TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEKUATAN HUKUM AKTA JUAL BELI DALAM PENDAFTARAN TANAH

(1)

ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEKUATAN HUKUM AKTA JUAL BELI DALAM PENDAFTARAN TANAH

Oleh:

ACHMAD ALGERIA BIRENDRA

Diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dalam Pasal 37 Ayat (1) menyebutkan bahwa pemindahan hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Akan tetapi dalam praktek, masyarakat masih menggunakan akta jual beli dibawah tangan sebagai bukti pemindahan hak. Bila ditinjau dalam aspek perdata akta jual beli dibawah tangan sudah sah, tetapi dalam hukum administrasi negara belum mempunyai kekuatan hukum, karena tidak melibatkan unsur pemerintah di dalamnya yaitu pejabat umum yang berwenang dalam hal ini ialah PPAT.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kekuatan hukum akta jual beli autentik dan akta jual beli dibawah tangan dalam pemindahan hak serta dalam pendaftaran tanah dan bagaimana dampak hukum yang ditimbulkan dalam jual beli tanah menggunakan akta jual beli dibawah tangan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan yang melihat dan menelaah hal-hal yang bersifat teoritis. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa akta jual beli autentik yaitu akta PPAT dalam pemindahan hak mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti pemindahan hak apabila telah memenuhi syarat formil dan materil. Akta jual beli autentik dalam pendaftaran tanah mempunyai kekuatan hukum sebagai dasar dalam pendaftaran tanah yang dibuat berbentuk akta PPAT dan dilengkapi dengan warkah lainnya. Akta jual beli dibawah tangan dalam pemindahan hak tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti pemindahan hak, melainkan hanya sebatas perjanjian jual beli antara para pihak. Akta jual beli dibawah tangan dalam pendaftaran tanah hanya mempunyai kekuatan hukum sebagai dasar dalam pendaftaran tanah apabila termasuk dalam hak lama, yaitu sepanjang jual beli tersebut dilakukan sebelum 8 Oktober 1997 dan dilengkapi dengan


(2)

warkah-Achmad Algeria Birendra

warkah lainnya. Dampak jual beli tanah yang dilakukan hanya dengan akta jual beli dibawah tangan akan menimbulkan kerugian bagi pihak pembeli, karena pembeli hanya menguasai secara fisik akan tetapi tidak secara yuridis, karena akta jual beli dibawah tangan tersebut tidak berlaku untuk pendaftaran tanah, apabila jual beli itu terjadi setelah diberlakukannya peraturan tersebut.


(3)

ABSTRACT

JURIDICAL REVIEW ABOUT THE POWER OF THE LAW DEED OF SALE IN THE LAND REGISTRATION

By :

ACHMAD ALGERIA BIRENDRA

The issuance of Government Regulation Number 24 of 1997 in Article 37 Paragraph (1) states that the transfer of land rights must be proven by deed made by the Land Deed Officer. But in practice, people still use the hand under the deed of sale as proof of transfer of rights. When viewed in the civil aspect of the deed of sale under the hand is valid, but the administrative law does not have the force of law, because it does not involve government elements in it that is competent public authority in this case is the Land Deed Officer.

For that we need to know about the legal power authentic deed of sale and purchase agreement under the hand as well as the legal impact that occurs when the buying and selling of land just use a deed of sale under the hand.

The methods used in this research is the juridical normative or legal research libraries are seeing and reviewing things that are theoretical. The collected documents are secondary documents. Secondary documents obtained through the study of librarianship.

The results showed that the deed of sale authentic in the transfer rights have the force of law as evidence of transfer of rights if it has met the formal and material requirements. Authentic deed of sale in the land registration have the force of law as the basis for land registration made in the form of deed Land Deed Officer equipped with other evidence. Deed of sale under the hands of the transfer of rights does not have the force of law as evidence of transfer of rights, but merely purchase agreement between the parties. Deed of sale under the hand in the land registry only have the force of law if included in the old rights, namely along the buying and selling is done before October 8, 1997 is equipped with other evidence. The impact of the sale and purchase of land is done only with a deed of


(4)

Achmad Algeria Birendra

sale under the hand will cause financial losses for buyers, because buyers controls only physically but not legally, because the deed of sale under the hand does not apply for land registration, if selling it happens after the enactment of these regulations.


(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kotabumi pada tanggal 22 Agustus 1993. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Frendradi (Alm) serta dari Ibu Dra. Oktarini.

Penulis mengawali pendidikannya di Taman Kanan-Kanak (TK) Kartini Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 1999, Sekolah Dasar Negeri 3 Palapa Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama Negeri 9 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2008, kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Atas Negeri 7 Bandar Lampung dan diselesaikan pada tahun 2011.

Pada tahun 2011 Penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung, dan menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Hukum Administrasi Negara (HIMA HAN) pada tahun 2014 dan melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Tanjung Inten Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur pada Januari 2014.


(8)

PERSEMBAHAN

Puji syukur kupanjatkan kepada Allah SWT, Tuhan Semesta Alam yang tiada henti-hentinya memberikan rahmat dan hidayah-Nya dalam setiap hembusan nafas dan jejak langkah kita. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Baginda Rasulullah SAW sebagai suri

tauladan di muka bumi ini yang safaatnya selalu dinantikan di yaumil akhir kelak. Dengan segala kerendahan hati kupersembahkan karya sederhana ini sebagai wujud bakti dan

tanggungjawabku kepada:

kedua orangtuaku Frendradi (Alm) dan Dra. Oktarini yang dengan ikhlas telah melahirkan, merawat, mendidik dan mendoakan keberhasilanku yang tidak dapat kubalas dengan apapun

yang ada didunia ini.

adikku tercinta Aisyah Luna Marina dan Neiza Azizah Zahra yang selalu berdoa, menyemangati dan merindukan keberhasilanku

kakek-nenek, kemaman-keminan, sepupu-sepupu dan keponakan-keponakan tercinta. keluarga besar H. Mansyur dan A. Djunaidy.

calon pendamping hidupku Olla Meria Amalia, S.H.

Serta Almamater Tercinta


(9)

MOTO

“Niscaya Allah akan meninggikan beberapa derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”

(Q.S. Al-Mujadalah ayat 11)

“Barang siapa yang menempuh satu jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah pasti memudahkan baginya jalan menuju surga”

(H.R.. Muslim)

“Orang-orang yang berhenti belajar akan menjadi pemilik masa lalu. Orang-orang yang masih terus belajar, akan menjadi pemilik masa depan”

(Mario Teguh)

“Waktu adalah kunci utama dalam hidup, maka pergunakanlah waktu mu sebaik mungkin” “Untuk mencari ilmu dan mengamalkannya sebagai ilmu yang bermanfaat


(10)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEKUATAN HUKUM AKTA

JUAL BELI DALAM PENDAFTARAN TANAH”.

Penulis juga menyadari bahwa tanpa bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak penulis tidak akan sampai pada tahap ini. Maka, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Upik Hamidah, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Hukum Administrasi Negara sekaligus Pembimbing I, terimakasih atas semua bimbingan, saran dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

3. Bapak Satria Prayoga, S.H., M.H., selaku Sekretaris Jurusan Hukum Administrasi Negara sekaligus Pembahas II yang telah memberikan saran, kritik dan masukan demi sempurnanya skripsi ini.

4. Ibu Sri Sulastuti, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang dengan sabar dan teliti meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.


(11)

5. Bapak Elman Eddy Patra, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas I yang telah memberikan saran, kritik dan masukan yang membangun bagi penulis.

6. Ibu Ratna Syamsiar, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis.

7. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis.

8. Segenap staff dan keluarga besar Fakultas Hukum Universitas Lampung terutama Kiay Zakaria, Prof Misyok, Kiay Hadi, Mas Tris dan Mbak Yenti. 9. Ayah dan Bunda sebagai orangtua terbaik di dunia ini yang selalu

memberikan dukungan baik moril maupun materil, kepercayaan, kesabaran, pengorbanan, kasih sayang dan doa bagi kesuksesan Rendra selama ini.

10.Adikku Aisyah Luna Marina dan Neiza Azizah Zahra yang selalu memberi semangat bagi kesuksesanku.

11.Olla Meria Amalia, S.H., calon pendamping hidupku yang selalu sabar memberikan dukungan serta semangat untukku.

12.Kemaman-Keminan tercinta, Mama-Papa, Uncle-Umi, Wak Ibu-Ayah Wan, Abah, Minan-Abi, Binda, Mama La, Ibu Olva, Buyah, Mama Helen, dan Holita yang tiada henti memberikan semangat dan menantikan kesuksesan Rendra.

