuan tertentu, dan menjadikan para wali sebagai penopang di saat manusia menyimpang, serta memberi peringatan antara waktu mengingat Allah dan waktu lalai terhadap-Nya. Jika penafsiran di atas dipahami dalam konteks perumpamaan, maka penafsiran tersebut dapat diterima. Tentunya, kata "sungai" dalam ayat tersebut –dan kelanjutannya- tidak dapat diartikan dengan lidah, mata, atau telinga. Kenyataannya, Ibn ’Athã‘ mengartikan kata "bumi" dengan "jiwa". Kata al-Ardh berarti sesuatu yang rendah. Bumi tempat kita berada dinamakan al-Ardh karena di merupakan bagian terendah dari manusia. 203 Ada pun kata an-Nafs, pada dasarnya berarti ar-Rũh (az-Zumar: 39 ayat 42). Selain ar-Rũh, an-Nafs juga berarti darah karena ruh keluar dengan keluarnya darah. Selain itu an-Nafs

202 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 2, hal 94 Abu al-Fidã‘ Ismã’ĩl bin ’Umar bin Katsĩr, Tafsĩr al- ََ Quran al-’Azhĩm , Dãru Thayyibah, jilid 6, hal 203, Muhammad Thãhir bin ’Ãsyũr, at-Tharĩr wa at-Tanwĩr, ad-Dãr at-Tũnĩsiyyah, Tunis, 1984, jilid 20,

hal 13 203 Ibn Manzhũr al-Ifriqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 7, hal 111 hal 13 203 Ibn Manzhũr al-Ifriqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 7, hal 111

B. Kisah Para Rasul

Sebagai kitab dakwah, al-Quran mengajak manusia untuk beriman dengan berbagai cara, di antaranya adalah dengan menceritakan kisah umat-umat masa lampau. Bahkan, sebagian besar isi al-Quran mengkisahkan tentang umat-umat masa lampau. Pengkisahan tersebut diharapkan menjadi pelajaran bagi umat setelahnya. Kisah umat

nabi Nuh diharapkan menjadi pelajaran bagi umat nabi Hud, apa yang menimpa umat nabi Hud menjadi gambaran bagi umat nabi Shalih, dan seterusnya. Secara tegas, al- Quran menyatakan bahwa terdapat pelajaran-pelajaran yang berharga dari kisah-kisah para nabi terdahulu, khususnya bagi mereka yang berakal, (Yusuf: 12 ayat 111). Apalagi, sebagaimana diungkapkan pada bab terdahulu, sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan makna bathin al-Quran adalah kisah masa lampau yang menjadi pelajaran bagi umat setelahnya. Dari ayat-ayat kisah pula, sebagian ulama hukum menetapkan suatu hukum dengan mengambil kesimpulan dari ayat-ayat yang menceritakan kisah-kisah masa lampau.

Dengan fakta tersebut, pemaparan berikut ini akan difokuskan pada kisah-kisah para Rasul. Dengan banyaknya jumlah yang dikisahkan al-Quran, penulis hanya memeilih beberapa ayat yang berbicaara tentang nabi Nuh, nabi Ibrahim, nabi Musa, dan nabi Isa. Empat Rasul tersebut dipilih dengan memperhatikan status mereka sebagai Ulũ al-’Azm .

Ibn Manzhũr al-Ifriqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 6, hal 233

1. Nuh Al-Quran menyebutkan 43 kali nama nabi Nuh, tersebar dalam 28 surah. Penyebutan dengan jumlah sekian kali, di antaranya menguraikan kisah nabi Nuh beserta pengikutnya yang beriman, atau berkaitan dengan apa yang dialami oleh mereka yang mengingkarinya –seperti disebutkan dalam surah al-A’rãf (7) ayat 59-64, Yunus (10) 71-

73, Hũd (11) 25-50, al-Anbiyã‘ (21) 76-77, al-Mu‘minũn (23) 23-31, asy-Syu’arã‘ (26) 105-122, al-’Ankabũt (29) 14-15, ash-Shaffãt (37) 75-83, al-Qamar (54) 9-16, dan dalam satu surah secara keseluruhan Nuh (71)- ataupun hanya sepintas lewat untuk mencela atau menggambarkan apa yang ditimpakan pada kaum nabi Nuh yang kafir sebagai peringatan bagi umat setelahnya –seperti dalam surah at-Taubah (9) ayat 70, Ibrahim (14) 9, al-Isrã‘ (17) 17, Shãd (38) 12-15, Ghãfir (40) 5-6, Qãf (50) 12-15, adz-Dzãriyãt (51) 46, dan an-Najm (53) 52. Ada pula penyebutan nama nabi Nuh dalam kontek pujian

baginya –seperti dalam surah Ãli ’Imrãn (3) ayat 33, an-Nisã‘ (4) ayat 163, al-An’ãm (5)

83, al-Isrã‘ (17) 3, al-Ahzãb (33) 7, asy-Syũrã (42) 13, dan al-Hadĩd (57) 26. Dari sekian ayat yang menceritakan kisah nabi Nuh, terdapat beberapa ayat yang ditafsirkan as-Sulamĩ. Dalam surah Hud (11) ayat 27, Allah berfirman:

öΝèδ šÏ%©!$# āωÎ) šyèt7¨?$# š1ttΡ $tΒuρ $oΨn=÷VÏiΒ #\t±o0 āωÎ) š1ttΡ $tΒ Ï ÏΒöθs% ÏΒ (#ρãx x. tÏ%©!$# _|yϑø9$# tΑ$s)sù šÎ/É‹≈x. öΝä3–ΨÝàtΡ ö≅t/ ¤≅ôÒsù ÏΒ $uΖøŠn=tã öΝä3s9 3“ttΡ $tΒuρ Ä“ù&§9$# y“ÏŠ$t/ $oΨä9ÏŒ#u‘r&

Mereka yang menantang nabi Nuh dan para Rasul Allah yang lain, menurut Abu al-Faraj ’Abdu al-Wãhid bin Bakr al-Wãrtsani (salah seorang guru as-Sulamĩ, w 372 H), karena mereka hanya melihat Nabi Allah tersebut sebagai sosok manusia biasa yang memiliki raga seperti mereka. Orang-orang kafir itu tidak melihat hakikat para Nabi sebagai sosok utusan Allah serta kekhususan yang mereka miliki berupa pengabaian segala keperluan pribadi mereka, guna menjadi rahmat bagi kaumnya. Karena penglihatan itulah mereka mengatakan: "Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami," yang membutuhkan makanan dan Mereka yang menantang nabi Nuh dan para Rasul Allah yang lain, menurut Abu al-Faraj ’Abdu al-Wãhid bin Bakr al-Wãrtsani (salah seorang guru as-Sulamĩ, w 372 H), karena mereka hanya melihat Nabi Allah tersebut sebagai sosok manusia biasa yang memiliki raga seperti mereka. Orang-orang kafir itu tidak melihat hakikat para Nabi sebagai sosok utusan Allah serta kekhususan yang mereka miliki berupa pengabaian segala keperluan pribadi mereka, guna menjadi rahmat bagi kaumnya. Karena penglihatan itulah mereka mengatakan: "Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami," yang membutuhkan makanan dan

Secara singkat, penafsiran di atas dapat dipahami bahwa para Rasul adalah manusia biasa sebagaimana manusia yang lain, yang membutuhkan makanan dan minuman, serta berjalan-jalan di pasar. Hanya saja, kepada mereka diberikan wahyu untuk disampaikan pada umatnya. Para Rasul tidak pernah meminta pamrih pada umatnya dan tidak pernah menyesal terhadap apa yang mereka sampaikan. Penafsiran seperti ini selaras dengan apa yang diungkapkan al-Quran perihal kegiatan para Rasul. Al-Quran menegaskan, para Rasul adalah manusia biasa yang disuruh untuk menyampaikan wahyu Allah pada umatnya. Pernyataan demikian setidaknya

diungkapakan oleh nabi Muhammad (al-Kahf: 18 ayat 110) dan nabi Isa (Maryam: 19 ayat 30).

WξuΚtã ö≅yϑ÷èu‹ù=sù Ï În/u‘ u!$s)Ï9 (#θã_ötƒ tβ%x. yϑsù ( Ó‰Ïn≡uρ × ≈s9Î) öΝä3ßγ≈s9Î) !$yϑ‾Ρr& ¥’n<Î) #yrθムö/ä3è=÷WÏiΒ ×Ž|³o0 O$tΡr& !$yϑ‾ΡÎ) ö≅è%

#J‰tnr& ÿÏ În/u‘ ÍοyŠ$t7ÏèÎ/ õ8Ύô³ç„ Ÿωuρ $[sÎ=≈|¹

Artinya: Katakanlah: Sesungguhnya Aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".

$wŠÎ;tΡ Í_n=yèy_uρ |=≈tGÅ3ø9$# zÍ_9s?#u «!$# ߉ö7tã ’ÎoΤÎ) tΑ$s%

Artinya: Berkata Isa: "Sesungguhnya Aku Ini hamba Allah, dia memberiku Al Kitab (Injil) dan dia menjadikan Aku seorang nabi,

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 317

Sebagai manusia biasa, para Rasul juga menjalankan aktifitas sebagimana layaknya orang lain (al-Furqãn: 25, ayat 20). Selama menjalankan tugasnya untuk menyampaikan wahyu, para nabi tidak pernah memaksa kaumnya untuk beriman padanya, tugas mereka hanyalah menyampaikan apa yang diperintahkan Allah (at- Taghãbun: 64, ayat 12) dan tidak pernnah meminta imbalan pada kaumnya (asy- Syu’arã‘: 26, ayat 109).

Terdapat berbagai ciri-ciri atau sifat-sifat lain yang digambarkan al-Quran perihal Rasul sebagai manusia mereka, selain ciri-ciri yang diungkapkan ayat di atas. Orang-orang yang beriman padanya, dan beriman terhadap apa yang disampaikan tidak akan mempersoalkan sosok Rasul sebagai manusia biasa, mereka hanya melihat dan mendengar apa yang Allah sampaikan padanya, dan tentunya beriman pada mereka meski ditindas oleh orang-orang yang tidak beriman pada Rasul.

Dalam surah Hud (11) ayat 29, Allah berfirman :

4 (#þθãΖtΒ#u tÏ%©!$# ÏŠÍ‘$sÜÎ/ O$tΡr& !$tΒuρ Menurut Abu ’Utsmãn, 206 ayat tersebut menyatakan kalau nabi Nuh tidak akan berpaling dari orang-orang yang menuju (ridha) Allah. Barangsiapa yang mendatangi Allah dengan sungguh-sungguh, maka Allah akan mendatanginnya. Oleh karena itu, barangsiapa berpaling dari orang yang didatangi Allah, berarti ia berpaling dari Allah. 207

Dari penafsiran tersebut, terlihat bahwa Abu ’Utsmãn memahami kata thãrid – yang merupakan bentuk kata subjek dari د b- dengan arti berpaling (/> ض >). Kata tharada populer diartikan dengan mengusir, menjauhi. Makna yang sama juga terkandung dalam kata /> ض >أ. 208 Dengan demikian, terlihat kesesuaian penafasiran kata tharada dengan kata a’aradha ’an dalam ayat ayat dia atas, karena mengusir atau

206 Sebagaimana dalam penyebutan Ja’far, as-Sulamĩ tidak menjelaskann nama lenkap dari Abu ’Utsmãn yang dimaksud, apakah Abu ’Utsmãn al-Maghribĩ (Sa’ĩd bin Salãm, w 373 H), atau Abu ’Utsmãn al-

Hĩrĩ, (Sa’ĩd bin Ismã’ĩl, w 298 H). Penyebutan seperti ini banyak ditemukan dalam tafsir as-Sulamĩ. 207

208 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 317 Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 3, hal 267 208 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 317 Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 3, hal 267

Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah bersabda: sesungguhnya Allah mengatakan: Aku sesuai dengan dugaan hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku bersamanya (dengan rahmat-Ku) ketika ia menyebutku. Jika ia menyebutku dalam dirinya, Aku menyebutnya dalam diri-Ku. Jika ia menyebut-Ku dalam suatu perkumpulan, Aku menyebutnya dalam suatu perkeumpulan yang lebih

baik dari mereka. Qpabila ia mendekati-Ku sejengkal, Aku mendekat padanya sehasta. Jika ia mendekati-Ku sehasta, Aku mendekatinya dua hasta. Jika ia

mendatangi-Ku berjalan, Aku mendatanginya berlari. ﺩـ ﻘﻓ ﺎﻴﻝﻭ ﻲ ﻝ

Dari Abi Hurairah, ia berkata: Rasulullah bersabda: sesungguhnya Allah berkata: "barangsiapa memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengizankan untuk memeranginya. Hadits pertama di atas mengaskan kesiapan Allah untuk melakukan apa yang

diinginkan oleh hamba-Nya. Selain itu, hadits tersebut juga menunjukkan kedekatan Allah berlipat dari cara hamba mendekatkan diri pada-Nya. Adapun hadits kedua

209 Muslim bin al-Hajjãj al-Qusyairĩ, Shahĩh Muslim, Kitãbu adz-Dzikr wa ad-Du’ã‘ wa at-Tawbah

wa al-Istighfãr (48), Bãbu al-Hatsttsi ’alã Dzikr Allah (1) 210 , no: 2675

Muhammad bin Ismã’ĩl al-Bukhãrĩ, al-Jãmi’ ash-Shahĩh, Kitãbu ar-Riqãq (84) Bãbu at-

Tawãdhu’ (38), no: 6137 Tawãdhu’ (38), no: 6137

Masih dalam surah Hud (11) ketika menafsirkan ayat 37: tβθè%tøó•Β Νåκ¨ΞÎ) 4 (#þθßϑn=sß tÏ%©!$# ’Îû Í_ö7ÏÜ≈sƒéB Ÿωuρ $oΨÍŠômuρuρ $uΖÏ⊥ã‹ôãr'Î/ y7ù=à ø9$# ÆìoΨô¹$#uρ

Isyarat yang terkandung dalam ayat di atas menurut al-Junaid (w 230 H) adalah, barangsiapa beramal saleh sesuai dengan musyãhadah, 211 maka ia akan memperoleh keridhaan dari Allah. 212

Dalam pandangan Sariy bin al-Mughallas as-Saqathĩ (paman sekaligus guru al- Junaid, w 253 H), ayat di atas memberi isyarat bahwa segala sesuatu yang dilakukan

hamba harus dengan pengawasan Allah, bukan pengawasan diri sendiri, apalagi makhluk lain. Sementara itu, ulama sufi yang lain memahami behtera ayat tersebut sebagai sarana penyelematan. Nabi Nuh diperintahkan untuk membuat perahu, tetepi beliau dilarang untuk berlindung dengan perahu tersebut. Seandainya perahu tersebut dijadikan satu- satunya sarana perlindungan, maka nabi Nuh tidak memperoleh pertolongan dan perlindungan dari Allah. 213

Mayoritas ulama tafsir mengartikan kata bi a’yuninã dalama ayat di atas dengan makna pengawasan, karena mata merupakan simbol untuk mengawasi. Oleh karena nabi Nuh manusia pertama yang membuat bahtera, beliau membuatnya sesuai dengan

211 Musyãhadah adalah kehadiran Allah dalam jiwa, sehingga melihat segala sesuatu dengan unsur tauhid. Abu al-Qãsim ’Abdu al-Karĩm bin Hauzãn, al-Qusyairĩ, ar-Risãlatu al-Qusyairiyyah, hal 176, ’Alĩ bin

Muhammad al-Jurjãnĩ, at-Ta’rĩfãt, Dãru al-Kitãb al-’Arabiy, Beirut, 1405 H hal 274 212

213 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 2, hal 33 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 318 213 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 2, hal 33 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 318

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa bahtera yang dibuat nabi Nuh –dengan pengawasan Allah- dapat digunakan untuk menyelamatkannya beserta orang-orang yang beriman

dikemukakan as-Sulamĩ menggambarkan pemahaman yang lebih luas. Segala perbuatan yang dilakukan hamba hendaknya harus merasa dalam pengawasan Allah. Bila hamba senatiasa merasa dalam pengawasan Allah, ia akan mengerjakannya dengan sungguh-sungguh, dan segala perbuatannya akan diridhai-Nya, serta senantiasa dalam tuntunan-Nya. Merasa dalam pemgawasan Allah dalam segala kesempatan, khususnya dikala sendiri, berarti ia telah beriman pada yang ghaib, beriman pada yang ghaib merupakan salah satu ciri orang yang bertakwa dan Allah selalu membuka "jalan" dari kesusahan dan menuntunnya.

Demikian pemahaman jika ayat 3 dalam surah al-Baqarah (2) dikaitkan dengan surah ath-Thalãq (65) ayat 2.

Dalam surah Hud (11) juga, Allah berfirman dalam ayat 47: zÏiΒ à2r& ûÍ_ôϑymös?uρ ’Í< öÏ øós? āωÎ)uρ ( ÖΝù=Ïã Ï Î/ ’Í< }§øŠs9 $tΒ šn=t↔ó™r& ÷βr& šÎ/ èŒθããr& þ’ÎoΤÎ) Éb>u‘ tΑ$s% zƒÎŽÅ£≈y‚ø9$#

Mengutip dari Abu Sa’ĩd al-Kharrãz (w 286 H), nabi Nuh adalah salah satu nabi pilihan dan beliau salah satu dari nabi ulũ al-’azm, dan telah menuruti segala perintah Allah selama sembilan ratus lima puluh tahun. Tetapi suatu ketika nabi Nuh mengatakan: "sesungguhnya anakku adalah dari keluargaku, tetapi Engkau menguasainya ". Dengan ucapan tersebut, nabi Nuh menangis untuk mohon ampun

Abu ’Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, al-Qurthubĩ, al-Jãmi’ li Ahkãmi al-Quran, jilid 9, hal 30, Muhammad Thãhir bin ’Ãsyũr, at-Tharĩr wa at-Tanwĩr, Dãru Ihyã‘i at-Turãts al-’Arabiy, Beirut, 1985, jilid 12, hal 66 Abu ’Abdillah Muhammad bin ’Umar Fakhrudduĩn ar-Rãzĩ, Mafãtihu al-Ghaib, al-Maktabah at-Tawfĩqiyyah, Cairo, tt, jilid 17, hal 184

Penafsiran Abu Sa’ĩd tersebut seakan ingin menegaskan, jika seorang nabi dari ulũ al-’azm meminta ampun pada Allah selama satu tahun karena permohonannya yang keliru, apa yang harus dilakukan oleh hamba biasa? Namun, benarkah nabi Nuh menangis minta ampun selama satu tahun?

Guru besar sejarah Islam di al-Azhar, ’Abdu al-Wahhãb an-Najjãr, menyatakan bahwa nabi Nuh memohon ampunan dan rahmat atas kesalahannya selama keberadaannya dalam bahtera. 216 Adapun masa keberadaan nabi Nuh di kapal, sebagaimana disebutkan Ibn ’Abbãs (w 68 H), adalah seratus lima puluh hari. Qatãdah (w 118 H) merincikan, seratus lima puluh hari adalah masa perjalanan kapal yang dimulai pada hari kesepuluh dari bulan Rajab. Setelah menempuh perjalanan selama

seratus limapuluh hari, nabi Nuh beserta orang-orang yang beriman lainnya "beristirahat" selama tiga puluh hari, sebelum turun dari kapal pada hari kesepuluh dari

bulan Muharram. 217 Penafsiran lain berkenaan dengan kisah nabi Nuh adalah surah al-Mu‘minũn (23) ayat 29:

t,Î!Í”∴ßϑø9$# çŽöyz |MΡr&uρ %Z.u‘$t7•Β Zωu”∴ãΒ Í_ø9Ì“Ρr& Éb>§‘ ≅è%uρ Tempat yang paling diberkati –menurut Ibn ’Athã‘ (w 309 H)- adalah tempat yang menyelamatkan manusia dari bisikan nafsu, kejahatan hawa nafsu, dan godaan setan, serta tempat yang dapat mendorong manusia untuk mendekatkan diri dengan Allah, dan dapat membebaskan hati dari nafsu serta berbagai kesesatan lainnya. 218

216 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 318

217 ’Abdu al-Wahhãb an-Najjãr, Qashashu al-Anbiyã‘, Dãru al-Hadits, Cairo, 2004. hal 54 Abu al-Qãsim ’Alĩ bin Hasan; Ibn ’Asãkir, Tãrĩkhu Damsyaq, Dãru al-Fikr, Beirut, tt jilid 62, hal 267, Ibn Katsĩr, Tafsĩr al- 218 ََ Quran al-’Azhĩm , jilid 4, hal 324.

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 2, hal 34

Sebagian ulama tafsir berpendapat bahwa doa di atas diucapkan ketika nabi Nuh hendak menaiki kapalnya, supaya beliau beserta pengikutnya diselamatkan dari bencana. Pendapat ini dikuatkan dengan ayat sebelumnya: "Apabila kamu dan orang- orang yang bersamamu Telah berada di atas bahtera itu, Maka ucapkanlah: "Segala puji bagi Allah yang Telah menyelamatkan kami dari orang-orang yang zalim." Ibn ’Abbãs (w 68 H) dan Mujãhid (w antara 101-104 H) berpendapat kalau perintah tersebut hendaknya diucapkan ketika keluar dari kapal. Dengan harapan, Allah menempatkan nabi Nuh pada tempat yang diberkahi dengan air dan pepohonan. Pendapat kedua ini dikuatkan dengan ayat 48, surah Hud (11): Difirmankan: "Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari kami atasmu dan atas umat-umat (yang mukmin) dari orang-orang yang bersamamu." 219

Kata mubãrak merupakan bentuk kata objek (ism maf’ũl) dari kata كر U. eآر U, eE2> كر U, e4 كر U, dan eEJ كر U, semuanya memiliki satu makna, yaitu memberi berkah. Asal

katanya, ك A4ا, berarti tambahan (ةد HY4ا). Dengan demikian, mubãrak berarti yang diberi kebaikan yang banyak. 220

Sebagaimana sifat al-Quran yang mubãrak (al-An’ãm: 6 ayat 92) dapat memberi kebaikan kepada pembacanya, penafsiran di atas seakan memberi isyarat bahwa tambahan kebaikan bukan hanya sekedar bersifat materi, namun juga bersifat immateri, yaitu terhindarnya hati dari bisikan nafsu dan bisikan setan, serta diberi tambahan berupa kedekatan dengan Allah. Jika doa tersebut hanya dikhususkan ketika dalam perjalanan, maka penafsiran di atas dapat dianggap kurang tepat, karena orang yang menempuh perjalanan layaknya mengharapkan keberkahan materil. Sebaliknya,

Abu ’Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, al-Qurthubĩ, al-Jãmi’ li Ahkãmi al-Quran, jilid 12, hal 120, Muhammad bin Ya’qub al-Fairũz Ãbãdĩ, Tanwĩru al-Miqbãs min Tafsĩri Ibn ’Abbãs, Dãru al- Fikr, Beirut, 1995, hal 344, Abu ’Abdillah Muhammad bin ’Umar Fakhrudduĩn ar-Rãzĩ, Mafãtihu al-Ghaib, jilid 23, hal 89 220

Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 10, hal 395 Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 10, hal 395

Dari Abu Amãmah, bahwa Rasulullah bersabda: Barangsiapa berwudhu di rumahnya lalu ia pergi ke mesjid untuk belajar atau mengajar, maka Allah menetapkan satu kebaikan, dan satu kebaikan lain untuk menghapus dosanya dalam setiap langkahnya. Ketika ia sampai di mesjid dan berdoa: "Ya

Tuhanku, tempatkanlah Aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau adalah

sebaik-baik yang memberi tempat", maka Allah menetapkan pahala baginya seperti orang yang memerdekakan hambasahaya.

Hadits di atas mempertegas bahwa keberkahan tidak hanya bersifat materi, tetapi juga bersifat immateri. Layaknya, tidak ada keberkahan dalam mesjid kecuali ketenangan jiwa untuk semakin mendekatkan diri pada Allah.

2. Ibrahim Penyebutan nama nabi Ibrahim dalam al-Quran terulang sebanyak 69 kali, terdapat dalam 25 surah. Surah al-Baqarah (2) merupakan surah terbanyak menyebutkan nama nabi Ibrahim, sebanyak 15 kali. Penyebutan kisah nabi Ibrahim dapat dikatakan "detail". Allah memberi petunjuk kepada nabi Ibrahim sejak beliau kecil, seperti terlihat dalam surah al-Anbiyã‘ (21) ayat 51. Al-Quran juga menyebutkan nama ayahnya, (al-

221 Abu al-Qãsim, Tamãm bin Muhammad, Fawã‘idu Tamãm, Maktabatu ar-Rusyd, Saudi, 1997, jilid 4, hal 66. Dalam rentetan perawi hadits tersebut terdapat Jãmi’ bin Tsawb asy-Syãmĩ, yang oleh Imam al-

Bukhãrĩ dihukumi sebagai munkiru al-Hadĩits. Sementara perawi yang lain tsiqah. al-Bukhãr’ĩ, At-Tãrĩkh ash- Shaghĩr , Dãru al-Wa’y, Cairo, 1977. jilid 2, hal 190.

An’ãm: 6, ayat 74), perlawanan beliau dengan cara yang santun terhadap ayahnya, perlawanan beliau terhadap kaumnya dengan cara yang lembut, sampai dengan cara yang keras serta akibat yang beliau terima, sampai penyembelihan anaknya Ismail. Kisah-kisah nabi Ibrahim tersebut –dalam pandangan as-Sulamĩ- mengandung makna- makna dan isyarat yang menjadi teladan bagi orang-orang beriman. Terdapat beberapa ayat yang ditafsirkan as-Sulamĩ berkenaan dengan kisah nabi Ibrahim.

