13
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Premature Sign-Off of Audit Procedure
Proses sistematik mengimplikasikan bahwa sebaiknya ada pendekatan yang terencana dengan baik selama pelaksanaan audit. Auditor dituntut untuk
mampu mencari dan mendapatkan bukti secara obyektif dan mengevaluasi relevansi serta validitas dari bukti-bukti yang didapat. Jenis, kuantitas, dan
keandalan bukti dapat beraneka ragam antara tiap audit, sehingga memerlukan waktu yang paling banyak dalam proses audit.
Kelalaian negligence adalah kegagalan akuntan publik dalam melaksanakan dan melaporkan suatu penugasan audit karena tidak menggunakan
profesionalisme dan kompetensinya sebagai auditor yang bijaksana dan berhati- hati prudent auditor. Menurut Guy, Alderman, dan Winters, 2001 seorang
akuntan publik akan dianggap lalai apabila gagal dalam melakukan apa yang biasanya, selayaknya, atau apa yang semestinya dilaksanakan dan tidak
dilaksanakan oleh seorang auditor yang bijaksana dan hati-hati. Premature sign-off of audit procedure
masuk dalam kategori kelalaian yang disengaja gross negligence, disebut juga sebagai kecurangan terencana
constructive fraud yaitu merupakan kejadian besar mengenai kelalaian yang
mencolok atau kecurangan terencana atas standar yang telah ditetapkan. Istilah seperti ini sering digunakan untuk menunjuk pada audit yang buruk. Kelalaian
yang disengaja dalam hal ini adalah Guy, Alderman, dan Winters, 2001:
1. Akuntan publik melakukan penyajian mengenai fakta yang material tanpa
dukungan yang memadai. 2.
Penyajian dimaksudkan untuk menjadi sandaran bagi orang lain contoh kasus: klien atau pengguna laporan keuangan pihak ketiga.
3. Penyajian merupakan hal yang diandalkan oleh klien atau pihak ketiga
sebagai sandaran. 4.
Kehandalan tersebut menyebabkan kerugian bagi klien atau pihak ketiga. Premature sign-off of audit procedure
ini adalah alat bagi auditor untuk memanipulasi proses audit dalam upaya untuk mencapai tujuan kinerja individual.
Pengurangan kualitas audit yang dihasilkan dari kegiatan ini mungkin dipandang sebagai perlunya pengorbanan dalam upaya bagi individu untuk survive dalam
lingkungan audit. Premature sign-off of audit procedure dapat didefiniskan sebagai suatu keadaan yang menunjukan seorang auditor menghentikan satu atau
beberapa langkah audit yang diperlukan dalam menjalankan prosedur audit tanpa mengganti dengan langkah lain.
Solar dan Bruehl, 1971, Anastasya dan Muhlasi, 2005, dalam Harini, 2009 mengatakan bahwa individu yang melakukan pekerjaan dibawah standar lebih
mungkin untuk melakukan tindakan penyimpangan sejak mereka sendiri merasa tidak mampu untuk bertahan dalam pekerjaan melalui usaha sendiri. Jadi,
tindakan penyimpangan perilaku dapat dilihat sebagai kebutuhan dalam situasi dimana tujuan organisasi atau individual tidak dapat dicapai melalui langkah–
langkah atau cara–cara yang pada umumnya lazim untuk dilakukan.
Definisi lain dari premature sign-off of audit procedure adalah dihentikannya langkah-langkah dalam audit program sehingga satu atau lebih dari
prosedur audit tidak dilengkapi Raghunatan,1991. Jika hal tersebut dilaksanakan oleh seorang auditor, maka pastinya akan memiliki pengaruh langsung terhadap
kualitas audit yang dihasilkannya karena ketika satu langkah saja dalam prosedur audit dihilangkan, maka probabilitas akan meningkat atas kesalahan auditor
membuat judgment dan tentunya dapat mempengaruhi kualitas audit. Secara garis besar, faktor terjadinya tindakan premature sign-off of audit
procedure terbagi menjadi dua kategori, yaitu:
1. Faktor Internal, merupakan faktor terjadinya tindakan premature sign-off
yang berasal dari dalam diri auditor antara lain: idealisme, relativisme, lokus kendali, harga diri, need approval, need for achievement, competitive type
behavior , professional commitment, dan organizational commitment.
