PELAKSANAAN PEMBINAAN DAN REHABILITASI TERHADAP NARAPIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 (Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way Huwi)

(1)

ABSTRAK

PELAKSANAAN PEMBINAAN DAN REHABILITASI TERHADAP NARAPIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 35 TAHUN 2009

(Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way Huwi) Oleh:

Ghea Risalia

Penerapan pembinaan dan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika bertujuan untuk pengobatan, perawatan pecandu dan ketergantungan terhadap narkotika. Lembaga Pemasyarakatan Narkotika sebagaimana pada Pasal 56 Undang-Undang Nomor Tahun 2009 adalah sebagai instansi pemerintah dalam pelaksanaan rehabilitasi sebagai bagian dari pembinaan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah yang menjadi latar belakang perlunya pembinaan dan rehabilitasi terhadap narapidana narkotika, bagaimanakah pelaksanaan pembinaan dan rehabilitasi terhadap pengguna narkotika di Lapas Narkotika Way Huwi, serta apakah yang menjadi hambatan dalam pelaksanaannya.

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan didukung dengan pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa Latar belakang perlunya pembinaan dan rehabilitasi terhadap narapidana narkotika adalah bahwa pengguna narkotika selain pelaku kejahatan juga adalah korban kejahatan itu sendiri, yang berarti bahwa negara mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pengguna narkotika, termasuk pula wajib untuk memenuhi hak-hak pengguna narkotika sebagai korban terutama hak atas pembinaan dan rehabilitasi. Sedangkan pelaksanaan pembinaan narapidana narkotika dilaksanakan untuk mengembalikan narapidana kemasyarakat dengan tidak melakukan tindak pidana lagi. Hambatan-hambatan yang menjadi penghalang untuk pelaksanaan rehabilitasi di Lapas Narkotika Way Huwi adalah adanya hambatan normatif sebagai pedoman pelaksanaan rehabilitasi, masalah tingkat SDM petugas, kurangnya sarana dan prasarana, kurangnya kepedulian dari lingkungan, dan masalah warga binaaan pemasyarakatan itu sendiri.


(2)

Nama Mahasiswa

No. Pokok Mahasiswa Program Kekhususan Program Studi Fakultas

(Studi Pada Lembaga Peltrasyarakatrr Narkotika Way Huwi)

GHEARISALIA

122201106t Hukum Pidana

Program Pascasarjana Magister Hukum Hukum

Mf,NYETUJUI

Komisi Pembimbing

MENGETAHI'I

Pembimbing Pendamping,

zuz

Dr. Erna Dewi, S.H., M.H.

NIP 196107r5 198503 2 003


(3)

1. Tim Penguji Penbimbing

I

Pembimbing

II

Penguji

Penguji

Penguji

Prof. Dr. Sunarto DM, S.H.' M.H.

Dr. Erna Dewi, S.H., M.H.

Dr: Eddy Rifai' S.H.' M.H.

Dr. Maroni S,H., M.H.

Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H.

s.H., M.S. 198703 I 003

198103 1 002


(4)

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa :

Tesis dengan judul Pelaksanaan Pembinaan dan Rehabilitasi Terhadap

Narapidana

Narkotika

Berdasarkan Undang-Undang

Nomor

35 Tahun 2009 (Studi'Pada Lembaga Pernasyarakatan Narkotika \Yay

Huwi) adalah karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan

(plagiat) dari karya penulis lain dengan cara yang tidak sesuai dengan

etika ilmiah yang berlaku dalam akademik

Hak intelektual atas karya ilmiah

ini

diserahkan sepenuhnya kepada Universitas Lampung

Atas pernyataan ini, apabila dikemudian hari ternyata ditemukan ketidakbenaran,

Saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan berdasarkan hukum yang berlaku

Bandar

Lampung,

Januari 2014

Pembuat Pernyataan

Ghea Risalia

NPM.1222011061

1.

2.

TE]vIP . TGL,

: A4AC7


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak ... i

Persetujuan ... iii

Pengesahan ... iv

Pernyataan ... v

Riwayat Hidup ... vi

Moto ... vii

Persembahan ... viii

Kata Pengantar ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Lembaga Pemasyarakatan ... 19

B. Tindak Pidana Narkotika... 22

C. Pengertian Pengguna Narkotika ... 28

D. Akibat Penyalahgunaan Narkotika ... 37

E. Pengertian dan Tujuan Rehabilitasi ... 41

F. Bentuk Rehabilitasi ... 47

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendeketan Masalah ... 56

B. Sumber dan Jenis Data ... 56

C. Penentuan Narasumber ... 58


(6)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Perlunya Pembinaan dan Rehabilitasi terhadap Narapidana Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan

Narkotika Way Huwi ... 61 B. Pelaksanaan Pembinaan dan Rehabilitasi terhadap Pengguna

Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way

Huwi ... 77 C. Hambatan dalam Pelaksanaan Pembinaan dan Rehabilitasi

terhadap Narapidana Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan

Narkotika Way Huwi ... 94

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ... 102 B. Saran ... 104


(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia banyak melakukan pelanggaran, salah satunya adalah penyalahgunaan narkoba. Penyalahgunaan narkoba tidak hanya menjadi masalah lokal maupun nasional, tetapi sekarang sudah menjadi masalah global (dunia). Pada era sembilan puluhan, pemakai narkoba sudah masuk segala lapisan baik kalangan atas, kalangan menengah, maupun kalangan bawah sekalipun. Ditinjau dari sudut usia, narkoba sudah tidak dinikmati golongan remaja, tetapi juga golongan setengah baya maupun golongan usia tua. Penyebaran narkoba sudah tidak lagi hanya di kota besar, tetapi sudah masuk kota-kota kecil dan merambah di kecamatan bahkan desa.1

Tindak pidana penyalahgunaan narkotika termasuk tindak pidana khusus yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Menurut Paul Scholten hukum pidana ada dua yaitu hukum pidana umum dan hukum pidana khusus, hukum pidana umum yang berlaku secara