Dalam surah al-Baqarah (2) ayat 124 Allah berfirman: ãΑ$uΖtƒ Ÿω tΑ$s% ( ÉL−ƒÍh‘èŒ ÏΒuρ tΑ$s% ( $YΒ$tΒÎ) Ĩ$¨Ψ=Ï9 y7è=Ïæ%y` ’ÎoΤÎ) tΑ$s% ( £ßγ£ϑs?r'sù ;M≈uΚÎ=s3Î/ …ç š/u‘ zΟ↵Ïδ≡tö/Î) #’n?tFö/$# ÏŒÎ)uρ tÏϑÎ=≈©à9$# “ωôγtã

Sebagian ulama sufi menilai beban persahabatan (f234ا) sebagai cobaan paling berat bagi nabi Ibrahim. Allah menuntut nabi Ibrahim untuk menyempurnakan syarat

persahabatan tersebut dengan membebaskan diri –secara zhahir dan bathin- dari segala ketergantungan selain Allah.

Adapun kata imãma, as-Sulamĩ memahaminya dengan arti duta/perantara. Allah menjadikan nabi Ibrahim sebagai perantara antara diri-Nya dengan hamba-Nya, supaya nabi Ibrahim menunjuki mereka jalan yang baik untuk menghadap Allah. Namun, ke- imãm -an tersebut hanya terbatas pada nabi Ibrahim saja, tanpa dianugrahi pada semua keturunannya. Dengan bahasa lain, ke-imãm-an hanya anugrah dari Allah, dan tidak dapat diwarisi oleh keturunan. 222

Para ulama berbeda pendapat tentang kalimãt yang dimaksud. Sebagian mereka memahaminya dengan berbagai persoalan syariat. Ibn ’Abbãs (w 68 H) mengartikannya dengan Islam. Sebagian ulama memahaminya dengan persoalan larangan dan perintah, membersihkan wajah dan badan, dan khitan. Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimasud dengan kalimãt adalah berpisah dengan kaumnya, menantang Namrũdz, bersabar ketika dibakar, dan meninggalkan kampung halamannya. Ada pula yang

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 64 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 64

Penafsiran yang dikemukan as-Sulamĩ di atas dapat dipahami bahwa Allah menguji nabi Ibrahim dengan berbagai ujian berkenaan dengan syariat atau tauhid. Hanya, ujian paling berat baginya adalah membebaskan diri dari segala keterkaitan selain Allah. Jika penafsiran di atas –al-Khullah- dikaitkan dengan ayat 125 dari surah an-Nisã‘ (4) dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya, maka "persahabatan" tersebut didapatkan karena nabi Ibrahim telah memenuhi segala cobaan yang Allah bebankan. Cobaan-cobaan tersebut berupa persoalan-persoalan syariat, khususnya berkenaan dengan agamanya yang hanĩf. Menyembelih anak merupakan satu

contoh yang nyata bagaimana nabi Ibrahim membebaskan diri secara lahiriyah dan batiniyah, guna memperoleh kerelaan dan kasih-sayang Allah.

Adapun kata al-imãm merupakan bentuk kata alat (ism al-ãlah) dari ّمأ, yang berarti DO( (menuju). Sesuatu yang menunjukkan tujuan dapat diartikan imãm, karena petunjuk tersebut selalu diikuti. Bila kata al-imãm disandarkan pada manusia, maka ia dapat berarti pemimpin. Pemimpin yang diikuti dalam perbuatannya atau perkataannya. 224 Nabi Ibrahim sebagai pemimpin, menjadi penuntun dan petunjuk bagi umatnya untuk menghadap Allah. Status imãm hanya akan diperoleh oleh orang-orang yang bertaqwa dari keturunannya, dan kami jadikan kenabian dan al-kitab pada keturunannya (al-‘Ankabũt: 29 ayat 27). Sedangkan orang-orang yang syirik dari keturunannya tidak akan memperoleh status imãm dari Allah. Penafsiran as-Sulamĩ di atas secara jelas sesuai dengan penafsiran ulama zhahir.

Abu ’Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, al-Qurthubĩ, al-Jãmi’ li Ahkãmi al-Quran,

jilid 2, hal 98, Ibn Katsĩr, Tafsĩr al- َ َ Quran al-’Azhĩm , jilid 1, hal 405

224 Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 12, hal 22, Husain bin Muhammad al-Mufadhdhal,

Ashbahãnĩ, Mufradãtu Alfãzhi al-Quran, jilid 2, hal 44

Ayat 132 dalam surah al-Baqarah (2) menyatakan: tβθßϑÎ=ó¡•Β ΟçFΡr&uρ āωÎ) £è?θßϑs? Ÿξsù tÏe$!$# ãΝä3s9 4’s∀sÜô¹$# ©!$# ¨βÎ) ¢Í_t6≈tƒ Ü>θà)÷ètƒuρ Ï ‹Ï⊥t/ ÞΟ↵Ïδ≡tö/Î) !$pκÍ5 4œ»uρuρ

Wasiat yang dimaksud ayat di atas adalah wasiat tunduk dan patuh seperti yang diperintahkan kepada nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim diuji dengan menyembelih anaknya, tanpa melihat padanya, karena beliau telah patuh dan berserah diri sehingga anaknya Ismail diganti dengan seekor sembelihan. Beda halnya dengan nabi Ya’qub, ketika anaknya Yusuf hilang dan tidak mendapat gantinya sebagimana diperoleh nabi Ibrahim, beliau pun merasa sedih dan gelisah dan berkata yusuf: 12 ayat 84): 225

y#ß™θム4’n?tã 4’s∀y™r'‾≈tƒ tΑ$s%uρ Penafsiran as-Sulamĩ di atas dapat dinilai tepat apabila kata bihã dalam ayat di atas kembali pada ucapan nabi Ibrahim pada ayat sebelumnya; "Aku tunduk patuh

kepada Tuhan semesta alam" . Karena kepatuhan dan ketulusan tersebut, nabi Ibrahim berani mengorbankan anaknya untuk disembelih. Kerena kepatuhan dan kepasrahan itu

pula anaknya Ismail diganti dengan seekor sembelihan. Persoalan lain dari penafsiran as-Sulamĩ di atas adalah membandingkan sikap nabi Ibrahim dengan sikap nabi Ya’qub. Dari penafsiran di atas dapat dipahami, karena nabi Ya’qub tidak melepas anaknya Yusuf dengan tulus, beliau pun merasakan kesedihan yang mendalam dengan kehilangan Yusuf. Jika kesedihan nabi Ya’qub disebabkan keilangan anaknya, maka kesedihan tersebut adalah manusiawi, dan bisa dialami oleh seorang Nabi. Sebaliknya, jika kesedihan yang mendalam tersebut diungkapkan dengan sikap "berontak", tentu tidak dibenarkan, apalagi dilakukan oleh seorang Nabi. Rasulullah juga menangis ketika anaknya Ibrahim meningal, namun beliau mengingatkan:

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 67

ﻥ ﻭﻨﺯﺤﻤﻝ ﻡﻴﻫﺍﺭﺒﺇ ﺎﻴ ﻙ ﻗﺍﺭﻔﺒ ﺎﻨﺇﻭ ﺎﻨﺒﺭ ﻲ ﻀ ﺭﻴ ﺎﻤ ﻻﺇ لﻭﻘﻨ ﻻﻭ ﻥﺯﺤﻴ ﺏ ﻠﻘﻝﺍﻭ ﻊﻤﺩﺘ ﻥﻴﻌﻝﺍ ﻥﺇ Sesungguhnya air mata dapat saja keluar, hati bersedih, tetapi kita tidak

mengatakan kecuali apa yang diridhai Tuhan. Dan sesungguhnya kami merasa sedih karena berpisah denganmu, wahai Ibrahĩm. Persoalan lain tentang nabi Ibrahim adalah permohonan menghidupkan yang

mati. Allah berfirman dalam surah al-Baqarah (2) ayat 259: ª!$# ç s?$tΒr'sù ( $yγÏ?öθtΒ y‰÷èt/ ª!$# ÍνÉ‹≈yδ Ç‘ósム4’‾Τr& tΑ$s% $yγÏ©ρáãã 4’n?tã îπtƒÍρ%s{ }‘Éδuρ 7πtƒös% 4’n?tã §tΒ “É‹©9$%x. ÷ρr& (

…ç sVyèt/ §ΝèO 5Θ$tã sπsk($ÏΒ Allah memperlihatkan kekuasaan-Nya menghidupkan sesuatu yang telah mati pada ‘Uzair dengan dirinya sendiri. Sementara pada nabi Ibrahim, Allah perlihatkan

kekuasaan-Nya dengan empat ekor burung. As-Sulamĩ melihat perbedaan sebab di

antara keduanya. ‘Uzair merasa heran dan tidak percaya dengan kekuasaan dan kemampuan Allah tersebut sehingga ia bertanya: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?". Oleh karena itu, Allah memperlihatkan kemampuan-Nya pada ‘Uzair dengan mematikannya, untuk menghilangkan keheranan tersebut. Allah pun mengakhiri ayat tersebut dengan keimanan ‘Uzair akan kekuasaan- Nya:

֍ƒÏ‰s% &óx« Èe≅à2 4’n?tã ©!$# ¨βr& ãΝn=ôãr& Pertanyaan yang bernada lembut dan santun dilontarkan oleh nabi Ibrahim –sebagaimana terlihat dalam ayat selanjutnya. Nabi Ibrahim memohon pada Allah karena ingin melihat kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya, seraya memohon: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah

226 Muhammad bin Ismã’ĩl al-Bukhãrĩ, al-Jãmi’ ash-Shahĩh, Kitãbu al-Janã‘iz, (29), Babu Qawli

an-Naby: Innã Lamahzũnũn (43 ), no: 1241 an-Naby: Innã Lamahzũnũn (43 ), no: 1241

×ΛÅ3ym ͕tã ©!$# ¨βr& öΝn=÷æ$#uρ Setidaknya ada dua pendapat tentang sosok orang yang dibicarakan ayat di atas. Ada yang mengatakan bahawa orang tersebut adalah Khidhir, ada pula yang mengatakan ‘Uzair bin Syarqiyã. 228 Penafsiran as-Sulamĩ di atas mengemukakan keserasian antara kandungan ayat dengan akhir ayat, dan membandingkan sosok orang yang dibicarakan ayat di atas dengan sosok nabi Ibrahim. Menghidupkan dan mematikan merupakan kekuasaan Allah semata, tidak seorang hamba pun dapat melakukannya kecuali dengan izin-Nya (sebagaimana nabi Isa menghidupkan orang mati, Ãli ’Imrãn (3) ayat 49). Untuk menampakkan kekuasaan-Nya tersebut, ada kalanya Allah membuktikannya pada diri orang yang mengingkarinya, terkadang juga membuktikannya pada benda lain bagi orang yang meyakininya, namun ingin pembuktiannya. ‘Uzair termasuk dalam kategori pertama. Karena ia tidak mempercayai kekuasaan Allah untuk menghidupkannya yang mati, Allah mematikannya selama seratus tahun. Ketika ia bangun dan melihat makanan, minuman, dan keledai yang telah menjadi tulang berulang, ia baru meyakini bahwa Allah Maha Kuasa. Penggunaan kata kerja masa kini (fi’l mudhãri') pada akhir ayat di atas (72>أ) menunjukkan keyakinan baru yang sebelumnya ia ingkari.

Sedangkan ayat selanjutnya dengan tegas menyatakan bahwa nabi Ibrahim meyakini kekuasaan Allah dalam menghidupkan yang mati. Hanya saja, beliau ingin melihatnya dengan mata agar bertambah keyakinannya. Ayat tersebut diakhiri dengan "dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" karena beliau ingin melihat rahasia dibalik itu. Allah Maha Bijaksana karena Ia menampakkan ciptaan-Nya, dan Ia maha Bijaksana karena Ia menampakkan rahasia ciptaan-Nya.

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 77

Ibn Katsĩr, Tafsĩr al- َ َ Quran al-’Azhĩm , jilid 1, hal 687

Dakam surah Ãli ’Imrãn (3) ayat 97, Allah berfirman:

3 $YΨÏΒ#u tβ%x. …ã&s#yzyŠ tΒuρ ( zΟŠÏδ≡tö/Î) ãΠ$s)¨Β ×M≈uΖÉit/ 7M≈tƒ#u Ï ŠÏù Penafsiran yang mencolok dari ayat tersebut adalah maksud dari maqãm Ibrahim . Asy-Syiblĩ (w 334 H) menafsirkan maqãm nabi Ibrahim dengan arti persahabatan yang diembannya. Maka, barangsiapa yang menyaksikan maqãm nabi Ibrahim, ia termasuk orang yang mulia. Tetapi, jika seseorang yang menyaksikan maqãm Allah, ia lebih mulia. Abu ’Abdillah Muhammad bin ’Alĩ at-Turmudzĩ (w 255 H) menafsirkan maqãm Ibrahim dalam arti mengorbankan jiwa, harta, dan anak untuk meraih ridha Allah. Barangsiapa yang dalam perjalanannya melihat maqãm nabi Ibrahim namun belum membebaskan diri dari jiwa, harta, dan anak –sebagaimana nabi Ibrahim - , maka perjalanannya menjadi sia-sia. 229

Kata maqãm merupakan bentuk nama tempat (ism al-makãn) dari م (. Kata qãma berarti berdiri, karena ia lawan dari @2g atau DB(. Dengan demikian, al- maqãm

berarti tempat berdiri, letak dua telapak kaki. 230 Para ulama berbeda pendapat tentang maksud dari maqãm Ibrahĩm tersebut. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa maqãm Ibrahim adalah mesjid al-Haram secara keseluruhan. Ada yang memaknainya dengan ibadah haji, ada yang memahaminya dengan 'Arafah, Muzdalifah dan Jumrah. Sebagian ulama lain memahaminya dengan batu tempat nabi Ibrahim berpijak. Batu tersebut diletakkan oleh istri Ismail ketika nabi Ibrahim hendak membasuh mukanya. Adapula yang mengatakan bahwa batu tersebut diletakkan oleh Ismail sebagai pijakan ketika nabi Ibrahim hendak merampungkan bagian atas Ka'bah. Mayoritas ulama tafsir berpegangan pada pendapat yang terakhir, batu tempat nabi Ibrahim berpijak, karena dikuatkan dengan hadits shahĩh dari Jabir: 231

230 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 108

231 Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 12, hal 496 Ibn Katsĩr, Tafsĩr al- َ َ Quran al-’Azhĩm , jilid 2, hal 78

ﷲ ﺍ ﺭﺌﺎ ﻌﺸ ﻥﻤ ﺓﻭﺭﻤﻝﺍﻭ ﺎﻔﺼ ﻝﺍ Ketika Rasulullah sampai di Mekkah, beliau memasuki mesjid, lalu menyalami

Hajar al-Aswad. Kemudian Rasul menghadap ke kanan (melakukan Thawaf), lalu berlari kecil tiga kali dan berjalan empat kali. Kemudian beliau menghampiri maqãm dan membaca: dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Kemudiaan beliau menunaikan shalat dua rakaat dan maqãm (Ibrahĩm) berada ditengah antara beliau dengan Ka'bah. Kemudian beliau kembali menyalami Hajar al-Aswad setelah shalat, lalu pergi ke Shafa.

Saya menduga beliau membaca: Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah

sebahagian dari syi'ar Allah

Jika kalimat maqãm Ibrãhĩm dikaitkan dengan bahasa dan hadits di atas, maka yang dimaksud dengan maqãm Ibrãhĩm adalah bekas pijakan nabi Ibrahim. Namun, pendapat Ibn ’Abbãs (w 68 H), dan ’Ikrimah (w 104 H) yang mengartikannya dengan ibadah haji kiranya tidak bisa dikesampingkan. Kata qãma –yang berarti berdiri- dapat pula menunjukkan sebagai simbol suatu aktivitas. Salah satu aktivitas nabi Ibrahim adalah ibadah haji. Dalam menunaikan ibadah haji, sesorang harus mengorbankan harta, raga, serta famili dengan meninggalkan mereka. Kiranya, penafsiran di atas memahami maqãm Ibrãhĩm dengan arti haji. Pemahaman ini dapat dimengerti dengan ungkapan: maka perjalanaannya menjadi sia-sia.

Sebagaimana disinggung sebelumnya, maqãm dalam dunia tasawuf berarti tingkatan-tingkatan yang dilalui hamba dengan penuh ketekunan, dan tidak berpindah

232 shahĩh Muhammad bin ’Ĩsã at-Turmudzĩ. Sunanu at-Turmudzĩ, Kitãbu ak-Hajj, Bãbu Kayfiyyati

ath-Thawãf, no: 856 ath-Thawãf, no: 856

Makna dari ayat 97 di atas nyaris sama dengan –paling tidak ada kaitannya- dengan ayat 125 dalam surah al-Baqarah (2). Allah berfirman:

$YΖøΒr&uρ Ĩ$¨Ζ=Ïj9 Zπt/$sWtΒ |MøŠt7ø9$# $uΖù=yèy_ øŒÎ)uρ

Rumah (Baitullah) yang dijadikan sebagai tempat berkumpul, menurut as- Sulamĩ, berarti sebagai tempat berlindung dan tempat yang aman bagi orang-orang yang berlumuran dosa. Orang beriman yang memasukinya, dengan menjaga aturan-aturan Allah, maka dia akan aman dari neraka Jahannam.

Penafsiran yang berbeda dikemukakan oleh Manshũr yang bersumber dari Imam Ja’far. Baginya, rumah yang dimaksud adalah nabi Muhammad. Maka, barangsiapa yang beriman padanya serta kerasulannya, maka ia telah berada dalam keamanan dann ketrentaman. 234

Kata fU hC adalah bentuk kata benda (ism al-mashdar) dengan arti nama tempat dari kata ب$hH – بi . Kata kerja tersebut berarti kembali setalah pergi (eU هذ DBU Kgر).

234 Abu al-Qãsim ’Abdu al-Karĩm bin Hauzãn, al-Qusyairĩ, ar-Risãlatu al-Qusyairiyyah, hal 132 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 64

Rumah tempat berdiam juga dinamakan dengan ﺔﺑ ﺎ ﺜ ﻣ karena menjadi tempat kembali penghuninya setelah menjalani berbagai aktivitas. 235

Menurut ulama-ulama tafsir dari kalangan sahabat dan tabi'in, Ka'bah dijadikan sebagai tempat kembali karena ia menjadi tempat kembali dan berkumpul bagi manusia. Ibn ’Abbãs (68 H), Mujãhid (w antara 101-104 H) dan as-Suddĩ (w 127 H) sama-sama memahami bahwa Allah telah menjadikan Ka'bah sebagai tempat kembali manusia, dan mereka tidak dapat menyelesaikan hajat ketika berada di Ka'bah, meski datang berkali- kali. 236

Penafsiran as-Sulamĩ di atas kiranya sesuai dengan penafsiran ulama-ulama zhahir. Meski as-Sulamĩ memahami kata fU hC dengan arti tempat berlidung, pemahaman demikian karena salah satu fungsi dari rumah adalah menjadi tempat berlindung. Jika

seseorang menemukan tempat perlindungan, layaknya ia akan selalu kembali ketempat

tersebut, dan tidak pernah merasa aman apabila keluar darinya. Tentu saja, untuk memperoleh rasa aman dalam suatu tempat, harus menuruti peraturan-peraturannya. Rasa aman sangat relative. Bila seseorang merasa aman dari musuh, boleh jadi rasa aman bagi orang lain adalah ketenangan dalam perjalanan. Jika yang dimaksud dengan aman pada masa turunnya ayat ini adalah rasa aman dari musuh atau rasa aman dari penindasan, maka rasa aman pada masa sekarang adalah rasa aman dan trentam dalam beribadah, sehingga aman dari nereka. Pemahaman seperti ini lebih sesuai dengan penafsiran sahabat dan tabi'in di atas, dari pada penafsiran yang dikemukakan oleh Manshũr.

Penafsiran yang bersumber dari Imam Ja’far di atas merupakan salah satu contoh dari kritikan Ibn Taymiyyah, berkenaan dengan kebohongan terhadap sumber. Manshũr yang dimaksud dalam penafsiran di atas adalah Manshũr bin ’Abdillah. As-

Ibn Manzhũr al-Ifriqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 1, hal 243 Ibn Jarĩr ath-Thabarĩ, Jãmi’ al-Bayãn fi ta‘wĩl ay al-Qur‘ãn, Mu‘assatu ar-Risãlah, Beirut, 2000,

jilid 2, hal 27

Sulamĩ mengungkapkan penafsiran Imam Ja’far di atas tanpa menggunakan sanad, tetapi menyatakan riwayat tersebut bersumber dari Imam Ja’far ( +Bg /> kد a: U ل$%H ار$OaC mBZ: م\04ا eE2>). Periwayatan seperti ini bukan berarti as-Sulamĩ tidak mengetahui rentetan sanad yang dimaksud, tetapi untuk tidak memastikan keabsahan riwayat tersebut.

Lalu, bagaimana dengan sosok Manshũr bin ’Abdillah yang dimaksud? Untuk menjelaskan tokoh yang dimaksud, perlu kiranya mengemukakan penafsiran lain, meski tidak berkaitan dengan kisah nabi Ibrahim. Dalam surah an-Najm (53) ayat 1 Allah berfirman:

3“uθyδ #sŒÎ) ÉΟôf¨Ψ9$#uρ

Ketika menafsirkan ayat tersebut, as-Sulamĩ mengatakan: "Aku mendengar Manshũr bin ’Abdillah berkata: Aku mendengar Abu al-Qãsim al-Iskandrãnĩ berkata: aku mendengar Abu Ja’far al-Malthĩ berkata: dari ’Alĩ bin Musa ar-Ridhã dari ayahnya, Ja’far bin Muhammad: demi bintang (hati nabi Muhammad) ketika terbenam (terputus dari segala sesuatu dari Allah). 237

Sulit untuk menentukan Manshũr yang dimaksud karena selain terdapat beberapa nama Manshũr bin ’Abdillah yang menjadi guru as-Sulamĩ, seperti Manshũr bin ’Adillah Khãlidĩ (w 402 H) dan beberapa nama Manshũr bin ’Adillah lainnya, ketidakjelasan nama Abu Ja’far al-Malthĩ dan Abu al-Qãsim al-Iskandarãnĩ juga menjadi penyebab utama sulitnya menentukan Manshũr yang dimaksud. Jika yang dimaksud dengan Abu al-Qãsim al-Iskandarãnĩ adalah ’Ubaidullah bin Muhammad bin Sulaiman bin Ibrahim bin Musa, maka beliau meninggal pada tahun 273 H, dan tidak ditemukan murid bernama Manshũr bin ’Abdillah. Sedangkan mengenai sosok Abu Ja’far al- Malthĩ, penulis tidak menemukan biografi tentangnya. Siapa pun Manshũr bin ’Abdillah yang dimaksud, yang pasti Abu Ja’far al-Malthĩ tidak menyandarkan riwayatnya dengan ungkapan yang kongkrit ( o Apأ , oaiD, , e=BZ: ). Periwayatan seperti ini dapat menunjukkan

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulãmĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 2, hal 283 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulãmĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 2, hal 283

Uraian paragraf di atas membantah uraian Sayyid ’Imrãn sebagai pen-tahqiq tafsir ini yang mencantumkan biografi singkat Manshũr. Menurutnya, Manshũr yang dimaksud adalah Manshũr bin ’Imãr bin Katsĩr. Ulama sufi yang dha’ĩf, wafat sekitar penghujung 200 H. Tentunya, tokoh yang dimaksud oleh Sayyid ’Imrãn tidak tepat. Bagaimana mungkin as-Sulamĩ yang lahir 325 H dapat belajar langsung darinya (mBZ:).

Penafsiran lain berkenaan dengan kisah nabi Ibrahim terdapat dalam surah Ibrahim (14) ayat 35:

tΠ$oΨô¹F{$# y‰ç7÷è‾Ρ βr& ¢Í_t/uρ Í_ö7ãΨô_$#uρ $YΨÏΒ#u t$s#t6ø9$# #x‹≈yδ ö≅yèô_$# Éb>u‘ ãΛÏδ≡tö/Î) tΑ$s% øŒÎ)uρ Dalam pandangan Ibn ’Athã‘ (w 309 H), negeri yang dimaksud nabi Ibrahim adalah hati. Beliau ingin dijadikan hatinya aman dari perpisahan dan halangan. Bagi al-Qãsim bin al-Mahdĩ as-Sayyãrĩ (w 342 H), berhala yang dimaksud adalah nafsu. Penafsiran yang lebih luas berkenaan dengan kata tersebut dikemukakan oleh ad-Daynũrĩ (Abu al-Husain ’Alĩ bin Muhammad bin Sahl, w 330 H). Dalam pandangannya, terdapat bermacam-macam berhala. Di antara mereka ada yang menjadikan dirinya sebagai berhala, ada pula yang menjadikan anaknya sebagai berhala, ada pula yang menjadikan hartanya sebagai berhala, ada juga yang menjadikan perniagaannya (profesinya) sebagai berhala, ada yang menjadikan istrinya sebagai berhala, dan berbagai berhala yang lain. Tidak dipungkiri, setiap manusia terikat dengan berhala-berhala seperti ini. Melepaskan diri dari berhala-berhala tersebut dapat dilakukan

Untuk biografi ’Alĩ bin Musa ar-Ridhã, lihat: Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi

an-Nubalã‘ , Mu‘assatu ar-Risãlah, Beirut, 1993 jilid 9, hal 388-391 an-Nubalã‘ , Mu‘assatu ar-Risãlah, Beirut, 1993 jilid 9, hal 388-391

Penafsiran Ibn ’Athã‘ kiranya menggambarkan perumpamaan negeri dengan hati manusia. Sedangkan perpisahan dan halangan yang dimaksud, dapat dipahami dengan sesuatu yang menghalanginya dan memisahkannya dari Allah, karena nabi Ibrahim adalah "sahabat" Allah. Sebagaimana diuraikan pada bab III, mayoritas ulama zhahir menerima penafsiran sufi bila diungkapkan dalam tataran perumpamaan. Pemahaman Ibn ’Athã‘ sama dengan pemahanan Iman al-Ghazalĩ (w 505 H) tentang rumah yang tidak dimasuki malaikat.

