MEDIASI PENAL PENGADILAN RAKYAT DALAM PU

MEDIASI PENAL : PENGADILAN RAKYAT DALAM PUSARAN HUKUM PIDANA
NASIONAL MODERN (KAJIAN POLITIK HUKUM SOEPOMO)
Oleh
Benny Sumardiana, S.H., M.H.
(Pengajar Hukum Acara Pidana, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang
Email : benny.sumardiana@gmail.com)
ABSTRAK
Ilmu Hukum merupakan pengetahuan yang dinamis, perkembangannya selalu mengikuti apa
yang terjadi didalam masyarakat. Dinamisnya ilmu hukum tersebut berdampak pada tuntutan
akan selalu adanya pembaharuan terhadap ilmu hukum. Ibarat sebuah model, pembaharuan ilmu
hukum tidak senantiasa selalu melahirkan hal yang baru namun terkadang dapat kembali
mengevaluasi hal-hal positif pada konsep-konsep yang pernah terjadi diwaktu yang telah lampau.
Mediasi penal merupakan sebuah bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang menuntut
masyarakat kembali pada penyelesaian sengketa pola lama ketika proses peradilan hukum yang
kaku tersebut belum dilahirkan. Masyarakat Indonesia dengan kebudayaannya yang tinggi selalu
mengajarkan musyawarah dalam menyelesaikan masalah untuk mendapatkan win win solution
bukan win lose solution seperti yang didapatkan dalam peradilan. Ide ini sejalan dengan mediasi
penal yang mencoba mengedepankan mekanisme informal dalam penyelesaian sengketa yang
sesuai dengan standar hak asasi manusia. Dalam mekanisme informal tersebut beberapa model
diantaranya menjadikan pemuka adat, kepala desa, atau kepala lingkungan untuk menjadi
penengah dalam menyelesaikan permasalahan antara masyarakatnya. Konsep Mediasi Penal

seperti inilah yang dimaksudkan sebagai pengadilan rakyat, pengadilan yang tercipta dari, oleh,
dan untuk rakyat itu sendiri.
Pola ini berkaitan dengan pemikiran Soepomo yang menyebutkan “Kepala desa, atau kepala
rakyat wajib menyelenggarakan keinsafan keadilan rakyat, harus senantiasa memberi
bentuk (gestaltung) kepada rasa keadilan dan cita-cita rakyat. Oleh karena itu kepala rakyat
“memegang adat” (kata pepatah minangkabau) senantiasa bermusyawarah dengan rakyatnya atau
dengan kepala-kepala keluarga dalam desanya supaya pertalian batin antara pemimpin dan
rakyat seluruhnya senantiasa terpelihara”.
Di era dimana masyarakat latah hukum yang seperti seolah-olah mengetahui hukum dengan baik
bila ada perkara selalu diarahkan pada peradilan pidana formal, maka sudah saatnya masyarakat
kembali diarahkan pada mediasi penal sebagai pengadilan rakyat yang lebih mengedepankan
musyawarah dalam mendapatkan solusinya.
Kata kunci : Mediasi Penal, Pengadilan rakyat, politik hukum Soepomo



Artikel ini telah di publish dan disajikan dalam Konferensi Bertema “Pemikiran Soepomo Dan Muhammad Yamin
(Mengurai dan Merangkai Orisinalitas Pemikiran Soepomo & Muhammad Yamin)”, yang diselenggarakan oleh
Universitas Islam Bandung (UNISBA) di Bandung.


PENDAHULUAN
Perkembangan hukum masyarakat Indonesia saat ini berjalan sangat pesat, kesadaran akan
pentingnya pengetahuan hukum dalam kehidupan masyarakat juga berjalan seiringan. Hal
tersebut pada dasarnya diimbangi pula dengan semakin meningkatnya tingkat kejahatan, hal ini
dapat dimaklumi karena semakin berkembangnya kehidupan tantangan dalam memenuhi
kebutuhan pada masyarakatpun semakin besar sehingga sangat memungkinkan adanya gesekangesekan diantara masyarakat.
Masyarakat terus berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Perkembangan IPTEK juga diikuti dengan perkembangan
jenis-jenis kejahatan. Menurut Saparinah Sadli, kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah
satu bentuk dari perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat,
tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan.1 Pada awalnya, hanya kejahatan konvensional
yang dianggap sebagai kejahatan, namun dalam perkembangannya, muncul jenis-jenis kejahatan
baru yang kompleks seiring dengan perkembangan masyarakat tersebut.
Penegakan hukum saat ini semacam sedang menghadapi situasi yang mengharuskan untuk
memilih antara memberikan efek jera dengan mengembalikan kerugian yang dialami oleh
korban. Masyarakat cukup lelah dalam menghadapi meningkatnya kejahatan yang muncul, pada
dasarnya masyarakat ingin pelaku mendapatkkan hukuman yang setimpal atau bahkan lebih
berat dari kerugian yang mereka alami namun saat law enforcement akan dilaksanakan mereka
juga ragu apakah kerugian materiil yang muncul dapat dikembalikan selain itu tingkat
ketidakpercayaan pada hukum itu sendiri membuat pilihan itu semakin sulit.

