BAB I TUGAS AKHIR FONOLOGI

(1)

BAB I Pendahuluan

Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa ini disebut fonologi, yang secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi, dan logi yaitu ilmu. Menurut hierarki satuan buyni yang menjadi objek studinya, fonologi dibedakan menjadi fonetik dan fonemik. Secara umum, fonetik biasa dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Sedangkan fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna.

1.1. FONETIK

Fonetik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Kemudian menurut urutan proses terjadinya buyni bahasa itu, dibedakan ada 3 jenis fonetik, yaitu fonetik artikulatoris, fonetik akustik, dan fonetik audiotoris. Dari ketiga jenis fonetik ini yang paling berurusan dengan dunia linguistik adalah fonetik artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia.

Pada umumnya bunyi bahasa pertama-tama dibedakan atas vokal dan konsonan. Bunyi vokal dihasilkan dengan pita suara terbuka sedikit, sedangkan bunyi konsonan terjadi setelah arus udara melewati pita suara yang terbuka sdikit atau agak lebar yang diteruskan ke rongga mulut atau rongga hidung dengan mendapat hambatan di tempat-tempat artikulasi tertentu. Selain bunyi vokal dan konsonan, terdapat pula jenis bunyi yang lain seperti diftong atau bunyi vokal rangkap.

1.1.1 KLASIFIKASI BUNYI BAHASA

Bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan alat ucap manusia dapat diklasifikasikan atau dikelompokkan berdasarkan beberapa cara, atau dasar. Dasar klasifikasi itu antara lain (1) ada tidaknya hambatan (proses artikulasi) pada alat bicara, (2) ada tidaknya ketegangan kekuatan arus udara pada saat bunyi bahasa itu dihasilkan, (3) lamanya bunyi itu diartikulasikan, (4) kedudukan bunyi pada suku kata, (5) derajat kenyaringan, (6) arus udara.


(2)

Berdasarkan ada tidaknya hambatan dalam proses artikulasi, secara umum bunyi bahasa dibedakan atas vokoid, kontoid, dan semi vokoid.

1.1. Vokoid

Bunyi vokoid dihasilkan dengan adanya pelonggaran udara yang keluar dari dalam paru-paru tanpa mendapatkan halangan. Penjenisan vokoid. atau perbedaan antara satu vokoid dengan vokoid lainnya ditentukan berdasarkan beberapa kriteria, yaitu gerak maju mundur lidah, gerak lidah naik turun dan posisi bibir.

Berdasarkan gerak lidah maju mundur (horizontal), vokoid dibedakan atas: vokoid depan, vokoid pusat, dan vokoid belakang. Yang termasuk vokoid depan adalah: [i], [e], dan []. Yang tergolong vokoid pusat adalah: [ә], [a], sedangkan yang tergolong vokoid belakang adalah: [u], [o], dan [כ].

Berdasarkan gerak lidah naik turun, yaitu jarak lidah dengan langit-langit (gerakan vertikal), vokoid dibedakan atas: vokoid tinggi, vokoid sedang, dan vokoid rendah. Yang tergolong vokoid tinggi adalah: [i], [u] tergolong vokoid sedang adalah: [e], [], [ә], [o], dan [כ]. sedangkan yang tergolong vokoid rendah adalah vokoid [a].

Selain kriteria gerak maju mundur lidah, dan naik turun lidah, vokoid juga ditentukan berdasarkan posisi bibir vokoid itu dihasilkan. Berdasarkan posisi bibir, vokoid dapat dibedakan atas: vokoid bundar dan vokoid tak bundar. Yang termasuk vokoid bundar adalah: [u], [o], dan [כ] sedangkan yang tergolong vokoid tak bundar adalah: [i], [e], [], [ә], dan [a]

Berdasarkan tiga kriteria penghasilan vokoid itu dapat dibuat denah atau diagram vokoid.

DENAH VOKOID Posisi

Lidah (vertika l)

Bentuk mulut

Posisi lidah (horizontal) Depa

n Pusat

Belakan g

Tinggi Bundar u

Tak

bundar i

Sedang Bundar O, כ

Tak

bundar e,  ә

Rendah Bundar Tak

bundar a

Dari denah di atas, tiap vokoid dapat dibuat deskripsinya. [i] adalah vokoid depan, tinggi, dan tak bundar.


(3)

[e] adalah vokoid depan, sedang, tak bundar. [] adalah vokoid depan, sedang, tak bundar. [ә] adalah vokoid pusat, sedang, tak bundar. [a] adalah vokoid belakang, rendah, tak bundar. [u] adalah vokoid belakang, tinggi, bundar. [o] adalah vokoid belakang, sedang; bundar. [כ] adalah vokoid belakang, sedang, bundar.

1.2. Kontoid

Apabila vokoid adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan adanya pelonggaran arus udara dari paru-paru tanpa mendapat halangan dalam rongga mulut, maka tidak demikian halnya dengan kontoid. Dalam penghasilan bunyi kontoid, arus udara dari paru-paru mendapat hambatan di rongga mulut oleh artikulasi. Penggolongan, penjenisan atau lain berdasarkan beberapa kriteria. Kriteria itu adalah: (1), titik artikulasi, (2) cara hambatan, dan (3) ikut bergetar tidaknya pita suara.

1.2.1. Berdasarkan titik artikulasi, didapati beberapa jenis kontoid. (1) Bilabial : [b], [p], [m], [w]

(2) Labiodental : [v], [f]

(3) Apikodental : [q ],[d ]

(4) Apiko alveolar : [d], [t], [l], [n], [r] (5) Apiko palatal : [d], [t], [r]

(6) Lamino alveolar : [z], [s]

(7) Medio palatal : [j], [c], [ny], [y] (8) Dorso velar : [g], [k], [x], [ng]

(9) Uvular : [R]

(10) Laringal : [h]

(11) Faringal : [h]

(12) Glotal : [?]

1.2.2 Berdasarkan cara hambatan arus udara dalam rongga mulut oleh titik artikulasi, kontoid dapat dibedakan atas kontoid (1) hambat (stop) (2) paduan (afrikat), (3) geseran (frikatif) (4) getar (trill) (5) sampingan (lateral), (6) sengau (nasal), dan (7) semivokal.


