TANGGAPAN PERTUMBUHAN TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) TERHADAP PEMBERIAN TIGA JENIS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR SECARA TUNGGAL DAN CAMPURAN

(1)

TANGGAPAN PERTUMBUHAN TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) TERHADAP PEMBERIAN TIGA JENIS FUNGI MIKORIZA

ARBUSKULAR SECARA TUNGGAL DAN CAMPURAN (Skripsi)

Oleh Yayah Inayah

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(2)

Yayah Inayah

ABSTRAK

TANGGAPAN PERTUMBUHAN TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) TERHADAP PEMBERIAN TIGA JENIS FUNGI

MIKORIZA ARBUSKULAR SECARA TUNGGAL DAN CAMPURAN

Oleh Yayah Inayah

Tebu merupakan salah satu komoditas pertanian penting di Indonesia. Sejalan dengan pertumbuhan industri gula nasional, perkebunan tebu sebagai pendukung utama industri gula juga tumbuh. Penelitian ini bertujuan (1) untuk mengetahui apakah pemberian FMA dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman tebu, (2) untuk mengetahui apakah pemberian FMA satu jenis lebih baik terhadap pertumbuhan tebu dibandingkan dengan pemberian FMA campuran, (3) untuk mengetahui apakah pemberian FMA campuran dua jenis lebih baik terhadap pertumbuhan tebu dibandingkan dengan pemberian FMA campuran tiga jenis, (4) untuk mengetahui apakah pemberian FMA jenis Glomus sp. lebih baik terhadap pertumbuhan tebu dibandingkan dengan jenis Entrophospora sp. dan Gigaspora

sp., (5) untuk mengetahui apakah pemberian FMA jenis Entrophospora sp. lebih baik terhadap pertumbuhan tebu dibandingkan dengan jenis Gigaspora sp., (6) untuk mengetahui apakah pemberian FMA campuran Glomus


(3)

Yayah Inayah

dengan campuara Glomus sp.+Gigaspora sp. dan campuran Entrophospora

sp.+Gigaspora sp., dan (7) untuk mengetahui apakah pemberian FMA campuran

Glomus sp.+Gigaspora sp. lebih baik terhadap pertumbuhan tebu dibandingkan campuran Entrophospora sp.+Gigaspora sp.

Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca, Laboratorium Ilmu Tanaman, dan Laboratorium Produksi Perkebunan Fakultas Pertanian Universitas Lampung Bandar Lampung sejak bulan Februari sampai dengan Oktober 2011.

Rancangan perlakuan disusun secara tunggal terstruktur berkelas dengan 8 perlakuan m0 (kontrol), m1 (Glomus sp.(G)), m2 (Entrophospora sp.(En)), m3 (Gigaspora sp.(Gi)), m4 (G+En), m5 (G+Gi), m6 (Gi+En), m7 (G+En+Gi) dengan 7 ulangan. Setiap satu satuan percobaan diterapkan pada petak percobaan menurut rancangan kelompok teracak sempurna (RKTS). Jumlah tanaman per satuan percobaan adalah satu tanaman dengan total pengamatan 56 tanaman. Data yang diperoleh diuji dengan uji Bartlett untuk menguji kehomogenan ragam antar perlakuan dan kemenambahan model dengan uji Tukey. Pemisahan nilai tengah dilakukan dengan menggunakan ortogonal kontras pada taraf nyata 5%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian FMA (tunggal maupun

campuran) dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman tebu melalui peningkatan bobot basah akar, bobot basah tajuk, bobot kering akar, dan bobot kering tajuk. Tidak terdapat perbedaan pertumbuhan tanaman tebu yang diberi FMA tunggal maupun campuran.


(4)

TANGGAPAN PERTUMBUHAN TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) TERHADAP PEMBERIAN TIGA JENIS FUNGI

MIKORIZA ARBUSKULAR SECARA TUNGGAL DAN CAMPURAN

Oleh

Yayah Inayah

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Jurusan Budidaya Pertanian Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(5)

Judul Skripsi : TANGGAPAN PERTUMBUHAN TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) TERHADAP PEMBERIAN TIGA JENIS FUNGI

MIKORIZA ARBUSKULAR SECARA TUNGGAL DAN CAMPURAN

Nama Mahasiswa : Yayah Inayah Nomor Pokok Mahasiswa : 0614011061

Jurusan : Budidaya Pertanian Program Studi : Agronomi

Fakultas : Pertanian

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Maria Viva Rini, M.Sc. Ir. Indarto, M.S.

NIP 196603041990122001 NIP 1957123119850131017

2. Ketua Jurusan

Prof. Dr. Ir. Setyo Dwi Utomo, M.Sc. NIP 196002131986102001


(6)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Ir. Maria Viva Rini, M.Sc. ______________

Sekretaris : Ir. Indarto, M.S. ______________

Penguji

Bukan Pembimbing : Dr. Ir. Nyimas Sa’diyah, M.P. ______________

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP 196108261987021001


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 9 Januari 1988 sebagai anak ke sepuluh dari sebelas bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negri 5 Bumi Waras Teluk Betung Bandar Lampung pada tahun 1999, Sekolah Menengah Pertama Negri 3 Bandar Lampung pada tahun 2002, dan Sekolah Menengah Umum Negri 11 Bandar Lampung pada tahun 2005. Penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Lampung Program Studi Agronomi pada tahun 2006

melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Penulis pernah mengikuti kegiatan, Materi Ruang Materi Lapang Agronomi Pecinta Alam (MRML AGROPALA) Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada tahun 2007 sebagai peserta, Latihan Dasar Unit Pelaksana Teknis

Mahasiswa Agronomi Pecinta Alam (LANDAS UPTM AGROPALA) pada tahun 2007 sebagai peserta, Kegiatan Bakti Sosial di Dusun Sumbaringin, Kecamatan Natar, Lampung Selatan pada tanggal 17-19 Mei 2007, dan Poster Competition Crop Sains English Week Season Two pada tahun 2008 sebagai peserta.


(8)

Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali saat kita jatuh

(CONFUSIUS)

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan maka apabila kamu selesai (dari satu pekerjaan), lakukanlah dengan sungguh-sungguh

(pekerjaan) yang lain (QS. AL INSYRAH: 6-7)


(9)

Dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT yang telah mengabulkan doa dan harapan-harapan kedua orang tuaku, kupersembahkan karya kecilku ini

untuk kedua orang tuaku tersayang, kakak-kakak, dan adikku yang senantiasa memberi kasih sayang,


(10)

ii SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi ini.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Maria Viva Rini, M.Sc. selaku Pembimbing Pertama atas saran, motivasi, dan kesabaran dalam membimbing penulis selama penelitian hingga penyelesaian skripsi.

2. Ir. Indarto, M.S. selaku Pembimbing Kedua atas saran, bimbingan, motivasi, dan kesabaran dalam membimbing penulis selama penelitian hingga penyelesaian skripsi.

3. Dr. Ir. Nyimas Sa’diyah, M.P. selaku Penguji Bukan Pembimbing yang telah memberikan saran, pengarahan, dan semangat, dalam perbaikan penulisan skripsi.

4. Ir. Herry Susanto, M.P. selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan memberikan saran demi kebaikan penulis selama menjadi mahasiswa Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. 5. Ir. Sugiatno, M.S. atas bantuan, saran, dan pengarahan, dalam


(11)

iii 6. Seluruh Dosen Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian,

Universitas Lampung yang telah memberikan pengetahuan dan pengalaman selama penulis menuntut ilmu.

7. Mama’(Momon Saputra), Ibu (Muisah), A Diri, Ce Tati, A Nana, Mba Lis, Ce Dadah, Ka Ferry, Ce Ea, Ce Lina, Ka Sirad, A Waung, A Wawan, Ce Maya, Etu, Aan, Ayu yang telah memberikan doa, semangat, kasih sayang, pengertian, motivasi, dan segala bantuan moril dan materiil untuk

keberhasilan penulis.

8. Ari Dwinara, Valim, Gustiawan, Ramadian, Vicko, Ipul, Defki, Onny, Udin, dan Sinta atas kebersamaan, dukungan, semangat, dan segala bantuan selama penelitian hingga penulisan skripsi.

9. Sigit, Adi, Krisna, Adhit, Isma, Wendi, Mei, Pipit, Nita, dan Adhe atas semangat, dan bantuan selama penelitian hingga penulisan skripsi.

10.Mba Vida, Mba Tri, Mba Anggun, dan Ka’ Gary atas semangat, motivasi, dukungan, dan segala bantuan selama penelitian.

11.Widi, Ketut, Andi, Juhanda, Linggar, Eko, Wawa, Drajat, Tomi, dan Agus atas bantuan dan semangat selama penelitian.

Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini bermanfaat.