Secara ideal Hukum mempunyai fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan
manusia (seluruh manusia tanpa terkecuali). Oleh karena itu maka hukum harus dilaksanakan
agar kepentingan manusia tersebut dapat terlindungi. Dalam pelaksanaannya, hukum dapat
berlangsung secara normal dan damai, akan tetapi dapat juga terjadi pelanggaran-pelanggaran
hukum dalam prakteknya. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan.
Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada
tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu : kepastian hukum (Rechtssicherheit),
kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit).
Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya
hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku; fiat
justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang
diinginkan oleh kepastian hukum. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum. Karena
dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Sebaliknya masyarakat
mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Masyarakat sangat
berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan. Dalam
pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil.
Dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu sistem yang dapat menyelesaikan segala
permasalahan hukum untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur.
Sistem tersebut tentunya sebisa mungkin dapat diaplikasikan dalam masyarakat Indonesia yang
majemuk artinya secara konsep harus dapat mengakomodasi hukum yang hidup dalam

masyarakat. Jauh pada saat Indonesia belum merdeka dahulu meski belum dikenal hokum
tertulis namun bentuk-bentuk kejahatan telah banyak bermunculan, seperti penganiayaan,
perzinahan, penipuan, pencurian, pemerkosaan, hingga pembunuhan dan sebagainya. Masyarakat
1

Sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan
Pidana, Alumni, Bandung, 1998, hal. 148

terdahulu selalu mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan sengketa permasalahan
hokum yang muncul selain karena belum dilahirkannya hokum yang formal masyarakat juga
cenderung merasa lebih mudah dalam menyelesaikan masalah dan mendapatkan solusi yang
terbaik.
Bila dikaitkan dengan saat ini dimana hokum formal telah diatur, maka kita dapat melihat situasi
yang bertentangan. Setidaknya dapat dilihat dari hilangnya proses rembug atau musyawarah
untuk mendapatkan solusi yang terbaik yang ada hanyalah proses perlawanan, saling membela
diri dan menguatkan posisi dalam peradilan pidana formal.
Sebenarnya kita telah mengenal proses penyelesaian sengketa hokum pidana yang disebut
mediasi penal, konsep mediasi penal juga tidak jauh berbeda dengan penyelesaian sengketa
hokum dalam masyarakat Indonesia secara tradisional dulu. Mediasi penal sendiri merupakan
salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (yang biasa dikenal dengan

istilah ADR atau ”Alternative Dispute Reso-lution”; ada pula yang menyebutnya “Apro-priate
Dispute Resolution” 2). ADR pada umumnya digunakan di lingkungan kasus-kasus perdata3,
tidak untuk kasus-kasus pidana. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
saat ini (hukum positif) pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan,
walaupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar
pengadilan. Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam
sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesai-kan di luar pengadilan
melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui mekanisme musyawarah/
perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di dalam masyarakat (musyawarah keluarga;
musya-warah desa; musyawarah adat dsb.). Praktek penyelesaian perkara pidana di luar
pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus
yang secara informal telah ada penyelesaian damai (walaupun melalui mekanisme hukum adat),
namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku. Dalam perkembangan
wacana teoritik maupun perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai negara, ada
kecenderungan kuat untuk menggunakan mediasi pidana/penal sebagai salah satu alternatif
penyelesaian masalah di bidang hukum pidana. Menurut Prof. Detlev Frehsee, meningkatnya
penggunaan restitusi dalam proses pidana menunjukkan, bahwa perbedaan antara hukum pidana
dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi 4.
Dapat disimpulkan bahwa mediasi penal dapat digunakan dalam proses menyelesaikan sengketa
hukum didalam masyarakat khususnya hukum pidana. Terobosan ini pelaksanaannya