1

Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm 3


(8)

umum dan hukum pidana khusus ialah perundang-undangan bukanlah yang bersanksi pidana yang disebut juga hukum administrasi.2

Pada umumnya sanksi administrasi itu ringan hanya berupa denda saja karena termasuk pelanggaran, tetapi dewasa ini di Indonesia perkembangannya menjadi agak lain karena telah banyak undang-undang demikian, terutama perundang-undangan administrasi seperti Undang-Undang Narkotika dan Atom yang ancaman pidana adalah pidana mati. Pidana khusus ialah semua perundang-undangan diluar KUHP beserta perundang-perundang-undangan pelengkapnya baik perundang-undangan pidana maupun yang bukan pidana tetapi bersanksi pidana. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah memberikan kewenangan kepada hakim yang memeriksa pecandu narkotika dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan apabila pecandu tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Pemakai Narkoba Ke Dalam Terapi Dan Rehabilitasi bahwa masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkoba sebagaimana tersebut diatas sebagai masa menjalani pidana.

Dasar pemikiran lainnya ialah adanya paham determinisme yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan yang dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis dan faktor-faktor kehidupan kemasyarakatan. Perbuatan kejahatan sebenarnya jiwa seseorang yang abnormal oleh karena itu sipelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan atas

2


(9)

perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana, karena seorang penjahat merupakan jenis manusia khusus yang memiliki ketidaknormalan organik dan mental, maka bukan pidana yang seharusnya dikenakan kepadanya tetapi yang diperlukan adalah tindakan-tindakan perawatan yang bertujuan memperbaiki.3 Kenyataan empiris di bidang pemidanaan pelaku pengedar gelap narkotika secara umum masih menganut memperbaiki terpidana di Lembaga Pemasyarakatan sehingga memberikan gambaran bahwa kejahatan tersebut hanya terhenti sesaat dan akan muncul kembali kedalam lingkungan kehidupan sosial. Membuat jera narapidana pengedar narkotika dan aparat yang terlibat membantu beredarnya barang haram itu di penjara, pemerintah perlu mengimplementasikan sanksi pemiskinan bagi mereka.

Perubahan undang-undang narkotika yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mengharuskan agar para terpidana pengguna narkotika dan korban penyalahguna dipulihkan di pusat rehabilitasi. Saat ini mereka yang telah terbukti menyalahgunakan narkotika, sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penempatan Penyalahguna Narkotika ke Pusat Terapi dan Rehabilitasi dengan demikian pengguna narkotika masuk ketempat rehabilitasi. Beberapa waktu yang lalu hakim-hakim masih banyak memutuskan menetapkan mereka ke Lapas, sekarang mereka bisa meminta untuk merubah ketetapan itu, dari lapas untuk dipindahkan ke pusat rehabilitasi.4

3

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm 18-19

4

http/www/kompas.com , Polri dan BNN kerja sama ciptakan Zona Bebas Narkoba, diakses tgl 14 September 2013.


(10)

Seiring dengan kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang tidak mendukung pada saat ini karena dampak negatif keterpengaruhan prilaku kriminal lainnya dapat semakin memperburuk kondisi kejiwaan, kesehatan yang diderita para narapidana narkotika dan psikotropika akan semakin berat, keadaan ini diperlakukan dengan perbedaan di Lembaga Pemasyarkaan Narkotika karena yang menjadi penghuni di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika secara khusus merupakan narapidana narkotika sehingga pola pembinaan di Lembaga Pemasyarkatan Narkotika adalah pembinaan yang konfrehensif antara pemulihan dengan pemidanaan.

Pelaksanaan SEMA RI No. 07 tahun 2009 tentang Penempatan Penyalahguna Narkotika ke Pusat Terapi dan Rehabilitasi hakim tetap memperhatikan komposisi pemakaian sehingga pengguna dapat diputuskan untuk melaksanakan perawatan di tempat rehabilitasi. Pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way Huwi selalu mengacu kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Hal ini disebabkan belum ada petunjuk khusus untuk pelaksanaan tugas dan fungsi di Lapas Narkotika, sehingga di lapangan dalam pelaksanaan tugas Lapas Narkotika tetap berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Arti penting penerapan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika adalah pengobatan, perawatan pecandu dan ketergantungan narkoba akan mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan, disamping dapat mengurangi peredaran gelap narkotika, untuk itu kerangka yuridis yang telah ada di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN Pasal 54 adalah sebagai dasar bagi hakim untuk dapat memutuskan pecandu narkotika dan korban


(11)

penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Namun hal ini tetap memperhatikan dari kuantitas penggunaan narkotika oleh penyalahguna.

Penjelasan Pasal 54 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan

bahwa “korban penyalahgunaan Narkotika” adalah seseorang yang tidak sengaja

menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika. Penjelasan Pasal 56 dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan :

1. Ketentuan ini menegaskan bahwa rehabilitasi bagi pecandu narkotika dilakukan dengan maksud untuk memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita yang bersangkutan.

2. Yang dimaksud dengan “instansi pemerintah” misalnya Lembaga

Pemasyarakatan Narkotika dan Pemerintah Daerah. Ketentuan ini menegaskan bahwa untuk rehabilitasi medis bagi pecandu narkotika pengguna jarum suntik dapat diberikan serangkaian terapi untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik dengan pengawasan ketat Departemen Kesehatan.

Pasal 57 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan selain pengobatan dan/atau rehabilitasi medis penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional. Dengan ini Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberi suatu pengertian bahwa pengguna narkotika sudah menjadi suatu penyakit bukan lagi menjadi suatu kriminal biasa sehingga untuk penanganannya perlu pengobatan untuk pemulihan maka di


(12)

Lembaga Pemasyarakatan Narkotika sebagaimana pada Pasal 56 Undang-Undang Nomor Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut adalah sebagai instansi pemerintah dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial sebagai bagian dari pembinaan dengan berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.

