PENAFSIRAN DENGAN PENDEKATAN ISYÃRĨ (KAJIAN TERHADAP KITAB HAQÑIQU AT- TAFSĨR KARYA ABU ’ABDIRRAHMÃN AS-SULAMĨ [325-412 H]) TESIS

PENGESAHAN PENGUJI

Tesis berjudul Penafsiran Dengan Pendekatan Isyãrĩ (Kajian

Terhadap Kitab Haqã’iq at-Tafsĩr Karya Abu ’Abdirrahmãn as-

Sulamĩ) telah diujikan pada sidang Sekolah Pasca Saarjana UIN Syarif Hidayatulla Jakarta, pada tanggala 23 Desember 2008. Tesis ini telah memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu

Agama Islam.

Tim Penguji

Prof. Dr. Suwito, MA Dr. Muchlis Hanafi, MA Ketua/Penguji

Pembimbing/Penguji

(______________) (______________) Tgl____________

Tgl____________

Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer Prof. Dr. Salman Harun Penguji

Penguji

(______________) (______________) Tgl____________

Tgl____________

ABSTRAK

Tulisan ini membuktikan kekeliruan mereka yang menilai negatif terhadap Haqã’iqu at-Tafsĩr . Al-Wãhidĩ (w 468 H) menganggap kafir orang yang meyakini tulisan as-Sulamĩ ini sebagai tafsir. Syamsuddin ad-Dzahabĩ (w 748 H) menilai Haqã‘iqu at-Tafsĩr sebagai kitab yang mendatangkan musibah dan penuh dengan penafsiran kaum Qarmithah (Bãthiniyyah). Ibn al-Jawzĩ (w 597 H) menganggap Haqã‘iqu at-Tafsĩr sebagai tafsir sufi yang penuh dengan makna yang tidak wajar, tanpa landasan satupun dari ilmu pokok (ushũl).

Tulisan ini juga menguatkan penilaian-penilaian objektif terhadap tafsir as- Sulamĩ. Menurut Ibn ash-Shalãh (w 643 H), apa yang diungkapkan as-Sulamĩ bukanlah tafsir, melainkan ungkapan sesuatu yang setara dengan yang setara (kiasan). Bagi Tãjuddin as-Subkĩ (w 771 H), Haqã‘iqu at-Tafsĩr merupakan sebuah kitab yang memuat penakwilan-penakwilan sufi yang tidak sesuai dengan makna zhahir. Dalam pandangan Ibn Taymiyah (w 728 H), Haqã‘iqu at-Tafsĩr sebagai salah satu di antara sekian tafsir yang menjelaskan kandungan al-Quran secara benar, namun penjelasan tersebut tidak sesuai dengan kehendak al-Quran dan hadits. Selain itu, menurut Ibn Taymiyah,

Haqã’iqu at-Tafsĩr memuat penafsiran-penafsiran Isyãrĩ, yang sebagiannya benar dan

bermanfaat, sebagian yang lain berupa nukilan yang tidak dapat diterima, dan sebagian lain adalah kebohongan terhadap sumber.

Tesis ini menunjukkan bahwa tidak semua penafsiran dalam Haqã’iqu at-Tafsĩr menggunakan corak Isyãrĩ, sebagaimana dinilai oleh Tãjuddin as-Subkĩ dan Husain ad- Dzahabĩ. Tesis ini juga menunjukkan kebenaran penilaian Ibn Taymiyyah.

Sumber utama yang digunakan tesis ini berupa data-data kepustakaan, khususnya kitab Haqã‘ĩqu at-Tafsĩr. Data-data tersebut dibaca dengan menganalisis, yang didukung oleh disiplin ilmu lain seperti tasawuf, hadits, dan bahasa, serta membandingkannya dengan kitab-kitab tafsir zhahir yang populer.

ABSTRACT

This thesis will prove their confusion that a negative appraisal toward Haqã’iqu at-Tafsĩr . Al-Wãhidĩ (d 468 H) considered that the people who believed as-Sulamĩ's article as tafsĩr are infidel. Syamsuddin ad-Dzahabĩ (d 748 H) appraised that Haqã’iqu at-Tafsĩr is a book which brings disasters and full of exegeses or Qarmithah (Bãthiniyyah). Ibn al-Jawzĩ (d 597 H) considered Haqã’iqu at-Tafsĩr as sufi exegesis which is full of improper purpose, without any anvils from principal knowledge.

This thesis also strengthen an objective appraisal toward as-Sulamĩ's exegesis. According to Ibn ash-Shalãh (d 643 H), as-Sulamĩ's statement is not an exegesis, but expression of equal with equal (analogy). For Tãjuddin as-Subkĩ (d 771 H), Haqã’iqu at- Tafsĩr is a book that contains improper sufism commentary with exoteric. Ibn Taymiyah's (d 728 H) opinion, Haqã’iqu at-Tafsĩr is one of many exegeses that that explain about the content of al-Quran correctly, however, the explanation is not how al- Quran and hadits expected. And the other hand, according to Ibn Taymiyah, Haqã’iqu at-Tafsĩr contains Isyãrĩ exegesis which some of it are true and beneficial, other parts are unacceptable changes, and other are falsehood toward the sources.

This thesis demonstrates that not all of commentary in Haqã’iqu at-Tafsĩr use

Isyãrĩ stripe, as it had been appraised Tãjuddin as-Subkĩ and Husain ad-Dzahabĩ. This thesis demonstrates the correctness of Ibn Taymiyah's appraisal.

The main source that is used in this thesis is data of literature, particularly Haqã’iqu at-Tafsĩr . The data is red with analysis, which is supported by other knowledge such as tasawuf, language, as well as comparing it to other popular exoteric exegesis.

KATA PENGANTAR ﻡﻴﺤﺭﻝﺍ ﻥﻤﺤﺭﻝﺍ ﷲ ﺍ ﻡﺴﺒ

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang Maha luas ilmu-Nya lagi Maha Benar karena berkat inayah-Nya tesis ini dapat terselesaikan. Selawat dan salam penulis curahkan kepada junjungan alam Muhammad S.A.W serta keluarga dan sahabatnya yang telah berjuang menegakkan kalimat Allah S.W.T.

Dalam rangka penyusunan dan penyelesaian tulisan ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi. Disebabkan karena keterbatasan ilmu dan fasilitas yang dimiliki. Namun dengan adanya sugesti dan spirit dari beberapa pihak, maka tesis ini dapat penulis selesaikan. Oleh karena itu, merupakan suatu kelaziman bagi penulis untuk mempersembahkan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya khususnya dan yang paling utama pada (alm) ayahanda dan ibunda tercinta yang telah berbuat banyak,

mendidik dan membimbing bahkan berkorban dengan tulus ikhlas demi perkebangan dan cita-cita putranya.

Ucapan terima kasih selanjutnya penulis persembahkan setingi-tingginya kepada: Pertama , Dr. Yusuf Rahman. MA, dengan keramahannya telah meluangkan waktu untuk membimbing proposal tesis ini. Kedua , pembimbing penulis, Dr. Mukhlis M. Hanafi. MA, dengan kemurahannya dan keilmuannya telah banyak meluangkan waktunya dan ilmunya untuk mengoreksi naskah tesis ini.

Ketiga , segenap civitas akademika Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, baik Rektor, Pembantu Rektor, Direktur dan para Asisten Direktur, para dosen dan segenap karyawan, yang telah banyak membantu, mengajar, dan memberi referensi untuk merampungkan studi S2.

Keempat , pimpinan dan karyawan perpustakaan induk dan perpustakaan Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah yang telah melayani dan memberikan bahan- Keempat , pimpinan dan karyawan perpustakaan induk dan perpustakaan Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah yang telah melayani dan memberikan bahan-

Kelima , ucapan terima kasih kepada dua sahabat baik penulis, Samsul Bahri dan Yermijal Ferdiani, yang telah mendatangkan tafsir as-Sulamĩ dari Mesir, serta berbagai bahan rujukan lainnya. Doa penulis supaya kesuksesan selalu menyertainya dalam menempuh studi di Universitas al-Azhar, Cairo.