(4)

Kontoid ini dihasilkan dengan menghambat arus udara sama sekali di tempat artikulasi tertentu secara tiba-tiba, sesudahnya alat-alat bicara di tempat artikulasi tersebut dilepaskan kembali. Yang tergolong bunyi kontoid hambat ini adalah: [b], [p], [d], [t], [g], [k], [?].

(2) Kontoid paduan (afrikat)

Bunyi kontoid afrikat ini dihasilkan seperti bunyi hambat, hanya diletupkan secara bertahap. Yang tergolong bunyi ini adalah [j], [c], [y] (3) Kontoid geseran (frikatif)

Bunyi kontoid frikatif ini dihasilkan seperti halnya bunyi hambat letup, hanya udara tadi dilepaskan melalui celah tempat udara dihembuskan. Yang tergolong bunyi ini adalah [v], [f], [z], [s], [h], [x],

(4) Kontoid getar (trill)

Bunyi getar (trill) adalah bunyi yang dihasilkan dengan mengartikulasikan ujung lidah pada alveolar, dan dilepaskan cepat sekali, sehingga terjadi getaran bunyi. Yang tergolong bunyi getar (trill) adalah [r].

(5) Bunyi sampingan (lateral)

Bunyi kontoid sampingan (lateral) ini dihasilkan dengan menutup arus udara pada titik artikulasi, tetapi udara keluar melalui kedua sisi (samping) lidah. Yang tergolong bunyi sampingan atau lateral adalah (I). (6) Kontoid sengau (nasal)

Kontoid nasal dihasilkan dengan menutup arus udara ke luar melalui rongga mulut tetapi membuka jalan agar dapat keluar melalui rongga hidung (gerak uvula turun). Yang tergolong kontoid nasal adalah: [m], [n], [ng], [ny].

(7) Kontoid semivokoid

Bunyi semivokoid sebenamya termasuk bunyi kontoid, tetapi kualitasnya tidak hanya ditentukan oleh alur sempit antar artikulator, tetapi oleh bangun mulut (bibir). Yang tergolong kontoid semi vokoid adalah [w], dan [y].

1.2.3 Berdasarkan ikut tidaknya bergetar pita suara pada saat kontoid dihasilkan diperoleh kontoid bersuara dan kontoid tak bersuara. Yang tergolong kontoid bersuara adalah [b], [d], [g], [h], [m], [n], [p], [v], [z], [I], [r], [j], [q]

Berdasarkan tiga kriteria penghasilan bunyi kontoid, maka kontoid dapat dibuatkan denah (diagramnya).


(5)

Dari denah kontoid tersebut dapatlah dibuat deskripsi tiap kontoid 1. [b] bilabial, hambat, bersuara

2. [p] bilabial, hambat, tak bersuara 3. [m] bilabial, nasal, bersuara

4. [w] bilabial, semi vokoid, tak bersuara 5. [v] labiodental, frikatif, bersuara 6. [f] labiodental, frikatif, bersuara 7. [d] apiko alveolar, hambat, bersuara 8. [t] apiko alveolar, hambat, tak bersuara 9. [n] apiko alveolar, nasal, bersuara 10. [r] apiko alveolar, getar, bersuara 11. [l] apiko alveolar, lateral, bersuara 12. [z] lamino alveolar, frikatif, bersuara 13. [s] lamino alveolar, frikatif, tak bersuara 14. [c] lamino palatal, afrikat, bersuara 15. [j] lamino palatal, afrikat, bersuara 16. [y] lamino palatal, semi vokoid, bersuara 17. [ñ] lamino palatal, nasal, bersuara

18. [∫] lamino palatal, geseran, bersuara 19. [g] dorsovelar, hambat, bersuara 20. [k] dorsovelar, hambat, tak bersuara 21. [ŋ] dorsovelar, nasal, bersuara 22. [x] dorsovelar, geseran, bersuara 23. [h] glotal, frikatif, bersuara 24. [?] glottal, hambat, tak bersuara

1.3 Semi Vokoid

Di depan telah dijelaskan bahwa bunyi semi vokoid, sebenarnya termasuk bunyi kontoid, tetapi kualitasnya tidak hanya ditentukan oleh alur sempit antar artikulator, tetapi oleh bangun mulut (bibir). Yang tergolong bunyi semi vokoid adalah [w], [y].

Kedua bunyi ini yaitu [w], dan [y], memiliki dua karaktetistik yaitu sebagai bunyi riil (sebagai kontoid), dan sebagai bunyi tidak riil (sebagai vokoid). Sebagai bunyi riil [w] di depan pada kata ‘wajib’, “jawab”, sedangkan sebagai bunyi tidak riil (sebagal vokoid), di dapat pada kata “juwara”, “juwal”, dan sebagainya. Untuk bunyi

[y], secara riil, didapati pada kata yakni, “percaya”,”sayang” sedangkan sebagai bunyi tidak riil, didapati pada kata “siyang”, “pakaiyan”.


(6)

(2) Klasifikasi Bunyi Bahasa Berdasarkan Ada Tidaknya Arus Udara ke Rongga Hidung

Berdasarkan ada atau disertainya udara melalui rongga hidung, bunyi bahasa dibedakan atas bunyi oral dan nasal. Bunyi nasal terjadi apabila posisi anak tekak (uvula) yang terlihat pada ujung langit-langit lunak, turun, sehingga arus udara dapat melalui rongga hidung. Bunyi oral terjadi apabila posisi anak tekak naik, sehingga arus udara ke rongga hidung tertutup, dan arus udara melalui rongga mulut (oral cavity).

Yang termasuk bunyi nasal adalah [m], [n], [ñ] dan [ŋ], sedangkan yang termasuk bunyi oral, antara lain [b], [p], [d], [t], [g], [k].

(3) Klasifikasi Bunyi Bahasa Berdasarkan Ada Tidaknya ketegangan Arus Udara Berdasarkan pada ada tidaknya ketegangan kekuatan arus udara pada waktu bunyi itu diartikulasikan, dibedakan atas bunyi keras (fortes) dan bunyi lunak (lenes). Bunyi bahasa disebut keras (fortes) apabila pada waktu diartikulasikan disertai ketegangan kekuatan arus udara. Sebaliknya bunyi lunak (lenes) adalah bunyi bahasa yang tidak disertai dengan ketegangan kekuatan arus udara.