Menyangkut Undang-Undang Narkotika dalam pelaksanaan rehabilitasi untuk pembinaan sebagaimana tersebut dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, hal ini juga memberi maksud yang sama pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Menteri dapat mengadakan kerjasama dengan instansi terkait, badan-badan kemasyarakatan lainnya atau perorangan yang kegiatannya seiring dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan sebagaimana dimaksud Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Ketentuan mengenai kerjasama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Menyangkut rehabilitasi adalah bagian dari sistem pembinaan yang digunakan untuk membantu seseorang melepaskan diri dari kecanduan dan merubah prilakunya menjadi lebih baik. Dalam tahap rehabilitasi pemakai narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way Huwi menekankan pada rehabilitasi fisik dan mental. Rehabilitasi fisik ditujukan agar narapidana pemakai narkoba normal dalam arti bisa berdiri sendiri, mempertahankan kemampuan atau keahlian


(13)

yang dimilikinya. Kesibukan-kesibukan tersebut terhadap pemakai narkoba akan melupakan ketegantungan pada narkoba.5

Berbagai sistem pembinaan dengan melaksananakan program terpadu rehabilitasi sosial dan terapi menjadi salah satu langkah yang serius dalam penanggulangan penyalahgunaan Napza (Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif). Untuk itulah lapas yang bertugas membina warga binaan juga berfungsi untuk rehabilitasi bagi penyalahguna Napza, sehingga melalui program ini diharapkan mereka dapat kembali berperan aktif dimasyarakat dalam keadaan sudah lepas dari ketergantungan (adiksi).

Perlu diingat kembali bahwa membina pecandu narkotika ini bukanlah hal yang mudah bahwa tidak ada kata sembuh dalam sifat adiksi (ketergantungan). Pecandu sering mengalami kambuh (replase) meskipun pernah berhenti menggunakan Napza. Kata yang tepat kepada pecandu dapat digunakan dengan kata pulih

(recovery). Keadaan ini yang menjadi tantangan bagi petugas pemasyarakatan

untuk membina menjadi narapidana yang sudah pulih dari penyakit sosial ini untuk tidak kembali lagi ke perbuatan yang salah.

Berdasarkan uraian di atas, maka kebutuhan tempat rehabilitasi bagi pengguna narkotika sangat dibutuhkan, asalkan saja bahwa sikorban dapat dibuktikan hanya sebagai pengguna bukan sebagai pengedar, dimana jika dikatakan pengedar haris dikenakan sanksi pidana.

5


(14)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Perumusan Masalah

Sesuai dengan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

a. Apakah yang menjadi latar belakang perlunya pembinaan dan rehabilitasi terhadap narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way Huwi?

b. Bagaimanakah pelaksanaan pembinaan dan rehabilitasi terhadap pengguna narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way Huwi?

c. Apakah hambatan dalam pelaksanaan pembinaan dan rehabilitasi terhadap narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way Huwi?

2. Ruang Lingkup

Guna untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan menghindari terjadinya kesalah pahaman tentang pokok permasalahan yang dibahas maka penulis memandang perlu adanya pembatasan permasalahan. Adapun yang menjadi ruang lingkup dalam penulisan tesis ini adalah pembahasan mengenai pelaksanaan rehabilitasi terhadap pengguna narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way Huwi dan hambatannya. Lokasi penelitian yang akan digunakan dalam penulisan ini yaitu Lapas Narkotika Way Huwi. Sedangkan dalam ruang lingkup waktu penelitian ini dibatasi dalam pelaksanaan pembinaan dan rehabilitasi narkotika sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.


(15)

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini adalah:

a. Untuk mengetahui latar belakang perlunya pembinaan dan rehabilitasi terhadap narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way Huwi.

b. Untuk mengetahui pelaksanaan pembinaan dan rehabilitasi terhadap pengguna narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way Huwi

c. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way Huwi dalam pelaksanaan pembinaan dan rehabilitasi terhadap narapidana narkotika.

2. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, maka penelitian memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah:

a. Secara Teoritis

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberi sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hukum pidana menyangkut pembinaan narapidana penyalahguna narkotika dan peran petugas pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana penyalahguna narkotika. Penelitian ini juga diharapkan dapat menyempurnakan peraturan hukum yeng menyangkut bidang pembinaan di lembaga pemasyarakatan.


(16)

b. Secara Praktis

Diharapkan penelitian ini memberi masukan kepada aparat petugas pemasyarakatan dalam menerapkan sistem pembinaan terhadap narapidana penyalahguna narkotika di lembaga pemasyarakatan sehingga dapat menjalankan tugas sesuai dengan fungsi pemasyarakatan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teori sebagai alat analisis dalam penelitian ini adalah teori Pemidanaan, Sistem pemidanaan terhadap penyalahgunaan narkotika tidak dapat dilepaskan dari sistem pemidanaan yang dianut dalam hukum Indonesia. Tujuan sistem pemidanaan pada operasionalnya adalah tujuan penegakan hukum yang dijalankan oleh sistem peradilan berdasarkan perangkat-perangkat hukum yang mengatur kriminalisasi penyalahguna narkotika yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Menentukan tujuan pemidanaan pada sistem peradilan menjadi persoalan yang cukup dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses pidana adalah pencegahan tingkah laku yang anti sosial.

Pandangan rehabilitation mengatakan bahwa pemidanaan dilakukan untuk memudahkan dilakukannya pemberian pemidanaan itu sendiri guna merehabilitasikan si terpidana sehingga ia dapat merubah kepribadiannya, agar dapat diharapkan menjadi orang baik yang taat pada hukum di kemudian hari. Pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memberi tindakan


(17)

perawatan (Treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation).6

Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi yang dimaksud adalah rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika. Rehabilitasi Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri. Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri.