Keenam , para sahabat-sahabat penulis yang pada masa penulisan ini berada di Aceh atau di Jakarta yang tidak mungkin dicantumkan namanya satu-persatu. Terima kasih kepada mereka yang telah berbuat banyak dan memberi masukan-masukan guna membantu penulis baik moril ataupun materil, sehingga tesis ini terselesaikan.

Untuk mereka yang telah berjasa, hanya doa yang dapat penulis persembahkan semoga Allah S.W.T senantiasa membalas amal baik yang telah diberikan dan

mencatatnya sebagai amal jariah. Amin.

Besar harapan penulis semoga karya ini berguna kiranya bagi perkembangan ilmu agama, khususnya di bidang al-Quran, dan bermanfaat pula bagi nusa dan bangsa serta tercatat sebagai salah satu amal jariah. Amin.

Akhirnya, dengan sadar dan penuh keyakinan bahwa tulisan ini tidak luput dari kekeliruan dan kekhilafan yang tanpa sengaja dilakukan, maka dengan kerendahan hati dan lapang dada penulis mengharapkan adanya kritikan dan saran-saran dari semua pihak.

Penulis,

T. Mairizal

ﺽ dh ﺏ b ﻁ th

ﻅ zh

ﺙ ts

ﻍ gh ﺡ h ﻑ f

ﺥ kh

ﺫ dz

ﺵ sy

ﺹ sh

Diftong:

 ﻭ َ – = aw ْ ٍ ﻱ – = ay َ ﻱ  – = iy ِ  ﻭ ُ – = uw

Vokal pendek: Vokal Panjang: َ – = a

Huruf yang ber-tasydid ditulis dengan huruf yang sama secara berurut. Contoh:

ﺎﹶ ﻨﱠ ﻁِ ﻗ = ’ajjil lanã qiththanã

DAFTAR ISI

3 ` KATA PENGANTAR

ABSTRAK

6 TRANSLITERASI

8 DAFTAR ISI

9 BAB I: PENDAHULUAN

A. Latarbelakang masalah

B. Permasalahan

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

D. Kajian Kepustakaan

E. Metode Penelitian yang Digunakan

F. Sistematika Penulisan

BAB II: AS-SULAMĨ DAN HAQÑIQ AT-TAFSĨR

A. As-Sulami

2. Kondisi Sosial

3. Perjalanan Intelektual (Rihlah 'Ilmiyah)

4. As-Sulami dan Generasi Setelahnya

5. Penilaian Ulama

B. Haqã‘iqu at-Tafsĩr

1. Latarbelakang penulisan

49 BAB III: KONTROVERSI SEKITAR TAFSIR ISYARI

2. Sumber Rujukan

A. Pengertian

B. Perbedaan antara Tafsir Isyãri dan Tafsir Bãthiniyah

C. Perkembangan Tafsir Isyãri

D. Penilaian Ulama terhadap Tafsir Isyãri

BAB IV: METODELOGI PENAFSIRAN AS-SULAMĨ DAN PENILAIAN ULAMA TERHADAP KARYANYA

A. Metodelogi Penafsiran

1. Penafsiran al-Quran dengan al-Quran

2. Penafsiran al-Quran dengan Sunnah

3. Penafsiran as-Sulamĩ dan Kaitannya dengan Bahasa

B. Penilaian Ulama

BAB V: ANALISIS PENAFSIRAN DALAM HAQÑIQU AT-TAFSĨR

A. Ayat-ayat Kawniyah

B. Kisah Para Rasul

3. Musa

C. Seputar Ibadah

3. Zakat, Infak, dan Shadaqah

172 BAB VI: PENUTUP

4. Haji

A. Kesimpulan

184 DAFTAR PUSTAKA

B. Saran

186 LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Tafsir merupakan salah satu dari sekian ilmu syariat yang agung dan tinggi kedudukannya, salah satu ilmu yang mulia objek permasalahan dan tujuannya, dan dibutuhkan sepanjang zaman, karena manusia membutuhkan petunjuk Ilahi. Tanpa tafsir, seorang Muslim tidak dapat menangkap mutiara-mutiara berharga dari ajaran Tuhan yang terkandung dalam al-Quran.

Setidaknya ada tiga segi yang membuat dan menentukan tingginya kedudukan tafsir. Pertama, yang menjadi objek kajian tafsir adalah kalam Ilahi yang mulia yang merupakan sumber segala ilmu agama dan keutamaan. Di dalamnya terhimpun berbagai

aturan untuk kebaikan hidup manusia. Kedua, tujuannya adalah untuk mendorong manusia berpegang teguh pada al-Quran dalam usaha memperoleh kebahagian yang

sejati, dunia dan akhirat. Ketiga, dilihat dari kebutuhan pun sangat jelas bahwa kesempurnaan mengenai bermacam-macam persoalan, baik agama maupun keduniaan, memerlukan ilmu syari’at dan pengetahuan dan mengenai seluk beluk agama. Hal itu

sangat tergantung pada ilmu pengetahuan tentang al-Quran, yaitu tafsir. 1 Pada hakekatnya, dengan rahmat-Nya, Allah "berbicara" dengan hamba-Nya sesuai dengan kadar pemahaman hamba, yang oleh karena itu tiap-tiap Rasul diutus sesuai dengan bahasa kaumnya, sebagaimana kitab suci yang diturunkan pada mereka. Namun demikian, penjelasan tentang al-Quran sangat dibutuhkan karena; 1) keagungan al-Quran yang dengan ungkapan sederhana mengandung berbagai makna yang detail sehingga sulit dipahami. 2) terdapat sebagian penjelasan yang diringkas, atau karena

1 M. Quraish Shihab, pengantar dalam: Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad

Abduh , Paramadina, Jakarta, 2002, hal xiii Abduh , Paramadina, Jakarta, 2002, hal xiii

yang hanya diketahui oleh Allah, yaitu berkaitan dengan hal-hal ghaib. 5 Guna menjelaskan kandungan al-Quran, Allah memberi wewenang kepada nabi Muhammad untuk menjelaskannya. Beliaulah orang yang pertama menjelaskan maksud- maksud al-Quran kepada umatnya –meskipun tidak seluruh ayat-, dan Allah memberikan jaminan kepada Rasul bahwa Ia akan memelihara al-Quran dan menjelaskannya. Dalam

surat al-Qiyãmah(75) ayat 17-19 Allah berfirman:

…ç tΡ$uŠt/ $uΖøŠn=tã ¨βÎ) §ΝèO ∩⊇∇∪ …ç tΡ#uöè% ôìÎ7¨?$$sù ç ≈tΡù&ts% #sŒÎ*sù ∩⊇∠∪ …ç tΡ#uöè%uρ …ç yè÷Ηsd $uΖøŠn=tã ¨βÎ) Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan

(membuatmu

membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.

pandai)

2 Badruddĩn az-Zarkasyĩ, al-Burhãn fi ’Ulũm al-Qur‘ãn, Dãru al-Ma’rifah, Beirut, 1391 H, jilid 1,

hal 14 3

’Abdullab bin ’Abbãs bin ’Abdu al-Muthallib. Beliau adalah paman Rasul yang dijuluki dengan "laut" karena keluasan ilmunya. Lahir sekitar tiga tahun sebelum Hijrah dan meninggal pada tahun 68 H.