Dalam bahasa Indonesia bunyi bahasa yang tergolong keras (fortes) adalah bunyi hambat tak bersuara [p,t,k] dan geseran [s], sedangkan yang termasuk bunyi lunak adalah [b,d,j,g], getaran bersuara [z], nasal [m,n, ñ, ŋ], lateral [L], frikatif (s]. dan semi vokoid (w,y].

(4) Klasifikasi Bunyi Bahasa Berdasarkan Lamanya Bunyi Bahasa itu Diartikulasikan

Berdasarkan pada lamanya, bunyi bahasa itu diartikulasikan, bunyi bahasa itu dibedakan atas bunyi panjang dan bunyi pendek. Baik kontoid maupun vokoid, masing-masing dapat dibedakan atas bunyi panjang dan bunyi pendek. Tanda untuk bunyi panjang biasanya dengan diakritik tanda garis bawah di atas, atau dengan titik dua di sebelah kanan bunyi panjang itu. Misalkan [a] panjang ditulis [a] atau [a:]; [u] panjang ditulis [ ] atau [u:]; [L] panjang ditulis [ ] atau [L:].

(5) Klasifikasi Bunyi Bahasa Berdasarkan Kedudukan Bunyi Pada Suku Kata Berdasarkan kedudukan bunyi pada suku kata dibedakan atas bunyi rangkap dan bunyi pendek. Bunyi rangkap adalah bunyi yang terdiri dari dua bunyi yang terdapat dalam satu suku kata. Jika bunyi-bunyi itu terdapat pada suku kata yang berbeda, maka tiap bunyi itu disebut bunyi tunggal. Untuk bunyi vokoid, bunyi rangkapnya disebut diftong, sedangkan bunyi tunggalnya disebut monoftong. Bunyi


(7)

rangkap pada kontoid disebut juga gugus konsonan atau kluster. Pembahasan tentang diftong, monoftong, dan kluster akan diuraikan pada “Silaba”.

(6) Klasifikasi Bunyi Bahasa Berdasarkan Derajat Kenyaringan

Derajat kenyaringan suatu bunyi bahasa ditunjukkan oleh luas sempitnya atau besar kecilnya ruang resonansi pada waktu bunyi itu dihasilkan. Gejala kenyaringan ini sebenarnya tinjauan bunyi bahasa menurut aspek auditoris. Makin luas atau makin besar ruang resonansi tatkala bunyi bahasa ini dihasilkan, bunyi bahasa ini disebut bunyi nyaring. Semakin sempit atau kecil ruang resonansinya, dihasilkan bunyi yang kurang nyaring. Untuk vokoid yang derajat kenyaringannya tinggi (sonoritas), justru terdapat pada vokoid rendah yaitu [a]. Hal ini dapat dimaklumi karena ruang resonansi semakin lebar, jika dibandingkan dengan vokoid tinggi [i], dan [u], yang resonansinya semakin sempit. Berdasarkan semakin meluas, atau melebarnya resonansi, tingkat kenyaringan vokoid berlangsung, berturut-turut dan tingkat kenyaringan rendah ke tinggi adalah [i,u], [e, , ,o, ], [a], bila vokoid-vokoid itu dikategorikan tingkat keterhubungannya, berturut-turut diperoleh vokoid tertutup, [i,u], semi-terbuka [e, , a, o, ], dan terbuka [a].

Dibandingkan dengan vokoid, bunyi-bunyi kontoid, yang karena terbentuknya disertai hambatan pada arikutalor rongga mulut (saluran ruang resonansi), maka derajat kenyaringannya lebih rendah. Diantara kontoid itu sendiri tingkat sonoritasnya berbeda-beda. Derajat kenyaringan konsonan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi berturut-turut, hambat tak bersuara (p,t,c,k] geseran tak bersuara [v, z], nasal [m,n, ] lateral sampingan [L] dan triIl/getar[r].

(7) Klasifikasi Bunyi Bahasa Berdasarkan Arus Udara

Di muka telah dijelaskan bahwa dalam sub sistem abdominal, dihasilkan dua arus udara yaitu arus udara keluar (egresif) dan arus udara masuk (ingresif). Dalam proses penghasilan bunyi bahasa ini, arus udara merupakan sarana utama. Dalam kebanyakan bunyi bahasa, pembentukan bunyi bahasa itu dilaksanakan dengan arus udara keluar (egresif). Dalam bahasa-bahasa tertentu terdapat pula bunyi bahasa yang dihasilkan dengan arus udara ingresif (masuk).

1. Arus udara egresif

Arus udara egresif dibedakan atas egresif pulmonik dan egresif glotalik. a. Egresif Pulmonik

Bunyi egresif pulmonik ialah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan mekanisme pulmonik. Mekanisme udara pulmonik ialah udara dari paru-paru sebagai sumber utamanya.

b. Egresif Glotalik

Bunyi egresif glotalik ialah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan arus udara egresif mekanisme glotalik. Mekanisme glotalik terjadi dengan cara merapatkan pita


(8)

suara sehingga glotis dalam keadaan tertutup rapat sekali. Bunyi egresif glotalik ada dalam banyak bahasa di Afrika, Indian-Amerika dan Kansas. Bunyi yang dihasilkan dengan arus udara egresif glotalik ini disebut bunyi ejektif. Dalam sistem ortografis, bunyi ejektif itu diberi tanda apostrof di bagian atas kanan, misalnya [p’, t’, k’, s’,t’].