Suatu hal yang menarik, makna dari awal ayat ini juga terdapat dalam surah al- Baqarah (2) ayat 126 dengan redaksi yang berbeda. Tetapi, as-Sulamĩ tidak

mengungkapkan penafsiran Ibn ’Athã‘ dalam surah al-Baqarah. Menurut penulis, boleh jadi langkah tersebut ditempuh karena memang Ibn ’Athã‘ menafsirkan ayat 35 di atas,

boleh jadi pula as-Sulamĩ sengaja mengungkapkannya dalam ayat ini karena menyesuaikan dengan kelanjutan ayat. Menyembah berhala –atau berbagai bentuk berhala- adalah perbuatan yang bersumber dari hati.

Adapun penafsiran as-Sayyãrĩ dan ad-Daynũrĩ, kiranya perlu terlebih dahulu ditinjau dari aspek bahasa. Kata م aqأ merupakan bentuk plural dari 7aq, yang berarti ن iوأ. Ash-Shanam adalah sesuatu yang dijadikan untuk disembah. Populernya, kata ash- Shanam diartikan dengan berhala. Sebagian ahli bahasa membedakan arti dari dua kata tersebut. Ash-Shaman adalah sesuatu yang disembah dengan memiliki bentuk fisik, sementara al-Watsan adalah sesuatu yang disembah tetapi tidak memiliki bentuk fisik. Namun mayoritas pakar bahasa memaknai dua kata tersebut dengan satu makna, berhala. 240

240 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 347 Ibn Manzhũr al-Ifriqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 12, hal 349

Jika dikaitkan dengan penafsiran di atas, maka terlihat persamaan antara berhala-berhala yang disebutkan ad-Daynũrĩ dengan arti ash-Shanam. Perbedaan antara keduanya adalah cara menyembahnya. Jika umat nabi Ibrahim memiliki beberapa tuhan dalam bentuk yang sama (ash-Shanam) dan tidak beriman pada Allah, maka umat sekarang memiliki tuhan selain Allah, dengan kadar yang berbeda. Dengan bahasa lain, ad-Daynũrĩ seakan ingin menggambarkan bentuk lain dari berhala yang ada pada zaman sekarang.

Firman Allah dalam surah Maryam (19) ayat 46 dan 47: ( y7ø‹n=tã íΝ≈n=y™ tΑ$s% ∩⊆∉∪ $|‹Î=tΒ ’ÎΤöàf÷δ$#uρ ( y7¨ΖuΗädö‘V{ Ï tG⊥s? óΟ©9 È⌡s9 ( ãΛÏδ≡tö/Î*‾≈tƒ ÉLyγÏ9#u ôtã |MΡr& ë=Ïî#u‘r& tΑ$s% $|‹Ï ym ’Î1 šχ%x. …ç ‾ΡÎ) ( þ’În1u‘ y7s9 ãÏ øótGó™r'y™

Abu Bakr ’Abdullah bin Thãhir bin Hãtim (w sebelum 330 H) mengomentari, ketika nabi Ibrahim memperoleh jawaban orang-orang jahil berkenaan dengan

dakwahnya pada Allah dan ancaman bagi yang menantangnya, nabi Ibrahim menjawab dengan jawaban yang sesuai untuk orang-orang yang jahil; "semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu" . Jawaban tersebut sesuai dengan salah satu ciri dari hamba- hamba Allah yang terkadung dalam surah al-Furqãn (25): ayat 63: 241

$Vϑ≈n=y™ (#θä9$s% šχθè=Îγ≈yfø9$# ãΝßγt6sÛ%s{ #sŒÎ)uρ $ZΡöθyδ ÇÚö‘F{$# ’n?tã tβθà±ôϑtƒ šÏ%©!$# Ç≈uΗ÷q§9$# ߊ$t7Ïãuρ Ayat 47 di atas menunjukkan sikap santun nabi Ibrahim terhadap ayahnya yang kafir. Nabi Ibrahim tidak membalas ancaman ayahnya dengan ancaman darinya, melainkan dengan ucapan selamat baginya. Sifat yang demikian merupakan ciri dari orang-orang yang beriman terhadap orang jahil, sebagimana diutarakan ayat 63 dalam surah al-Furqãn. Bukan hanya dengan orang jahil, sikap yang demikian juga dihadapkan pada orang kafir, sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Qashash (28) ayat 55. Pada

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 427.

bagian ini, terlihat keserasian penafsiran yang dikemukakan as-Sulamĩ antara ayat yang ditafsirkan dengan ayat yang menjadi penafsirnya.

As-Sulamĩ juga menafsirkan ayat 51 dalam surah al-Anbiyã‘ (21), firman Allah: tÏϑÎ=≈tã Ï Î/ $¨Ζä.uρ ã≅ö6s% ÏΒ …çνy‰ô©â‘ tΛÏδ≡tö/Î) !$oΨ÷s?#u ô‰s)s9uρ

Bagi Ibn ’Athã‘ ( w 309 H), Allah telah memilih nabi Ibrahim untuk diri-Nya, sebelum Ia mengujinya dengan ciptaan-Nya. Sementara sebagian ulama sufi menafsirkan, ketika nabi Ibrahim lahir, datang malaikat menyampaikan wahyu Allah dengan mengatakan: "wahai Ibrahim, sesungguhnya Allah menyuruhmu untuk mengenal-Nya dengan hatimu, dan meyebut-Nya dengan lidahmu". Nabi Ibrahim menjawab: "aku telah melakukannya" (dengan kata kerja masa lampau), beliau tidak menjawab dengan kata kerja masa kini: "akan aku lakukan". 242

Ulama tafsir mengartikan kata ar-rusyd di atas dengan makna kenabian. Ada pula yang mengartikannya dengan makna petunjuk. Petunjuk yang dimaksud dijelaskan

oleh ayat selanjutnya: (ingatlah), ketika Ibrahim Berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?" 243

Penulis tidak menemukan kedua riwayat penafsiran di atas. Namun, riwayat tersebut dan pendapat Ibn ’Athã‘ memberi isyarat bahwa Allah memberi petunjuk kepada nabi Ibrahim untuk mengenal-Nya dan tidak menyekutukan-Nya sejak masa belia, sebagaimana diberikan pada nabi Yahya (Maryam: 19 ayat 12), dan nabi Muhammad (al-Insyirãh: 94 ayat 1). Petunjuk pengenalan yang Allah berikan tersebut tercermin dalam ketulusannya untuk menunaikan segala tuntunan Allah, meski harus mengorbankan anaknya, sehingga memperoleh gelar "sahabat".

243 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 2, hal 8 Ibn Katsĩr, Tafsĩr al- ََ Quran al-’Azhĩm , jilid 5, hal 347, Abu ’Abdillah Muhammad bin ’Umar Fakhrudduĩn ar-Rãzĩ, Mafãtihu al-Ghaib, jilid 22, hal 182

Penafsiran lain dalam surah al-Anbiyã‘ (21) berkenaan dengan kisah nabi Ibrahim terdapat dalam ayat 69. Firman-Nya:

zΟŠÏδ≡tö/Î) #’n?tã $¸ϑ≈n=y™uρ #YŠöt/ ’ÎΤθä. â‘$uΖ≈tƒ $uΖù=è% Keselamatan nabi Ibrahim dari api –dalam penilaian Ibn ’Athã‘ (w 309 H)- dikarenakan keselamatan dan kesecuian hatinya dari berbagai kesibukan dan kebutuhan, sebagaimana Allah terangkan dalam surah as-Shaff ãt (37) ayat 84:

AΟŠÎ=y™ 5=ù=s)Î/ …ç −/u‘ u!%y` øŒÎ) Adapun keadaan api yang menjadi dingin bagi nabi Ibrahim dikarenakan kemurnian keyakinan dan tawakkalnya pada Allah, sebagaimana tergambar dari ucapannya yang tidak membutuhkan sesuatu apa pun dari malaikat Jibril: 244

ﻼ ﻓ ﻙ ﻴﻝﺇ ﺎﻤﺃ لﺎﻗ ؟ ﺔﺠﺎﺤ ﻥﻤ : ﻙ ﻝ لﻫ ،ﻡﻴﻫﺍﺭﺒﺇ Ayat 69 menegaskan bahwa api tidak hanya berubah menjadi dingin bagi nabi

Ibrahim, tetapi juga memberi keselamatan padanya. Keselamatan tersebut diperoleh karena kesucian hati nabi Ibrahim terhadap Allah, termasuk malaikat Jibril sekalipun. Adapun kata salĩm dalam ayat 84 surah ash-Shaffãt berarti keselamatan dari syirik.

Hadits yang disebutkan Ibn ’Athã‘ adalah hadits yang bersumber dari sahabat yang tsiqah, dari Bisyr bin al-Hãrits. Jika ingin menyesuiakan dengan kata-kata penafsiran di atas (tawakkal), sebuah riwayat menyatakan:

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 2, hal 8

Shahĩh, Ahmad bin Husain al-Baihaqĩ, Syu’bu al-Ĩmãn, Bãbu ar-Rajã‘a min Allah, no 1077 Muhammad bin Ismã’ĩl al-Bukhãrĩ, al-Jãmi’ ash-Shahĩh, Kitãbu at-Tafsĩr (68) Suratu Ãli

’Imr’ãn , no 4288

Dari Ibn ’Abbãs, ia berkata: sesungguhnya ucapan Ibrahim terakhir sebelum di lemparkan ke apai adalah: "Cukuplah Allah menjadi penolongku dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung". Jika ayat 69 surah al-Anbiyã‘ dikaitkan dengan dengan ayat 84 surah ash-

Shaffãt, lalu dikaitkan dengan hadits di atas, maka terlihat keserasian yang nyata dalam hadits tersebut. Sikap nabi Ibrahim yang hanya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan hanya bertawakkal pada-Nya dapat menyelamatkannya dari hukuman Namrũdz. Apalagi, nabi Ibrahim memperoleh hukuman dari Namrũdz karena beliau menghancurkan berhala-berhala yang disembah oleh Namrũdz beserta pengikutnya.

As-Sulamĩ juga menafsirkan ayat 84 dalam surah asy-Syu’arã‘ (26): t̍ÅzFψ$# ’Îû 5−ô‰Ï¹ tβ$|¡Ï9 ’Ík< ≅yèô_$#uρ

Penafsiran Ibn ’Athã‘ (w 309 H) berkenaan dengan ayat ini bahwa nabi Ibrahim memohon agar lidah umat Muhammad selalu memujinya dan bersaksi untuknya, karena

Allah telah menjadikan umat nabi Muhammad sebagai para saksi yang diterima kesaksiaanyya. Sahl at-Tustarĩ (w 283 H) memahaminya lebih luas. Menurutnya, permohon nabi Ibrahim untuk memujinya tidak terbatas dari umat nabi Muhammad, melainkan seluruh umat dan kerajaan setelahnya. 247

Ulama-ulama tafsir zhahir memahami kata lisãna shidq dalam ayat di atas adalah bersatunya umat dalam agama yang dibawanya. Ada pula yang menyatakan bahwa nabi Ibrahim memohon agar adanya seorang dari keturunannya yang akan menegakkan kebenaran. 248

Apapun maksud dari lisãna shidq di atas, nabi Muhammad –yang merupakan keturunan nabi Ibrahim- telah menegakkan kebenaran dengan membawa ajaran tauhid, sebagimana diwahyukan pada nabi Nuh dan nabi Ibrahim, nabi Musa, dan nabi Isa (asy-

248 ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 2, hal 77 Abu ’Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, al-Qurthubĩ, al-Jãmi’ li Ahkãmi al-Quran, jilid 13, 112

Syũrã: 42, ayat 13). Tutur kata yang baik (pujian) juga tergambar pada setiap iringan shalawat pada nabi Muhammad, khususnya dalam shalat. Allah telah mengabulkan doa nabi Ibrahim tersebut; Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang Kemudian, (ash-Shaffat: 37, ayat 108).

Adapun firman Allah dalam surah al-Mumtahinah (60) ayat 4: ÿ…ç yètΒ tÏ%©!$#uρ zΟŠÏδ≡tö/Î) þ’Îû ×πuΖ|¡ym îοuθó™é& öΝä3s9 ôMtΡ%x. ô‰s%

Ibn ’Athã‘ ( w 309 H) melihat dua kategori keteladan yang terdapat pada nabi Ibrahim. Secara lahiriah, pada diri nabi Ibrahim terdapat akhlak mulia berupa kedermawanan, kelakuan yang baik, dan menunaikan segala perintah dengan penuh suka-cita. Secara batin, keteladan yang terdapat pada diri nabi Ibrahim adalah ketulusannya kepada Allah pada tiap perbuatan, selalu menghabiskan waktunya demi Allah, serta mengabaikan segala sesuatu demi zat Allah semata. Sebagaimana Rasulullah memuji orang yang tulus kepada Allah:

Dalam riwayat lain, hadits tersebut berbunyi:

Dari Abu Hurairah, ia berkata: aku mendengar Rasulullah bersabda: kalimat yang paling benar diucapkan oleh penyair adalah kalimat (yang diucapkan) Labĩd (bin Rabĩ’ah): sesungguhnya segala sesuatu selain Allah adalah bathil. Jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka keteladan yang dimaksud adalah

melepaskan diri dari orang-orang kafir, sebagaimana nabi Ibrahim melepaskan diri dari ayahnya berserta orang-orang kafir yang lain. Namun demikian, tidak sedikit pula ayat- ayat al-Quran yang memuji nabi Ibrahim dengan sifat-sifatnya yang patut diteladani.

’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 2, hal 323 Muslim bin al-Hajãj al-Qusyarĩ, Shahĩh Muslim, Kitãbu asy-Syi’r (41), no: 2256jilid 4, hal 1768

Penafsiran di atas ingin memberi pemahaman lebih luas perihal yang harus diteladani dari nabi Ibrahim. Sebagaimana persoalan syariat –seperti shalat yang hanya bukan berdiri menghadap kiblat sambil membaca doa sahalat, atau seperti puasa yang bukan hanya menahan lapar dan dahaga-, meneladani nabi Ibrahim bukan hanya sebatas akhlak mulia, kedermawanan, atau tuduk pada perintah. Lebih dari pada itu, sikap ketulusan nabi Ibrahim kepada Allah juga patut diteladani. Jika manusia dituntun untuk meneladani nama-nama Allah (asmã‘u al-husnã), sesuai dengan kadar manusia, meneladani sikap nabi Ibrahim tentu lebih mudah.

3. Musa Nabi Musa merupakan nabi yang namanya paling banyak disebutkan al-Quran, sebanyak 136 kali, tersebar dalam 34 surah. Penyebutan dengan jumlah sekian kali tentu

menjadi kisah yang lebih detail dari kisah nabi-nabi yang lain. Surah al-A’rãf (7), Thahã (20), asy-Syu’arã‘ (26), dan al-Qashash (28) merupakan empat surah besar yang paling

sering dan detail menceritakan tentang nabi Musa dan kaumnya. Namun, sebagaimana kisah-kisah nabi yang lain, terdapat pula persoalan-persoalan tertentu yang dikisahkan dalam surah lain, seperti perintah menyembelih sapi yang diungkapkan dalam surah al- Baqarah (2). Terkadang pula, dikisahkan secara global dalam satu surah, sementara rianciannya dalam surah yang berbeda, seperti sembilan mukjizat yang disebutkan dalam surah al-Isrã‘ (17) ayat 101, dirincikan dalam surah al-A’rãf (7) ayat 133-134 dan surah al-Qashash (28) ayat 29-32, begitu pula tentang alasan nabi Musa menghampiri sinar ketika beliau beserta keluarganya berada dalam kegelapan malam yang dikisahkan dalam surah Thahã (20) ayat 9-10 dan al-Qashash (28) ayat 29, disebutkan secara lengkap dalam surah an-Naml (27) ayat 7.

Ayat 60 dalam surah al-Baqarah (2) menyatakan: ô‰s% ( $YΖøŠtã nοuŽô³tã $tFt⊥øO$# ç ÷ΖÏΒ ôNtyfx Ρ$$sù ( tyfy⇔ø9$# š‚$|ÁyèÎn/ >ΎôÑ$# $oΨù=à)sù Ï ÏΒöθs)Ï9 4†y›θãΒ 4’s+ó¡oKó™$# ÏŒÎ)uρ tωšø ãΒ ÇÚö‘F{$# † Îû (#öθsW÷ès? Ÿωuρ «!$# É−ø—Íh‘ ÏΒ (#θç/uŽõ°$#uρ (#θè=à2 ( óΟßγt/uŽô³¨Β <¨$tΡé& ‘≅à2 zΟÎ=tã

Mata air dalam ayat ini dipahami sebagai tempat minum setiap orang menurut keinginannya masing-masing. Bagi mereka yang airnya adalah nafsunya, tempat minumnya adalah dunia. Apabila airnya adalah hatinya, tempat minumnya adalah akhirat. Mereka yang menjadikan niatnya sebagai airnya, tempat minumnya adalah surga. Jika airnya ruh, tempat minumnya adalah Salsabil. Dan, barangsiapa yang airnya Tuhannya, tempat minumnya adalah kehadiran jiwa untuk menyaksikan Allah (al- musyãhadah ), sebagaimana firmannya dalam surah al-Insãn (76) ayat 21: 251

#—‘θßγsÛ $\/#tx© öΝåκ›5u‘ öΝßγ9s)y™uρ

Ayat tersebut berbicara tentang salah satu nikmat Allah pada Bani Israil, yaitu memancarkan air untuk mereka tanpa melalui usaha dan susah payah. Duabelas mata air tersebut sesuai dengan jumlah kaum Bani Israil (al-A’rãf: 7, ayat 160). Kata masyrab dapat berarti tempat minum (telaga), bisa juga berarti minuman itu sendiri. 252

Penafsiran as-Sulamĩ di atas agaknya mengumpamakan air dengan kebutuhan manusia dalam hidup ini. Manusia selalu membutuhkan air -bahkan melebihi kebutuhannya terhadap makanan- demi menghilangkan dahaganya. Dalam kehidupan dunia, sepanjang umurnya manusia juga memiliki kebutuhan-kebutuhan untuk menghilangkan "dahaga". Jika manusia hanya ingin mencari kesenangan dunia, maka ia akan menuruti nafsunya. Jika menginginkan kehidupan akhirat yang lebih baik, maka ia akan menuruti kata hatinya, karena hati adalah pangkal dari kebenaran manusia. Orang yang mentuluskan niatnya dalam ibadah akan memperoleh surga. Sementara orang yang mengikuti ruhnya –bagian paling halus dari manusia- akan mendapatkan minuman surga

’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 60 Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 1, hal 487 ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 60 Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 1, hal 487

Ayat 60 di atas berbicara tentang kenikmatan –Bani Israil khususnya- dunia, sedangkan ayat dalam surah al-Insãn berbicara tentang kenikmatan surga. Penafsiran as- Sulamĩ di atas dapat dipahami sebagai gambaran bahwa orang-orang yang menuruti nafsunya akan menikmati berbagai kehidupan dunia –sebagaimana Bani Israil menikmati minuman- yang dapat menyesatkan. Sedangkan mereka yang berbuat baik dalam kehidupan dunia dengan menuruti hatinya, dan menjernihkan niat pada Allah akan menikmati kehidupan akhirat dengan surga, serta berbagai minuman yang sempurna dan pasti suci. Berbagai macam minuman tersebut terkandung dalam surah al-Insãn (76) ayat 5-22.

Ketika menjelaskan kepada nabi Musa ciri-ciri orang yang bertakwa, Allah berfirman dalam surah al-A’rãf (7) ayat 157:

¥_ÍhΓW{$# ¢É<¨Ζ9$# tΑθß™§9$# šχθãèÎ7−Ftƒ tÏ%©!$# Mengutip dari Ibn ’Athã‘ (w 309 H), as-Sulamĩ mengemukan makna oC`ا dengan arti oZr>`ا. Yaitu orang a’jamiy dari selain Kami, mengetahui Kami dan mengetahui apa yang Kami turunkan padanya dari ucapan Kami dan hak Kami. 253

Awal ayat di atas menjelaskan salah satu ciri nabi Muhammad sebagai orang yang ummiy. Kata al-ummiy –yang berakar dati kata ّمأ- berarti orang yang tidak dapat menulis dan membaca. Ada yang berpendapat bahwa al-ummiy merupakan suatu kaum ( `ا fّC ) tertentu yang sejak lahir tidak dapat manulis dan membaca, ada pula yang berpendapat bahwa al-ummiy disandarkan pada ibu (ّم`ا), karena perempuan-perempuan arab –sebelum Islam- tidak dapat membaca dan tidak menulis. Kedua kata tersebut (al-

253 ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 245 253 ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 245

255 ﺏ ﺴﺤﻨ ﻻﻭ ﺏ ﺘﻜﻨ ﻻ ﺔﻴﻤﺃ ﺔﻤﺃ ﺎﻨﺇ لﺎﻗ ﻡﻠﺴ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﺍ ﻰ ﻠﺼ ﻲ ﺒﻨﻝﺍ ﻥﻋ ﺭﻤﻋ ﻥﺒﺍ ﻥﻋ : Dari Ibn ’Umar, dari Rsulullah, beliau bersabda: kami adalah kaum yang

ummiy; yang tidak dapat menulis dan menghitung. Sedangkan kata al-a’jamiy berakar dari kata َ7r> lawan dari kata ب > dengan ,

arti tidak fasih. Kata al-a’jamiy dapat berarti orang yang permbicaraannya tidak fasih dan tidak jelas, meski dari golongan Arab. 256

Merujuk pada definisi bahasa di atas, menafsirkan al-ummiy dengan al-a’jamiy kurang tepat. Orang yang tidak bisa menulis dan membaca belum tentu –bahkan tidak sama- tidak bisa berbicara dengan jelas dan rinci. Kenyataannya, Rasul sebagai orang

yang tidak bisa membaca dan menulis adalah orang yang paling jelas pembicaraannya.

Ayat 103 dalam surah an-Nahl (16) menjelaskan: îβ$|¡Ï9 #x‹≈yδuρ @‘Ïϑyfôãr& Ï øŠs9Î) šχρ߉Åsù=ム“Ï%©!$# Üχ$|¡Ïj9 3 ֍t±o0 …ç ßϑÏk=yèム$yϑ‾ΡÎ) šχθä9θà)tƒ óΟßγ‾Ρr& ãΝn=÷ètΡ ô‰s)s9uρ

êÎ7•Β ?†Î1ttã Artinya: Dan Sesungguhnya kami mengetahui bahwa mereka berkata: "Sesungguhnya Al Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)". padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam, sedang Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang.

Ayat ini membantah tuduhan orang-orang musyrik yang menyatakan bahwa Rasul belajar dari seorang non Arab. Ayat ini juga mengandung pemahaman kalau Rasul -yang membawa al-Quran dengan bahasa Arab yang jelas- memiliki kemampuan yang

Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 12, hal 22 Muslim bin al-Hajãj al-Qusyairĩ, Shahĩh Muslim, Kitãbu ash-Shiyãm (13), Bãbu Wujũbi Shawmi

Ramadhãn li Ru‘yati al-Hilãl (2) 256 , no: 1080 Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 12, hal 385 Ramadhãn li Ru‘yati al-Hilãl (2) 256 , no: 1080 Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 12, hal 385

Namun demikian, as-Sulamĩ juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-ummiy adalah orang yang tidak ternoda oleh kehidupan dunia, orang yang tidak mengetahui apa pun tentang dunia dan akhirat, kecuali apa yang Allah ajarkan. Keadaannya dalam keadaan Allah, tidak membutuhkan, selain pada-Nya. 257

Penafsiran ini mengisyaratkan kalau proses pembelajaran yang didapatkan di dunia –selain dari Allah- dapat mengotori jiwa manusia. Berkenaan dengan permohonan nabi Musa untuk melihat Allah, ayat 143 dalam surah al-A’rãf (7):

’n<Î) öÝàΡ$# ÇÅ3≈s9uρ Í_1ts? s9 tΑ$s% 4 šø‹s9Î) öÝàΡr& þ’ÎΤÍ‘r& Éb>u‘ tΑ$s% …ç š/u‘ …ç yϑ‾=x.uρ $uΖÏF≈s)ŠÏϑÏ9 4y›θãΒ u!%y` $£ϑs9uρ

$Z)Ïè|¹ 4y›θãΒ §yzuρ $y2yŠ …ã&s#yèy_ È≅t7yfù=Ï9 …ç š/u‘ 4’©?pgrB $£ϑn=sù 4 Í_1ts? t∃öθ|¡sù …ç tΡ$x6tΒ §s)tGó™$# ÈβÎ*sù È≅t6yfø9$# Ayat 143 di atas, -sebagaimana penafsiran as-Sulamĩ- memberi isyarat bahwa gunung yang lebih besar dan kuat dari manusia tidak akan bisa melihat Allah. Jika gunung hancur karena tidak sanggup melihat Allah, maka apa yang dialami manusia tentu lebih parah. As-Sulamĩ menambahkan, tidak ada yang sanggup melihat (musyãhadah) Allah kecuali hati para ulama ma’rifat 258 yang Ia hiasi dengan ma’rifat - Nya, yang Ia kuatkan dengan cahaya karamah-Nya, dan serta Ia terangi dengan cahaya- Nya. Oleh karena itu, Rasulullah bersabda:

258 ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 246 Ma’rifat adalah mengenal Allah dengan lidah (ucapan), dengan hati (mempercayai), dan dengan ruh (meyakini). Dengan tiga unsur tersebut, orang yang memiliki ma’rifat, hatinya selalu untuk Allah,

bermunajat pada-Nya, mendekatkan diri pada-Nya, serta terhindar dari bisikan nafsu. ’Abdirrrahmãn as- Sulamĩ, Al-Muqaddimah fĩ at-Tashawwuf, Maktabatu al-Kuulliyyãti al-Azhariyyah, 1987, hal 37, Abu al- Qãsim ’Abdu al-Karĩm bin Hauzãn, al-Qusyairĩ, ar-Risãlatu al-Qusyairiyyah, hal 472

Sayyid ’Imrãn, sebagai pen-tahqiq tafsir ini, membantah dengan keras penafsiran dia atas bahkan mencela ulama-ulama sufi. Menurutnya, as-Sulamĩ telah menjadikan hati para ulama ma’rifat yang memohon pertolongan pada kuburan guru- guru meraka lebih tinggi dari nabi Musa. Dalam pandangan penulis, bantahan tersebut sama sekali tidak tepat karena ulama tersebut memahami musyãhadah dalam arti melihat dengan mata telanjang

Ayat di atas menggunakan kata ﻯﺃ ﺭ untuk mengungkapkan penglihatan. Jika kata ra‘ã dilanjutkan dengan satu objek –sebagaimana ayat di atas-, maka ia berarti

melihat, dan bila disertai dua objek, ia berarti mengetahui. 260 Sedangkan as-Sulamĩ, untuk mengungkapkan penglihatan dalam ayat di atas, dengan jelas menggunakan kata musyãhadah dan sama sekali tidak menyatakan kalau hati nabi Musa tidak dapat melihat -dengan musyãhadah- Allah.