Ahmad bin ’Alĩ bin Hajar al-’Asqalãnĩ, Tahdziĩbu at-Tahdzĩb, Daãru al-Fikr, Beirut, 1984, jilid 5, hal 242 4

Muhammad bin Jarĩr bin Yazĩd ath-Thabarĩ, pelopor tafsir riwayat yang menjadi rujukan bagi generasi setelahnya, dan menguasai berbagai ilmu, selain tafsir dan hadits, seperti sejarah dan bahasa. Lahir 274 H dan meninggal akhir bulan Syawal 310 H di Baghdad. Muhammad bin Ahmad ad-Dzhabĩ, Siyaru

A’lãmi an-Nubalã‘ 5 , Mu‘assatu ar-Risãlah, Beirut, 1993, jilid 14, hal 2667

Ibn Jarĩr ath-Thabarĩ, Jãmi’ al-Bayãn fi ta‘wĩl ay al-Qur‘ãn, Dãr al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut,

1999, jilid, 1, hal 118, az-Zarkasyĩ, al-Burhãn fi ’Ulũm al-Qur‘ãn, jilid 2, hal 166,

Dan adalah kewajiban Rasul untuk menjelaskannya kepada para sahabatnya: šχρ㍩3x tGtƒ öΝßγ‾=yès9uρ öΝÍκöŽs9Î) tΑÌh“çΡ $tΒ Ä¨$¨Ζ=Ï9 tÎit7çFÏ9 tò2Ïe%!$# y7ø‹s9Î) !$uΖø9t“Ρr&uρ 3 ̍ç/–“9$#uρ ÏM≈uΖÉit7ø9$$Î/

Artinya : Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (an-Nahl [16]: 44)

Ketika ilmu semakin berkembang, cabang-cabangnya bemunculan, perbedaan pendapat meningkat, fanatisme menjadi serius, ilmu ’aqli juga bercampur dengan ilmu naqli, sehingga melahirkan berbagai macam penafsiran sesuai dengan bidang tertentu, seperti hukum, ilmiah, dan sufi, yang tidak lepas dari kepakaran masing-masing ulama tafsir. Ahli-ahli fikih lebih memfokuskan penafsirannya pada persoalan-persoalan fikih,

seperti al-Jashshãsh 6 dan Ibn al-’Arabĩ 7 , begitu juga dengan ulama sufi yang menggali

berbagai makna yang mendalam untuk mengajak manusia meninggalkan maksiat dan mengerjakan amal shaleh.

Berkenaan dengan tafsir Isyãrĩ yang sering ditempuh oleh ulama sufi, ’Abdu al- ’Adzĩm az-Zarqãnĩ menggolongkannya dalam satu pembagian yang termasuk di dalamnya tafsir bi al-Ma‘tsũr dan bi ar-ra‘y. 8 Husain adz-Dzahabĩ membagi tafsir pada

6 Abu Bakr Ahmad bin ’Alĩ ar-Rãzĩ ulama besar bermazhab Hanafi, namun karya-karyanya condong pada Mu’tazilah. Lahir 305 h dan wafat 370 H. Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi

an-Nubalã‘ 7 , jilid 16, hal 340

Abu Bakr Muhammad bin ’Abdillah bin Muhammad bin ’Abdillah al-M’ãfirĩ, ulama besar bermazhab Maliki, sangat produktif dalam berkarya. Meski ayahnya seorang pengingut mazhab Zhahiri, namun beliau menantang keras mazhab tersebut, lahir 468-543 H. Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru

A’lãmi an-Nubalã‘ 8 , jilid 20, hal 197

Yang dimaksud dengan tafsir bi al-ma‘tsũr adalah: penafsiran yang menggunakan suatu pendekatan riwayat yang bersumber dari al-Quran, sunnah, dan sahabat. Meski terjadi perbedaan ulama mengenai penafsiran para tabi’in, Zarqani juga mengkategorikannya dalam tafsir bi al-ma‘tsur, sebagaimana terlihat dalam Jãmi’ al-Bayãn fi ta‘wĩl ay al-Qur‘ãn yang dikenal dengan tafsir Imam Thabarĩ (w 310 H). Selain tafsir Thabarĩ, termasuk pula dalam kategori ini antara lain: Tafsĩr al-Qur ‘an al-’Adzim karya Ibn Katsĩr (w 774), Ma’alimu at-Tanzĩl karya Husain bin Mas’ud al-Baghawĩ (w 516), ad-Durr al-Mantsũr fi at- Tafsĩr bi al- ma‘tsũr karya Jalãluddin as-Sayũthĩ (w 911). Sedangkan tafsir bi ar-ra‘y adalah penafsiran yang ditempuh dengan ijtihad. Apabila ijtihad tersebut berasas pada: 1) hadits Rasul yang shahih, 2) penafsiran sahabat, 3) kaidah bahasa yang sesuai dengan kandungan ayat, 4) sesuai dengan syari'at, maka ia dinamakan Yang dimaksud dengan tafsir bi al-ma‘tsũr adalah: penafsiran yang menggunakan suatu pendekatan riwayat yang bersumber dari al-Quran, sunnah, dan sahabat. Meski terjadi perbedaan ulama mengenai penafsiran para tabi’in, Zarqani juga mengkategorikannya dalam tafsir bi al-ma‘tsur, sebagaimana terlihat dalam Jãmi’ al-Bayãn fi ta‘wĩl ay al-Qur‘ãn yang dikenal dengan tafsir Imam Thabarĩ (w 310 H). Selain tafsir Thabarĩ, termasuk pula dalam kategori ini antara lain: Tafsĩr al-Qur ‘an al-’Adzim karya Ibn Katsĩr (w 774), Ma’alimu at-Tanzĩl karya Husain bin Mas’ud al-Baghawĩ (w 516), ad-Durr al-Mantsũr fi at- Tafsĩr bi al- ma‘tsũr karya Jalãluddin as-Sayũthĩ (w 911). Sedangkan tafsir bi ar-ra‘y adalah penafsiran yang ditempuh dengan ijtihad. Apabila ijtihad tersebut berasas pada: 1) hadits Rasul yang shahih, 2) penafsiran sahabat, 3) kaidah bahasa yang sesuai dengan kandungan ayat, 4) sesuai dengan syari'at, maka ia dinamakan

dalil naqli. 9 Mengingat sebagian sahabat ada yang memahami makna yang tersirat dari sebuah ayat, maka tafsir Isyãrĩ dapat dilakukan dengan riwayat atau logika. Salah satu contoh yang penafsiran dengan pendekatan riwayat adalah penafsiran yang bersumber dari Ibn ’Abbãs (w 68 H) –ahli tafsir dari kalangan sahabat-, dengan memahami ayat 1

dari surah an-Nashr (110) sebagai pertanda akan kembalinya Rasul kepada Kekasihnya. ﺍﻭﻝﺎﻗ { . ﺢﺘﻔﻝﺍﻭ ﷲ ﺍ ﺭﺼ ﻨ ﺀﺎﺠ ﺍﺫﺇ } ﻰ ﻝﺎﻌﺘ ﻪﻝﻭﻗ ﻥﻋ ﻡﻬﻝﺄﺴ ﻪﻨﻋ ﷲ ﺍ ﻲ ﻀ ﺭ ﺭﻤﻋ ﻥﺃ : ﺱ ﺎﺒﻋ ﻥﺒﺍ ﻥﻋ

Dari Ibn ’Abbãs, bahwa sesungguhnya ’Umar ra bertanya kepada mereka (pasukan Badar dari kalangan Muhajirin dan Anshor) tentang firman

tafsir bi ar-ra‘yi al-mamdũh. Apabila ijtihad penafsiran tidak memperhatikan pada asas-asas tersebut, maka ia dinamakan tafsir bi ar-ra‘yi al-madzmũm. Lihat: az-Zarkasyi, al-Burhãn fi ’Ulũm al-Qur‘ãn, jild II, hal 156, Muhammad ’Abdul ’Adzĩm az-Zarqãni, Manãhil al- ’Irfan, Dãr al-Fikr, Beirut, 1996, jilid 2, hal 36. Az- Zarqãni mengkategorikan beberapa kitab tafsir yang menggunakan pendekatan ra‘y (al-mahmũd) adalah: Tafsĩr al-Jalãin karya Jalãluddin al-Mahallĩ (w 864) dan Jalãluddin as-Sayũthĩ (w 911), Anwãr at-Tanzĩl wa Asrãr at-Tanzĩl karya ’Abdullah bin ’Umar bin Muhammad al-Baidhãwĩ (w 685), Mafãtih al-Ghaib karya Fakhruddĩn ar-Rãzĩ (w 606), Irsyãd al-’Aqli as-Salĩm ilã Mazãyã al-Qur‘ãn al-Karĩm karya Abu Su’ũd bin Muhammad al-’Imãdĩ (w 982), Madãrik at-Tanzĩl wa Haqã‘iq at-Ta‘wil karya ’Abdullah bin Ahmad bin