Menurut Arief Gosita mengenai Penggunaan istilah rehabilitasi, dapat diperhatikan bahwa hak-hak korban mencakup pula hak rehabilitasi sebagai upaya pemulihan korban.7 Dari definisi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, rehabilitasi mensyaratkan penyertaan perawatan medis dan psikologis dan psikiatris sebagai upaya memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban. Hal tersebut senada dengan rehabilitasi medis menyangkut korban narkotika. Rehabilitasi bertujuan agar mantan pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

6

Priyatno Dwija, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm 23

7


(18)

Doubel track system merupakan sistem dua jalur mengenai sanksi dalam hukum pidana, yakni jenis sanksi pidana di satu pihak dan jenis sanksi tindakan di pihak lain. Doubel track system tidak sepenuhnya memakai satu diantara dua jenis sanksi itu. Sistem dua jalur ini menempatkan dua jenis sanksi tersebut dalam kedudukan yang setara. Penekanan dalam kesetaraan sanksi pidana dan sanksi tindakan dalam kerangka double track sistem, sesungguhnya terkait dengan fakta bahwa unsur pencelaan/penderitaan (lewat sanksi pidana) dan unsur pembinaan (lewat sanksi tindakan) sama-sama penting. Pengertian sanksi pidana pada dasarnya merupakan suatu pengenaan derita kepada seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan suatu kejahatan (perbuatan pidana) melalui serangkaian proses peradilan oleh kekuasaan (hukum) yang secara khusus diberikan untuk hal itu, yang dengan pengenaan sanksi pidana tersebut diharapkan orang tidak melakukan tindak pidana lagi. Sedangkan tindakan diartikan sebagai pemberian suatu hukuman yang sifatnya tidak menderitakan, tetapi mendidik, mengayomi. Tindakan dimaksudkan untuk mengamankan masyarakat, dan memperbaiki pembuat, seperti pendidikan paksa, pengobatan paksa, memasukkan ke dalam rumah sakit dan lainnya. Sanksi tindakan bersifat antisipatif bukan reaktif terhadap pelaku tindak pidana yang berbasis pada filsafat determinisme dalam ragam bentuk sanksi yang dinamis (open system) dan spesifikasi non penderitaan atau perampasan kemerdekaan dengan tujuan untuk pemulihan keadaan tertentu bagi pelaku maupun korban.8

Sistem pemasyarakatan terdapat suatu upaya dengan penginterasian narapidana, petugas pemasyarakatan dan masyarakat. Pemasyarakatan tidak hanya sekedar

8


(19)

rehabilitasi dan sosialisasi tetapi mata rantai pemulihan sosial narapidana dengan masyarakat dalam pasca menjalani pidana setelah narapidana kembali kemasyarakat. Pembinaan dengan sistem pemasyarakatan tidak ada pemisah antara mantan narapidana dengan masyarakat yang dapat menciptakan kepercayaan diri dan adanya tanggung jawab dari masyarakat. Terapi dan Rehabilitasi merupakan pengintegarisian dalam pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan.9

Sistem pemasyarakatan merupakan suatu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan. Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi. Sejalan dengan peran Lembaga Pemasyarakatan tersebut maka tepatlah apabila Petugas Pemasyarakatan melaksanakan tugas pembinanaan dan pengamanan Warga Binaan Pemasyarakatan dalam undang-undang di tetapkan sebagai Pejabat Fungsional Penegak Hukum. Sistem pemasyarakatan memandang pemidanaan yang berdasarkan pembinaan didalam Lembaga Pemasyarakatan dengan suatu aturan hukum yang diintegrasikan antara pemulihan narapidana dengan pembalasan atas perbuatannya yang bertujuan supaya ada pertobatan.

Pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan dapat terlaksana secara konfrehensif terhadap narapidana. Sebab terapi medis dan rehabilitasi sosial terhadap narapidana narkotika memberi manfaat dalam pemulihan pecandu. Kemanfaatan

9


(20)

hukum bagi narapidana sebagai sistem pemidanaan dalam pandangan utilitarian

(utilitarian view) menyatakan bahwa pemidanaan itu harus dilihat dari segi

manfaatnya. Menurut pandangan utilitarian tujuan hukum dari segi manfaat dan kegunaannya yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkan pidana itu.

Tujuan pembinaan narapidana pada umumnya adalah mengembalikan narapidana kemasyarakat dengan tidak melakukan tindak pidana lagi. Sedangkan pembinaan dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika. Pembinaan sebagaimana dimaksud meliputi upaya:

a. Memenuhi ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

b. Mencegah penyalahgunaan Narkotika;

c. Mencegah generasi muda dan anak usia sekolah dalam penyalahgunaan Narkotika, termasuk dengan memasukkan pendidikan yang berkaitan dengan d. Narkotika dalam kurikulum sekolah dasar sampai lanjutan atas;

e. Mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan; dan

f. Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis bagi Pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.


(21)

Pelaksanaan pembinaan terhadap para narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarkatan Narkotika dengan perlakuan manusiawi yang bersifat treatment dengan menggunakan terapi dan rehabilitasi untuk memulihkan narapidana narkotika dari ketergantungan walaupun pengguna Napza suatu hal yang susah untuk sembuh. Perlakuan bersifat manusiawi inilah yang menjadi prinsip dari system pemasyarakatan yang menghormati dan menghargai penuh nilai dan norma kehidupan masyarakat sehingga integritas sosial dari narapidana, masyarakat dan petugas dapat terlaksana dengan baik sebagai suatu rangkaian yang harus aktif untuk memulihkan narapidana narkotika dari ketergantungan napza sebagaimana tujuan pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Narkotika yang tercermin dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.02-PK.04.10 Tahun 1990 Tanggal 10 April 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan.