13.Atu Dina, Engkie, Kanjeng Ali, Kak Ameng dan semua Sepupu serta keponakan tercinta dan seluruh keluarga besar Hi. Mansyur-Hj. Zaidah dan Hi. A. Djunaidy-Hj. Siti Khadijah (Alm).

14.Saudara, adik, sekaligus sahabat terbaikku Muhammad Danofan Aryandanu dan Agung Kurniawan.


(12)

15.Teman seperjuangan yang hampir 4 tahun selalu bersama Abung Pratama, Shofi Ariandi, Abi Zuliansyah, Abdoel Haris Ngabehi, Agung Asadillah, Adnan Husein, Beni Prawira Candra, Beri Ikhlas Syani, Dewi Yuliandari, Aldi Setiawan, Andi Mekar Sari, Ayu Kumala Sari, Nunik Iswadani, Andre Jevi Surya, Andika Parastia, Andi Rd, Fran Rady, Agus Hermawan, Gilbert Hutagalung, Kresna, Untari Rachma, Yonathan Adji dan rekan lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terimakasih atas dukungan, canda-tawa dan pertemanannya selama ini.

16.Sahabat yang sudah seperti keluarga Tommy Kurniawan, Onchel, Rizky Reza, Domy Bangsawan, Seto Purwanto, Arif Oktariansyah.

17.Keluarga Besar Randal yang selalu memberikan dukungan sepenuhnya kepadaku agar mendapatkan gelar Sarjana Hukum

18.HIMA HAN dan Seluruh Angkatan 2011 Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terimakasih atas kebersamaannya.

19.Keluarga KKN Desa Tanjung Inten Bowo, Tri, Ade, Agung, Adam, Andini, Mumun, Belinda dan Nizi terimakasih atas 40 hari penuh kesan, kekeluargaan dan kebersamaannya.

20.Bapak Supro dan Bu Supro, Bapak Kepala Desa dan Ibu Kepala Desa, Bulek Ani dan Suami, Bapak Sukiran, Bapak Murodji, Bapak Bambang, Bapak Doso, terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya selama melaksanakan KKN 2014.

21.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan, dan dukungannya. Semoga kebaikan kalian dibalas oleh Allah SWT.


(13)

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai tambahan informasi dan wacana bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bandarlampung, 28 Mei 2015 Penulis


(14)

DAFTAR ISI

COVER LUAR ... i

ABSTRACT ... ii

ABSTRAK ... iii

COVER DALAM ... iv

LEMBAR PERSETUJUAN ... v

LEMBAR PENGESAHAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

MOTO ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 11

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 11

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 11

1.3.2 Kegunaan Penelitian... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1 Pengertian Tanah ... 13

2.2 Pengertian Hak Milik ... 13

2.3 Tinjauan Tentang Akta ... . 14

2.3.1 Pengertian Akta ... 14

2.3.2 Pengertian Akta Autentik ... 15

2.3.3 Pengertian Akta Dibawah Tangan ... 16

2.4 Pengertian Pendaftaran Tanah... . 17

2.5 Dasar Hukum Pendaftaran Tanah ... 21

2.6 Asas dan Tujuan Pendaftaran Tanah ... 23

2.7 Sistem Pendaftaran Tanah ... . 27


(15)

III. METODE PENELITIAN ... 38

3.1 Pendekatan Masalah ... 38

3.2 Sumber Data ... 38

3.3 Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data... 40

3.3.1 Pengumpulan Data ... 40

3.3.2 Pengolahan Data ... 41

3.4 Analisis Data ... 41

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42

4.1 Kekuatan Hukum Akta Jual Beli Autentik dan Akta Jual Beli Dibawah Tangan Dalam Pendaftaran Tanah ... 42

4.1.1 Kekuatan Hukum Akta Jual Beli Autentik Dalam Pemindahan Hak ... 42

4.1.2 Kekuatan Hukum Akta Jual Beli Autentik Dalam Pendaftaran Tanah ... 48

4.1.3 Kekuatan Hukum Akta Jual Beli Dibawah Tangan Dalam Pemindahan Hak ... 53

4.1.4 Kekuatan Hukum Akta Jual Beli Dibawah Tangan Dalam Pendaftaran Tanah ... 57

4.2 Dampak Hukum Yang Ditimbulkan Dalam Jual Beli Tanah Menggunakan Akta Jual Beli Dibawah Tangan ... 69

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

5.1 Kesimpulan ... 77

5.2 Saran ... 78


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Tanah mempunyai peranan yang penting karena tanah merupakan sumber kesejahteraan, kemakmuran, dan kehidupan. bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan suatu karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh rakyat Indonesia dan oleh karena itu, sudah semestinya pemanfaatan fungsi bumi, air dan ruang angkasa beserta apa yang terkandung didalamnya adalah ditujukan untuk mencapai kemakmuran seluruh rakyat Indonesia1.

Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Mereka hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah. Sejarah perkembangan dan kehancurannya ditentukan pula oleh tanah, masalah tanah dapat menimbulkan persengketaan dan peperangan dahsyat karena manusia-manusia atau suatu bangsa ingin menguasai tanah orang lain atau bangsa lain

1

Bahtiar Efendi. Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya. Bandung: Alumni. 2005. Hlm 11.


(17)

2

karena sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya2.

Oleh karena itu, maka disusunlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. Salah satu tujuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah untuk memberikan kepastian hukum berkenaan dengan hak-hak atas tanah yang dipegang oleh masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah menyelenggarakan pendaftaran tanah, dan secara tegas diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa Untuk menjamin kepastian hukum, oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah3.

Ketentuan tersebut merupakan keharusan dan kewajiban bagi pemerintah untuk mengatur dan menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dalam Peraturan ini pada Pasal 32 diatur pembuktian sertipikat sebagai tanda bukti hak. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah yang bersifat recht-kadaster artinya bertujuan menjamin kepastian hukum4.

Rendahnya persentase tanah yang sudah terdaftar karena kurangnya anggaran, alat dan tenaga yang merupakan keadaan obyektif bidang-bidang tanah yang selain jumlahnya besar dan tersebar di wilayah yang sangat luas, sebagian besar

2

Ibid. Hlm 15.

3

Boedi Harsono, Hukum Agraia Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelasanaannya (Jakarta: Penerbit Djambatan), Edisi 2008. Hlm 471.

4


(18)

3

penguasaannya tidak didukung oleh alat-alat pembuktian yang mudah diperoleh dan dipercaya kebenarannya.

Hal inilah yang menjadikan pemerintah menyadari untuk dapat menyelenggarakan kegiatan pendaftaran tanah dengan waktu yang relatif lebih singkat dan hasil yang memuaskan sekaligus dalam rangka meningkatkan dan memberikan dukungan yang lebih baik pada pembangunan nasional, dengan memberikan kepastian hukum di bidang pertanahan yakni melalui penyelenggaraan tertib administrasi pertanahan, maka dipandang perlu untuk mengadakan penyempurnaan pada ketentuan yang mengatur pendaftaran tanah yang selama ini pengaturannya tersebar pada banyak perundang-undangan.5

Perwujudan usaha Pemerintah untuk memperbaiki sistem pendaftaran tanah ini, maka diundangkanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah6. Dengan telah terwujudnya penyempurnaan ketentuan hukum di bidang pertanahan tersebut diharapkan terjadi pula kepastian hukum di bidang pertanahan. Mengingat bahwa penting bagi masyarakat untuk

5

Ibid. Hlm 473.

6


(19)

4

mengetahuinya, karena dengan memahaminya berarti mereka mengerti kegiatan pendaftaran tanah secara keseluruhan, karena pendaftaran tanah dimulai dari kegiatan pengumpulan data fisik dan data yuridis sehingga secara terinci menggambarkan sistem kegiatan pertanahan di Indonesia.

Berbicara mengenai tanah, berarti kita berbicara pula mengenai pembuktian haknya. Seperti yang telah diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 32, setipikat adalah tanda bukti hak yang sah. Apabila kita belum memiliki sertipikat yaitu sebagai tanda bukti hak yang sah, dapat juga dibuktikan melalui akta jual beli. Tentu saja yang diakui oleh pemerintah ialah akta jual beli autentik yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang.

Apabila ditinjau dari aspek keperdataan, setiap perikatan memiliki kekuatan hukum. Perikatan dalam hal ini merupakan suatu tahap awal yang mendasari terjadinya jual beli. Perikatan jual beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan

membeli. Sesuai dengan asas “konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian

KUHPerdata, perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya “kesepakatan” mengenai barang dan harga, begitu kedua belah pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah. Sifat konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang berbunyi: “jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu


(20)

5

belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.