Kata DLM pada dasarnya berarti menghadiri. Sedangkan Dه M mengetahui dengan indra. Dalam istilah tasawuf, al-musyãhadah berarti kebersamaan jiwa dengan Allah, sehingga dapat menyaksikan hal-hal yang ghaib dan perbuatan Allah dengan penuh hikmah, tanpa tuduhan sedikitpun. 261 Dengan demikian, as-Sulamĩ tidak menyatakan bahwa ulama-ulama ma’rifat dapat melihat Allah dengan mata telanjang. Jika seorang nabi dari ulũ al-’azm tidak dapat melihat Allah, tentu manusia biasa juga tidak dapat melihat Allah, termasuk ulama ma’rifat sekalipun. Namun, ulama ma’rifat –apalagi nabi Musa- dapat melihat Allah dengan hati mereka yang suci. Apalagi, hadits shahĩh yang

’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 239, Hadits tersebut terdapat dalam: Muslim bin al-Hajãj al-Qusyairĩ, Shahĩh Muslim, Kitãbu al- Ĩmãn (1), Bãbu Qawlu ’alaihi as-Salãm: Inna Allah lã yanãm (79) 260 , no: 179

Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 14, hal 291 Abu al-Qãsim ’Abdu al-Karĩm bin Hauzãn, al-Qusyairĩ, ar-Risãlatu al-Qusyairiyyah, hal 152,

’Abdirrahmãn as-Sulamĩ,

http://www.alhaqonline.net/arabic/councils/library/books/solookolahrefeen/

Sulũku

al-’Ãrifĩn ,

informasi

ini

diperoleh dari wibwsite: diperoleh dari wibwsite:

Masih dalam surah al-A’rãf (7), as-Sulamĩ juga menafsirkan ayat 148: öΝÍκ‰Ï‰öηtƒ Ÿωuρ öΝßγßϑÏk=s3ムŸω …ç ‾Ρr& (#÷ρttƒ óΟs9r& 4 î‘#uθäz …ã&©! #Y‰|¡y_ WξôfÏã óΟÎγÍhŠÎ=ãm ôÏΒ Íνω÷èt/ .ÏΒ 4y›θãΒ ãΠöθs% x‹sƒªB$#uρ

šÏϑÎ=≈sß (#θçΡ%Ÿ2uρ çνρä‹sƒªB$# ¢ ¸ξ‹Î6y™

Bagi Sahl at-Tustarĩ (w 283 H), setiap manusia memiliki anak lembu yang disembah. Anak lembu setiap manusia adalah apa yang menghampirinya dan menghalanginya dari Allah, baik berupa istri atau anak. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari itu semua kecuali dengan mengabaikan keinginan-keinginannya secara keseluruhan, sebagaimana para penyembah anak sapi yang tidak dapat membebaskan diri dari sesembahan mereka kecuali dengan membunuh diri mereka sendiri. 262

Kata al-’ijl merupakan bentuk kata benda dari tr> yang berarti ع 04ا (cepat). trB4ا diartikan dengan anak sapi karena –memang- anak sapi memiliki kecepatan yang

lebih dibandingkan ketika ia sudah dewasa. 263 Ketergesa-gesaan untuk memperoleh apa yang diinginkan merupakan tabiat manusia, tetapi al-Quran mengingatkan agar menjauhi sifat demikian (al-Anbiya: 21, ayat 37). Dikaitkan dengan penafsiran di atas, ketergesa- gesaan karena kecintaan yang berlebihan terhadap harta, istri dan anak sehingga melalaikannya dari Allah merupakan sembahan pada zaman sekarang. Intinya, penafsiran Sahl di atas menggambarkan kalau yang dimaksud dengan al-’ijl adalah substansi dari anak lembu itu sendiri. Pada saat itu, umat nabi Musa menjadikan anak sapi sebagai sembahan mereka. Pada zaman sekarang juga terdapat sembahan manusia – yang menyibukkan mereka dari Allah- selain anak lembu, seperti keluarga, dan harta. Jika umat nabi Musa diperintahkan bertaubat dengan membunuh diri, maka umat nabi Muhammad diperintahkan melepaskan diri dari belenggu itu semua.

263 ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 244 Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 11, hal 425. Husain bin Muhammad al-Mufadhdhal, Ashbahãnĩ, Mufradãtu Alfãzhi al-Quran, jilid 2, hal 67

As-Sulamĩ juga menafsirkan surah Thahã (20) ayat 39: ûÍ_ø‹tã 4’n?tã yìoΨóÁçGÏ9uρ Íh_ÏiΒ Zπ¬6ptxΧ y7ø‹n=tã àMø‹s)ø9r&uρ

Mengutip dari Ibn ’Athã‘ (w 309 H), as-Sulamĩ menyatakan bahwa Allah telah melimpahkan kepada nabi Musa kecintaan dari-Nya. Sehingga, barangsiapa yang melihat kecintaan-Nya pada nabi Musa, maka ia akan mencintainya seperti kecintaan Allah padanya.

Menurut Fãris, Allah telah menghiasi nabi Musa dengan ketampanan dari-Nya yang tidak dapat dilimpahkan oleh selain-Nya, sehingga dicintai oleh siapa saja yang melihatnya.

Adapun al-Wãsithĩ (w 320 H) mengomentari bahwa, kecintaan bisa diraih oleh siapa saja, seperti pemberani atau dermawan yang dicintai oleh orang lain. Tetapi, kecintaan terhadap nabi Musa dilimpahkan sejak beliau berada dalam tulang punggung ayahnya, ’Imrãn. Oleh karena itulah Fir’awn mendidik nabi Musa sejak beliau bayi. Padahal, bayi-bayi yang lahir pada masa itu dibunuh olehnya. 264

Ibn ’Abbãs (w 68 H) memahami ayat tersebut bahwa Allah menjadikan nabi Musa supaya dicintai oleh hambanya yang lain. Pemahaman yang sama juga dikemukakan oleh ’Ikrimah (w 104 H) dan Qatãdah (w 18). Qatãdah menambahkan bahwa terdapat ketampanan yang luar biasa pada dua mata nabi Musa, sehingga siapa saja yang melihat akan mencintainya. 265

Kiranya, tidak ada perbedaan anatra penafsiran yang diungkapkan as-Sulamĩ dengan penafsiran yang populer dikalangan ulama zhahir, melainkan perbedaan redaksi. Penafsiran Fãris dapat dianggap sebagai penjelasan dari penafsiran Ibn ’Athã‘, begitu juga dengan penafsiran al-Wãsithĩ. Kecintaan tersebut terlihat ketika beliau dijadikan anak angkat oleh istri Fir’awn dengan mendidiknya, mencari wanita yang menyusuinya,

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1hal 443 Abu ’Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, al-Qurthubĩ, al-Jãmi’ li Ahkãmi al-Quran,

jilid 11, hal 196 jilid 11, hal 196

4. Isa Al-Quran menyebutkan 25 kali nama nabi Isa, tersebar dalam 11 surah. Dalam surah Maryam, al-Quran menguraikan tentang kelahiran nabi Isa serta penciptaannya, dan pada akhir surah menegaskan bahwa beliau bukan anak Allah. Berkenaan dengan mukjizat nabi Isa, al-Quran menguraikannya dalam surah al-Mã‘idah (5) dan surah Ãli

’Imrãn (3). Sedangkan tentang pengangkatannya kepada Allah, al-Quran menjelaskannya dalam surah Ãli ’Imrãn dan surah an-Nisã‘ (4).

Adapun penafsiran-penafsiran as-Sulamĩ berkenaan dengan kisah nabi Isa, di antaranya berkenaan dengan penganggkatannya pada Allah. Dalam surah Ãli ’Imrãn (3) ayat 55 Allah berfirman:

(#ρãx Ÿ2 tÏ%©!$# š∅ÏΒ x8ãÎdγsÜãΒuρ ¥’n<Î) y7ãèÏù#u‘uρ š‹ÏjùuθtGãΒ ’ÎoΤÎ) #|¤ŠÏè≈tƒ ª!$# tΑ$s% øŒÎ)

Sebagaimana as-Sulamĩ menukil dari al-Wãsithĩ (w 320 H), ayat tersebut menyatakan bahwa Allah mengakhiri ajal nabi Isa dan mengangkat beliau kapada-Nya, serta mensucikannya dari nafsunya. Allah melakukan demikian untuk menampakkan sifat azali padanya. 266

Kata َ َLَb yang bermakna bersih, tidak hanya bermakna bersih dari kotoran materi, tetapi dapat pula berarti bersih dari kotoran immateri, seperti bersih dari dosa. 267 Bersih dari kotoran immateri inilah yang populer dengan istilah suci. Ayat di atas ingin

267 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 101 Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 4, hal 504 267 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 101 Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 4, hal 504

Berkaitan dengan penafsiran al-Quran dengan al-Quran, terlihat ketika as- Sulamĩ menafsirkan surah al-Mã‘idah (5) ayat 117:

4 öΝä3−/u‘uρ ’În1u‘ ©!$# (#ρ߉ç6ôã$# Èβr& ÿÏ Î/ Í_s?ó÷sdr& !$tΒ āωÎ) öΝçλm; àMù=è% $tΒ

As-Sulamĩ mengemukakan, seakan-akan nabi Isa berkata: bagaimana mungkin aku berbicara kecuali dengan izin Engkau, sedangkan Engkau berfirman: (al-Baqarah: 2 ayat 255). 268

4 Ï ÏΡøŒÎ*Î/ āωÎ) ÿ…çνy‰ΨÏã ßìx ô±o„ “Ï%©!$# #sŒ tΒ

Ayat 116 dari surah al-Mã‘idah mengemukakan pertanyaan Allah kepada nabi Isa dalam bentuk ancaman bagi orang-orang kafir dari umatnya: "Hai Isa putra Maryam, Adakah kamu mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah Aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah?" As-Suddĩ 269 berpendapat, pertanyaan ini dihadapkaan pada nabi Isa ketika beliau berada di dunia. Pendapat ini disetujui oleh Imam ath-Thabarĩ (w 310 H), yaitu ketika Allah mengangkatnya. Imam at-Thabarĩ beralasan, ayat tersebut diungkapkan dengan kata kerja masa lampau. Alasan lain adalah, ungkapan: { ْ7ُLْU9-َBُ& ْنِإ } dan { ْ7ُLَ4 ْ ِ+ ْzَ& ْنِإ } menunjukkan apa yang akan terjadi. 270 Alasan tersebut dibantah oleh Ibn Katsĩr (w 774 H). Menurutnya, banyak ayat al-Quran yang berbicara tentang hari kiamat dengan menggunakan kata kerja masa lampau. Adapun alasan kedua ath-Thabarĩ, oleh

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 189 As-Suddĩ al-Kabĩr, Ismail bin Abdirrrahmãn bin Abi Karĩmah, tabi'in yang shadũq, dan dituduh

sebagai orang syi'ah. Wafat 127 H. Ahmad bin ’Alĩ bin Hajar al-’Asqalãnĩ, Taqrĩbu at-Tahdzĩb, jilid 1, hal 108 270

Muhammad bin Jarĩr Thabarĩ, Jãmi’ al-Bayãn fi ta‘wĩl ay al-Qur‘ãn, Mu‘assatu ar-Risãlah,

Beirut, 2000, jilid 11, hal 236

Ibn Katsĩr dianggap sebagai pengembalian urusan pada Allah. Ibn Katsĩr sendiri menyetujui pendapat Qatãdah (w 118 H) yang menyatakan bahwa pertanyaan tersebut dihadapkan pada nabi Isa di hari kiamat, sesuai dengan ayat 119 selanjutnya: Allah berfirman: "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. 271

Jika peristiwa ini terjadi di hari kiamat, maka pengkaitan ayat 117 dalam surah al-Mã‘idah dengan ayat 255 dalam surah al-Baqarah untuk menyatakan bahwa nabi Isa menanggapi pertanyaan Allah tersebut (ayat 116) sebagai syafa'at yang akan diberikan- Nya. Pernyataan demikian dapat disesuikan dengan ayat selanjutnya (118), Jika Engkau menyiksa mereka, Maka Sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, Maka Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana . Memang, ungkapan Maha perkasa apabila Engkau mengampuni

mereka, dan Maha Bijaksana dalam memberi keputusan dapat dipahami sebagai pengembalian urusan kepada Allah, diazab atau diampuni. Namun, jawaban nabi Isa

tersebut dapat pula dipahami sebagai permohonan syafa'at. Pemahaman demikian setidaknya tercermin ketika Rasul berulang-ulang membaca ayat tersebut dalam shalat, sampai keluar air matanya untuk memohon syafa'at bagi umatnya. Imam Ahmad meriwayatkan:

272 Ibn Katsĩr, Tafsĩr al- ََ Quran al-’Azhĩm , jilid 2, hal 232 Hasan, Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imãm Ahmad bin Hanbal, Musnadu al-Anshãr, Hadĩtsu al-Masyãyikh ’an Abi Ka’b , no: 21366

Dari Abu Dzar, ia berkata: pada suatu malam Rasulullah menunaikan shalat, lalu beliau membaca satu ayat, dengannya beliau ruku' dan sujud sampai pagi. Yaitu: Jika Engkau menyiksa mereka, Maka Sesungguhnya

mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, Maka Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha

Bijaksana. Di pagi hari aku berkata: "wahai Rasulullah, anda masih membaca satu ayat, anda ruku' dan sujud dengan ayat tersebut sampai pagi'. Beliau menjawab: "sesungguhnya aku memohon syafa'at pada Tuhanku untuk umatku. Maka Ia memberikannya padaku, dan dengan izin Allah orang-orang yang tidak menyekutukan Allah akan mendapatinya".

Contoh penafsiran tentang kisah nabi Isa yang dikaitkan dengan hadits terlihat dalam ayat selanjutnya, ayat 118 dari surah al-Mã‘idah (5):

ÞΟŠÅ3ptø:$# Ⓝ͕yèø9$# |MΡr& y7‾ΡÎ*sù öΝßγs9 öÏ øós? βÎ)uρ ( x8ߊ$t6Ïã öΝåκ¨ΞÎ*sù öΝåκö5Éj‹yèè? βÎ)

Dari ayat di atas, as-Sulamĩ memahami bahwa nabi Isa memiliki wewenang dalam permintaan untuk umatnya, tetapi nabi Isa tidak memiliki wewenag terhadap keputusan Allah. Adapun nabi Muhammad, beliau memohon syafa'at bagi umatnya - sampai Allah mengabulkan permohonannya- dengan mengatakan: "umatku, umatku." Perbedaan demikian merupakan suatu kemuliaan yang dikhususkan pada nabi Muhammad, permohonan yang diinginkan oleh nabi-nabi sebelumnya. 273

Penafsiran demikian mengisyaratkan pada hadits shahĩh: ﻡﺩﺁ ﻥﻭﺘﺄﻴﻓ ﺽ ﻌﺒ ﻲ ﻓ ﻡﻬﻀ ﻌﺒ ﺱ ﺎﻨﻝﺍ ﺝﺎﻤ ﺔﻤﻴﻘﻝﺍ ﻡﻭﻴ ﻥﺎﻜ ﺍﺫﺇ ﻡ : ﻠﺴﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﺍ ﻰ ﻠﺼ ﺩﻤﺤﻤ لﺎﻗ

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 190

لﻌﻓﺄﻓ ﻕ ﻠﻁ ﻨﺄﻓ ﺭﺎﻨﻝﺍ ﻥﻤ ﻪﺠﺭﺨﺄﻓ ﻥﺎﻤﻴﺇ ﻥﻤ لﺩﺭﺨ Pada hari kiamat manusia akan bercampur satu sama lain, lalu mereka

mendatangi Adam dan berkata: "mohonlah syafa'at kepada Tuhanmu untuk kami". Beliau menjawab: "aku tidak berhak untuknya, hendaklah kalian mendatangi Ibrahim, karena ia adalah sahabat Maha Pengasih!" lalu mereka mendatangi Ibrahim, dan beliau menjawab: "aku tidak berhak untuknya, hendaklah kalian mendatangi Musa, karena ia kawan bicara Allah!" Lalu mereka mendatangi Musa, dan beliau berkata: "aku tidak berhak untuknya, hendaklah kalian mendatangi Isa, karena ia ruh Allah dan kalimatnya!" kemudian mereka mendatangi Isa, dan beliau berkata: "aku tidak berhak untuknya, hendaklah kalin mendatangi Muhammad!" kemudian mereka mendatangiku, lalu aku meminta (syafa'at) pada-Nya dan Ia mengizinkanku dan mengilhamiku (kata-kata) pujian yang belum pernah aku ucapkan. Maka aku memuji-Nya dengan pujian-pujian tersebut dan aku bersujud pada-Nya. Kemudian dikatakan (padaku): "hai Muhammad, angkat kepalamu dan

274 Muhammad bin Ismã’ĩl al-Bukhãrĩ, al-Jãmi’ ash-Shahĩh, Kitãbu at-Tawhĩd (100), Bãbu Kãlami

ar-Rabb, ma’a al-Anbiyã‘ wa Ghairihim (36) , no: 7072 ar-Rabb, ma’a al-Anbiyã‘ wa Ghairihim (36) , no: 7072

pasti diberi syafa'at." Lalu aku berkata: "wahai Tuhanku, umatku, umatku". Kemudian dikatakan (padaku): "pergi dan dan keluarkanlah dari (neraka)nya siapa saja yang dalam hatinya ada iman seberat biji gandum". Lalu aku pergi dan mengeluarkan(nya), kemudian akau memuji-Nya dengan pujian-pujian tersebut dan bersujud pada-Nya. Lalu dikatakan (padaku): "hai Muhammad,

angkat kepalamu dan bicaralah, pasti didengar. Dan mintalah, pasti diberi.

Dan mintalah syafa'at, pasti diberi syafa'at". Lalu aku berkata: "wahai Tuhanku, umatku, umatku". Kemudian dikatakan (padaku): "pergi dan dan

keluarkanlah dari (neraka)nya siapa saja yang dalam hatinya ada iman

seberat biji jagung atau biji sawi". Lalu aku pergi dan mengeluarkan (mereka), kemudian aku kembali dan memuji-Nya dengan pujian-pujian

tersebut dan bersujud pada-Nya. Lalu dikatakan (padaku): "hai Muhammad,

angkat kepalamu dan bicaralah, pasti didengar. Dan mintalah, pasti diberi.

Dan mintalah syafa'at, pasti diberi syafa'at". Lalu aku berkata: "wahai Tuhanku, umatku, umatku". Kemudian dikatakan (padaku): "pergi dan dan

keluarkanlah dari (neraka)nya siapa saja yang dalam hatinya ada iman

seberat biji sawi yang paling sangat rendah". Lalu aku mengeluarkannya dari neraka. As-Sulamĩ juga menafsirkan ayat 30 dari surah Maryam (19), firman Allah:

$wŠÎ;tΡ Í_n=yèy_uρ |=≈tGÅ3ø9$# zÍ_9s?#u «!$# ߉ö7tã ’ÎoΤÎ) tΑ$s% Menurut Ibn ’Athã‘ (w 309 H), ayat tersebut mengandung pemahaman bahwa

Allah menyuruh Isa untuk mengatakan: "sesungguhnya aku ini hamba Allah" karena Allah mengetahui berbagai keingkaran kaumnya terhadapnya. Ucapan nabi Isa tersebut menjadi bantahan terhadap umatnya yang akan mempertuhankannya, karena beliau sendiri bersaksi bahwa beliau adalah hamba Allah.

As-Sulamĩ sendiri menafsirkan, Sesungguhnya aku ini hamba Allah, bukan budak nafsu, bukan budak keserakahan, bukan pula budak syahwat. Dia memberiku al- Kitab , dengan mengkhususkanku dengan berbagai kerahasian, dan Ia menjadikan aku seorang nabi , untuk menyampaikan kebenaran dari-Nya. 275

Kesaksian bahwa dirinya seorang hamba Allah sangat tepat diungkapkan oleh seorang bayi kepada mereka (umat Nashrani) yang menuduh ibunya berzina. Penyaksian seperti ini juga dapat menggugurkan ucapan orang-orang Nashrani bahwa Isa adalah anak Allah. Dengan demikian, bantahan pertama dari Isa adalah menghapus tuduhan kaum Nashrani terhadap Allah. Sebagai hamba Allah, Isa hanya beribadah pada-Nya, dan beliau tidak diperbudak oleh nafsu, keserakahan, dan tidak pula tunduk pada syahwat, yang semunya bersumber dari syaitan.

Selanjutnya, ungkapan Isa bahwa Allah memperikan padanya kitab dan menjadikannya sebagai Nabi juga bantahan terhadap tuduhan kaum Nashrani bahwa

Maryam telah berbuat zina. Allah tidak mungkin memberi kitab-Nya dan menjadikan Nabi seorang yang lahir dari hasil zina. Penafsiran as-Sulamĩ yang dimaksud memberiku al-kitab adalah mengkhususkannya dengan berbagai rahasia, yang demikian agaknya mengisyaratkan kandungan dari kitab tersebut yang didalamnya terdapat rahasia-rahasia yang menerangkan status nabi Isa, serta mukjizat-mukjizat nabi Isa.

Dalam ayat selanjutnya, as-Sulamĩ menafsirkan al-Quran dengan menjelaskan makna dari kata-kata tertentu. Firman Allah:

$|‹ym àMøΒߊ $tΒ Íο4θŸ2¨“9$#uρ Íο4θn=¢Á9$$Î/ Í_≈|¹÷ρr&uρ àMΖà2 $tΒ tør& %º.u‘$t7ãΒ Í_n=yèy_uρ Ibn ’Athã‘ (w 309 H) mengartikan kata mubarãk dalam ayat di atas dengan arti

orang yang selalu bermanfaat ( ﺎ ﻋﺎ ﻔﻧ ) bagi manusia, serta selalu mencegah ( ﺎ ﻓ ﺎ ﻛ ) dari kemelaratan. Al-Junaid (w 230 H) memahami bahwa Allah memberkati nabi Isa bagi

orang yang mengikutinya dengan berpaling dari kehidupan dunia dan meraih kehidupan

275 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 425 275 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 425

Kata mubãrak, yang merupakan bentuk objek dari bãraka, yang diberi kebaikan yang banyak, yang selalu disertai oleh kebaikan. 277 Dengan demikian, Allah mengutus nabi Isa dengan memberinya kebaikan. Tentunya, sebagai Rasul, kebaikan tersebut harus selalu bermanfaat bagi umatnya, dengan mengajak dan mengajari mereka berbuat baik dan menjauhi kejahatan. Mereka yang beriman pada nabi Isa akan mendapatkan pengaruh dari kebaikannya. Dengan sifatnya tersebut, nabi Isa menjadi penuntun untuk

memperoleh kehidupan akhirat yang baik.

C. Seputar Ibadah

Sebagaimana telah disinggung pada pembahasan terdahulu, sering terjadi perselisihan antara ulama zhahir dengan ulama sufi, khusunya bekenaan dengan persoalan syariat. Oleh karena itu, pembahasan di bawah ini akan melihat penafsiran- penafsiran sufi berkenaan dengan persoalan ibadah, khususnya ibadah-ibadah yang terkandung dalam rukun Islam.

1. Shalat Terdapat beberapa macam makna ash-shalãtu yang dikemukakan al-Quran, seperti doa (at-Tawbah: 9, ayat 103), dapat pula berarti mohon ampun ketika kata ash- shalãtu dinisbahkan pada malaikat, atau berarti pensucian ketika kata tersebut

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 1425 Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 10, hal 395 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 1425 Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 10, hal 395

Surah al-Baqarah (2) ayat 3 menjelaskan ciri-ciri orang yang bertakwa: tβθà)Ï ΖムöΝßγ≈uΖø%y—u‘ $®ÿÊΕuρ nο4θn=¢Á9$# tβθãΚ‹É)ãƒuρ Í=ø‹tóø9$$Î/ tβθãΖÏΒ÷σムtÏ%©!$#

Menurut as-Sulamĩ, mendirikan shalat berarti menjaga hukum-hukumnya dan aturan-aturannya, secara lahir dan batin. Apabila shalat didirikan tanpa didasari rasa cinta karena kedekatan dan munajat, dan tanpa didasari rasa pengangungan dan hormat pada Allah, maka shalat tersebut tidak membawa faedah apapun. As-Sulamĩ juga mengutip pemahaman yang bertolak belakang dengan pemahaman di atas, bahwa niat mendirikan shalat atau meninggalakannya bukanlah suatu sarana untuk berinteraksi dengan Allah, melainkan hanya sekedar menunaikan perintah dan larangan. 279

Kata 7E%H G م (أ adalah bentuk kata kerja yang membutuhkan objek dari kata م ( G

م$%H, yang merupakan lawan dari kata @ِ2rH G @َ2g (duduk). Secara sederhana, qãma diartikan dengan berdiri dengan tegak. Selanjutnya, kata aqãma diartikan dengan مادأ, dengan arti terus menerus. 280 Berdiri merupakan simbol dari keseriusan dalam melakukan suatu pekerjaan, yang tidak dapat dilakukan sambil duduk. Karena keseriusan pekerjaan tersebut, dalam hal ini shalat, maka mengerjakannya harus dengan penuh keseriusan dan terus menerus, dengan memperhatikan cara-caranya, syarat-syaratnya, waktunya, dan hal-hal lain yang dijelaskan dalam ilmu fikih. Tidak sebatas pada persoalan gerak fisik, menunaikan suatu pekerjaan yang serius harus dengan niat dan hati yang serius pula. Keseriusan hati itu pula yang menjadikan orang yang mendirikan shalat beruntung.