memerlukan kajian hukum yang lebih mendalam agar tidak terjadi tumpang tindih proses
peradilan pidana sampai nantinya akan diaplikasikan pada masyarakat sebagai salah satu pilihan
terbaik dalam menyelesaikan sengketa hukum diantara mereka. Karena tentu saja setiap konsep
hukum selalu memiliki kelebihan dan kekurangan dalam teori dan pelaksanaannya sehingga
selalu memunculkan reaksi dalam masyarakat apalagi ini terkait dengan penyelesaian sengketa
hukum yang masih bersifat sensitive dalam masyarakat.

2

New York State Dispute Resolution Association, Inc., Alternative Dispute Resolution in New York State,
An Overview, sbr internet.
3
Lihat UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
4
Detlev Frehsee (Professor of Criminology and Criminal Law, University of Bielefeld, Germany),
“Restitution and Offender-Victim Arrangement in German Criminal Law: Development and Theoretical
Implications”, http://wings.buffalo.edu/law/ bclc/bclr.htm

Pembahasan
A. Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Yang Berbasis Pada Living

Law
Masyarakat hukum adalah himpunan berbagai kesatuan hukum (legal unity), yang satu sama lain
terikat dalam suatu hubungan yang teratur. Kesatuan hukum yang membentuk masyarakat
hukum itu dapat berupa individu, kelompok, organisasi atau badan hukum negara, dan kesatuankesatuan lainnya. Guna mengatur hubungan antar kesatuan hukum itu diperlukan hukum, yaitu
suatu kesatuan sistem yang tersusun atas berbagai komponen. Pengertian tersebut merupakan
refleksi dari kondisi obyektif berbagai kelas masyarakat hukum, yang secara umum dapat
diklasifikasikan atas tiga golongan utama, yaitu: pertama, masyarakat sederhana; kedua,
masyarakat negara; dan ketiga, masyarakat internasional.5
Hukum itu sendiri nantinya akan mengatur permasalahan masyarakat yang sangat komplek,
dengan pendekatan formil dan materiil-nya hukum diharapkan dapat menyentuh segala sendi
permasalahan dalam masyarakat. Karena pada khususnya hukum pidana subjek dan objeknya
berkembang semakin meluas tiap waktunya. Lilik Mulyadi menyebutkan dimensi ilmu hukum
hakikatnya teramat luas, diibaratkan sebuah ”pohon”, hukum adalah sebuah pohon besar dan
rindang yang terdiri dari daun, akar, ranting, batang, buah yang teramat lebat, karena begitu
lebatnya hukum tersebut dapat dikaji dari perspektif asasnya, sumbernya, pembedaannya,
penggolongannya dan lain sebagainya. Apabila dikaji dari perspektif penggolongannya hukum
dapat diklasifikasikan berdasarkan sumbernya, bentuk isinya, tempat berlakunya, masa
berlakunya, cara mempertahannkannya, sifatnya dan berdasarkan wujudnya.6 Artinya diperlukan
penanganan secara khusus untuk mengatasi luasnya cakupan yang terdapat dalam hukum itu
sendiri.

Mediasi penal (penal mediation) sering juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain :
“mediation in criminal cases” atau ”mediation in penal matters” yang dalam istilah Belanda
disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jer-man disebut ”Der Außergerichtliche Tataus-gleich”
(disingkat ATA7) dan dalam istilah Perancis disebut ”de mediation pénale”. Karena mediasi
penal terutama mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi penal
ini sering juga dikenal dengan istilah ”Victim-Offender Medi-ation” (VOM), Täter-OpferAusgleich (TOA), atau Offender-victim Arrangement (OVA).
Mediasi penal berdekatan erat dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Bentuknya yang
nonformal menyebabkan mediasi penal dapat disisipi dengan nilai-nilai yang tumbuh dalam
masyarakat, baik nilai budaya, nilai agama, sopan santun, bahkan hukum itu sendiri. mediasi
penal diibaratkan sebagai sarana penegakan hukum yang menawarkan win-win solution, sama
halnya dengan penegakan hukum lainnya mediasi penal pun didalamnya terkandung nilai-nilai
atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial dan sebagainya. Kandungan
hukum itu bersifat abstrak. Menurut Satjipto Raharjo sebagaimana dikutip oleh Ridwan HR,
penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep yang
abstrak itu. Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi
kenyataan. 8
5

Lili Rasjidi, Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya,
Bandung 2003, hlm. 152-153.