Apabila ditinjau dari Hukum Administrasi Negara atau Hukum Publik, tidak hanya sampai disitu saja. Tetapi harus melibatkan unsur pemerintah melalui Pejabat Umum yang berwenang. Karena tugas dan fungsi Pejabat yang berwenang tersebut ialah menadministrasikan dokumen-dokumen tanah yang berada diwilayahnya, seperti apa yang telah diatur dalam ketentuan undang-undang dan Peraturan Pemerintah.

Akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris/PPAT atau pejabat yang berwenang lainnya, berkedudukan sebagai akta autentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris7, hal ini sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta autentik yaitu8:

a. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku), b. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum.

Akta PPAT adalah akta autentik, hal ini ditegaskan oleh Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sebagai akta autentik, terhadap akta PPAT berlaku ketentuan-ketentuan tentang syarat-syarat dan tata cara pembuatan akta autentik. Bentuk akta autentik ditentukan oleh undang-undang, sedangkan pejabat yang dapat membuatnya tidak dapat dihindarkan agar berbobot yang sama harus pula ditentukan oleh undang-undang atau peraturan perundang-undangan setingkat

7

Ali Boediarto. Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad. Jakarta. Swa Justitia. 2005. Hlm 152.

8


(21)

6

dengan undang-undang9.

Sebagai akta autentik, akta PPAT sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dapat terdegradasi kekuatan pembuktian menjadi seperti akta di bawah tangan. Degradasi kekuatan bukti akta autentik menjadi kekuatan bukti dibawah tangan, dan cacat yuridis akta autentik yang mengakibatkan akta autentik dapat dibatalkan atau batal demi hukum atau non existent, terjadi jika ada pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yaitu:

1) Pasal 1869 KUHPerdata yang berbunyi: Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud diatas atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidaklah dapat diberlakukan sebagai akta autentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan jika ditandatangani oleh para pihak.

Pasal ini memuat ketentuan, bahwa suatu akta tidak memiliki kekuatan bukti autentik dan hanya memiliki kekuatan bukti dibawah tangan dalam hal:

a. Pejabat Umum tidak berwenang untuk membuat akta itu;

b. Pejabat umum tidak mampu (tidak cakap) untuk membuat akta itu; c. Cacat dalam bentuknya.

2) Pasal 1320 KUHPerdata, Yang mengemukakan untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi syarat yaitu:

9

Herlien Budiono. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2007. Hlm 59.


(22)

7

a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri; b. Kecakapan membuat suatu perjanijan; c. Suatu hal tertentu dan

d. Kausa yang Halal.

Syarat a dan b merupakan syarat subyektif karena mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perijanjian dan jika syarat subyektif dilanggar maka aktanya dapat dibatalkan, sedangan syarat c dan d merupakan syarat obyektif karena mengenai isi perjanjian dan jika syarat obyektif dilanggar maka aktanya batal demi hukum.

Akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar sudah dilakukannya jual beli. Jual beli tersebut masih dapat dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain. Akan tetapi dalam sistem pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pendaftaran jual beli itu hanya dapat dilakukan dengan akta PPAT sebagai buktinya. Orang yang melakukan jual beli tanpa dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat memperoleh sertipikat, walaupun jual belinya sah menurut hukum10.

Peralihan hak atas tanah yang tidak dilakukan di hadapan PPAT memang tidak ada sanksinya bagi para pihak, namun para pihak akan menemui kesulitan praktis yakni penerima hak, tidak akan dapat mendaftarkan peralihan haknya sehingga tidak akan mendapatkan sertipikat atas namanya. Oleh karena itu, jalan yang dapat

10

Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), Hlm 15.


(23)

8

ditempuh adalah mengulangi prosedur peralihan haknya di hadapan PPAT11.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 23 menyebutkan bahwa Pembuktian Hak Baru untuk keperluan Pendaftaran Hak:

a. Hak atas tanah baru dibuktikan dengan

1) Penetapan pemberian hak dari Pejabat yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku apabila pemberian hak tersebut berasal dari tanah Negara atau tanah hak pengelolaan;

2) Asli akta PPAT yang memuat pemberian hak tersebut oleh pemegang hak milik kepada penerima hak yang bersangkutan apabila mengenai hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah hak milik.

b. Hak pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak pengelolaan oleh Pejabat yang berwenang;

c. Tanah wakaf dibuktikan dengan akta ikrar wakaf;

d. Hak milik atas satuan rumah susun dibuktikan dengan akta pemisahan; e. Pemberian hak tanggungan dibuktikan dengan akta pemberian hak

tanggungan12.

Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 24 menyebutkan bahwa Pembuktian Hak Lama untuk keperluan Pendaftaran Hak : (1) Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang

11

J. Kartini Soedjendro, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik, (Yogyakarta: 2001, Kanisius), Hlm 73.

12


(24)

9

bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.

(2) Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersang-kutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat :

a. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya;

b. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya13.

Sertipikat sebagai salah satu dokumen pertanahan merupakan hasil proses pendaftaran tanah, adalah dokumen tertulis yang memuat data fisik dan data yuridis tanah yang bersangkutan. Dokumen-dokumen pertanahan tersebut dapat dipakai sebagai jaminan dan menjadi pegangan bagi pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan atas tanah tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah kekuatan pembuktian hak atas tanah sebagai surat tanda bukti hak

13


(25)

10

kepemilikan atas tanah, dan bagaimana akibat hukum jika hak atas tanah tidak bersertipikat. Kekuatan pembuktian Sertipikat tanah adalah kuat selama tidak ada pihak lain yang membuktikan sebaliknya. Sertipikat hak atas tanah berfungsi sebagai alat bukti yang kuat dan sah, dan merupakan sebagai tanda bukti kepemilikan hak milik atas tanah, walaupun bukti kepemilikan hak milik atas tanah tersebut masih bisa dibuktikan dengan alat bukti yang lain. Seperti saksi-saksi, akta jual beli, maupun surat keputusan pemberian hak. Adapun yang membedakan alat-alat bukti ini dibanding dengan sertipikat, bahwa sertipikat jelas ditegaskan dalam undang-undang dan merupakan alat bukti yang kuat, dan dijamin kebenarannya tanpa membutuhkan bukti-bukti tambahan. Dengan telah melakukan pendaftaran dan mendapatkan sertipikat, pemegang hak milik atas tanah memiliki bukti yang kuat atas tanah tersebut. Dalam sertipikat tersebut tercantum data fisik dan data yuridis tanah termasuk jenis haknya antara lain hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan lain sebagainya. Karena itu sertipikat atas tanah sangat penting keberadaannya.

Berdasarkan uraian diatas, banyak permasalahan tanah yang timbul dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah, khususnya tanah yang hanya memiliki Akta Jual Beli, dengan kata lain belum memiliki Sertipikat. Dan bagaimana kekuatan hukum dari tanah yang hanya memiliki Akta Jual Beli dibawah tangan dan Akta Jual Beli autentik. Serta akibat hukum dari tanah yang hanya meliliki akta jual beli dibawah tangan apabila ditinjau dari ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan dengan hanya pemikiran-pemikiran praktis tetapi perlu diadakan suatu analisis yuridis empiris


(26)

11

yang dituangkan dalam bentuk penelitian ilmiah dengan judul Tinjauan Yuridis Tentang Kekuatan Hukum Akta Jual Beli Dalam Pendaftaran Tanah.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah kekuatan hukum Akta Jual Beli Autentik dan Akta Jual Beli Dibawah Tangan dalam pendaftaran tanah?

2. Apakah dampak hukum yang ditimbulkan dalam jual beli tanah menggunakan Akta Jual Beli Dibawah Tangan?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah diatas maka tujuan adanya penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui kekuatan hukum akta jual beli autentik dan akta jual beli dibawah tangan dalam hal pendaftaran tanah.

2. Untuk mengetahui dampak hukum yang ditimbulkan dalam jual beli tanah menggunakan akta jual beli dibawah tangan.

1.3.2Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis :

1. Kegunaan Teoritis

a) Diharapkan hasil penelitian ini berguna bagi perkembangan ilmu hukum khususnya Hukum Agraria yang berkaitan dengan prosedur pendaftaran tanah melalui akta jual beli.


(27)

12

b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi dan masukan bagi pelaksanaan penelitian di bidang yang sama untuk masa mendatang pada umumnya dan masukan serta sumbangan bagi ilmu pengetahuan khususnya pada Hukum Agraria.