Bandar Lampung, Mei 2012 Penulis


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Landasan Teori ... 5

1.5 Kerangka Pemikiran ... 10

1.6 Hipotesis ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1 Botani Tebu ... 14

2.2 Fungi Mikoriza Arbuskular ... 16

2.3 Manfaat Fungi Mikoriza Arbuskular ... 21

III . BAHAN DAN METODE ... 23

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 23

3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 23

3.3 Metode Penelitian ... 23

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 25

3.4.1 Menyiapkan media tanam ... 25

3.4.2 Inokulasi mikoriza dan penanaman ... 26

3.4.3 Pemupukan ... 26

3.4.4 Perawatan tanaman ... 27


(13)

v Halaman

3.5 Pengamatan ... 27

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

4.1 Hasil Penelitian ... 30

4.1.1 Tinggi tanaman ... 30

4.1.2 Jumlah daun ... 31

4.1.3 Bobot basah akar ... 31

4.1.4 Bobot basah tajuk ... 32

4.1.5 Bobot kering akar ... 33

4.1.6 Bobot kering tajuk ... 34

4.1.7 Persentase infeksi akar ... 35

4.2 Pembahasan ... 36

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

5.1 Kesimpulan ... 42

5.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 44

LAMPIRAN ... 47 Tabel 11-41 ... 47-61


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1. Klasifikasi fungi mikoriza abuskular ... 20 2. Perbandingan Ortogonal Kontras ... 25 3. Deskripsi mikoriza jenis Glomus sp., Entrophospora sp.,

dan Gigaspora sp. ... 29 4. Pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran terhadap tinggi

tanaman tebu ... 30 5. Pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran terhadap jumlah

daun tanaman tebu ... 31 6. Pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran terhadap bobot basah akar tanaman tebu ... 32 7. Pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran terhadap bobot basah tajuk tanaman tebu ... 33 8. Pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran terhadap bobot kering akar tanaman tebu ... 34 9. Pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran terhadap bobot kering tajuk tanaman tebu ... 35 10. Pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran terhadap persen infeksi akar tanaman tebu ... 36 11. Rekapitulasi uji Bartlet untuk homogenitas ragam antarperlakuan ... 47 12. Hasil pengamatan pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran

terhadap tinggi tanaman tebu ... 47 13. Analisis ragam untuk pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran terhadap tinggi tanaman tebu ... 48


(15)

v Tabel Halaman 14. Pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran terhadap tinggi

tanaman tebu ... 48 15. Perbandingan ortogonal untuk pengaruh pemberian FMA tunggal

dan campuran terhadap tinggi tanaman tebu ... 49 16. Hasil pengamatan pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran

terhadap jumlah daun tanaman tebu ... 49 17. Analisis ragam untuk pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran terhadap jumlah daun tanaman tebu ... 50 18. Pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran terhadap jumlah daun tanaman tebu ... 50 19. Perbandingan ortogonal untuk pengaruh pemberian FMA tunggal dan

campuran terhadap jumlah daun tanaman tebu ... 51 20. Hasil pengamatan pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran

terhadap jumlah dauni tanaman tebu... 51 21. Analisis ragam untuk pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran terhadap bobot basah akar tanaman tebu ... 52 22. Pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran terhadap bobot basah akar tebu ... 52 23. Perbandingan ortogonal untuk pengaruh pemberian FMA tunggal dan

campuran terhadap bobot basah akar tebu ... 53 24. Hasil pengamatan pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran

terhadap bobot basah akar tebu ... 53 25. Analisis ragam untuk pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran terhadap bobot basah tajuk tebu ... 54 26. Pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran terhadap bobot basah tajuk tebu ... 54 27. Perbandingan ortogonal untuk pengaruh pemberian FMA tunggal dan

campuran terhadap bobot basah tajuk tebu ... 55 28. Hasil pengamatan pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran


(16)

v Tabel Halaman 29. Analisis ragam untuk pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran terhadap bobot kering akar tebu ... 56 30. Pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran terhadap bobot kering akar tebu ... 56 31. Hasil pengamatan pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran

terhadap bobot kering akar tebu ... 57 32. Analisis ragam untuk pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran terhadap bobot kering tajuk tebu ... 57 33. Pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran terhadap bobot kering tajuk tebu ... 58 34. Perbandingan ortogonal untuk pengaruh pemberian FMA tunggal dan

campuran terhadap bobot kering tajuk tebu ... 58 35. Hasil pengamatan pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran

terhadap bobot kering tajuk tebu ... 59 36. Analisis ragam untuk pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran terhadap persen infeksi akar tebu ... 59 37. Pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran terhadap persen infeksi akar tebu ... 60 38. Perbandingan ortogonal untuk pengaruh pemberian FMA tunggal dan

campuran terhadap persen infeksi akar tebu ... 60 39. Hasil pengamatan pengaruh pemberian FMA tunggal dan campuran


(17)

v DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Bentuk dan proses pembentukan spora jenis Glomus sp. ... 20

2. Bentuk dan proses pembentukan spora jenis Gigaspora sp. ... 21

3. Bentuk dan proses pembentukan spora jenis Entrophospora sp. ... 21

4 Tata letak percobaan dir rumah kaca ... 24

5. Proses inokulasi FMA pada bibit tebu berumur 21 hari setelah tanam .... 26

6. Akar tebu yang diinokulasi FMA dan tidak diinokulasi FMA ... 38

7. Infeksi akar bibit tebu pada perlakuan Gigaspora sp. ... 40


(18)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Lebih dari setengah produksi gula dunia berasal dari tanaman tebu, dan tebu merupakan salah satu komoditas pertanian penting di Indonesia. Sejalan dengan pertumbuhan industri gula nasional, sektor perkebunan tebu sebagai pendukung utama industri gula juga tumbuh. Hal ini mendorong terjadinya sistem pertanian budidaya tanaman monokultur yang ingin meningkatkan produksi tebu dengan input tinggi diantaranya dengan penggunaan pupuk anorganik dan pestisida (Abdullah, Musa, dan Feranita, 2005). Kegiatan ini berdampak pada kesuburan tanah. Tanah subur menjadi marjinal dengan permasalahan unsur hara, tanah menjadi keras dan padat, drainase jelek, dan miskin bahan organik.

Oleh karena itu, perlu diupayakan suatu kegiatan yang bertujuan meningkatkan produktivitas lahan. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah dengan pemanfaatan fungi mikoriza arbuskular (FMA). Pemanfaatan FMA bertujuan untuk memperbaiki tingkat serapan hara dan air oleh tanaman terutama unsur fosfor dan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen tanah melalui simbiosis antara FMA dengan akar tanaman. Secara tidak langsung hifa FMA juga dapat memperbaiki struktur tanah.


(19)

2 Menurut Annas (1997), tanaman yang bermikoriza dapat menyerap pupuk fosfat lebih tinggi hingga 10-27 persen dibandingkan dengan tanaman yang tidak bermikoriza. Menurut Abdullah, Musa dan Feranita, (2005), mikoriza berperan penting dalam memperbaiki struktur tanah dengan menyelimuti butir-butir tanah. Stabilitas agregat meningkat dengan adanya gel polisakarida yang dihasilkan hifa FMA.

Fungi mikoriza arbuskular tidak memiliki inang yang spesifik. Fungi yang sama dapat mengkolonisasi tanaman yang berbeda, tetapi kapasitas fungi untuk

meningkatkan pertumbuhan tanaman bervariasi. Setiap spesies fungi memiliki tingkat adaptasi terhadap lingkungan yang berbeda. Oleh karena itu, jarang sekali satu spesies akan efisien pada semua kondisi lingkungan, sehingga

memungkinkan bahwa inokulasi multispesies menunjukan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya satu spesies (Novriani dan Madjid, 2010).

Hasil penelitian Sari (1999) memperlihatkan bahwa inokulasi FMA campuran (Acaulospora sp., Glomus sp., Gigaspora sp.) dan inokulasi Gigaspora sp. saja dapat mengurangi waktu siap sambung bibit manggis yaitu rata-rata masing-masing menjadi 14.5 bulan dan 18.3 bulan, atau kurang dari dua tahun dibandingkan dengan perlakuan kontrol yang mencapai waktu lebih dari dua tahun.

Dalam pemanfaatan FMA pada suatu tanaman, jenis dan macam inokulum yang digunakan cukup menentukan keberhasilan mikoriza menginfeksi tanaman. Penggunaan inokulum FMA campuran yang terdiri dari beberapa spesies tampaknya lebih efektif daripada penggunaan spesies tunggal (Camprubi dan


(20)

3 Calvet, 1996 dalam Novriani dan Madjid, 2010). Untuk tanaman manggis, FMA campuran yang berasal dari daerah Padang, Sawahlunto Sijunjung, dan

Limapuluh Kota mampu mempercepat pertumbuhan semaian manggis sekitar 40% dibandingkan dengan semaian yang tidak diinokulasi dengan mikoriza (Musa et al. 2002 dikutip oleh Novriani dan Madjid, 2010).

Mikoriza merupakan mahluk hidup, maka sejak berasosiasi dengan akar tanaman fungi ini terus berkembang dan selama itu pula berfungsi membantu tanaman. Pemupukan dengan mikoriza cukup dilakukan sekali untuk seumur tanaman (Abdullah, Musa, dan Feranita., 2005). Fungi mikoriza arbuskular ini dapat menginfeksi hampir semua jenis tanaman dipermukaan bumi, baik pada tanaman pangan, tanaman perkebunan, kehutanan, maupun tanaman penghijauan (Muslaf, 2008).

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah, percobaan ini dilakukan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut:

(1) Apakah pemberian FMA dapat meningkatkan pertumbuhan tebu? (2) Apakah pemberian FMA satu jenis lebih baik dalam meningkatkan

pertumbuhan tebu dibandingkan dengan pemberian FMA campuran?

