BAB 5: DIALEKTIKA

BAB 5: DIALEKTIKA
Dalam logika klasik, dialektika berarti suatu metode diskusi tertentu dan satu cara tertentu
dalam berdebat yang di dalamnya ide-ide kontradiktif dan pandangan-pandangan yang
bertentangan dilontarkan. Masing-masing pandangan itu berupaya menunjukkan titik-titik
kelemahan dan kesalahan yang ada pada lawannya, berdasarkan pengetahuan-pengetahuan
dan proposisi-proposisi yang sudah diakui. Dengan demikian berkembanglah pertentangan
antara penafian dan penetapan di lapangan pembahasan dan perdebatan, sampai berhenti pada
kesimpulan yang di dalamnya salah satu pandangan yang bertentangan itu dipertahankan,
atau sampai munculnya cara-pandang baru yang merujukkan semua pandangan dari
pergulatan pemikiran antara hal-hal yang berlawanan tersebut, setelah menyingkirkan
pandangan
mereka
dan
menunjukan
kelemahan
masing-masingnya.
Tetapi, dalam dialektika modern, perdebatan bukan lagi suatu metode pembahasan dan carapandang tertentu untuk bertukar pendapat. Tetapi ia telah menjadi suatu metode untuk
menerangkan realitas dan hukum umum alam yang berlaku di pelbagai realitas dan macammacam eksistensi. Jadi, kontradiksi tidak hanya berada di antara pendapat-pendapat dan cara
pandang-cara pandang saja. Namun, ia ada di dalam jantung setiap realitas dan kebenaran.
Karena itu, tidak ada proposisi yang di dalam dirinya tidak terkandung kontradiksi dan
penafiannya

sendiri.
Orang pertama yang membangun suatu logika sempurna berdasarkan (ide dialektika) tersebut
adalah Hegel. Dalam logikanya, kontradiksi dialektik adalah titik sentral dan prinsip pokok
yang menjadi dasar suatu pemahaman baru tentang alam, dan yang melalui prinsip pokok ini
muncullah teori baru tentang alam yang sama sekali berbeda dengan teori klasik yang dianut
orang
sejak
ia
mampu
mengetahui
dan
berpikir.
Hegel bukan orang pertama yang merumuskan prinsip-prinsip dialektika. Prinsip-prinsip
tersebut berakar-dalam di dalam sejumlah ide yang sebentar-sebentar muncul di atas pentas
pikiran manusia. Hanya saja ia tidak terumuskan berdasarkan suatu logika sempurna yang
jelas dalam penjelasan dan pandangannya, dan yang desain-desain dan aturan-aturannya
pasti, kecuali di tangan Hegel yang telah mendirikan segenap filsafat idealismenya di atas
dasar dialektika tersebut. Kemudian Hegel menjadiannya sebagai penjelasan yang memadai
tentang masyarakat, sejarah, bangsa, dan segala aspek kehidupan. Setelah Hegel, Marx
menganut dialektika tersebut dan menempatkan filsafat materialismenya dalam bentuk

dialektika murni. Jadi, dialektika modern, menurut klaim-klaim kaum dialektikawan, adalah
hukum berpikir dan sekaligus realitas. Karena itu, dialektika modern adalah metode berpikir
dan prinsip yang menjadi dasar eksistensi dan perkembangan realitas. Berkata Lenin: “Kalau
ada kontradiksi-kontradiksi tertentu dalam ide-ide manusia, hal itu karena realitas yang
dicerminkan pikiran kita mengandung kontradiksi-kontradiksi. Jadi, pertentangan sesuatu
akan
menghasilkan
pertentangan
ide,
bukan
sebaliknya.”[137]
Berkata Marx: “Gerak pikiran tidak lain hanyalah cermin gerak realitas yang dipindahkan dan
[138]
ditransformasikan
di
dalam
benak
manusia.“
Logika Hegel beserta dialektika dan kontradiksi yang menjadi tumpuannya, dianggap sebagai
benar-benar bertentangan bagi logika klasik dan logika manusia umum. Hal ini karena logika

umum mempercayai adanya prinsip nonkontradiksi, dan menganggapnya sebagai prinsip
primer yang setiap pengetahuan harus berdasarkan padanya, dan sebagai prinsip niscaya yang
dipegang teguh segala sesuatu dalam alam eksistensi, dan yang tanpa prinsip niscaya itu
kebenaran tidak dapat dibuktikan. Logika Hegel sepenuhnya menolak perinsip
nonkontradiksi. Ia selanjutnya tidak puas dengan penekanan kemungkinan kontradiksi. la
bahkan menjadikan kontradiksi – sebagai ganti lawannya – sebagai prinsip primer setiap
pengetahuan yang benar tentang alam, dan sebagai hukum umum yang menerangkan seluruh

alam semesta melalui sekumpulan kontradiksi. Karena itu, setiap proposisi tentang alam
dianggap sebagai afirmasi; dan pada waktu yang sama ia membentuk penolakannya sendiri.
Afirmasi dan penolakan tersintesiskan dalam afirmasi baru. Jadi, metode kontradiktif
dialektika yang menguasai alam mengandung tiga tahapan: tesis, antitesis dan sintesis – yakni
afirmasi, penafian, dan penafian terhadap penafian. Menurut tuntutan-tuntutan metode
dialektika ini, setiap sesuatu bersatu dengan lawannya. Ia sekaligus dikukuhkan dan ditolak,
ada dan tidak ada. Logika Hegel mengklaim bahwa ia telah mengenyahkan – dengan
dialektika yang dinisbahkannya kepada eksistensi – hal-hal pokok logika klasik. Menurut
logika Hegel, hal-hal ini adalah sebagai berikut: Pertama, prinsip nonkontradiksi, yang
menyatakan bahwa sesuatu tidak mungkin disifati dengan suatu sifat tertentu dan sekaligus
disifati dengan lawan sifat tersebut. Kedua, prinsip identitas. Ini adalah prinsip yang
menyatakan bahwa setiap esensi (mahiyyah) adalah bagaimana ia itu secara niscaya, yakni

sesuatu tidak mungkin dilepaskan dari dirinya sendiri. Ketiga, prinsip diam dan beku dalam
alam. Prinsip ini menyatakan negativitas dan diamnya alam, dan menolak dinamisnya alam
materi.
Logika baru ini tidak memberikan tempat kepada prinsip pertama, karena segala sesuatu yang
berkenaan dengan realitas logika ini didasar- kan pada kontradiksi. Nah, kalau kontradiksi
sudah mendominasi sebagai hukum umum, maka adalah wajar untuk menggugurkan prinsip
lain logika klasik, yaitu prinsip nonkontradiksi. Segala sesuatu kehilangan identitasnya tepat
pada waktu dikukuhkan, karena ia berada dalam proses menjadi terus-menerus. Dan selama
kontradiksi adalah pondasi utama, tidaklah aneh jika kebenaran selalu berarti dua sesuatu
yang kontradiksi. Karena kontradiksi seperti ini, yang berada di jantung setiap realitas,
membangkitkan pertentangan terus-menerus dalam segala sesuatu, dan (karena) pertentangan
berarti gerak dan progresi, maka alam selalu dalam keadaan aktif dan berkembang, dan selalu
dalam keadaan bergerak maju dan menjadi. Inilah pukulan yang diklaim logika dialektika
untuk diarahkan kepada logika manusia umum dan ide umum tentang alam yang menjadi
tumpuan
metafisika
selama
beribu-ribu
tahun.
Metode baru untuk memahami eksistensi dapat dirangkum dalam asumsi tentang proposisi