6
Lilik Mulyadi. 2012. Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus. Bandung : PT. Alumni. hal. 12
7
Di Austria terdiri dari ATA-J (Außergerichtlicher Tatausgleich für Jugendliche) untuk anak, dan ATAE (Außergerichtlicher Tatausgleich für Erwachsene) untuk orang dewasa.
8
. Ridwan HR. Hukum administrasi Negara. PT.RajaGrafindo. Jakarta. 2006. hal. 306

Menurut Soerjono Soekanto bahwa penegakan hukum itu terletak pada suatu kegiatan yang
menyerasikan hubungan dari nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah/pandanganpandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran
nilai tahap akhir untuk menciptakan (sebagai social engineering), memelihara dan
mempertahankan (sebagai social control) kedamaian pergaulan hidup.9
Menurut Soerjono Soekanto secara umum ada 5 (lima) faktor yang mempenguruhi penegakan
hukum yaitu : 10
a. Faktor hukum itu sendiri;
b. Faktor penegak hukum yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan
hukum
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut diatas saling berkaitan dengan eratnya, karena merupakan esensi dari
penegakan hukum serta merupakan tolok ukur dari pada efektifitas penegakan hukum.
Menurut Mertokusumo sebagaimana dikutiop oleh Gatot. P. Soemartono Penegakan hukum
mempunyai makna, bagaimana hukum itu harus dilaksanakan, sehingga dalam penegakan hukum
tersebut harus diperhatikan unsur-unsur 1. kepastian hukum, 2. kemanfaatan, 3. keadilan. 11
Dalam “Explanatory memorandum” dari Rekomendasi Dewan Eropa No. R (99) 19 tentang
“Mediation in Penal Matters”, dikemukakan beberapa model mediasi penal sebagai berikut : 12
Model "informal mediation"
Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana (criminal justice person-nel) dalam tugas
normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum) dengan mengundang para
pihak untuk mela-kukan penyelesaian informal dengan tujuan, tidak melanjutkan penun-tutan
apabila tercapai kesepakatan; dapat dilakukan oleh pekerja sosial atau pejabat pengawas
(probation officer), oleh pejabat polisi, atau oleh Hakim.
Model "Traditional village or tribal moots"
Menurut model ini, seluruh masyarakat bertemu untuk memecahkan konflik kejahatan di antara
warganya. Model ini ada di beberapa negara yang kurang maju dan di wilayah pedesaan/
pedalaman. Model ini lebih memilih keuntungan bagi masyarakat luas.
Model "victim-offender mediation"
Mediasi antara korban dan pelaku merupakan model yang paling sering ada dalam pikiran orang.
Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk.

Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana; ada yang khusus untuk
anak; ada yang untuk tipe tindak pidana tertentu (misal pengutilan, perampokan dan tindak
kekerasan). Ada yang terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada juga
untuk delik-delik berat dan bahkan untuk recidivist.
Model ”Reparation negotiation programmes"
Model ini semata-mata untuk menaksir/ menilai kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar
oleh pelaku tindak pidana kepada korban, biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan.
9

. Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor Yang Penegakan Hukum. Jakarta. Bina Cipta. 1983. hal. 13.
. Soerjono Soekanto. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali Press. 1983.
Jakarta. hal. 4-5
11
. Gatot. P. Soemartono. Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika. hal. 65.
12
sfm.jura.uni-sb.de/archives/images/mediation-en%5B1%5D.doc
10

Model "Community panels or courts"
Model ini merupakan program untuk membelokkan kasus pidana dari penun-tutan atau peradilan
pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan infor-mal dan sering melibatkan unsur
mediasi atau negosiasi.
Model "Family and community group conferences"
Model ini melibatkan partisipasi masyarakat dalam SPP (sistem peradilan pidana). Tidak hanya
melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan warga masyarakat
lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim anak) dan para pendukung korban. Pelaku dan
keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan yang kompre-hensif dan memuaskan korban
serta dapat membantu untuk menjaga sipelaku keluar dari kesusahan/persoalan berikutnya.
Dari bentuk model mediasi penal diatas dapat terlihat bahwa masyarakat secara dominan dapat
menentukan kesepakatan yang tepat antara pelaku dan korbannya sehingga beberapa nilai
keuntungan dapat dicapai melalui proses mediasi penal tersebut :
a. Adanya win-win solution yang dicapai dari mediasi tersebut
b. Efek jera tetap akan muncul karena masyarakat berhak menentukan hukuman yang
pantas terhadap pelaku
c. Proses informal menyebabkan nilai atau norma hukum lain dapat disisipkan tidak sematamata hukum nasional yang disadur dari hukum belanda yang kadang menghilangkan nilai
budaya bangsa
d. Budaya musyawarah yang juga bisa dipertahankan
Dengan mediasi penal kita dapat menegakan hukum dengan model yang sebenarnya telah
dimiliki oleh bangsa ini sejak dahulu, dan utamanya dapat menghidupkan hukum yang hidup
dalam masyarakat dengan harapan keadilan dapat dirasa oleh masyarakat secara keseluruhan.
B. Kajian Politik Hukum Soepomo dalam Mediasi Penal
Pada dasarnya mediasi penal secara tidak langsung berkaitan erat dengan hukum adat utamanya
hukum yang hidup dalam masyarakat. Mediasi penal menumbuhkan kembali living law di
Indonesia dengan menyisipkannya pada tiap model dan putusan yang dilahirkan dari mediasi
penal tersebut. Berdasarkan pada pemikiran tersebut artikel ini mencoba mengkajinya dengan
kajian politik seorang Soepomo.
Pandangan Soepomo tentang paradigma konstitusi mengalami pertumbuhan. Ia bukanlah pemikir
hukum yang statis, melainkan filsafat hukumnya terbuka bagi segala kaidah pemikiran modern,
utamanya dengan ide-ide demokrasi dan hak asasi manusia. Namun ia tetap mempertahankan
semangat kebatinan dari hukum adat sebagai sumber material rekonstruksi konstitusi yang hidup
di dalam sanubari rakyat Indonesia.13 Selaras dengan ide pembaharuan dalam mediasi penal,
konsep mediasi penal pun dikreasikan dalam model yang sesuai dengan hukum formal yang
berlaku namun dengan tidak meninggalkan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat yang
kita kenal dengan living law atau living constitution.
Konstitusi yang hidup (living constitution) adalah sebuah konsep refleksi atas metafisika
kebangsaan. Sebagai pakar hukum adat, Soepomo menjadi nilai-nilai yang bersumber dari
masyarakat itu sebagai pilar pembangunan konstitusi. Seperti yang diungkapkan oleh George
McT. Kahin, bahwa konstitusi Indonesia punya kesepakatan besar dengan hukum kebiasaan

13

Jimly Asshidiqie dalam buku Soepomo: Pergulatan Tafsir Negara Integralistik Biografi Intelektual,
Pemikiran Hukum Adat, dan Konstitusionalisme. Hal. 72

Indonesia.14 Soepomo punya peran besar, dalam menerjemahkan hukum adat dan
mengangkatnya sebagai norma hukum konstitusi Indonesia. Secara empiris, hukum adat itu
sendiri itulah, metafisika kebangsaan yang diracik oleh Soepomo supaya tidak menjadi masa
lalu, melainkan sumber dari perkakas yang berguna untuk menatap masa depan.
Pemikiran Soepomo tersebut pada akhirnya menjadi jambatan pemikiran pada artikel ini.
Sebagaimana kita mengetahui mediasi penal telah lama lahir dalam jiwa bangsa Indonesia
melalui musyawarah untuk mufakatnya dalam menyelesaikan tiap permasalahan yang muncul
dalam masyarakat, dan kini budaya masyarakat yang baik tersebut dicoba untuk dipertahankan
kembali melalui konesp mediasi penal.
Sepertihalnya Mahkamah Konstitusi mewarisi semangat yang diajarkan oleh Soepomo. Dalam
praktek sekarang, kedudukan kesatuan masyarakat adat (zelfbesturende landschappen) punya
ruang tersendiri yang diakui sebagai pihak dalam uji material, misalnya. Pengadilan punya andil
besar dalam mengangkat derajat dan emansipasi warganya. Bagi Soepomo, bahkan Peradilan
Desa sekalipun, merujuk pada keputusan Pengadilan Tinggi (Raad van Justitie) Semarang
tanggal 28 Pebruari 1930, putusannya „tidak boleh diusik-usik dengan pertimbangan jang
dangkal.‟15
Kepastian hukum tetap dapat dicapai dalam konsep mediasi penal begitupun dengan munculnya
efek jera. Karena kepatuhan masyarakat akan hukum dilahirkan atas kesepakatan pada awalnya,
sehingga konsep kesepakatan dalam mediasi penal bukanlah masalah dalam melahirkan efek jera
ibarat pada kepatuhan pada tradisi.
Kepatuhan terhadap tradisi disebabkan karena hal tersebut memiliki kegunaan praktis,
penyimpangan terhadap kebiasaan umum membuat seseorang dapat dipandang mengelikan, tidak
tau aturan atau tidak tahu sopan santun yang dapat menimbulkan konsekuensi bagi seseorang
yang berperilaku menyimpang tersebut. sehingga tidaklah beda dengan warga jakarta, mereka
mentaati hukum karena transaksional dengan kepentingan pribadi mereka sendiri. apabila ia
berani melanggar hukum, maka ada konsekuensi yang dapat merugikannya baik secara pribadi
maupun secara sosial.16
Cara berpikir historical jurisprudence menjangkiti soepomo dalam melihat perkembangan
hukum suatu bangsa, apabila savigny melihat perkembangan hukum yang tejadi di Romawi
dengan latar belakang perjalanan historis masyarakat tersebut, Soepomo juga ingin melihat
perkembangan masyarakat indonesia dalam konteks perkembangan historis masyarakatnya.
Dalam buku hubungan individu dan masyarakat
dalam hukum adat, beliau mengawali perkembangan hukum eropa yang mendasarkan prinsip
utamanya dalam semangat individualisme yang melahirkan sistem hukum eropa sekarang.
Dalam melihat hukum adat, soepomo berpandangan bahwa masyarakat indonesia berbeda
dengan masyarakat eropa, nilai-nilai kolektivitas lebih diutamakan dibandingkan nilai-nilai
individualisme dalam masyarakat eropa, sehingga corak hukum adat harus dilihat dalam
perspektif masyarakat kolektif.
Dalam hukum adat, manusia bukan individu terasing yang bebas dari segala ikatan dan sematamata hanya mementingkan keuntungan pribadi, tetapi kepentingan masyarakat diatas segalanya.
14

Dalam pengantar anotasi Soepomo atas Undang-Undang Dasar Sementara 1950, George McT Kahin di
Ithaca, New York pada 10 Maret 1964
15
ibid
16
Syukron Salam dalam buku Soepomo: Pergulatan Tafsir Negara Integralistik Biografi Intelektual,
Pemikiran Hukum Adat, dan Konstitusionalisme. Hal. 238

didalam hukum adat, yang primer masyarakat, bukan individu. Meskipun bukan berarti hak-hak
anggota masyarakat sebagai individu tercerabut dari akar asasinya, tetapi tujuan dari kepentingan
individu harus diarahkan demi tujuan sosial. Pandangan ini seakan-akan menghayutkan hak-hak
individu didalam kepentingan masyarakat, sebenarnya tujuan sosial yang ingin dicapai dalam
suatu masyarakat merupakan tujuan-tujuan dari masing-masing individu. Apabila tiap-tiap
individu mengajukan kepentingannya masing-masing, akan terjadi kekacauan sosial yang tak
berkesudahan, masyarakat sebagai suatu institusi sosial menjadi ruang bagi tiap-tiap individu
untuk mempertemukan tiap-tiap kepentingannya untuk secara bersama-sama mencapai
kepentingan tersebut.
Sejalan dengan konsep mediasi penal yang secara tersirat juga mengangkat permasalahan
individu untuk dijadikan sebagai pembelajaran dalam masyarakat. Tujuan sosial ini yang tidak
dapat terwakili oleh peradilan pidana formal. Harus kita sadari dalam hukum pidana, tiap
kejahatan selalu terkait dengan masyarakat lain. Karena tiap perbuatan jahat yang dibiarkan
berarti juga merupakan ancaman terhadap masyarakat lainnya maka perlu ada pengawasan juga
terhadap proses penyelesaiannya, dan mediasi penal dapat mewakili tujuan tersebut.
C. Eksistensi Mediasi Penal dalam Pusaran Hukum Pidana Nasional Modern
Perkembangan masyarakat yang demikian pesatnya dewasa ini seiring perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi juga berdampak pada perkembangan kejahatan yang semakin
kompleks. Masyarakat memerlukan suatu perlindungan hukum agar dapat terhindar dari
kejahatan yang kian berkembang tersebut sehingga dapat menjalankan hak dan kewajibannya
sebagai warga Negara dengan baik.
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana merupakan bagian dari
kebijakan kriminal. Menurut Marc Ancel, kebijakan kriminal adalah suatu usaha yang rasional
dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.17 Pengertian kebijakan kriminal juga
dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels yaitu bahwa, ”criminal policy is the rational
organization of the social reaction to crime”.18
Definisi lainnya yang dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels adalah:
1. Criminal policy is the science of responses;
2. Criminal policy is the science of crime prevention;
3. Criminal policy is a policy of designating human behaviour as crime;
4. Criminal policy is a rational total of the response of crime.19
Berdasarkan berbagai pengertian di atas mengenai kebijakan kriminal terlihat bahwa kebijakan
kriminal secara garis besar merupakan usaha rasional yang dilakukan oleh masyarakat yang
merupakan respon atas kejahatan . Respon tersebut berupa usaha-usaha pencegahan dan
penanggulangan kejahatan.
kebijakan kriminal merupakan usaha pencegahan dan penanggulangan kejahatan yang harus
menunjang tujuan yaitu social defence dan social welfare. Dalam rangka mencapai tujuan akhir
berupa social defence dan social welfare tersebut, maka upaya penanggulangan kejahatan yang
dilakukan juga harus tetap memperhatikan upaya-upaya lain diluar upaya melalui hukum pidana,
yaitu melalui upaya non penal. Upaya non-penal dapat dilakukan dengan pendekatan technoprevention, yaitu upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan
17

