Resensi Buku Mediasi Penal

  

Judul : Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak

Indonesia Penulis : DS. Dewi., Fatahillah A. Syukur. Jumlah Hlm. : xxvi + 228 Penerbit : Indiepro Publishing Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Anak

  Di tiga dasawarsa terakhir dunia hukum mengalami perubahan yang cukup signifikan terutama dalam cara pandang dan penanganan terhadap Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). Negara-negara maju di Eropa dan Amerika perlahan mulai meninggalkan mekanisme system peradilan anak yang bersifat represif, karena system tersebut dinilai telah gagal dalam merubah tingkah laku dan mengurangi tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh anak.

  Hal itu lah yang membawa pemikiran progressif dan bersifat alternative dalam penanganan anak. Penanganan anak dengan cara orang dewasa tidak dapat diterapkan, maka dengan berdasarkan hasil kajian dan riset dalam buku ini penulis berpendapat kaitannya dengan aspek psikologis, bahwa anak bukanlah miniatur orang dewasa, bila ditinjau dari peningkatan kesadaran yang dimilikinya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa anak bukanlah pelaku murni melainkan dipandang sebagai korban, karena pengaruh dari lingkungan dimana mereka dibesarkan.

  Sebelumnya negara-negara maju di dunia telah disinggung diatas, telah menyepakati tentang penanganan terhadap ABH dengan memasukannya kedalam instrument Hak Asasi Manusia, hal itu dapat dilihat dari beberapa konvensi yang diadakan sejak tahun 1948, yaitu Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), lalu Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik di tahun 1966, dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan/Hukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan di tahun 1984.

  Dari Konvensi tersebut akhirnya menimbulkan kesepakatan dalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) di tahun 1990 dengan dilengkapi instrument internasional yang memuat petunjuk umum dan khusus yang dimuat pada buku ini oleh penulis. Selain itu dari hasil beberapa tahun konvensi menumbuhkan paradigma baru dalam menghindarkan ABH dari system peradilan anak, yang sekarang disebut Restorative Justice atau keadilan restoratif. Menurut George Pavlich dalam bukunya berjudul “Towards an Ethics of Restorative Justice”, tujuan dari keadilan restoratif adalah untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum, dengan menggunakan kesadaran dan keinsafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat. Sedangkan Martin Wright berpendapat dalam suatu kajian bahwa konsep dari keadilan restoratif sebenarnya sederhana, dengan melihat ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis, atau hukuman); namun perbuatan yang menyakitkan itu dapat disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggung jawab dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan. Bila kita melihat dari tujuan dan konsep keadilan restoratif yang dikemukakan diatas, hal tersebut seyogyanya adalah ciri khas dari bangsa Indonesia, yang umumnya lebih mengemukakan jalan musyawarah dalam menyelesaikan permasalahan dalam masyarakat. Hal ini ditekankan oleh penulis bahwa ukuran keadilan bukan berdasarkan keadilan retributive semata berupa balas dendam (an eye for an eye), atau hukuman penjara, namun lebih pada keinsafan dan pemaafan, maka dalam buku ini penulis menuliskan beberapa pokok atau nilai- nilai dari pentingnya keadilan restoratif, yaitu:

  1. Keadilan restoratif lebih peduli terhadap pemulihan korban dan komunitas daripada hukuman terhadap pelaku.

  2. Keadilan restoratif meningkatkan peran korban dalam proses peradilan pidana melalui peningkatan keterlibatan, masukan dan pelayanan.

  3. Keadilan restoratif mensyaratkan pelaku untuk secara langsung mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada korban atau komunitas.

  4. Keadilan restoratif mendorong seluruh komunitas untuk terlibat dalam pemulihan korban dan pelaku.

  5. Keadilan restoratif menyadari tanggung jawab komunitas terhadap kondisi sosial yang berpengaruh terhadap perbuatan pelaku. Nampak pada nilai-nilai tersebut bahwa penanganan terhadap ABH cenderung melibatkan kepada pihak yang berkaitan dengan anak itu sendiri, seperti yang dikemukakan diatas bahwa anak bukanlah pelaku murni, melainkan korban dari lingkungan dimana dia berada, sehingga dalam penangangan terhadap ABH lebih diarahkan kepada jalan musyawarah. Musyawarah sebagai dasar penyelesaian sengketa yang digunakan oleh masyarakat sehari-hari adalah alat efektif untuk menjaga keteraturan dan ketertiban umum. Dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Mediasi di Pengadilan, bila diejawantahkan kata mediasi secara mekanismenya sama dengan musyawarah. Hal inilah yang melandasi penulis untuk menggunakan mediasi penal dalam penerapan hukum baik berkaitan dengan pidana maupun perdata di Indonesia. Pendekatan secara teori dan praktik mengupas jauh dalam menganalisis mediasi penal, serta problematika saat tahap pengimplementasiannya dijelaskan dalam BAB 3, BAB 4, BAB 5 dan BAB 6 buku ini. Selain itu tidak lupa juga paparan tentang penerapan mediasi penal di negara lain sebagai bahan studi komparasi, termuat dalam BAB 7 buku ini. Dari sedikit uraian tentang munculnya ide dan konsep tentang penanganan ABH diatas, sedikitnya dapat untuk diketahui bahwa Mediasi Penal yang menjadi gagasan utama dalam penulisan buku ini kongkritnya masih belum dapat dilaksanakan di Indonesia, hal ini dikarenakan belum ada peraturan berbentuk undang-undang yang bisa menjadi payung hukum bagi pelaksanannya. Meskipun sebenarnya Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Pengadilan Anak sudah membuka kemungkinan agar sebisa mungkin anak dihindarkan dari peradilan pidana dan bila dilakukan hanya sebagai upaya terakhir, untuk itu penerapan mediasi penal sebagai salah satu alternative penghindaran dari peradilan pidana dalam penanganan ABH sudah mempunyai dasar hukum yang terkandung dalam prinsip tersebut. Didorong lagi dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tahun 2009, yang telah ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial, serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, yang sejauh ini dapat dijadikan dasar hukum untuk kasus ABH di Indonesia.

  Buku ini dapat dijadikan kritik dalam pembangunan hukum di Indonesia, karena dari sekian banyak kasus hukum khususnya ABH, senyatanya membutuhkan perhatian yang serius dari aparat penegak hukum agar tidak lagi memperlakukan anak sebagai kriminal. Untuk itu solusinya adalah budaya Indonesia yang menjunjung tinggi terpeliharanya keharmonisan di antara keluarga dan masyarakat, dengan melindungi anak dari ancaman penjara, maka suatu konflik tidak selalu dianggap sebagai suatu yang negatife dan merusak, tetapi dapat juga dianggap sebgai sebuah kesempatan untuk membina hubungan yang lebih baik lagi.