primer yang dipandangnya sebagai dasar. Lantas dasar itu berubah menjadi lawannya
dikarenakan pertentangan di antara hal-hal kontradiktif dari kandungan internal. Setelah itu,
dua hal yang berkontradiksi itu tersintesiskan dalam suatu kesatuan. Kesatuan ini lalu
menjadi dasar dan titik-tolak baru. Demikianlah, tiga-progresi itu berulang-ulang terus tanpa
berhenti dan tanpa batas. Ia bergerak bersama eksistensi dan merentang sejauh rentangan
fenomena
dan
peristiwa-peristiwa
eksistensi.
Hegel memulai dengan kategori-kategori dan ide-ide umum, kemudian menerapkan
dialektika terhadapnya, dan menyimpulkannya dengan metode dialektik yang didasarkan
pada kontradiksi yang tecermin pada tesis, antitesis dan sintesis. Tiga-serangkainya yang
terkenal dan pertama dalam wilayah ini dimulai dari yang paling sederhana dan paling primer
dari ide-ide itu: ide tentang eksistensi. Jadi, eksistensi itu ada. Ini merupakan afirmasi atau
tesis. Hanya saja ia bukan sesuatu, karena ia dapat merupakan segala sesuatu. Lingkaran, segi
empat, putih, hitam, tetumbuhan dan baru itu ada. Jadi, eksistensi bukan sesuatu yang pasti.
Ia pada gilirannya adalah tidak maujud. Inilah antitesis yang dihasilkan oleh tesis tersebut.
Demikianlah terjadinya kontradiksi dalam ide tentang eksistensi. Kontradiksi itu terlarutkan
dalam sintesis eksistensi dan non-eksistensi yang menghasilkan maujud yang tidak
sepenuhnya maujud, yakni menjadi dan bergerak. Demikianlah kesimpulan yang dapat ditarik

adalah
bahwa
eksistensi
real
itu
menjadi.
Itulah contoh yang kami kemukakan untuk menjelaskan bagaimana bapak dialektika modern
bergerak dalam menyirnpulkan ide-ide umum, dari yang lebih umum ke yang lebih khusus,
dan dari yang lebih kosong dan lemah ke yang lebih berisi dan lebih dekat kepada realitas
eksternal. Bagi Hegel, dialektika seperti ini dalam menggali ide-ide tersebut hanyalah cermin

dialektika segala sesuatu yang aktual itu sendiri. Kalau suatu ide menimbulkan ide yang
menentangnya, hal itu karena realitas yang di- garnbarkan ide pertama tersebut menuntut
realitas
yang
menentangnya.
Pandangan sekilas saja terhadap tesis, antitesis dan sintesis dalam isu eksistensi, yang
merupakan tiga serangkainya Hegel yang terkenal, menunjukkan dengan jelas bahwa Hegel
tidak memahami prinsip non- kontradiksi dengan baik ketika ia mengabaikannya dan lantas
menggantinya dengan prinsip kontradiksi. Saya sendiri tidak tahu bagaimana Hegel dapat

menjelaskan kontradiksi, atau penafian dan penetapan yang bersatu pada ide eksistensi.
Sebenarnya tanpa diragukan lagi, ide tentang eksistensi adalah ide umum. Itulah sebabnya ia
dapat merupakan segala sesuatu – ia dapat berupa tetumbuhan atau benda anorganik, benda
putih atau hitam, lingkaran atau segi empat. Tetapi apakah ini berarti bahwa segala sesuatu
yang berlawanan itu bersatu dalan ide tentang eksistensi tersebut, sehingga menjadi tempat
pertemuan bagi hal-hal yang kontradiktif dan berlawanan? Tentu saja tidak. Bersatunya halhal yang berlawanan dalam satu subjek adalah satu hal, dan kemungkinan berlakunya satu ide
pada hal-hal ini adalah sesuatu yang lain. Jadi, eksistensi adalah ide yang tak mengandung
sesuatu pun yang hitam atau putih, seperti tetumbuhan atau benda anorganik. Ia dapat
berwujud ini atau itu bukan ia adalah ini dan dalam waku yang sama adalah itu juga. [139]
Mari kita tinggalkan kategori-kategori Hegel, untuk mengkaji dialektika Marxisme dalam
hal-hal pokoknya yang konstruksinya dibuat oleh Hegel sendiri. Hal-hal pokok itu ada empat:
gerak
perkembangan, kontradiksi-kontradiksi
perkembangan, lompatan-lompatan
perkembangan, dan penegasan adanya hubungan umum.

Gerak Perkembangan
Stalin menyatakan: “Dialektika, berbeda dengan metafisika, tidak menganggap alam sebagai
keadaan diam, beku, dan stabil. Tetapi ia menganggapnya sebagai keadaan yang senantiasa
bergerak, berubah, berkembang, dan dalam pembaruan terus-menerus. Di dalam alam selalu

ada sesuatu yang melahirkan dan berkembang, dan sesuatu yang rusak dan hancur. Karena
itu, kita ingin (menegakkan) metode dialektika, sehingga orang takkan puas dengan melihat
peristiwa-peristiwa dari perspektif hubungan satu peristiwa dengan lainnya dan dari
perspektif beradaptasinya yang satu terhadap lainnya, tetapi juga dari perspektif gerak,
perubahan, perkembangan, kemunculan dan kelenyapan peristiwa-peristiwa itu.” [140]
Berkata pula Engels: “Sebaiknya kita tidak melihat alam sebagai seolah-olah tersusun dari
hal-hal yang lengkap. Tetapi seyogianya kita melihatnya sebagai seolah-olah tersusun dalam
otak kita. Pasase ini (sampai ke komposisi mental) menunjukkan perubahan yang tak
terputus-putus dari menjadi dan melenyap, di mana akhirnya cahaya pertumbuhan bersinar,
meskipun terdapat hal-hal yang tampak maujud bersamaan dan lenyap kembali secara
[141]
temporer.”
Jadi, segala sesuatu tunduk kepada hukum perkembangan dan menjadi. Berkembang atau
menjadi itu tidak ada yang membatasinya. Sebab, gerak adalah preokupasi (pendudukan) tak
terbatas segenap eksistensi. Kaum dialektikawan mengklaim bahwa mereka sajalah yang
menganggap alam dalam keadaan gerak dan berubah terus-menerus. Mereka mencela logika
metafisis, atau metode tradisional dalam berpikir karena prosedurnya untuk mempelajari dan
memahami segala sesuatu, karena logika atau metode ini menganggap alam dalam keadaan
sepenuhnya diam dan beku. Karena itu, ia tidak merefleksikan realitas alam yang bergerak
dan progresif. Jadi, menurut mereka, perbedaan antara logika dialektika – yang menganggap

alam senantiasa dalam gerak dan progresi – dan logika formal seperti perbedaan antara dua
orang yamg sama-sama ingin menjelajahi struktur terdalam makhluk hidup dalam berbagai
perannya. Masing-masing melakukan eksperimen-eksperimennya terhadap makhluk hidup