Adapun penafsiran terakhir yang menyatakan kalau shalat bukanlah sarana berinteraksi dengan Allah, agaknya sulit untuk dimengerti. Penafsiran ini pula yang

279 Husain bin Muhammad al-Mufadhdhal, Ashbahãnĩ, Mufradãtu Alfãzhi al-Quran, jilid 1, hal 589

280 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 49 Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 12, hal 496 280 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 49 Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 12, hal 496

Dari Anas, ia berkata: Rasulullah bersabda: sesungguhnya seseorang dari kalian jika menunaikan shalat, ia berbicara dengan Tuhannya. Maka janganlah ia meludah ke (arah) kanannya, tetapi ke bawah kakinya sebelah kiri. Ketika menafsirkan ayat 45 dari surah al-Baqarah (2):

tÏèϱ≈sƒø:$# ’n?tã āωÎ) îοuŽÎ7s3s9 $pκ¨ΞÎ)uρ 4 Íο4θn=¢Á9$#uρ Ύö9¢Á9$$Î/ (#θãΖŠÏètFó™$#uρ

Mengutip dari Sahl at-Tustarĩ (w 283 H), menjadikan shalat sebagai penolong adalah menjadikannya sebagai penegak agama dan untuk memantapkan keyakinan. Sedangkan Abu ’Utsmãn memahami, sabar dan shalat harus senantiasa menjadi penolong dalam setiap kesempatan. Shalat sangat berat kecuali bagi orang-orang yang hati, niat, dan ruhnya telah khusyu' dalam pengagungan dan pemuliaan. Shalat sangat berat, kecuali bagi orang yang raganya selalu tunduk beribadah, sebagai penuh suka-cita akan keagungan perintah. 282

Kesabaran dapat berupa sabar untuk tidak melakukan maksiat dan sabar untuk tetap memenuhi perintah agama. Terlebih lagi, kata sabar dalam ayat di atas dilajutkan dengan kata shalat lima waktu, salah satu rukun Islam. Dengan demikian, sabar

Muhammad bin Ismail al-Bukhãrĩ, al-Jãmi’ ash-Shahĩh, Kitãbu Mawãqĩtu ash-Shalãti (13),

Bãbu al-Mushallĩ Yunãjĩ Rabbahu (7) 282 , no 508 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 58 Bãbu al-Mushallĩ Yunãjĩ Rabbahu (7) 282 , no 508 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 58

Berkenaan dengan shalat, Rasul selalu melaksanakan shalat ketika ingin melakukan suatu pekerjaan. Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits: 283 ﻰ ﻠﺼ ﺭﻤﺃ ﻪﺒﺯﺤ ﺍﺫﺇ ﻡﻠﺴ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﺍ ﻰ ﻠﺼ ﷲ ﺍ لﻭﺴﺭ ﻥﺎﻜ ﺔﻔﻴﺫﺤ لﺎﻗ :

Apabila Rasul dihadapkan suatu masalah, beliau menunaikan shalat.

Berdasarkan fakta singkat tersebut, maka sabar dan shalat harus selalu mendampingi manusia.

Menunaikan ibadah shalat atau menjadikannya sebagai penolong bukanlah

perkara yang mudah, melainkan perkara yang sulit dan berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'. Al-khãsyi’ũn –kata plural dari al-khãsyi’- merupakan bentuk kata subjek (ism fã’il) dari

, yang berarti merendah ( ). KَN3H 284 – KَNp {ِ+3H – {+p Kerendahan yang dimaksud tidak hanya terbatas pada badan, melainkan juga pada suara (Thahã: 29 ayat 108) dan penglihatan (al-Ma’ãrij: ayat 44). ’Alĩ bin Abi Thãlib menjelaskan:

Dari ’Alĩ bin Abi Thãlib, sesungguhnya beliau ditanyakan tentang: (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya. Beliau berkata: khusyu' dalam hati, dan menundukkan bahumu untuk saudara muslim, dan hendaklah kamu tidak berpaling dalam shalatmu

283 Hasan, Abu Dãwud Sulaimãn bin al-Asy’ats as-Sajastããni, Sunanu Abĩ Dãwud; Ktãbu ash-

Shalãti (2), Bãbu Waqti Qiyãmi an-Nabiy min al-Lail (312 284 ), no: 1319 285 Lisan Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 8, hal 71 Shahĩh, Muhammad bin ’Abdillah al-Hãkim an-Naisãbũrĩ, al-Mustadrak ’alã ash-Shahĩhain,

Kitabu at-Tafsĩr, Tafsĩru Sũrati al-Mu‘minũn, no: 3482

Dari definisi bahasa dan penjelasan ’Alĩ tersebut, maka khusyu' dapat digambarkan sebagai sikap kerendahan hati, yang terlihat pada kerendahan anggota badan. Ayat 46 dari surah al-Baqarah menjelaskan maksud khusyu' dalam ayat 45: (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya . Ayat ini menjelaskan, yang dimaksud khusyu' adalah meyakini pertemuan dengan Allah dan takut terhadap apa yang akan mereka peroleh. Penafsiran di atas barangkali menyatakan kalau ibadah shalat sangat berat untuk ditunaikan kecuali bagi orang-orang yang merasa rendah dan takut terhadap akibat yang akan menimpa mereka di hari kiamat. Sehingga, raga dan hati mereka akan selalu tunduk untuk beribadah pada Allah.

Dalam surah an-Nisã‘ (4) ayat 43 Allah berfirman:

3“t≈s3ß™ óΟçFΡr&uρ nο4θn=¢Á9$# (#θç/tø)s? Ÿω (#θãΨtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'‾≈tƒ

Fokus penafsiran as-Sulamĩ dalam ayat ini adalah berkenaan dengan mabuk. Mabuk tidak hanya karena minuman, -sebagai penyebab paling cepat menghilangkan akal-, tetapi juga mabuk nafsu, mabuk dunia, mabuk harta, mabuk keluarga, dan mabuk maksiat, serta yang sejenisnya. Semua jenis mabuk tersebut dapat menghalangi seseorang dalam mencapai kesempurnaan shalat. Mendirikan shalat hendaknya harus dengan penuh hati dengan meninggalkan segala sesuatu yang memabukkan. Dengan bahasa lebih tegas, al-Wãsithĩ (w 302 H) memahami ayat ini sebagai larangan berusaha mendekati (ب %=&) untuk berinteraksi dengan Allah, kecuali telah melepaskan diri dari segala kehidupan dunia. 286

Ayat di atas merupakan tahapan kedua dari rentetan tahap pengharaman khamar, setelah ayat 219 dari surah al-Baqrah (2) dan sebelum ayat 90 dari surah al- Mã‘idah (5). ’Alĩ bin Abi Thãlib menjelaskan sebab turun ayat tersebut:

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 149

Dari ’Alĩ bin Abi Thãlib, ia berkata: ’Abdurrahmãn menyiapkan makanan untuk kami, lalu ia mengundang kami dan memberi kami minuman khamar, sehingga khamar tersebut memabukkan kami. Dan ketika tiba waktu shalat, mereka mendahulukanku (untuk menjadi imam), lalu aku membaca:

Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang

kamu sembah. dan kami menyembah Tuhan yang kalian sembah. Maka Allah menurunkan: : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang

kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, Kata sukãrã adalah bentuk plural dari نا < : atau ِ< :, yang merupakan bentuk

kata subjek (ism fã’il) dari َ<0 H G ِ< : . Sakara berarti tidak sadar atau hilang ingatan, lawan katanya adalah | q (sadar). 288 Mayoritas ulama tafsir memahami sukãrã dalam ayat tersebut sebagai ketidaksadaran yang disebabkan oleh minuman, sedangkan adh- Dhahãk (w 102 H) memahaminya dengan tidur. 289 Sebagaimana penafsiran as-Sulamĩ dan juga Dhahãk, ketidaksadaran yang berpangkal pada akal tidak hanya disebabkan oleh minuman. Kesadaran manusia dapat saja hilang dikarenakan minuman yang memang dapat menghilangkan ingatan, makanan atau minuman yang halal, harta, atau kehidupan duniawi lainnya yang menghalangi ingatannya dalam shalat. Penafsiran as- Sulamĩ dan Dhahãk di atas dapat saja dibenarkan karena yang dikehendaki dalam shalat adalah perasaan khusyu'. Khusyu' dapat diperoleh dengan memfokuskan pikiran dan raga

287 Hasan Muhammad bin ’Isa at-Turmudzĩ. Sunanu at-Turmudzĩ, Kitãbu at-Tafsĩr, Sũratu an-

Nisã‘, no: 3026 288

289 Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 4, hal 327 Ibn Katsĩr, Tafsĩr al- ََ Quran al-’Azhĩm , jilid 2, hal 309 289 Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 4, hal 327 Ibn Katsĩr, Tafsĩr al- ََ Quran al-’Azhĩm , jilid 2, hal 309

Dari Anas bin Mãlik, ia berkata: sesungguhnya Rasulullah bersabda: jika dihadapkan pada makan sore, maka mulailah dengannya, sebelum kalian menunaikan shalat maghrib, dan janganlah terburu-buru dalam makan. Penafsiran as-Sulamĩ tersebut dapat pula dikuatkan dengan kata lã taqrabũ.

Tokoh mazhab Hanafi, Ahmad asy-Syãsyĩ (Ahmad bin Muhammad bin Ishaq, w 344 H) -sebagaimana dikutip Ibn al-’Arabĩ (w 543 H)- mengartikan ﺏ ﺭﻘﻴ - ﺏ ﺭﻗ dengan arti mendekat pada suatu tempat, sedangkan ﺏ ﺭﻘﻴ - ﺏِ ﺭﻗ (sebagaimana ayat di atas) berarti mencampuri dengan suatu pekerjaan. 291 Jika pembedaan tersebut tidak dapat diterima - karena terdapat ayat al-Quran menggunakan kata kerja yang sama untuk mendekat pada suatu tempat- dan memahaminya dengan satu makna yang sama yaitu dekat pada suatu tempat, maka makna kedua yang diungkapkan asy-Syãsyĩ berarti makna kiasan untuk kata qaruba-yaqrubu dan qariba-yaqrabu. Kalaupun makna lã taqrabũ dipahami dengan arti sebenarnya, dekat pada suatu tempat, maka ayat tersebut melarang mendekati tempat shalat dalam keadaan tidak sadar, apalagi melaksanakannya. Al-Quran juga menggunakan larangan seperti ini terhadap nabi Adam: dan janganlah kamu dekati pohon ini (al-Baqarah (2) ayat 35), juga larangan berbuat zina: Dan janganlah kamu mendekati zina (al-Isrã‘ (17) ayat 32).

Muhammad bin Ismã’ĩl al-Bukhãrĩ, al-Jãmi’ ash-Shahĩh, Kitãbu al-Jamã’ah wa al-Imãmati

(15), Bãbu Idzã Hadhara ath-Tha’ãm wa Uqĩmat ash-Shalãtu (14) 291 , no 641jilid 1, hal 238

Muhammad bin ’Abdillah bin Muhammad bin al-’Arabĩ, Ahkãmu al-Quran, Dãru al-Kutub al-

’Ilmiyyah, Beirut, tt, jilid 1, hal 553

Penafsiran lain berkenaan dengan shalat terdapat dalam surah at-Tawbah (9) ayat 54:

öΝèδuρ āωÎ) nο4θn=¢Á9$# tβθè?ù'tƒ Ÿωuρ Ï&Î!θß™tÎ/uρ «!$$Î/ (#ρãx Ÿ2 óΟßγ‾Ρr& HωÎ) óΟßγçG≈s)x tΡ öΝåκ÷]ÏΒ Ÿ≅t6ø)è? βr& óΟßγyèuΖtΒ $tΒuρ tβθèδ̍≈x. öΝèδuρ āωÎ) tβθà)Ï ΖムŸωuρ 4’n<$|¡à2

Orang yang tidak memahami hakikat perintah, akan menunaikannya dengan perasaan malas. Sebaliknya, orang yang memahami hakikat perintah, akan menunaikannya dengan penuh kesenangan. Demikian menurut Muhammad bin al-Fadhl bin al-’Abbãs (w 319 H). Tokoh utama ajaran al-Malãmatiyyah, Hamdũn bin Ahmad bin ’Imãrah (w 271 H) membagi tiga kategori orang yang menunaikan perintah Allah. Pertama , seseorang menunaikan perintah Allah sesuai dengan kebiasaan. Kategori ini adalah kategori orang yang malas. Kedua, seseorang menunaikannya karena mengharap

pahala. Kategori ini adalah kategori orang yang rakus. Ketiga, seseorang menunaikan perintah Allah dengan musyãhadah. Kategori ini adalah kategori orang yang

menunaikan perintah Allah karena kebersamaannya dengan Allah, bukan sekedar menunaikan perintah demi Allah. 292

Penafsiran yang bersumber dari Muhammad bin al-Fadhl di atas seakan menggambarkan pentingnya ibadah, khususnya shalat. Sebagai ibadah yang paling mulia dan utama, serta pembeda antara orang mukmin dan orang kafir, shalat hendaknya didirikan dengan penuh keseriusan. Orang yang tidak memahami hakikat shalat, serta rahasia-rahasia yang terkandung didalamnya, ia akan menunaikannya dengan malas.

Jika pengkategorian Hamdũn dinilai sebagai pembenaran, maka kategori kedua dan ketiga kurang tepat. Hamba yang menunaikan perintah Allah tentu mengharapkan pahala dari-Nya, karena memang Allah menjajikan ganjaran bagi orang yang melaksanakan perintah-Nya dengan ikhlas. Namun jika pengkategorian tersebut dipahami sebagai tingkatan, maka kategori ketiga dapat dianggap paling sempurna.

292 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 278

Orang yang menunaikan shalat dengan merasakan kebersamaan dengan Allah, tidak mendirikan shalat karena perintah, melainkan karena ingin melebur diri dengan Allah dengan penuh ketakwaan, ikhlas, dan khusyu'. Jika di hari akhirat hamba-hamba yang beriman dapat melihat Allah, tentu lebih bahagia lagi jika sejak di dunia dia dapat "melihat" Allah dan Allah melihatnya, karena shalat adalah sarana berinteraksi dengan Allah. Kategori inilah yang seharusnya dijalani oleh hamba, sebagaimana hadits Jibril:

Seseorang (jibril) bertanya: "wahai Rasulullah, apa itu ihsãn?" Beliau menjawab: beribadahlah pada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, jika kamu tidak melihat-Nya, (ketahuilah) sesungguhnya Ia melihatmu. As-Sulamĩ juga menafsirkan ayat 4 dan 5 dalam surah al-Mã’ũn (107):

tβθèδ$y™ öΝÍκÍEŸξ|¹ tã öΝèδ tÏ%©!$# ∩⊆∪ š,Íj#|Áßϑù=Ïj9 ×≅÷ƒuθsù

Kecelakaan yang dituju ayat tersebut adalah kepada mereka yang menunaikan shalat tanpa khusyu' hati dan anggota badan. Mereka tidak menyadari bahwa shalat adalah sarana interaksi antara hamba dengan Allah.

Dengan bahasa yang lebih jelas, Ibn ’Athã‘ (w 309 H) mengangap ayat ini sebagai satu-satunya ayat yang tidak disertai janji setelah penyebutan ancaman. Kalau shalat orang yang tidak khusyu' saja diancam dengan kecelakaan, apalagi mereka yang tidak menunaikan shalat. 294

Ibn ’Abbãs (w 68 H) menjelaskan, kecelakaan yang ditujukan ayat di atas adalah terhadap orang-orang munafik, karena mereka menunaikan shalat ketika berada dalam keramaian, dan meninggalkannya jika tidak ada yang melihat mereka. 295 Tidak

Muslim bin al-Hajjãj al-Qusyairĩ, Shahĩh Muslim, Kitabu al-Ĩmãn (1), Babu al-Ĩmãn wal al-

Islãm, wa al-Ihsãn, wa Wujũbi al-Ĩmãn bi Itsbãti Qadr Allah (1) 294 , no: 9

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 2, hal 421 Abu ’Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, al-Qurthubĩ, al-Jãmi’ li Ahkãmi al-Quran,

jilid 20, hal 212 jilid 20, hal 212

Itu adalah shalat orang munafik, dia duduk sambil menunggu matahari sapai pada dua tanduk syaitan (hampir terbenam), ia berdiri (shalat) dengan tergesa- gesa, tidak berzikir pada Allah kecuali sedikit. Penggunaan kata / > dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa kecelakaan

ditujukan pada orang-orang yang lalai dari (meninggalkan) shalat, sebagimana sikap orang-orang munafik atau orang-orang muslim yang fasik. Jika digunakan kata o J, maka kecelakaan tersebut tertuju pada orang-orang yang lalai dalam shalatnya, yang 297 barangkali disebabkan oleh godaan syaitan.

Sifat lupa adalah manusiawi yang bisa dialami oleh siapa pun, bahkan Rasul sekalipun, 298 tetapi lupa atau lalai bisa juga dikarenakan tidak khusyu'. Penafsiran yang dikemukakan as-Sulamĩ agaknya memberi isyarat bahwa orang-orang yang lalai dari khusyu' hati dan raga dalam shalat juga mendapat "bagian" dari kecelakaan ayat di atas. Apabila hati khusyu' maka anggota badan akan ikut khusyu'. Setidaknya ciri seperti ini

Muslim bin al-Hajãj al-Qusyairĩ, Shahĩh Muslim, Kitãbu al-Masãjid wa Mawãdhi’u ash-Shalãti

(5), Bãbu Istihbãbi at-Takbĩr bi al-’Ashr (34), 297 no: 622

Mahmũd bin ’Umar az-Zamakhsyarĩ, al-Kasysyãf ’an Haqã‘iqi Ghawãmidhi at-Tanzĩl wa

’Uyũni al-Aqawĩl 298 , Dãru al-Kutub al- ’Ilmiyyah, Beirut, 1995, jilid 4, hal 799

Salah satu riwayat yang menjelaskan demikian adalah:

لﺎﻘﻓ ﻥﻴﺩﻴﻝﺍ ﻁ ﻴﺴﺒ لﺠﺭ ﻡﺎﻘﻓ ﺓﺭﺠﺤﻝﺍ ﻡﻠﺴ ﻡﺜ ﻭﻬﺴﻝﺍ ﻲ ﺘﺩﺠﺴ ﺩﺠﺴ ﻡﺜ ﻡﻠﺴ ﻡﺜ Dari ’Imrãn bin Hushain, ia berkata: Rasulullah mengucapkan salam pada rakaat ketiga dalam

shalat ashar, kemudian beliau berdiri dan masuk kamar. Lalu salah seorang yang memiliki tangan yang panjang berdiri dan bertanya: "wahai Rasulullah, apakah shalat diqashar?" kemudian (Rasulullah) keluar dalam keadaan marah dan shalat satu rakaat yang ia tinggalkan, kemudian mengucapkan salam, kemudian sujud sahw, kemudian salam (lagi).

Muslim bin al-Hajãj al-Qusyairĩ, Shahĩh Muslim, Kitãbu al-Masãjid wa Mawãdhi’u ash-Shalãti (5), Bau as-

Sahwi fĩ ash-Shalãti wa as-Sujũd lahu (19), no: 574 Sahwi fĩ ash-Shalãti wa as-Sujũd lahu (19), no: 574

2. Puasa Al-Quran menyebutkan 13 kali kata yang berakar dari م q, tersebar dalam 7 surah. Penyebutan dengan jumlah tersebut di antaranya berkaitan dengan puasa wajib, puasa sebagai tebusan terhadap kesalahan atau halangan tertentu, dan juga pahala bagi

orang-orang yang berpuasa. As-Sulamĩ hanya menafsirkan dua ayat tentang puasa, yaitu surah al-Baqarah ayat 185 dan surah al-Ahzãb ayat 35 tentang sepuluh golongan yang mendapat ampunan dan pahala dari Allah. Allah berfirman dalam surah al-Baqarah ayata 185:

ç ôϑÝÁuŠù=sù töꤶ9$# ãΝä3ΨÏΒ y‰Íκy− yϑsù Menurut as-Sulamĩ, berpuasa tidak hanya karena melihat bulan di langit sebagai pertanda tibanya bulan Ramadhan. Orang yang menyaksikan Allah dan menyaksikan azab-Nya akan berpuasa selamanya dari berbagai penyimpangan. Orang yang menyaksikan bulan Ramadhan dengan penuh keagungan hendaknya berpuasa dari hawa nafsu, dan dari perkataan yang tidak berguna. Sedangkan orang yang menyaksikan bulan Ramadhan hanya sekedar menjalankan perintah, maka Allah tidak butuh apapun dari kegiatannya untuk meninggalkan makan dan minum. Selanjutnya, as-Sulamĩ mengutip sebuah hadits:

Adapun Mazhfar al-Qarmĩsĩnĩ (murid Abu Muhammad ’Abdullah bin Muhammad al-Kharrãz, w 308 H), membagi tiga ketegori puasa. Pertama, puasa ruh, yaitu dengan mengurangi berbagai keinginan dan cita-cita. Kedua, puasa akal, yaitu dengan menahan hawa nafsu. Ketiga, puasa badan, yaitu menahan dari makan dan minum. 300

Kata ash-shiyãm atau ash-shawm merupakan bentuk kata benda (ism al-

mashdar ) dari م$OH G مq , yang bertari menahan (ك 0CRا) dan meinggalkan (ك =4ا). Hadits atas merupakan penjelasan global tentang rahasia kesempurnaan ibadah puasa. Puasa bukan hanya menahan diri dari makan, minum, dan naluri seksual. Puasa haruslah dilaksanakan dengan menahan diri dari berbagai penyimpangan yang lain, yang

bersumber dari lidah, mata, pendengaran, tangan, kaki, dan anggota badan lainnya.

Terdapat sekian hadits yang menjelaskan apa yang harus ditahan oleh orang yang berpuasa selain makan dan minum.

ﻡﺌﺎﺼ ﻲ ﻨﺇ Jika seseorang dari kalian berpuasa, maka hendaklah ia tidak berbicara kotor

dan tidak berbuat kotor. Jika seseorang mencacinya atau menantangnya, hendaklah ia berkata: "sesungguhnya akau berpuas, sesungguhnya aku berpuasa".

Pembagian yang nyaris sama dengan Mazhraf diikuti oleh Imam al-Ghazãlĩ (w 505 H). Beliau membagi tiga kategori puasa. Puasa orang awam hanya sebatas menahan

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 70. Hadits Shahĩh tersebut di antaranya terdapat dalam: Muhammad bin ’Abdillah al-Hãkim an-Naisãbũrĩ, al-Mustadrak ’alã ash-Shahĩhain, Kitãbu ash-Shawm 300 , no: 1571

301 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 2, hal 146 Muslim bin al-Hajãj al-Qusyairĩ, Shahĩh Muslim, Kitãbu ash-Shiyam (13), Bãbu Hifdzhi al-Lisãn li ash-Shã‘im (29) , no: 1151 301 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 2, hal 146 Muslim bin al-Hajãj al-Qusyairĩ, Shahĩh Muslim, Kitãbu ash-Shiyam (13), Bãbu Hifdzhi al-Lisãn li ash-Shã‘im (29) , no: 1151

Penjelasan as-Sulamĩ, Mazhraf dan Imam al-Ghazãlĩ tentang puasa kiranya tercakup dalam dua hadits tersebut. Di antara hal yang membatalkan puasa adalah makan, minum, dan kegiatan seksual. Perkataan yang keji, dan kejahatan-kejahatan anggota badan lainnya barangkali tidak membatalkan puasa, melainkan menghilangkan pahala puasa. Puasa haruslah ditunaikan dengan menahan diri dari berbagai perbuatan yang tidak berguna.

3. Zakat, Infak, dan Shadaqah Ketika memerintahkan hamba-Nya untuk megeluarkan harta, Allah menggunakan tiga macam kata untuknya, yaitu kata yang berakar dari , قD q , 1+

serta آز penyebutan kata ة آY4ا menunjukkan pada zakat wajib. Sementara dua kata lain dapat . berarti zakat wajib, dapat pula berarti zakat sunah.

As-Sulamĩ menafsirkan ayat 3 dalam surah al-Baqarah (2), firman-Nya:

tβθà)Ï ΖムöΝßγ≈uΖø%y—u‘ $®ÿÊΕuρ nο4θn=¢Á9$# tβθãΚ‹É)ãƒuρ Í=ø‹tóø9$$Î/ tβθãΖÏΒ÷σムtÏ%©!$# Sebagian ulama sufi mengartikan kata nafkah dalam ayat tersebut dengan

cahaya ma’rifat. Sehingga, salah satu ciri-ciri orang yang bertakwa adalah mereka memancarkan berkah ma’rifat dan cahayanya -yang telah kamai berikan- kepada generasi setelahnya. Pemahaman lain dari ayat tersebut menyatakan bahwa iman pada yang ghaib demi kebaikan hati, mendirikan shalat demi kebaikan badan, dan nafkah

adalah untuk kebaikan harta , guna memperoleh ma’rifat-Nya. 303

Abu Hãmid al-Ghazãlĩ, Ihyã‘u ’Ulũmi ad-Dĩn, jilid 1, hal 234 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 50

Kata 1+ berarti habis ( D + ). f UاD4ا m %+ berarti binatang telah mati. Dikatakan mati karena ruhnya telah keluar (habis) dari jasad. 304 Adapun 1 ِِ+aُH merupakan bentuk kata kerja masa kini yang membutuhkan objek, sehingga berarti mengabiskan atau mengeluarkan. Menurut Ibn ’Abbãs (w 68 H), nafkah yang dimaksud ayat di atas adalah zakat wajib, karena kata nafkah dalam ayat tersebut didahului dengan kata shalat. Adapun Ibn Mas’ũd (w 32 H), beliau memahami nafkah yang dimaksud adalah nafkah pada keluarga, karena yang demikian –sebagaimana sabda Rasul- adalah sebaik-baik nafkah. 305 Sedangkan dh-Dhahãk (w 102 H) memahaminya degan sedakah sunah, karena ayat al-Quran menyebutkan kata ة آY4ا untuk zakat wajib. 306

Adapun al-ma’rifat –yang menjadi penafsiran as-Sulamĩ - dalam ilmu tasawuf – sebagaimana telah diutarakan sebelumnya- berarti sifat orang yang mengenal Allah dengan nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, lalu menerapkan sifat-sifat tersebut dalam

kehidupannya, menjauhi akhlak tercela, mengabaikan bisikan nafsu, dan hatinya tidak pernah berpaling dari Allah. Allah sebagai Maha Pengasih dan Pemurah dapat diteladani

oleh hamba-Nya dengan memberi nafkah kepada fakir-miskin, serta orang-orang yang membutuhkannya. Dengan meneladani sifat tersebut, seorang hamba telah memperoleh cahaya ma’rifat dan memancarkannya pada orang-orang lain atau orang-orang setelahnya, karena salah satu rahasia nafkah adalah memperoleh kedekatan Allah, sebagaimana firman-Nya dalam surah at-Tawbah (9) ayat 99.