Strategi pemasyarakatan sebagai suatu proses tidaklah berdiri sendiri, melainkan ia merupakan hasil akhir dari suatu rangkaian proses penegakan hukum yang panjang dimulai dari penyidikan, penangkapan, penahanan, peradilan dan penjatuhan putusan hakim, dari uraian tersebut dapatlah dikatakan bahwa pemasyarakatan merupakan subsistem dari suatu Criminal Justice Sistem

Menyangkut Integrited criminal justice system Lembaga Pemasyarakatan diharapkan dapat melahirkan manusia baru yang berguna bagi dirinya, keluarga dan masyarakat.10

10

Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum dalam Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hlm 75


(22)

2. Kerangka Konseptual

Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, jika masalah dan konsep teoretisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui fakta mengenai pokok perhatian dan suatu konsep adalah defenisi dari suatu yang diamati, konsep menentukan antara variabel-variabel yang ingin menentukan adanya gejala empiris.

a. Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan prilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan (Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan).

b. Rehabilitasi adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. (Pasal 56 angka 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika).

c. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan kedalam gololongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang (Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika).

d. Lembaga Pemasyarakatan Narkotika adalah tempat untuk melaksanakan pemasyarakatan narapidana/anak didik pengguna narkotika dan obat terlarang lainnya. Di Provinsi Lampung baru ada satu Lembaga Pemasyarakatan


(23)

Narkotika berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No.M.04.PR.07.03 Tahun 2003.

e. Sistem Pemasyarakatan adalah Suatu tatanan mengenai arah dan batas tata cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh masyarakat (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan).

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini, untuk memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai bahasan dalam penulisan hukum ini, penulis membagi penulisan hukum ini menjadi empat bab dan tiap-tiap bab dibagi dalam sub-sub bab yang disesuaikan dengan luas pembahasannya. Sistematika penulisan itu sendiri sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini akan diuraikan mengenai Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Sistematika Penulisan Hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan dijelaskan mengenai hasil kepustakaan yang meliputi dua hal yaitu Kerangka Teori dan Kerangka Pemikiran. Kerangka Teori menguraikan tentang Tinjauan tentang Lembaga Pemasyarakatan, Tinjauan tentang Rehabilitasi dan Tujuan Rehabilitasi, Tinjauan tentang Pembinaan.


(24)

BAB III : METODE PENELITIAN

Pada bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, yaitu dalam memperoleh dan megklasifikasikan sumber dan jenis data, serta prosedur pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian dari data yang telah terkumpul dilakukan analisis data dengan bentuk uraian.

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini mengenai latar belakang perlunya pembinaan dan rehabilitasi terhadap narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan narkotika Way Huwi, pelaksanaan rehabilitasi terhadap pengguna narkotika di Lembaga Pemasyarakatan narkotika Way Huwi, dan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way Huwi.

BAB V : PENUTUP


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan selain sebagai tempat pemidanaan juga berfungsi untuk melaksanakan program pembinaan terhadap para narapidana, dimana melalui program yang dijalankan diharapkan narapidana yang bersangkutan setelah kembali ke masyarakat dapat menjadi warga yang berguna di masyarakat. Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan.

Sebagai suatu program, maka pembinaan yang dilaksanakan dilakukan melalui beberapa tahapan. Pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan Surat Edaran No. KP.10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1965 tentang Pemasyarakatan sebagai proses, maka pembinaan dilaksanakan melalui empat (4) tahapan sebagai suatu kesatuan proses yang bersifat terpadu, yaitu :17

Tahap Pertama : Pembinaan tahap ini disebut pembinaan tahap awal, dimana kegiatan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan lingkungan untuk

17

Adi Sujatno. Sistem Pemasyarakatan Indonesia (Membangun Manusia Mandiri), Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2004, hlm. 15-17


(26)

menentukan perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian yang waktunya dimulai pada saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) dari masa pidananya. Pembinaan pada tahap ini masih dilakukan dalam LAPAS dan pengawasannya maksimum security.

Tahap kedua : Jika proses pembinaan terhadap narapidana yang bersangkutan telah berlangsung selama-lamanya 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut pendapat Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) sudah dicapai cukup kemajuan, antara lain menunjukkan keinsyafan, perbaikan disiplin dan patuh pada peraturan tata tertib yang berlaku di lembaga, maka kepada narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak dan ditempatkan pada LAPAS melalui pengawasan medium security.

Tahap ketiga : Jika proses pembinaan terhadap narapidana telah dijalani ½ dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut tim TPP telah dicapai cukup kemajuan, maka wadah proses pembinaan diperluas dengan Asimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari dua bagian yaitu yang pertama dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan ½ dari masa pidananya, tahap kedua dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 dari masa pidananya. Dalam tahap ini dapat diberikan Pembebasan Bersyarat atau Cuti Menjelang Bebas dengan pengawasan minimumsecurity.

Tahap keempat : Pembinaan pada tahap ini terhadap narapidana yang memenuhi syarat diberikan Cuti Menjelang Bebas atau Pembebasan Bersyarat dan pembinaannya dilakukan di luar LAPAS oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang


(27)

kemudian disebut Pembimbingan Klien Pemasyarakatan. Dalam melaksanakan pembinaan, terdapat acuan program yang harus diikuti.18

Pembinaan terhadap narapidana tidak terlepas adalah pemenuhan hak dan kewajiban mereka sebagai manusia. Kewajiban narapidana adalah mentaati segala peraturan yang ada di lapas, sementara hak-hak mereka antara lain hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, hak untuk mendapatkan makanan yang layak, informasi dan sebagainya. Pemenuhan hak kebutuhan seksual narapidana dalam Sistem Pemasyarakatan dilaksanakan melalui mekanisme Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK) bagi narapidana, dimana berdasarkan tahapan pembinaan, hak CMK bisa diperoleh oleh narapidana apabila telah memasuki tahap pembinaan ketiga dengan pengamanan minimum security.

Sahardjo pada tanggal 5 Juli 1963 mengemukakan suatu gagasan “Sistem Pemasyarakatan” sebagai tujuan dari pidana penjara. Sehubungan dengan ini

maka sistem kepenjaraan telah ditinggalkan dan memakai system pemasyarakatan yang mengedepankan hak-hak narapidana.19 Hak narapidana tersebut antara lain terdapat pada Pasal 14 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yaitu :

a. melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran

d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak

18

Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, Cetakan I Tahun 1990, hlm 10.