itu. Kemudian salah seorang di antara keduanya itu mengamati perkembangan dan geraknya
yang terus-menerus dan menelaahnya berdasarkan seluruh perkembangannya. Sementara
yang lain hanya mencukupkan diri pada eksperimen pertama seraya yakin bahwa makhluk
hidup tersebut beku dalam strukturnya dan konstan dalam identitas dan realitasnya. Jadi, alam
sebagai suatu keseluruhan adalah sama dengan makhluk hidup, seperti tetumbuhan ataupun
hewan, dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Dengan demikian, pikiran tidak
menyertai alam kecuali jika ia menyerupai alam dalam gerak dan perkembangannya.
Faktanya, hukum perkembangan dialektika, yang oleh dialektika modern dianggap sebagai
salah satu ciri mendasarnya sendiri, sama sekali bukan hal baru dalam pemikiran manusia.
Yang baru adalah watak dialektiknya, yang dari watak dialektiknya ini ia harus dilepaskan,
seperti akan kita ketahui kelak. Hukum ini, dalam batas-batasnya yang benar, sesuai dengan
logika umum, dan tidak ada hubungannya dengan dialektika, juga tidak ditemukan oleh
dialektika. Untuk menerima hukum itu dan mengetahui bahwa metafisika menyadarinya
sebelum (dialektika), kita hanya perlu melepaskan hukum ini dari bentuk kontradiksi dan
dasar
perdebatan

yang
menjadi
dasar
dialektika.
Seorang metafisis, dalam pandangan seorang dialektikawan, yakin bahwa alam itu beku,
diam, tetap tak berubah dalam segenap aspeknya. Seolah-olah seorang metafisis tidak
memiliki lagi pengetahuan apa pun serta kesadaran dan sensasi. Ia lantas menjadi tidak
perseptif dan tak tahu akan berbagai perubahan dan transformasi dalam dunia alam yang
disadari oleh semua orang bahkan anak-anak sekalipun. Adalah jelas bagi setiap orang bahwa
mempercayai adanya perubahan dalam dunia alam adalah permasalahan yang tidak butuh
studi-studi ilmiah terdahulu, dan juga bukan ajang perselisihan. Tetapi, yang pantas dikaji
adalah watak perubahan tersebut dan sejauh mana kedalaman dan generalitasnya. Sebab, ada
dua perubahan. Pertama, semata-mata suksesi, dan kedua, gerak. Sejarah filsafat
meriwayatkan pergulatan yang tajam, bukan dalam masalah perubahan secara umum, akan
tetapi dalam esensinya dan penjelasan filosofisnya yang akurat. Pergulatan itu berpusat pada
jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan berikut: Apakah perubahan yang terjadi pada suatu
benda – ketika benda itu mengarungi suatu jarak tertentu – hanyalah banyak pose yang segera
mengikuti satu sama lain dalam banyak tempat, dan dengan begitu terciptalah dalam benak
ide tentang gerak? Atau dapatkah perubahan tersebut dinisbahkan kepada satu perjalanan
yang berangsur-angsur, yang di dalamnya tidak ada pose maupun diam? Apakah perubahan

yang terjadi pada air, ketika temperature air bertambah, berarti satu himpunan temperature
yang suksesif yang mengiringi satu sama lain? Atau ia satu temperatur yang menjadi lebih
sempurna, dan yang berganti dan menjadi semakin tinggi derajatnya?
Demikianlah, kita menghadapi pertanyaan-pertanyaan tersebut berkenaan dengan setiap
macam perubahan yang membutuhkan penjelasan filosofis dengan salah satu dari dua cara
yang diajukan oleh pertanyaan-pertanyaan tadi. Sejarah Yunani menceritakan bahwa sebagian
aliran filsafat mengingkari gerak dan mengambil penjelasan lain tentang perubahan, yang
menisbahkan perubahan kepada suksesi hal-hal yang diam. Salah satu tokoh aliran itu adalah
Zeno[142] yang menyatakan bahwa gerak seorang musafir dari satu ujung bumi ke ujung bumi
lainnya hanyalah deretan suksesi hal-hal yang diam. Zeno tidak melihat (gerak) berangsurangsur dan proses menyempurna eksistensi. Tetapi ia percaya bahwa setiap fenomena itu
statis dan bahwa perubahan terjadi melalui suksesinya hal-hal yang statis, bukan melalui
perkembangan dan (gerak) berangsur-angsurnya satu benda. Berdasarkan itu, gerak manusia
menempuh jarak tertentu menjadi ungkapan berhentinya pada titik mula jarak tersebut,
kemudian pada titik kedua lantas pada titik ketiga, dan seterusnya. Kalau kita melihat dua
orang, yang satu berhenti pada titik tertentu, dan yang lain berjalan menuju arah tertentu,
maka keduanya, menurut pendapat Zeno, adalah berdiri dalam diam. Hanya saja yang
pertama tetap diam pada titik tertentu, sedangkan yang lain memiliki diam sebanyak titik
yang dilewatinya. Ia dalam setiap saat berada dalam ruang tertentu, dan sekaligus tidak

berbeda sama sekali dengan orang pertama yang berhenti pada titik tertentu. Jadi keduaduanya diam, meskipun diamnya yang pertama terjadi terus-menerus, dan diamnya yang lain
segera berganti ke diam yang lain pada titik lain dari jarak itu. Karenanya perbedaan antara
kedua diam itu adalah perbedaan antara diam yang sebentar dan diam yang lama.
Inilah yang diupayakan untuk dijelaskan oleh Zeno dan sebagian filosof Yunani lainnya. Ia
membuktikan cara-pandangnya dengan empat dalil terkenalnya yang tidak mendapatkan
kemajuan dan keberhasilan dalam lapangan filsafat. Karena, aliran Aristoteles – aliran filsafat
terbesar di zaman Yunani – mempercayai gerak, menolak dalil-dalil tersebut, dan
membuktikan adanya gerak dan perkembangan dalam fenomena-fenomena dan atribut-atribut
alam. Hal ini berarti bahwa fenomena alami kiranya tidak sepenuhnya ada pada satu saat.
Tetapi, ia ada secara berangsur-angsur dan terus memperoleh kemungkinan adanya sedikit
demi sedikit. Dengan demikian, terjadilah perkembangan dan penyempurnaan eksistensi.
Ketika temperatur air berlipat ganda, ini tidak berarti bahwa ia setiap saat menerima derajat
tertentu temperatur yang sepenuhnya maujud, kemudian lanyap dan kemudian tercipta lagi
derajat lain temperatur. Tetapi esensi kegandaan yang ada pada satu temperatur itu sudah ada
dalam air tersebut tapi belum sepenuhnya, dalam arti ia tidak memperoleh dalam saat pertama
segenap daya dan kemungkinannya. Karena itu, ia mulai memperoleh segenap
kemungkinannya dengan berangsur-angsur, dan sesudah itu bergerak maju dan berkembang.
Dengan bahasa filsafat, ia adalah gerak progresif terus-menerus. Adalah jelas bahwa proses
penyempurnaan atau gerak berkembang tidak mungkin dipahami selain dengan arti itu.
Adapun suksesi fenomena-fenomena – yang masing-masingnya memaujud setelah yang lain
dan, melalui pelenyapannya sendiri, membuka jalan bagi fenomena baru – itu bukanlah
pertumbuhan dan penyempurnaan. Pada gilirannya, ia bukan gerak, tetapi ia adalah semacam
perubahan
umum.
Jadi, gerak adalah gerak maju eksistensi sedikit demi sedikit dan perkembangan sesuatu ke
tingkat yang diizinkan oleh kemungkinan- kemungkinannya. Karena itu, ide filosofis gerak
terdefinisikan sebagai aktualisasi bertahap potensialitas sesuatu.[143] Definisi ini berdasarkan
ide tentang gerak yang telah. kami kemukakan di atas. Gerak, seperti telah kita ketahui,
bukan pelenyapan mutlak sesuatu dan adanya sesuatu lain yang baru. Ia adalah progresi
sesuatu dalam tatanan eksistensi. Jadi, setiap gerak harus mengandung satu eksistensi terusmenerus, sejak memulai hingga berhenti. Eksistensi inilah yang bergerak, dalam arti bahwa
(ia bergerak maju) berangsur-angsur dan terus semakin “kaya”. Setiap tahap adalah tahapan
dari tahapan-tahapan satu eksistensi tersebut. Dan tahapan-tahapan ini hanya ada karena
gerak. Jadi, sesuatu yang bergerak atau suatu eksistensi yang berkembang tidak memiliki
tahapan-tahapan ini sebelum ia bergerak. Kalau tidak demikian, tentu tidak ada gerak. [144]
Tetapi, pada titik mula, hal itu atau eksistensi itu terepresentasikan kepada kita sebagai
potensialitas dan kemungkinan-kemungkinan. Dengan geraklah, akan terpenuhi
kemungkinan-kemungkinan tersebut. Dalam setiap tahap gerak itu, kemungkinan diganti
realitas dan potensialitas diganti aktualitas. Maka, air, sebelum ditaruh di atas api, tidak
memiliki temperatur terinderai itu selain kemungkinannya. Kemungkinan yang dimilikinya
ini bukanlah kemungkinan derajat tertentu temperatur, tetapi mencakup seluruh derajat
temperatur yang pada akhirnya menyebabkan keadaan uapnya. Ketika air mulai menerima
pengaruh panas api, mulailah temperaturnya berubah dan berkembang. Artinya bahwa
potensialitas-potensialitas dan kemungkinan yang dimiliki air berganti menjadi realitas. Air,
dalam setiap tahapan geraknya, keluar dari kemungkinan ke aktualitas. Karena itu,
potensialitas dan aktualitas bergandengan dalam seluruh tahap geraknya. Dan pada saat
segala kemungkinan habis, berhentilah gerak. Jadi, dalam setiap tahapan gerak itu ada dua:
dari satu sisi, gerak adalah aktual dan real, karena langkah yang dicatat oleh suatu tahapan
ada secara real dan aktual; dari sisi lain, ia adalah kemungkinan dan potensialitas langkahlangkah progresif lain yang diharapkan direkam oleh gerak pada tahapan-tahapan barunya.