2. Faktor Eksternal, merupakan faktor terjadinya tindakan premature sign-off
yang berasal dari luar diri atau lingkungan auditor antara lain: time budget pressure, time deadline pressure,
resiko audit, materialitas, prosedur review, tingkat jabatan, etika profesional
Beberapa penelitian yang terkonsentrasi atas penghentian prematur atas prosedur audit telah banyak dilakukan: Rhode, 1978, Alderman dan Detrick,
1982, dalam Raghunatan, 1991 mendeteksi bahwa lebih dari 55 responden auditor telah melakukan penghentian prematur atas prosedur audit. Alasan yang
menjadi dasar terjadinya perilaku tidak etis ini adalah karena adanya anggapan bahwa prosedur audit yang dilakukan dianggap tidak penting atau beresiko kecil,
prosedur audit yang tidak material, prosedur audit yang kurang dimengerti, adanya batasan waktu atas penyampaian laporan audit, serta adanya faktor
kebosanan dari para auditor. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Raghunatan 1991 dapat
menemukan bahwa lebih dari 50 responden auditor melakukan Premature sign-off of audit procedure
, yang pada umumnya terjadi pada prosedur analitik, pada saat pemeriksaan pekerjaan audit intern, dan pada saat pemeriksaan
pekerjaan bawahan. Ketika melakukan pengabaian, auditor akan memilki kecenderungan untuk memilih prosedur yang paling tidak beresiko diantara
sepuluh prosedur berdasarkan paparan diatas. Meskipun banyak peneliti yang menemukan terjadinya praktik premature
sign-off of audit procedure , namun ada juga peneliti yang tidak menemukan atau
hanya menemukan dalam jumlah yang sangat kecil atas praktik tersebut. Shapeero, et.al, 2003 menemukan bahwa 88 respondennya menyatakan sangat
tidak mungkin untuk melakukan premature sign-off of audit procedure. Waggoner dan Cashell, 1991 menemukan hanya 23 dari respondennya yang
melakukan premature sign-off of audit procedure Suryanita, et.al, 2006.
2.2 Komitmen Profesional Professional Commitment
Komitmen auditor terhadap profesinya merupakan faktor penting yang bepengaruh terhadap perilaku auditor dalam melakukan tugas audit. Komitmen
profesional didasarkan pada kesimpulan bahwa individu membentuk suatu kesetiaan attachment terhadap profesi selama proses sosialisasi ketika profesi
menanamkan nilai-nilai dan norma-norma profesi. Konsep komitmen profesional dikembangkan dari konsep yang lebih mapan yaitu komitmen organisasional.
Komitmen profesional didefinisikan sebagai kekuatan relatif dari identifikasi dan keterlibatan individu terhadap suatu profesi Aranya dan Ferris,
1984. Komitmen seseorang terhadap profesinya diwujudkan dalam tiga karakteristik berikut; 1 suatu penerimaan atas tujuan-tujuan dan nilai-nilai
profesi, 2 suatu kehendak yang kuat untuk melakukan usaha demi kepentingan profesi, dan 3 suatu keinginan untuk memelihara dan mempertahankan
keanggotaan dalam profesi Aranya dan Ferris, 1984. Dalam profesi akuntan publik, komitmen profesional merupakan penerimaan terhadap tujuan-tujuan dan
nilai-nilai profesi, oleh karena itu komitmen professional kuat tercermin dalam sensitifitas yang lebih tinggi atas isu yang melibatkan etika profesional Lachman
dan Aranya, 1986. Oleh karena itu, komitmen professional merupakan hal yang sangat penting bagi profesi akuntan publik. Menurut Shaub et.al, 1993,
komitmen profesional merupakan faktor penting yang mempengaruhi perilaku
auditor dalam pengambilan keputusan etis. Lebih lanjut, mereka mengatakan
perbedaan dalam perilaku tidak etis yang dilakukan auditor dapat diakibatkan perbedaan komitmen auditor terhadap profesinya.
Pada awalnya komitmen profesional dipandang sebagai konstruk yang bersifat unidimensi. Mengacu pada keberadaan komitmen profesional yang
ditemukan pada profesi di luar akuntansi, Hall et.al, 2005 mengusulkan komitmen professional multi-dimensi pada profesi akuntansi. Ketiga dimensi
tersebut adalah; komitmen profesional afektif affective profesional commitment,
komitmen profesional kontinu continuance profesional commitment, dan komitmen profesional normative normative profesional commitment.
Komitmen profesional afektif KPA berhubungan pada sejauh mana individu ”ingin berada” pada suatu profesi Meyer et.al, 1993. Komitmen
profesional afektif merupakan keterikatan emosional individu terhadap profesinya yang didasarkan pada identifikasi pada nilai-nilai dan tujuan-tujuan profesi dan
suatu keinginan untuk membantu profesi mencapai tujuan-tujuan tersebut Meyer et.al
, 1993. Komitmen auditor terhadap profesinya dalam bentuk afektif dapat timbul sebagai akibat pertukaran pengalaman positif yang dirasakan dari profesi
atau pengembangan keahlian profesional Hall et.al, 2005. Komitmen profesional kontinu KPK berhubungan dengan pada sejauh
mana individual ”tetap berada” pada suatu profesi Meyer et.al, 1993; Hall et.al, 2005. Komitmen profesional kontinu merupakan bentuk komitmen seseorang
terhadap profesinya yang didasarkan pada pertimbangan biaya-biaya yang terjadi jika seseorang meninggalkan profesi. Komitmen profesional kontinu didasarkan
pada Theory of Side Bets Becker’s 1960 dalam Hall et.al, 2005, yang berargumen bahwa individu mempertahankan komitmen dengan suatu entitas
berkaitan dengan akumulasi investasi pada suatu entitas atau tidak adanya alternatif yang sebanding dengan entitas tersebut. Komitmen auditor terhadap
profesinya dalam bentuk kontinu dapat timbul karena individu auditor membutuhkan investasi untuk memperoleh atau mendapatkan profesinya sebagai
auditor, dan investasi tersebut akan hilang jika mereka meninggalkan profesi
sebagai auditor, yang meliputi keahlian dibidang auditing, status, atau penghargaan Hall et.al, 2005.