305 Lisan. Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 10, hal 357 Pendapat ini dikuatkan dengan hadits:

Dari Tsawbãn, ia berkata: Rasulullah bersabda: sebaik-baik Dinar yang dinafkahkan seseorang adalah untuk keluarganya, dan Dinar yang ia nafkahkan untuk binatangnya (untuk berperang) di jalan Allah, dan Dinar yang ia nafkahkan kepada saudaranya di jalan Allah

Muslim bin al-Hajãj al-Qusyairĩ, Shahĩh Muslim, Kitãbu az-Zakãti (12), Bãbu Fadhli an-Nafaqati ’alã al-Iy’ãl

wa al-Mamlũk, wa Itsmu man Dhayya’ahum aw Habisa Nafaqatahum (12), 306 no: 994

Abu ’Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, al-Qurthubĩ, al-Jãmi’ li Ahkãmi al-Quran,

jilid 1, hal 179, Ibn Katsĩr, Tafsĩr al- ََ Quran al-’Azhĩm , jilid 1, hal 168

Ketika menafsirkan ayat 272 dalam surah al-Baqarah (2), as-Sulamĩ mengkaitkannya dengan ayat lain. Firman-Nya:

¤∃uθム9Žöyz ôÏΒ (#θà)Ï Ζè? $tΒuρ 4 «!$# Ï ô_uρ u!$tóÏFö/$# āωÎ) šχθà)Ï Ζè? $tΒuρ 4 öΝà6Å¡à ΡL|sù 9Žöyz ôÏΒ (#θà)Ï Ζè? $tΒuρ šχθãΚn=ôàè? Ÿω ÷ΛäΡr&uρ öΝà6ö‹s9Î)

As-Sulamĩ mengemukakan, nafkah yang dimaksud adalah apa yang dikeluarkan hamba berupa mujãhadah 307 dan ketaatan. Segala mujãhadah dan ketaatan yang dikorbankkan hamba, semuanya akan kembali pada dirinya, sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Isrã‘ (17) ayat 7:

ö/ä3Å¡à ΡL{ óΟçFΨ|¡ômr& óΟçFΨ|¡ômr& ÷βÎ) Adapula yang memahami, segala nikmat dan pemberian Allah ditujukan kepada

mereka yang taat, karena nikmat-Nya adalah kemuliaan, dan adanya sebab atau alasan

menafkahkan harta dapat mengurangi karunia tersebut, yang berakibat pada dendam Allah. Oleh karena itu, orang yang memberi nafkah hendaknya tidak mengharapkan imbalan dan tanpa alasan tertentu. 308

Ayat sebelumnya menerangkan bahwa menyembunyikan sedekah lebih baik daripada menampakkannya, meski untuk dicontoh orang lain. Tetapi, kedua cara tersebut tetap merupakan cara yang baik. Adapun ayat 272 di atas menjelaskan manfaat dari sedekah, yang pada ayat sebelumnya telah menyebutkan manfaat lain, berupa penghapusan dosa. Segala harta yang dikeluarkan hamba dijalan Allah pahalanya akan dikembalikan padanya. Tidak sedikit ayat al-Quran yang menyatakan segala amalan hamba yang baik, semua kebaikan tersebut kembali pada dirinya, termasuk ayat 7 dari surah al-Isrã‘ di atas. Penegasan yang sama juga diutarakan dalam surah Fushshilat ayat 46:

Mujãhadah adalah menjauhkan jiwa dari kebiasaannya, dan mendorongnya pada kegiatan- kegiatan yang bertentangan dengan nafsunya. Abu al-Qãsim ’Abdu al-Karĩm bin Hauzãn, al-Qusyairĩ, ar- Risãlatu al-Qusyairiyyah 308 , hal 176

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 80

ω‹Î7yèù=Ïj9 5Ο≈‾=sàÎ/ y7•/u‘ $tΒuρ 3 $yγøŠn=yèsù u!$y™r& ôtΒuρ ( Ï Å¡ø uΖÎ=sù $[sÎ=≈|¹ Ÿ≅ÏΗxå ô¨Β Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya.

Ungkapan as-Sulamĩ di atas merupakan pemahaman yang luas berkenaan dengan nafkah yang dikeluarkan hamba. Orang-orang yang memiliki harta dan menafkahkan hartanya dijalan Allah, pahala nafkah tersebut akan kembali pada dirinya. Namun, orang-orang yang tidak memiliki harta dapat juga bernafkah –anfaqa yang berarti mengeluarkan- dengan mengeluarkan (mengorbankan) jiwa dan raganya dalam beribadah dan bermujahadah pada Allah.

Penafsiran kedua yang dikemukakan as-Sulamĩ dapat dipahami sebagai penjelasan frase selanjutnya dari ayat 272 di atas. Sedekah dan infak yang mendapat

pahala adalah infak yang dikeluarkan hanya untuk memperoleh keridhaan Allah, bukan karena tujuan tertentu

Penafsiran seperti ini ditegaskan as-Sulamĩ ketiga menafsirkan ayat 39 dari surah ar-Rũm (30):

t ô_uρ šχρ߉ƒÌè? ;ο4θx.y— ÏiΒ ΟçF÷s?#u !$tΒuρ ( «!$# y‰ΨÏã (#θç/ötƒ Ÿξsù Ĩ$¨Ζ9$# ÉΑ≡uθøΒr& þ’Îû (#uθç/÷ŽzÏj9 $\/Íh‘ ÏiΒ ΟçF÷s?#u !$tΒuρ tβθà ÏèôÒßϑø9$# ãΝèδ y7Í×‾≈s9'ρé'sù «!$#

As-Sulamĩ menafsirkan, pahala yang berlipat ganda tidak diperoleh karena zakat, melainkan karena keinginan meraih ridha Allah. Zakat yang dimaksud adalah zakat badan untuk membersihkannya dari maksiat, dan zakat harta untuk membersihkannya dari hasil yang tidak jelas. 309

309 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 2, hal 125

As-Sulamĩ ingin mempertegas bahwa tujuan yang utama dalam menunaikan zakat adalah meraih keridhaan Allah. Bila zakat atau infak ditunaikan untuk memperoleh imbalan lebih besar dari orang yang dinafkahi, maka ia tidak memperoleh pahala apa pun dari Allah.

Penafsiran yang hampir sama juga terlihat dalam surah Ãli ’Imrãn (3) ayat 134: Ï!#§ŽœØ9$#uρ Ï!#§Žœ£9$# ’Îû tβθà)Ï ΖムtÏ%©!$#

Dalam pemahaman as-Sulamĩ, ayat di atas menyatakan: yaitu mereka yang menafkahkan harta-harta mereka, jiwa mereka, dan hati mereka untuk memperoleh keridhaan Allah. 310

Penafsiran as-Sulami tersebut mempertegas kalau nafkah bukan hanya dengan harta, melaikan juga dengan tenaga dan isi hati.

Penafsiran lain berkenaan dengan zakat atau sedekah terdapat dalam surah at- Tawbah (9) ayat 103:

$pκÍ5 ΝÍκŽÏj.t“è?uρ öΝèδãÎdγsÜè? Zπs%y‰|¹ öΝÏλÎ;≡uθøΒr& ôÏΒ õ‹è{ As-Sulamĩ mengemukakan, mengambil sedekah dari orang yang berhak dapat membersihkan mereka untuk mengeluarkan zakat dan membersihkan mereka dari kekotoran dunia, dan berdoa untuk mereka dapat menenangkan mereka untuk akhirat dan berpaling dari dunia. Ruwaim 311 menafsirkan: membersihkan niat mereka dan mensucikan jiwa mereka. 312

Ayat di atas menggunakan dua kata membersihkan; 7LEآY&, dan 7ه L}&. ء آY4اا dengan arti tambahan (ةد HY4ا, ء Za4ا) lebih umum dari kata L}4ا (bersih). Kata tuthahhirum

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 119 Muhammad Ruwaim bin Ahmad bin Yazĩd, ulama tasawuf yang ahli alam ilmu hadits dan

qiraat, wafat di Baghdad 303 H. Dzahabĩ, Muhammad bin Ahmad Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 14,

hal 234 312 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 244 hal 234 312 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 244

4. Haji Terhadap rukun Islam yang kelima ini, al-Quran menjelaskan orang-orang yang berkewajiban menunaikannya, tata cara pelaksanaannya, serta cikal-bakal diperintahkannya ibadah haji. Dari sekian banyak ayat al-Quran yang berbicara tentang

haji, tentu mengandung rahasia-rahasia dan pedoman bagi hamba untuk menjalani hidupnya di dunia ini. Nilai-nilai ibadah haji beginilah yang menjadi perhatian as- Sulamĩ.

Dalam surah al-Baqarah (2) ayat 158 Allah berfirman:

tΒuρ 4 $yϑÎγÎ/ š’§θ©Ütƒ βr& Ï ø‹n=tã yy$oΨã_ Ÿξsù tyϑtFôã$# Íρr& |MøŠt7ø9$# ¢kym ôyϑsù ( «!$# ̍Í←!$yèx© ÏΒ nοuρöyϑø9$#uρ $x ¢Á9$# ¨βÎ)

íΟŠÎ=tã íÏ.$x© ©!$# ¨βÎ*sù #ZŽöyz tí§θsÜs?

Artinya: Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.

Barang siapa menaiki bukit Shafa tidak dengan niat yang tulus pada Allah, sesungguhnya ia belum menunaikan salah satu syi'ar haji. Dan, barang siapa menaiki bukit Marwa, sementara ia belum melihat hal-hal yang ghaib, berarti belum tampak Barang siapa menaiki bukit Shafa tidak dengan niat yang tulus pada Allah, sesungguhnya ia belum menunaikan salah satu syi'ar haji. Dan, barang siapa menaiki bukit Marwa, sementara ia belum melihat hal-hal yang ghaib, berarti belum tampak

Penafsiran di atas tidak jauh berbeda dengan penafsiran Imam Ja’far. Menurutnya, yang dimaksud dengan Shafa adalah kesucian ma’rifat, dan yang dimaksud dengan Marwah adalah akhlak (ةءو Z4ا) orang ’ãrif. Pemahaman lain dari Ja’far menyatakan bahwa Shafa adalah pensucian diri dari kekotoran dunia dan hawa nafsu. Imam Ja’far juga mengatakan, sebagaimana menurut riwayat Manshũr, yang dimaksud dengan Shafa adalah ruh, karena ruh suci dari berbagai penyimpangan. Sedangkan Marwah adalah jiwa, karena jiwa digunakan oleh akhlak untuk berkhidmat pada Allah. 313

Ditinjau dari segi geografis, Shafa dan Marwah merupakan dua gunung antara lembah Makkah dan mesjid al-Haram. Shafa adalah tempat tertinggi dari gunung Abu

Qabĩs, dan Marwah adalah gunung yang berbatasan dengan gunung Qu’aiqa’an. 314 Adapun dari sudut pandang bahasa, kata sh-Shafã, yang berakar dari kata $+OH – +q , merupakan bentuk plural dari ة +O4ا. Shafã-yashfũ berarti jernih, lawan dari رDآ (kotor). 315 Bukit yang terletak di Makkah dinamakan dengan Shafa karena bukit tersebut terdiri dari batu-batu keras yang mulus, bersih. Sedangkan al-Marwatu adalah batu putih yang bercahaya yang dapat digunakan sebagai bahan bakar. Dinamakan demikian karena gunung tersebut terdiri dari batu-batu butih bercahaya yang dapat dijadikan bahan bakar. 316

Memahami kata ash-Shafã dalam ayat 158 dengan kejernihan seakan mengingatkan bahwa orang yang menaiki bukit Shafa haruslah memiliki kejernihan ma’rifat dan kejernihan jiwa, karena yang demikian juga termasuk dalam bentuk

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 69

Yãqũt al-Hamwĩ, Mu‘jamu al-Buldãn, Dãru al-Fikr, Beirut, tt, jilid 3, hal 411 dan jilid 5, hal 116

Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 14, hal 462 Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 15, hal 275

Adapun penafsiran kata sh-Shafã dengan arti ruh dan al-Marwatu dengan arti jiwa, meski penjelasannya nyaris sama dengan penafsiran sebelumnya, namun dua kata tersebut tidak memiliki kesamaan dengan kata yang diartikan. Terlebih lagi, as-Sulamĩ mengemukakan penafsiran yang melalui jalur Manshũr tersebut dengan ungkapan: mBZ:

+Bg /> kد a: U ل$%H ار$OaC. Periwayatan semacam ini menunjukkan ketidakjelasan kwalitas riwayat tersebut, sebagaimana telah diutarakan pada kisah nabi Ibrahim tentang

sosok Manshũr serta riwayat yang bersumber darinya.

Penafsiran lain berkenaan dengan haji terdapat dalam surah Ãli ‘Imrãn (3) ayat 97:

tÏϑn=≈yèø9$# Çtã ;Í_xî ©!$# ¨βÎ*sù tx x. tΒuρ 4 Wξ‹Î6y™ Ï ø‹s9Î) tí$sÜtGó™$# ÇtΒ ÏMøt7ø9$# ÷kÏm Ĩ$¨Ζ9$# ’n?tã ¬!uρ

Haji merupakan satu-satunya ibadah yang diungkapkan al-Quran dengan kewajiban manusia terhadap Allah. Hal ini karena haji memiliki kekhususan tersendiri. Haji merupakan satu-satunya ibadah yang mengorbankan harta dan jiwa. Haji merupakan ibadah yang paling lelah secara fisik, sehingga membutuhkan pertolongan Allah. Selain itu, setiap kegiatan dalam ibadah haji memiliki nilai-nilai yang berharga, sebagai persiapan untuk hari kiamat.

Seorang ulama sufi mengajarkan kepada asy-Syiblĩ (w 334 H) rahasia di balik kegiatan haji. Di antaranya, niat haji harus ditunaikan dengan mengabaikan segala niat yang telah dilalui sejak lahir. Melepas baju hendaklah melepaskan diri dari segala perbuatan (buruk) yang telah dilakukan. Bersuci adalah menghilangkan segala cacat.

Dalam talbiyah, harus mendapatkan jawaban yang serupa. Menunaikan ihram harus dengan niat untuk meninggalkan segala pekerjaan yang haram. Menyalami atau menyentuhi Hajar al-Aswad berarti bersalaman dengan Allah, dan orang yang menyalaminya akan berada dalam kententraman. Menaiki bukit Shafa harus menjernihkan segala niat, dan mengangap kecil segala sesuatu selain Allah. Berlari dalam sa'i harus mencerminkan pelarian dari keburukan menuju kebaikan. Menaiki bukit Marwah hendaknya merasakan ketenangan dan ketrentaman. Berada di Mina harus mendapatkan apa yang dicita-citakan. Berada di ’Arafah hendaklah mengetahui kadaan yang diciptakan untuknya, serta kaadaan yang dijalani. Berzikir di Muzdalifah hendaklah berzikir dengan melupakan selain Allah. Rahasia di balik berkurban, hendaknya manusia menghilangkan segala keinginan dan nafsu untuk memperoleh ridha Allah. Melempar jumrah adalah melempar kebodohan dengan menambah ilmu. Kegiatan

tahallul mengisyaratkan untuk makan makanan yang halal. Abu al-Hasan ’Alĩ bin Ibrãhĩm al-Hashri (w 371 H) juga mengajarkan rahasia-rahasia yang tidak jauh berbeda

dengan yang di atas kepada as-Sulamĩ, meski hanya persolan rukun haji saja. 317 Penafsiran di atas menggambarkan ketekunan dalam menunaikan ibadah haji, bukan hanya sekedar menjalani tata cara ibadah haji. Dengan ketekunan tersebut, ibadah haji bukan hanya sekedar ibadah yang harus ditunaikan oleh orang Islam, melainkan bekal bagi seorang muslim dalam menjalani hidup selanjutnya.

Talbiyah merupakan jawaban atas panggilan Allah menunaikan ibadah haji. Lafadzh talbiyah dapat dianggap sebagai cerminan ibadah haji seseorang, apakah ibadah haji tersebut benar-benar ditunaikan untuk memenuhi panggilan Allah, atau ada dorongan lain. Orang yang menunaikan ibadah haji hendaknya mengkhawatirkan kalau Allah menolak jawabannya. Mungkin manusia tidak bisa mendengar jawaban jawaban talbiyah dari Allah, tetapi jika ibadah haji ditunaikan dengan ikhlas dan talbiyah

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 110 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 1, hal 110

Dari Sahl bin as-Sã’dĩ, dari Rasulullah, beliau bersabda: tidaklah seseorang melafadzkan talbiyah kecuali akan ikut ber-talbiyah pula semua batu dan tanah liat di kanannya dan di kirinya sampai ke penjuru bumi. Jika dalam pelaksanaan ihram diharamkan pakain tertentu, makanan tertentu

dan tindakan tertentu yang dihalalkan di luar ihram, maka diluar ihram hendaknya menjauhi hal-hal dan segala prilaku yang diharamkan agama. Berkenaan dengan Mina,

sebagaian ulama bahasa berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari kata oaZH G 'aC ,

yang berarti رّD( (mentakdirkan). Dinamakan Mina karena di tempat tersebut ditakdirkan penumpahan darah, yaitu menyembelih hewan. 319 Dikaitkan dengan kata Mina yang diungkapkan di atas, selain tempat penyembelihan, Mina juga menjadi tempat untuk berharap pada Allah, karena dari kata manã dapat berbentuk 'aZ& (tamannã) yang berarti berdoa.

Menyalami Hajar al-Aswad berarti menyalami Allah. Ungkapan demikian mengisyaratkan pada hadits:

318 Shahĩh , Muhammad bin ’Abdillah al-Hãkim an-Naisãbũrĩ, al-Mustadrak ’alã ash-Shahĩhain,

Awwalu Kitãb al-Manãsik 319 , no: 1656

320 Ibn Manzhũr al-Afrĩqĩ, Lisãn al-’Arab, jilid 15, hal 292 Shahĩh , Muhammad bin ’Abdillah al-Hãkim an-Naisãbũrĩ, al-Mustadrak ’alã ash-Shahĩhain,

Awwalu Kitãb al-Manãsik , no: 1681

Dari ’Abdullah bin ’Amr, sesungguhnya Rasulullah bersabda: Rukun (batu) ini akan datang pada hari kiamat lebih besar dari (gunung) Abu Qabĩs, ia memiliki lidah dan dua bibir untuk berbicara tentang siapa saja yang menyalaminya dengan niat (yang tulus). Ia (batu) adalah tangan kanan Allah, dengannya Ia menyalami makhluk-Nya

Selain hadits di atas, terdapat hadits shahĩh lain yang menyatakan keutamaan batu

tersebut:

ﻕ ﺤﺒ ﻪﻤﻠﺘﺴﻴ ﻥﻤ ﻰ ﻠﻋ ﺩﻬﺸﻴ ﻭ ﻪﺒ ﻕ ﻁ ﻨﻴ ﻥﺎﺴﻝﻭ ﺎﻤﻬﺒﺭﺼ ﺒﻴ ﻥﺎﻨﻴﻋ Dari Ibn ’Abbãs, ia berkata: Rasulullah bersabda: sungguh batu ini akan

datang pada hari kiamat dengan dua mata untuk melihat, dan lidah untuk berbicara terhadap siapa saja yang menyalaminya dengan sungguh-sungguh

Rahasia-rahasia ibadah haji lain juga dikemukakan as-Sulamĩ ketika menafsirkan ayat 27 dari surah al-Hajj (22):

9,ŠÏϑtã ?dksù Èe≅ä. ÏΒ šÏ?ù'tƒ 9ÏΒ$|Ê Èe≅à2 4’n?tãuρ Zω%y`Í‘ š‚θè?ù'tƒ Ædkptø:$$Î/ Ĩ$¨Ψ9$# ’Îû βÏiŒr&uρ

Mengutip dari Dzũ an-Nũn al-Mishriy (w 246 H), merupakan kewajiban yang harus ditunaikan, paling tidak satu kali selama hidup, bagi yang mampu. Dalam ibadah haji terdapat pelajaran menunju akhirat, manfaat yang banyak utuuk menambah keyaki nan pada hari akhirat, serta ketenangan jiwa dan ketetapan hati pada Allah. Di antara pelajaran-pelajaran tersebut adalah niat. Niat menunaikan ibadah haji laksana orang yang meyakini kematian dan menghadap Allah, sehingga seseorang harus mempersipakannya dengan penuh ketaatan kepada Allah. Orang yang keluar dari rumah untuk ibadah haji laksana mayat yang meninggalkan dunia dan tidak akan kembali. Ketika memulai perjalanan dengan menaiki kendaraan, maka kendaraan tersebut adalah tawakkal,

321 Shahĩh Muhammad bin Yazĩd bin Mãjah, Sunanu Ibn Mãjah, Kitãb al-Manãsik (25), Bãbu

Istislãmi al-Hajar (27 ), no: 2944 Istislãmi al-Hajar (27 ), no: 2944

antara surga dan neraka. Mesjid al-Haram ibarat surga, orang yang memasukinya merasa aman dan tentram. 323

Berbeda dengan ibadah shalat –serta kegiatan dalamnya- yang menggambarkan ketundukan hamba pada Allah, atau zakat yang dapat mengurangi beban orang miskin, ibadah haji –serta kegiatan-kegiatan dalamnya- merupakan ibadah yang sulit dicerna akal. Ibadah yang demikian memiliki nilai tersendiri dibandingkan dengan ibadah yang sulit dipahami akal.

Jika di antara faedah shalat –dapat mencegah atau bahkan menghilangkan perbuatan buruk (Hud: 11 ayat 114), atau zakat yang dapat mengurangi beban orang miskin, al-Quran hanya menyatakan bahwa dalam ibadah haji terdapat faedah yang banyak (al-Hajj: 22 ayat 28). Sementara hadits-hadits Nabi –khususnya hadits shahĩh- hanya menyatakan kalau haji yang mabrur dapat menghapus dosa yang lalu dan

322 Ungkapan ini mengisyaratkan pada hadits Nabi yang panjang, yang telah dikemukakan dalam

kisah nabi Isa. 323

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 2, hal 22 Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Haqã‘iqu at-Tafsĩr, jilid 2, hal 22

Pengaruh ibadah haji tidak hanya dengan manfaat di kehidupan dunia –seperti perdagangan- dan manfaat di akhirat berupa pahala dari Allah. Dengan keumuman

manfaat haji yang digambarkan al-Quran, manusia dapat mengambil manfaat apa saja yang dapat mentrentamkan jiwanya, dan manambah ketauhidan dan keimanannya pada Allah, sehingga memperoleh kehidupan yang lebih baik di akhirat.

Abu Zakariyã Yahyã bin Syaraf an-Nawawĩ, al-Manhaj Syarhu Muslim bin al-Hajãj, Dãru Ihyã‘i at-Turãts al-’Arabiy, Beirut, Beirut, 1392 H, jilid 9, hal 119

Abu ’Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, al-Qurthubĩ, al-Jãmi’ li Ahkãmi al-Quran,

jilid 2, hal 401 326

Hadist yang dimaksud adalah: ﻡﻼ ﻜﻝﺍ ﺏ ﻴﻁ ﻭ ﻡﺎﻌﻁ ﻝﺍ ﻡﺎﻌﻁ ﺇ لﺎﻗ ؟ﺞﺤﻝﺍ ﺭﺒ ﺎﻤ ﻡﻠ : ﺴ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﺍ ﻰ ﻠﺼ ﷲ ﺍ لﻭﺴﺭ لﺌﺴ Rasulullah ditanya tentang haji yang mabrur. Beliau menjawab: memberi makan dan berbicara yang baik

Shahĩh , Muhammad bin ’Abdillah al-Hãkim Naisãbũrĩ,, al-Mustadrak ’alã ash-Shahĩhain, Awwalu Kitãbi al-

Manãsik, no: 1778

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan

Haqã‘ĩqu at-Tafsĩr merupakan tafsir sufi klasik, yang paling tidak mengandung 2197 penafsiran ayat al-Quran. Dengan penuh keyakinan, as-Sulamĩ tidak mengingkari makna zhahir dari al-Quran, namun suatu hal yang mendorongnya untuk menulis Haqã‘ĩqu at-Tafsĩr karena banyaknya penafsiran-penafsiran al-Quran secara zhahir. Nuansa sufi yang terkandung dalamnya menimbulkan penilaian bahwa seluruh kandungan Haqã‘ĩqu at-Tafsĩr bernuansa Isyãrĩ yang menyimpang, bahkan ada yang menyamakannya dengan penafsiran kaum Bãthiniyyah. Kenyataannya, tidaklah semua penafsiran as-Sulamĩ menggunakan corak Isyãrĩ, dan tiak pula seluruh penafsirnnya

sesat.