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005,
hal. 1
18
G. Peter Hoefnagels dalam Barda Nawawi Arief, Ibid., hal. 2
19
Ibid.

teknologi, pendekatan culture / budaya yaitu dengan membangun dan membangkitkan kepekaan
warga masyarakat dan aparat penegak hukum, pendekatan edukatif/moral, pendekatan global
(kerjasama internasional) dan pendekatan birokrat.20
Soerjono Soekanto mengemukakan ada 5 faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu: 21
1) Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada Undang-Undang
saja.
2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan
hukum.
3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari
penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum.22
Pelaksanaan Mediasi penal pada dasarnya hanya menunggu dilahirkannya peraturan yang
memberikan kekuatan hukum pada putusan yang dilahirkan dalam mediasi penal. Ketika
peraturan tersebut tidak juga dilahirkan maka mediasi penal hanya akan menjadi fase peralihan
dari musyawarah menuju hukum formal yang dapat ditinggalkan atau diindahkan putusannya
karena tidak berkekuatan hukum, kecuali di beberapa perkara tertentu itupun tidak menyeluruh.
Menurut Ahcmad Ali Efektivitas perundang-undangan tergantung pada beberapa faktor, antara
lain:23
1) Pengetahuan tentang substansi (isi) perundang-undangan,
2) Cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut.
3) Institusi yang terkait dengan ruang lingkup perundang-undangan di dalam
masyarakatnya.
4) Bagaimana proses lahirnya suatu perundang-undangan, yang tidak boleh dilahirkan
secara tergesa-gesa untuk kepentingan instan (sesaat), yang diistilahkan oleh Gunnar
Myrdall sebagai sweep legislation (undang-undang sapu), yang memiliki kualitas buruk
dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Bila Undang-undang yang mengatur dan memberikan kekuatan hukum tetap pada putusan
mediasi penal telah dilahirkan maka eksistensi mediasi penal dalam pusaran hukum pidana
nasional modern akan semakin kuat dan pelaksanaannya tidak lagi menjadi proses musyawarah
loncatan yang digunakan hanya bila menguntungkan namun tidak digunakan bila merugikan,
mediasi penal akan menjadi alternatif penyelesaian pendamping bagi peradilan formal hukum
pidana. Sehingga tujuan menjadikan mediasi penal sebagai sistem peradilan hukum yang media
kontrol masyarakat, seperti yang disebutkan menurut Wiener mendefinisikan hukum sebagai
suatu sistem pengawasan perilaku (ethical control) yang diterapkan terhadap sistem komunikasi.
Wujud hukum adalah norma yang merupakan produk dari suatu pusat kekuasaan yang memiliki
20

Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 90
21
Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, hlm. 7.
22
ibid
23
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence)
Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
hlm..204.