(3) Apakah pemberian FMA campuran dua jenis lebih baik dalam meningkatkan pertumbuhan tebu dibandingkan dengan campuran tiga jenis FMA?

(4) Apakah pemberian FMA jenis Glomus sp. lebih baik dalam meningkatkan pertumbuhan tebu dibandingkan dengan jenis Entrophospora sp. dan


(21)

4 (5) Apakah pemberian FMA jenis Entrophospora sp. lebih baik dalam

meningkatkan pertumbuhan tebu dibandingkan dengan jenis Gigaspora sp.? (6) Apakah pemberian FMA campuran Glomus sp.+Entrophospora sp. lebih baik

dalam meningkatkan pertumbuhan tebu dibandingkan dengan campuara

Glomus sp.+Gigaspora sp. dan campuran Entrophospora sp.+Gigaspora sp.? (7) Apakah pemberian FMA campuran Glomus sp.+Gigaspora sp. lebih baik

dalam meningkatkan pertumbuhan tebu debandingkan campuran

Entrophospora sp.+Gigaspora sp.?

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah maka penelitian dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

(1) Untuk mengetahui apakah pemberian FMA dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman tebu.

(2) Untuk mengetahui apakah pemberian FMA satu jenis lebih baik dalam meningkatkan pertumbuhan tebu dibandingkan dengan pemberian FMA campuran

(3) Untuk mengetahui apakah pemberian FMA campuran dua jenis lebih baik dalam meningkatkan pertumbuhan tebu dibandingkan dengan pemberian FMA campuran tiga jenis.

(4) Untuk mengetahui apakah pemberian FMA jenis Glomus sp. lebih baik dalam meningkatkan pertumbuhan tebu dibandingkan dengan jenis Entrophospora


(22)

5 (5) Untuk mengetahui apakah pemberian FMA jenis Entrophospora sp. lebih baik dalam meningkatkan pertumbuhan tebu dibandingkan dengan jenis Gigaspora

sp.?

(6) Untuk mengetahui apakah pemberian FMA campuran Glomus

sp.+Entrophospora sp. lebih baik dalam meningkatkan pertumbuhan tebu dibandingkan dengan campuara Glomus sp.+Gigaspora sp. dan campuran

Entrophospora sp.+Gigaspora sp.?

(7) Untuk mengetahui apakah pemberian FMA campuran Glomus sp.+Gigaspora

sp. lebih baik dalam meningkatkan pertumbuhan tebu debandingkan campuran Entrophospora sp.+Gigaspora sp.?

1.3 Landasan Teori

Dalam rangka menyusun penjelasan teoretis terhadap pertanyaan yang telah dikemukakan, penulis menggunakan landasan teori sebagai berikut:

Begitu banyaknya jenis mikoriza, maka kita perlu menyeleksi jenis-jenis mikoriza yang cocok dengan inang. Secara umum, mikoriza di daerah tropika tergolong dalam dua tipe yaitu: Endomikoriza dan Ektomikoriza. Fungi ini pada umumnya tergolong ke dalam kelompok ascomycetes dan basidiomycetes (Pujiyanto, 2001). Salah satu jenis endomikoriza yang banyak terdapat di alam adalah fungi mikoriza arbuskular (FMA).

Menurut Setiadi (1989), terdapat beberapa karakteristik yang dapat dilihat pada ektomikoriza, yaitu : akar yang terkena infeksi biasanya membesar dan

bercabang-cabang serta tidak ada rambut akar, permukaan akar ditutupi oleh miselia (mantel), nampak beberapa hifa menjorok keluar, hifa membentuk


(23)

6 struktur seperti net (jala) di antar dinding sel-sel jaringan korteks, dan hifa

berkembang di antara dinding-dinding sel jaringan korteks.

Berbeda dengan ektomikoriza, akar fungi yang terinfeksi endomikoriza tidak berubah bentuk morfologinya. Hifa fungi yang tidak bersekat dan tumbuh di antara sel jaringan korteks, tetapi tidak masuk ke jaringan stele. Di dalam sel-sel yang diinfeksi dibentuk hifa yang bergelung (hifa gelung) atau bercabang-cabang yang dinamakan arbuskula (Gunawan, 1994).

Fungi Mikoriza Arbuskular dikelompokkan ke dalam ordo Glomales, sub ordo

Glomineae dan Gigasporineae. Glomineae terdiri dari empat family, yaitu

Glomaceae dengan genus Glomus, Acaulosporaceae dengan genus

Entrophospora dan Acaulospora, Aracheosporaceae dengan genus Archaespora,

dan Paragflomaceae dengan genus Paraglomus. Sementara sub ordo

Gigasporineae terdiri dari famili Gigasporaceae dengan genus Gigaspora dan

Scutellospora). Salah satu karakterteristik yang mudah diterapkan dalam

klasifikasi FMA adalah morfologi spora yaitu bagaimana proses spora dibentuk, reaksi spora terhadap melzer, serta struktur mikoriza yang terbentuk dalam akar (Fakuara, 1998).

Kesesuaian antara inang dan spesies FMA sangat menentukan keberhasilan simbiosis. Beberapa spesies FMA dapat bersimbiosis dengan satu jenis tanaman, namun tingkat keberhasilannya akan berbeda. Sebagai contoh, hasil penelitian Sastrahidayat, Wakidah, dan Syekhfani, (1998) menunjukkan bahwa spesies

Glomus etunicatum lebih efisien menyerap unsur fosfor dibandingkan dangan G. manihotis dan Gi. rosea pada tanaman jagung. Pada tanaman kapas, G.


(24)

7

fasciculatun mempunyai daya saing yang lebih kuat dibandingkan dengan

Gigaspora sp. dan Acaulospora bireticulata.

Delvian (2006) mendapatkan bahwa spora-spora dari isolat FMA Acaulospora laevis, Scutellospora calospora, Glomus caledonium, dan Glomus monosporum

telah mempunyai sifat dorman secara genetik. Selanjutnya, panjang periode dormansi akan bervariasi antara isolat-isolat FMA. Perbedaan waktu

berkecambah spora dari setiap jenis FMA berhubungan dengan faktor intrinsik dari jenis itu sendiri (Ocampo et al., 1986 yang dikutip oleh Delvian, 2006). Secara umum, Glomus lebih cepat berkecambah dibandingkan Gigaspora dan

Acaulospora. Hasil ini sejalan dengan penelitian Clark (1997) yang dikutip oleh Delvian (2006) yang mempelajari perkecambahan 5 jenis Glomus, 4 jenis

Scutellospora, dan 4 jenis Gigaspora, dimana rata-rata waktu perkecambahan spora Glomus, Scutellospora, dan Gigaspora secara berurutan adalah 6 minggu, 14 minggu dan 21 minggu.

Prinsip kerja fungi mikoriza adalah menginfeksi sistem perakaran tanaman inang, memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga mampu meningkatkan

kapasitas tanaman dalam penyerapan unsur hara. Fungi Mikoriza Arbuskular (FMA) sangat berperan dalam memperbaiki ketersediaan P bagi tanaman karena FMA dapat meningkatkan kemampuan tanaman melakukan penyerapan unsur-unsur yang tidak mobil dalam bentuk yang tidak tersedia dalam tanah (Utama, Haryoko, dan Zen, 2003).


(25)

8 Hasil penelitian Susilo (2011), menunjukkan bahwa dari ketinggian tempat yang berbeda ditemukan 9 FMA yaitu pada >1500 m dpl (di atas permukaan laut) ditemukan Glomus versiforme, Glomus sp1, Entropospora sp1 dan Entropospora

sp2, pada ketinggian 1500 m dpl ditemukan Glomus mosseae, Acaulospora dentikulata dan Acaulospora sp. dan pada <1500 m dpl ditemukan Glomus sp1,

Glomus sp2 dan Gigaspora sp. Hasil tersebut menunjukkan bahwa genus Glomus mempunyai tingkat adaptasi cukup tinggi terhadap lingkungan dari pada genus lainnya sehingga glomus dapat ditemukan di ketiga ketinggian. Tingkat kolonisasi tertinggi terletak pada ketinggian pertama > 1500 m dpl : 48,89%, sedangkan ketinggian lainnya adalah 1500 m dpl : 46.56% dan < 1500 m dpl : 34.11%.

Spora-spora Glomus yang berukuran lebih kecil dari genus-genus lainnya akan mempunyai fase hidrasi yang lebih cepat sehingga aktivitas enzim-enzim yang berhubungan dengan perkecambahan akan berlangsung lebih awal. Pada akhirnya, proses perkecambahan juga akan terjadi lebih awal dibandingkan dengan genus lainnya. Spora-spora Glomus terbentuk pada hifa-hifa eksternal di dekat perakaran. Biasanya spora Glomus yang matang berwarna putih atau kuning kecoklatan (Delvian, 2006).