Menilai Haqã‘ĩqu at-Tafsĩr sebagai kitab tafsir yang seluruh isinya mengandung penafsiran sufi tidaklah tepat, karena di dalamya termuat penafsiran- penafsiran dengan riwayat yang bersumber dari al-Quran atau hadits -dengan kwalitas berbeda-, bahkan penafsiran sahabat dan tabi'in, sebagaimana penafsiran ulama tafsir zhahir. Penafsiran al-Quran dengan al-Quran –sebagai contoh- terlihat ketika as-Sulamĩ menafsirkan ayat 37 dari surah al-Baqarah (2) dan mengaitkannya dengan ayat 23 dalam surah al-A’rãf (7), begitu juga ketika beliau menafsirkan ayat 35 dari surah al-Baqarah (2) dengan mengkaitkannya dengan ayat 115 dalam surah Thahã (20). Penafsiran al- Quran dengan hadits nabi juga terlihat ketika as-Sulamĩ menafsirkan ayat 185 dalam surah al-Baqarah (2) tentang puasa, sama halnya ketika as-Sulamĩ menguraikan rahasia ibadah haji berkenaan dengan menyalami Hajar al-Aswad. Memang, tidak semua ayat – seperti penafsiran ayat 106 dalam surah al-Baqarah(2) dengan an-Najm (53) ayat 8 sampai ayat 10- dan hadits –seperti penafsiran ayat 34 dalam suran an-Nisã‘ (4)- yang menjadi penafsirannya memiliki keterkaitan secara zhahir dengan ayat atau hadits yang Menilai Haqã‘ĩqu at-Tafsĩr sebagai kitab tafsir yang seluruh isinya mengandung penafsiran sufi tidaklah tepat, karena di dalamya termuat penafsiran- penafsiran dengan riwayat yang bersumber dari al-Quran atau hadits -dengan kwalitas berbeda-, bahkan penafsiran sahabat dan tabi'in, sebagaimana penafsiran ulama tafsir zhahir. Penafsiran al-Quran dengan al-Quran –sebagai contoh- terlihat ketika as-Sulamĩ menafsirkan ayat 37 dari surah al-Baqarah (2) dan mengaitkannya dengan ayat 23 dalam surah al-A’rãf (7), begitu juga ketika beliau menafsirkan ayat 35 dari surah al-Baqarah (2) dengan mengkaitkannya dengan ayat 115 dalam surah Thahã (20). Penafsiran al- Quran dengan hadits nabi juga terlihat ketika as-Sulamĩ menafsirkan ayat 185 dalam surah al-Baqarah (2) tentang puasa, sama halnya ketika as-Sulamĩ menguraikan rahasia ibadah haji berkenaan dengan menyalami Hajar al-Aswad. Memang, tidak semua ayat – seperti penafsiran ayat 106 dalam surah al-Baqarah(2) dengan an-Najm (53) ayat 8 sampai ayat 10- dan hadits –seperti penafsiran ayat 34 dalam suran an-Nisã‘ (4)- yang menjadi penafsirannya memiliki keterkaitan secara zhahir dengan ayat atau hadits yang

Sebagaimana penafsiran al-Quran dengan al-Quran dan penafsiran al-Quran dengan hadits, penafsiran dengan hasil serupa juga terdapat ketika as-Sulamĩ menafsirkan suatu ayat dan mengkaitkannya dengan bahasa. Terkadang, as-Sulamĩ mengartikan suatu kalimat dengan makna yang sesuai dengan makna asalnya, namun memahaminya secara luas dalam penafsiran –sebagaimana pemahaman kata ن$%+aH dalam surah al-Baqarah (2) ayat 3 dan kata ن$+آ > ayat 187. Ada pula pemaknaan suatu kalimat dengan makna yang tidak tepat berkaitan dengan ayat, sebagaimana pemaknaan kata

o C`ا dengan makna o Zr>`ا. Penafsiran-penafsiran dengan karakter-karakter tersebut termuat dalam tema-tema yang dibahas pada bab V.

Menyamakan Haqã‘ĩqu at-Tafsĩr dengan tafsir kaum Bãthiniyyah tidaklah tepat, karena kaum Bãthiniyyah mengingkari makna zhahir, sementara as-Sulamĩ mengakuinya, sebagaimana terlihat dalam Haqã‘ĩqu at-Tafsĩr dan karya-karyanya yang lain. Menganggap "kafir" yang mengakui Haqã‘ĩqu at-Tafsĩr –apalagi penulisnya-, serta vonis bahwa Haqã‘ĩqu at-Tafsĩr penuh dengan penafsiran yang keliru juga tidak tepat, karena di dalamnya mengandung nilai-nilai zuhd yang dalam, serta tuntunan yang bermanfaat. Memang, dalam Haqã‘ĩqu at-Tafsĩr terdapat penafsiran-penafsiran yang dipandang keliru dan tidak sesuai dengan ketetapan bahasa dan syariat, sebagai dua syarat yang ditetapkan oleh ulama zhahir sebagai untuk diterimanya tafsir Isyãrĩ, namun –sekali lagi- tidak semuanya demikian.

Merujuk pada pembahasan bab IV dan bab V, maka penilaian yang paling tepat terhadap Haqã‘ĩqu at-Tafsĩr adalah sebagaimana diutarakan Ibn Taimiyyah. Kitab Haqã‘ĩqu at-Tafsĩr mayoritas isinya mengemukakan berbagai makna yang bermanfaat, Merujuk pada pembahasan bab IV dan bab V, maka penilaian yang paling tepat terhadap Haqã‘ĩqu at-Tafsĩr adalah sebagaimana diutarakan Ibn Taimiyyah. Kitab Haqã‘ĩqu at-Tafsĩr mayoritas isinya mengemukakan berbagai makna yang bermanfaat,

Suatu karya seperti Haqã‘ĩqu at-Tafsĩr boleh saja terdapat kekurangan atau kekeliruan di dalamnya, sebagaimana karya-karya lain pada umumnya. Meski demikian, mayoritas kandungan dalam Haqã‘ĩqu at-Tafsĩr berupa tuntunan bagi orang beriman selama di dunia ini. Tuntunan kezuhudan yang dikemukakan as-Sulãmĩ setidaknya tergambar dari kisah-kisah para Rasul yang harus diteladani, serta dalam ibadah keseharian. Kekeliruan dalam Haqã‘ĩqu at-Tafsĩr juga tidak mencerminkan kekurangan

ilmu penulisnya, karena beliau seorang sufi sekaligus ulama hadits. Persoalan yang rumit adalah ketika Haqã‘ĩqu at-Tafsĩr dihadapkan pada orang-orang awam yang tidak

memliki dasar kuat dalam persoalan syariat.

B. Saran

Al-Quran sebagai wahyu Allah dan tuntunan utama bagi umat Islam sarat dengan nilai-nilai spiritual, apalagi bagi ulama-ulama sufi. Penafsiran-penafsiran sufi yang diungkapakan as-Sulamĩ menjadi pedoman bagi manusia dalam menempuh hidup di dunia ini.

Mereka yang telah memahami ilmu syariat dengan baik dan juga memahami ilmu tasawuf, tidak salahnya bila menghayati penfasiran-penafsiran yang terkandung dalam Haqã‘ĩqu at-Tafsĩr. Karena, persoalan-persoalan ibadah dan kisah para Rasul – misalkan- mengandung berbagai makna yang dapat menambah keseriusan hamba dalam beribadah –bukan sekedar menunaikan perintah-, juga menuntun hamba untuk Mereka yang telah memahami ilmu syariat dengan baik dan juga memahami ilmu tasawuf, tidak salahnya bila menghayati penfasiran-penafsiran yang terkandung dalam Haqã‘ĩqu at-Tafsĩr. Karena, persoalan-persoalan ibadah dan kisah para Rasul – misalkan- mengandung berbagai makna yang dapat menambah keseriusan hamba dalam beribadah –bukan sekedar menunaikan perintah-, juga menuntun hamba untuk

Sebaliknya, bagi kaum awam yang tidak memahami ilmu syariat dengan baik dan tidak memahai ilmu hadits dan tafsir, hendaknya menahan diri untuk membaca – apalagi berpedoman pada- Haqã‘ĩqu at-Tafsĩr, khawatir kekurangan-kekurangan yang terdapat dalamnya akan menyebar bagi kaum awam yang lain.

Dengan kekurangan-kekurangan yang terdapat dalamnya, hendaknya tidak menghukumi tafsir sufi –khususnya Haqã‘ĩqu at-Tafsĩr- secara keseluruhan dengan berbagai tuduhan yang tidak berdasar, apalagi tidak didahului dengan pemahaman dan telaah yang mendalam terhadap tafsir yang bersangkutan, dan dan tidak pula mengakaitkan penafsiran-penafsirannya dengan ilmu tasawuf.

DAFTAR PUSTAKA

Ãbãdĩ, Muhammad bin Ya’qub al-Fairũz, Tanwĩru al-Miqbãs min Tafsĩri Ibn ’Abbãs,

Dãru al-Fikr, Beirut, 1995

Abu al-Qãsim, Tamãm bin Muhammad, Fawã‘idu Tamãm, Maktabatu ar-Rusyd, Saudi,

Ahmad, Hanafĩ, at-Tafsĩr al-’Ilmiy li al-ãyãt al-Kawniyyah fi ĩ al-Quran, Dãru al-

Ma’ãrif, Mesir, tt

Alũsĩ, Syihãbu ad-Dĩn, Mahmũd bin ’Abdillah, Rũhu al-ma’ãnĩ fĩ Tafsĩri al-Qur’ãn al- ’Adzĩm wa as-Sab’i al-Matsãnĩ, Dãru al-Kutub al- ’Ilmiyyah, Beirut, 2001

Anwar, Rosihan, Tafsir Esoterik Menurut Pandangan Thabãthabã’i, (Disertasi Doktor), Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2004

Armstrong, Amatullah, Khazanah Istilah Sufi; Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, ter:

Nashrullah, Ahmad Baiquni, Mizan, Bandung, 2000

Ashbahãnĩ, Abu Nu’aim Ahmad bin ’Abdillah bin Ahmad bin Ishaq, Hilyatu al-Awliyã‘ wa Thabaqãtu al-Asffiyã‘ , Dãru al-Kitãb, Beirut, 1405 H

Ashbahãnĩ, Husain bin Muhammad al-Mufadhdhal, Mufradãtu Alfãzhi al-Quran, Dãru

al-Qalam, Damskus, tt

’Asqalãnĩ Ahmad bin ’Alĩ bin Hajar, Tahdziĩbu at-Tahdzĩb, Daãru al-Fikr, Beirut, 1984

_____, Taqrĩbu at-Tahdzĩb, Daãru al-Fikr, Beirut, 1986

Baghdãdĩ, ’Abdu al-Qãhir bin Thãhit bin Muhammad, al-Farqu baina al-Firaq, Dãru al-

Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, 2005

Baghdãdĩ, Al-Khathĩb Ahmad bin ’Alĩ, Tãrĩkhu Baghdãd, Dãru al-Kutub al-’Ilmiyah,

Beirut, tt

Baharuddin HS, Corak Tafsir Rũh al-Ma’ãnĩ karya al-Alũsĩ; telaah atas ayat-ayat yang ditafsirkan secara isyãrĩ , (Disertasi Doktor), Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2002

Baihaqĩ, Abu Bakr, Ahmad bin Husain, Syu’bu al-Ĩmãn, Dãru al-Kutub al- ’Ilmiyyah, Beirut, 1410 H

Bearman, P.J (ed) The Encyclopedia of Islam, Brill, Leiden, 2000

Biqã’ĩ, Abu Bakr Ibrahim bin ’Umar bin Hasan, Nadzmu ad-Durar fĩ Tanãsubi al- Ãyãt wa as-Suwar , Dãru al-Kutub al- ’Ilmiyyah, Beirut, 2002

Bowering, Gerhard, The Major Sources Of Sulamĩ's Minor Quran Commentary

_____, The Quran Commentary of al-Sulami, dalam: W.B. Halllaq dan D.P. Little (editor), Islamic Studies Presented to Charles J. Adams, Leiden, 1991

Bukhãrĩ, Muhammad bin Ismã’ĩl, al-Jãmi’ ash-Shahĩh, Dãru Ibn Katsĩr, Beirut, 1987

_____, Muhammad bin Ismã’ĩl, at-Tãrĩkh ash-Shaghĩr, Dãru al-Wa’y, Cairo, 1977

Dãruquthnĩ, Abu al-Hasan ’Alĩ bin ’Umar bin Ahmad, Sunanu ad-Dãruquthnĩ, Dãru al-

Ma’rifah, Beirut, 1966

Dzahabĩ, Muhammad bin Ahmad, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, Mu‘assatu ar-Risãlah, Beirut, 1993

_____, Tadzkirat al-Huffãdz, an-Nizhãmiyah, India, tt

_____, Tãrĩkhu al-Islãm wa Wafayãtu al-Masyãhĩr wa al-A’lãm, Dãru al-Kitãb al- ’Arabiy, 1993

Dzahabĩ, Muhammad Husain, al-Ittijãhãt al-Munharifah fĩ Tafsĩr al-Qur‘ãn al-Karĩm, Dãru al-I'tisham, 1978

_____, at-Tafsĩr wa al-Mufassirũn, Maktabah Wahbah, Qairo, 2000

Farmawĩ, ’Abd al-Hay, al-Bidayãh fĩ at-Tafsĩr al-Mawdhũ’ĩ, tp, Cairo, 1977

Ghazãlĩ, Abu Hãmid Muhammad bin Muhammad, Fadhã‘ihu al-Bãthiniyyah, Mu’assasatu Dãru al-Kutub ats-Tsaqãfiyyah, Kuwait, tt

_____, Ihyã‘u ’Ulũmi ad-Dĩn, Dãru al-Ma’rifah, Beirut, tt

_____, al-Qushũr al-’Awãlĩ min Rasã‘ili al-Imãm al-Ghazãlĩ, Maktabatu al-Jundĩ, tt

Habil, Abdurrahman, Tafsir-tafsir Esoteries Tradisonal, dalam: Sayyed Hossein Nasr (ed), Ensiklopedi Spirituallita Islam, ter: Rahmani Astuti, Mizan, Bandung, 2003

Hamwi, Yãqũt bin ‘Abdillah, Mu‘jamu al-Buldãn, Dãru al-Fikr, Beirut, tt

Hasan, Hasan Ibrahim, Tãrĩkhu al-Islãm; as-siyãsĩ wa ad-dĩnĩ wa ats-Tsaqãfĩ wa al- Ijtimã’ĩ , al-Maktabatu an-Nahdhatu al-Mishriyatu, 1979

Ibn al-’Arabĩ Muhammad bin ’Abdillah bin Muhammad, Ahkãmu al-Quran, Dãru al-

Kutub al- ’Ilmiyyah, Beirut, tt

Ibn ’Asãkir, Abu al-Qãsim ’Alĩ bin Hasan; Tãrĩkhu Damsyaq, Dãru al-Fikr, Beirut, tt

Ibn ’Ãsyũr, Muhammad Thãhir, at-Tahrĩr wa at-Tanwĩr, ad-Dãr at-Tũnĩsiyyah, Tunis,

Ibn ’Athã‘, Tãjuddin Ahmad bin Muhammad bin ’Abdu al-Karĩm, Lathã‘ifu al-Minan,

ats-Tsaqãfaah al-Islãmiyyah al-Ashĩlah, tt

Ibn Hanbal, Abu ’Abdillah Ahmad bin Muhammad, Musnad al-Imãm Ahmad bin

Hanbal , Mu‘assasatu ar-Risãlah, Beirut, 1993

Ibn al-Jauzĩ’, Abu al-Faraj ’Abdurrahman bin ’Alĩ, al-Muntazham fĩ Tãrĩkhi al-Mulũk

wa al-Umam , Dãru Shãdir, Beirut, 1358 H

_____, Talbĩsi Iblĩs, Dãru al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, 2006

Ibn Katsĩr Abu al-Fidã‘ Ismã’ĩl bin ’Umar, Tafsĩr al- ََ Quran al-’Azhĩm , Dãru Thayyibah

Ibn Mãjah, Muhammad bin Yazĩd, Sunanu Ibn Mãjah, Dãru al-Fikr, Beirut, tt

Ibn Mulqin; ’Umar bin ’Alĩ bin Ahmad, Thabaqãtu al-Awliyã‘, Maktabatu al-Khãbikhĩ,

Mesir 1973

Ibn Taimiyah, Ahmad bin ’Abdul Halĩm, Fatãwã Ibn Taymiyah, Dãr ak-Kutub al-

’Ilmiyah, Beirut, 2000

_____, al-Muqaddimah fi Ushũl at-Tafsir, Dãr Ibn Hazm, Beirut, 1997

Ibn’Adiy, ’Abdullah bin ’Adiy, al-Kãmil fi adh-Dhu’afã‘, Dãru al-Fikr, Beirut, 1988

Ifriqĩ, Muhammad bin Mukrim bin Manzhũr, Lisan al-’Arab, Daru Shadir, Beirut, tt

Kalãbadzĩ, Abu Bakr Muhammad, at-Ta’arruf li Madzhabi Ahli at-Tashawwuf, Dãru al- Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, 1400 H, hal 111

Jurjãnĩ, ’Alĩ bin Muhammad, at-Ta’rĩfãt, Dãru al-Kitãb al-’Arabiy, Beirut, 1405 H

Khalĩl, Ahmad, Dirãsãt fi al-Quran, Dãru al-Ma’ãrif, Mesir, tt

Hanafi, Mukhlis M, Kitãbu Lawãmi’u al-Burhãn wa Qawãthi’u al-Bayãn fi Ma’ãnĩ al-

Quran ; Dirãsah wa Tahqiq, Jãmi’atu al-Azhar, 2005, jilid 1, hal 85

Ma’rifah, Muhammad Hadi, at-Tafsĩr wa al-Mufassirũn fĩ Tsaubihi al-Qasyĩb, Jãmi’ah

Radhawiyah li al-’Ulum al-Islãmiyah, 1419 H

Makkĩ, Abu Thãlib Muhammad bin ’Alĩ bin ’Athiyyah, Qũtu al-Qulũb, Dãru al-Fikr, Beirut, tt

Naisãbũrĩ, al-Hãkim Muhammad bin ’Abdillah, al-Mustadrak ’alã ash-Shahĩhain, Dãru al-Kutub al- ’Ilmiyyah, Beirut, 1990

Najjãr, ’Abdu al-Wahhãb, Qashashu al-Anbiyã‘, Dãru al-Hadits, Cairo, 2004

Nawawĩ, Abu Zakariyã Yahyã bin Syaraf, al-Manhaj Syarhu Muslim bin al-Hajãj, Dãru Ihyã‘i at-Turãts al-’Arabiy, Beirut, Beirut, 1392 H

Nawawi, Rif’at Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad ’Abduh, Paramadina, Jakarta, 2002

Qurthubĩ, Abu ’Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, al-Jãmi’ li Ahkãmi al- Quran , Dãru Ihyã‘i at-Turãts al-’Arabiy, Beirut, 1985

Qusyairĩ, Abu al-Husain Muslim bin al-Hajãj, Shahĩh Muslim, Dãru Ihyã‘i at-Turãts al- ’Arabiy, Beirut, tt

Qusyairĩ, Abu al-Qãsim ’Abdu al-Karĩm bin Hauzãn, ar-Risãlatu al-Qusyairiyyatu, Dãru

al-Khair, Damaskus, 1991

Rãzĩ, Abu ’Abdillah Muhammad bin ’Umar, Mafãtihu al-Ghaib, al-Maktabah at-

Tawfĩqiyyah, Cairo, tt

Sajãn, Ja’far, al-Manãhij at-Tafsĩriyah, Muassasah Imam Shãdiq, Iran, 1422 H

Sajastãni, Abu Dãwud Sulaimãn bin al-Asy’ats, Sunanu Abĩ Dãwud; Dãru al-Fikr,

Beirut, tt

Sayũthĩ, Jalãluddin ’Abdurrrahmãn bin Abi Bakr, al-Itqãn fĩ ’Ulũmi al-Quran,

Maktabatu Dãri at-Turãts, Cairo, 1983

Sells, Michael A, (ed) Early Islamic Mysticism, Paulist Press, New Jersey, 1996, ter: Slamet Riyadi, Sufisme Klasik; Menelusuri Tradisi Teks Sufi, Mimbar Pustaka, Bandung, 2003

Subkĩ, ’Abdu al-Wahhãb, Thabaqãtu asy-Syãfi’iyyah al-Kubrã, Dãru Ihyã‘i al-Kutub al-

’Arabiyyah, Beirut, tt

Sulamĩ, Abu ’Abdirrahmãn, Ãdãbu ash-Shuhbati, Dãru Maktabati at-Tarbiyah, Beirut,

_____, Haqa‘iq at-Tafsĩr, Dãr al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, 2001

_____, al-Muqaddimah fĩ at-Tashawwuf, Maktabatu al-Kuulliyyãti al-Azhariyyah, 1987

_____, Sulũku al-’Ãrifĩn

_____, Thabaqãt ash-Shũfiyah, Dãr al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, 2003

Syãthibĩ, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa, al-Muwãfaqãt fĩ Ushũli asy-Syarĩ’ah, Dãru al-

Hãdits, 2006

Tamĩmĩ, Abu Ya’lã Ahmad bin ’Alĩ bin al-Mtsannã, Musnadu Abĩ Ya’lã, Dãru al-

Ma‘mũrãt li at-Turãts, Damaskus, 1984

Tamĩmĩ, Qãdhĩ an-Nu’mãn, Ta‘wĩlu ad-Da’ã‘ĩm, Dãru al-Ma’ãrif, Mesir, tt

Thabarĩ, Muhammad bin Jarĩr, Jãmi’ al-Bayãn fi ta‘wĩl ay al-Qur‘ãn, Mu‘assatu ar- Risãlah, Beirut, 2000

Thabrãnĩ, Sulaimãn bin Ahmad, al-Mu’jam al-Awsath, Dãru al-Haramain, Cairo, 1415 H

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus besar bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2005

Turmudzĩ, Abu Isa Muhammad bin Isa, Sunanu at-Turmudzĩ, Dãru Ihyã‘i at-Turãts al- ’Arabiy, Beirut, tt

Tustarĩ, Muhammad Sahl, Tafsĩr at-Tustarĩ, Dãru al-Kutub al-’Ilmiah, Beirut, 2002

Wendry, Novizal, Penafsiran Esoterik dalam Tafsir Syi’ah (Studi Kitab Bihãr al-Anwãr), (Thesis MA), Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2007

Zamakhsyarĩ, Mahmũd bin ’Umar, al-Kasyyãf ’an Haqã‘iqi Ghawãmidhi at-Tanzĩl wa

’Uyũni al-Aqawĩl , Dãru al-Kutub al- ’Ilmiyyah, Beirut, 1995

Zarkasyĩ, Badruddĩn, al-Burhãn fi ’Ulũm al-Qur‘ãn, Dãru al-Ma’rifah, Beirut, 1391 H

Zarqãnĩ, Muhammad ’Abdul ’Azhĩm, Manãhil al- ’Irfan, jild II, Dãr al-Fikr Beirut, 1996

http://links.jstor.org/sici?sici=0078

http://www.alhaqonline.net/arabic/councils/library/books/solookolahrefeen/

http://www.merbad.net/vb/showthread.php?p=21717

LAMPIRAN

Lampiran 1

Penafsiran as-Sulamĩ (Teks Arab)

BAB IV

3. Penafsiran al-Quran dengan al-Quran. Al-Baqarah (2) ayat 35

Al-Baqarah (2) ayat 269

Al-Baqarah (2) ayat 106

Ãli ’Imrãn (3) Ayat 131

4. Penafsiran al-Quran dengan Sunnah Al-Baqarah (2) 96

ﺔﻔـ ﺸﺎﻜﻤﻝ ﺕ ﻭـ ﻤﻝﺍ ﻰ ـ ﻝﺇ ﺎﹰ ِ ﻗﺎﺘﺸﻤ ﻥﻭﻜﻴ ﻥﺃ ﺍﺫﻫ  ﺩﻀ ﻪﻝﺎﺤ  ﻥﻭﻜﻴ ﻥﺃ ﻰ ﺤﻭﻤﻝﺍ ﻰ ﻠﻋ  ﺏ ﺠﺍﻭﻓ ﺭﺎﻔﻜﻝﺍ ﻡﻠـ ﺴﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﺍ ﻰ ﻠﺼ  ﻰ ﺒﻨﻝﺍ ﻯ ﺭﺘ ﻻﺃ ﺱ ﻨُ , ﻷﺍ ﱢ لﺤﻤ ﻰ ﻝﺇ لﻭ ِ ﺼ ﻭﻝﺍﻭ ﺔﺸﺤﻭﻝﺍ ﺏ ﺎﺠﺤ ﻊﻓﺩ ﻭ ﺏ ﻭﻴﻐﻝﺍ ." ﻩﺀﺎﻘﻝ ﷲ ﺍ ﺏ ﺤﺃ ﷲ ﺍ ﺀﺎﻘﻝ ﺏ ﺤﺃ ﻥ  ﻤ " : لﻭﻘﻴ Ãli ’Imrãn (3) Ayat 180 ﺱ ﻔﻨﻝﺍﻭ لﺎﻤﻝﺍ لﺫﺒ ﻭﻫﻭ ,

An-Nisã‘ (4) ayat 34 ﺯـ ﻋ ﷲ ﺍ ﺩـ ﻴﺒ ﺏ ﻭﻠﻘﻝﺍﻭ ﻥﻬﺒﻭﻠﻘﻝ

ﻡﻠﺴﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﺍ ﻰ ﻠﺼ ﻰ ﻔﻁ ﺼ ﻤﻝﺍ لﺎﻗ ﺩﻗﻭ لﺠﻭ , ." ﻙ ﻠﻤﺃ ﻻﻭ ﻙ ﻠﻤﺘ An-Nisã‘ (4) ayat 48 ﻥـ ﻤ ﺎـ ﻬﻠﻜ ,