Komitmen profesional normatif merupakan keterikatan individu dengan suatu profesi karena merasakan suatu kewajiban atau tanggungjawab untuk tetap
berada pada suatu profesi. Meyer et.al, 1993 menyatakan komitmen profesional normatif berhubungan pada sejauh mana individu meyakini bahwa mereka harus
tetap berada pada suatu profesi. Komitmen auditor terhadap profesinya dalam bentuk normatif dapat timbul ketika auditor memperoleh manfaat yang signifikan
dari suatu profesi, atau karena adanya tuntutan dari kolega atau keluarga yang menekankan pentingnya untuk tetap berada pada profesi Hall et.al, 2005.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Smith dan Hall 2008 menunjukkan terdapat dukungan empiris terhadap dimensi terpisah dari komitmen profesional
pada profesi akuntansi. Keberadaan dimensi terpisah komitmen profesional ditunjukkan melalui hasil analisis faktor konfirmatori dan validitas diskriminan
konstruk. Hasil pengujian dengan analisis faktor konfirmatori menunjukkan model tiga-faktor memiliki indeks-indeks fit yang lebih baik dibandingkan dengan
model dua-faktor dan satu-faktor. Selanjutnya nilai validitas diskriminan untuk masing-masing dimensi komitmen profesional adalah baik yang ditunjukkan
melalui avarage variance extracted AVE untuk masing-masing dimensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan korelasi antar konstruk dimensi berpasangan
Smith dan Hall, 2008. Mengacu pada Meyer et.al, 1993, Hall et.al, 2005 dan Smith dan Hall 2008 pada penelitian ini komitmen profesional yang
dimaksudkan adalah komitmen profesional multi-dimensi.
Penelitian-penelitian terdahulu telah menguji hubungan antara komitmen profesional dengan perilaku auditor seperti; stres kerja Choo, 1986, ketaatan
pada aturan Jeffrey dan Weatherholt, 1996, perilaku audit disfungsional Malone dan Robert, 1996; Otley dan Pierce, 1998b, pertimbangan sign-off saldo akun
yang diragukan Lord dan DeZoort, 2001, dan intensi melaporkan tindakan yang meragukan Kaplan dan Whiteecotton, 2001. Pada umumnya hasil-hasil studi
tersebut sesuai dengan dugaan, namun beberapa peneliti menemukan hubungan yang tidak signifikan antara komitmen profesional dan perilaku auditor.
Choo 1986 menemukan terdapat hubungan terbalik antara komitmen profesional dengan stres kerja. Dalam hal ini, auditor dengan komitmen
professional kuat mengalami stres pada level yang lebih rendah dibandingkan auditor yang memiliki komitmen profesional rendah. Jeffrey dan Weatherholt
1996 menguji hubungan antara komitmen profesional dan sikap terhadap ketaatan pada aturan rule observance attitude. Hasil penelitiannya menunjukkan
akuntan yang memiliki komitmen profesional kuat lebih taat pada aturan dibandingkan akuntan yang memiliki komitmen profesional rendah.
Penelitian yang menguji hubungan komitmen profesional dengan perilaku audit disfungsional masih terbatas dan hasilnya belum konklusif. Hasil penelitian
Malone dan Robert 1996 menunjukkan meskipun arah hubungan komitmen profesional dengan perilaku RKA sesuai dengan yang diprediksikan yaitu
hubungaan negatif, namun hubungan tersebut secara statistik tidak signifikan. Hasil yang mirip dilaporkan Otley dan Pierce 1996b yang menemukan pengaruh
komitmen profesional terhadap perilaku disfungsional auditor RKA dan URT tidak signifikan.