Fungi Mikoriza Arbuskular tergolong dalam kelompok khusus dari populasi mikoriza yang sangat banyak mengkolonisasi daerah akar, yaitu di dalam akar, permukaan akar, dan di daerah sekitar akar (Marschaner, 1995 yang dikutip oleh Sallisburry, dan Ross, 1995). Menurut Imas et al. (1989), hifa eksternal FMA yang berhubungan dengan tanah dan struktur infeksi seperti arbuskular di dalam akar menjamin adanya perluasan penyerapan unsur-unsur hara dari tanah dan


(26)

9 peningkatan transfer hara khususnya P ke tumbuhan. Terjadinya peningkatan serapan P pada tanaman bermikoriza ditentukan oleh (a) spesies tanaman, keperluan tanaman akan fosfor, dan kemampuan tanaman untuk menggunakan fosfor tanah, (b) kandungan fosfor di dalam tanah, dan (c) infeksi mikoriza yang bergantung pada tanaman dan adaptasinya pada tanah dan lingkungan. Melalui proses enzimatik, fosfor yang terikat kuat dalam ikatan senyawa kimia seperti aluminium (Al) dan besi (Fe), dapat diuraikan dan dipecahkan dalam bentuk tersedia bagi inang oleh FMA. Karena hanya tanaman inang yang

berfotosintesis, sebagai imbalannya, sebagian hasil fotosintat didistribusikan ke bagian ak ar, dan tentunya juga untuk FMA yang berasosiasi dengan jaringan korteks akar inang yang dimanfaatkan oleh FMA untuk hidup dan berkembang biak di dalam akar dan tanah. Dari kegiatan pertukaran antara FMA dan inang, maka proses simbiosis mutualistis berlangsung terus menerus dan saling

menguntungkan seumur hidup inang (Santoso, 2006).

Efektivitas FMA ditentukan oleh faktor abiotik seperti pH, kadar air, suhu, pengolahan tanah dan pemberian pupuk serta pestisida. Faktor biotik yang berpengaruh adalah interaksi FMA dengan akar, jenis tanaman inang, tipe perakaran tanaman inang, dan kompetisi fungi itu sendiri. Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkembangan FMA. Biasanya lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman juga cocok untuk perkembangan spora fungi (Soelaiman dan Hirata, 1995 yang dikutip oleh Muslaf, 2008).


(27)

10 Laju kolonisasi akar, selain ditentukan oleh respon tanaman inang dan lingkungan tumbuh, ditentukan pula oleh dormansi, tingkat kematangan atau umur spora, dan kerapatan inokulum. Dormansi merupakan waktu yang diperlukan oleh spora untuk berkecambah dan kemudian mengkolonisasi akar, adanya dormansi spora dengan demikian dapat menurunkan laju kolonisasi akar. Setiap jenis FMA memiliki lama dormansi yang berbeda-beda, misalnya Gigaspora dapat

berkecambah dan mengolonisasi akar dalam waktu kurang dari seminggu, Glomus

dalam tempo 6 minggu mampu mengkolonisasi akar sampai 39% (Widiastuti dan Kramadibrata, 1993).

1.4 Kerangka pemikiran

Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan, berikut ini disusun kerangka pemikiran untuk memberikan penjelasan teoretis terhadap perumusan masalah. Fungi mikoriza arbuskular diinokulasikan ke akar tanaman tebu dengan cara spora ditaburkan pada bagian akar dan disekitar lubang tanam secara tunggal dan

campuran. Inokulasi dilakukan pada tanaman berumur 21 hari setelah tanam.

Inokulum FMA yang berupa spora akan berkecambah dan mengeluarkan hifa, kemudian hifa FMA menembus akar dan masuk ke sel epidermis membentuk apresorium dalam lapisan sel yang pertama yang digunkan untuk melekatkan diri dengan tanaman inang.

Hifa FMA kemudian berkembang secara eksternal dan internal, hifa yang masuk ke sel epidermis (hifa internal) akan berkembang secara intraseluler dan


(28)

11 gelung-gelung hifa kompleks yang selanjutnya membentuk arbuskular yang berperan sebagai tempat pertukaran unsur hara. Selanjutnya akan terbentuk vesikula yang berfungsi sebagai cadangan makanan yang dibentuk secara interseluler.

Hifa yang berada di luar sel akar (hifa eksternal) akan menyerap hara dari dalam tanah yang kemudian ditranslokasikan melalui arbuskular, daerah penyerapan akar menjadi semakin luas, unsur hara makro terutama fosfor dan unsur hara mikro yang diserap semakin banyak sehingga pertumbuhan tanaman akan meningkat. Dengan meningkatnya unsur hara di dalam tanaman, memungkinkan aktivitas metabolisme tanaman berjalan baik. Hifa FMA dapat berperan sebagai

kepanjangan akar. Dengan panjangnya hifa tersebut, maka akar tanaman mampu menyerap unsur hara dan air pada area-area tanah yang tidak dapat dijangkau oleh akar.

Fungi mikoriza arbuskular tidak memiliki inang yang spesifik. Fungi yang sama dapat mengkolonisasi tanaman yang berbeda, tetapi kapasitas fungi untuk

meningkatkan pertumbuhan tanaman bervariasi. Pada umumnya aplikasi FMA satu jenis kurang efesien pada semua kondisi lingkungan, sehingga

memungkinkan bahwa aplikasi campuran dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya satu spesies. Masing-masing jenis fungi dapat beradaptasi pada lingkungan yang berbeda, dengan pemberian mikoriza campuran maka masing-msing jenis mikoriza diharapkan dapat bekerjasama.


(29)

12 Kesesuaian antara FMA dengan tanaman inang menjadi faktor penentu untuk perkembangan FMA itu sendiri. Jenis Glomus sp. yang diinokulasikan pada akar tanaman umumnya mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Berbeda dengan Glomus sp., Gigaspora sp. banyak ditemukan di daerah berpasir. Pada penelitian yang berbeda, Gigaspora sp. juga mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Sedangkan untuk jenis FMA Entrophospora sp. masih perlu diteliti lebih lanjut untuk pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman. Untuk tanaman tebu akan diteliti lebih lanjut untuk pengaruhnya terhadap

pertumbuhan tebu dari pemberian mikoriza jenis Glomus sp., Gigaspora sp., dan

Entrophospora sp. serta pemberian campuran dua jenis dan tiga jenis.

1.5 Hipotesis

Dari kerangka pemikiran yang telah dikemukakan, maka hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:

(1) Pemberian FMA dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman tebu dibandingkan dengan tanaman tebu yang tidak diberi FMA.

(2) Pemberian FMA campuran dapat meningkatkan pertumbuhan tebu lebih baik dibandingkan dengan pemberian FMA satu jenis.

(3) Pemberian FMA campuran tiga jenis dapat meningkatkan pertumbuhan tebu lebih baik dibandingkan pemberian FMA campuran dua jenis

(4) Pemberian FMA jenis Glomus sp. dapat meningkatkan pertumbuhan tebu lebih baik dibandingkan dengan pemberian FMA jenis Entrophospora sp. dan Gigaspora sp.


(30)

13 (5) Pemberian FMA jenis Entropospora sp. dapat meningkatkan pertumbuhan

tebu lebih baik dibandingkan dengan jenis Gigaspora sp.

(6) Pemberian FMA campuran Glomus sp.+Entrophospora sp. dapat

meningkatkan pertumbuhan tebu lebih baik dibandingkan dengan pemberian FMA campuran Glomus sp.+Gigaspora sp. dan Entrophospora

sp.+Gigaspora sp.

(7) Pemberian Glomus sp.+Gigaspora sp. dapat meningkatkan pertumbuhan tebu lebih baik dibandingkan Entrophospora sp.+Gigaspora sp.


(31)

15

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Botani Tebu

Tebu adalah tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula, etanol, vetsin dan lain-lain. Tanaman tebu hanya dapat tumbuh di daerah beriklim tropis. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai kurang lebih satu tahun. Tanaman tebu termasuk ke dalam famili rumput (Graminae) dan masuk dalam genus Saccharae atau Saccharum. Saccharum terbagi menjadi 2 keluarga yaitu

Saccharum spontaneum (Glagah) dan Saccharum officinarum (Tebu) (Wikipedia, 2010). Nama Saccharum berasal dari bahasa sansekerta ”Sarkara” yang berarti

gula pasir, dalam bahasa Inggris ”Sugar”.

Klasifikasi tanaman tebu adalah sebagai berikut: Kerajaan : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Ordo : Poales

Famili : Poaceae

Genus : Saccharum

Spesies : Saccharum officinarum L.

Tebu merupakan tanaman berbiji tunggal, batang tebu padat, bagian luar berkulit keras dan bagian dalam lunak mengandung air gula. Batang tebu berruas dan berbuku (Bidang Tanaman PTPN VII, 1997).


(32)

15 Tanaman tebu berakar serabut, akar keluar dari lingkungan akar di bagian pangkal batang. Beberapa minggu setelah kuncup dari stek tebu tumbuh jadi tanaman muda, maka tanaman muda tersebut segera membentuk akarnya sendiri.

Daun terbentuk pada buku batang dan duduk pada batang secara berseling. Daun terdiri dari helai daun (lamina) dan pelepah daun (vagina). Helai daun berbentuk garis yang panjangnya 1-2 meter dan lebar 4-7 cm, dengan tepi dan permukaannya kasap tidak licin. Pelepahnya di bagian bawah membalut batang seluruhnya. Pada tanaman tebu yang kekurangan air, maka daun tebu akan menggulung untuk mengurangi transpirasi. Jika keadaan air sudah baik lagi, maka daun akan terbuka kembali. Pada waktu tanaman tebu akan berbunga, helai daun yang kecil di atas pelepah daun akan keluar. Helai daun yang kecil ini berdiri tegak seperti bendera dan disebut daun bendera. Dalam pelepah yang panjang tersebut terdapat kuncup bunga yang akan keluar dari pelepah sebagai malai (Bidang Tanaman PTPN VII, 1997).