2. Kegunaan Praktis

a) Bagi Badan Pertanahan Nasional serta Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai bahan masukan untuk mengatasi dalam proses peralihan hak milik melalui jual beli.

b) Bagi masyarakat, dapat memberikan informasi mengenai kekuatan hukum akta jual beli dalam pendaftaran tanah.

c) Bagi Peneliti, sebagai bahan latihan dalam penulisan karya ilmiah sekaligus sebagai tambahan informasi mengenai kekuatan hukum akta jual beli dalam pendaftaran tanah berdasarkan akta jual beli dan juga untuk melengkapi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Pengertian Tanah

Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu dari permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.1 Dasar kepastian hukum dalam peraturan-peraturan hukum tertulis sebagai pelaksana Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, memungkinkan para pihak-pihak yang berkepentingan dengan mudah mengetahui hukum yang berlaku dan wewenang serta kewajiban yang ada atas tanah yang dipunyai. Karena kebutuhan manusia terhadap tanah dewasa ini makin meningkat. Hal ini disebabkan semakin bertambahnya jumlah penduduk, sementara disisi lain luas tanah tidak bertambah.

2.2. Pengertian Hak Milik

Pengertian hak milik berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria bahwa merupakan hak yang turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dan memberi wewenang untuk mempergunakan bagi segala macam keperluan selama waktu yang tidak terbatas sepanjang tidak ada larangan khusus untuk itu.

1

Effendi Perangin. Hukum Agraria Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum. Jakarta: Raja Grafindo. 1994. Hlm 17.


(29)

14

Dalam ayat ini dirumuskan hak milik menurut UUPA ini lebih lanjut. Ditegaskan bahwa hak milik inilah merupakan hak yang “paling kuat, yang dapat diperoleh oleh seseorang atas tanah. Sifat lainnya dari hak milik ini ialah bahwa hak ini adalah hak yang “paling penuh". Adanya ketentuan bahwa hak milik ini ialah hak yang terkuat dan “terpenuh", tidak boleh ditafsirkan sedemikian rupa hingga artinya “mutlak", seraya tidak dapat diganggu gugat, seperti dirumuskan dalam BW.

2.3. Tinjauan Tentang Akta 2.3.1. Pengertian Akta

Istilah akta dalam Bahasa Belanda disebut “acte/akta” dan dalam Bahasa Inggris disebut “act/deed”, pada umumnya mempunyai dua arti yaitu :

a. Perbuatan (handeling) atau perbuatan hukum (rechtshandeling); itulah pengertian yang luas, dan ;

b. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/digunakan sebagai bukti perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang ditujukan kepada pembuktian sesuatu2.

Sedang menurut R.Subekti dan Tjitrosoedibio mengatakan, bahwa kata “acta” merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang berasal dari bahasa latin dan berarti perbuatan-perbuatan3. A. Pittlo mengartikan akta, adalah surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperlusan siapa surat itu dibuat4. Sudikno Mertokusumo

2

Victor M Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 1991),Hlm 50.

3

R.Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta : PT Pradnya Paramita, 1980), Hlm 9.

4


(30)

15

mengatakan akta adalah surat yang diberi tandatangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian5.

2.3.2. Pengertian Akta Autentik

Definisi mengenai akta autentik dengan jelas dapat dilihat di dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang berbunyi : “ Suatu Akta Autentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang di buat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.”

Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata tersebut di atas dapatlah dilihat bentuk dari akta ditentukan oleh Undang-Undang dan harus dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum yang berwenang. Pejabat Umum yang berwenang yang dimaksud disini antara lain adalah Notaris atau PPAT, hal ini di dasarkan pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 dan Pasal 2 ayat 2 PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa Notaris atau PPAT adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan berwenang lainnya sebagai dimaksud dalam Undang-undang ini.

Syarat-syarat Akta Autentik adalah :

Otentisitas dari akta Notaris didasarkan pada Pasal 1 angka 1 Undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dimana disebut Notaris adalah pejabat umum; dan apabila suatu akta hendak memperoleh stempel otentisitas

Hlm 29.

5

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1979), Hlm 106.


(31)

16

seperti yang disyaratkan oleh Pasal 1868 KUHPerdata, maka akta yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan-persyaratan berikut :

a) Akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum;

b) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang;

c) Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

Jadi suatu akta dapat dikatakan autentik bukan hanya karena penetapan Undang-undang, tetapi karena dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 1868 KUHPerdata.

2.3.3. Pengertian Akta Dibawah Tangan

Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk pembukitian tanpa bantuan dari seorang Pejabat Umum, dengan kata lain Akta dibawah tangan adalah akta yang dimaksudkan oleh para pihak sebagai alat bukti, tetapi tidak dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum Pembuat Akta6.

Suatu akta yang dibuat di bawah tangan baru mempunyai kekuatan terhadap pihak ketiga, antara lain apabila dibubuhi suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pegawai lain yang ditunjuk oleh Undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 1874 dan Pasal 1880 KUHPerdata. Pernyataan tertanggal ini lebih lazimnya disebut Legalisasi dan Waarmerking.

6

Victor M Situmorang dan Cormentyna Sitanggang. Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. 1991. Hlm 60.


(32)

17

2.4. Pengertian Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah dalam bahasa Latin disebut dengan capitastrum, di Jerman dan Itali disebut dengan nama Catastro, dalam bahasa Perancis disebut dengan

Cadastre, akhirnya oleh Kolonial Belanda di Indonesia disebut dengan

Kadastrale atau Kadaster7. Capitastrum atau kadaster dari segi bahasa adalah suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah romawi yang berarti suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman) yang menunjuk kepada luas, nilai dan kepemilikan atau pemegang hak atas suatu bidang tanah, sedang kadaster yang modern bisa terjadi atas peta yang ukuran besar dan daftar-daftar yang berkaitan8.

Pengertian pendaftaran tanah berawal dari fungsinya sebagai suatu fiscal cadaster, setelah itu dengan pentingnya akan kepastian hak dan kepastian hukum menyebabkan pendaftaran tanah menjadi suatu legal cadastre. Pendaftaran tanah yang merupakan fiscal cadaster, yaitu kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan oleh pemerintah, dalam rangka memenuhi kepentingan negara sendiri, yaitu untuk kepentingan pemungutan pajak tanah9.

Pendaftaran tanah yang merupakan legal cadastre, yaitu :

“suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Negara atau Pemerintah secara terus-menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada diwilayah-wilayah tertentu, pengolahan,

7

R. Harmanses, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, halaman 14.

8

Mhd. Yamin Lubis, dkk, Op.Cit, halaman 18.

9

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Bandung, 1997, halaman 84.


(33)

18

penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda buktinya dan pemeliharaannya”10

.

Menurut Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Menurut Pasal 19 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, telah dijelaskan bahwa pendaftaran tanah adalah upaya yang diadakan pemerintah yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum di bidang hak-hak atas tanah. Pendaftaran tanah akan menghasilkan kepastian bukti hak atas tanah yang merupakan alat yang mutlak ada, sebagai dasar status kepemilikan tanah.

Sedangkan pengertian pendaftaran tanah menurut para ahli yang lain ialah. Pendaftaran tanah berasal dari kata Cascade (Bahasa belanda Kadaster) suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman), menunjukkan kepada luas, nilai, dan

10


(34)

19

kepemilikan (atau lain-lain atas hak) terhadap suatu bidang tanah11. Kata ini berasal dari bahasa Latin “Capistratum” yang berarti suatu register atau capita

atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi (Capotatio Terrens). Dalam arti yang tegas, Casdastre adalah record pada lahan-lahan, nilai dari pada tanah dan pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan. Dengan demikian,

Casdastre merupakan alat yang tepat yang memberikan uraian dan identifikasi dari tersebut dan juga sebagai Continuous recording (rekaman yang berkesinambungan) dari hak atas tanah12.

Sebutan pendaftaran tanah atau land registration ialah menimbulkan kesan, seakan-akan objek utama pendaftaran atau satu-satunya objek pendaftaran adalah tanah. Memang mengenai pengumpulan sampai penyajian data fisik, tanah yang merupakan objek pendaftaran, yaitu untuk dipastikan letaknya, batas-batasnya, luasnya dalam peta pendaftaran dan disajikan juga dalam “daftar tanah”. Kata “Kadaster” yang menunjukkan pada kegiatan bidang fisik tersebut berasal dari istilah Latin “Capistratium” yang merupakan daftar yang berisikan data mengenai

tanah.

Pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Negara/ Pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat,

11

A.P Parlindungan. Pendaftaran Tanah Indonesia. Bandung: Mandar Maju. 1999. Hlm 18 -19.

12


(35)

20

dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda buktinya dan pemeliharaannya13.

Dari pengertian pendaftaran tanah tersebut diatas dapat di uraikan unsur – unsur sebagai berikut :

1) Adanya serangkaian kegiatan

Serangkain kegiatan menunjuk kepada adanya berbagai kegiatan dengan menyelengarakan pendaftaran tanah, yang berkaitan satu dengan yang lain, berturutan menjadi satu kesatuan rangkaian yang bermuara pada tersedianya data yang diperlukan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan bagi rakyat.