Studi eksperimen yang dilakukan oleh Lord dan DeZoort 2001 menguji pengaruh komitmen profesional terhadap pertimbangan sign-off saldo akun yang
diragukan. Mereka menemukan auditor yang memiliki komitmen profesional rendah sign-off suatu saldo akun yang diragukan dalam jumlah yang lebih besar
dibandingkan auditor yang memiliki komitmen profesional tinggi. Akan tetapi setelah mempertimbangkan efek dari tekanan pengaruh sosial, dampak dari
komitmen profesional terhadap pertimbangan auditor tidak signifikan. Hasil studi lainnya yang dilakukan Kaplan dan Whiteecotton 2001 menemukan terdapat
hubungan positif antara komitmen profesional dengan tanggungjawab personal auditor untuk melaporkan tindakan-tindakan yang diragukan. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan auditor yang memiliki komitmen profesional kuat cenderung melaporkan tindakan-tindakan yang diragukan dibandingkan dengan
auditor yang memiliki komitmen profesional rendah.
2.3 Tingkat Jabatan Job Level
Istilah akuntan senior dalam kegiatan menurut beberapa penelitian sebelumnya, bukanlah senior karena pengalaman namun berhubungan dengan
jabatan yang dimiliki oleh seorang auditor dalam kantor akuntan publik. Pengalaman
merupakan komponen
expertise yang
sangat penting.
Abdolmohammadi dan Wrigth 1987 dalam Raghunathan, 1991 menginvestigasi pengaruh kompleksitas tugas atas pertimbangan auditor dalam berbagai tingkat
pengalaman. Abdolmohammadi dan Wright menemukan bahwa pertimbangan auditor yang tidak berpengalaman mempunyai tingkat kesalahan yang lebih besar
dibandingkan auditor berpengalaman. Seorang auditor yang telah cukup mempunyai pengalaman audit, mungkin tidak akan mempunyai pandangan yang
sama terhadap kasus yang dihadapi, dibandingkan dengan seorang auditor pemula yang belum mempunyai cukup pengalaman.
Auditor baru, atau yang memiliki pengalaman terbatas dan lebih sering disebut sebagai auditor junior, belum memiliki pelatihan teknis dan keahlian
dibanding dengan auditor yang sudah berpengalaman. Untuk menutupi kekurangan pengalaman ini, standar pekerjaan lapangan yang pertama
mengharuskan adanya supervisi yang tepat terhadap setiap asisten audit; auditor senior bertanggung jawab atas supervisi yang tepat kepada asisten auditor tersebut
Guy, Alderman, dan Winters 2001. Pengalaman audit mempunyai peranan yang penting dalam menanggapi
bukti audit. Individu yang kurang mengenal atau familiar dengan suatu keputusan berisiko, berperilaku secara lebih berhati-hati dan lebih menghindari risiko
dibandingkan mereka yang lebih mengenal atau familiar dengan tugas itu. Ini berarti auditor yang kurang familiar atau kurang berpengalaman terhadap suatu
tugas pertimbangan akan lebih berorientasi pada bukti negatif dari pada auditor yang mempunyai pengalaman lebih banyak.
Tubbs 1992 menunjukkan bahwa ketika auditor menjadi lebih berpengalaman, maka: 1 auditor menjadi sadar terhadap kekeliruan, 2 auditor
memiliki salah pengertian yang lebih sedikit tentang kekeliruan, dan 3 auditor
menjadi sadar mengenai kekeliruan yang tidak lazim. Davis 1996 menyatakan bahwa auditor yang berpengalaman juga memperlihatkan tingkat selektif yang
lebih tinggi terhadap bukti yang relevan. Auditor yang berpengalaman mempunyai kemampuan untuk menentukan apakah kekeliruan-kekeliruan tertentu
terjadi dalam siklus tertentu Setiawan, Ivan Aries dan Ghozali, Imam, 2008. Paradigma pengalaman menyebutkan bahwa pengambil keputusan
mengakumulasikan struktur
pengetahuan sehingga
memudahkan untuk
memetakan masalah. Individu yang lebih berpengalaman akan lebih percaya dalam impresinya menghadapi suatu masalah sehingga akan merubah sensitivitas
terhadap bukti negatif α atau positif β. Jika α dan β semakin kecil untuk
individu yang berpengalaman, maka semakin kecil pula efek kekinian yang muncul. Sebagai contoh, ketika mengevaluasi 4 potong bukti yang tidak konsisten
2 positif dan 2 negatif, seorang auditor yang kurang berpengalaman akan menonjolkan pada 2 bukti negatif bukti ke-3 dan ke-4 sehingga akhirnya akan
menekankan pada 2 bukti yang paling akhir tersebut. Sebaliknya, auditor yang berpengalaman tidak akan menonjolkan bukti negatif karena mereka memiliki
pengalaman terhadap bukti tersebut Setiawan, Ivan Aries dan Ghozali, Imam, 2008.
Tingkat atau hierarki jabatan dalam kantor akuntan publik merupakan struktur organisasi yang berlaku dalam kantor akuntan publik, Arens dan
Lobbecke, 1998 menyebutkan tingkat jabatan itu sendiri terbagi menjadi empat, yaitu:
1. Staf akuntanstaff levelasistenakuntan junior, ketika seorang auditor pertama
kali bergabung dengan sebuah Kantor Akuntan Publik. Pada umumnya bertugas untuk melaksanakan tugas audit rutin yang lebih rinci dikarenakan
pengalamannya sangat terbatas dan masih diperlukan bimbingan dari dekat. 2.