Fase Pertumbuhan Tebu

Menurut Oezer (1993), pertumbuhan tanaman tebu terdiri dari 5 fase, yaitu : 1. Fase perkecambahan. Pada fase ini menunjukkan adanya pertumbuhan

perkecambahan dari mata tunas tebu. Fase ini berjalan pada 0-5 minggu setelah tanam.

2. Fase pertunasan. Pada fase ini terjadi pertumbuhan anakan dari batang tebu hingga membentuk rumpun tebu. Fase ini berlangsung pada tanaman berumur 5 minggu – 3 bulan.


(33)

16 3. Fase pertumbuhan pemanjangan batang. Pada fase

ini terjadi pengembangan tajuk daun, akar, pemanjangan batang, pembentukan biomasa pada batang dan peningkatan fotosintesis. Proses yang paling dominan adalah proses pemanjangan batang. Pembentukan ruas tebu sekitar 3–4 ruas per bulan selama fase ini dan akan menurun dengan bertambahnya umur (tua). Fase ini berlangsung pada tanaman berumur 3–9 bulan.

4. Fase kemasakan. Pada fase ini berlangsung proses pengisian batang-batang tebu dengan gula (sukrosa) hasil proses fotosintesis tanaman. Proses kemasakan berjalan dari ruas bawah ke atas. Pada tebu muda kadar sucrose (C12H22O11) pada pangkal batang di atas tanah lebih tinggi dibanding bagian lainnya. Fase ini dapat berlangsung pada umur 9–12 bulan.

5. Fase kematian. Pada fase ini tanaman tebu mulai mati setelah melalui kemasakan optimum hingga kembali menurun kadar gulanya.

2.2 Fungi Mikoriza Arbuskular

Hampir semua tanaman pertanian akarnya terinfeksi fungi mikoriza. Gramineae dan Leguminosa umumnya bermikoriza. Tanaman pertanian yang telah

dilaporkan terinfeksi mikoriza vesikular-arbuskular antara lain adalah kedelai, barley, jagung, bawang, kacang tunggak, nenas, padi gogo, pepaya, selada, singkong dan sorgum. Tanaman perkebunan yang telah dilaporkan akarnya terinfeksi mikoriza antara lain adalah tebu, kelapa sawit, teh, tembakau, palem,


(34)

17 kopi, karet, kapas, jeruk, kakao, apel dan anggur (Rahmawati, 2003 yang dikutip oleh Novriani dan Madjid, 2010).

Fungi mikoriza arbuskular merupakan fungi yang hidup bersimbiosis secara mutualisme dengan sistem perakaran. Menurut Pattimahu (2004), FMA

membentuk organ-organ khusus dan mempunyai perakaran yang spesifik. Organ khusus tersebut adalah arbuskul (arbuscule), vesikel (vesicle), dan spora.

Vesikel merupakan struktur fungi yang berasal dari pembengkakan hifa internal secara terminal dan interkalar, kebanyakan berbentuk bulat telur, dan berisi banyak senyawa lemak sehingga merupakan organ penyimpanan cadangan makanan dan pada kondisi tertentu dapat berperan sebagai spora atau alat untuk mempertahankan kehidupan fungi (Pattimahu, 2004).

Fungi mikoriza arbuskular di dalam akar membentuk struktur khusus yang disebut arbuskular. Arbuskular merupakan hifa bercabang halus yang dibentuk oleh percabangan dikotomi yang berulang-ulang sehingga menyerupai pohon di dalam sel korteks inang (Pattimahu, 2004).

Spora FMA terbentuk pada ujung hifa eksternal. Spora ini dapat dibentuk secara tunggal, berkelompok atau di dalam sporokarp tergantung pada jenis funginya. Spora dapat hidup di dalam tanah beberapa bulan sampai beberapa tahun. Namun untuk perkembangan, FMA memerlukan tanaman inang. Spora dapat disimpan dalam waktu yang lama sebelum digunakan lagi (Mosse, 1981).

Fungi mikoriza arbuskular dikelompokkan berdasarkan struktur tubuhnya dan cara infeksi terhadap tanaman inang kedalam dua golongan besar, yaitu


(35)

18 ektomikoriza dan endomikoriza (Imas et al., 1989). Karakteristik fungi mikoriza golongan ektomikoriza adalah hifa fungi membentuk mantel yang menyelimuti permukaan akar. Akar yang terinfeksi membesar dan bercabang, serta tidak ditemukan rambut-rambut akar. Hifa di dalam sel korteks akar membentuk struktur seperti net (jala), dan hifa tidak masuk ke dalam sel tetapi hanya berkembang diantara dinding-dinding sel korteks saja.

Fungi mikoriza golongan endomikoriza mempunyai karakteristik sistem

perakaran tanaman inang yang diinfeksi tidak membesar dan terdapat lapisan hifa tipis pada permukaan akar. Hifa fungi menginfeksi sel korteks, dan mempunyai struktur khusus berbentuk oval yang disebut vesikel dan struktur percabangan yang disebut arbuskular.

Banyak faktor biotik dan abiotik yang menentukan perkembangan FMA. Faktor-faktor tersebut antar lain suhu, tanah, kadar air tanah, pH, bahan organik tanah, intensitas cahaya dan ketersediaan hara, logam berat, dan fungisida. Suhu yang relatif tinggi akan meningkatkan aktivitas fungi. Suhu optimum untuk

perkecambahan spora sangat beragam tergantung pada jenisnya (Mosse, 1981). Suhu yang tinggi pada siang hari (350 C) tidak menghambat perkembangan akar dan aktivitas fisiologi FMA. Peran mikoriza hanya menurun pada suhu di atas 400 C. Suhu bukan merupakan faktor pembatas utama bagi aktivitas FMA. Suhu yang sangat tinggi lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman inang (Mosse, 1981). Untuk tanaman yang tumbuh di daerah kering, adanya FMA


(36)

19 dan bertahan pada kondisi yang kurang air. Adanya FMA dapat memperbaiki dan meningkatkan kapasitas serapan air tanaman inang (Mosse, 1981).

Fungi pada umunya lebih tahan terhadap perubahan pH tanah. Meskipun

demikian daya adaptasi masing-masing spesies fungi mikoriza terhadap pH tanah berbeda-beda karena pH tanah mempengaruhi perkecambahan, perkembangan dan peran mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman (Mosse, 1981).

Bahan organik merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang penting disamping bahan anorganik, air dan udara. Jumlah spora FMA tampaknya berhubungan erat dengan kandungan bahan organik di dalam tanah. Jumlah maksimum spora ditemukan pada tanah-tanah yang mengandung bahan organik 1– 2 % sedangkan paada tanah-tanah berbahan organik kurang dari 0.5 % kandungan spora sangat rendah (Annas, 1997).

Annas (1997) menyimpulkan bahwa intensitas cahaya yang tinggi dengan

kekahatan nitrogen ataupun fospor sedang akan meningkatkan jumlah karbohidrat didalam akar sehingga membuat tanaman lebih peka terhadap infeksi oleh fungi mikoriza.

Kondisi lingkungan yang cocok untuk perkecambahan biji dan pertumbuhan akar tanaman biasanya juga cocok untuk perkecambahan spora fungi. Fungi pada umumnya memiliki ketahanan cukup baik pada rentang faktor lingkungan fisik yang lebar. Mikoriza tidak hanya berkembang pada tanah berdrainase baik, tapi juga pada lahan tergenang seperti pada padi sawah (Solaiman dan Hirata, 1995).


(37)

20 Bahkan pada lingkungan yang sangat miskin atau lingkungan yang tercemar limbah berbahaya, fungi mikoriza masih memperlihatkan eksistensinya.

Fungi mikoriza arbuskular dikelompokkan ke dalam ordo Glomales, dan beberarapa sub ordo, klasifikasi lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tabel Klasifikasi fungi mikoriza arbuskula ordo Glomeromycota.

Ordo Sub Ordo Famili Genus

Glomeromycota Glomineae

Gigasporineae

Glomaceae Acaulosporaceae Archaeosporaceae Paraglomaceae Gigasporaceae

Glomus Acaulospora Entrophospora Archaespora Paraglomus Gigaspora Scutellospora (INVAM, 2005).

Klasifikasi FMA pada genus berdasarkan bagaimana proses pembentukan hifa FMA dan beberapa ciri morfologinya.

Proses perkembangan spora glomus adalah dari ujung hifa. Ujung hifa akan membesar sampai ukuran maksimal dan terbentuk spora. Karena sporanya berasal dari perkembangan hifa maka disebut chlamydospora (Gambar 1). Karakteristik khasnya adalah sering terlihat sisa dinding hifa pada permukaan spora.

Sumber: Adinugroho (1993)


(38)

21 Proses perkembangan gigaspora tidak langsung dari hifa. Pertama-tama ujung hifa membulat yang dinamakan bulbous suspensor. Di atas bulbous suspensor timbul bulatan kecil yang semakin lama semakin besar dan mencapai ukuran maksimum yang akhirnya menjadi spora (Gambar 2). Spora ini disebut azygospora.

spora bulbose Sumber: Adinugroho (1993)

Gambar 2. Bentuk dan proses pembentukan spora jenis Gigasopra sp.