2. Arus Udara Ingresif

Arus udara ingresif dibedakan atas ingresif glotalik dan ingresif velarik. a. Ingresif glotalik

Ingresif glotalik ialah bunyi bahasa yang terbentuk dengan arus udara masuk (ingresif) dengan mekanisme glotalik. Proses penghasilan ingresif glotalik hampir sama dengan proses egresif glotalik. Hanya dalam engresif glotalik dua pita suara ditutup rapat-rapat, dan arus udara masuk. Bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan dengan arus udara ingresif disebut bunyi bahasa implosif. Dalam sistem ortogralis, bunyi implosif ini ditandai dengan lengkung ke arah kanan, misalnya [ ]. Bunyi-bunyi implosi seperti ini biasanya terdapat dalam bahasa Swahili, Ngada, dan Suwawa

b. Ingresif Velarik

Bunyi bahasa ingresif velarik adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan arus udara ingresif (masuk) dengan mekanisme velarik. Hal ini terjadi dengan menaikkan pangkal lidah ditempelkan pada langit-langit lembut (velum), dengan arus udara masuk. Yang tergolong bunyi ingresif veIarik adalah bunyi klik misalnya dalam bahasa Zulu, klik dental [ ], klik alveola [ ] dan kilk post alveolar [t].

1.1.2 UNSUR SUPRASEGMENTAL

Dalam pelaksanaan ujaran, terdapat dua elemen, yaitu elemen yang dapat disegmenkan (dipotong-potong), dan elemen yang menyertai elemen yang dapat disegmentasikan. Elemen yang dapat disegmenkan disebut dengan elemen segmental. Dalam ujaran elemen yang termasuk segmental adalah rangkaian kontoid dan vokoid. Sedangkan elemen yang tak dapat disegmenkan dan menyertai elemen segmental, disebut elemen supra segmental. Sebagaimana halnya bunyi segmental, bunyi-bunyi supra segmental dapat diklasifikasikan menurut ciri-cirinya waktu diucapkan. Ciri-ciri bunyi supra segmental waktu di ucapkan itu disebut Ciri-ciri-Ciri-ciri prosodi. Beberapa ciri prosodi yang penting meliputi: (1) panjang atau kuantitas, (2) nada (pitch), (3) tekanan (stress), dan (4) jeda atau persendian (juncture).

(1) Panjang atau Kuantitas atau Durasi

Panjang atau durasi menyangkut lamanya bunyi diucapkan oleh suatu bunyi segmental, yang waktu diucapkannya oleh alat-alat ucap dipertahankan cukup lama,


(9)

pastilah disertai bunyi supra segmental dengan ciri prosodi yang panjang. Tanda untuk panjang ialah dengan [ ...:], titik dua disebelah kanan bunyi segmental. Tanda untuk panjang itu disebut mora, misalnya [a:]

(2) Nada (pitch)

Nada menyangkut tinggi rendahnya suatu bunyi. Salah satu variasi dan titinada adalah intonasi (intonation), atau lagu (melody). Suatu bunyi segmental yang diucapkan dengan frekwensi getaran yang tinggi, pastilah dibarengi dengan nada yang tinggi sebagai ciri supra segmentalnya. Demikian pula hal yang sebaliknya.

Dalam pelaksanaan ujaran kita temui beberapa macam nada. a. nada naik, yaitu nada yang meninggi, ditandai dengan [……] b. nada datar, ditandai dengan [---]

c. nada turun. yaitu nada yang merendah, ditandal dengan [….]

d. nada turun naik yaitu nada yang merendah kemudian meninggi, ditandai dengan [...]

e. nada naik turun, yaitu nada yang meninggi, kemudian merendah, ditandai dengan [….]

Variasi nada yang menyertai, bunyi segmental dalam kalimat disebut intonasi. Variasi nada atau intonasi dibedakan menjadi empat.

a. nada rendah ditandai dengan angka 1 b. nada sedang ditandai dengan angka 2 c. nada tinggi ditandai dengan angka 3

d. nada sangat tinggi ditandai dengan angka 4 (3) Tekanan (Stress)

Ada istilah tekanan (stress) dan ada pula istilah aksen (accent). Kedua-duanya menyatakan tekanan. Verhaar membedakan atas aksen - tekan dan aksen - nada. Aksen tekan berkaitan dengan lebamya amplitudo, sedang aksen-nada lebih berkaitan dengan frekwensi getarannya.

Tekanan sebagai ciri prosodi dibedakán atas tekanan kuat (keras) dan tekanan lemah. Bunyi segmental yang diucapkan dengan ketegangan arus udara sehingga menyebabkan amplitudo lebar, pasti disertai dengan bunyi supra segmental ciri prosodi tekanan keras. Sebaliknya bunyi segmental yang diucapkan dengan tanpa ketegangan arus udara sehingga amplitudonya tidak melebar atau. sempit, pasti disertai dengan bunyi supra segmental ciri prosodi tekanan lemah. Penanda adanya tekanan (keras) adalah [I…] di depan kiri atas suku kata yang mendapat tekanan.

(4) Jeda atau Persendian (Juncture)

Jeda menyangkut pemberhentian dalam bahasa. Suatu bunyi segmental dalam suku kata, kata, frasa, klausa, kalimat dan wacana, pastilah disertai dengan bunyi


(10)

supra segmental perhentian di sana-sini. Bunyi supra segmental yang berdiri prosodi perhentian di sana-sini itu disebut jeda atau persendian, atau batas penyambungan. Bahasa yang satu dengan yang lain, memiliki jeda yang berbeda-beda.

Menurut tempatnya jeda dapat dibedakan menjadi empat, dan biasariya diberi tanda-tanda berbeda.

a. Jeda antar suku kata dalam kata ditandai dengan [+] b. Jeda antar kata dalam frase ditandai dengan [/] c. Jeda antar frase dalam klausa ditandai dengan [//] d. Jeda antar kalimat dalam wacana ditandai dengan [#]

1.2 FONEMIK

Berdasarkan prinsip kaidah ilmu bahasa perbedaan bentuk kata mengakibatkan terjadinya perbedaan makna meskipun yang berbeda hanyalah satu fonem. Oleh karena itu, cara untuk membedakan apakah sebuah fonem itu berbeda maknanya adalah menggunakan pasangan minimal (minimal pair). Perhatikan contoh berikut:

mari lari fonem /m/ dan /l/ lari laki fonem /r/ dan /k/ laki laku fonem /i/ dan /u/

kelasØ kelasi /Ø/ (zero atau kosong) dan /i/

Perbedaan bentuk kata seperti contoh di atas mengakibatkan perbedaan makna seperti kaidah yang berlaku secara umum dalam semua bahasa. Sebagai perbandingan perhatikan dua kelompok kata berikut ini :

Kelompok A: baku paku, keras kemas, kawan kawin. Kelompok B: zaman jaman, mufakat mupakat, telur telor.