Senior auditor, bertugas dalam melaksanakan pekerjaan audit lapangan dan biasanya memiliki pengalaman dua sampai lima tahun dalam bidang audit.
Menjalankan penugasan audit di kantor klien sebagai pengawas pekerjaan staf audit dan menjamin pekerjaan audit sesuai dengan target.
3. Manajer, memilki pengalaman paling sedikit lima tahun di Kantor Akuntan
Publik. Manajer bertugas membantu akuntan senior merencanakan program audit, meninjau kertas kerja secara berkala dan memberikan beberapa
petunjuk prosedur yang dibutuhkan. 4.
Partner, ditunjuk sebagai penanggungjawab pemeriksaan dapat menandatangani Laporan Hasil Pemerikasaan yang memuat opini atas
laporan keuangan. Perbandingan menurut hierarki, seorang auditor yang menempati pada
posisi level partner merasa lebih puas bila dibaningkan dengan staff. Staf merasa kurang puas pada aspek kesempatan untuk maju dan status demikian pula dengan
kebebasan melaksanakan ide-idenya Setiawan, Ivan Aries dan Ghozali, Imam, 2008. Contoh nyatanya dapat kita lihat dari berbagai penyalahgunaan yang
dilaporkan mengenai skandal di Wall Street biasanya dilakukan oleh karyawan yang relatif junior posisinya.
Cook dan Kelly, 1988; Lighter, 1981; dan Rhode, 1977 dalam Shapeero, et.al
, 2003 dalam penelitiannya menemukan indikasi bahwa posisi jabatan staff dan senior auditor akan memiliki kecenderungan untuk melakukan kegiatan
penghentian prematur atas prosedur audit. Sedangkan penelitian dari Raghunathan, 1991 menemukan bahwa pada posisi jabatan senior auditor yang
kecenderungan paling tinggi untuk melakukan penghentian prematur atas prosedur audit. Rhode, 1977 dalam penelitiannya menyebutkan bahwa staff
auditorlah yang paling berpotensi untuk melakukan tindakan penyimpangan tersebut, yang menyebabkan menurunnya kualitas auditan.
Tiap-tiap level jabatan dalam profesi auditor memiliki tugas dan tanggung jawab yang tidak sama. Disebabkan adanya perbedaan nilai personal yang
diperkirakan akan dominan muncul maka konflik dan dilema etis tiap tingkat jabatan auditor berbeda-beda. Terdapat korelasi positif antara jabatan, aktualisasi
diri, dan komitmen organisasi, bahwasanya seiring sejalan dengan semakin tingginya jabatan akuntan publik dalam tingkatan jabatannya maka dapat
dipastikan akan memiliki tingkat aktualisasi diri yang lebih kuat serta didukung dengan komitmen organisasi yang lebih tinggi Adler dan Aranya. Nilai
aktualisasi diri tersebut, erat hubungannya dengan tingkatan tahapan perkembangan moral kognitif yang dimiliki oleh seorang auditor. Ditemukan pula
bahwa partner memiliki tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi daripada akuntan junior, akuntan senior dan manajer. Dari beberapa penelitian didapat
kesimpulan bahwasanya seorang manajer akan lebih memliki komitmen yang tinggi terhadap tempat kerjanya dan profesi yang dimilikinya sebagai akuntan
dibandingkan dengan para staff Cook and Kelley, 1998, Lightner, 1981, Rhode, 1977, dalam Shapeero, et.al, 2003.
2.4 Komitmen Organisasi Organizational Commitment
Komitmen organisasi yang tinggi sangat diperlukan dalam sebuah organisasi, karena terciptanya komitmen yang tinggi akan mempengaruhi situasi
kerja yang profesional. Berbicara mengenai komitmen organisasi tidak bisa dilepaskan dari sebuah istilah loyalitas yang sering mengikuti kata komitmen.
Pemahaman demikian membuat istilah loyalitas dan komitmen mengandung makna yang confuse.
Loyalitas disini secara sempit diartikan sebagai seberapa lama seorang karyawan bekerja dalam suatu organisasi atau sejauh mana mereka tunduk pada
perintah atasan tanpa melihat kualitas kontribusi terhadap organisasi. Muncul suatu fenomena di Indonesia bahwa seorang karyawan akan dinilai loyal,
bilamana tunduk pada atasan walaupun bukan dalam konteks hubungan kerja. Alwi, 2001.
Komitmen organisasi, menurut Alwi, 2001 adalah sikap karyawan untuk tetap berada dalam organisasi dan terlibat dalam upaya-upaya mencapai misi,
nilai-nilai dan tujuan organisasi. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa komitmen merupakan suatu bentuk loyalitas yang lebih konkret yang dapat dilihat dari
sejauh mana karyawan mencurahkan perhatian, gagasan, dan tanggung jawab dalam upaya mencapai tujuan organisasi.