Mahmũd an-Nisafĩ (w 701).Lihat: az-Zarqãni, Manãhil al-’Irfan, jild 2, hal 12 9

Muhammad Husain adz-Dzahabĩ, al-Ittijãhãt al-Munharifah fĩ Tafsĩr al-Qur‘ãn al-Karĩm, Dãru

al-I'tisham, 1978, hal 15. 10

Muhammad bin Ismã’ĩl al-Bukhãrĩ, al-Jãmi’ ash-Shahĩh, Kitãbu at-Tafsĩr, Sũratu an-Nashr, no

Allah SWT: Apabila Telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Mereka menjawab: kemenangan atas kota-kota dan istana-istana. (’Umar) bertanya: apa menurut kamu wahai Ibn ’Abbãs? (Ibn ’Abbãs) menjawab: waktu atau perumpamaan diberikan kepada Muhammad SAW, yang menggambarkan kematiannya.

Penafsiran dengan menggunakan corak sufi bukanlah persoalan yang baru dalam khazanah Islam, melainkan sudah muncul sejak zaman sahabat. Bahkan tidak sedikit ayat al-Quran yang menggambarkan bahwa al-Quran dapat dipahami secara tersurat dan tersirat. Salah satunya terkandung dalam surah Muhammad (47) ayat 24:

!$yγä9$x ø%r& A>θè=è% 4’n?tã ôΘr& šχ#uöà)ø9$# tβρã−/y‰tGtƒ Ÿξsùr& Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ataukah hati mereka

terkunci? Tidak hanya al-Quran, Rasulullah juga menegaskan bahwa al-Quran memiliki

makna zhahir dan makna bathin: ﺕ ﺫﺨﺘﻻ ﻼ ﻴﻠﺨ ﺍﺫﺨﺘﻤ ﺕ ﻨﻜ ﻭﻝ ﻡﻠﺴﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﺍ ﻰ ﻠﺼ ﷲ ﺍ لﻭﺴﺭ لﺎﻗ : :

ﻥﻁ ﺒﻭ Abdullah bin Mas ’ũd berkata: Rasulullah SAW bersabda: seandainya aku

menjadikan kekasih, maka aku akan menjadikan Abu Bakr sebagai kekasih. Tetapi sahabat kalian (Abu Bakr) adalah kekasih Allah, dan al- Quran diturunkan dengan tujuh huruf, setiap huruf memiliki zhahir dan bathin.

Berdasarkan ayat dan hadits di atas, para ulama berkesimpulan bahwa al-Quran memiliki makna bathin yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang mendalami

11 Shahĩh. Sulaiman bin Ahmad ath-Thabrãnĩ, al-Mu’jam al-Awsath, no: 773, Musnadu Abĩ Ya’lã,

Musnadu ’Abdullah bin Mas’ũd , no 5403 Musnadu ’Abdullah bin Mas’ũd , no 5403

sahabat, seperti contoh tersebut di atas. 12

Namun, polemik tentang tafsir sufi ini tetap berlanjut. Ahmad bin Abi al- Hiwãrĩ, 13 di antara ulama yang mendukung tafsir sufi, mengatakan: Seandainya mereka (yang menghafal al-Quran) memahami apa yang mereka baca, mengetahui hakikatnya, menikmatinya, dan bermunajat dengannya, maka mereka tidak akan bisa tidur, karena

cukup dengan apa yang mereka pahami. 14 Sementara mereka yang menolaknya tidak segan-segan mengecam penafsiran ini. Az-Zarkasyĩ (w 794 H), misalnya, mengatakan bahwa penjelasan ulama sufi bukanlah suatu penafsiran, melainkan ungkapan makna al-

Quran yang diperoleh melalui proses bacaan. 15 Ibn Taymiyah (Syaikhu al-Islãm Ahmad bin ’Abdu al-Halĩm w. 728 H) juga berkesimpulan bahwa barangsiapa yang menafsirkan dan men-ta‘wil-kan al-Quran atau hadits dengan penafsiran yang tidak bersumber dari

sahabat atau tabi’in, maka ia termasuk orang yang mengada-ngada kepada Allah dan

kafir terhadap al-Quran. 16

Salah satu tafsir klasik yang menggunakan corak sufi adalah Haqã’iqu at-Tafsĩr karya Abu ’Abdrrahmãn as-Sulamĩ (w 412 H), yang lebih dikenal dengan Tafsĩr as- Sulamĩ . As-Sulami merupakan sosok ulama sufi yang terkemuka yang melahirkan berbagai karya di bidang tasawuf, sejarah, hadits, dan tafsir.

Setidaknya terdapat 2197 ayat al-Quran yang ditafsirkan as-Sulamĩ secara acak/tidak tertib dengan menggunakan corak sufi/Isyãrĩ. Meskipun as-Sulamĩ -

12 Ibarhim bin Musa asy-Syãthibĩ, al-Muwãfaqãt fĩ Ushũl asy-Syarĩ’ah, Dãr al-Hãdits, 2006, jilid 3,

hal 265 13

Ahmad bin ’Abdullah bin Maymũn, ulama zuhud berasal Kufah. Beliau adalah guru dari Abu Dãwud dan Ibn Mãjah, lahir 164-246 H. Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid

12, hal 85 14

Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ, Thabaqãtu ash-Shũfiyah, Dãr al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, 2003,

hal 94 15

az-Zarkasyĩ, al-Burhãn fi ’Ulũm al-Qur‘ãn, jilid 2, hal 170. Komentar ulama berkenaan dengan

tafsir sufi akan dibahasa dalam bab selanjutnya. 16

Ahmad bin ’Abdul Halĩm bin Taimiyah, Fatãwã Ibn Taymiyah, Dãr ak-Kutub al-’Ilmiyah,

Beirut, 2000, jilid 13, hal 109.

sebagaimana pengakuannya dan terlihat dalam tafsirnya- banyak mengumpulkan penafsiran dan pendapat-pendapat ulama sufi sebelumnya dalam menjelaskan makna al-

Quran –seperti Ja’far bin Muhammad bin ’Alĩ (Ja’far ash-Shãdiq, w 148 H), at-Tustarĩ 17 , Junaid al-Baghdãdĩ 18 , Ahmad bin Muhammad bin ’Atha‘ 19 , Muhammad bin Musa al- Wãsithĩ (Abu Bakr, murid senior dari al-Junaid, ulama tasawuf yang menguasai ilmu dzahir w 320 H), dan ulama-ulama sufi yang lain-, terdapat pula penafsirannya sendiri sebagaimana terlihat dalam beberapa ayat surah al-Qashash (28) dan surah Shad (38)

Walau banyak mengumpulkan penafsiran ulama-ulama sufi, berbagai celaan dan kritikan dialamatkan kepada as-Sulamĩ dan tafsirnya. Al-Wãhidĩ (Abu al-Hasan ’Alĩ bin Ahmad bin Muhammad, ulama tafsir yang menulis Asbãbu an-Nuzũl w. 468 H), sebagaimana dinukil Ibn Taymiyah, mengatakan: "Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ menulis Haqã’iqu at-Tafsĩr. Barangsiapa meyakini tulisan itu sebagai tafsir,

sesunggugnya ia telah kafir". 20 Ibn Taymiyah sendiri juga melontarkan kritikan terhadap

tafsir as-Sulamĩ. Beliau mencontohkan tafsir as-Sulamĩ sebagai salah satu di antara sekian tafsir yang menjelaskan kandungan al-Quran secara benar, namun penjelasan

tersebut tidak sesuai dengan kehendak al-Quran. 21 Dari sudut lain, Ibn Taymiyah menilai bahwa as-Sulamĩ menyebutkan dalam Haqã’iqu at-Tafsĩr berbagai isyãrãt, yang sebagiannya benar dan bermanfaat, sebagian lain adalah kebohongan terhadap sumber seperti yang bersumber dari Ja’far ash-Shãdiq, dan sebagian yang lain berupa nukilan