Jadi, kalau kita perhatikan air dalam contoh di atas pada titik tertentu gerak, kita
mendapatkan bahwa air itu benar-benar panas pada temperatur 80°C, misalnya. Tetapi, pada
waktu yang sama, ia mengandung kemungkinan melampaui derajat tersebut dan potensi maju
ke derajat yang lebih tinggi. Aktualitas setiap langkah pada tahap tertentunya berkaitan
dengan potensinya untuk melenyap. Mari kita ambil lagi contoh gerak yang lebih dalam. Ia
(pada mulanya) ovum, kemudian zygote (bakal janin), janin, kemudian bayi, lantas remaja,
lalu dewasa. Makhluk hidup ini, pada tahapan tertentu geraknya, adalah sperma aktual. Tetapi
pada waktu yang sama, ia adalah sesuatu lain yang tidak seperti sperma dan lebih tinggi,
yaitu secara potensial adalah bayi. Ini berarti bahwa gerak pada makhluk hidup itu
sedemikian, sehingga bercampur di dalamnya aktualitas dan potensialitas. Kalau saja dalam
makhluk hidup itu tidak ada potensialitas dan kemungkinan untuk suatu tahap baru, tentu tak
akan ada gerak. Dan kalau saja tidak ada sesuatu pun yang aktual, tentu itu adalah ketiadaan
murni. Tidak ada gerak juga. Jadi, perkembangan selamanya terdiri atas sesuatu yang aktual
dan sesuatu yang potensial. Demikianlah, gerak terus-menerus, selama sesuatu mengandung
aktualitas dan sekaligus potensialitas, mengandung juga eksistensi dan sekaligus
kemungkinan. Kalau kemungkinan tak ada, dan tidak ada lagi kapasitas untuk ke tahap baru,
berakhirlah
usia
gerak.
Inilah pengertian aktualisasi berangsur dari potensialitas sesuatu, atau bersatunya
potensialitas dan aktualitas dalam gerak. Inilah arti filsafat yang tepat tentang gerak yang
diberikan metafisika. Materialisme dialektik telah mengambil arti ini, tetapi ia tidak
memahaminya dan tidak mengetahuinya secara benar. Ia lantas mengklaim bahwa gerak tidak
terjadi kecuali melalui kontradiksi yang terus-menerus dalam jantung sesuatu, seperti akan
kita
ketahui
sebentar
lagi.
Setelah itu, tibalah giliran peranan filsafat Islam di tangan filosof Muslim besar, Sadruddin
Asy-Syirazi [145]. Ia membuat teori gerak umum. Ia membuktikan secara filosofis bahwa
gerak, dalam artinya yang akurat yang telah kami kemukakan, tidak hanya mengenai
fenomena alam dan permukaan aksidentalnya saja. Tetapi gerak fenomena seperti itu tidak
lain hanyalah satu aspek dari perkembangan yang mengungkapkan aspek yang lebih dalam.
Yaitu, perkembangan pada jantung alam dan gerak substansial alam. Hal ini demikian, sebab
gerak terluar fenomena berarti kebaruan dan kerusak-hancuran, maka sebab langsungnya
haruslah sesuatu yang terbarui juga yang esensinya juga tak tetap karenan penyebab apa yang
tetap itu tetap, dan penyebab apa yang dapat diubah dan diperbarui adalah dapat diubah dan
diperbarui. Maka penyebab langsung gerak tak mungkin sesuatu yang tak bergerak. Kalau
tidak demikian, bagian-bagian gerak tak akan sirna tetapi akan menjadi diam. [146]
Filosof Syirazi tidak hanya membuktikan gerak substansial saja. Ia bahkan menjelaskan
bahwa prinsip gerak pada alam adalah salah satu prinsip filosofis niscaya metafisika, dan
menerangkan, berdasarkan prinsip ini, hubungan yang baru dengan yang lama, [147] dan
sejumlah problem filsafat yang lain, seperti persoalan waktu, [148] persoalan dapat dipisah[149]
pisahkannya
materi,
dan
hubungan
jiwa
dengan
badan.
Nah, kalau sudah demikian, dapatkah orang menuduh bahwa teologi dan metafisika
menyatakan bahwa alam beku dan diam? pada hakikatnya, tuduhan itu tak punya alasan apa
pun kecuali karena materialisme dialektik tidak memahami gerak dalam arti filsafatnya yang
benar. Lantas apakah yang membedakan antara gerak dan hukum umumnya dalam filsafat
kita, dan teori gerak dialektik dalam materialisme dialektik? Sebenarnya, perbedaan antara
dua gerak tersebut terangkum dalam dua hal dasariah berikut: Hal pertama adalah bahwa
gerak, dalam arti dialektiknya, berdasarkan kontradiksi dan pergulatan di antara hal-hal
kontradiktif. Kontradiksi dan pergulatan seperti ini adalah daya internal yang menyebabkan
gerak dan menciptakan perkembangan. Hal ini berbeda sama sekali dengan konsep filsafat
kita tentang gerak. Konsep kita menganggap gerak sebagai perjalanan dari satu tahap ke