Robbins, 1998 berpendapat bahwa komitmen organisasi adalah sampai tingkat mana seseorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan
tujuan-tujuannya, dan berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi itu. Komitmen organisasi yang tinggi berarti terdapat kepemihakan kepada organisasi
yang tinggi pula. Komitmen sebagai prediktor kinerja seseorang merupakan prediktor yang lebih baik dan bersifat global, dan bertahan dalam organisasi
sebagai suatu keseluruhan daripada kepuasan kerja semata. Seseorang dapat tidak puas dengan pekerjaan tertentu dan menganggapnya sebagai kondisi sementara,
tapi tidak puas terhadap organisasi adalah sebagai suatu keseluruhan, dan ketidakpuasan tersebut bila menjalar ke organisasi, dapat mendorong seseorang
untuk mempertimbangkan diri minta berhenti. Dessler, 1997, berpendapat bahwa komitmen organisasi merupakan
kekuatan identifikasi dari keterlibatan individu dengan organisasi. Komitmen yang tinggi dicirikan dengan 3 hal, yaitu :
1. Kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap tujuan dan nilai-nilai
organisasi 2.
Kemauan yang kuat untuk bekerja demi organisasi 3.
Keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi. Komitmen nampak dalam bentuk sikap yang terpisah, tetapi tetap saling
berhubungan erat, yaitu : identifikasi dengan misi organisasi, keterlibatan secara psikologis dengan tujuan-tujuan organisasi, dan loyalitas serta keterikatan dengan
organisasi.
Begley dan Czajka, 1993, menguraikan pendapat Mowday, et.al, tentang definisi komitmen organisasi yaitu sebagai suatu keyakinan yang kuat terhadap
tujuan dan nilai-nilai organisasi, keamanan menggunakan segala upaya untuk mewujudkan kepercayaan pada organisasi, serta sebuah keyakinan yang kuat
untuk tetap menjadi anggota organisasi. Gibson, et.al, 1996 menguraikan pendapat Buchanan, bahwa komitmen
organisasi melibatkan 3 sikap, yaitu: 1.
Identifikasi dengan tujuan organisasi 2.
Perasaan keterlibatan dalam tugas-tugas organisasi 3.
Perasaan loyalitas terhadap organisasi. Hasil risetnya menunjukkan bahwa tidak adanya komitmen bisa berakibat
menurunnya efektivitas organisasi. Muchinsky, 2003 berpendapat bahwa komitmen organisasi adalah
derajat tingkat dimana seorang karyawan merasakan suatu perasaan, pengertian, serta kesetiaan kepada organisasi. Sejalan dengan hal tersebut Allen, 1990
menguraikan 3 tiga komponen, yaitu : a komponen afektif, yang mengacu kepada kecenderungan emosional karyawan, sebagaimana diidentifikasikan oleh
organisasi; b komponen berkelanjutan kontinu, yang mengacu kepada biaya- biaya yang diperoleh selama hidup dalam organisasi; c komponen normatif, yang
mengacu kepada kewajiban-kewajiban karyawan terhadap organisasi. Meyer, 1997, menyatakan bahwa di dalam komitmen organisasi secara
umum mencerminkan hubungan antara karyawan dengan organisasi, dan hal itu mempunyai implikasi bagi karyawan untuk memutuskan tetap berkeinginan
menjadi anggota organisasi tersebut, dan ini memungkinkan bagi karyawan untuk tetap tinggal bersama-sama dalam organisasi tersebut.
Morrow 1993 berpendapat bahwa seseorang dapat merasa terikat dan komitmen dengan lingkup organisasi dikarenakan faktor pekerjaan, jabatan, dan
keberadaannya. Terkait dengan hal tersebut, Brown 1996 mengemukakan bahwa terdapat hubungan korelasi antara komitmen organisasi dan pekerjaan lain yang
terkait. Korelasi tersebut digambarkan terkait dengan keseluruhan kepuasan kerja, kinerja, berhenti dalam bekerja, dengan kepribadian seorang karyawan.
Maier Brunstein 2001 berpendapat bahwa komitmen organisasi merupakan kondisi dimana karyawan sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai
dan sasaran organisasinya. Komitmen terhadap organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan
kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi dalam mencapai tujuan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi adalah keadaan psikologis individu yang berhubungan dengan
keyakinan, kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, kemauan yang kuat untuk bekerja demi organisasi dan keinginan yang
kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi.