19

A.Widiada Gunakarya, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, Armico, Bandung, 1988, hlm. 56.


(28)

e. menyampaikan keluhan

f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang

g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan

h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)

j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga k. mendapatkan pembebasan bersyarat

l. mendapat cuti menjelang bebas

m. mendapat hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Terpenuhinya hak-hak narapidana memiliki dampak positif terhadap perikehidupan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Terwujudnya tata kehidupan yang aman dan tertib yang pada akhirnya mampu mewujudkan narapidana yang telah siap kembali ke masyarakat sebagai manusia yang bermartabat, siap menjalankan perannya di masyarakat dan berbakti terhadap bangsa dan negara.

B. Tindak Pidana Narkotika

Tindak Pidana Narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 yang merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam Undang-undang Narkotika bahwa tindak pidana yang diatur di dalamnya adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu disangksikan lagi bahwa semua tindak pidana di dalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan. Alasannya, kalau narkotika hanya untuk


(29)

pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah sangat membahayakan bagi jiwa manusia.20

Penggunaan narkotika secara legal hanya bagi kepetingan-kepentingan pengobatan atau tujuan ilmu pengetahuan. Menteri Kesehatan dapat memberi ijin lembaga ilmu pengetahuan dan atau lembaga pendidikan untuk membeli atau menanam, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan ataupun menguasai tanaman papaver, koka dan ganja. Menurut Graham Bline, penyalahgunaan narkotika dapat terjadi karena beberapa alasan, yaitu :21

1. Faktor intern (dari dalam dirinya)

a. Sebagai proses untuk menentang suatu otoritas terhadap orang tua, guru, hukum atau instansi berwenang,

b. Mempermudah penyaluran dan perbuatan seksual,

c. membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya dan penuh resiko,

d. Berusaha mendapatkan atau mencari arti daripada hidup,

e. Melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh pengalaman sensasional dan emosional,

f. Mengisi kekosongan dan mengisi perasaan bosan, disebabkan kurang kesibukan,

20

Supramono, G. Hukum Narkotika Indonesia. Djambatan, Jakart, 2001, hlm 39

21

Soedjono Dirjosisworo. Hukum Narkotika Di Indonesia. Citra Aditya bakti, Bandung, 1990. hlm 40


(30)

g. Mengikuti kemauan teman dan untuk memupuk rasa solidaritas dan setia kawan,

h. Didorong rasa ingin tahu dan karena iseng.

2. Faktor Ekstern

a. Adanya usaha-usaha subversi untuk menyeret generasi muda ke lembah siksa narkotika,

b. Adanya situasi yang disharmoniskan (broken home) dalam keluarga, tidak ada rasa kasih sayang (emosional), renggangnya hubungan antara ayah dan ibu, orang tua dan anak serta antara anak-anaknya sendiri, c. Karena politik yang ingin mendiskreditkan lawannya dengan

menjerumuskan generasi muda atau remaja.

d. Penyalahgunaan narkotika merupakan wabah yang harus mendapatkan penanggulangan yang serius dan menyeluruh. Penanggulangan dan pencegahan harus dilakukan dengan prioritas yang tinggi serta terpadu. Tindakan hukum perlu dijatuhkan secara berat dan maksimum, sehingga menjadi jera dan tidak mengulangi lagi atau contoh bagi lainnya untuk tidak berbuat. Penanggulangan terhadap tindak pidana narkotika dapat dilakukan dengan cara preventif, moralistik, abolisionistik dan juga kerjasama internasional. Penanggulangan secara preventif maksudnya usaha sebelum terjadinya tindak pidana narkotika, misalnya dalam keluarga, orang tua, sekolah, guru dengan memberikan penjelasan tentang bahaya narkotika. Selain itu juga dapat dengan


(31)

cara mengobati korban, mengasingkan korban narkotika dalam masa pengobatan dan mengadakan pengawasan terhadap eks pecandu narkotika.22

Kebijakan kriminalisasi pada perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika adalah sebagai berikut :

1. Menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika (dalam bentuk tanaman atau bukan tanaman) diatur dalam (Pasal 111 sampai dengan Pasal 112);

2. Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika golongan I (Pasal 113);

3. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika golongan I (Pasal 114);

4. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika golongan I (Pasal 115);

5. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I untuk digunakan orang lain (Pasal 116);

6. Tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan II (Pasal 117);

7. Tanpa hak atau melawan hukum Memproduksi , mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika golongan II (Pasal 118);

8. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika golongan II (Pasal 119);

9. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika golongan II (Pasal 120);

10.Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika golongan II terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan II untuk digunakan orang lain (Pasal 121);

11.Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika golongan III (Pasal 122);

12.Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika golongan III (Pasal 123);

13.Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika dalam golongan III(Pasal 124); 14.Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika golongan

III (Pasal 125);

22

AW Widjaja, Masalah Kenakalan Remaja Dan Penyalahgunaan Narkotika, Armico, Bandung, 1985, hlm 18


(32)

15.Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika golongan III terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan III untuk digunakan orang lain (Pasal 126);

16.Setiap penyalah guna : (Pasal 127 Ayat (1)) a. Narkotika golongan I bagi diri sendiri b. Narkotika golongan II bagi diri sendiri c. Narkotika golongan III bagi diri sendiri

17.Pecandu Narkotika yang belum cukup umur (Pasal 55 Ayat (1)) yang sengaja tidak melapor (Pasal 128);

18.Setiap orang tanpa hak melawan hukum : (Pasal 129) 42

a. Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;

b. Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;

c. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;

d. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.