tahap yang berlawanan tanpa bersatunya tahap-tahap yang berlawanan tersebut dalam satu
dari tahapan-tahapan gerak. Agar hal ini menjadi jelas, kita harus membedakan antara
potensialitas dan aktualitas dan menganalisis kesalahan Marxis yang bertumpu pada
anggapan bahwa potensialitas dan aktualitas adalah unit-unit yang kontradiktif. Gerak
tersusun dari potensialitas dan aktualitas. Potensialitas dan aktualitas bergandengan dalam
berbagai tahap gerak. Tidak mungkin bagi alam gerak untuk memaujud tanpa salah satu dari
dua elemen itu. Jadi, eksistensi dalam setiap tahap progresinya ke kesempurnaan
mengandung derajat aktual tertentu dan derajat yang lebih tinggi daripada yang berada dalam
potensialitas. Pada saat ia beradaptasi dengan derajat (aktual tertentu) tersebut, ia berjalan
menaik
dan
melangkahi
derajat
kininya.
Marxisme membayangkan bahwa ini adalah semacam kontradiksi, bahwa eksistensi progresif
mengandung sesuatu dan hal yang berlawanan, dan bahwa kontradiksi antara dua lawan itu
adalah yang melahirkan gerak. Berkata Engels: “Situasinya akan berbeda sama sekali jika
kita melihat segala yang ada ini dalam keadaan bergerak, berubah, dan saling mempengaruhi
satu terhadap lainnya; karena kita mendapatkan diri kita, pada awal posisi seperti itu,
tenggelam dalam kontradiksi-kontradiksi. Gerak berkontradiksi dengan fakta bahwa
perubahan mekanik paling sederhana pada tempat tidak mungkin terjadi kecuali dengan
perantaraan eksistensi benda tertentu di tempat tertentu di saat tertentu, dan di tempat lain
pada saat yang sama. Dengan kata lain, maujud dan tak maujudnya ada sekaligus pada satu
tempat. Maka, suksesi bersinambung dari kontradiksi ini dan rekonsiliasi temporer
kontradiksi ini dengan suksesi ini adalah apa yang disebut gerak.” [150]
Lihatlah, betapa tidak masuk akalnya ide gerak dalam materialisme dialektik, yang diuraikan
Engels berdasarkan kontradiksi, tanpa tahu bahwa jika dua derajat dari gerak itu benar-benar
ada pada tahap tertentu gerak, tentu tidak mungkin ada perkembangan; dan pada gilirannya,
bekulah gerak itu. Karena, gerak adalah suatu perpindahan maujud dari satu derajat ke derajat
lainnya, dari satu batas ke batas lain. Nah, kalau semua batas dan titik itu benar-benar
tersatukan, tentu saja tidak akan ada gerak. Maka, adalah perlu untuk tidak menafsirkan gerak
kecuali dengan prinsip nonkontradiksi. Kalau tidak, kalau kontradiksi itu boleh, maka adalah
hak kita untuk mempertanyakan: apakah gerak itu mengandung perubahan dalam derajatderajat sesuatu yang progresif, dan pergantian batas-batas dan kualitas sesuatu itu atau tidak?
Kalau gerak tidak mengandung perubahan atau kebaruan apa pun, maka ia bukan gerak,
tetapi ia adalah kebekuan dan kediaman. Dan apabila Marxisme mengakui kebaruan dan
perubahan gerak, untuk apa kebaruan ini, jika semua kontradiksi itu benar-benar ada dan tak
ada pertentangan di antara mereka? Analisis tersederhana terhadap gerak menunjukkan
kepada kita bahwa gerak adalah salah satu fenomena yang mencegah dan membuat mustahil
bersatunya hal-hal yang kontradiktif dan yang berlawanan, sesuatu yang menyebabkan
maujud progresif berubah terus- menerus dalam derajat dan batasnya. Kontradiksi atau
dialektika yang diduga dalam gerak hanyalah disebabkan oleh kekacauan antara potensialitas
dan
aktualitas.
Jadi, gerak, dalam setiap tahapan, tidak mengandung dua derajat atau dua kontradiksi aktual.
Tetapi ia mengandung derajat tertentu dalam aktualitas dan derajat lain dalam potensialitas.
Karena itu, gerak adalah aktualisasi berangsur-angsur potensialitas. Tetapi pengetahuan
filosofis yang tidak memadai itulah yang menjadi sebab pemutarbalikan ide tentang gerak.
Demikianlah menjadi jelas bahwa hukum nonkontradiksi yang berkontradiksi dan penafsiran
gerak dengan hukum itu, dan segala kekacauan di sekitar hukum itu, dan ketaksenangan serta
penghinaan kepada pemikiran metafisis yang percaya kepada prinsip nonkontradiksi, semua
ini dinisbahkan kepada ide filosofis tentang gerak yang telah kami kemukakan di atas dan
yang disalahpahamkan Marxisme. Karena itu, Marxisme menganggap bergandengnya
potensialitas dengan aktualitas atau bersatunya keduanya pada semua tahapan gerak sebagai
bersatunya hal-hal yang berlawanan secara aktual, kontradiksi terus menerus dan pergulatan

di antara hal-hal yang kontradiksi. Karena itu, Marxisme lantas menolak prinsip
nonkontradiksi dan menyingkirkan segenap logika umumnya. Sebagian metafisikawan telah
mengupayakan sesuatu yang sama dalam sejarah filsafat kuno, tetapi dengan satu perbedaan
antara keduanya: Marxisme hendak membenarkan kontradiksi dengan upaya tersebut.
Adapun mereka (kaum metafisikawan kuno itu) berusaha membuktikan penafian
kemungkinan gerak, sebab gerak mengandung kontradiksi. Dalam hal ini, Fakhruddin ArRazi [151] juga berusaha, yaitu menjelaskan bahwa gerak adalah progresi berangsur, yakni
adanya sesuatu secara berangsur-angsur. Ia mengklaim bahwa progresi berangsur eksistensi
adalah tak mungkin, karena itu mendatangkan suatu kontradiksi. Dan para filosof telah
menjelaskan bahwa (ide gerak ini) muncul karena salah memahami makna progresi berangsur
dan
eksistensi
berangsur.
Karena kita sekarang telah mengetahui dengan jelas bahwa gerak bukanlah konflik di antara
hal-hal yang aktual yang kontradiksi selama- nya, tetapi ia adalah terjeratnya potensialitas
dengan aktualitas, dan keberangkatan sesuatu secara sedikit demi sedikit dari satu keadaan ke
keadaan lainnya, maka dapatlah kita mengetahui bahwa gerak tidak mungkin mandiri (tidak
membutuhkan) sebab eksternal; dan bahwa eksistensi progresif tidak berangkat dari aktualitas
kecuali karena sebab luar, dan konflik di antara hal-hal yang berkontradiksi bukanlah sebab
internal keberangkatan tersebut. Karena, dalam gerak tak ada kesatuan hal-hal yang
berkontradiksi dan hal-hal yang berlawanan yang dari sini muncul gerak. Jadi, selama pada
permulaan gerak, eksistensi progresif tidak memiliki derajat-derajat atau jenis-jenis yang
akan dicapainya melalui tahapan-tahapan gerak, dan selama ia secara internal tidak
melibatkan sesuatu kecuali kemungkinan derajat-derajat itu dan kesiapan untuk derajatderajat ini, maka harus ada sebab untuk mengeluarkan eksistensi itu dari potensialitas ke
aktualitas, supaya kemungkinannya yang ada di dalam maujud terdalamnya berubah menjadi
realitas.
Dengan demikian, kita tahu bahwa hukum umum gerak pada alam membuktikan dengan
dirinya sendiri keniscayaan adanya prinsip di luar batas batas material alam. Hal ini karena,
gerak, menurut hukum itu, adalah cara (proses) adanya alam. Jadi, adanya alam adalah
bentuk lain gerak dan progresi berangsur alam, dan juga keberangkatan terus-menerusnya
dari potensial ke aktualitas. Teori mandirinya gerak dikarenakan kontradiksi-kontradiksi
internalnya yang konfliknya di antara satu sama lain menghasilkan gerak, dalam pandangan
Marxis, sudah rubuh, karena memang tidak ada konflik dan kontradiksi. Karena itu, harus ada
kausasi, dan kausasi itu harus dengan sesuatu di luar batas-batas alam. Karena, apa pun yang
ada dalam alam adalah sedemikian sehingga eksistensinya adalah gerak dan progresi
berangsur, karena, menurut hukum umum gerak, tidak ada ketetapan di dalam alam ini. Jadi,
dalam mencari sebab (primer) tidak mungkin kita berhenti pada sesuatu yang alami.
Hal kedua, gerak, menurut pandangan Marxis, tidak berhenti pada batas-batas realitas
objektif alam. Tetapi, ia mencakup realitas-realitas dan pikiran-pikiran manusia. Jadi,
sebagaimana realitas luar materi berkembang dan tumbuh, demikian pula kebenarankebenaran dan persepsi mental tunduk kepada hukum perkembangan dan pertumbuhan yang
berlaku pada dunia alam. Berdasarkan hal ini, dalam pandangan Marxisme tentang ide tidak
ada kebenaran mutlak. Berkata Lenin: “Jadi, dialektika, dalam pandangan Marx, adalah ilmu
hukum-hukum umum gerak, baik di dunia luar maupun dalam pikiran manusia.” [152]
Dalam pandangan kita, hukum gerak umum adalah kebalikannya. Ia adalah hukum alami
yang menguasai alam materi dan tidak mencakup dunia pikiran dan pengetahuan. Tidak
mungkin terdapat perkembangan, dalam arti filosofisnya yang akurat, dalam kebenaran atau
pengetahuan, seperti telah kami terangkan dengan jelas dalam pembahasan pertama (“Teori
Pengetahuan”).
Maksud kita sekarang mengkaji gerak dialektik yang diduga ada dalam pengetahuan dan
kebenaran adalah mengemukakan usaha-usaha pokok yang diambil Marxisme untuk