2.5 Penelitian Terdahulu
Penelitian oleh Basuki dan Krisna, 2006 dalam Nugraheny, 2008 mengenai tekanan anggaran waktu terhadap perilaku disfungsional dan kualitas
audit. Responden penelitiannya adalah auditor yang bekerja pada KAP di Surabaya. Hasil penelitian menunjukan bahwa tekanan anggaran waktu tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap penghentian prematur atas prosedur audit, namun tekanan waktu memiliki pengaruh positif terhadap perilaku underreporting
of time .
Dalam penelitian Herningsih, 2002 dengan menggunakan variabel time pressure
, resiko audit, tingkat materialitas menyebutkan bahwa time pressure memiliki pengaruh positif terhadap penghentian prematur atas prosedur audit.
Sedangkan variabel lainnya, resiko audit berpengaruh negatif terhadap perilaku penghentian prematur atas prosedur audit, namun materialitas tidak memiliki
pengaruh terhadap adanya perilaku penghentian prematur atas prosedur audit, namun ditemukan bahwa auditor yang tidak melakukan penghentian prematur atas
prosedur audit memiliki tingkat materialitas dan resiko yang lebih tinggi. Penelitian lainnya yang menggunakan variabel time pressure, locus of
control, komitmen profesi dan risiko audit dengan menggunakan analisis regresi
memperoleh hasil bahwa time pressure tidak memiliki pengaruh terhadap penghentian premature atas prosedur audit, sedangkan variabel risiko audit dan
komitmen profesi berpengaruh positif atas penghentian prematur atas prosedur audit. Disebutkan juga bahwa komitmen profesi memiliki pengaruh yang
signifikan dan locus of control berpengaruh negatif terhadap kegiatan penghentian prematur atas prosedur audit Nugroho, 2008
Suryanita, et.al, 2006 dalam penelitiannya menyebutkan bahwa time pressure
memiliki pengaruh yang signifikan teradap penghentian prematur atas prosedur audit, hubungannya bersifat positif. Risiko audit dan materialitas
memiliki perbedaan hasil dengan penelitian yang telah dilaksanakan oleh Herningsih, 2002. Dalam penelitian ini risiko audit penghentian prematur atas
prosedur audit memiliki hubungan positif dalam, bertentangan dari penelitian sebelumnya oleh Herningsih, 2002 yang menyatakan bahwa arah hubungan risiko
audit dan penghentian prematur atas prosedur atas audit adalah negatif begitu pula arah hubungan materialitas bersifat negatif terhadap penghentian prematur atas
prosedur audit yang berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan arah hubungannya adalah negatif. Berdasarkan analisis data pada penelitian ini
disebutkan bahwa prosedur riview dan kontrol kualitas memiliki arah hubungan negatif dengan penghentian prematur atas prosedur audit sesuai dengan hasil
penelitian Malone dan Roberts, 1996, bahwa ketika Kantor Akuntan Publik dapat menerapkan prosedur review dan kontrol kualitas secara efisien maka dapat
meminimalisir terjadinya bentuk penyimpangan dalam pelaksanaan program audit.
Ulum, 2005 yang melakukan penelitian pada Badan Pemeriksa Keuangan BPK mengenai pengaruh orientasi etika terhadap hubungan antara time pressure
dengan perilaku premature sign off prosedur audit menyebutkan bahwa time pressure
tidak berpengaruh signifikan tehdap penghentian prematur atas prosedur
audit, namun memiliki tanda negatif pada koefisien regresi arah hubungan time pressure
dan penghentian prematur atas prosedur audit arah hubungannya negatif. Idealisme yang memoderasi time pressure dengan premature sign off memiliki
arah hubungan yang negatif signifikan. Sedangkan relativitisme yang memoderasi hubungan antara time pressure dengan premature sign off berpengaruh positif
dalam taraf yang signifikan. Rekckres, Philip M.J; Wheeler, Stephen W; dan Wong-On-Wing, Bernard,
1997 melakukan penelitian yang menguji pengaruh perilaku penghentian prematur atas prosedur audit yang dipengaruhi oleh direct and randomized response metods
terhadap kualitas audit yang dihasilkan, hasilnya bahwa randomized response metods
secara signifikan memiliki arah hubungan yang positif dengan perilaku penghentian prematur atas prosedur audit. Akibatnya hasil audit yang dihasilkan
menjadi diragukan kebenarannya atau munculnya opsi tidak percaya atas independensi auditor oleh masyarakat. Berbeda halnya dengan penelitian yang
dilakukan oleh Raghunathan, 1991 menggunakan variabel time and budget pressure, audit risk, job level,
dan audit procedure menyatakan bahwa munculnya perilaku penghentian prematur atas prosedur audit diakibatkan karena minimnya
pengalaman yang dimiliki oleh seorang auditor dalam menghadapi dilema etis. Minimnya pengalaman yang didasarkan pada tingkat jabatan seorang auditor
dalam Kantor Akuntan Publik memiliki kecenderungan yang tinggi untuk melakukan perilaku penghentian prematur atas prosedur audit.