2) Dilakukan oleh pemerintah

Penyelenggaraan pendaftaran tanah dalam masyarakat modern merupakan tugas negara yang dilaksanakan oleh pemerintah bagi kepentingan rakyat dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan.

3) Secara terus – menerus, berkesinambungan

Terus-menerus, berkesinambungan. Menunjuk kepada pelaksanaan kegiatan, yang sekali dimulai tidak akan ada akhirnya. Data yang sudah terkumpul dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian hingga tetap sesuai dengan keadaan yang terakhir.

4) Secara teratur

13

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Bandung, 1997, halaman 73.


(36)

21

Teratur menunjukkan bahwa semua kegiatan harus berlandaskan peraturan perundang-undangan yang sesuai, karena hasilnya akan merupakan data bukti menurut hukum, meskipun daya kekuatan pembuktiannya tidak selalu sama dalam hukum negara-negara yang menyelenggarakan pendaftaran tanah.

5) Bidang tanah dan satuan rumah susun

Kegiatan pendaftaran tanah dilakukan terhadap Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, Tanah Wakaf, Hak Atas Satuan Rumah Susun, Hak Tanggungan, dan Tanah Negara.

6) Pemberian surat tanda bukti hak

Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya menghasilkan surat tanda bukti hak berupa sertipikat atas bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan sertipikat hak milik atas satuan rumah susun.

7) Hak-hak tertentu yang membebaninya

Dalam pendaftaran tanah dapat terjadi objek pendaftaran tanah dibebani dengan hak yang lain, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bagunan, Hak Pakai, dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan, atau Hak Milik atas tanah dibebani dengan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai.

2.5. Dasar Hukum Pendaftaran Tanah

Berdasarkan konstitusional yang tersurat dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) ditegaskan, bahwa Indonesia adalah negara hukum (reschsstaat).


(37)

22

Konsekuensi logis dari suatu negara hukum, yakni setiap aktivitas, tindakan dan perbuatan harus sesuai dengan norma hukum.

Sehubungan dengan hal ini, maka keabsahan penyelenggaraan pendaftaran tanah di Indonesia bilamana dilaksanakan menurut ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, pelaksanaan pendaftaran tanah didasarkan pada ketentuan hukum yang diatur dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, Bumi. Air Dan Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Aplikasi dari norma hukum yang termuat dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, sehingga di undangkanlah UU Nomor 5 Tahun 1960, pada Pasal 19 ditegaskan, bahwa :

1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2) Pendaftaran tanah tersebut dalam ayat (1) Pasal ini, meliputi :

a. Pengukuran, pemetaan dan pembukaan tanah.

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.


(38)

23

3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomis serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut Pertimbangan Menteri Agraria.

4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termasud dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari biaya-biaya tersebut.

Berkenaan dengan ketentuan hukum yang diatur dalam Pasal 19 UU Nomor 5 Tahun 1960, sehingga diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah. Namun setelah beberapa lama berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, dirasakan sudah tidak memenuhui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sekaligus mencabut dan menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.

2.6. Asas dan Tujuan Pendaftaran Tanah

1) Asas Pendaftaran Tanah

Pada hakekatnya pelaksanaan pendaftaran tanah tidak didasarkan atas kehendak pribadi (bersifat subyektif) dari penjabat yang berwenang melakukan pendaftaran tanah, tetapi pelaksanaan pendaftaran tanah harus sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku, bahwa asas hukum itu merupakan jantungnya peraturan hukum14.

14


(39)

24

Asas peraturan, aturan-aturan hukum merupakan rasio logis dari aturan ataupun peraturan hukum. Asas hukum mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis, atau adanya petunjuk ke arah itu15.

Sehubungan dengan hal tersebut, dapatlah di pahami bahwa asas hukum merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat. Setidak – tidaknya asas hukum dipandang sebagai dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif. Sedangkan hukum positif yang dimaksud disini, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Terdapat beberapa asas dari pendaftaran tanah. Yaitu asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir, dan terbuka16.

a. Asas Sederhana

Dalam pendaftaran tanah yang dimaksud sederhana dalam pelaksanaannya agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya, dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan terutama hak atas tanah.

b. Asas Aman

Dimaksud untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat, sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.

15

Achmad Ali. Hukum Agraria Pertanahan Indonesia Jilid 2. Jakarta: Pustaka Karya. 2004. Hlm 117.

16


(40)

25

c. Asas Terjangkau

Dimaksud keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan, golongan ekonomi lemah pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh pihak yang memerlukan.

d. Asas Mutakhir

Dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan keseimbangan dalam pemeliharaan datanya, dan data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftardan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi dikemudian hari.

Sedangkan Menurut Soedikno Mertokusumo menyatakan bahwa dalam pendaftran tanah di kenal 2 macam asas yaitu17:

a) Asas Specialiteit

Asas ini yaitu pendaftaran tanah itu diselenggarakan atas dasar peraturan perundang-undangan tertentu, pemetaan, dan pendaftaran peralihannya.

b) Asas Openbaarheid (Asas Publisitas)

Asas ini memberikan data yuridis tentang siapa yang menjadi subjek haknya, apa nama hak atas tanah, serta bagaimana terjadinya peralihan dan pembebanannya. Data ini sifatnya terbuka untuk umum, artinya setiap orang dapat melihatnya.

2) Tujuan Pendaftaran Tanah

17


(41)

26

Secara garis besar tujuan pendaftaran tanah dinyatakan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturdan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu :

a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Untuk itu kepada pemegang haknya diberikan sertipikat sebagai tanda buktinya.

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Berkenaan dengan rumusan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 diketahui tujuan pendaftaran tanah adalah memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para pemiliknya, sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 19 UUPA.

Kepastian hukum yang hendak diwujudkan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah, merupakan bagian integral dari tujuan hukum pada umumnya18. Tujuan pendaftaran tanah yang tercantum pada huruf a merupakan tujuan utama pendaftaran tanah yang diperintahkan oleh Pasal 19 UUPA. Disamping itu terselenggaranya pendaftaran tanah juga dimaksudkan untuk tercapainya pusat informasi mengenai bidang-bidang tanah sehingga pihak-pihak yang

18

A.P. Parlindungan. Pendaftaran Tanah-Tanah dan Konversi Hak Milik Atas Tanah Menurut UUPA. Bandung: Alumni. 1998. Hlm 79.


(42)

27

berkepentingan termasuk pemerintah dapat dengan mudah memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar. Dengan demikian terselenggaranya pendaftaran tanah yang baik merupakan dasar dan perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan.

2.7. Sistem Pendaftaran Tanah

Telah dikatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah, maka UUPA meletakkan kewajiban kepada pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia, disamping kewajiban pemegang hak atas tanah untuk mendaftarkan haknya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Untuk mengetahui sejauh mana jaminan dan kepastian hak atas tanah yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah dalam pendaftaran itu, maka terlebih dahulu perlu diketahui mengenai sistem pendaftaran tanah yang dianut oleh UUPA, karena kuat tidaknya jaminan kepastian hukum yang diberikan dan pendafatran dalam pelaksanaan pendaftaran tanah.

Ada 3 (tiga) macam sistem pendaftaran tanah yaitu19 :

a. Sistem Torrens

Sistem torrens adalah sesuai dengan nama penciptanya, yaitu sir robert dari ausrtalia selatan. Menurut sistem torrens ini setiap hak atas tanah yang

19

Bahtiar Efendi. Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya. Bandung: Alumni. 2005.Hlm 30.


(43)

28

didaftarakan itu dicacat dalam buku tanah dan salinan buku tanah yang dinamakan sertipikat diserahkan kepada pemilik atau pemegang hak atas tanah tersebut, penyerahan sertipikat itu dilakukan dengan sebuah akta pejabat.

Adapun sertipikat tanah menurut sistem torrens ini merupakan alat bukti bagi pemegang hak atas tanah yang paling lengkap serta tidak bisa diganggu gugat lagi, dalam arti kita tidak dapat lagi dibantah kebenarannya.

b. Sistem Positif

Menurut sistem positif ini segala yang tercantum dalam buku tanah serta sertipikat tanda bukti hak atas tanah yang di berikan itu adalah berlaku tanda bukti hak atas tanah yang mutlak serta merupakan satu-satunya tanda bukti hak atas tanah.