membuktikan dialektika pikiran dan geraknya. Dalam hal ini ada tiga upaya. Upaya pertama
adalah bahwa pikiran dan pengetahuan adalah refleksi-refleksi realitas objektif. Agar pikiran
dan pengetahuan itu sesuai dengan realitas objektif, keduanya harus mencerminkan hukumhukum, perkembangan dan geraknya. Alam berkembang dan berubah terus-menerus sesuai
hukum gerak. Tidak mungkin kebenaran menggambarkan alam dalam akal manusia kalau ia
adalah beku dan diam. Tetapi kebenaran itu ada di dalam pikiran kita jika pikiran itu
sedemikian sehingga tumbuh dan berkembang secara dialektik, yang pada gilirannya
menyebabkan pikiran kita tentang sesuatu sesuai dengan sesuatu itu sendiri. Ada baiknya di
sini
kita
perhatikan
teks-teks
berikut:
“Realitas tumbuh, dan pengetahuan yang timbul dari realitas itu mencerminkannya, tumbuh
sebagaimana ia tumbuh, dan menjadi elemen efektif pertumbuhannya. Pikiran tidak
menghasilkan subjeknya. Tetapi ia hanyalah mencerminkan dan menggambarkan realitas
objektif dengan menyingkapkan hukum-hukum pertumbuhan realitas ini.”[153]
“Perbedaan antara logika formal dan logika dialektik terbatas pada fakta bahwa keduanya
menghadapi secara berbeda-beda isu pokok logika, yaitu masalah kebenaran. Dari pandangan
logika dialektik, kebenaran bukanlah sesuatu yang diberikan untuk sekali ini saja. Ia bukanlah
sesuatu yang sempurna, terdeterminasi, beku dan diam. Tetapi itu berbeda dengan hal ini.
Kebenaran adalah proses pertumbuhan pengetahuan manusia tentang alam objektif.” [154]
“Logika dialektik Marxis membahas sesuatu yang dipelajarinya dari segi sejarah karena ia
adalah proses pertumbuhan dan perkembangan. Ia sesuai dengan sejarah umum pengetahuan
[155]
dan
sejarah
ilmu.”
Tidak diragukan lagi bahwa pikiran dan pengetahuan menggambarkan realitas objektif dalam
bentuk tertentu. Tetapi, ini tidak berarti bahwa di dalam keduanya tecermin gerak realitas
objektif dan, maka, bahwa tumbuh dan bergerak keduanya mengikuti pertumbuhan dan
geraknya.
Hal
ini
karena:
Pertama, dunia alam – alam perubahan, kebaruan dan gerak – niscaya mengandung hukumhukum umum tetap. Inilah yang tidak mungkin diingkari oleh logika apa pun, kecuali jika ia
mengingkari dirinya sendiri. Suatu logika bukanlah logika, kecuali kalau ia mendasarkan
metode berpikirnya dan pemahamannya terhadap alam pada hukum- hukum tertentu yang
tetap. Bahkan dialektika sendiri menganggap bahwa sejumlah hukum menguasai alam dan
selalu mengaturnya. Di antaranya adalah hukum gerak. Jadi, di dalam dunia alam, baik
tunduk kepada hukum manusiawi umum atau kepada hukum dialektika, terdapat hukumhukum yang tetap yang mencerminkan kebenaran-kebenaran yang tetap di dunia pikiran dan
lapangan
pengetahuan
manusia.
Kaum dialektikawan, berkenaan dengan keberatan ini, harus: (1) menganggap hukum gerak
itu konstan dan permanen, jadi kebenaran langgeng itu ada; (2) hukum yang sama ini
terevaluasi kembali. Hal ini berarti bahwa gerak itu tidak konstan, bahwa ia dapat berganti
menjadi diam, dan bahwa kebenaran, setelah bergerak, kembali diam. Pada salah satu kasus,
dialektika
terpaksa
harus
mengakui
adanya
suatu
kebenaran
ketiga.
Kedua, pengetahuan dan kebenaran tidak mencerminkan karakteristik-karakteristik aktual
alam. Dalam “Teori Pengetahuan”, kami telah menjelaskan bahwa akal manusia mempersepsi
ide-ide dan watak-watak hal-hal objektif. Ide-ide tentang hal-hal yang tecermin di dalam
benak berbeda dengan realitas luar dalam eksistensi dan karakteristiknya. Karena itu,
ilmuwan dapat membentuk ide ilmiah yang akurat tentang mikroba, susunannya, aktivitas
tertentunya, dan interaksinya dengan badan manusia. Tetapi bagaimanapun akurat dan
rincinya ide tersebut, di dalamnya tidak terdapat sifat-sifat mikroba eksternal, dan tidak dapat
memainkan peranan yang dimainkan oleh realitas objektifnya sendiri. Seorang fisikawan
dapat mendapatkan ide ilmiah yang akurat tentang atom radium dan menentukan bobot
atomiknya, jumlah kandungan elektronnya, muatan negatif dan positifnya, kuantitas radiasi
yang dipancarkannya, dan proporsi ilmiah akurat radiasi ini terhadap radiasi yang