Sejalan berkesinambungan dengan penelitian Shapeero, et.al, 2003 yang menggunakan job level atau pengalaman auditor sebagai salah satu variabel dalam
penelitiannya disebutkan lebih dari 60 auditor yang menjadi respondennya telah melakukan tindakan penghentian prematur atas prosedur audit. Dengan
perbandingan tingkat jabatan staff audit dan senior audit lebih cenderung melukukan perilaku penghentian prematur atas prosedur audit dibandingkan
dengan tingkat jabatan pada level manajer dan patner. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa peranan penting etika pribadi dan tekanan situasional serta
peluang merupakan faktor pendukung terjadinya praktik penghentian prematur atas prosedur audit.
2.6 Kerangka Berpikir
Sebagai salah satu tenaga profesional, auditor diwajibkan menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama dalam melaksanakan audit
PSA No. 04, 2001. Penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama menurut auditor untuk melaksanakan skeptisme profesionalnya dan
harus mengungkapkan secara wajar kondisi perusahaan sesuai dengan kecukupan bukti yang diperoleh.
Dalam usaha memperoleh bukti audit kompeten yang cukup, maka sebelum melaksanakan audit auditor harus menyusun program audit yang
merupakan kumpulan dari prosedur audit yang akan dijalankan dan dibuat secara tertulis. Ketika dalam menjalankan tugas audit terjadi kesalahan yaitu dengan
pembuangan atau penghilangan omission dari langkah-langkah audit yang penting maka auditor tersebut tidak melakukan audit sesuai dengan prosedur audit
yang mencukupi atau dalam istilah lain premature sign-off of audit procedure.
Penghentian prematur atas prosedur audit masuk dalam kategori kelalaian yang disengaja gross negligence, disebut juga sebagai kecurangan
terencana constructive fraud yaitu merupakan kejadian besar mengenai kelalaian yang mencolok atau kecurangan terencana atas standar yang telah ditetapkan.
Istilah seperti ini sering digunakan untuk menunjuk pada audit yang buruk.
Dalam penugasan audit yang dilakukan atas klien, seringkali akuntan publik dihadakan pada dilema etis yang menyebaban terjadinya konflik audit.
Komitmen profesional digunakan sebagai motivator untuk lebih bersungguh- sungguh dalam melaksanakan tugasnya sebagai auditor dengan menambah
pemahaman akan nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam berperilaku, sehingga pada akhirnya mampu mengevaluasi sikap akuntan publik dalam menghadapi
suatu pekerjaan dan mampu bertanggung jawab serta memihak pada kepentingan masyrakat. Komitmen organisasi sebagai variabel dalam penelitian ini mampu
membantu seorang akuntan publik untuk menghadapi lingkungan kerja dan dalam penyelesaian suatu pekerjaannya. Tingkat jabatan yang dimiki oleh seorang
akuntan publik membantu akuntan publik dalam menyadari kejadian-kejadian yang tidak sesuai dengan bukti-bukti yang ada.
Penelitian yang dilakukan oleh Shapeero, et.al, 2003 disebutkan lebih dari 60 auditor yang menjadi respondennya telah melakukan pratik penghentian
prematur atas prosedur audit. Dengan perbandingan tingkat jabatan staff audit dan senior audit lebih cenderung melakukan perilaku penghentian prematur atas
prosedur audit dibandingkan dengan tingkat jabatan pada level manager dan partner.
Tingkat perkembangan moral moral development seorang auditor menjadi sangat penting, karena merupakan sebuah tolak ukur derajat profesionalisme seorang
akuntan publik.
Perkembangan moral kognitif seorang akuntan dapat meningkat seiring dengan level pekerjaannya. Level jabatan seorang staff dan senior auditor
akan lebih cenderung melakukan penghentian prematur atas prosedur audit bila diperbandingkan dengan seorang manajer atau patner dalam menjalan profesinya
pada kantor akuntan publik. Lebih lanjut Lampe dan Finn, 1992 mendapatkan bahwa manajer mempunyai tingkat perkembangan moral kognitif yang lebih
tinggi dibanding dengan staff Shapeero, et.al, 2003. Untuk mengetahui gambaran dari masing-masing variabel, dapat
dijabarkan pada kerangka pemikiran berikut :
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
• •
•
• •
• •
• •
• •
•
2.7 Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap suatu masalah yang dimaksudkan sebagai tuntutan sementara dalam penelitian untuk mencari jawaban
yang sebenarnya. Berdasarkan pada perumusan masalah di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
H1: Komitmen profesional berpengaruh negatif terhadap tindakan penghentian
prematur atas prosedur audit. H2:
Tingkat jabatan berpengaruh negatif terhadap tindakan penghentian prematur atas prosedur audit.
H3: Tingkat jabatan berpengaruh positif terhadap komitmen organisasi. H4: Komitmen organisasi berpengaruh negatif terhadap tindakan penghentian
prematur atas prosedur audit.
37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN