KEKUATAN PEMBUKTIAN SAKSI TESTIMONIUM DE AUDITU DALAM PERKARA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi Putusan No. 306/Pid.B/2014/PN.Sdn)

(1)

ABSTRAK

KEKUATAN PEMBUKTIAN SAKSI

TESTIMONIUM DE AUDITU

DALAM PERKARA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

(Studi Putusan No. 306/Pid.B/2014/PN.Sdn)

Oleh

AFRIAN YUSRANDA

Penggunaan keterangan saksi

testimonium de auditu

dalam perkara Kekerasan

dalam Rumah Tangga (KDRT) dianggap tidak sesuai dengan undang-undang

karena merujuk pada makna saksi dalam Pasal 1 Angka 26 dan 27 KUHAP,

namun dalam perkembangannya Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No.

65/PUU-VIII/2010 telah memperluas makna saksi, sehingga keterangan saksi

testimonium de auditu

saat ini bernilai sebagai alat bukti. Adapun permasalahan

dalam skripsi ini adalah apakah kriteria keterangan saksi

testimonium de auditu

yang dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara KDRT dan bagaiamana

kekuatan pembuktian keterangan saksi

testimonium de auditu

dalam perkara

KDRT.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan data utama

adalah data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan dan dilengkapi

dengan data primer yang diperoleh dari penelitian di lapangan. Analisis data

dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian secara terperinci berdasarkan

fakta-fakta yang bersifat khusus ke umum dan ditarik kesimpulan sehingga dari

kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, kriteria keterangan saksi

testimonium de auditu

dalam perkara KDRT yaitu : keterangan yang diberikan

harus diucapkan di atas sumpah, keterangan saksi harus diberikan disidang

pengadilan, dan kesaksian itu harus memiliki relevansi dengan alat bukti lainnya.

Berdasarkan perluasan makna saksi dalam putusan Mahkamah Konstitusi

keterangan saksi

testimonium de auditu

dapat dijadikan sebagai alat bukti yang

sah dan tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim,

hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya.


(2)

AFRIAN YUSRANDA

Berdasarkan hasil penelitian saran yang dapat diajukan penulis adalah penerapan

dan penggunaan keterangan saksi yang bersifat

de auditu

haruslah sebaik-baiknya,

para penegak hukum hendaknya dapat menilai suatu alat bukti dengan cermat dan

teliti dalam membuktikan bersalah atau tidaknya seseorang dari perkara pidana,

serta para intitusi hukum tertinggi seperti Mahkamah Konstitusi dalam

memberlakukan perubahan baru terhadap undang-undang haruslah lebih

mendetail mengenai perubahan tersebut memberikan batasan yang jelas dan tidak

membingungkan para penegak hukum dalam penerapan undang-undang yang baru

berlaku sehingga perkara pidana di persidangan dapat diputuskan secara cepat dan

efesien.


(3)

KEKUATAN PEMBUKTIAN SAKSI

TESTIMONIUM DE AUDITU

DALAM PERKARA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

(Studi Putusan No. 306/Pid.B/2014/PN.Sdn)

(SKRIPSI)

Oleh

AFRIAN YUSRANDA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG

2015


(4)

KEKUATAN PEMBUKTIAN SAKSI

TESTIMONIUM DE AUDITU

DALAM PERKARA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

(Studi Putusan No. 306/Pid.B/2014/PN.Sdn)

Oleh

AFRIAN YUSRANDA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar

SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG

2015


(5)

(6)

(7)

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Way Kanan pada tanggal 4 April 1993.

Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Penulis

merupakan putra dari pasangan berbahagia ayahanda Hi. Kusnadi

dan ibunda Hj. Kartilah.

Riwayat pendidikan penulis adalah TK Pertiwi diselesaikan pada tahun 1999, lalu

penulis melanjutkan sekolah di SD Negeri 2 Tiuh Balak Pasar dan diselesaikan

pada tahun 2005. Kemudian pendidikan dilanjutkan pada Sekolah Menengah

Pertama (SMP) Negeri 1 Baradatu pada tahun 2008, selanjutnya menempuh

pendidikan di Sekolah Menengah Atas Yayasan Pembina (YP) UNILA yang

diselesaikan pada tahun 2011.

Pada tahun 2011 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas

Lampung melalui SNMPTN jalur Tertulis dan mengambil minat bagian Hukum

Pidana. Penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada tahun 2014 di Desa

Tambah Subur, Kecamatan Way Bungur, Kabupaten Lampung Timur.


(9)

PERSEMBAHAN

Dengan lafadz hamdallah, ku persembahkan karya kecilku ini untuk :

Allah Rabbil Izzati atas limpahan rahamat dan karunia-Nya serta kasih saying dan

pertolongan yang diberikan-Nya padaku

Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Kusnadi dan Ibunda Kartilah yang telah memberikan

bekal hidup dan selalu mencurahkan cinta dan kasih sayangnya di setiap hari-hariku

Serta kakak-kakak dan adiku, Fresya Marie, Mirta Sawitri dan Nisrinna Deliarossa yang

selalu menjadi penyemangat dalam setiap perjalanan hidupku

Wanita Spesial, Siti Listianatin Nafiah, S.E yang selalu memberikan doa dan dukungan di

setiap waktu

Sahabat-sahabtku yang telah memberikan dorongan, saran serta doanya sehingga skripsi ini

dapat terselsaikan

Alamamaterku Tercinta.


(10)

MOTO

Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta

itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan. -Khalifah Ali bin Abi Talib-

Saat Anda melakukan kesalahan ada tiga yang harus Anda lakukan :

mengakui, belajar darinya dan jangan ulangi lagi.

-Anonim-

Anda HARUS tahu Anda bisa menang. Anda HARUS berpikir Anda bisa

menang, dan Anda harus merasakan Anda bisa menang.


(11)

Leonard-SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkah rahmat dan

karunia-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi dengan judul

Kekuatan Pembuktian Saksi Testimonium De Auditu dalam

Perkara

Kekerasan

dalam

Rumah

Tangga

(Studi

Putusan

No.

306/Pid.B/2014/PN.Sdn)

adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Hukum di Universitas Lampung.

Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada pihak yang secara

langsung maupun tidak langsung telah memberiakan bantuan, bimbingan dan

dorongan yang sangat berguna hingga terselesaikannya penulisan skripsi ini,

yaitu:

1.

Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H.,M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Lampung;

2.

Ibu Diah Gustiniati, S.H.,M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung;

3.

Bapak Dr. Maroni, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing I atas kesediannya

untuk memberikan bantuan, dorongan dan bimbingan dalam proses

penyelsaian skripsi ini;


(12)

4.

Bapak A. Irzal Fardiansyah, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang

telah memberikan masukan serta berbagi ilmu kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini;

5.

Ibu Firganefi, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembahas I atas segala saran,

masukan dan arahan membangun yang diberikan selama proses penulisan

skripsi ini;

6.

Bapak Deni Achmad, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembahas II yang telah

memberikan kritik dan saran serta masukannya dalam penulisan skripsi ini;

7.

Ibu Ratna Syamsiar, S.H.,M.H. selaku Pembimbing Akademik;

8.

Para Dosen Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Lampung, terimakasih

banyak atas bimbingan dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama

dalam pendidikan;

9.

Para staff administrasi di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah

banyak membantu;

10.

Bapak Wasis Priyanto, S.H.,M.H. (Pengadilan Negeri Sukadana), Bapak

Husni Mubaraq, S.H.,M.H. (Kejaksaan Negeri Sukadana), Bapak Gunawan

Jatmiko S.H.,M.H. (Fakultas Hukum Universitas Lampung), atas

bantuannya saat penelitian dan pencarian data dalam proses penulisan

skripsi ini;

11.

Yang terhormat kedua orang tuaku, Ayahanda Kusnadi dan Ibunda Kartilah

tercinta yang selalu mendukung dan mendoakan untuk keberhasilan penulis

meraih cita-cita, terimakasih atas doa dan dukungannya;

12.

Saudara-saudaraku tersayang : Fresya Marie, Mirta Sawitri dan Nisrinna

Deliarossa, terimakasih atas dukungan dan bantuan doanya;


(13)

13.

Wanita spesial yang selalu menemani, memberikan dukungan dan doa

untukku agar menjadi orang yang lebih baik dan berhasil: Siti Listianatin

Nafiah S.E. I love you. Remember. They cannot take it ;

14.

Sahabat-sahabatku : Reza Cepri, Ria Annisa, dan Rico Apriansyah atas

persahabatan dalam suka dan duka serta bantuan pemikirannya sehingga

skripsi ini terselesaikan;

15.

Teman-teman dan sahabat seangkatan yang selalu memberi cerita

menyenangkan dan momen tak terlupakan selama perkuliahan di Fakultas

Hukum Universitas Lampung: Abdul, Alfinicko, Asep, Beni, Asep, Asa,

Ata, Astari, Chelase, Clara, Arsha, Ferdian, Dewantara serta yang tidak bisa

disebutkan satu-persatu namanya penulis ucapkan terimakasih.

16.

Teman-teman sekaligus keluarga baru KKN Desa Tambah Subur,

Kecamatan Way Bungur, Lampung Timur, Alfi, Agung, Akhfi, Andi, Aldi,

Dimas, Dias, Habsah, Aulia dan Ani atas pengalaman yang paling berkesan

yang kita lewati siang dan malam.

17.

Semua pihak-pihak yang belum tertulis namanya yang saya yakin telah

banyak membantu dan berpartisipasi dalam penulisan skripsi ini.


(14)

Penulis berharap semoga Allah SWT melimpahkan taufik dan hidayah-Nya pada

kita semua dan membalas semua kebaikan yang telah diberikan. Penulis juga

berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Bandar Lampung, 2015

Penulis


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI

I.

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah ...1

B.

Permasalahan dan Ruang Lingkup ...9

1.

Permasalahan ...9

2.

Ruang Lingkup Penelitian ...10

C.

Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...10

1.

Tujuan Penelitian ...10

2.

Kegunaan Penelitian...11

D.

Kerangka Teoritis dan Konseptual ...11

1.

Kerangka Teoritis ...11

2.

Konseptual ...17

E.

Sistematika Penulisan ...18

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Teori Pembuktian dalam Perkara Pidana ...20

1.

Pengertian Pembuktian dalam Perkara Pidana ...20

2.

Teori-Teori Sistem Pembuktian ...22

3.

Prinsip Pembuktian Perkara Pidana ...27

B.

Jenis dan Kekuatan Alat Bukti dalam Perkara Pidana ...29

1.

Jenis-Jenis Alat Bukti ...29

2.

Kekuatan Alat Bukti dalam Perkara Pidana ...31

C.

Perkembangan

Testimonium De Auditu

dalam Penegakan Hukum di

Indonesia ...37

III.

METODE PENELITIAN

A.

Pendekatan Maasalah ...42

B.

Sumber dan Jenis Data ...43


(16)

D.

Prosedur Pengolahan dan Pengumpulan Data ...45

1.

Prosedur Pengolahan Data ...45

2.

Prosedur Pengumpulan Data ...45

E.

Analisis Data ...46

IV.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.

Karakteristik Responden ...47

B.

Kriteria Keterangan Saksi

Testimonium De Auditu

sebagai Alat Bukti

dalam Perkara Kekerasan dalam Rumah Tangga ...49

C.

Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi

Testimonium De Auditu

dalam

Perkara Kekerasan dalam Rumah Tangga ...69

V.

PENUTUP

A.

Simpulan ...82

B.

Saran ...83


(17)

I.

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi

menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.

Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak

pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Hukum pidana formil

mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Pengaturan hukum pidana

formil telah disahkan dengan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP).

Hukum Pidana Formil atau Hukum Acara Pidana adalah Hukum yang mengatur

tentang tata cara beracara dalam lingkup hukum pidana atau juga dapat diartikan

sebagai seperangkat aturan-aturan tentang bagaimana caranya menegakkan atau

mempertahankan hukum pidana materil. Lebih jelasnya lagi bahwa hukum pidana

formil memuat aturan-aturan tentang bagaimana caranya menerapkan hukum

pidana terhadap perkara-perkara pidana. Dalam hukum pidana formil diatur segala

sesuatu tentang proses pemeriksaan perkara pidana pada semua tingkatan

pemeriksaan di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan.


(18)

2

Buku Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) disebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah : “untuk mencari

dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu

kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan

menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan

untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu

pelanggaran hukum, selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari

pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah

dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.

1

Melalui hukum acara pidana ini, maka bagi setiap individu yang melakukan

penyimpangan atau pelanggaran hukum, khususnya hukum pidana, selanjutnya

dapat diproses dalam suatu acara pemeriksaan di pengadilan, karena menurut

hukum acara pidana untuk membuktikan bersalah tidaknya seorang terdakwa

haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang pengadilan dan untuk

membuktikan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan

diperlukan adanya suatu pembuktian.

Membuktikan menurut Subekti ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil

atau dalil-dalil yang dikemukan dalam suatu persengketaan.

2

Darwin Prinst

menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pembuktian adalah pembuktian bahwa

benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwa yang bersalah

melakukannya sehingga harus mempertanggungjawabkannya.

3

1

Indonesia, Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 8, LN Nomor 76 Tahun 1981, TLN. Nomor 3258.

2

R. Subekti, 2001, Hukum Pembuktian, Jakarta : Pradnya Paramita, hlm. 1.

3


(19)

3

Sedangkan menurut Sudikno Martokusumo pembuktian adalah :

Pembuktian secara juridis tidak lain merupakan pembuktian secara historis.

Pembuktian yang bersifat juridis ini mencoba menetapkan apa yang telah

terjadi secara konkret. Baik dalam pembuktian secara juridis maupun ilmiah,

maka membuktikan pada hakikatnya berarti mempertimbangkan secara logis

mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar

”.

4

Pembuktian didalam hukum acara pidana merupakan titik sentral di dalam

pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini karena melalui tahapan pembuktian

inilah terjadi suatu proses, cara, perbuatan membuktikan untuk menunjukkan

benar atau salahnya si terdakwa terhadap suatu perkara pidana di dalam sidang

pengadilan. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti

yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan

kesalahan yang didakwakan.

Pembuktian adalah kegiatan membuktikan, dimana membuktikan berarti

memperlihatkan bukti-bukti yang ada, melakukan sesuatu sebagai kebenaran,

melaksanakkan, menandakan, menyaksikan dan meyakinkan. Secara konkret,

Adami Chazawi menyatakan, bahwa dari pemahaman tentang arti pembuktian di

sidang pengadilan, sesungguhnya kegiatan pembuktian dapat dibedakan menjadi 2

bagian, yaitu :

5

1.

Bagian kegiatan pengungkapan fakta

2.

Bagian pekerjaan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum.

Terdapat unsur dominan berupa sekurang-kurangnya dua alat bukti sedangkan

unsur keyakinan hakim hanya merupakan unsur pelengkap di dalam sistem

4

Sudikno Mertokusumo, 1999Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, hlm. 109.

5


(20)

4

pembuktian menurut undang-undang secara negatif (

negatief wettelijke bewujs

theorie

)

Jadi dalam menentukan apakah orang yang didakwakan tersebut bersalah atau

tidak, haruslah kesalahannya dapat dibuktikan paling sedikit dengan dua jenis alat

bukti seperti yang tertuang di dalam KUHAP Pasal 183 yang menyatakan bahwa :

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila

dengan sekurng-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah

yang bersalah melakukannya”.

Alat bukti yang sah dalam KUHAP Pasal 184 ayat (1) undang-undang yaitu:

a. keterangan saksi,

b. keterangan ahli,

c. surat,

d. petunjuk, dan

e. keterangan terdakwa.

Menurut Yahya Harahap hanya alat bukti yang mencapai batas minimal yang

memiliki nilai kekuatan pembuktian untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Apabila alat bukti tidak mencapai sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah

dalam KUHAP, maka pelanggaran itu dengan sendirinya menyampingkan standar

Beyond a reasonable doubt

(patokan penerapan standar terbukti secara sah dan

meyakinkan) dan pemidanaan yang dijatukan dapat dianggap sewenang-wenang.

6

Kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana menempati posisi kunci,

sebagaimana terlihat dalam Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara

6

M. Yahya Harahap , 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jilid II Jakarta: Pustaka Kartini,hlm. 812.


(21)

5

Pidana (KUHP). Sebagai alat bukti utama, tentu dampaknya sangat terasa bila

dalam suatu perkara tidak diperoleh saksi. Pentingnya kedudukan saksi dalam

proses peradilan pidana, telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana.

Berhubungan dengan hal tersebut, saksi merupakan salah satu faktor penting

dalam pembuktian atau pengungkapan fakta yang akan dijadikan acuan dalam

menemukan bukti-bukti lain untuk menguatkan sebuah penyelidikan, penyidikan,

dan bahkan pembuktian di pengadilan. Pentingnya peran saksi dalam proses

penegakan hukum terutama hukum pidana tentunya membawa konsekuensi

tersendiri bagi orang yang dijadikan saksi, baik itu saksi korban dan saksi pelapor

maupun saksi-saksi lain dalam pembuktian pelaku tindak pidana.

Tidak semua keterangan saksi yang diberikan di depan sidang pengadilan

mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai

sebagai alat bukti adalah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 27

KUHAP yang pada dasarnya menyatakan bahwa keterangan saksi adalah

keterangan yang bersumber dari apa yang saksi lihat sendiri, dengar sendiri dan

saksi alami sendiri. Artinya bahwa fakta-fakta yang diperoleh dari keterangan

saksi haruslah bersumber dari pribadinya sendiri.

Apabila ketentuan Pasal 1 angka 27 KUHAP dihubungkan dengan penjelasan

Pasal 185 ayat (1) maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa :

a.

Setiap keterangan saksi di luar apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa

pidana yang terjadi atau di luar yang dilihat atau dialaminya dalam perkara

pidana yang terjadi. Keterangan saksi yang diberikan di luar pendengaran,

penglihatan atau pengalaman saksi sendiri mengenai suatu peristiwa pidana


(22)

6

yang terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Dengan

demikian keterangan seperti ini tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.

b.

Testimonium de auditu

atau keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil dari

pendengaran dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti.

Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulangan dari apa

yang didengarnya dari orang lain, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti.

Berkaitan dengan kesaksian

de auditu

, Andi Hamzah menyatakan bahwa :

“Kesaksian

de auditu

tidak diperkenankan sebagai alat bukti dan selaras pula

dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, dan pula

untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, dimana keterangan

seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain, tidak menjamin

kebenarannya, maka kesaksian

de auditu

atau

hearsay evidence

patuh tidak

dipakai di Indonesia pula.

7

Namun demikian, kesaksian

de auditu

perlu pula didengar oleh hakim, walaupun

tidak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian, tetapi dapat memperkuat

keyakinan hakim yang bersumber kepada dua alat bukti yang lain. Berhubung

tidak dicantumkannya pengamatan hakim sebagai salah satu alat bukti dalam

Pasal 184 KUHAP, Andi Hamzah menyatakan bahwa

kesaksian de auditu

tidak

dapat dijadikan alat bukti melalui pengamatan hakim, mungkin melalui alat bukti

petunjuk yang penilaian dan pertimbangannya hendaknya diserahkan kepada

hakim.

8

Berdasarkan putusan Mahkamah Kontitusi No

.

65/PUU-VIII/2010, menyatakan

Pasal 1 angka 26 dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3), (4), Pasal 184 ayat (1a)

KUHAP adalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang pengertian saksi

7

Andi Hamzah, 2006,Hukum Acara Pidana Indonesia,Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 267.


(23)

7

dalam pasal-pasal itu tidak dimaknai orang yang dapat memberikan keterangan

dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan tidak selalu ia dengar sendiri,

ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, dilihat dari putusan tersebut, bahwa

keterangan saksi tidak hanya harus keterangan yang dilihat, didengar dan dialami

sendiri.

Implikasi yuridis dari putusan MK nomor 65/PUU-VIII/2010 mengenai saksi dan

keterangan saksi dalam perkara pidana adalah bahwa setelah adanya putusan

tersebut definisi saksi dan keterangan saksi menjadi orang yang tidak harus

mendengar, melihat dan mengetahui secara langsung dan keterangan saksi

diperluas maknanya menjadi keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa

pidana yang didengar, dilihat dan alami sendiri dengan menyebut alasan

pengetahuannya itu, termasuk pula keterangan dalam rangka penyidikan,

penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana dari orang yang tidak selalu

mendengar, melihat dan mengalami suatu peristiwa pidana.

Kaitannya dengan persoalan kesaksian

testimonium de auditu

terdapat salah satu

contoh kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dalam proses

pembuktian perkaranya menggunakan saksi

testimonium de auditu

sebagai alat

bukti, yaitu kasus yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Sukadana, Lampung

Timur dengan nomor : 391/Pid.B/2014/PN.Sdn atas nama terdakwa yaitu Dedy

Handoko Bin Margiono. Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum bahwa

terdakwa melanggar Pasal 44 ayat (1) UU RI Nomer 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Atas dasar dakwan tersebut

setelah melewati rangkaian proses pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri


(24)

8

Sukadana, kemudian Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sukadana menjatuhkan

putusan dengan No. 306/Pid.B/2014/PN.Sdn yaitu menyatakan bahwa terdakwa

tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana

kekerasan fisik dalam rumah tangga sesuai dakwaan Penutut Umum dan

menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 7 (tujuh)

bulan, dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan.

Alat bukti yang diajukan pada persidangan tersebut Jaksa Penuntut Umum

mengajukan alat bukti baik berupa keterangan saksi, surat, petunjuk maupun

keterangan terdakwa. Terkait dengan saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut

Umum, 2 (dua) dari keterangan saksi merupakan keterangan saksi

testimonium de

auditu

yakni saksi Untariani dan saksi Eka Puji Lestari yang hanya mendengar

cerita persitiwa dari saksi korban Tri Wahyuni. Kedua saksi tidak mengetahui dan

melihat sendiri atau mendengar sendiri peristiwa yang terjadi antara Dedi

Handoko (terdakwa) dan Tri Wahyuni (korban) melainkan hanya memperoleh

cerita dari korban Tri Wahyuni saat melihat adanya luka lebam dipunggung

korban dan menanyakan perihal luka tersebut, korban menceritakan bahwa luka

itu disebabkan oleh terdakwa, maka dapat dilihat bahwa keterangan yang

diterangkan kedua saksi tersebut dalam persidangan merupakan keterangan saksi

testimonium de auditu

. Mengenai status

de auditu

yang diterima oleh hakim

sebagai alat bukti berdasarkan pertimbangan hakim dalam putusannya, hakim

menerima keterangan saksi

testimonium de auditu

dalam perkara ini sebagai alat

bukti petunjuk dan belum mengacu pada perluasan makna saksi yang ditetapkan

oleh Mahkamah Konstitusi.


(25)

9

Apabila dilihat dari putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010 yang memperluas makna

saksi tentu saja saksi

testimonium de auditu

sudah dapat diterima sebagai alat

bukti dalam perkara pidana, namun Mahkamah Konstitusi dalam putusannya juga

tidak memberikan syarat-syarat yang jelas bagaimana kriteria keterangan saksi

yang dapat memberikan keterangan di persidangan dan nilai kekuatan pembuktian

keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah menurut KUHAP, karena itulah

penulis melakukan penelitian untuk menulis skripsi yang berjudul

“Kekuatan

Pembuktian Saksi

Testimonium De Auditu

dalam Perkara Kekerasan dalam

Rumah Tangga”.

B.

Permasalahan dan Ruang Lingkup

1.

Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang terkait dengan kekuatan pembuktian

keterangan saksi

testimonium de auditu

dalam hal perkara KDRT, maka

permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.

Apakah yang menjadi kriteria keterangan saksi

testimonium de auditu

dapat

dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara KDRT ?

2.

Bagaimanakah nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi

testimonium de

auditu

sebagai alat bukti dalam perkara KDRT?


(26)

10

2.

Ruang Lingkup

Mengingat luasnya cakupan yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka penulis

pun membatasi ruang lingkup pada pembahasan substansi Hukum Pidana, baik

hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana

mengenai objek kajian terkait dengan kriteria keterangan saksi

testimonium de

auditu

dan kekuatan pembuktian saksi

testimonium de auditu

dalam perkara

kekerasan dalam rumah tangga kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang

Undang Hukum Acara Pidana. Lokasi penelitian yaitu di

Pengadilan Negeri Sukadana dan Kejaksaan Negeri Sukadana pada bulan Juni

2015.

C.

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1.

Untuk mngetahui dan menganalisis apa yang menjadi kriteria keterangan saksi

testimonium de auditu

dapat dijadikan alat bukti dalam perkara KDRT.

2.

Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana kekuatan pembuktian

keterangan saksi

testimonium de auditu

sebagai alat bukti dalam perkara

KDRT.


(27)

11

2.

Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian dapat dilihat dari dua aspek , yaitu:

1.

Kegunaan Teoritis

Penulisan ini diharapkan memberikan tambahan pengetahuan bagi penulis dan

dapat memperkaya konsep atau teori yang membantu perkembangan ilmu

pengetahuan hukum pidana khususnya mengenai kekuatan pembuktian saksi

testimonium de auditu

sebagai alat bukti yang sah serta diharapkan dapat

bermanfaat untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi para pihak

pihak

yang merasa tertarik dalam masalah yang ditulis dalam penelitian ini.

2.

Kegunaan Praktis

Kegunaan praktis dari hasil penelitian ini adalah dapat memberikan jawaban atas

persoalan

persoalan dalam pembuktian pidana serta menjadi referensi khusus

bagi mahasiswa yang menggeluti ilmu hukum pidana, mengingat perkembangan

ilmu hukum yang mengalami banyak permasalahan dan membutuhkan suatu

pemecahan untuk menjelaskan semua itu, tentunya diperlukan suatu konstruksi

pemikiran sehingga dapat memecahkan bersama.

D.

Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka Teoritis adalah konsep konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi

dari hasil penelitian yang pada dasarnya bertujuan untuk menidentifikasi terhadap

dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.

9

Teori yang digunakan di

dalam penulisan skripsi ini adalah teori-teori yang berhubungan dengan kekuatan

9


(28)

12

pembuktian

testimonium de auditu

dalam perkara KDRT berdasarkan hukum

positif yang berlaku di Indonesia.

1.

Kriteria dan Syarat Keterangan Saksi

Alat bukti keterangan saksi dalam hukum acara pidana merupakan hal yang

sangat penting dan diutamakan dalam membuktikan kesalahan terdakwa, maka

disini hakim harus sangat cermat, teliti dalam menilai alat bukti keterangan saksi

ini karena dengan alat bukti keterangan saksi ini akan lebih mengungkap

peristiwanya. Tidak selamanya keterangan saksi dapat sah menjadi alat bukti yang

mempunyai kekuatan pembuktian dalam pemeriksaan di persidangan. Ada

syarat-syarat yang harus di penuhi agar alat bukti keterangan saksi dan mempunyai nilai

kekuatan pembuktian. Keterangan saksi agar dapat menjadi alat bukti yang sah

harus memenuhi beberapa persyaratan menurut M. Yahya Harahap, yaitu:

10

1.

Keterangan saksi yang diberikan harus diucapkan di atas sumpah, hal ini

diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP.

2.

Keterangan saksi yang diberikan dipengadilan adalah apa yang saksi lihat

sendiri, dengar sendiri dan dialami sendiri oleh saksi, hal ini diatur dalam

Pasal 1 angka 27 KUHAP.

3.

Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan, hal ini sesuai

dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP.

4.

Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup, agar mempunyai

kekuatan pembuktian maka keterangan seorang saksi harus ditambah dan

10

M. Yahya Harahap , 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jilid II Jakarta: Pustaka Kartini,hlm. 265-268


(29)

13

dicukupi dengan alat bukti lain, hal ini sesuai dengan Pasal 185 ayat (2)

KUHAP.

5.

Keterangan para saksi yang dihadirkan dalam sidang pengadilan

mempunyai saling hubungan atau keterkaitan serta saling menguatkan

tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu, hal ini sesuai

dengan Pasal 185 ayat (4) KUHAP.

2.

Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi

Pembuktian merupakan masalah yang sangat penting dalam proses di pengadilan,

karena dapat menentukan bersalah atau tidaknya seseorang. Hukum pidana

menganut sistem pembuktian

Negative wettelijk

ada dua hal yang merupakan

syarat :

a.

Wettelijk

, oleh karena alat-alat bukti yang sah dan yang ditetapkan oleh Pasal

184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

b.

Negatif

, oleh karena dengan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh Pasal

184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, belum cukup untuk

memaksa hakim pidana menganggap bukti sudah diberikan, akan tetapi masih

dibutuhkan adanya keyakinan hakim.

11

Dengan demikian antara alat-alat bukti dengan keyakinan hakim diharuskan

adanya hubungan

causal

(sebab akibat). Pasal 183 Kitab Undang- Undang Hukum

Acara Pidana (selanjutnya di sebut KUHAP) mensyaratkan adanya dua alat bukti

yang sah dan yang ditetapkan Undang-Undang dan keyakinan hakim, bahwa

11

Martiman Prodjohamidjojo, 1984, Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta: Pradnya Paramitha, hlm. 13.


(30)

14

tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan terdakwalah yang melakukannya.

Sehingga meskipun terdapat empat, lima atau enam saksi yang diajukan Penuntut

Umum, akan tetapi hakim pidana tidak meyakini bahwa tindakan pidana itu telah

terjadi dan dilakukan oleh terdakwa, maka hakim pidana akan membebaskan

terdakwa atau akan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Oleh karena

itu, sistem KUHAP menganut sistem

Negative wettelijk

, tidak mengizinkan hakim

pidana untuk menggunakan atau menerapkan alat-alat bukti lain yang tidak

ditetapkan oleh Undang-Undang, dalam hal ini yang ditetapkan oleh pasal 184

KUHAP.

12

Alat bukti berupa pengetahuan hakim atau keyakinan hakim tidak

merupakan alat bukti yang ditetapkan oleh Undang-Undang, hal ini dapat dilihat

dalam Pasal 184 yang menyatakan alat bukti yang sah, yaitu :

a. Keterangan saksi.

b. Keterangan ahli.

c. Surat.

d. Petunjuk.

e. Keteranganterdakwa.

Tentang nilai kekuatan pembuktian saksi ada baiknya kembali melihat masalah

yang berhubungan dengan keterangan saksi ditinjau dari sah atau tidaknya

keterangan saksi sebagai alat bukti. Ditinjau dari segi ini, keterangan saksi yang

diberikan dalam sidang pengadilan di kelompokkan pada dua jenis:

a) Keterangan saksi menolak bersumpah, tentang kemungkinan penolakan saksi

bersumpah telah diatur dalam pasal 161. sekalipun penolakan itu tanpa alasan

yang sah dan walaupun saksi telah disandera, namun saksi tetap menolak untuk

12Ibid


(31)

15

mengucapkan sumpah atau janji. Dalam keadaan seperti ini menurut pasal 161

ayat (2), nilai keterangan saksi yang demikian dapat menguatkan keyakinan

hakim. Memang, keterangan yang diberikan tanpa sumpah atau jnji, bukan

merupakan alat bukti. Namun, pasal 161 ayat (2) menilai kekuatan pembuktian

keterangan tersebut “dapat menguatkan keyakinan hakim” apabila pembuktian

yang telah ada telah memenuhi batas minimum pembuktian.

b) Keterangan yang diberikan tanpa sumpah, hal ini biasa terjadi seperti yang

diatur dalam pasal 161, yakni saksi yang telah memberikan keterangan dalam

pemeriksaan penyidikan dengan tidak disumpah, ternyata “tidak dapat

dihadirkan” dalam p

emeriksaan siding pengadilan. Keterangan saksi yang

terdapat dalam berita acara penyidikan dibacakan di sidang pengadilan, dalam hal

ini undang-undang tidak mengatur secara tegas nilai pembuktian yang dapat

ditarik keterangan kesaksian yang dibacakan disidang pengadilan. Namun

demikian , kalau bertitik tolak dari ketentuan pasal 161 ayat (2) dihubungkan

dengan pasal 185 ayat (7) nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada

keterangan saksi yang dibacakan di sidang pengadilan, sekurang-kurangnya dapat

“dipersamakan” dengan keterangan saksi yang diberikan di persidangan tanpa

sumpah. Jadi, sifatnya tetap tidak merupakan alat bukti, tetapi nilai kekuatan

pembuktian yang melekat padanya:

i.

Dapat dipergunakan “ menguatkan keyakinanan” hakim.

ii.

Atau dapat bernilai dan

dipergunakan sebagai “tambahan alat bukti” yang

sah lainya.

c) karena hubungan kekeluargaan. Seperti yang sudah dijelaskan, seorang saksi

yang mempunyai pertalian keluarga tentu dengan terdakwa tidak dapat


(32)

16

memberikan keterangan dengan sumpah. Barangkali untuk mengetahui nilai

keterangan mereka yang tergolong pada pasal 168, harus kembali menoleh pada

pasal 161 ayat (2) dan pasal 185 ayat (7):

i.

Keterangan mereka tidak dapat dinilai sebagai alat bukti,

ii.

Tetapi dapat dipergunakan menguatkan hakim,

iii.

Atau dapat bernilai dan dipergunakan sebagai tambahan menguatkan alat

bukti yang sah lainya sepanjang keterangan tersebut mempunyai

persesuaian dengn alat bukti yang sah itu, dan alat bukti yang sah itu telah

memenuhi batas minimum pembuktian.

d) saksi termasuk golongan yang disebut pasal 171. anak yang umurnya belum

cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin atau orang yang sakit ingatan

atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang baik kembali, boleh diperiksa memberi

keterangan “tanpa sumpah” di

sidang pengadilan. Titik tolak untuk mengambil

kesimpulan umum dalam hal ini ialah pasal 185 ayat (7) tanpa mengurangi

ketentuan lain yang diatur dalam pasal 161 ayat (2), maupun pasal 169 ayat 2 dan

penjelasan pasal 171. bertitik tolak dari ketentuan ketentuan tersebut, secara

umum dapat disimpulkan:

i.

Semua keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah dinilai “bukan

merupakan alat bukti yang sah” walupun keterangan yang diberikan tanpa

sumpah bersesuaian dengan yang lain, sifatnya tetap “bukan merupa

kan alat

bukti”

.

ii.

Tidak mempunyai kekuatan alat pembuktian.

iii.

Akan tetapi “dapat” dipergunakan “sebagai tambahan” menyempurnakan

kekuatan pembuktian yang sah.


(33)

17

2. Konseptual

Konseptual menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang

merupakan sekumpulan pengertian yang berkaitan dengan istilah yang ingin

diteliti atau diketahui .

13

Beberapa istilah yang memiiki arti luas dipersempit

sehingga dapat memfokuskan permasalahan. Sebaliknya, beberapa istilah

mengalami proses perluasan makna dengan tujuan mencari titik temu antara

konsep tertentu antara konsep dengan penerapannya dalam praktek.

Demikian pula dengan generalisasi esensi dari konsep-konsep tertentu yang

memiliki kesamaan-kesaman pada intinya, dijadikan suatu pengertian khusus,

yang akan memudahkan menulusuri maksud penulis. Pengertian-pengertian

khusus tersebut antara lain:

1.

Pembuktian

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman

tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang

didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang

mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan

hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.

14

2.

Alat bukti

Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan,

dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan

13

Soerjono Soekanto, 1986,.Pengantar Penelitian Hukum. UI-Press. Jakarta. hlm.124.

14

M.Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali:Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 273.


(34)

18

pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu

tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa.

15

3.

Testimonium De Auditu

Kesaksian tidak langsung atau

de auditu

atau

hearsay

adalah suatu kesaksian dari

seseorang di muka pengadilan untuk membuktikan kebenaran suatu fakta, tetapi

saksi tersebut tidak mengalami/mendengar/melihat sendiri fakta tersebut.

16

4.

Kekerasan dalam Rumah Tangga

Pengertian KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama

perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk

melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan

hukum dalam lingkup rumah tangga.

E.

Sistematika Penulisan

Penulisan Sistematika penulisan ini memuat keseluruhan yang akan disajikan

dengan tujuan mempermudah pemahaman konteks skripsi ini, maka penulis

menyajikan penulisan dengan sistematika sebagai berikut :

I.

PENDAHULUAN

Bab ini terdiri atas latar belakang dari permasalahan yang diselidiki, masalah yang

dijadikan fokus studi, ruang lingkup permasalahan, tujuan dan kegunaan

15

Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung:Mandar Maju, hlm. 11.

16

Munir Fuady, 2012,Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata,. Cet II, Bandung : Citra AdityaBakti, hlm. 132.


(35)

19

penelitian, kerangka teoritis dan konseptual yang dipergunakan, serta sistematika

penulisan.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi mengenai teori pembuktian dalam perkara pidana, jenis dan

kekuatan alat bukti dalam perkara pidana, perkembangan

testimonium de auditu

dalam penegakan hukum di Indonesia.

III.

METODE PENELITIAN

Bab ini memuat tentang metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini,

yang menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan

masalah, metode pengumpulan data yang merupakan penjelasan tentang darimana

data itu diperoleh dan pengolahan data serta metode analisis dan pembahasan.

IV.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan hasil penelitian yang telah dilakukan dan bab ini juga

memberikan jawaban mengenai permasalahan yang penulis teliti yaitu mengenai

Kekuatan Pembuktian Saksi

Testimonium De Auditu

dalam Perkara Kekerasan

dalam Rumah Tangga.

V.

PENUTUP

Bab ini memuat kesimpulan dan saran-saran terhadap permasalahan yang

diangkat oleh penulis.


(36)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.

Teori Pembuktian dalam Pekara Pidana

1.

Pengertian Pembuktian dalam Perkara Pidana

Kata ”pembuktian” berasal dari kata ”bukti” artinya ”sesuatu yang menyatakan

kebenaran suatu peristiwa”, kemudian mendapat awalan ”pem” dan akhiran ”an”,

maka pembuktian artinya ”proses perbuatan, cara membukti

-kan sesuatu yang

menyatakan kebenaran suatu peristiwa”, demikian pula pengertian membuktikan

yang mendapat awalan ”mem” dan akhiran ”an”, artinya memperlihatkan bukti,

meyakinkan dengan

bukti”.

18

Pembuktian merupakan bagian penting dalam pencarian kebenaran materiil dalam

proses pemeriksaan perkara pidana. Sistem Eropa Kontinental yang dianut oleh

Indonesia menggunakan keyakinan hakim untuk menilai alat bukti dengan

keyakinannya sendiri. Hakim dalam pembuktian ini harus memperhatikan

kepentingan masyarakat dan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti orang

yang telah melakukan tindak pidana harus mendapatkan sanksi demi tercapainya

keamanan, kesejahteraan, dan stabilitas dalam masyarakat. Sedangkan

kepentingan terdakwa berarti bahwa ia harus diperlakukan dengan adil sesuai

18

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Departemen P & K, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm. 133.


(37)

21

dengan asas

Presumption of Innocence

. Sehingga hukuman yang diterima oleh

terdakwa seimbang dengan kesalahannya.

Banyak ahli hukum yang mendefinisikan pembuktian ini melalui makna kata

membuktikan. Membuktikan menurut Sudikno Mertokusumo

19

disebut dalam arti

yuridis yaitu memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa

perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa

yang diajukan. Lain halnya dengan definisi membuktikan yang diungkapkan oleh

Subekti. Subekti

20

menyatakan bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim

tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu

persengketaan.

21

Berdasarkan definisi para ahli hukum tersebut, membuktikan

dapat dinyatakan sebagai proses menjelaskan kedudukan hukum para pihak yang

sebenarnya dan didasarkan pada dalil-dalil yang dikemukakan para pihak,

sehingga pada akhirnya hakim akan mengambil kesimpulan siapa yang benar dan

siapa yang salah.

Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk

menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal

terhadap kebenaran peristiwa tersebut.

22

Pembuktian mengandung arti bahwa

benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah

melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.

23

Pembuktian

adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang

19

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, hlm. 35.

20

Subekti., 2001, Hukum Pembuktian, Jakarta : Pradnya Paramitha, hlm. 1.

21Ibid. 22

Martiman Prodjohamidjojo, 1984, Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta: Pradnya Paramitha, hlm. 11.

23


(38)

22

cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan

kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat

bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim

membuktikan kesalahan yang didakwakan.

24

Hukum pembuktian merupakan

sebagian dart hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang

sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata

cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima,

menolak dan menilai suatu pembuktian.

25

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan

mengenai pengertian pembuktian. KUHAP hanya memuat peran pembuktian

dalam Pasal 183 bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang

kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya.

2.

Teori-Teori Sistem Pembuktian

Secara Teoretis terdapat 4 (empat) teori mengenai sistem pembuktian yaitu:

a). Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata

(

Conviction In Time)

Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya-tidaknya terhadap perbuatan

yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian "keyakinan" hakim

24

M.Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 273.

25

Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju, hlm. 10.


(39)

23

semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa

sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Keyakinan hakim tidak harus

timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada. Sekalipun alat bukti sudah cukup

kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya

meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat

dinyatakan bersalah, akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi

subyektif sekali.

Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan

kepada hakim, kepada kesan-kesan perseorangan sehingga sulit untuk melakukan

pengawasan. Hal ini terjadi di praktik Peradilan Prancis yang membuat

pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak mengakibatkan putusan bebas

yang aneh.

26

b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan

yang Log is

(Conviction In Raisone)

Sistem pembuktian

Conviction In Raisone

masih juga mengutamakan penilaian

keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa,

akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata

dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu

didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, meskipun alat-alat

bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan

alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Hal yang perlu mendapat penjelasan

adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan

26

Andi Hamzah, 1985, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta:Ghana Indonesia, hlm. 241.


(40)

24

yang logis. Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian

convition in raisone

harus

dilandasi oleh “

reasoning

atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus

reasonable

yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan

nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem

pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.

27

c. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Positif

(Positif Wettwlijks

theode).

Sistem ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan sistem pembuktian

conviction

in time

, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa

didasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang

dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa. Teori positif

wetteljik

sangat

mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi

sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi

dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung

alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan.

Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat

bukti yang sah menurut undang-undang, maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan

bersalah dan harus dipidana. Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni hakim akan

berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya

sehingga benar-benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang di

tentukan oleh undang-undang kelemahannya terletak bahwa dalam sistem ini

tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan

27

Munir Fuady, 2006, Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata, Bandung : Citra Aditya, hlm. 56.


(41)

25

hakim yang bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana. Sistem pembuktian

positif yang dicari adalah kebenaran format, oleh karena itu sistem pembuktian ini

digunakan dalam hukum acara perdata.

Positief wettelijkbewijs theori system

di

benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat

Inquisitor. Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka

dalam hal ini hakim hanya merupakan alat perlengkapan saja.

28

d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (

negative

wettelijk

).

Berdasarkan teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila

sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang itu ada, ditambah

dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Dalam Pasal

183 KUHAP menyatakan sebagai berikut : "hakim tidak boleh menjatuhkan

pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar

terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya".

29

Atas dasar ketentuan Pasal 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa

KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini

berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa

cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh

undang-undang (minimal dua alat bukti) dan kalau ia cukup, maka baru dipersoalkan

tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa.

28

D. Simons. Dalam Darwin Prinst, 1998, Op.Cit. hlm. 65


(42)

26

Teori pembuktian menurut undang-undang negatif tersebut dapat disebut dengan

negative wettelijk

istilah ini berarti

: wettelijk

berdasarkan undang-undang

sedangkan negatif, maksudnya adalah bahwa walaupun dalam suatu perkara

terdapat cukup bukti sesuai dengan undang-undang, maka hakim belum boleh

menjatuhkan hukuman sebelum memperoleh keyakinan tentang kesalahan

terdakwa.

30

Dalam sistem pembuktian yang negatif alat-alat bukti limitatief di tentukan dalam

undang-undang dan bagaimana cara mempergunakannya hakim juga terikat pada

ketentuan undang-undang. Dalam sistem menurut undang-undang secara terbatas

atau disebut juga dengan sistem undang-undang secara negatif sebagai intinya

yang dirumuskan dalam Pasal 183, dapat disimpulkan sebagai berikut :

31

a)

Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi

syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana;

b)

Standar tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana.

Kelebihan sistem pembuktian negatif (

negative wettelijk)

adalah dalam hal

membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan

kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan

cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi harus disertai pula

keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang

dibentuk ini harus berdasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang

ditentukan dalam undang-undang, sehingga dalam pembuktian benar-benar

30

M. Yahya Harahap. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 319


(43)

27

mencari kebenaran yang hakiki, jadi sangat sedikit kemungkinan terjadinya salah

putusan atau penerapan hukum yang digunakan.

32

Kekurangan teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila

sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang itu ada, ditambah

dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu sehingga

akan memperlambat waktu dalam membuktikan bahkan memutuskan suatu

perkara, karena di lain pihak pembuktian harus melalui penelitian. Tetapi dengan

mencari kebenaran melalui penelitian tersebut, maka kebenaran yang terungkap

benar-benar dapat dipertanggung jawabkan dan merupakan kebenaran yang

hakiki.

3.

Prinsip Pembuktian Perkara Pidana

Dalam pembuktian pidana terdapat beberapa prinsip yaitu :

33

a)

Hal-hal yang dimuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:

Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan atau disebut

dengan istilah

notoke feiten.

Secara garis besar fakta notoke dibagi menjadi dua

golongan, yaitu:

1.

Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa

tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian. Yang

dimaksud sesuatu misalnya, harga emas lebih mahal dari perak. Yang

32

Supriyadi Widodo Eddyono, Catatan Kritis Terhadap Undang-Undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban , Jakarta: Elsam. hlm. 3.

33

Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju, hlm. 20.


(44)

28

dimaksud dengan peristiwa misalnya, pada tanggal 17 Agustus diadakan

peringatan hari Kemerdekaan Indonesia.

2.

Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan

demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian. Misalnya, arak adalah

termasuk minuman keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan

seseorang mabuk.

b)

Kewajiban seorang saksi

Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2)

KUHAP yang menyebutkan: Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu

sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak

kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang

yang berlaku, demikian pula dengan ahli.

c)

Satu saksi bukan saksi

(unus testis nulus testis)

Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan bahwa

keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa

bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.

Berdasarkan KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi

pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP

sebagai berikut: "Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup

didukung satu alat bukti yang sah".


(45)

29

d)

Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum

membuktikan kesalahan terdakwa.

Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip "pembuktian terbalik" yang

tidak dikenai oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal

189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi: keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk

membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan

kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain.

e)

Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri.

Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang menentukan bahwa:

"Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri". Ini berarti

apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan

diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri.

Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang

berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti

terhadap dirinya sendiri. Dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa

orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti

yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat

dipergunakan terhadap terdakwa B, demikian sebaliknya.

B.

Jenis dan Kekuatan Alat bukti dalam Perkara Pidana

1.

Jenis-Jenis Alat Bukti

Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan,

dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan


(46)

30

pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu

tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa.

34

Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa hakim

tidak boleh menjatuhkan pidana kepada sesorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa

suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya, dan di dalam Pasal 185 Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk

membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan

kepadanya atau biasanya di sebutkan satu saksi bukan saksi (

Unus testis nulus

testis

). Dengan demikian fungsi alat bukti dalam pembuktian dalam sidang

pengadilan sangat penting sekali sehingga sering kita dengar bahwa suatu tindak

pidana yang tidak cukup bukti tidak dapat dijatuhi pidana baik denda maupun

penjara.

35

Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

membatasi bahwa alat bukti yang sah diantaranya ialah:

1. Keterangan saksi.

2. Keterangan ahli.

3. Surat.

4. Petunjuk.

5. Keterangan terdakwa.

34

Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju,hlm 11.

35

Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Jakarta : GhaliaIndonesia, hlm. 19.


(47)

31

Selanjutnya di dalam ayat (2) menyatakan bahwa hal yang secara umum sudah

diketahui tidak perlu dibuktikan. Memahami saksi adalah orang yang dapat

memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan

tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia Iihat sendiri dan ia alami

sendiri, maka keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana

yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar

sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan

pengetahuannya itu.

36

2.

Kekuatan Alat Bukti dalam Perkara Pidana

Untuk lebih jelasnya dapat dijelaskan satu persatu mengenai alat bukti dan nilai

kekuatan pembuktiannya , yaitu sebagai berikut:

a.

Keterangan Saksi

Keterangan saksi menurut Pasal 1 angka 27 KUHAP adalah salah satu alat bukti

dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa

pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan

menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

37

Syarat sah keterangan saksi :

1)

Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji (sebelum memberikan

keterangan).

36

Sabto Budoyo, Perlindungan Hukum Bagi saksi dalam Proses Peradilan Pidana,Universitas Diponegoro Semarang. 2008, hlm. 12.

37Pasal 185 Ayat (1) KUHAP, bahwa ”Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang


(48)

32

2)

Keterangan saksi harus mengenai peristiwa pidana yang saksi lihat sendiri

dengan sendiri dan yang dialami sendiri, dengan menyebutkan alasan

pengetahuannya (

testimonium de auditu

= keterangan yang diperoleh dari

orang lain tidak mempunyai nilai pembuktian).

3)

Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan (kecuali yang

ditentukan pada pasal 162 KUHAP).

4)

Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa

(

unus testis nullus testis

).

5)

Pemeriksaan menurut cara yang ditentukan undang-undang.

Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang memenuhi syarat sah

keterangan saksi (5 syarat) :

1)

Diterima sebagai alat bukti sah

2)

Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas (bersifat tidak sempurna dan

tidak mengikat)

3)

Tergantung penilaian hakim (hakim bebas namun bertanggung jawab menilai

kekuatan pembuktian keterangan saksi untuk mewujudkan kebenaran hakiki).

4)

Sebagai alat bukti yang berkekuatan pembuktian bebas, dapat dilumpuhkan

terdakwa dengan keterangan saksi

a de charge

atau alat bukti lain.

b.

Keterangan Ahli

(Verklaringen Van Een Deskundige Expert Testimony)

KUHAP telah merumuskan pengertian tentang keterangan ahli, sebagai berikut:

1)

Pasal 1 angka 28 KUHAP, menyatakan bahwa:

”Keterangan ahli adalah


(49)

33

hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna

kepentingan pemeriksaan

.

38

2)

Pasal 186 KUHAP, menyatakan bahwa

: “

Keterangan ahli ialah apa yang

seorang ahl

i nyatakan di sidang pengadilan”.

39

Nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli :

1)

Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas.

2)

Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat atau menentukan.

3)

Penilaian sepenuhnya terserah pada hakim.

c.

Keterangan Bukti Surat

Alat bukti surat menurut Sudikno Mertokusumo

40

adalah segala sesuatu yang

memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau

untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai

pembuktian.

Demikian pula menurut Pasal 187 KUHAP bahwa yang dimaksud dengan Surat

sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan

atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :

1)

berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum

yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan

38Pasal 185 ayat (5) KUHAP, bahwa “Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil

pemikiran saja, bukan merupakan keterangan ahli”.

39

Penjelasan 186 KUHAP, bahwa Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan dan, dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim.

40

Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia, Pen. Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm. 115.


(50)

34

tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya

sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.

2)

surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat

yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang

menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu

hal atau sesuatu keadaan;

3)

surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan

keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara

resmi dari padanya;

4)

surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat

pembuktian yang lain.

Jadi contoh-contoh dari alat bukti surat itu adalah berita acara pemeriksaan (BAP)

yang dibuat oleh polisi (penyelidik/penyidik), BAP pengadilan, berita acara

penyitaan (BAP), surat perintah penangkapan (SPP), surat izin penggeledahan

(SIP), surat izin penyitaan (SIP) dan lain sebagainya.

Nilai kekuatan pembuktian surat :

1)

Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas.

2)

Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat atau menentukan

(lain halnya dalam acara perdata).


(51)

35

d.

Alat Bukti Petunjuk

Pasal 188 KUHAP menyatakan bahwa yang dimaksud dengan alat bukti petunjuk

adalah:

1)

Petunjuk

adalah

perbuatan,

kejadian

atau

keadaan,

yang

karena

persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak

pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan

siapa pelakunya.

2)

Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari :

a.

keterangan saksi;

b.

surat;

c.

keterangan terdakwa.

3)

Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan

tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan

pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati

nuraninya.

e.

Alat Bukti Keterangan Terdakwa

Pasal 189 KUHAP menyatakan bahwa yang dimaksud dengan alat bukti berupa

keterangan terdakwa, adalah:

1)

Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang

perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

2)

Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk

membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh

suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.


(52)

36

3)

Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

4)

Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah

melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai

dengan alat bukti yang lain.

Ketentuan Pasal 189 KUHAP di atas pada dasarnya menyatakan bahwa

keterangan terdakwa harus diberikan di depan sidang saja, sedangkan di luar

sidang hanya dapat dipergunakan untuk menemukan bukti di sidang saja.

Demikian pula apabila terdakwa lebih dari satu orang, maka keterangan dari

masing-masing terdakwa untuk dirinya sendiri, artinya keterangan terdakwa satu

dengan terdakwa lainnya tidak boleh dijadikan alat bukti bagi terdakwa lainnya.

Dalam hal keterangan terdakwa saja di dalam sidang, tidak cukup untuk

membuktikan, bahwa terdakwa telah bersalah melakukan suatu tindak pidana,

tanpa didukung oleh alat bukti-bukti lainya.

Nilai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa :

1)

Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas hakim tidak terikat dengan

keterangan yang bersifat pengakuan utuh/ murni sekalipun pengakuan harus

memenuhi batas minimum pembuktian.

2)

Harus memenuhi asas keyakinan hakim.

3)

Dalam Acara Perdata suatu pengakuan yang bulat dan murni melekat penilaian

kekuatan pembuktian yang sempurna, mengikat dan menentukan.


(53)

37

C.

Perkembangan

Testimonium De Auditu

dalam Penegakan Hukum di

Indonesia

Pada umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling

utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan tidak ada perkara pidana yang luput

dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara

pidana selalu bersandar pada keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping

pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih perlu pembuktian dengan bukti

keterangan saksi.

Dalam hukum acara pidana di Indonesia sebagaimana dikemukakan dalam

KUHAP bahwa yang dimaksud dengan saksi ialah orang yang dapat memberikan

keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak

pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dania alami sendiri.

41

Keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia:

a)

Dengar sendiri

b)

Lihat sendiri

c)

Alami sendiri

Dengan menyebutkan alasan pengetahuannya itu.

Di samping itu juga terdapat apa yang dikenal dengan istilah

Testimonium de

Auditu

atau

Hearsay Evidence.

Hearsay

berasal dari kata

Hear

yang berarti

mendengar dan

Say

berarti mengucapkan. Oleh karena itu secara harfiah istilah

hearsay

berarti mendengar dari ucapan (orang lain). Jadi, tidak mendengar sendiri

fakta tersebut dari orang yang mengucapkannya sehingga disebut juga sebagai

41

M.Karjadi dan R.Soesilo, KUHAP dengan Penjelasan dan Komentar, Bogor: Politea, 1983, hlm.6.


(1)

46

E. Analisis Data

Setelah data sudah terkumpul data yang diperoleh dari penelitian selanjutnya adalah dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif, yaitu dengan mendeskripsikan data dan fakta yang dihasikan atau dengan kata lain yaitu dengan menguraikan data dengan kalimat-kalimat yang tersusun secara terperinci, sistematis dan analisis, sehingga akan mempermudah dalam membuat kesimpulan dari penelitian dilapangan dengan suatu interpretasi, evaluasi dan pengetahuan umum. Setelah data dianalisis maka kesimpulan terakhir dilakukan dengan metode induktif yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus, kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum.


(2)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab-bab terdahulu maka dapat ditarik kesimpulkan sebagai berikut :

1. Perluasan makna saksi dalam Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010 dikaitkan dengan syarat formil dan materil keterangan saksi dalam KUHAP, maka kriteria dari keterangan saksi dan keterangan saksi testimonium de auditu yang diterima sebagai alat bukti baik dalam perkara pidana umum maupun perkara KDRT adalah sebagai berikut :

a) Keterangan saksi yang diberikan harus diucapkan diatas sumpah.

b) Keterangan saksi yang diberikan dipengadilan adalah apa yang saksi lihat sendiri, dengar sendiri dan dialami sendiri oleh saksi termasuk pula keterangan saksi yang tidak selalu ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri. c) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan.

d) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup, agar mempunyai kekuatan pembuktian maka keterangan seorang saksi harus ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lain.

e) Keterangan para saksi yang dihadirkan dalam sidang pengadilan mempunyai saling hubungan atau keterkaitan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu.


(3)

83

2. Putusan MK termasuk putusan yang bersifat declaratoir dan constitutif, sehingga semenjak dibacakannya putusan Mahkamah Konstitusi yang telah memiliki kekuatan hukum mengikat tersebut, maka Pasal 1 angka 26 dan Pasal 1 angka 27 KUHAP sepanjang pengertian dari saksi dan keterangan saksi haruslah orang yang melihat, mendengar dan mengalami suatu peristiwa dapat dikatakan tidak berlaku, dengan demikian walaupun kesaksian itu bersifat de auditu maka dapat disamakan nilai kekuatannya dengan keterangan saksi yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri suatu peristiwa asalkan adanya relevansi kesaksian tersebut dengan keterangan saksi lainnya. Dikaitkan dengan perluasan makna saksi dalam putusan MK maka kekuatan pembuktian testimonium de auditu adalah sebagai berikut :

1. Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim, hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya. 2. Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang mempunyai nilai

kekuatan pembuktian yang bebas, dapat di lumpuhkan terdakwa dengan alat bukti yang lain berupa saksi a de charge maupun keterangan ahli dan seterusnya.

B. Saran

Selain kesimpulan yang telah dirumuskan di atas, penulis akan memberikan beberapa saran yang berkaitan dengan penelitian ini, yaiut sebagai berikut :

1. Penerapan dan penggunaan keterangan saksi yang bersifat de auditu haruslah sebaik-baiknya, para penegak hukum hendaknya dapat menilai suatu alat bukti dengan cermat dan teliti dalam membuktian bersalah atau tidaknya seseorang


(4)

84

dari perkara pidana. Karena dalam proses pembuktian inilah dapat ditemukan kebenaran yang nyata dengan tidak menggunakan kewenagannya dengan sewenang-wenang sehingga tercipta keadilan dan kebenaran yang sejati.

2. Dengan adanya perluasan makna saksi ini tentu saja menambah warna baru dalam sistem peradilan di Indonesia terutama dalam hal pembuktian perkara pidana, namun para intitusi hukum tertinggi seperti MK dalam memberlakukan perubahan baru terhadap undang-undang haruslah lebih mendetail mengenai perubahan tersebut memberikan batasan yang jelas dan tidak membingungkan para penegak hukum dalam penerapan undang-undang yang baru berlaku sehingga perkara pidana di persidangan dapat diputuskan secara cepat dan efesien.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A.Buku :

Budoyo, Sabto. 2008. Perlindungan Hukum Bagi saksi dalam Proses Peradilan Pidana, Semarang : Universitas Diponegoro

Chazawi, Adami. 2006, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung : Alumni

Fuady, Munir. 2006. Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata, Bandung : Citra Aditya

---. 2012. Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, Cet II , Bandung : Citra Aditya

Hamzah, Andi. 1985. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghana Indonesia

Karjadi, M. dan R. Soesilo. 1983. KUHAP dengan Penjelasan dan Komentar, Bogor: Politea

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Sinar Grafika Prinst, Darwan, 1998, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta: Djambatan Prodjohamidjojo, Martiman. 1984. Komentar atas KUHAP: Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta: Pradnya Paramitha

---. 1983. Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Jakarta : Ghalia Indonesia Sasangka, Hari dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara

Pidana, Bandung: Mandar Maju

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI-Press ---. dan Sri Mamuji. 1985. Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Rajawali Subekti, R. 2001. Hukum Pembuktian, Jakarta : Pradnya Paramita

Sudarto. 1990. Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto

Yahya, M. Harahap. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika


(6)

B.Sumber Lain :

Republik Indonesia. 1981. Undang-Undang Nomer. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, LN Nomor 76 Tahun 1981, TLN. Nomor 3258. Sekretariat Negara. Jakarta

Muntasir Syukri, “Menimbang Ulang Saksi de Auditu Sebagai Alat Bukti (Pendekatan Praktik Yurisprudensi dalam Sistem Civil Law). Artikel di akses pada 25 Maret 2015 darihttp://www.Badilag.com

Perubahan Makna Saksi dalam Hukum Acara Pidana dan Implikasinya terhadap Sistem Peradilan Pidana, diakses pada tanggal 25 Mei 2015 dari http://www.hukumonline.com

Saksi Ditolak Yusril Minta MK Tafsirkan KUHAP, diakses pada tanggal 26 Mei 2015 pukul 12.00 WIB dari http://entertainment.kompas.com