17 Sahl bin ’Abdillah bin Yunus at-Tustarĩ, ulama besar sufi yang banyak mengemukakan nasehat- nasehat. Beliau pernah mengatakan bahwa seseorang hendaknya menulis hadits sampai ia meninggal, dan tinta

ditumpahkan pada kuburannya sebagai saksi, wafat 283 H. Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi

an-Nubalã‘ 18 , jilid 13, hal 330

Junaid bin Muhammad bin al-Junaid, ulama besar sufi berasal dari Baghdad yang ilmunya sesuai dengan amalannya dan diterima dalam setiap kalangan, lahir sebelum 230 wafat 297 H. Muhammad bin

Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 14, hal 66 19

Abu al-’Abbãs Ahmad bin Muhammad bin Sahl bin ’Atha‘, ulama yang mengkhatamkan al- Quran 90 kali dalam bulan Ramadhan, namun beliau membenarkan ungkapan-ungkapan kontroversial dari al-

Hallãj, meninggal 309 H. Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 14, hal 256 20

21 Ahmad bin ’Abdul Halĩm bin Taimiyah, Fatãwã Ibn Taymiyah, 13, hal 107 Menurut Ibn Taimiyah, terdapat sekian penafsiran dari ulama sufi dan ulama fikih yang menafsirkan diluar konteks al-Quran. Beliau menggunakan ungkapan: akhtha‘a fĩ ad-dalĩl lã fĩ al-madlũl.

Lihat: Ahmad bin ’Abdul Halĩm bin Taimiyah, Muqaddimah fĩ Ushũli at-Tafsĩr, hal 82 Lihat: Ahmad bin ’Abdul Halĩm bin Taimiyah, Muqaddimah fĩ Ushũli at-Tafsĩr, hal 82

musibah dan penakwilan kaum Bãthiniyah. Kita memohon perlindungan dari Allah. 23 Dengan berbagai komentar para ulama yang menyudutkan dan mengkafirkan penafsiran as-Sulamĩ, serta keilmuannya yang luas, tidak berlebihan jika dilakukan telaah terhadap penafsiran Isyãrĩ, dalam hal ini Haqã’iqu at-Tafsĩr. Setidaknya, dengan telaah ini dapat mengenal lebih jauh model penafsiran as-Sulamĩ beserta sumbernya, sehingga dapat menyikapi dan mempertimbangkan kembali celaan dan kritikan yang dilontarkan ulama terhadap tafsir Isyãrĩ, khususnya tafsir as-Sulamĩ. Selain itu, telaah ini mempertegas bahwa tidak semua –kalau enggan mengatakan tidak sama sekali- penafsiran as-Sulami sesat. Bertolak dari urgensi penjelasan di atas, penulis

Terhadap Kitab Haqã’iq at-Tafsĩr Karya Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ [325- 412

H])".

B. Permasalahan

Merujuk pada realitas dan latarbelakang masalah tersebut, maka permasalahan penelitian adalah penafsiran Isyãrĩ yang termuat dalam Haqã’iqu at-Tafsĩr karya as- Sulamĩ. Penelitian ini mungkin dapat dilihat dari berbagai aspek, di antaranya metode penafsiran as-Sulamĩ dan sikapnya terhadap al-Quran dan hadits. Kajian lain berupa analisis penafsiran as-Sulamĩ dengan membandingkan dengan kitab-kitab tafsir lain dalam persoalan yang sama. Dengan demikian, pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam kajian ini adalah:

23 Ibn Taimiyah, Fatãwã Ibn Taymiyah, jilid VI, hal 187 Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabĩ, Tadzkirat al-Huffãdz, an-Nizhãmiyah, India, tt, jilid 3, hal1046. Lebih lanjut, komentar-komentar ulama terhadap penafsiran as-Sulamĩ akan diutarakan dalam bab

selajutnya.

1. Benarkah semua penafsiran as-Sulamĩ adalah penafsiran Isyãrĩ, sebagaimana dinilai Husain adz-Dzahabĩ?

2. Bagaimanakah metode penafsiran as-Sulamĩ berkenaan dengan penafsiran al-Quran dengan al-Quran, al-Quran dengan hadits, serta al-Quran dengan bahasa?

3. Bagaimanakah aplikasi metode tersebut terhadap beberapa tema di dalam al-Quran?

4. Benarkah penafsiran as-Sulamĩ menyimpang dari tafsir zhahir, sebagaimana dinilaih al-Wãhidĩ?

Tafsir Isyãrĩ yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah penakwilan ayat al- Quran dari makna yang tersurat (zhahir) kepada makna lain yang tersirat. Terdapat beberapa kitab tafsir yang menggunakan corak Isyãrĩ, antara lain: Tafsĩru at-Tustarĩ

karya Muhammad Sahl at-Tustarĩ, Lathã‘if al-Isyãrãt karya Abũ al-Qãsim al-Qusyairĩ (’Abdul al-Karim bin Hauzãn, murid as-Sulamĩ w 465) ’Ara‘isu al-Bayãn fĩ Haqã‘iqi al-

Bayãn karya Abũ Muhammad asy-Syairãzĩ (w 606), Tafsĩr Ibn ’Arabi karya Muhyiddĩn Ibn ’Arabi (w 638), Rũh al-Ma’ãni karya Mahmũd bin ’Abdillah bin Mahmud al-Alũsĩ (w 1270).

Oleh karena itu, pembahasan ini hanya berpusat pada kitab tafsir Isyãrĩ karya Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ yang persisnya bernama Haqã’iq at-Tafsĩr, diterbitkan oleh Dãr al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, cetakan ke-1 tahun 2001

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

1. Tujuan Penelitian. Tujuan penelitian ini secara umum untuk membuktikan bahwa tidak semua penafsiran as-Sulamĩ sesat. Lebih khusus lagi, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode penafsiran as-Sulamĩ dalam Haqã‘iq-nya, penerapan metode tersebut terhadap 1. Tujuan Penelitian. Tujuan penelitian ini secara umum untuk membuktikan bahwa tidak semua penafsiran as-Sulamĩ sesat. Lebih khusus lagi, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode penafsiran as-Sulamĩ dalam Haqã‘iq-nya, penerapan metode tersebut terhadap

2. Signifikansi Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk mempertimbangkan kembali pandangan ulama terhadap tafsir as-Sulamĩ yang dinilai sesat, juga untuk menambah informasi yang penting berkenaan dengan tafsir Isyãrĩ.

D. Kajian Kepustakaan

Penelitian secara khusus berkenaan dengan tafsir Isyãrĩ terlihat dalam penelitian para sarjana masa kini terhadap tafsir tertentu. ’Abdul Majĩd Ihaddad memperoleh gelar doktor dengan memfokuskan penelitiannya pada penafsiran Imam al-

Qusyairĩ -salah satu murid Abu ’Abdirrahmãn as-Sulamĩ- dalam Lathã’if al-Isyãrãt

berkenaan dengan istilah-istilah tasawuf. 24

Baharuddin HS juga meneliti ayat-ayat yang ditafsirkan secara Isyãrĩ oleh al- Alũsĩ dalam Rũh al-Ma’ãnĩ. Penelitian juga mencakup beberapa tafsir isyãrĩ yang berkembang. 25 Penelitian lain adalah berkenaan dengan tafsir Isyãrĩ menurut Thabãthabã‘ĩ yang dilakukan oleh Rosihan Anwar. Penelitian tersebut terfokus pada prinsip-prinsip tafsir Isyãrĩ dalam pandangan Thabãthabã‘ĩ, serta pandapatnya berkenaan

dengan riwayat para Imam. 26

Penelitian lain, berkenaan dengan tafsir Isyãrĩ adalah thesis MA oleh Muhammad Anwar Syarifuddin. Lebih khusus, penelitiannya berkenaan dengan Tafsĩr