Ciri pokok dari sistem positif ini ialah bahwa pendaftaran tanah adalah untuk menjamin dengan sempurna, bahwa nama orang yang terdaftar dalam buku tanah adalah tidak dapat dibantah lagi, sekalipun ternyata kemudian hari orang tersebut bukan pemilik yang berhak atas tanah tersebut. Segala hal yang terdaftar dalam buku tanah adalah dianggap benar secara mutlak sehingga tidak dapat dilawan dengan alat bukti lain untuk membuktikan ketidak benarannya sertipikat tersebut.

c. Sistem Negatif

Kebalikan dari kedua sistem pendaftaran tanah tersebut di atas adalah sistem negatif. Menurut sistem negatif ini, segala apa yang tercantum di dalam sertipikat tanah di anggap benar sampai di buktikan sebaliknya di muka sidang pengadilan. Sistem negatif pendaftaran tanah tidaklah menjamin bahwa nama yang terdaftar


(44)

29

buku tanah tidak dapat dibantah lagi, jika nama yang terdafatar itu bukan pemilik yang sebanarnya, melainkan masih dapat dibantah ketidak benarannya.

Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah sistem manakah yang dianut oleh UUPA jo Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997?

Dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 antara lain disebutkan, bahwa pembekuan sesuatu hak dalam daftar buku tanah atas nama seseorang tidak mengakibatkan bahwa orang yang sebenarnya berhak atas tanah itu akan kehilangan haknya, melainkan orang tersebut masih dapat hak dari orang terdaftar dalam buku tanah sebagai orang yang berhak atas tanah itu. Dari penjelasan ini dapatlah ditarik kesimpulan bahwa sistem pendaftaran tanah yang dianut dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah sistem negatif.

Sedangkan menurut negatif tendensi positif. Dalam sistem negatif mengandung unsur positif, dimana sistem pendaftaran tanah tidak berada pada sistem negatif semata, akan tetapi juga bisa berada dalam sistem positif, sehingga disebut pendaftaran tanah dengan sistem negatif mengandung unsur positif dianut oleh UUPA dan dikembangkan lebih lanjut dalam PP Nomor 24 Tahun 1997, seperti tertuang dalam Pasal 32 sebagai berikut :

1. Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, yang ada dalam surat dan buku tanah yang bersangkutan.


(45)

30

2. Dalam hak suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat yang sah maka nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak tersebut apabila dalam waktu lima tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak ada yang mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang hak dan kepala kantor pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat.

Ketentuan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2), dan Pasal 38 ayat (2) UUPA, yang berisikan bahwa pendaftaran tanah menghasilkan surat tanda bukti yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, maka sistem publikasi pendaftaran tanah yang dianut adalah sistem publikasi negatif, yaitu sertipikat hanya merupakan surat tanda bukti yang mutlak. Hal ini berarti bahwa data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertipikat mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima hakim sebagai keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada alat bukti lain yang membuktikan sebaliknya. Dengan demikian, pengadilanlah yang berwenang memutuskan alat bukti mana yang benar dan apabila terbukti sertipikat tersebut tidak benar, maka diadakan perubahan dan penbetulan sebagaiamana mestinya.

Ketentuan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 mempunyai kelemahan, yaitu Negara tidak menjamin kebenaran data fisik dan


(46)

31

data yuridis yang disajikan dan tidak adanya jaminan bagi pemilik sertipikat dikarenakan sewaktu-sewaktu akan mendapatkan gugatan dari pihak lain yang merasa dirugikan atas diterbitkannya sertipikat.

Untuk menutupi kelemahan dalam ketentuan Pasal 32 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan untuk memberikan perlindungan hukum kepada pemilik sertipikat dari gugatan dari pihak lain dan menjadikannya sertipikat sebagai tanda bukti yang bersifat mutlak. Maka dibuatlah ketentuan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, sertipikat sebagai surat tanda bukti hak yang bersifat mutlak apabila memenuhi unsur-unsur secara kumulatif, yaitu :

a) Sertipikat diterbitkan secara sah atas nama orang atau badan hukum,

b) Tanah diperoleh dengan itikad baik,

c) Tanah dikuasai secara nyata

d) Dalam waktu lima tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak ada yang mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan kepala kantor pertanahan kabupaten/kota setempat ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat.

Secara lengkap bunyi ketentuan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan :

Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad


(47)

32

baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu telah tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.

Ketentuan setelah 5 (lima) tahun sertipikat tanah tak bisa digugat , disatu sisi memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum tetapi disisi lain kebijakan tersebut juga riskan dan tak memberikan perlindungan hukum kepada rakyat kecil yang sejauh ini belum sepenuhnya paham hukum20. Pengumuman penerbitan sertipikat tanah di kantor kepala desa/kelurahan atau media massa tidak menjamin masyarakat dapat mengetahui atas adanya pengumuman sehubungan dengan penerbitan sertipikat. Hal ini dikarenakan masyarakat belum terbiasa membaca pengumuman di kelurahan atau media massa.

Pembatasan 5 (lima) tahun saja hak untuk menggugat tanah yang telah bersertipikat harus disambut dengan rasa gembira karena akan memberikan kepastian hukum dan ketentraman pada orang yang telah memperoleh sertipikat tanah dengan itikad baik. Pengalaman menunjukkan bahwa sering terjadi sertipikat hak atas tanah yang telah berumur lebih dari 20 tahun pun (karena sertipikat tersebut telah diperpanjang sampai dengan 20 tahun lagi ) masih juga dipersoalkan dengan mengajukan gugatan. Bahkan baik di Pengadilan Negeri maupun ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan pihak tergugat umumnya tidak

20

Irwan Soerodjo, 2002, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arkola, Surabaya. Hlm 186.


(48)

33

berhasil dengan mengajukan eksepsi kedaluwarsaan baik akusatif maupun extingtip karena Hakim menganggap Hukum Tanah Nasional kita berpijak pada hukum adat yang tidak mengenal lembaga verjaring. Dengan adanya pembatasan 5 tahun dalam Pasal 32 ayat 2 maka setiap Tergugat dalam kasus tanah yang sertipikatnya telah berumur 5 tahun dapat mengajukan eksepsi lewat waktu. Ketentuan Pasal 32 ayat 2 ini dapat dipastikan akan banyak mengurangi kasus/sengketa tanah.

Sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan setelah lewat jangka waktu 5 (lima) tahun setelah diterbitkan, maka sertipikat tanah tak dapat digugat lagi, sehingga hal tersebut akan relatif lebih memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum21. Ketentuan ini pada prinsipnya menganut sistem publikasi positif, karena dengan adanya pembatasan waktu lewat dari 5 (lima) tahun tidak dapat digugat lagi oleh orang yang merasa berhak atas tanah termaksud. Dengan ketentuan bahwa proses permohonan dan pendaftaran maupun peralihan haknya senantiasa dilandasai oleh itikad baik atau kebenaran serta berpegang teguh pada asas Nemo Plus Yuris.

Dengan menerapkan kedua asas ini yaitu asas itikad baik/kebenaran dan asas Nemo Plus Yuris akan memberikan perlidungan hukum kepada pemegang sertipikat hak atas tanah, tentunya penerapan kedua asas ini harus dikuti pula dengan asas penguasaan fisik atas tanah termaksud,karena dengan menguasai secara fisik dan tanpa ada keberatan dari pihak lain , itu berarti masyarakat atau siapapun orangnya telah mengakui kepemilikan seseorang atas tanah yang

21

Irwan Soerodjo, 2002, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arkola, Surabaya. Hlm 187.


(49)

34

dikuasainya itu. Dengan menguasai terus menerus atas tanah termaksud berarti secara tidak langsung pemilik tanah itu menolak atau terhindar dari prinsip rechtsverwerking. Prinsip ini menyatakan bahwa pihak yang merasa mempunyai hak atas tanah harus mempertahankan haknya akan tetapi kalau pemilik tanah tidak memelihara atau mempertahankan haknya atas tanah termaksud berarti dia telah melepaskan haknya.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997 di atas, dapatlah diketahui bahwa ketentuan yang dimaksud merupakan peningkatan dari ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 10 Tahun 1961 yang jelas - jelas menganut sistem negatif.

Perlindungan akan menjamin kepastian hukum dalam pendaftaran tanah sistem negatif mengandung unsur positif, yakni adanya pembatasan hak menuntut bagi seseorang terhadap sertipikat yang sudah lima tahun diterbitkan, selama tidak ada yang keberatan pada saat memerlukan pendaftaran, baik mengenai penguasaan maupun kepemilikan atas sebidang tanah, sertipikat serta surat ukur tanah, maka penerapan sistem negatif mengandung unsur positif lebih menjamin kepastian hukum dibandingkan sistem negatif ataupun sistem positif dalam pendaftaran tanah.