kewenangan untuk menciptakan dan menerapkan hukum. Hukum sebagai suatu sistem kontrol
searah yang dilakukan oleh suatu organ yang memiliki kekuasaan terhadap masyarakat. Kontrol
searah itu mengandung pengertian bahwa kontrol itu hanya berlangsung dari suatu organ tertentu
yang diberi kapasitas dan fungsi untuk itu.
KESIMPULAN
Dari uraian artikel ini dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya mediasi penal merupakan model
penyelesaian sengketa hukum pidana yang didalamnya juga tertanam nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat, sehingga sejalan juga dengan pemikiran besar soepomo yang
menjadikan hukum adat tidak hanya sebagai bahan informasi dari masa lalu melainkan juga
sebagai pengetahuan yang dijadikan landasan perkembangan hukum dimasa yang akan datang.
Beberapa kesimpulan lainnya adalah :
1. Mediasi penal merupakan alternatif penyelesaian sengketa hukum diluar peradilan formal
yang telah diatur oleh Undang-Undang.
2. Kajian politik hukum Soepomo sejalan dengan pelaksanaan mediasi penal, konsep
hukum adatnya, serta menghidupkan kembali nilai-nilai yang terdapat masyarakat
melalui proses serta putusan yang dilahirkannya dan juga konsep pembaharuan hukum
pidana yang menuntut hukum untuk menggali pada nilai yang terdapat pada masyarakat,
tidak sebagai pertimbangan saja melainkan acuan pelaksanaannya.
3. Untuk memastikan eksistensi mediasi penal dalam pusaran hukum pidana nasional
modern diperlukan adanya peraturan Perundang-undangan yang secara khusus
memberikan kekuatan hukum tetap pada tiap putusan mediasi penal sehingga tidak
dikembalikan pada hukum formal segala ketidakpuasan akan hasil mediasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2005, hal. 1
----------------------------, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di
Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 90
Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence)
Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2009, hlm..204.
Asshidiqie, Jimly.Soepomo: Pergulatan Tafsir Negara Integralistik Biografi Intelektual,
Pemikiran Hukum Adat, dan Konstitusionalisme. Tafa Media. Yogyakarta. 2015. Hal. 72
Frehsee, Detlev (Professor of Criminology and Criminal Law, University of Bielefeld,
Germany), “Restitution and Offender-Victim Arrangement in German Criminal Law:
Development and Theoretical Implications”, http://wings.buffalo.edu/law/ bclc/bclr.htm
HR, Ridwan. Hukum administrasi Negara. PT.RajaGrafindo. Jakarta. 2006. hal. 306
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998,
hal. 148
Mulyadi, Lilik. 2012. Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus. Bandung : PT. Alumni.
hal. 12
New York State Dispute Resolution Association, Inc., Alternative Dispute Resolution in New
York State, An Overview, sbr internet.
Rasjidi, Lili dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung
2003, hlm. 152-153.

Salam, Syukron. Soepomo: Pergulatan Tafsir Negara Integralistik Biografi Intelektual,
Pemikiran Hukum Adat, dan Konstitusionalisme. Tafa Media. Yogyakarta. 2015.Hal. 238
Sfm.jura.uni-sb.de/archives/images/mediation-en%5B1%5D.doc
Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor Yang Penegakan Hukum. Jakarta. Bina Cipta. 1983. hal. 13.
-------------------------. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali Press.
1983. Jakarta. hal. 4-5
-------------------------, 2004, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 7.
Soemartono, Gatot. P. Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika. hal. 65.
Soepomo, anotasi atas Undang-Undang Dasar Sementara 1950, George McT Kahin di Ithaca,
New York pada 10 Maret 1964
UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

BIODATA PENULIS
Benny Sumardiana, S.H., M.H., lahir di Kuningan pada 06 Oktober 1987. Menyelesaikan studi Strata

satu di Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, dan menyelesaikan studi Strata dua di
Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. Saat ini penulis tercatat sebagai dosen aktif di
Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang bagian hukum pidana. Penulis mengajar mata
kuliah Hukum acara dan praktik peradilan pidana, disela waktu mengajarnya penulis juga aktif
melaksanakan tri dharma perguruan tinggi yaitu penelitian dan pengabdian. Aktif mengikuti
forum akademik baik di dalam negeri maupun diluar negeri seperti Jepang, Malaysia, Singapura,
dan Thailand. Penulis juga aktif menjadi pembicara di seminar-seminar serta menulis diberbagai
media baik cetak maupun elektronik.