dipancarkan oleh atom-atom uranium, dan juga rincian-rincian dan informasi lainnya. Tetapi,
ide ini, tak soal dengan kedalamannya atau pengungkapan mendalamnya tentang rahasiarahasia elemen radium, tidak akan mendapatkan sifat-sifat realitas objektif, yakni sifat-sifat
radium, juga tidak akan memancarkan radiasi yang dipancarkan atom-atom dan elemen ini.
Akibatnya, ide kita tentang atom takkan berkembang menjadi radiasi, sebagaimana dilakukan
beberapa
atom
dalam
alam
eksternal.
Demikianlah, menjadi jelas bahwa hukum-hukum dan sifat-sifat realitas objektif tidak
terdapat pada ide itu sendiri. Di antara hukum-hukum dan sifat-sifat itu adalah gerak. Jadi,
meskipun itu satu sifat umum materi dan salah satu hukumnya yang pasti, tetapi kebenaran di
dalam akal kita atau ide yang mencerminkan alam tidak mengandung sifat tersebut. Suatu ide
yang sahih tidak perlu mencerminkan realitas objektif dalam sifat-sifat dan berbagai macam
aktivitasnya. Kalau tidak demikian, kita tidak akan memiliki ide yang sahih. Jadi, metafisika,
meski menganggap bahwa alam adalah dunia gerak dan berkembang yang permanen, berbeda
dengan dialektika. Metafisika menolak aplikasi hukum gerak pada ide-ide mental, karena di
dalam ide-ide seperti itu tidak ada semua sifat realitas objektif. Ini tidak berarti bahwa jika
kaum metafisikawan menciptakan ide tentang alam pada salah satu tahapannya, maka mereka
akan membekukan pikiran mereka, menghentikan penelitian mereka dan menganggap ide
tersebut memadai untuk mengungkapkan misteri-misteri terdalam alam dalam segenap
tahapannya. Kita tidak tahu seorang pandai yang hanya mencukupkan, misalnya, dengan ide
ilmiahnya yang diciptakannya tentang ovum, sehingga tidak meneliti perjalanan makhluk
hidup pada tahapan keduanya, dan mencukupkan diri dengan ide ilmiah yang dibuatnya
tentangnya
pada
tahapan
tertentu
itu.
Jadi, kita mempercayai bahwa alam berkembang, dan kita mendapati niscayanya
mempelajarinya dalam setiap tahapan pertumbuhan dan geraknya, dan membuat ide
tentangnya. Dan ini bukanlah sesuatu yang terbatas pada dialektika. Hanya, yang ditolak
metafisika adalah adanya gerak dinamis alami pada setiap ide mental. Maka metafisika
menuntut pembedaan antara ovum dan ide ilmiah kita tentang ovum Ovum tumbuh dan
berkembang secara alami. Kemudian ia menjadi zygote, dan kemudian janin. Adapun ide kita
tentangnya adalah konstan. Tidak mungkin ia menjadi sperma dalam keadaan apa pun. Untuk
mengetahui apakah sperma itu, kita harus membuat ide lain berdasarkan pengamatan
terhadap ovum pada tahap baru. Jadi, perumpamaan pikiran tentang perkembangan ovum
ialah seperti film yang mengambil sejumlah gambar yang sambung-menyambung. Gambar
pertama dalam film bukanlah gambar yang berkembang dan bergerak. Tetapi itu adalah
suksesi di antara gambar yang membentuk film. Berdasarkan hal itu, maka pengetahuan
manusia tidak mencerminkan realitas, kecuali karena film mencerminkan macam-macam
gerak dan aktivitas yang dihimpun oleh film tersebut. Jadi, pengetahuan itu tidak berkembang
atau tumbuh secara dialektik mengikuti realitas yang tecermin. Tetapi, adalah niscaya
membentuk pengetahuan yang konstan mengcnai setiap tahapan realitas.
Mari kita ambil contoh lain, yaitu elemen uranium yang mempertunjukkan gelombang alfa,
beta dan gamma, dan berangsur-angsur menjadi elemen lain yang berat atomnya lebih ringan
daripada uranium itu, yaitu elemen radium yang pada gilirannya berangsur-angsur berubah
menjadi elemen yang lebih ringan daripada radium, dan terus melalui (berbagai) tahap
sampai menjadi timah hitam. Ini adalah realitas objektif yang dijelaskan ilmu pengetahuan
tersebut. Nah, apakah yang dimaksudkan Marxisme dengan perkembangan dialektik ide
mental atau kebenaran sesuai dengan perkembangan realitas? Apabila Marxisme
memaksudkan hal ini bahwa ide kita tentang uranium itu sendiri berkembang secara dialektik
dan alami mengikuti perkembangan uranium, sehingga memancarkan gelombang-gelombang
tertentu uranium dan berubah pada akhirnya menjadi timah hitam, maka ini lebih dekat
kepada omongan canda daripada pembicaraan filosofis yang rasional. Kalau Marxisme
memaksudkan hal ini dengan menyatakan bahwa orang tidak boleh melihat uranium sebagai

elemen beku yang tidak bergerak, tetapi sebagai sesuatu yang melanjutkan perjalanannya dan
yang tentang setiap tahapnya orang membuat ide, maka ini akan mendekati diskusi; (karena)
ia tak memaksudkan gerak dialektik kebenaran dan ide. Setiap ide yang kita ciptakan tentang
tahapan tertentu perkembangan uranium adalah konstan dan tidak berkembang secara
dialektik ke ide lain. Tetapi ditambahkan padanya ide baru. Pada akhir proses ini kita
memiliki sejumlah ide dan kebenaran konstan, yang masing-masing menggambarkan derajat
tertentu realitas objektif. Nah, mana dialektika dalam pikiran? Mana pula ide yang
berkembang secara alami mengikuti perkembangan luar? Inilah semua yang berhubungan
dengan
upaya
(penjelasan)
dan
penolakan
Marxisme
tentangnya.
Upaya kedua yang dibuat Marxisme untuk membuktikan dialektika dan perkembangan
pikiran adalah bahwa pikiran atau pengetahuan adalah salah satu fenomena alam dan
merupakan produk lebih tinggi materi dan pada gilirannya adalah bagian dan alam. Ia diatur
oleh undang-undang yang menguasai alam. Ia berubah dan tumbuh secara dialektik,
sebagaimana
dilakukan
semua
fenomena
alam.
Kami harus mengingatkan bahwa pembuktian ini berbeda dengan pembuktian terdahulu.
Dalam pembuktian terdahulu, Marxisme berupaya membuktikan adanya gerak dalam pikiran
disebabkan karakter pikiran adalah refleksi realitas yang bergerak. Refleksi tidak akan
sempurna, jika realitas bergerak itu tidak tecermin dalam pikiran dalam gerak dan
pertumbuhannya. Namun dalam upaya ini, Marxisme berupaya menunjukkan bahwa gerak
dialektik pikiran disebabkan oleh karakter pikiran sebagai bagian dari alam. Hukum-hukum
dialektika berlaku pada materi dan sekaligus pengetahuan, dan mencakup baik realitas
maupun pikiran. Karena, keduanya adalah suatu aspek dari alam. Jadi, pikiran atau kebenaran
tumbuh dan berkembang, bukan saja karena ia mencerminkan suatu realitas yang
berkembang dan tumbuh, karena ia sendiri adalah bagian dari alam yang berkembang sesuai
hukum-hukum dialektika. Dialektika, selain memastikan adanya gerak dinamis, yang
berdasarkan kontradiksi internal di dalam maujud terdalam setiap fenomena objektif alam,
juga memastikan adanya gerak dinamis dalam fenomena-fenomena pikiran dan pengetahuan.
Mari kita telaah apa yang berkaitan dengan subjek ini dalam teks-teks berikut: “Maujud
adalah gerak materi yang tunduk kepada hukum-hukum. Sebab, pengetahuan kita hanyalah
produk superior alam. Oleh karena itu, ia hanyalah mencerminkan hukum-hukum ini.” [156]
“Kalau kita pertanyakan alam pikiran itu, alam kesadaran dan sumber keduanya, kita
dapatkan bahwa manusia itu sendiri adalah produk alam. Ia tumbuh dalam suatu komumtas
tertentu dan bersama tumbuhnya komunitas tersebut. Ketika inilah ia menjadi jelas bahwa
produk-produk akal manusia yang adalah juga, pada analisis akhir, merupakan produkproduk alam, bukan berada dalam kontradiksi, tetapi dalam kesesuaian dengan seluruh alam
yang
saling
berhubungan.”[157]
Titik pokok yang menjadi tumpuan pembuktian ini adalah mengambil penjelasan materialis
murni terhadap pengetahuan yang dikenakan pada pengetahuan alam, termasuk hukum gerak.
Kami akan menganalisis titik pokok ini pada bagian tersendiri dari pembahasan ini. Tetapi, di
sini kita coba pertanyakan kepada kaum Marxis: Apakah penjelasan materialistik tentang
pikiran atau pengetahuan dikhususkan bagi pikiran-pikiran kaum dialektikawan saja? Atau
seluruh pikiran orang-orang nondialektikawan, yaitu orang-orang yang tidak mempercayai
dialektika? Kalau ini mencakup segenap pikiran – seperti dipastikan filsafat materialistik –
maka semua pikiran harus tunduk kepada hukum-hukum perkembangan umum materi. Dan
karena itu, secara aneh menjadi kontradiksi bagi Marxisme untuk menuduh pemikiran
pemikiran lain sebagai beku dan mandek, dan menganggap pemikirannya sebagai satusatunya yang berkembang dan tumbuh dikarenakan fakta bahwa ia bagian dari alam yang
progresif, padahal segenap pikiran manusia, menurut ide materialisme, tidak lain hanyalah
produk alam. Yang terkandung pada masalah tersebut adalah bahwa para pengikut logika
umum atau logika formal – seperti yang mereka klaim – tidak mempercayai perkembangan