2.8. Pembuktian Hak Baru dan Hak Lama

Dalam tinjauan Hukum Administrasi Negara, Sertipikat merupakan dokumen tertulis yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh pemerinah (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) untuk dipergunakan sebagai tanda bukti hak dan alat


(50)

35

pembuktian yang dikeluarkan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah. Apabila sertipikat dikatakan sebagai suatu dokumen formal suatu surat tanda bukti hak atas tanah, berarti bahwa seseorang atau suatu badan hukum yang memegang sertipikat tanah menunjukan mereka mempunyai suatu hak atas tanah atas suatu bidang tanah tertentu22. Ketika suatu sertipikat dikonsepkan sebagai suatu alat bukti hak kepemilikan atas tanah maka sertipikat bukan merupakan alat bukti satu-satunya adanya keberadaan hak kepemilikan atas tanah.

Ketentuan hukum yang diatur dalam Pasal 23 dan 24 PP Nomor 24 tahun 1997, menunjukan konstruksi hukum yang mensyaratkan adanya alat bukti tertentu yang dapat dijadikan alas hak (title) yang dapat dipergunakan bagi seseorang atau badan hukum dapat menuntut kepada Negara adanya keberadaan hak atas tanah yang dipegang atau dimiliki. Secara hukum dengan berpegang pada alat bukti ini maka merupakan landasan yuridis guna dapat dipergunakan untuk melegalisasi asetnya untuk dapat diterbitkan sertipikat tanda bukti sekaligus alat bukti kepemilikan hak atas tanah.

Pertama, instrument yuridis atau alat bukti kepemilikan yang disebut sebagai Hak Baru atas tanah harus dibuktikan dengan “Penetapan Pemerintah” yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang apabila hak tersebut berasal dari tanah Negara atau tanah hak pengelolaan. Wujud kontret dari penetapan pemerintah ini adalah Surat Keputusan Pemberian Hak Kepemilikan atas Tanah, yaitu Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan lainnya.

22

Boedi Harsono. Beberapa Analisis Tentang Hukum Agraria, Bagian 3. Era study Club. Jakarta. 1980. Hlm 1.


(51)

36

Kedua, Akta Autentik Pejabat Pembuat Akta Tanah menurut ketentuan hukum termasuk Alat Bukti Kepemilikan Hak Baru, dimana Akta Autentik tersebut memuat pemberian hak tersebut oleh pemegang hak milik kepada penerima hak yang bersangkutan apabila mengenai hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah hak milik yang terlah diatur di dalam Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Ketiga, instrument yuridis tertulis lainnya yang disebut sebagai Hak Lama diatur dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yang diakui keberadaannya oleh hukum sebagai alat bukti tertulis kepemilikan hak atas tanah. Selanjutnya instrument yuridis tentang keberadaan alat bukti kepemilikan tersebut secara terinci diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997. Didalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Pasal 60 dari PMNA/KBPN Nomor 3 tahun 1997, beserta penjelasan Pasalnya disebutkan alat bukti kepemilikan lama yakni: grosse/salinan akta eigendom, surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan swapraja, surat tanda bukti hak milik yang dikeluarkan berdasarkan peraturan Menteri Agraria Nomor 9 tahun 1959, surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang baik sebelum maupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah memenuhi semua kewajiban yang disebut didalamnya, petok D / girik, pipil, ketitir, dan verponding Indonesia sebelum berlakunya PP Nomor 10 tahun 1961, akta pemindahan hak dibawah tangan yang dibubuhi tanda


(52)

37

kesaksian oleh Kepala Adat/Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dengan disertai alas hak yang dialihkan, akta pemindahan yang dibuat oleh PPAT yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, akta ikrar wakaf / surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan PP Nomor 28 tahun 1977 dengan disertai alas hak yang diwakafkan, risalah lelang, surat penunjukan pembelian kavling tanah pengganti tanah yang diambil pemerintah, surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh kepala kantor PBB dengan disertai alas hak yang dialihkan, lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana di maksud dalam Pasal 2, 6, dan 7 ketentuan konversi. Alat-alat bukti kepemilikan hak ini pada hakekatnya merupakan representasi dari pengakuan dari Negara terhadap hak kepemilikan yang dipunyai oleh warga Negara Indonesia.


(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1.Pendekatan Masalah

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan (library research)1. Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari suatu atau beberapa gejala hukum tertentu2.

Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan masalah dengan melihat dan menelaah hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berupa konsepsi, peraturan perundang-undangan, pandangan, doktrin hukum dan sistem hukum yang berkaitan. Jenis pendekatan ini menekankan pada diperolehnya keterangan berupa naskah hukum yang berkaitan dengan objek yang diteliti.

3.2.Sumber Data

Data yang dikumpulkan guna menunjang hasil penelitian adalah data sekunder yang dapat didefinisikan sebagai berikut:

1

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet. 4, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 13-14; Lihat juga Bambang Sunggono, Metodologi Penlitian Hukum, cet. 6, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 184.

2

Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum Dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hlm. 32.


(54)

39

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku hukum, dan dokumen yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

a) Bahan Hukum Primer yaitu data yang diambil dari sumber aslinya yang berupa undang-undang yang memiliki otoritas tinggi yang bersifat mengikat untuk penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat. Dalam penelitian ini bahan hukum primer terdiri dari:

1)Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

2)Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 3)Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

4)Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah.

5)Peraturan Pemeritah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

b) Bahan Hukum Sekunder yaitu merupakan bahan hukum yang memberikan keterangan terhadap bahan hukum primer dan diperoleh secara tidak langsung darisumbernya atau dengan kata lain dikumpulkan oleh pihak lain, berupa buku jurnal hukum, dokumen-dokumen resmi, penelitian yang berwujud laporan dan buku-buku hukum.


(55)

40

c) Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang lebih dikenal dengan nama acuan bidang hukum, misal kamus hukum, indeks majalah hukum, jurnal penelitian hukum dan bahan-bahan di luar bidang hukum seperti majalah surat kabar, serta bahan-bahan-bahan-bahan hasil pencarian dan melalui internet yang berkaitan dengan masalah yang ingin diteliti.

3.3.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 3.3.1. Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang benar dan akurat dalam penelitian ini dilakukan dengan Studi Pustaka yaitu dengan cara membaca, mempelajari, mencatat, memahami dan mengutip data-data yang diperoleh dari beberapa literatur berupa buku-buku, dan peraturan hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan.

Kegiatan studi kepustakaan dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:

a) Penentuan sumber data sekunder (sumber hukum primer, sumber hukum sekunder, dan sumber tertier), berupa perundang-undangan, literatur di bidang ilmu pengetahuan hukum, dan kamus.

b) Identifikasi data sekunder (sumber hukum primer, sumber hukum sekunder, dan sumber tertier) yang diperlukan, yaitu proses mencari dan menemukan bahan hukum berupa ketentuan dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan; judul buku, nama pengarang, cetakan, kota penerbit, penerbit, tahun terbit dan nomor halaman karya tulis bidang hukum.

c) Inventarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah, pokok bahasan atau subpokok bahasan, dengan cara pengutipan atau pencatatan.


(56)

41

d) Pengkajian data yang sudah terkumpul guna menentukan relevansinya dengan kebutuhan dan rumusan masalah3.

3.3.2. Pengolahan Data

Data yang terkumpul, diolah melalui pengolahan data dengan tahap-tahap sebagai berikut:

a. Editing yaitu data yang diperoleh kemudian diolah dengan cara pemilahan data dengan cermat dan selektif sehingga diperoleh data yang relevan dengan pokok masalah.

b. Evaluasi yaitu menentukan nilai terhadap data-data yang telah terkumpul. c. Klasifikasi data yaitu menempatkan data menurut kelompok-kelompok yang

ditentukan sehingga diperoleh data yang obyektif dan sistematis sesuai dengan pokok bahasan.

d. Sistematika data yaitu penyusunan data berdasarkan urutan data ditentukan dan sesuai dengan pokok bahasan secara sistematis.

e. Penyusunan data yaitu menyusun data secara sistematis menurut data urutan pokok bahasan yang telah ditentukan dengan maksud untuk memudahkan dalam menganalisis data.

3.4.Analisis Data

Data yang telah diolah, dianalisis dengan menggunakan cara deskriptif kualitatif maksudnya adalah analisis data yang digunakan dengan menjabarkan secara rinci kenyataan atau keadaan atas suatu objek dalam bentuk kalimat guna memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap permasalahan yang diajukan sehingga memudahkan untuk ditarik kesimpulan.

3

Abdulkadir Muhammad. Hukum dan Penelitian Hukum, cet. 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004). Hlm. 125.