Jika kita cermati pada kelompok A perbedaan fonem menimbulkan perbedaan makna sementara kelompok B maknanya masih sama. Kelompok A tidak pernah mengalami kerancuan baik dalam ucapan maupun penulisan, tetapi kelompok B sering dirancukan dalam pemakaiannya. Kelompok B inilah yang dimaksud gejala bahasa. Nah, sekarang marilah kita bicarakan proses pembentukan kata dalam peristiwa gejala bahasa.

1.2.1 Perubahan fonem

Perubahan fonem ini dapat terjadi dalam sebuah kata tanpa mengubah makna kata yang bersangkutan. Terdapat dua jenis perubahan fonem yaitu a) perubahan letak


(11)

fonem dalam sebuah kata yang disebut metatesis. Metatesis ada dua yaitu metatesis vokal dan konsonan. b) perubahan fonem karena salah tafsir terhadap bunyi-bunyi fonem tertentu (dibicarakan dalam hiperkorek).

1.a metatesis vokal

Terjadi karena kebiasaan yang salah dalam mengucapkan sebuah kata pengaruh posisi lidah, yang memproduksi bunyi vokal, saling berdekatan dan pengaruh ucapan bahasa daerah atau dialek-dialek tertentu. Contoh :

/i/ dan /e/ : Hakikat  hakekat /o/ dan /u/ : tombak tumbak Nasihat  nasehat tolong  tulung Pihak  pehak goyang  guyang

/e/ dan /i/ : Tewas  tiwas /u/ dan /o/ : telur  telor Keju  kiju lubang lobang ruh  roh ubah  obah

1.b Metatesis konsonan

Gejala ini biasanya disebabkan pengaruh penyederhanaan ucapan kata-kata asing dalam bahasa Indonesia. Disebut juga gejala transposisi yaitu pertukaran letak fonem dalam sebuah kata tanpa mengubah makna kata semula. Contoh :

Padma padam Pratyaja  percaya Drohaka durhaka Kecilcilik

Lekuk keluk

1.2.2 Penghilangan fonem

Gejala ini biasanya disebabkan oleh gejala penyederhanaan ucapan kata-kata itu. Dibedakan atas aferesis, sinkop, apokop, dan haplologi

1.2.2.1 Aferesis

Merupakan gejala penghilangan satu atau beberapa fonem pada awal kata. Contohnya kata upuwasa dan adhyaksa. Kedua kata tersebut kita kenal sebagai puasa dan jaksa. Dalam bahasa Indonesia kita juga mengenal penyederhanaan ini. Biasanya fonem yang dihilangkan ditandai menggunakan tanda apostrof (‘) contohnya abang ’bang, emas’mas, engkau’kau, aku’ku.


(12)

1.2.2.2 Sinkop

Merupakan gejala penghilangan satu atau beberapa fonem pada posisi tengah dari sebuah kata. Contoh kata niyata dan utpatti berubah menjadi nyata dan upeti. Contoh lainnya misalnya kata rahasiarasia, tahaditadi.

1.2.2.3 Apokop

Merupakan gejala penghilangan fonem pada posisi akhir. Misalnya figure figur, sadism sadis, pelangit pelangi, separohseparo, bapak bapa. 1.2.2.4 Haplologi

Merupakan gejala penghilangan satu silabe pada posisi tengah sebagai gejala pemendekan kata. Contoh : budhidaya budaya, mahardhika merdeka, ceritera cerita, kelemarin kemarin, tahadi tadi, sahayasaya.

1.2.3 Penambahan fonem

Gejala penambahan fonem dalam sebuah kata ini tidak mengubah makna kata. Terdiri atas protesis, epentesis, anaptiksis, dan paragog.

1.3 Protesis

Merupakan gejala bahasa dimana sebuah kata mendapat tambahan fonem pada posisi awal. Contoh striistri, smaraasmara, utanghutang, ujudwujud, imbauhimbau.

1.4 Epentesis

Merupakan gejala penambahan satu atau beberapa fonem pada posisi tengah sebuah kata. Contoh upamaumpama, akasaangkasa, kapakkampak, tahyultahayul

1.5 Anaptiksis

Merupakan penambahan bunyi [ә] pada posisi tengah sebuah kata. Contoh indraindera, mantramantera, samudrasamudera, glassgelas, classkelas.

1.6 Paragog

Merupakan gejala penambahan fonem pada akhir kata. Contoh lamp (Bld)lampu, inainang, adiadik.


(13)

Analogi ialah proses mengubah bentuk kata menjadi bentuk lain berdasarkan bentuk-bentuk yang sudah ada. Dalam bahasa Sansekerta terdapat kata dewa ‘hiang laki-laki’ dan dewi ‘hiang perempuan. Contoh lain dalam bahasa Indonesia seperti saudara-saudari, siswa-siswi, pemuda-pemudi, mahasiswa-mahasiswi. Sufiks –wan dipakai untuk menyatakan jenis kelamin laki-laki. Berdasarkan bentuk kata hartawan dan rupawan dibentuk pula kata-kata baru dalam bahasa Indonesia seperti olahragawan, negarawan, dan peragawan. Sufiks –wati dipakai pula menyatakan jenis kelamin perempuan. Dengan demikian kita jumpai pula bentuk seperti peragawati. wartawati, hartawati.

Dalam bahasa Inggris kita jumpai pula perbedaan bentuk kata actor dan actress, director dan directrees. Dengan demikian berarti bentuk aktor, aktris, direktur dan direktris adalah bentuk kata yang dipinjam utuh dari bahasa tersebut. Jadi tidak berdasarkan analogi seperti –wan dan –wati di atas. Akan tetapi, bahasa Indonesia secara umum tidak mengenal bentuk maskulin dan feminim, maka bentuk analogi seperti di atas sebaiknya dibatasi.

Dalam bahasa Indonesia kita jumpai pula bentuk sedari yang artinya sama dengan ‘sejak dari’. Berdasarkan bentuk ini kemudian dapat pula dibentuk kata lain yang hampir atau sama artinya dengan kata semula seperi contoh berikut:

Masasemasa lagiselagi Waktusewaktu masihsemasih

1.2.5 Hiperkorek

Hiperkorek yaitu cara penulisan kata yang sudah benar, dibenarkan lagi sehingga menjadi salah. Akhirnya yang salah itulah yang dipakai dalam ucapan dan penulisan sehari-hari. Gejala ini dapat dikatakan sebagai analogi yang salah terhadap bunyi-bunyi yang berasal dari bahasa asing, maupun terhadap artikulasi alat bicara yang memproduksi bunyi-bunyi tersebut. Kesalah tafsiran mengenai bunyi-bunyi itu akhirnya mempengaruhi proses pembentukan kata yang menyimpang dari kaidah-kaidah umum yang berlaku. Gejala ini dapat diklasifikasikan menjadi hiperkorek vokal dan hiperkorek konsonan.

1.2.5.1 Hiperkorek vokal

Hiperkorek ini terjadi karena pengaruh hukum sandi atau peleburan bunyi. Disamping itu dapat pula disebabkan oleh analogi yang salah terhadap bunyi vokal atau diftong bahasa asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia. Hiperkorek ini dibagi menjadi monoftongisasi dan diftongisasi.


(14)

Gejala ini berasal dari pengaruh hukum sandi dimana bunyi [au] dan [ua] dilebur menjadi bunyi [o]. begitu pula bunyi [ia] dan [ai] dilebur menjadi [e] seperti contoh berikut:

Pulaupulo kabupatiankabupaten Kerbaukerbo pantaipante

Sajiansajen rantairante taubat tobat taufantopan

b) Diftongisasi

Kebalikan dari monoftongisasi adalah diftongisasi. Orang sering pula menjadikan bunyi vokal menjadi diftong seperti contoh berikut:

Anggotaanggauta Sentosasentausa Teladan  tauladan

1.2.5.2 Hiperkorek konsonan

Hiperkorek konsonan terutama disebabkan karena salah tafsir mengenai artikulasi alat bicara yang menghasilkan bunyi-bunyi tertentu, terutama bunyi-bunyi yang tidak terdapat dalam bahasa sendiri. Disamping itu kadang-kadang juga dapat disebabkan karena pengaruh gaya bahasa yang ingin meniru ucapan kata bahasa aslinya.

a. Konsonan /b/ dan /p/

Bunyi /b/ bilabial bersuara, dianggap bunyi /p/ bilabial tak bersuara terutama dalam beberapa kata, perbedaan kedua bunyi ini boleh dikatakan tidak kentara lagi. Dalam hal ini kedua bunyi tersebut bersifat arkhifonem. Akibatnya dalam penulisan pun sering terdapat kekeliruan seperti terlihat pada contoh berikut :

sabtusaptu adabadap lembablembap


(15)

Dalam bahasa Melayu tidak dijumpai fonem /f/ yang ada adalah fonem /p/. Sebaliknya dalam bahasa Arab tidak ada fonem /p/ yang ada adalah fonem /f/. Dalam bahasa Melayu fonem /f/ biasanya dilafalkan dengan fonem /p/ sehingga kata-kata Arab berlafalkan /f/ berubah menjadi /p/ seperti pada contoh berikut.

Fahampaham Hafal (h)apal Fasal pasal Maafmaap

c. Konsonan /f/ dan /v/

Bunyi /f/ labiodental tak bersuara dan bunyi /v/ labiodentals bersuara keduanya merupakan fonem asing dalam bahasa Melayu. Dalam bahasa Indonesia kedua bunyi itu dianggap sebagai satu bunyi dan diucapkan sebagai bunyi tak bersuara. Kata variasi, vokal, lava, universitas sering diucapkan fariasi, fokal, lafa, unifersitas. Dalam sistem penulisan Bahasa Indonesia ditetapkan bahwa penulisan kata serapan dari bahasa asing sedapat mungkin hendaknya mendekati bentuk aslinya. Misalnya kata fabricpabrik, factorfaktor, familyfamili, figurefigur. Sebaliknya kata visa, Vatican, dan valid ditulis seperti aslinya, bukan fisa, fatican, dan falid.

Jadi dalam bahasa Indonesia bunyi /f/ dan /v/ hanya dianggap sebagai satu bunyi saja, maka dalam pemakaiannya (tulisan) sering dikacaukan orang.

d. Konsonan /t/ dan /d/

Bunyi /t/ apikoalveolar tak bersuara sering dianggap bunyi /d/ apikoalveoalar bersuara. Sebab dalam beberapa kata kedua bunyi ini juga bersifat arkhifonem. Contoh:

derajatderajad ahadahat kodratkodrad

Bunyi lain yang juga bersifat arkhifonem adalah konsonan /s/ dan /z/ seperti pada kata azasasas.

e. Konsonan /s/ dan /sy/

Dalam bahasa melayu tidak terdapat fonem /sy/ (Arab) sehingga pengucapan fonem /sy/ sering dilafalkan dengan fonem /s/ contoh musyawarah  musawarah, masyarakatmasarakat, syukursukur. Dalam bentuk tertulis sahsyah, surgasyurga, insafinsyaf.


(16)

Bunyi /z/ dalam bahasa Melayu pada mulanya berasal dari bahasa Arab seperti kata ziarah, izin, zamrud, zaman dan zakat. Kemudian kosa kata bahasa Indonesia juga menyerap dari berbagai bahasa asing seperti zebra, zeus, zoology dan lain-lain. Pengkacauan ini muncul dalam contoh-contoh berikut Zamanjaman, Zamrudjamrud, Ziarahjiarah. Anehnya hal ini tidak terjadi pada serapan bahasa asing lainnya.

g. Konsonan /k/ dan /kh/

Dalam bahasa Arab terdapat bunyi-bunyi /kh/ seperti khalik, khabar, khayal, ikhtisar, dan akhir. Bunyi /kh/ dalam artikulasi bahasa Indonesia lebih dekat kepada bunyi /k/. Oleh sebab itu dalam kosa kata bahasa Indonesia kita jumpai kata-kata seperti

Khalik kalik Khabar kabar Khayal kayal Ikhtisar iktisar

Akhir akir

Selain perubahan /kh//k/ menurut Badudu (1974:40) dalam bahasa Indonesia terdapat pula kecenderungan untuk mengubah ke bunyi /h/. Hal ini karena pengaruh bahasa Sunda yang biasa menulis /kh//h/. Berdasarkan hal tersebut maka perubahan gejala bahasanya dapat digambarkan sebagai berikut:

Khalik kalik halik Khabar kabarhabar Khayal kayalhayal

Ikhtisar iktisar ihtisar


(1)

fonem dalam sebuah kata yang disebut metatesis. Metatesis ada dua yaitu metatesis vokal dan konsonan. b) perubahan fonem karena salah tafsir terhadap bunyi-bunyi fonem tertentu (dibicarakan dalam hiperkorek).

1.a metatesis vokal

Terjadi karena kebiasaan yang salah dalam mengucapkan sebuah kata pengaruh posisi lidah, yang memproduksi bunyi vokal, saling berdekatan dan pengaruh ucapan bahasa daerah atau dialek-dialek tertentu. Contoh :

/i/ dan /e/ : Hakikat  hakekat /o/ dan /u/ : tombak tumbak Nasihat  nasehat tolong  tulung Pihak  pehak goyang  guyang /e/ dan /i/ : Tewas  tiwas /u/ dan /o/ : telur  telor Keju  kiju lubang lobang ruh  roh ubah  obah 1.b Metatesis konsonan

Gejala ini biasanya disebabkan pengaruh penyederhanaan ucapan kata-kata asing dalam bahasa Indonesia. Disebut juga gejala transposisi yaitu pertukaran letak fonem dalam sebuah kata tanpa mengubah makna kata semula. Contoh :

Padma padam Pratyaja  percaya Drohaka durhaka Kecilcilik

Lekuk keluk

1.2.2 Penghilangan fonem

Gejala ini biasanya disebabkan oleh gejala penyederhanaan ucapan kata-kata itu. Dibedakan atas aferesis, sinkop, apokop, dan haplologi

1.2.2.1 Aferesis

Merupakan gejala penghilangan satu atau beberapa fonem pada awal kata. Contohnya kata upuwasa dan adhyaksa. Kedua kata tersebut kita kenal sebagai puasa dan jaksa. Dalam bahasa Indonesia kita juga mengenal penyederhanaan ini. Biasanya fonem yang dihilangkan ditandai menggunakan tanda apostrof (‘) contohnya abang ’bang, emas’mas, engkau’kau, aku’ku.


(2)

1.2.2.2 Sinkop

Merupakan gejala penghilangan satu atau beberapa fonem pada posisi tengah dari sebuah kata. Contoh kata niyata dan utpatti berubah menjadi nyata dan upeti. Contoh lainnya misalnya kata rahasiarasia, tahaditadi. 1.2.2.3 Apokop

Merupakan gejala penghilangan fonem pada posisi akhir. Misalnya figure figur, sadism sadis, pelangit pelangi, separohseparo, bapak bapa. 1.2.2.4 Haplologi

Merupakan gejala penghilangan satu silabe pada posisi tengah sebagai gejala pemendekan kata. Contoh : budhidaya budaya, mahardhika merdeka, ceritera cerita, kelemarin kemarin, tahadi tadi, sahayasaya.

1.2.3 Penambahan fonem

Gejala penambahan fonem dalam sebuah kata ini tidak mengubah makna kata. Terdiri atas protesis, epentesis, anaptiksis, dan paragog.

1.3 Protesis

Merupakan gejala bahasa dimana sebuah kata mendapat tambahan fonem pada posisi awal. Contoh striistri, smaraasmara, utanghutang, ujudwujud, imbauhimbau.

1.4 Epentesis

Merupakan gejala penambahan satu atau beberapa fonem pada posisi tengah sebuah kata. Contoh upamaumpama, akasaangkasa, kapakkampak, tahyultahayul

1.5 Anaptiksis

Merupakan penambahan bunyi [ә] pada posisi tengah sebuah kata. Contoh indraindera, mantramantera, samudrasamudera, glassgelas, classkelas.

1.6 Paragog

Merupakan gejala penambahan fonem pada akhir kata. Contoh lamp (Bld)lampu, inainang, adiadik.


(3)

Analogi ialah proses mengubah bentuk kata menjadi bentuk lain berdasarkan bentuk-bentuk yang sudah ada. Dalam bahasa Sansekerta terdapat kata dewa ‘hiang laki-laki’ dan dewi ‘hiang perempuan. Contoh lain dalam bahasa Indonesia seperti saudara-saudari, siswa-siswi, pemuda-pemudi, mahasiswa-mahasiswi. Sufiks –wan dipakai untuk menyatakan jenis kelamin laki-laki. Berdasarkan bentuk kata hartawan dan rupawan dibentuk pula kata-kata baru dalam bahasa Indonesia seperti olahragawan, negarawan, dan peragawan. Sufiks –wati dipakai pula menyatakan jenis kelamin perempuan. Dengan demikian kita jumpai pula bentuk seperti peragawati. wartawati, hartawati.

Dalam bahasa Inggris kita jumpai pula perbedaan bentuk kata actor dan actress, director dan directrees. Dengan demikian berarti bentuk aktor, aktris, direktur dan direktris adalah bentuk kata yang dipinjam utuh dari bahasa tersebut. Jadi tidak berdasarkan analogi seperti –wan dan –wati di atas. Akan tetapi, bahasa Indonesia secara umum tidak mengenal bentuk maskulin dan feminim, maka bentuk analogi seperti di atas sebaiknya dibatasi.

Dalam bahasa Indonesia kita jumpai pula bentuk sedari yang artinya sama dengan ‘sejak dari’. Berdasarkan bentuk ini kemudian dapat pula dibentuk kata lain yang hampir atau sama artinya dengan kata semula seperi contoh berikut:

Masasemasa lagiselagi Waktusewaktu masihsemasih

1.2.5 Hiperkorek

Hiperkorek yaitu cara penulisan kata yang sudah benar, dibenarkan lagi sehingga menjadi salah. Akhirnya yang salah itulah yang dipakai dalam ucapan dan penulisan sehari-hari. Gejala ini dapat dikatakan sebagai analogi yang salah terhadap bunyi-bunyi yang berasal dari bahasa asing, maupun terhadap artikulasi alat bicara yang memproduksi bunyi-bunyi tersebut. Kesalah tafsiran mengenai bunyi-bunyi itu akhirnya mempengaruhi proses pembentukan kata yang menyimpang dari kaidah-kaidah umum yang berlaku. Gejala ini dapat diklasifikasikan menjadi hiperkorek vokal dan hiperkorek konsonan.

1.2.5.1 Hiperkorek vokal

Hiperkorek ini terjadi karena pengaruh hukum sandi atau peleburan bunyi. Disamping itu dapat pula disebabkan oleh analogi yang salah terhadap bunyi vokal atau diftong bahasa asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia. Hiperkorek ini dibagi menjadi monoftongisasi dan diftongisasi.


(4)

Gejala ini berasal dari pengaruh hukum sandi dimana bunyi [au] dan [ua] dilebur menjadi bunyi [o]. begitu pula bunyi [ia] dan [ai] dilebur menjadi [e] seperti contoh berikut:

Pulaupulo kabupatiankabupaten Kerbaukerbo pantaipante

Sajiansajen rantairante taubat tobat taufantopan b) Diftongisasi

Kebalikan dari monoftongisasi adalah diftongisasi. Orang sering pula menjadikan bunyi vokal menjadi diftong seperti contoh berikut:

Anggotaanggauta Sentosasentausa Teladan  tauladan

1.2.5.2 Hiperkorek konsonan

Hiperkorek konsonan terutama disebabkan karena salah tafsir mengenai artikulasi alat bicara yang menghasilkan bunyi-bunyi tertentu, terutama bunyi-bunyi yang tidak terdapat dalam bahasa sendiri. Disamping itu kadang-kadang juga dapat disebabkan karena pengaruh gaya bahasa yang ingin meniru ucapan kata bahasa aslinya.

a. Konsonan /b/ dan /p/

Bunyi /b/ bilabial bersuara, dianggap bunyi /p/ bilabial tak bersuara terutama dalam beberapa kata, perbedaan kedua bunyi ini boleh dikatakan tidak kentara lagi. Dalam hal ini kedua bunyi tersebut bersifat arkhifonem. Akibatnya dalam penulisan pun sering terdapat kekeliruan seperti terlihat pada contoh berikut :

sabtusaptu adabadap lembablembap


(5)

Dalam bahasa Melayu tidak dijumpai fonem /f/ yang ada adalah fonem /p/. Sebaliknya dalam bahasa Arab tidak ada fonem /p/ yang ada adalah fonem /f/. Dalam bahasa Melayu fonem /f/ biasanya dilafalkan dengan fonem /p/ sehingga kata-kata Arab berlafalkan /f/ berubah menjadi /p/ seperti pada contoh berikut.

Fahampaham Hafal (h)apal Fasal pasal Maafmaap

c. Konsonan /f/ dan /v/

Bunyi /f/ labiodental tak bersuara dan bunyi /v/ labiodentals bersuara keduanya merupakan fonem asing dalam bahasa Melayu. Dalam bahasa Indonesia kedua bunyi itu dianggap sebagai satu bunyi dan diucapkan sebagai bunyi tak bersuara. Kata variasi, vokal, lava, universitas sering diucapkan fariasi, fokal, lafa, unifersitas. Dalam sistem penulisan Bahasa Indonesia ditetapkan bahwa penulisan kata serapan dari bahasa asing sedapat mungkin hendaknya mendekati bentuk aslinya. Misalnya kata fabricpabrik, factorfaktor, familyfamili, figurefigur. Sebaliknya kata visa, Vatican, dan valid ditulis seperti aslinya, bukan fisa, fatican, dan falid.

Jadi dalam bahasa Indonesia bunyi /f/ dan /v/ hanya dianggap sebagai satu bunyi saja, maka dalam pemakaiannya (tulisan) sering dikacaukan orang.

d. Konsonan /t/ dan /d/

Bunyi /t/ apikoalveolar tak bersuara sering dianggap bunyi /d/ apikoalveoalar bersuara. Sebab dalam beberapa kata kedua bunyi ini juga bersifat arkhifonem. Contoh:

derajatderajad ahadahat kodratkodrad

Bunyi lain yang juga bersifat arkhifonem adalah konsonan /s/ dan /z/ seperti pada kata azasasas.

e. Konsonan /s/ dan /sy/

Dalam bahasa melayu tidak terdapat fonem /sy/ (Arab) sehingga pengucapan fonem /sy/ sering dilafalkan dengan fonem /s/ contoh musyawarah  musawarah, masyarakatmasarakat, syukursukur. Dalam bentuk tertulis sahsyah, surgasyurga, insafinsyaf.


(6)

Bunyi /z/ dalam bahasa Melayu pada mulanya berasal dari bahasa Arab seperti kata ziarah, izin, zamrud, zaman dan zakat. Kemudian kosa kata bahasa Indonesia juga menyerap dari berbagai bahasa asing seperti zebra, zeus, zoology dan lain-lain. Pengkacauan ini muncul dalam contoh-contoh berikut Zamanjaman, Zamrudjamrud, Ziarahjiarah. Anehnya hal ini tidak terjadi pada serapan bahasa asing lainnya.

g. Konsonan /k/ dan /kh/

Dalam bahasa Arab terdapat bunyi-bunyi /kh/ seperti khalik, khabar, khayal, ikhtisar, dan akhir. Bunyi /kh/ dalam artikulasi bahasa Indonesia lebih dekat kepada bunyi /k/. Oleh sebab itu dalam kosa kata bahasa Indonesia kita jumpai kata-kata seperti

Khalik kalik

Khabar kabar

Khayal kayal

Ikhtisar iktisar

Akhir akir

Selain perubahan /kh//k/ menurut Badudu (1974:40) dalam bahasa Indonesia terdapat pula kecenderungan untuk mengubah ke bunyi /h/. Hal ini karena pengaruh bahasa Sunda yang biasa menulis /kh//h/. Berdasarkan hal tersebut maka perubahan gejala bahasanya dapat digambarkan sebagai berikut:

Khalik kalik halik

Khabar kabarhabar Khayal kayalhayal

Ikhtisar iktisar ihtisar