24 ’Abdul Majĩd Ihaddãd, Dirasah li Lathãifi al-Isyarãt li Abi al-Qãsim al-Qusyairiy, (Disertasi

diperoleh melalui wibsite:

http://www.merbad.net/vb/showthread.php?p=21717 25

Baharuddin HS, Corak Tafsir Rũh al-Ma’ãnĩ karya al-Alũsĩ; telaah atas ayat-ayat yang ditafsirkan secara Isyãrĩ , (Disertasi Doktor), Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah, Jakarta, 2002 26

Rosihan Anwar, Tafsir Esoterik Menurut Pandangan Thabãthabã‘ĩ, (Disertasi Doktor), Program

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2004 Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2004

sufi (maqãmãt). 27 Novizal Wendry juga membahas penafsiran esoterik yang terdapat dalam kitab Bihãr al-Anwãr karya Muhammad Bãqir al-Majlisĩ (ulama Syi’ah, w 1111 H). Selain mengemukakan metode penafsiran al-Majlisĩ, pembahasan Novizal juga

terfokus pada keberanian al-Majlisĩ dalam melegalkan tafsir esoterik. 28 Dalam buku Islamic Studies Presented To Charles J. Adams, termuat sebuah artikel yang ditulis oleh guru besar Universitas Yale, Gerhard Bowering, dengan judul The Quran Commentary Of as-Sulami . Setelah mengemukakan biografi dan metode penafsiran as-Sulamĩ dengan singkat –yang juga dikutip dari muqaddimah tafsir as- Sulamĩ-, Gerhard lebih banyak menyoroti sistematika penafsiran, rujukannya, serta

kontribusi as-Sulamĩ dalam perkembangan corak tafsir Isyãrĩ. 29 Sementara dalam artikel

lain dengan judul The Major Sources Of Sulamĩ's Minor Quran Commentary, Gerhard Bowering secara khusus menyoroti rujukan-rujukan as-Sulamĩ dalam kitab yang ditulis

setelah Haqã’iq at-Tafsĩr, yaitu Ziyãdãt Haqã’iq at-Tafsĩr. 30 Dalam dua artikel tersebut tidak ditemukan kajian terhadap penafsiran as-Sulamĩ, sebagaimana akan dimuat dalam pemabahasan ini.

Secara umum, sumber lain yang dapat dijadikan kajian kepustakan berupa kitab-kitab yang membahas tentang ilmu al-Quran, seperti Manãhil al-’Irfãn karya az- Zarqãni, at-Tafsĩr wa al-Mufassirũn karya Husain adz-Dzahabĩ, al-Manãhij at- Tafsĩriyyah karya Ja’far as-Sajãnĩ, dan at-Tafsĩr wa al-mufassirũn fĩ Tsaubihi al-Qasyĩb

27 Informasi tersebut diperoleh dari hasil wawancara dengan peneliti, tanggal 28 Maret 2007. Judul tesisnya adalah: Sufi Simbolism on the early Qurani Commentaries (A Study On Sahl at-Tustarĩ Tafsĩr al-

Quran al-’Adzĩm 28 . Leiden University, 2000

Novizal Wendry, Penafsiran Esoterik dalam Tafsir Syi'ah (Studi Kitab Bihãr al-Anwãr), (Thesis

MA), Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2007 29

Gerhard Bowering, The Quran Commentary Of as-Sulami. Dalam: Islamic Studies Presented To

Charles J. Adams 30 , Wael B. Hallaq dan Donald P. Little, (edt), Brill, Leiden, New York, 1991

Gerhard Bowering, The Major Sources Of Sulamĩ's Minor Quran Commentary,

http://links.jstor.org/sici?sici=0078 http://links.jstor.org/sici?sici=0078

Merujuk pada beberapa karya di atas yang membahas tafsir Isyãrĩ, ditemukan tanggapan-tanggapan pro dan kontra terhadap tafsir Isyãrĩ serta "benang merah" di antara keduanya. Dalam penelitian ini, akan dikaji secara khusus penafsiran as-Sulamĩ terhadap beberapa tema yang terkandung dalam al-Quran. Namun sebagai pendahuluan kajian ini, perlu kiranya mengemukakan biografi as-Sulamĩ beserta profil tafsirnya, begitu juga tentang tafsir Isyãrĩ.

E. Metode Penelitian yang Digunakan

Bertolak dari kajian diatas, maka kajian ini menggunakan metode library research dengan mengumpulkan data dari perpustakaan serta sarana lainnya seperti

website . Data yang dihimpun dari riset perpustakaan terdiri dari data pokok berupa Haqã’iq at-Tafsĩr yang diterbitkan oleh Dãr al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, cetakan ke-1

tahun 2001. Selain itu, penggunaan data sekunder tidak dapat dihindari terutama yang berkenaan dengan tafsir, hadits, bahasa, dan taswuf.

Selain itu, juga digunakan metode analisis, dengan melakukan pencatatan, penguraian, dan penafsiran untuk mengupas masalah yang diteliti, sehingga dapat ditemukan kesimpulan atas penafsiran as-Sulamĩ. Pengumpulan data juga dilakukan dengan metode komperatif, dengan berusaha memaparkan aplikasi tafsir as-Sulamĩ dan menganalisanya serta membandingkan dengan beberapa kitab tafsir lain yang dianggap relevan dengan permasalahan.

Sedangkan mengenai pedoman penulisan, penulis merujuk pada Rambu-rambu Penulisan Tesis/Disertasi yang ditetapkan Sekolah PascaSarjana UIN Syarif Hidayatullah2008.

F. Sistematika Penulisan

Demi kemudahan dalam memahami substansi penelitian ini, maka penulisan ini dibagi pada enam bab dengan sistematika sebagai berikut: Bab pertama, berupa pendahuluan yang terdiri dari enam sub-bab, yaitu latarbelakang masalah, permasalahan, tujuan dan signifikansi penelitian, kajian kepustakaan, metode penelitian, serta sistematika penelitian.

Bab keedua, bagian pertama bab ini berbicara tentang kehidupan as-Sulamĩ dengan melihat pada biografi dan kondisi sosial pada masa hidupnya, keilmuannya yang meliputi guru-guru tempat dia menimba ilmu berikut pengaruh keilmuan as-Sulamĩ terhadap generasi setelahnya, serta penilaian ulama terhadap dirinya.

Adapun berkenaan dengan profil kitab, pembahasan berkisar pada sejarah singkat yang mendorongnya menulis tafsir, beserta sumber-sumbernya. Bab ketiga, terdiri dari empat bagian. Pada bab ini, pembahasan berkisar pada pengertian tafsir Isyãri. Oleh karena tafsir Isyãri sering dikaitkan dengan tafsir Bãthini, maka pembahasan pada bagian selanjutnya mencakup perbedaan tafsir Isyãrĩ dengan tafsir Bãthini . Pembahasan lain dalam bab ini mencakup sejarah tafsir Isyãri dan status hukum, baik mereka yang menerima atau menolak tafsir Isyãri.