Proses perkembangan spora Entrophospora berasal dari ujung hifa yang membentuk sakul. Sakul adalah tempat cadangan makanan berbentuk seperti spora, lalu pada bagian tengah hifa terbentuk spora (Gambar 3).

sakul

Sumber: Adinugroho (1993).

Gambar 3. Bentuk dan proses pembentukan spora jenis Entrophospora sp.

2.3 Manfaat Fungi Mikoriza Arbuskular

Manfaat yang diperoleh dalam penggunaan mikoriza adalah:

a. Mikoriza dapat menurunkan kebutuhan pupuk, bagi anakan tanaman yang ditanam pada kondisi tanah jelek.


(39)

22 b. Pemakaian mikoriza merupakan keseimbangan ekologi, aman dipakai

(bukan patogen), dapat memperbaiki kesuburan tanah karena kemampuannya untuk mengekstraksi unsur-unsur hara yang terikat.

c. Beberapa mikoriza menghasilkan antibiotik yang dapat menyerang bakteri, virus, jamur yang bersifat patogen.

d. Tanaman yang bermikoriza dapat menyerap pupuk fosfat lebih tinggi dibandingkan tanaman yang tidak bermikoriza (Annas, 1997).

Prinsip kerja fungi mikoriza arbuskular adalah menginfeksi sistem perakaran tanaman inang, memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman yang mengandung mikoriza tersebut akan mampu meningkatkan kapasitasnya dalam penyerapan unsur hara (Iskandar, 2002 yang dikutip oleh Novriani dan Madjid, 2010). Keuntungan fungi mikoriza bagi tumbuhan adalah meningkatkan penyerapan fosfat, meskipun penyerapan unsur hara lainnya terjadi juga

peningkatan (Cumming dan Ning, 2003 yang dikutip oleh Novriani dan Madjid, 2010).

Menurut Suhardi (1989), terdapat dua alasan mengapa mikoriza menambah penyerapan nutrisi yakni (a) mengurangi jarak nutrisi yang memasuki akar tanaman, dan (b) meningkatkan penyerapan nutrisi dan konsentrasi pada permukaan penyerapan. Peningkatan penyerapan tersebut terutama disebabkan oleh hifa yang memperpendek jarak penyerapan dari nutrisi yang masuk dengan cara difusi ke dalam akar tanaman.


(40)

23

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca dan Laboratorium Produksi Perkebunan, Universitas Lampung Bandar Lampung dari bulan Februari – Oktober 2011.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan adalah alat tulis, mistar, mikroskop stereo dan majemuk, saringan, cawan petri, gelas preparat, tabung reaksi, water bath, timbangan

analitik, botol semprot, pinset, gunting, nampan plastik, cutter, tissue, dan pot.

Bahan-bahan yang diperlukan antara lain 3 jenis fungi mikoriza yaitu jenis

Glomus sp., Gigaspora sp., dan jenis Entrophospora sp. deskripsi masing-masing spesies disajikan pada Tabel 3; air; larutan KOH 10%; glycerol trypan blue; HCL 1%; akuades; pupuk SP-36; pupuk Urea; pupuk KCL; tanah; pasir; dan stek tebu (Saccharum officinarum L.).

3.3 Metode Penelitian

Untuk menjawab pertanyaan dalam perumusan masalah dan untuk menguji hipotesis, perlakuan diterapkan dalam rancangan perlakuan tunggal terstruktur


(41)

24 berkelas dengan 8 perlakuan yaitu m0 (kontrol), m1 (Glomus sp.), m2

(Entrophospora sp.), m3 (Gigaspora sp.), m4 (campuran Glomus sp. dan

Entrophospora sp.), m5 (campuran Glomus sp. dan Gigaspora sp.), m6 (campuran Gigaspora sp. dan Entrophospora sp.), m7 (campuran Glomus sp., Entrophospora sp. dan Gigaspora sp.). Setiap satu satuan percobaan diterapkan pada petak percobaan menurut rancangan kelompok teracak sempurna (RKTS). Jumlah tanaman per satuan percobaan adalah satu tanaman. Tata letak percobaan di rumah kaca dapat dilihat pada Gambar 4.

Data yang diperoleh diuji dengan uji Bartlett untuk menguji kehomogenan ragam antar perlakuan dan kemenambahan model diuji dengan uji Tukey. Bila kedua uji tersebut tidak nyata, data dianalisis ragam. Pemisahan nilai tengah dilakukan dengan menggunakan ortogonal kontras pada taraf nyata 5%. Perbandingan ortogonal kontras disajikan pada Tabel 2.

m2 m6 m0 m6 m7 m3 m1 m2

m4 m7 m3 m2 m5 m2 m3 m6

m0 m1 m7 m5 m1 m6 m0 m4

m5 m3 m1 m4 m4 m0 m5 m7

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4

m4 m6 m7 m2 m6 m0

m0 m1 m5 m6 m2 m5

m2 m3 m1 m4 m3 m7

m7 m5 m0 m3 m1 m4

Ulangan 5 Ulangan 6 Ulangan 7

Keterangan:

m0 : Tanpa Mikoriza m3 : Gigaspora sp. (Gi) m6 : En+Gi m1 : Glomus sp. (G) m4 : G+En m7 : G+En+Gi m2 : Entrophospora sp. (En) m5 : G+Gi


(42)

25 Tabel 2. Perbandingan ortogonal kontras.

Perlakuan m0 m1 m2 m3 m4 m5 m6 m7

P1 :mOvs m1,m2,m3,m4,m5,m6,m7 7 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1

P2 :m1,m2,m3vs m4,m5,m6,m7 0 4 4 4 -3 -3 -3 -3

P3 : m4,m5,m6 vs m7 0 0 0 0 1 1 1 -3

P4 :m1vs m2,m3 0 2 -1 -1 0 0 0 0

P5 :m2vs m3 0 0 1 -1 0 0 0 0

P6 :m4vs m5,m6 0 0 0 0 2 -1 -1 0

P7 :m5vs m6 0 0 0 0 0 1 -1 0

Keterangan:

m0 : Tanpa Mikoriza m4 : G+En

m1 : Glomus sp. (G) m5 : G+Gi

m2 : Entrophospora sp. (En) m6 : En+Gi

m3 : Gigaspora sp. (Gi) m7 : G+En+Gi

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Menyiapkan media tanam

Media penyemaian yang digunakan disterilkan terlebih dahulu dengan cara dikukus menggunanakan dandang selama satu setengah jam dan dilakukan sebanyak dua kali. Media tanam untuk penyemaian yang digunakan terdiri dari pasir, dan bahan organik dengan perbandingan 4:1 kemudian dimasukkan dalam polibag ukuran 10 kg . Stek tebu yang digunakan stek dengan satu mata tunas. Setelah media semai siap, stek yang sudah dipotong ditanam dalam media semai dengan cara mata tunas menghadap keatas dan ditanam sejajar. Media yang digunakan setelah tebu berumur 21 hst adalah top soil tanpa disterilkan yang diaduk rata dan dimasukkan kedalam polibag berukuruan 10 kg.


(43)

26

3.4.2 Inokulasi mikoriza dan penanaman

Aplikasi mikoriza dilakukan pada saat tanaman berumur 21 hari setelah tanam. Pada bagian tengah polibag yang telah berisi media top soil dibuat lubang tanam sesuai dengan diameter ± 3 cm dengan kedalaman ± 3 cm dan FMA sesuai perlakuan diaplikasikan sebanyak ± 500 spora dengan cara ditaburkan pada lubang tanam dan pada akar tanaman tebu (Gambar 5) kemudian tebu ditanam dan ditutup dengan media hingga mencapai volume bahan tanam yang

diinginkan. Setelah selesai penanaman, dilakukan pelabelan sesuai dengan perlakuan, selanjutnya pot-pot disusun di dalam rumah kaca sesuai dengan tata letak percobaan.

Gambar 5. Proses inokulasi FMA pada bibit tebu berumur 21 hari setelah tanam.

3.4.3 Pemupukan

Pemupukan dilakukan dengan menggunakan pupuk Urea, dengan dosis pupuk 0,7 gram/tanaman; 0,61 gram/tanaman SP-36; dan 1,1 gram/tanaman KCL.

Pemupukan dilakukan setelah tanaman berumur 1 bulan dan dilakukan sekali selama penelitian.


(44)

27

3.4.4 Perawatan tanaman

Perawatan dilakukan dengan cara penyiraman yang dilakukan setiap hari pada waktu pagi dan sore hari. Pengendalian penyakit dilakukan dengan cara manual, dengan cara mengusapkan alkohol yang dibasahi dengan kapas/tissue pada bagian tanaman yang terkena penyakit. Penelitian diakhiri setelah tanaman berumur 5 bulan setelah tanam.

3.5 Pengamatan

Untuk menguji kesahihan kerangka pemikiran dan hipotesis dilakukan pengamatan terhadap peubah-peubah sebagai berikut:

(1) Tinggi Tanaman. Tinggi tanaman diukur mulai dari pangkal batang hingga daun tertinggi.

(2) Bobot basah tajuk. Pengukuran dilakukan dengan menimbang tajuk (batang dan daun) yang baru dipanen dari media sebelum di oven.

(3) Bobot basah akar. Media dibongkar lalu diambil akarnya, setelah dibersihkan dilakukan penimbangan untuk mengetahui bobot basahnya.