(57)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukan pada pembahasan sebelumnya, maka kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Kekuatan hukum akta jual beli autentik dan akta jual beli dibawah tangan adalah:

a. Akta jual beli autentik yaitu akta PPAT/PPATS dalam pemindahan hak mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti pemindahan hak apabila akta jual beli tersebut dibuat oleh PPAT/PPATS dan telah memenuhi syarat formil dan materil.

b. Akta jual beli autentik dalam pendaftaran tanah mempunyai kekuatan hukum sebagai dasar dalam pendaftaran tanah, yang dibuat berbentuk akta PPAT/PPATS dan dilengkapi dengan warkah-warkah lainnya.

c. Akta jual beli dibawah tangan dalam pemindahan hak tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti pemindahan hak, melainkan hanya sebatas perjanjian jual beli antara para pihak tersebut.

d. Akta jual beli dibawah tangan dalam pendaftaran tanah hanya mempunyai kekuatan hukum sebagai dasar dalam pendaftaran tanah apabila akta tersebut termasuk dalam alat bukti hak lama, yaitu sepanjang jual beli tersebut dilakukan sebelum 8 Oktober 1997 dan dilengkapi dengan warkah-warkah lainnya.


(58)

78

2) Dampak hukum yang ditimbulkan dalam jual beli tanah menggunakan akta jual beli dibawah tangan adalah:

a. Jual beli tanah yang dilakukan hanya dengan akta jual beli dibawah tangan akan menimbulkan kerugian bagi pihak pembeli, karena pembeli hanya menguasai secara fisik akan tetapi tidak secara yuridis, karena akta jual beli dibawah tangan tersebut tidak berlaku sebagai dasar dalam pendaftaran tanah.

b. Jual beli yang dilakukan menggunakan akta dibawah tangan tetap sah, jual beli tersebut terjadi karena adanya kesepakatan antara para pihak, dan para pihak telah cakap menurut hukum. Tetapi jual beli tersebut hanya sebatas perjanjian yang dibuat untuk para pihak tersebut dan tidak berlaku secara otomatis kepada pihak ketiga.

5.2.Saran

Berdasarkan analisa dan kesimpulan atas permasalahan yang telah dibahas, maka yang menjadi saran penulis adalah :

1) Pelaksanaan jual beli tanah pada hakekatnya merupakan salah satu pemindahan hak atas tanah kepada pihak lain, yaitu dari penjual kepada pembeli tanah dimana dalam proses pelaksanaannya tidak mungkin dilaksanakan pendaftaran tanpa melibatkan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Berdasarkan ketentuan PP Nomor 24 Tahun 1997, proses pendaftaran tanah haruslah dibuktikan dengan akta jual beli PPAT.

2) Harus dilakukan penyuluhan hukum oleh pihak Badan Pertanahan Nasional maupun pihak Camat atau Kepala Desa mengenai pentingnya akta jual beli autentik agar tidak menimbulkan masalah ataupun sengketa dikemudian hari


(59)

79

Masyarakat sebagai pihak yang akan melakukan pemindahan hak atau yang menerima hak hendaknya mencari informasi tentang tanah tersebut.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukan pada pembahasan sebelumnya, maka kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Kekuatan hukum akta jual beli autentik dan akta jual beli dibawah tangan adalah:

a. Akta jual beli autentik yaitu akta PPAT/PPATS dalam pemindahan hak mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti pemindahan hak apabila akta jual beli tersebut dibuat oleh PPAT/PPATS dan telah memenuhi syarat formil dan materil.

b. Akta jual beli autentik dalam pendaftaran tanah mempunyai kekuatan hukum sebagai dasar dalam pendaftaran tanah, yang dibuat berbentuk akta PPAT/PPATS dan dilengkapi dengan warkah-warkah lainnya.

c. Akta jual beli dibawah tangan dalam pemindahan hak tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti pemindahan hak, melainkan hanya sebatas perjanjian jual beli antara para pihak tersebut.

d. Akta jual beli dibawah tangan dalam pendaftaran tanah hanya mempunyai kekuatan hukum sebagai dasar dalam pendaftaran tanah apabila akta tersebut termasuk dalam alat bukti hak lama, yaitu sepanjang jual beli tersebut dilakukan sebelum 8 Oktober 1997 dan dilengkapi dengan warkah-warkah lainnya.


(2)

78

2) Dampak hukum yang ditimbulkan dalam jual beli tanah menggunakan akta jual beli dibawah tangan adalah:

a. Jual beli tanah yang dilakukan hanya dengan akta jual beli dibawah tangan akan menimbulkan kerugian bagi pihak pembeli, karena pembeli hanya menguasai secara fisik akan tetapi tidak secara yuridis, karena akta jual beli dibawah tangan tersebut tidak berlaku sebagai dasar dalam pendaftaran tanah.

b. Jual beli yang dilakukan menggunakan akta dibawah tangan tetap sah, jual beli tersebut terjadi karena adanya kesepakatan antara para pihak, dan para pihak telah cakap menurut hukum. Tetapi jual beli tersebut hanya sebatas perjanjian yang dibuat untuk para pihak tersebut dan tidak berlaku secara otomatis kepada pihak ketiga.

5.2.Saran

Berdasarkan analisa dan kesimpulan atas permasalahan yang telah dibahas, maka yang menjadi saran penulis adalah :

1) Pelaksanaan jual beli tanah pada hakekatnya merupakan salah satu pemindahan hak atas tanah kepada pihak lain, yaitu dari penjual kepada pembeli tanah dimana dalam proses pelaksanaannya tidak mungkin dilaksanakan pendaftaran tanpa melibatkan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Berdasarkan ketentuan PP Nomor 24 Tahun 1997, proses pendaftaran tanah haruslah dibuktikan dengan akta jual beli PPAT.

2) Harus dilakukan penyuluhan hukum oleh pihak Badan Pertanahan Nasional maupun pihak Camat atau Kepala Desa mengenai pentingnya akta jual beli autentik agar tidak menimbulkan masalah ataupun sengketa dikemudian hari


(3)

79

Masyarakat sebagai pihak yang akan melakukan pemindahan hak atau yang menerima hak hendaknya mencari informasi tentang tanah tersebut.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur Buku

A.P Parlindungan. Pendaftaran Tanah Indonesia. Bandung: Mandar Maju. 1999. ______________. Pendaftaran Tanah-Tanah dan Konversi Hak Milik Atas Tanah

Menurut UUPA. Bandung: Alumni. 1998.

A Pittlo. Pembuktian dan Daluarsa. Terjemahan M. Isa Arif. Jakarta: PT Intermasa. 1978.

Achmad Ali. Hukum Agraria Pertanahan Indonesia Jilid 2. Jakarta: Pustaka Karya. 2004.

Ali Boediarto. Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum

Acara Perdata Setengah Abad. Jakarta. Swa Justitia. 2005.

Bahtiar Efendi. Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya. Bandung: Alumni. 2005.

Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan

Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2001.

Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan

Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Bandung; Djambatan.

1997.

______________. Beberapa Analisis Tentang Hukum Agraria, Bagian 3. Jakarta: Era Study Club. 1980.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 1995.

Effendi Perangin. Hukum Agraria Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang

Praktisi Hukum. Jakarta: Raja Grafindo. 1994.

Habib Adjie. Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia. Bandung; Mandar Maju. 2012.


(5)

Harun Al–Rashid. Sekilas Tentang Jual Beli Tanah Berikut Peraturan– Peraturanya. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1986.

Herlien Budiono. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2007.

Irwan Soerodjo. Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia. Surabaya: Arkola. 2002.

J. Kartini Soedjendro. Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi

Konflik. Yogyakarta: Kanisius. 2001.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2004.

Muhammad Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis. Hukum Pendaftaran Tanah. Bandung: Mandar Maju. 2008.

Philipus M. Hadjon. Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Autentik. Surabaya. 2001.

R. Harmanses. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita. 1996. R.Subekti. R. Tjitrosoedibio. Kamus Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1980. ______________. Hukum Perjanjian. Jakarta: Penerbit Intermasa. 1998

R. Soegondo Notodisoerjo. Tata Cara Pengangkatan Pejabat Umum. Jakarta: Intan Pariwara. 2007.

Satjipto Raharjo. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni. 1986.

Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Yogyakarta: Liberty. 1979.

Supriadi. Aspek Hukum Tanah dan Aset Daerah. Jakarta: Prestasi Pustaka. 2010. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1995.

Victor M Situmorang, Cormentyna Sitanggang. Aspek Hukum Akta Catatan Sipil


(6)

B. Peraturan Perundang - Undangan

1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.

3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 4) Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

5) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah.

6) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

C. Internet

Defenisi Hukum Menurut Para Ahli . http://carapedia.com/pengertian_definisi_ hukum_menurut_para_ahli_info489.html, diakses tanggal 17 November 2014.

http:/irmadevita.com/2008/01/13/perbedaan-akta-otentik-dengan-suratdibawah- tangan/. diakses Tanggal 22 Januari 2015.