Kebijakan sanksi pidana dan pemidaannya antara lain dikatakan sebagai berikut : 1. Jenis sanksi dapat berupa pidana pokok (denda, kurungan, penjara dalam waktu tertetentu/seumur hidup, dan pidana mati), pidana tambahan (pencabutanizin usaha/pencabutan hak tertentu), dan tindakan pengusiran (bagi warga Negara asing).

2. Jumlah/lamanya pidana bervariasi untuk denda berkisar antara Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) sampai Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk tindak pidana Narkotika, untuk pidana penjara minimal 4 tahun sampai 20 tahun dan seumur hidup.

3. Sanksi pidana pada umumnya (kebanyakan) diancamkan secara kumulatif (terutama penjara dan denda);

4. Untuk tindak pidana tertentu ada yang diancam dengan pidana minimal khusus (penjara maupun denda);


(33)

5. Ada pemberatan pidana terhadap tindak pidana yang didahului dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisasi, dilakukan oleh korporasi dilakukan dengan menggunakan anak belum cukup umur, dan apabila ada pengulangan (recidive).

Kebijakan kriminalisasi dari undang-undang narkoba tampaknya tidak terlepas dari tujuan dibuatnya undang-undang itu, terutama tujuan :

1. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika/psikotropika, dan 2. Memberantas peredaran gelap narkotika/psikotropika.23.

Semua perumusan delik dalam Undang-undang Narkoba terfokus pada penyalahgunaan dari peredara narkobanya (mulai dari penanaman, produksi, penyaluran, lalu lintas, pengedaran sampai ke pemakaiannya, termasuk pemakaian pribadi, bukan pada kekayaan (property/assets) yang diperoleh dari tindak pidana

“narkobanya” nya itu sendiri.

Menurut ilmu hukum pidana, orang telah berusaha memberikan penjelasan tentang siapa yang harus dipandang sebagai pelaku suatu tindak pidana. Van Hamel telah mengartikan pelaku dari suatu tindak pidana dengan membuat suatu definisi yaitu “Pelaku tindak pidana itu hanyalah dia, yang tindakannya atau kealpaannya memenuhi semua unsur dari delik seperti yang terdapat di dalam rumusan delik yang bersangkutan, baik yang telah dinyatakan secara tegas maupun yang tidak dinyatakan secara tegas, jadi pelaku itu adalah orang yang

23


(34)

dengan seseorang diri telah melakukan sendiri tindak pidana yang

bersangkutan”.24

Pengertian doen pleger atau yang menyuruh lakukan itu merupakan salah satu bentuk deelneming yang terdapat di dalam Pasal 55 KUHP. Mengenai pengertian doen pleger atau yang menyuruh melakukan, Sumaryanti memberikan penjelasan

tentang hal tersebut yaitu “Orang yang menyuruh melakukan (doen pleger), di sini

sedikitnya ada dua orang yaitu yang menyuruh (doen pleger) dan yang disuruh

(pleger). Jadi bukan orang itu sendiri yang melakukan tindak pidana, akan tetapi

ia menyuruh orang lain, meskipun ia tetap dipandang dan dihukum sebagai orang

yang melakukan sendiri tindak pidana”.25

C. Pengertian Pengguna Narkotika

Kecanduan narkoba kembali merupakan kondisi yang sangat mungkin terjadi bila pecandu tidak secara aktif melakukan tindakan pencegahan dengan memperkokoh kepribadian, disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk menjalani hidup yang sehat dan bersih. Kecanduan narkoba memiliki intensitas yang lebih hebat sehubungan adanya zat-zat kimia yang dikomsumsi berdampak mempengaruhi cara kerja otak. Sebuah hormon yang mendatangkan kenikmatan dipaksa untuk keluar dengan zat-zat tertentu dan pada akhirnya mempengaruhi tingkah laku secara keseluruhan. Ada suatu tradisi panjang yang menghubungkan kepribadian dengan zat-zat adiktif lainnya.

24

PAF Lamintang, Hukum Penitersier Indonesia. Alumni, Bandung, 2004, hlm. 556

25

Sumaryanti, Peradilan Koneksitas Di Indonesia Suatu Tinjauan Ringkas. Bina Aksara, Jakarta, 2007, hlm 24


(35)

Proses pemulihan dari ketergantungan narkoba bukan merupakan yang mudah dicapai. Proses pemulihan disamping waktu yang lama, juga memerlukan kesadaran (niat) dari sipemakai narkoba. Kepribadian yang cenderung terhadap pecandu adalah mereka yang lemah, tidak bisa dipercaya, jahat, keji, tidak menyenangkan, menakutkan dan sebagainya. Sebab pada prisipnya narkoba membawa pengaruh terhadap prilaku seseorang pengguna, jika semakin sering dikomsumsi apalagi dalam jumlah yang berlebihan maka akan merusak kesehatan tubuh, kejiwaan dan fungsi sosial dalam masyarakat. Proses pecandu untuk sembuh merupakan sebuah perjuangan berat, namun bukan merupakan akhir dari sebuah perjalanan panjang yang masih harus ia tempuh. Ini justru sebuah awal yang baru yang harus ia perjuangkan, bagaimana memperjuangkan pekerjaan yang layak, memulai karir atau membina keluarganya.

Penegakan terhadap pengguna narkoba yang bersifat ketergantungan, maka ketergantungan ini dipandang sebagai perbuatan kriminal yang telah menyalahgunakan pemakaian narkoba. Alasan kriminal yang utama dari tindak pidana ini terlihat dalam pertimbangan sub c Undang-Undang nomor 9 tahun 1976 tentang Tindak Pidana Narkotika yaitu bahwa perbuatan penyimpangan, pengedaran dan penggunaan narkotika tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama dan berentangan dengan peraturan yang berlaku merupakan kejahatan:26 1. Yang merugikan perorangan dan masyarakat

2. Merupakan bahaya di bidang politik, keamanan, ekonomi, sosial, budaya serta ketahanan nasional bangsa Indonesia yang sedang membangun.