dialektik pikiran, seperti dilakukan kaum Marxis. Tetapi, kapan kepercayaan terhadap suatu
hukum alam itu menjadi suatu kondisi bagi adanya hukum itu? Bukankah tubuh Pasteur, [158]
yang menemukan mikroba itu dan tubuh Ibn Sina, yang tak tahu apa pun tentang mikroba,
sama-sama bereaksi terhadap hasil-hasil (germs [159]), sesuai dengan hukum-hukum alam yang
menguasai hasil-hasil (germs)? Demikian pula halnya dengan setiap hukum alam. Jadi, kalau
dialektika adalah hukum alam yang berlaku pada pikiran dan juga materi sekaligus, maka ia
berlaku pada (semua) pikiran manusia juga. Dan jika dalam pengungkapannya ada sesuatu,
maka
ia
hanya
kecepatan
gerak
berkembang
saja.
Upaya ketiga adalah mengeksploitasi kemenyeluruhan dan perkem- bangan ilmiah di
berbagai lapangan dan menganggapnya sebagai dalil empirik atas dialektika dan
perkembangan pikiran. Sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri – dalam pandangan Marxisme –
adalah sejarah gerak dialektik pikiran yang semakin sempurna dalam perjalanan zaman.
Berkata Kedrov: “Dan kebenaran mutlak, hasil dari kebenaran-kebenaran nisbi, adalah gerak
historik perkembangan. Ia adalah gerak pengetahuan. Oleh sebab itu, logika dialektik Marxis
membahas sesuatu yang dipelajarinya dari cara-pandang kesejarahan, dari cara-pandang
bahwa maujudnya sesuatu itu adalah proses pertumbuhan dan perkembangan. Logika ini
sesuai dengan sejarah umum pengetahuan dan sejarah ilmu. Dan Lenin – ketika menunjukkan
bahwa dialektika mendapatkan kesimpulan-kesimpulannya dari sejarah pikiran dan sekaligus
menyatakan bahwa sejarah pikiran dalam logika harus sesuai, sebagian atau seluruhnya,
dengan hukum-hukum pikiran – menggunakan sebagai contoh ilmu-ilmu alam, ekonomi,
[160]
politik
dan
sejarah.”
Adapun bahwa sejarah pengetahuan dan ilmu manusia itu penuh dengan kemajuan dan
kesempurnaan ilmu pengetahuan di berbagai 1apangan dan berbagai bentuk kehidupan dan
pengalaman, ini tidak diperdebatkan lagi. Sekali pandang kepada ilmu pengetahuan sekarang
dan dulu membuat kita sangat mempercayai tentang perkembangan yang cepat dan
penyempumaan yang pesat yang telah dicapai ilmu pengetahuan pada pacuan terakhirnya.
Tetapi, perkembangan ilmiah itu bukanlah sejenis gerak dalam arti filosofis yang
dimaksudkan Marxisme. Bahkan itu tak lebih dari berkurangnya kuantitas kesalahan dan
bertambahnya kuantitas kebenaran. Ilmu pengetahuan berkembang tidak dalam arti bahwa
kebenaran ilmiah tumbuh dan menyempurnma, tetapi dengan pengertian bahwa kebenarankebenarannya bertambah dan semakin banyak, sementara kesalahan-kesalahannya menyusut
dan semakin sedikit, mengikuti membesarnya ruang lingkup eksperimen, semakin
mendalamnya eksperimen, dan ketepatan perangkat-perangkat eksperimen.
Untuk memperjelas hal itu, kita harus memberikan ide tentang prosesi perkembangan ilmiah
dan metode progresi dan menyempurna berangsur-angsur teori-teori dan kebenarankebenaran ilmiah, agar kita dapat membedakan perbedaan antara apa yang diduga sebagai
dialektika pikiran di satu segi, dan perkembangan historis ilmu-ilmu manusia, dari segi lain.
Kebenaran-kebenaran ilmiah bermula dengan prosedur teoretis, seperti hipotesis riset yang
terlintas dalam benak ilmuwan alam disebabkan sejumlah informasi terdahulu dan observasiobservasi ilmiah atau sederhana. Jadi, hipotesis adalah tahapan pertama yang dilalui teori
ilmiah dalam prosesi developmentalnya. Kemudian, ilmuwan tersebut memulai penelitian
ilmiah dan pengkajian eksperimental terhadap hipotesis tersebut. Ia lan- tas melakukan
berbagai pengujian melalui observasi-observasi ilmiah yang akurat dan bermacarn-macam
eksperimen di lapangan yang berkaitan dengan hipotesis tadi. Nah, apabila hasil-hasil
observasi atau eksperimen itu sesuai dengan hipotesis itu dan selaras dengan wataknya dan
watak fenomenanya, maka hipotesis tersebut mendapatkan karakter baru, yaitu karakter
sebuah hukum ilmiah. Teori tersebut kemudian memasuki tahapan kedua prosesi ilmiahnya.
Tetapi, perkembangan yang memindahkan teori tersebut dari tangga hipotesis ke tangga
hukum, tidak berarti bahwa kebenaran ilmiah itu telah tumbuh dan berubah. Tetapi artinya
adalah bahwa ide tertentu itu pada mulanya diragukan, lantas dipercaya atau diyakini secara

ilmiah. Teori Pasteur tentang makhluk hidup mikrobik yang dibuatnya berdasarkan intui