(4) Bobot kering akar. Mula-mula media dibongkar kemudian akar dipisahkan, dibersihkan, dan dioven pada suhu 70 0C sampai bobotnya konstan, kemudian ditimbang.

(5) Bobot kering tajuk. Bobot kering tajuk (daun dan batang) ditimbang setelah dioven pada suhu 70oC sampai bobotnya konstan.

(6) Persen infeksi akar oleh FMA. Sampel akar diambil secara acak ±1 g/sampel kemudian dicuci sampai bersih dan dimasukkan ke dalam botol film. Botol yang telah berisi sampel akar diisi dengan laruitan KOH 10% sampai seluruh


(45)

28 akar terendam dan dikukus dalam water bath selama 30 menit pada suhu 80oC untuk membersihkan sel dari sitoplasma. Larutan KOH kemudian dibuang dan akar dicuci bersih dengan air. Selanjutrnya, sampel akar direndam dalam larutan HCL 1% kemudian dikukus lagi selama 30 menit. Setelah itu larutan HCL dibuang dan akar siap untuk diwarnai dengan merendamnya dalam larutan trypan blue 0,05% (0,5 gram trypan blue dalam 450 ml glycerol + 50 ml HCL 1% + 500 ml aquades) dan dikukus lagi selama 30 menit.

Akar yang sudah diwarnai dipotong-potong sepanjang ± 2 cm, kemudian diletakkan di atas preparat untuk diamati di bawah mikroskop majemuk dengan perbesaran 100 kali. Rumus yang digunakan untuk menghitung % infeksi akar oleh FMA adalah sebagai berikut:

Σ pengamatan yang positif terinfeksi

Infeksi akar (%) = _____________________________________ x 100% Total pengamatan


(46)

40

V. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pemberian FMA dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman tebu melalui peningkatan bobot basah akar, bobot basah tajuk, bobot kering akar, dan bobot kering tajuk.

2. Pemberian FMA tunggal dan campuran menghasilkan pengaruh yang tidak berbeda pada pertumbuhan tanaman tebu.

3. Pemberian FMA campuran tiga jenis dan FMA campuran dua jenis

menghasilkan pengaruh yang tidak berbeda terhadap pertumbuhan tanaman. 4. Pemberian FMA jenis Glomus sp., Entrophospora sp., dan Gigaspora sp.

tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan tanaman tebu.

5. Pemberian FMA jenis Entrophospora sp. dan Gigaspora sp. menghasilkan pengaruh yang tidak berbeda tehadap pertumbuhan tanaman tebu.

6. Pemberian FMA campuran dua jenis Glomus sp.+Entrophospora sp.; Glomus

sp.+Gigaspora sp., dan Entrophospora sp.+Gigaspora sp. menghasilkan pengaruh yang tidak berbeda terhadap pertumbuhan tanaman tebu.


(47)

43 7. Pemberian FMA campuran dua jenis Glomus sp.+Gigaspora sp., dan

Entrophospora sp.+Gigaspora sp. menghasilkan pengaruh yang tidak berbeda terhadap pertumbuhan tanaman tebu.

5.2 Saran

Untuk penelitian yang akan datang, dilakukan penelitian pemberian mikoriza dengan menggunakan dosis mikoriza yang berbeda-beda setiap jenis mikoriza yang digunakan pada tanaman tebu untuk mengetahui pengaruh pemberian FMA tunggal maupun campuran dua jenis dan campuran tiga jenis FMA terhadap pertumbuhan tanaman tebu.


(48)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S., Y. Musa, dan Feranita. 2005. Perbanyakan cendawan mikoriza arbuskular (CMA) pada berbagai varietas jagung (Zea mays L.) dan pemanfaatan pada dua varietas tebu (Saccharum officinarum L.). Jurnal Sains dan Teknologi. 5 (1), 12 – 20.

Adinugroho, C. W. 1993. Identifikasi endomikoriza berdasarkan morfologi spora. http//www.wahyukdephut.wordpress.com/tag/morfologi-spora/. Di akses 20 Desember 2011.

Annas, Iswandi. 1997. Pupuk Hayati (Biofertilizer). Bogor: Laboratorium Biologi Tanah Institut Pertanian Bogor.

Bidang Tanaman PT Perkebunan Nusantara VII (persero). 1997. Vademicum Tanaman Tebu. PTPN VII. Bandar Lampung.

Delvian. 2006. Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskular. http:/ / www.google.com. Universitas Sumatera Utara. Diakses pada tanggal pada tanggal 13 Januari 2010. 25 hlm.

Fakuara, Y. 1998. Mikoriza: Teori dan Kegunaan Dalam Praktek. Universitas IPB. 123 Hal.

Gunawan, J. 1994. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan CMA (Mikoriza Arbuskular). http://wawan-junaidi.blogspot.com. Diakses tanggal 24 November 2010.

Husna. 2004. Studi Diversitas Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) asal Sulawesi Tenggara. Dalam Prosiding Seminar Mikoriza yang berjudul

Teknologi dan Pemanfaatan Inokulan Endo-Ektomikoriza untuk Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Tanggal 16 September 2003. Universitas Padjadjaran. Bandung. Hlm 55-59.

Husnal, Faisal T, Mahfud. 2007. Aplikasi Mikoriza untuk Memacu Pertumbuhan Jati di Muna. Balai Pusat Penelitian Boteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. INFOTENS. Vol 5; No.1.

Imas T., R. S. Hadioetomo, A. W. Gunawan, dan Y Setiadi. 1989. Mikrobiologi Tanah II. Bogor : PAU Bioteknologi Bogor.


(49)

45 Invam. 2005. Fungal Taxonomy International Culture Collection of (vesicular) Arbuscular Mycorrhiza fungi.

http://invam.caf.wvu.edu/fungi/taxonomy/species/D.htm. Di akses 21 Juli 2011.

Mosse, S. 1981. Vesicular Arbuscular Mycorizarescarh for Tropical Agriculture Ress. http://wordpress.com/2010/01/06/mikoriza-pupuk-hayati-super/. Diakses Tanggal 15 November 2010.

Muslaf. 2008. Efektivitas Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) terhadap Pemberian Pupuk Spesifik Lokasi Tanaman Jagung pada Tanah Inceptisol.

Tesis, Universitas Sumatera Utara. 79 hlm.

Novriani dan Madjid. 2010. Peran dan Prospek Mikoriza.

http://phospateindo.com/article/13158/pupuk-hayati.html. Diakses tanggal 10 Mei 2011

Oezer, Y. 1993. Agrotehnologi Tebu Lahan Kering. Arikha Media Cipta. Jakarta. 107 hlm.

Pattimahu, D. V. 2004. Restorasi lahan kritis pasca tambang sesuai kaidah ekologi. Makalah mata kuliah Falsafah Sains, Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Bogor.

Pujiyanto, 2001. Pemanfaatan Jasad Mikro, Jamur Mikoriza dan Bakteri dalam Sistem Pertanian Berkelanjutan di Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Falsafah Sains. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor

Rini, M. V. 2001. Effect of arbuscular mycorhiza on Oil Palm Seedling Growth and Development of Bassal Stem Root Disease caused by Ganoderma boninense. Disertasi. Universiti Putra Malaysia. Malaysia. 189 hlm. Sallisburry, F. B. dan Ross, C. W. 1995. Fisiologi Tumbuhan I. Diterjemahkan

oleh Diah R. Lukman dan Sumaryono. Bandung. ITB.

Santoso, E. 2006. Aplikasi mikoriza untuk meningkatkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi. Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumber daya Hutan.

Padang. 10 hlm.

Sari, C. I. D. 1999. Studi Inokulasi Beberapa Isolat Mikoriza terhadap

Pertumbuhan dan Perkembangan Bibit Manggis (Garcinia mangostana L.). Skripsi. Institut Pertanian Bogor.


(50)

46 Sastrahidayat, I.R, K. Wakidah, dan Syekhfani. 1998. Pengaruh mikoriza

vesikula arbuskular terhadap peningkatan enzim fosfatase, beberapa asam organik, dan pertumbuhan kapas (Gossypium hirsutum L.) pada Vertisol dan Alfisol. Agrivita. 21 (1): 10—31.

Setiadi, Y. 1989. Pemanfaatan Mikroorganisme dalam Kehutanan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Bogor. Institut Pertanian Bogor. 103 hal. Simanungkalit, R. D. M. 2004. Cendawan Mikoriza Arbuskular di Bidang

Pertanian: Modul Workshop yang berjudul Teknik produksi bibit tanaman bermikoriza tanggal 13-15 Desember 2004. Bogor. Hlm 1-26.

Suhardi. 1989. Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA). Pedoman Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi. Uneversitas Gadjah Mada. PAU-Bioteknologi UGM. 178 hlm

Susilo. 2011. Keanekaragaman cendawan mikoriza arbuskular di hutan pegunungan kamojang Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Soelaiman, M.Z. dan H. Hirata. 1995. Effect of indigenous arbuscular

mycorrhizae fungi in paddy fields rice growth and NPK nutrition under different water regimes. Soil science and plant nutrition. 41 (3): 505−514. Utama, Haryoko, and Zen, E. 2003. Teknik Produksi Bibit Bermikoriza.

Bandung. Balai Perbenihan Tanaman Hutan Jawa dan Madura. Widiastuti, H.dan K. Kramadibrata (1993). Identifikasi jamur mikoriza

bervisikula arbuskula di beberapa kebun kelapa sawit di Jawa Barat.

Menara Perkebunan. 61 (1), 13-19.

Wikipedia. 2010. Tanaman Tebu. Http//:wikipedia.tebu.com. diakses tanggal 20 Januari 2010.


(1)

28 akar terendam dan dikukus dalam water bath selama 30 menit pada suhu 80oC untuk membersihkan sel dari sitoplasma. Larutan KOH kemudian dibuang dan akar dicuci bersih dengan air. Selanjutrnya, sampel akar direndam dalam larutan HCL 1% kemudian dikukus lagi selama 30 menit. Setelah itu larutan HCL dibuang dan akar siap untuk diwarnai dengan merendamnya dalam larutan trypan blue 0,05% (0,5 gram trypan blue dalam 450 ml glycerol + 50 ml HCL 1% + 500 ml aquades) dan dikukus lagi selama 30 menit.

Akar yang sudah diwarnai dipotong-potong sepanjang ± 2 cm, kemudian diletakkan di atas preparat untuk diamati di bawah mikroskop majemuk dengan perbesaran 100 kali. Rumus yang digunakan untuk menghitung % infeksi akar oleh FMA adalah sebagai berikut:

Σ pengamatan yang positif terinfeksi

Infeksi akar (%) = _____________________________________ x 100%


(2)

40

V. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pemberian FMA dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman tebu melalui peningkatan bobot basah akar, bobot basah tajuk, bobot kering akar, dan bobot kering tajuk.

2. Pemberian FMA tunggal dan campuran menghasilkan pengaruh yang tidak berbeda pada pertumbuhan tanaman tebu.

3. Pemberian FMA campuran tiga jenis dan FMA campuran dua jenis

menghasilkan pengaruh yang tidak berbeda terhadap pertumbuhan tanaman. 4. Pemberian FMA jenis Glomus sp., Entrophospora sp., dan Gigaspora sp.

tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan tanaman tebu.

5. Pemberian FMA jenis Entrophospora sp. dan Gigaspora sp. menghasilkan pengaruh yang tidak berbeda tehadap pertumbuhan tanaman tebu.

6. Pemberian FMA campuran dua jenis Glomus sp.+Entrophospora sp.; Glomus sp.+Gigaspora sp., dan Entrophospora sp.+Gigaspora sp. menghasilkan pengaruh yang tidak berbeda terhadap pertumbuhan tanaman tebu.


(3)

43 7. Pemberian FMA campuran dua jenis Glomus sp.+Gigaspora sp., dan

Entrophospora sp.+Gigaspora sp. menghasilkan pengaruh yang tidak berbeda terhadap pertumbuhan tanaman tebu.

5.2 Saran

Untuk penelitian yang akan datang, dilakukan penelitian pemberian mikoriza dengan menggunakan dosis mikoriza yang berbeda-beda setiap jenis mikoriza yang digunakan pada tanaman tebu untuk mengetahui pengaruh pemberian FMA tunggal maupun campuran dua jenis dan campuran tiga jenis FMA terhadap pertumbuhan tanaman tebu.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S., Y. Musa, dan Feranita. 2005. Perbanyakan cendawan mikoriza arbuskular (CMA) pada berbagai varietas jagung (Zea mays L.) dan pemanfaatan pada dua varietas tebu (Saccharum officinarum L.). Jurnal Sains dan Teknologi. 5 (1), 12 – 20.

Adinugroho, C. W. 1993. Identifikasi endomikoriza berdasarkan morfologi spora. http//www.wahyukdephut.wordpress.com/tag/morfologi-spora/. Di akses 20 Desember 2011.

Annas, Iswandi. 1997. Pupuk Hayati (Biofertilizer). Bogor: Laboratorium Biologi Tanah Institut Pertanian Bogor.

Bidang Tanaman PT Perkebunan Nusantara VII (persero). 1997. Vademicum Tanaman Tebu. PTPN VII. Bandar Lampung.

Delvian. 2006. Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskular. http:/ / www.google.com. Universitas Sumatera Utara. Diakses pada tanggal pada tanggal 13 Januari 2010. 25 hlm.

Fakuara, Y. 1998. Mikoriza: Teori dan Kegunaan Dalam Praktek. Universitas IPB. 123 Hal.

Gunawan, J. 1994. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan CMA (Mikoriza Arbuskular). http://wawan-junaidi.blogspot.com. Diakses tanggal 24 November 2010.

Husna. 2004. Studi Diversitas Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) asal Sulawesi Tenggara. Dalam Prosiding Seminar Mikoriza yang berjudul

Teknologi dan Pemanfaatan Inokulan Endo-Ektomikoriza untuk Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Tanggal 16 September 2003. Universitas Padjadjaran. Bandung. Hlm 55-59.

Husnal, Faisal T, Mahfud. 2007. Aplikasi Mikoriza untuk Memacu Pertumbuhan Jati di Muna. Balai Pusat Penelitian Boteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. INFOTENS. Vol 5; No.1.

Imas T., R. S. Hadioetomo, A. W. Gunawan, dan Y Setiadi. 1989. Mikrobiologi Tanah II. Bogor : PAU Bioteknologi Bogor.


(5)

45 Invam. 2005. Fungal Taxonomy International Culture Collection of (vesicular) Arbuscular Mycorrhiza fungi.

http://invam.caf.wvu.edu/fungi/taxonomy/species/D.htm. Di akses 21 Juli 2011.

Mosse, S. 1981. Vesicular Arbuscular Mycorizarescarh for Tropical Agriculture Ress. http://wordpress.com/2010/01/06/mikoriza-pupuk-hayati-super/. Diakses Tanggal 15 November 2010.

Muslaf. 2008. Efektivitas Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) terhadap Pemberian Pupuk Spesifik Lokasi Tanaman Jagung pada Tanah Inceptisol.

Tesis, Universitas Sumatera Utara. 79 hlm.

Novriani dan Madjid. 2010. Peran dan Prospek Mikoriza.

http://phospateindo.com/article/13158/pupuk-hayati.html. Diakses tanggal 10 Mei 2011

Oezer, Y. 1993. Agrotehnologi Tebu Lahan Kering. Arikha Media Cipta. Jakarta. 107 hlm.

Pattimahu, D. V. 2004. Restorasi lahan kritis pasca tambang sesuai kaidah ekologi. Makalah mata kuliah Falsafah Sains, Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Bogor.

Pujiyanto, 2001. Pemanfaatan Jasad Mikro, Jamur Mikoriza dan Bakteri dalam Sistem Pertanian Berkelanjutan di Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Falsafah Sains. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor

Rini, M. V. 2001. Effect of arbuscular mycorhiza on Oil Palm Seedling Growth and Development of Bassal Stem Root Disease caused by Ganoderma boninense. Disertasi. Universiti Putra Malaysia. Malaysia. 189 hlm. Sallisburry, F. B. dan Ross, C. W. 1995. Fisiologi Tumbuhan I. Diterjemahkan

oleh Diah R. Lukman dan Sumaryono. Bandung. ITB.

Santoso, E. 2006. Aplikasi mikoriza untuk meningkatkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi. Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumber daya Hutan.

Padang. 10 hlm.

Sari, C. I. D. 1999. Studi Inokulasi Beberapa Isolat Mikoriza terhadap

Pertumbuhan dan Perkembangan Bibit Manggis (Garcinia mangostana L.). Skripsi. Institut Pertanian Bogor.


(6)

46 Sastrahidayat, I.R, K. Wakidah, dan Syekhfani. 1998. Pengaruh mikoriza

vesikula arbuskular terhadap peningkatan enzim fosfatase, beberapa asam organik, dan pertumbuhan kapas (Gossypium hirsutum L.) pada Vertisol dan Alfisol. Agrivita. 21 (1): 10—31.

Setiadi, Y. 1989. Pemanfaatan Mikroorganisme dalam Kehutanan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Bogor. Institut Pertanian Bogor. 103 hal. Simanungkalit, R. D. M. 2004. Cendawan Mikoriza Arbuskular di Bidang

Pertanian: Modul Workshop yang berjudul Teknik produksi bibit tanaman bermikoriza tanggal 13-15 Desember 2004. Bogor. Hlm 1-26.

Suhardi. 1989. Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA). Pedoman Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi. Uneversitas Gadjah Mada. PAU-Bioteknologi UGM. 178 hlm

Susilo. 2011. Keanekaragaman cendawan mikoriza arbuskular di hutan pegunungan kamojang Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Soelaiman, M.Z. dan H. Hirata. 1995. Effect of indigenous arbuscular

mycorrhizae fungi in paddy fields rice growth and NPK nutrition under different water regimes. Soil science and plant nutrition. 41 (3): 505−514. Utama, Haryoko, and Zen, E. 2003. Teknik Produksi Bibit Bermikoriza.

Bandung. Balai Perbenihan Tanaman Hutan Jawa dan Madura. Widiastuti, H.dan K. Kramadibrata (1993). Identifikasi jamur mikoriza

bervisikula arbuskula di beberapa kebun kelapa sawit di Jawa Barat. Menara Perkebunan. 61 (1), 13-19.

Wikipedia. 2010. Tanaman Tebu. Http//:wikipedia.tebu.com. diakses tanggal 20 Januari 2010.