Bab keempat , bagain pertama dalam bab ini menilik metode yang digunakan as- Sulamĩ dalam kaitannya dengan ayat al-Quran, hadits, dan bahasa dalam penafsirannya. Pada bagaian selanjutnya, pembahasan berkisar pada penilain ulama terhadap tafsir as- Sulamĩ, serta merespon berbagai penilaian tersebut dengan merujuk pada tiga metode yang disebutkan. Bab kelima berupa kajian lebih khusus berkenaan dengan tafsir as-Sulamĩ, dengan berusaha memilih ayat-ayat yang berkaitan dengan tiga metode yang diuraikan sebelumnya. Bagian pertama dari bab ini akan mengupas penafsiran yang berkenaan dengan tema-tema tertentu. Mempelajari ayat-ayat kawniyah setidaknya dapat memperdalam makna-makna yang terkandung di dalamnya, sehingga mengakar dalam Bab keempat , bagain pertama dalam bab ini menilik metode yang digunakan as- Sulamĩ dalam kaitannya dengan ayat al-Quran, hadits, dan bahasa dalam penafsirannya. Pada bagaian selanjutnya, pembahasan berkisar pada penilain ulama terhadap tafsir as- Sulamĩ, serta merespon berbagai penilaian tersebut dengan merujuk pada tiga metode yang disebutkan. Bab kelima berupa kajian lebih khusus berkenaan dengan tafsir as-Sulamĩ, dengan berusaha memilih ayat-ayat yang berkaitan dengan tiga metode yang diuraikan sebelumnya. Bagian pertama dari bab ini akan mengupas penafsiran yang berkenaan dengan tema-tema tertentu. Mempelajari ayat-ayat kawniyah setidaknya dapat memperdalam makna-makna yang terkandung di dalamnya, sehingga mengakar dalam

Bab keenam , sebagai penutup, berisi kesimpulan guna menjawab dari permasalahan yang dikaji. Dan, bab ini akan diakhiri dengan saran-saran yang berkaitan dengan

pembahasan tesis ini.

BAB II AS-SULAMĨ DAN HAQÑIQU AT-TAFSĨR

A. As-Sulamĩ

1. Biografi Abu ’Abdirrrahmãn as-Sulamĩ adalah sosok ulama besar di bidang hadits, dan merupakan tokoh besar sufi di Khurasan. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Husain bin Muhammad bin Musa bin Khãlid bin Sãlim bin Zãwiyah bin Sã’ĩd bin Qabĩshah bin Sirãq al-Azdĩ an-Naisãbũrĩ (selanjutnya disebut as-Sulamĩ). Dilihat dari keturunan ayahnya, as-Sulamĩ berasal dari keturunan Azd, yaitu Azdu bin Ghauts bin Nabt bin Malik bin Zaid bin Kahlãn bin Saba‘. Julukan "as-Sulamĩ" bersumber dari jalur keturunan ibunya, yaitu cucu dari Abu ’Amr Ismail bin Najĩd bin Ahmad bin Yusuf bin

Sãlim bin Khãlid as-Sulamĩ, nasab dari Salĩm bin Manshũr bin ’Ikrimah Khashfah bin

Qais bin ’ĩlãn bin Madhr. 31 Abu ’Abdirrrahmãn lebih populer dengan keturunan ibunya (as-Sulamĩ) karena "dinasti" as-Sulamĩ merupakan dinasti yang terkemuka di Naisabur, hal itu ditandai dengan diangkatnya Qais bin Haitsam as-Sulãmĩ sebagai pemimpin Naisabur pada masa Mu’ãwiyah sejak tahun 41 H sampai 45 H. Tidak hanya dalam kedudukan, "dinasti" ini juga terkemuka dari segi ketaqwaan, kemapanan dan kedermawanannya. Keadaan yang demikian berbeda dengan keadaan ayahnya yang sederhana.

As-Sulamĩ lahir dari keluarga dan keturunan yang sangat zuhud pada hari selasa

10 Jumada Akhir 325 H, bertepatan dengan 16 April 936 M. Sementara sebagian sejarawan menyebutkan bahwa beliau lahir pada tahun 330 H. Pendapat pertama lebih tepat karena –sebagaimana diutarakan Abu Sa’ĩd Muhammad bin ’Alĩ al-Khasyãb (salah satu murid as-Sulamĩ yang setia di Naisabur 381-456 H)- as-Sulamĩ lahir enam hari

31 Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, Mu‘assatu ar-Risãlah, Berut,

1993, jilid 17, hal 247 1993, jilid 17, hal 247

dan Abu al-’Abbãs al-Asham pada (Muhammad bin Yusuf bin Ya’qub) tahun 333 H. 32 Husain bin Muhammad bin Musa, sang ayah, adalah sosok ulama sufi yang santun bermuamalah. Sang ayah menjual dan menyedekahkan semua harta bendanya sebagai ungkapan bahagia menyambut kelahiran as-Sulamĩ. Ketika ditanya alasan tersebut, beliau menjawab: "masa depannya tidak akan lepas dari dua hal: apabila ia (as- Sulamĩ) menjadi anak yang shaleh, maka Allah akan mencukupkan kebutuhannya. Dan, apabila ia menjadi orang yang fasik, maka aku tidak mau menjadi penolong

kefasikannya". 33 Kenyataannya, as-Sulamĩ hanya beberapa tahun dapat merasakan kebersamaan dengan ayah. Pada tahun 348 H, ketika as-Sulamĩ berumur 13 tahun, sang ayah kembali

kapada Allah. Sepeninggal ayahnya, as-Sulamĩ diasuh oleh kakek dari ibunya; Abu ’Amr Ismail bin Najĩd. Bersama sang kakek yang tidak memiliki putra, as-Sulamĩ selalu

hadir dalam majlis-majlis ilmu. Kebersamaan seperti ini juga menjadi salah satu sebab mengapa Abu ’Abdirrahmãn dijuluki dengan "as-Sulamĩ". Abu ’Amr Ismail bin Najĩd meninggal dunia pada tahun 366 H dengan meninggalkan harta yang hanya diwariskan oleh ibu as-Sulamĩ.

As-Sulamĩ meninggal dunia pada hari ahad 3 Sya’ban 412 H, dan dimakamkan di sebuah rumah kumpulan kaum sufi di Naisabur, yang beliau dirikan pada masa akhir

hayatnya. 34

32 Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 17, hal 247. Berkenaan

dengan biografi singkat guru-guru as-Sulamĩ, akan di utarakan pada bagian berikut. 33

Ibn Mulqin; ’Umar bin ’Alĩ bin Ahmad, Thabaqãtu al-Awliyã‘, Maktabatu al-Khãbikhĩ, Mesir

1973, hal 189 34

Ahmad bin Ali, al-Khathĩb al-Baghdãdĩ, Tãrĩkhu Baghdãd, Dãru al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, tt,

jilid 2, hal 248

2. Kondisi Sosial Pada masa kekhalifahan ’Umar, tepatnya tahun 18 H, daerah Khurasan berada dibawah kerajaan Islam. Dibawah kepemimpinan Ahnaf bin Qais 35 pada masa itu, penaklukan dimulai dari daerah Thabsin, Harrah, Marw, dan Naisabur. Penaklukan tersebut berlangsung sampai tahun kedua dari kepemimpinan khalifah ’Utsmãn bin ’Affãn. Pada masa itu terjadi pemberontakan orang-orang gereja di Naisabur yang mengharuskan melepas kepemimpinan Islam, meskipun Khurasan beserta daerah sekitarnya direbut kembali pada tahun 31 H di bawah kepemimpinan ’Abdullah bin

’Ãmir bin Kuraiz bin Rabĩ’ah (saudara sepupu ’Utsmãn bin ’Affãn w 85 H). 36 Kerajaan Islam di Khurasan pada masa itu tidaklah berjalan lancar, melainkan penuh dengan pemberontakan-pemberontakan yang memaksa para pemimpin untuk terus mengungsi ke berbagai wilayah. Kerajaan Islam di Khurasan mencapai puncaknya

pada masa bani ’Abbãs. Keadaan seperti ini dapat dipahami dari ungkapan Ibn Qutaibah bahwa:

"Ketika Allah melaksanakan kehendaknya melalui bani Umayyah dan Bani Abbas, orang-orang Khurasan dapat hidup dengan tenang dan penuh ketaatan

kepada pemimpin mereka". 37

Secara geografis, awal batas Khurasan adalah sekitar Irak; Azadzuwar, Juwain, dan Baihaq. Perbatasan akhirnya di sekitar India; Thakharistan, Ghaznah, Sajastan, dan Kirman. Khurasan setidaknya memiliki empat kota besar, yaitu Harat, Balkh, Marw, dan

Naisabur -tanah kelahiran as-Sulamĩ. 38

Sejak abad ketiga, terdapat beberapa kerajaan yang memerdekakan diri dari dinasti ’Abbãsiyah. Berdirinya kerajaan-kerajaan tersebut membawa pengaruh besar

35 Ahnaf bin Qais bin Mu’ãwiyah bin Hushain. Nama sebenarnya adalah adh-Dhahãk bin Qais.

Beliau masuk Islam pada masa Rasul, dan menjadi salah satu pemimpin dalam perang Shiffin. W 67 H.

Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 4, hal 86 36

37 Yãqũt al-Hamwĩ, Mu‘jamu al-Buldãn, Dãru al-Fikr, Beirut, tt, jilid 2, hal 350

38 Yãqũt al-Hamwĩ, Mu‘jamu al-Buldãn, jilid 2, hal 350 Yãqũt al-Hamwĩ, Mu‘jamu al-Buldãn, jilid 2, hal 350 38 Yãqũt al-Hamwĩ, Mu‘jamu al-Buldãn, jilid 2, hal 350 Yãqũt al-Hamwĩ, Mu‘jamu al-Buldãn, jilid 2, hal 350

pemikiran. 39 Tahun 205 H-259 H, Naisabur dijadikan pusat kerajaan Thahiriyyah, yang diawali oleh ’Abdullah bin Thãhir bin al-Husain bin Mushab (182-230 H). Di bawah kerajaan ini, Naisabur menjadi pusat peradaban dan ekonomi. Selanjutnya, kerajaan berpindah pada kerajaan Shafãriyah, di bawah pimpinan Abu Yusuf Ya’qub bin al-Laits as-Sajastãnĩ (w 265 H). kerajaan ini berkuasa dari tahun 254 sampai 290 H.

Setelah kerajaan Shafãriyah, muncul kerajaan Sãmãniyah (266-389 H). Pada abad ke-4, Naisabur menjadi pusat kota Islam dan berada pada masa keemasan di bidang pembangunan dan pemikiran, dan menjadi kota terpenting di Khurasan. Pada masa kerajaan ini juga berkembang mazhab fikih, khususnya mazhab Hanafiyah dan

Syafi’iyah. Akhir abad keempat, atau memasuki abad kelima, Naisabur menjadi pusat

ilmu tasawuf di bagian timur. 40 Hal itu terlihat dengan munculnya ulama-ulama tasawuf seperti at-Turmudzĩ 41 , Abu Yazĩd al-Busthãmĩ, 42 Abu Nashr ’Abdullah bin ’Alĩ as-Sirãj ath-Thũsĩ (w 378 H) dengan kitabnya al-Luma’, Abu Thãlib al-Makkĩ 43 dengan kitabnya Qũtu al-Qulũb , dan Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim al-Kalãbadzĩ (pengikut mazhab Hanafi, w 384 H) dengan kitabnya at-Ta’arruf li Madzhabi at-Tashawwuf.

39 Hasan Ibrahim Hasan, Tãrĩkhu al-Islãm; as-Siyãsĩ wa ad-Dĩnĩ wa ats-Tsaqãfĩ wa al-Ijtimã’ĩ, al-

Maktabatu an-Nahdhatu al-Mishriyatu, 1979, jilid III, hal 62. 40

41 The Encyclopedia of Islam, ed P.J. Bearman dkk, Brill, Leiden, 2000, jilid 10, hal 314 Abu ’Abdillah Muhammad bin ’Alĩ bin al-Hasan al-Hakĩm. Beliau diusir dari Turmudz karena menulis kitab Khatmu al-Wilãyati dan ’Ilalu asy-Syarĩ’ati, yang isinya dianggap lebih memuliakan para wali

daripada para nabi, dan para wali memiliki wali penutup sebagaimana para nabi. Menurut as-Sulamĩ, beliau diusir karena penduduk Turmudz tidak bisa memahami dua kitab tersebut. Beliau wafat 255 H. Muhammad

bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 13, hal 441 42

Thaifũr bin Isa bin Sarũsyãn (w 261). Tokoh tasawuf yang banyak mengutarakan Syathahãt, tetapi banyak pula ungkapan yang bermanfaat. Kakeknya Sarũsyãn seorang Mmajusi yang memeluk Islam. Abu Yazĩd, Adam dan ’Alĩ adalah tiga saudara yang zuhud. Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru

A’lãmi an-Nubalã‘ 43 , jilid 13, hal 86

Muhammad bin ’Alĩ bin ’Athiyyah al-Hãritsĩ, ulama zuhud yang banyak menahan lapar, hanya makan sayur-sayuran sampai kulitnya menghijau. Wafat 386 H. Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘ , jilid 16, hal 537

Melihat dari sejarah singkat di atas, maka keilmuan as-Sulamĩ mendapat pengaruh dengan keadaan zaman pada masa itu. Guru as-Sulamĩ yang pertama, sang ayah, dikenal sebagi murid ulama sufi asy-Syiblĩ, 44 begitu juga dengan kakeknya yang dikenal sebagai murid al-Junaid al-Bagdadĩ (w 297 H).

3. Perjalanan Intelektual (Rihlah ’Ilmiyah) Sebagaimana disinggung di atas, as-Sulamĩ menuntut ilmu berawal dari ulama besar Naisabur di bidang hadits, Abu Bakr ash-Shabghĩ (Ahmad bin Ishaq bin Ayyub, 258-342 H), di saat as-Sulãmĩ belum genap 8 tahun. Tentunya, as-Sulãmĩ banyak mendapat bimbingan ilmu tasawuf dari ayah dan kakeknya. Berawal dari itu, timbul kemauan yang besar dalam diri as-Sulamĩ untuk menekuni dua bidang ilmu tersebut dengan "menjelajahi" berbagai daerah, antara lain: ke Irak, Ray, Hamdan, Marw, Hijaz.

Selama hidupnya, tentu banyak guru-guru yang di jumpai as-Sulamĩ. Bahkan, hanya sedikit –kalau enggan berkata tidak- daerah yang beliau singgah tanpa berguru

pada ulama yang ada di daerah tersebut. Di antara guru-gurunya adalah:

1. Abu Bakr Muhammad bin Daud bin Sulaiman an-Naisãbũrĩ. Beliau salah seorang ulama Tasawuf yang dinilai tsiqah. Wafat 342 H 45

2. Abu al-Hasan Ahmad bin Muhammad bin ’Abdũs bin Salamah al-’Anzĩ an-Naisãbũrĩ ath-Tharã‘ifĩ, wafat di Naisabur tahun 346 H. 46

3. Abu Hãmid Ahmad bin ’Alĩ bin Hasan bin Syãdzãn an-Naisãbũrĩ, yang juga dikenal dengan Ibn Hasnawĩh. Seorang yang taat beribadah siang dan

malam. Meninggal tahun 350 H dalam usia 98 tahun. 47

44 Abu Bakr Dalfu bin Jahdar, pengikut mazhab Maliki yang mempelajari hadits dan fikih masing-

masing selama 20 tahun. Wafat 334 H. Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid

15, hal 367 45

46 Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 15, hal 420

47 Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 15, hal 519 Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabĩ, Siyaru A’lãmi an-Nubalã‘, jilid 15, hal 584

4. Abu Muhammad al-Marãghĩ Ja’far bin Muhammad bin Hãrits. Ulama ini sangat gemar mencari dan mempelajari hadits meskipun harus ditempuh dengan perjalan yang jauh, hal itu terlihat bahwa beliau masih tetap menulis hadits di ujung masa hidupnya. Beliau meninggal pada hari senin

26 Rajab tahun 356, dalam usia yang lebih dari 80 tahun. 48

5. Abu Sa’ĩd Ahmad bin Muhammad bin Ramĩh bin ’Ishmah an-Nakha’ĩ, wafat 357 H.

6. Abu Ishaq, Ibrahim bin Ahmad bin Muhammad bin Rajã‘ an-Naisabũrĩ al- Warrãq al-Abzãrĩ. Tokoh hadits yang tsiqah. Wafat dalam usia 97 pada 5

Rajab 364 H. 49

7. Abu al-Qãsim an-Nashrãbãdzĩ Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad bin Mahwiyah al-Khurãsanĩ. Ulama besar dalam ilmu hadits, tasawuf dan