Yũnus (10) ayat 26 ﺓﺩﺎﻴﺯﻝﺍﻭ ,

5. Penafsiran as-Sulamĩ dan Kaitannya dengan Bahasa

Al-Baqarah (2) ayat 208

Al-Baqarah (2) ayat 187

Ãli ’Imrãn (3) ayat 39

An-Nisã‘ (4) ayat 41

Al-Furqãn (25) ayat 72

BAB V

A. Ayat-ayat Kawniyyah

Yũnus (10) ayat 5

Ar-Ra’d (13) ayat 3 ﻡﻬﻴﻝﺈـ ﻓ ،ﻩﺩـ ﻴﺒﻋ ﻥﻤ ﺓﺩﺎﺴﻭ ،ﻪﺌﺎﻴﻝﻭﺃ ﻥﻤ ﺍ ﺩﺎﺘﻭﺃ ﺎﻬﻴﻓ لﻌﺠﻭ ﺽ ﺭﻷﺍ ﻁ ﺴﺒ ﻯ ﺫﻝﺍ ﻭﻫ : ﻡﻬﻀ ﻌﺒ لﺎﻗ

. ﺭﺴﺨﻭ Al-Hijr (15) ayat 16

An-Naml (27) ayat 61 لﻌﺠ ﻥﻤ : لﺎﻘﻓ ﺎﻬﺒﺭﻗﻭ ,

B. Kisah Rasul

1. Nuh Hud (11) ayat 27

Hud (11) ayat 29

Hud (11) ayat 37

( dalam surah al-Mu‘minũn (23) ayat 28 ) . { ﺎﻨﻨﻴﻋﺄﺒ ﻙ ﻠﻔﻝﺍ ﻊﻨﺼ ﺍﻭ }

Hud (11) ayat 47

Al-Mu‘minũn (23) ayat 29 ,

2. Ibrahim Al-Baqarah (2) ayat 124 ﺢﻴﺤﺼ ﺘﺒ ﻪﺒﻝﺎﻁ ﻡﺜ , ﺨﻝﺍ َ لﺎﻘﺜﺃ  ﻪﹶ ﻠﻤﺤ ﻥﺃ ﻡﻼ ﺴﻝﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻡﻴﻫﺍﺭﺒﺇ ﻪﺒ ُ ﺔﻠﹸ ﷲ ﺍ ﻰ ﻠﺘﺒﺍ ﺎﻤ ﺩﺸﺃ : ﻡﻬﻀ ﻌﺒ لﺎﻗ

Al-Baqarah (2) Ayat 132 ﺎﻤﻜﻓ ﻡﻠﺴﻭ ﻪﻴﻠﻋ

ﻪﻴﻝﺇ ﺭﻅ ﻨﻴ ﻡﻝ ﻪﻨﺒﺍ ﺢﺒﺫﺒ ﻰ ﻠﺘﺒﺍ ﺩِ ﺠ ﻰ ﻝﺇ ﻊﺠﺭ لﻴﻠﺨﻠﻝ ﺢﺼ ﺎﻤ ﻡﻼ ﺴﻝﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﺏ ﻭﻘﻌﻴﻝ  ﻥﻴـ ﺤ ﻉﺯﺠﻝﺍ  ﺢﺼ ﻴ ﻡﻝ ﺎﻤﻝﻭ ﻯِ , ﺩﹸ  ﻓ ﻰ ﺘﺤ ﺩﻝﻭﻝﺍ . ﻑ ﺴﻭﻴ ﻰ ﻠﻋ ﻰ ﻔﺴﺃ ﺎﻴ لﺎﻗﻭ ﻪﻨﺒﺍ ﺩﻘﻓ Al-Baqarah (2) ayat 259 ﻰـﻓ ﻑـﱠ ﻁ ﻠﺘ لﻴﻠﺨﻝﺍ ﻥﻷ :

Ãli ’Imrãn (3) ayat 97

Al-Baqarah (2) ayat 125

An-Najm (53) ayat 1

Ibrahim (14) ayat 35

Maryam (19) ayat 46 dan 47 ﻪﻔﻝﺎﺨ ﻥﺇ ﻙ ﻝﺫ ﻰ ﻠﻋ ﺩﻴﻋﻭﻝﺍﻭ ﻪﺘﻬﻝﺁ ﻰ ﻝﺇ ﺓﻭﻋﺩﻝﺍ ﻥﻤ لﺎﻬﺠ

Al-Anbiyã‘ (21) ayat 51 . ﻪﻘﻠﺨﺒ ﻩﻼ ﺒﺃ ﻥﺃ لﺒﻗ ﻪﺴﻔﻨﻝ ﻩﺎﻔﻁ ﺼ ﺍ ﺀﺎﻁ ﻋ ﻥﺒﺍ لﺎﻗ :

Al-Anbiyã‘ (21) ayat 69 ﻡﻴﻠﺴ ٍ { ﺏ ﻠﻘﺒ ﻪ ﺒﺭ ﺀﺎﺠ ﺫﺇ } ﻪﻨﻋ ﷲ ﺍ ﺎﻜﺤ ﺎﻤﻝ ﻩﺭﺩﺼ ﺔﻤﻼ ﺴﺒ ﺭﺎﻨﻝﺍ ﻥﻤ ﻡﻴﻫﺍﺭﺒﺇ ﻡﻼ ﺴ : ﺀﺎﻁ ﻋ ﻥﺒﺍ لﺎﻗ

ﻩﺍﺩﺎﻨ ﺙ ﻴﺤ ﻪﺘﻘﺜﻭ , ﻪﻨﻴﻘﻴﻭ ﻪﻠﻜﻭﺘ ﺔﺤﺼ ﻝ ﺭﺎﻨﻝﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﺕ ﺩﺭﺒﻭ , ﺽ ﺭﺍﻭﻌﻝﺍﻭ ﺏ ﺎﺒﺴﻷﺍ ﻊﻴﻤﺠ ﻥﻋ ﺎ , ﻴﻝﺎﺨ . ﻼ ﻓ ﻙ ﻴﻝﺇ ﺎﻤﺃ لﺎﻘﻓ ؟ ﺔﺠﺎﺤ ﻥﻤ لﻫ لﻴﺭﺒﺠ : Asy-Syu’arã‘ (26) ayat 84 ﻰ ﻝ ﺓﺩﺎﻬﺸﻝﺍﻭ ﻰ ﻠﻋ ﺀﺎﻨﺜﻝ  , ﺎﺒ ﻡﻠﺴﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﺍ ﻰ ﻠﺼ ﺩﻤﺤﻤ ﺔﻤﺃ ﺔﻨﺴﻝﺃ ﻕ ﻠﻁ ﺃ ﷲ ﺍ ﻪﻤﺤﺭ ﺀﺎﻁ ﻋ ﻥﺒﺍ لﺎﻗ : . ﻥﻴﻝﻭﺒﻘﻤ ﺀﺍﺩﻬﺸ ﻡﻬﺘﻠﻌﺠ ﻙ ﻨﺈﻓ . ﻙ ﻠﻤﻝﺍﻭ ﻡﻤﻷﺍ ﻊﻴﻤﺠ ﻰ ﻓ ﺀﺎﻨﺜﻝﺍ ﻰ ﻨﻗﺯﺭﺍ لﻬﺴ لﺎﻗ :

Al-Mumtahinah (60) ayat 4

3. Musa Al-Baqarah (2) ayat 60 ﻩﺩﺌﺍﺭ ﻥﺎﻜ ﻥﻤﻭ ﺎﻴﻨﺩﻝﺍ ﻪﺒﺭﺸﻤﻓ ﻪﺴﻔﻨ ﻩﺩﺌﺍﺭ ﻥﺎﻜ ﻥﻤﻓ , ,

Al-A’rãf (7) ayat 157

Al-A’rãf (7) ayat 143

Al-A’rãf (7) ayat 148 ﻥـ ﻤ ﺹ ﻠﺨﺘﻨ ﻻﻭ ,

ﻪﺒﺎﺒﺴﺃ ﻥﻤ ﻊﻤﺠﺃ ﻪﻅ ﻭﻅ ﺤ ﺀﺎﻨﻓﺇ ﺩﻌﺒ ﻻﺇ ﻙ ﻝﺫ . ﻡﻬﺴﻔﻨﺃ ﻡﻬﻠﺘﻗ Thahã (20) ayat 39 . ﻙ ﺒ ﻰ ﺒﺤﺒ ﻙ ﺒﺤﺃ ﻙ ﻝ ﻰ ﺘﺒﺤﻤ ﻙ ﻴﻓ ﻯ ﺃﺭ ﻥﻤﻓ ﻙ ﻝ ﻰ ﻨﻤ ﺔﺒﺤﻤ ﻙ ﻴﻠﻋ ﺕ ﻴﻘﻝﺃ ﺀﺎﻁ ﻋ ﻥﺒﺍ لﺎﻗ : ﺔـ ﺤﻼ ﻤﻝﺍ ﻙ ـ ﺒ ﻯ ﺭﻴ ﻥﻤ ﻙ ﺒﺤﻴﻭ ،ﻯ ﺭﻴﻐﻝ ﺢﻠﺼ ﺘ ﻻ ﻰ ﺘﺤ ﻯ ﺩﻨﻋ ﻥﻤ ٍ ﺔﺤﻼ ﻤﺒ ﻙ ﺘﻨﻴﺯ : ﺱ ﺭﺎﻓ لﺎﻗ ﻭ

4. Isa

Ãli ’Imrãn (3) ayat 55

Al-Mã‘idah (5) ayat 117 . { ﻪﻨﺫﺈﺒ ﻻﺇ ﻩﺩﻨﻋ ﻊﻔﺸﻴ ﻯ ﺫﻝﺍ ﺍﺫ ﻥﻤ } ﻙ ﻝﻭﻗ ﺩﻌﺒ ﻥﺫﻹﺍ ﺩﻌﺒ ﻻﺇ لﻭﻘﻝﺍ ﻥﺎﺴﻝ ﻰ ﻝ ﻥﻭﻜﻴ ﻰ ﻨﺃ لﻴﻗ :

Al-Mã‘idah (5) ayat 118

Maryam (19) ayat 30

Maryam (19) ayat 31

C. Seputar Ibadah

2. Shalat Al-Baqarah (2) ayat 3

Al-Baqarah (2) ayat 45

ﻥﻴﻌﺸﺎﺨﻝﺍ ﻰ ﻠﻋ ﻻﺇ ﺓﺭﻴﺒﻜﻝ ﺎﻬﻨﺇﻭ } : ﻥﺎﻤﺜﻋ ﻭﺒﺃ لﺎﻗ . ﻪﻴﻓ ﺭﻤﻵﺍ ﺏ ﺎﻁ ﺨ An-Nisã‘ (4) ayat 43 ﺭﻜـ ﺴﻭ ﺔـ ﻠﻔﻐﻝﺍ ﺭﻜﺴﻭ ,

At-Tawbah (9) ayat 54

Al-Mã’ũn (107) ayat 4-5

3. Puasa Al-Baqarah ayata 185

( dalam surah al-Ahzab ayat 35 ) . ﻡﺎﻌﻁ ﻝﺍ ﻥﻋ ﻙ ﺎﺴﻤﻹﺎﺒ ﺩﺴﺠﻝﺍ ﻡﻭﺼ ﻭ

4. Zakat, Infak, dan Shadaqah Al-Baqarah (2) ayat 3 ﺎﻫﺭﻭﻨﻭ ﺎﻬﺘﻜﺭﺒ ﻥﻭﻀ ﻴﻔﻴ ﺔﻓﺭﻌﻤﻝﺍ ﺭﺍﻭﻨﺃ ﻥﻤ ﻪﺒ ﻡﻫﺎﻨﺼ ﺼ ﺨ ﺎﻤﻤ :

Al-Baqarah (2) ayat 272 ﻙ ﻝﺫ ﻥﻤ  ﻰ ﻝﺇ لﺼ ﻴ ﻻ ﻡﻜﺴﻔﻨﻸ ﻓ ﺕ ﺍﺩﻫﺎﺠﻤﻝﺍﻭ ﺕ ﺎﻋﺎﻁ ﻝﺍ ﻥﻤ ﻡﻜﻨﻤ ﻭﺩﺒﻴ ﺎﻤ , لﻴﻗ :

. ﺔﻠﻋ ﻥﻋ ﻻﻭ ﺽ ﻭﻋ Ar-Rũm (30) ayat 39 ﺓﺎﻜﺯﻭ ﻰ ﺼ ﺎﻌﻤﻝﺍ ﻥﻤ ﻩﺭﻴﻬﻁ ﺘ ﻰ ﻓ ﻥﺩﺒﻝﺍ ﺓﺎﻜﺯ ﺓﺎﻜﺯﻝﺍ ﺀﺎﺘﻴﻹ ﻻ ﻪﺒ ﷲ ﺍ ﻪﺠﻭ ﺓﺩﺍﺭﻹ ﻑ ﻴﻌﻀ ﺘﻝﺍ ﻊﻗﻭ . ﺕ ﺎﻬﺒﺸﻝﺍ ﻥﻤ ﻩﺭﻴﻬﻁ ﺘ ﻰ ﻓ ﻪﻝﺎﻤ Ãli ’Imrãn (3) ayat 134 . ﻪﻴﻠﻋ ﺊ ﺸﺒ ﻥﻭﻠﺨﺒﻴ ﻻ ﷲ ﺍ ﺎﻀ ﺭ ﻰ ﻓ ﺎﻬﻨﻭﻘﻔﻨﻴﻭ ﺏ ﻭﻠﻘﻝﺍﻭ ﺱ ﻔﻨﻷﺍﻭ ﻙ ﻼ ﻤﻷﺍ ﻥﻤ ﻥﻭﺀﺭﺒﺘﻴ ﻥﻴﺫﻝﺍ , At-Tawbah (9) ayat 103 ﻥﺍﻭﻜﻷﺍ ﺱ ﻨﺩ ﻥﻋ ﻡﻫﺭﻬﻁ ﺘﻭ , ,

5. Haji Al-Baqarah (2) ayat 158 ﺩﻌـ ﺼ ﻥـ ﻤﻭ ﺊ ﺸ ﺞﺤﻝﺍ ﺭﺌﺎﻌﺸ ﻥﻤ ﻪﻴﻠﻋ ِ , ٌ ﻥﺒﻴ ﻡﻝ ﷲ ﻩ ﺭﺴ ﻑ ﺼ ﻴ ﻡﻝﻭ ﺎﻔﺼ ﻝﺍ ﺩﻌﺼ ﻥﻤ ﻥﺇ لﻴﻗ :

Ãli ‘Imrãn (3) ayat 97

Al-Hajj (22) ayat 27

: ﻡﺍﺭـ ﺤﻝﺍ ﺩﺠﺴـ ﻤﻝﺍﻭ . ﺭﺎﻨﻝﺍﻭ ﺔﻨﺠﻝﺍ ﻥﻴﺒ ﻑ ﺍﺭﻋﻷﺍ ﺎﹰ : ﻜﺴﻨﻤ ﻭ : ﺘﻘﺸﻝﺍ ﺩﺤﺃ ﻥﺎﺤﺠﺭ ﻥﻤ ﻥﻭﻜﻴ ﺎﻤ ﻥﻴ

ﺕ ﺎﻓﻵﺍ ﻕ ﺌﺍﻭﺒ ﻥﻤ ﻥﻤﺃ ﺎﻬﻠﺨﺩ ﻥﻤ ﻰ ﺘﻝﺍ ﺔﻨﺠﻝﺎﻜ .

Lampiran 2 Terjemah Ayat/Hadits yang Ditafsirkan Secara Isyãri/Bãthini, Serta Kaitannya

BAB III

B. Perbedaan antara Tafsir Isyãri dan Tafsir Bãthiniyah

Al-Jum’ah (62) ayat 2-5: Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara

mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,

Dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki- Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar.

Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, Kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.

D. Penilaian Ulama terhadap Tafsir Isyãrĩ

Thahã (20) ayat 12: Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; Riwayat Imam al-Bukhãrĩ:

Dari Abi Thalhah, Nabi bersabda: Malaikat tidak masuk ke rumah yang didalamnya ada anjing dan gambar.

Thaha (20) ayat 24 Pergilah kepada Fir'aun; Sesungguhnya ia Telah melampaui batas.

Al-’Ankabũt (29) ayat 41 Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. Al-Baqarah (2) ayat 114:

Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Al-Baqarah (2) ayat 255

Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Al-Muzammil (73) ayat 16: Maka Fir'aun mendurhakai Rasul itu, lalu kami siksa dia dengan siksaan yang berat.

BAB IV

6. Penafsiran al-Quran dengan al-Quran. Al-Baqarah (2) ayat 35 Dan kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang- orang yang zalim."

Ayat terkait, Thahã (20) ayat 115: Dan Sesungguhnya Telah kami perintahkan kepada Adam dahulu, Maka ia

lupa (akan perintah itu), dan tidak kami dapati padanya kemauan yang kuat. Al-Baqarah (2) ayat 269 Allah menganugerahkan Al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran

dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar Telah dianugerahi karunia yang banyak.

Ayat terkait, Al-An’ãm (6) ayat 89 Mereka Itulah orang-orang yang Telah kami berikan kitab, hikmat dan kenabian

Al-Baqarah (2) ayat 106 Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa

kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.

Ayat terkait, An-Najm (53) ayat 8-10 Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau

lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hambaNya (Muhammad) apa yang Telah Allah

wahyukan.

Ãli ’Imrãn (3) ayat 131 Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang

yang kafir.

Ayat terkait, Al-Baqarah (2) ayat 197 dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal

ayat terkait, Al-Baqarah (2) ayat 281 Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu

kamu semua dikembalikan kepada Allah.

Ayat terkait, Ãli ’Imrãn: (3) ayat 102 Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar

takwa kepada-Nya;

7. Penafsiran al-Quran dengan Sunnah Al-Baqarah (2) ayat 96 Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada

kehidupan (di dunia), Hadits ’terkait Barangsiapa yang menyukai pertemuan dengan Allah, Allah menyukai

pertemuan dengannya, dan barangsiapa membenci pertemuan dengan Allah, Allah pun membenci pertemuan dengannya.

Ãli ’Imrãn (3) ayat 180 Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah

berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka

bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat, dan kepunyaan Allah- lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan Allah mengetahui apa yang

kamu kerjakan. Hadits terkait Tidak diciptakan wali Allah kecuali untuk kedermawanan An-Nisã‘ (4) ayat 34: Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan

untuk menyusahkannya. Hadits terkait Ya Allah, inilah bagianku yang dapat aku lakukan. Maka janganlah Engkau

menghukumku terhadap apa yang tidak kumiliki (yaitu hati). An-Nisã‘ (4) ayat 48 Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni

segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.

Hadits terkait Barangsiapa mengerjakan suatu amalan lalu ia menyukutukan-Ku dalam

amalan tersebut, maka Aku bebasa dari amalan tersebut, dan amalannya bagi sekutunya

Yũnus (10) ayat 26: Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan

tambahannya.

3. Penafsiran as-Sulamĩ dan Kaitannya dengan Bahasa Al-Baqarah (2) ayat 208: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan. Al-Baqarah (2) ayat 187 (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam

mesjid.

Ãli ’Imrãn (3) ayat 39 Kemudian malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri

melakukan shalat di mihrab (katanya): "Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang nabi termasuk keturunan orang-orang saleh".

An-Nisã‘ (4) ayat 41: Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan

seorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).

Al-Furqãn (25) ayat 72 Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila

mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.

BAB V

A. Ayat-ayat Kawniyyah

Yũnus (10) ayat 5: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui.

Ar-Ra’d (13) ayat 3: Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-

gunung dan sungai-sungai padanya. dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang

demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.

Al-Hijr (15) ayat 16

Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang di langit dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandang (nya), An-Naml (27) ayat 61 Atau siapakah yang telah menjadikan bumi berdiam, dan yang menjadikan

sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang menjadikan gunung-gunung untuk (mengkokohkan)nya dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut? Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak Mengetahui.

B. Kisah Para Rasul

1. Nuh Hud (11) ayat 27 Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: "Kami tidak

melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta".

Hud (11) ayat 29 dan Aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang Telah beriman. Hud (11) ayat 37

Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu;

Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.

Hud (11) ayat 47 Nuh berkata: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari

memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya Aku akan termasuk orang-orang yang merugi."

Al-Mu‘minũn (23) ayat 29 Dan berdoalah: "Ya Tuhanku, tempatkanlah Aku pada tempat yang diberkati,

dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat."

2. Ibrahim Al-Baqarah (2) ayat 124 Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim".

Al-Baqarah (2) ayat 132 Dan Ibrahĩm Telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian

pula Ya’qũb. (Ibrahĩm berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah Telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".

Ayat terkait Yusuf (12) ayat 84

Dan Ya'qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: "Aduhai duka citaku terhadap Yusuf", dan kedua matanya menjadi putih Karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).

Al-Baqarah (2) ayat 259 Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri

yang (temboknya) Telah roboh menutupi atapnya. dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri Ini setelah hancur?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, Kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: "Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?" ia menjawab: "Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari." Allah berfirman: "Sebenarnya kamu Telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; Lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi beubah; dan Lihatlah kepada keledai kamu (yang Telah menjadi tulang belulang); kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan kami bagi manusia; dan Lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, Kemudian kami menyusunnya kembali, Kemudian kami membalutnya dengan yang (temboknya) Telah roboh menutupi atapnya. dia berkata: "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri Ini setelah hancur?" Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, Kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: "Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?" ia menjawab: "Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari." Allah berfirman: "Sebenarnya kamu Telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; Lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi beubah; dan Lihatlah kepada keledai kamu (yang Telah menjadi tulang belulang); kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan kami bagi manusia; dan Lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, Kemudian kami menyusunnya kembali, Kemudian kami membalutnya dengan

Ayat terkait, al-Baqarah (2) ayat 160 Dan (Ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku

bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu?" Ibrahim menjawab: "Aku Telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, Kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Ãli ’Imrãn (3) ayat 97 Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqãm Ibrahim;

barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia;

Al-Baqarah (2) ayat 125 Dan (ingatlah), ketika kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat

berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman.

An-Najm (53) ayat 1 Demi bintang ketika terbenam. Ibrahim (14) ayat 35 Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini

(Mekkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.

Maryam (19) ayat 46 dan 47 Berkata bapaknya: "Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, Hai Ibrahim? jika

kamu tidak berhenti, Maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat kamu tidak berhenti, Maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat

Ayat terkait, al-Furqãn (25) ayat 63 Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang

berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.

Al-Anbiyã‘ (21) ayat 51 Dan Sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah

kebenaran sebelum (Mũsã dan Hãrũn), dan adalah Kami mengetahui (keadaan)nya. Al-Anbiyã‘ (21) ayat 69 Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi

Ibrahim",

Ayat terkait, ash-Shaff ãt (37) ayat 84 (lngatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci Hadits terkait Ketika nabi Ibrahim diangkat untuk dilempar ke api, Jibril mendatanginya dan

berkata: "Hai Ibrahim, apakah kamu memiliki suatu keinginan?" Beliau menjawab: "tidak kepadamu."

Asy-Syu’arã‘ (26) ayat 84 Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang)

kemudian Al-Mumtahinah (60) ayat 4 Artinya: Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia;

Hadits terkait kalimat yang paling benar diucapkan oleh orang Arab adalah kalimat (yang diucapkan) Labĩd (bin Rabĩ’ah): sesungguhnya segala sesuatu selain Allah adalah bathil

3. Musa Al-Baqarah (2) ayat 60 Dan (Ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman:

"Pukullah batu itu dengan tongkatmu". lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.

Ayat terkait, al-Insãn (76) ayat 21 dan Tuhan memberikan kepada mereka minuman yang bersih .

Al-A’rãf (7) ayat 157 (yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, nabi yang ummi Al-A’rãf (7) ayat 143 Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan kami) pada waktu yang telah

kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.

Hadits terkait Tabir-Nya adalah cahaya. Jika Ia membuka tabir-Nya, maka kesucian wajah-

Nya akan membakar setiap yang melihatnya.

Al-A’rãf (7) ayat 148 Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke gunung Thur membuat dari

perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada mereka? Mereka menjadikannya (sebagai sembahan) dan mereka adalah orang-orang yang zalim

Thahã (20) ayat 39 dan Aku Telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan

supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku,

4. Isa Ãli ’Imrãn (3) ayat 55

(ingatlah), ketika Allah berfirman: "Hai Isa, Sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta

membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir, Al-Mã‘idah (5) ayat 117 Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau

perintahkan kepadaku (mengatakan)nya yaitu: "Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu

Ayat terkait, al-Baqarah: 2 ayat 255 tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Al-Mã‘idah (5) ayat 118 Jika Engkau menyiksa mereka, maka Sesungguhnya mereka adalah hamba-

hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Maryam (19) ayat 30 Berkata Isa: "Sesungguhnya aku ini hamba Allah, dia memberiku al-Kitab

(Injil) dan dia menjadikan aku seorang nabi,

Maryam (19) ayat 31 Dan dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan

dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama Aku hidup;

C. Seputar Ibadah

3. Shalat Al-Baqarah (2) ayat (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib yang mendirikan shalat dan

menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka.

Al-Baqarah (2) ayat 45 Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang

demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', An-Nisã‘ (4) ayat 43 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam

keadaan mabuk

At-Tawbah (9) ayat 54 Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-

nafkahnya melainkan Karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.

Al-Mã’ũn (107) ayat 4 dan 5 Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang

lalai dari shalatnya,

4. Puasa Al-Baqarah ayata 185 Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di

bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, Hadits terkait Beraba banya orang yang berpuasa hanya memperoleh lapar dari puasanya.

5. Zakat, Infak, dan Shadaqah Al-Baqarah (2) ayat 3 (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib yang mendirikan shalat dan

menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka. Al-Baqarah (2) ayat 272

dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu

melainkan karena mencari keridhaan Allah. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).

Ayat terkait, al-Isrã‘ (17) ayat 7 Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri Ar-Rũm (30) ayat 39 Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada

harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

Ãli ’Imrãn (3) ayat 134 (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang

maupun sempit,

At-Tawbah (9) ayat 103 Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu

membersihkan dan mensucikan mereka.

6. Haji Al-Baqarah (2) ayat 158 Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah. Maka

barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.

Ãli ‘Imrãn (3) ayat 97 mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi)

orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.

Al-Hajj (22) ayat 27 Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan

datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,