26

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Op Cit, hlm 74


(36)

Penjelasan undang-undang tersebut antara lain diungkapkan bahwa penyalahgunaan narkotika itu:27

1. Dapat menimbulkan akibat sampingan yang sangat merugikan bagi perorangan yang dapat menyebabkan yang bersangkutan menjadi tergantung pada narkoba untuk kemudian senantiasa berusaha agar senantiasa memperoleh narkotika itu dengan segala cara tanpa mengindahkan norma-norma sosial, agama maupun hukum yang berlaku.

2. Dapat menimbulkan bahaya bagi kehidupan serta nilai-nilai kebudayaan . 3. Merupakan salah satu sarana dalam rangka kegiatan subversi.

Penyalahgunaan dalam penggunaan narkoba dalam hal ini dapat diartikan dengan pemakaian obat-obatan atau zat-zat berbahaya dengan tujuan bukan untuk pengobatan dan penelitian serta digunakan tanpa mengikuti aturan atau dosis yang benar. Dalam kondisi yang cukup wajar atau sesuai dengan dosis yang dianjurkan dalam dunia kedokteran saja maka pengguna narkoba secara terus menerus akan mengakibatkan ketergantungan, depensi, adiksi dan kecanduan. Akibat dari ketergantungan ini apabila dihentikan secara tiba-tiba akan menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas. Dalam ilmu kedokteran ketergantungan narkoba adalah

suatu jenis penyakit atau “disease etity”.

Ketergantungan narkoba secara klinis memberi gambaran yang berbeda dan tergantung dengan banyak faktor-faktor antara lain:

1. Jumlah dan jenis zat yang digunakan


(37)

2. Keparahan (severity) gangguan dan sejauh mana level fungsi kepribadian terganggu

3. Kondisi psikiatri dan medis umum.

4. Kemampuan (strength) pasien dan kepekaannya.

5. Konteks sosial dan lingkungan pasien dimana dia berdomisili dan diharapkan disembuhkannya.

Ketergantungan disebut sebagai penyakit dan perbuatannya disebut sebagai suatu pelanggaran hukum atau merupakan kejahatan maka kedua-duanya menjadi suatu hal yang dilematis yang membutuhkan penanganan yang serius. Sedangkan dilihat dari pertumbuhan penggunaan narkoba memerlukan perhatian besar dari pemerintah karena tingkat perkembangan penyalahgunaan narkoba begitu pesat yang tidak hanya pada orang tertentu saja. Bahkan Sekjen PBB dalam pidatonya di sidang economic and social council pada tanggal 24 Mei 1985, menyatakan bahwa sudah tiba waktunya bagi masyarakat internasional untuk memperluas dan meningkatkan kegiatannya dalam suatu usaha global yang lebih terpadu dan lebih meluas dibidang ini.28

Hari Sasangka mengutip hal-hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan narkotika (drug abuse) adalah:29

a. Drug Additiction (Kecanduan/Ketagihan Obat)

Drug Addiction yaitu Suatu keadaan yang terjadi setelah penggunaan narkoba secara berkala dan terus menerus apabila pemberian atau penggunaan obat

28

Cmprehensive multidisciplinary out line (CMO)/Garis Besar Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Secara Komprehensif dan Mulitidisiplin disunting BNN oleh Holil Sulaiman, Konsultan Ahli BNN, Jakarta, 2006, hlm 8

29


(38)

terebut dihentikan maka menimbulkan gejala ketergantungan psikis dan jasmani

b. Drug Habituation (Kebiasan terhadap obat)

Drug Habituation (Kebiasaan terhadap obat) adalah akibat suatu obat yang digunakan beberapa waktu, organisme menjadi kurang peka terhadap obat Tertentu. Hari sasangka dalam kutipannya Menurut Tan Hoan Tjai dan Kirana Raharja habituasi dapat terjadi melalui beberapa cara.

1) Induksi enzim misalnya barbital dan feninbuthazon menstimulir terbentuknya enzim yang menguraikan obat-obat tersebut.

2) Reseptor-reseptor sekunder yang dibentuk ekstra oleh obat tertentu misalnya Morfin. Dengan demikian jumlah molekul obat yang menempati reseptor dimana efek terjadi akan menurun.

Dengan meningkatkan dosis obat terus menerus pasien dapat menderita keracunan, karena efek sampingnya lebih kuat. Habituasi dapat diatasi dengan menghentikan pemberian obat dan pada umumnya tidak menimbulkan gejala-gejala penghentian (Abstinensi) seperti halnya pada adiksi. Juga menurut Tan Hoan Tjai dan Kirana bahwa Habituasi dan Adiksi berbeda. Adiksi terdapat ketergantungan jasmaniah dan rohaniah serta penghentian pengobatan menimbulkan efek hebat secara fisik dan mental (gejala-gejala abstinensi).

c. Drug Dependence (Ketergantungan obat)

Drug Depedence (ketergantungan obat) adalah suatu keadaan yang timbul

karena penggunaan jenis-jenis narkoba secara berkala dan terus-menerus yang berakibat merusak diri si pemakai.


(39)

Ketergantungan narkoba merusak psikis dan pisik secara khas maka kedua- duanya mempunyai tujuan :

1. Ketergantungan psikis adalah bahwa seseorang menggunakan narkoba adalah untuk menghindari persolan hidup yang dihadapi, melepaskan diri dari suatu keadaan atu kesulitan hidup.

2. Ketergantungan fisik menimbulkan gejala-gejala abstinensia (rangkaian suatu gejala yang hebat) misalnya turunan morfin mengakibatkan ketakutan, berkeringat, mata berair gangguan lambung dan usus, sakit perut.

Penyalahgunaan narkoba berpengaruh pada tubuh dan mental-emosional para pemakainya. Jika semakin sering dikomsumsi apalagi dalam jumlah yang berlebihan maka akan merusak kesehatan tubuh, kesehatan dan fungsi sosial dalam masyarakat.

Pengaruh narkoba pada remaja bahkan dapat berakibat lebih fatal,karena menghambat perkembangan kepribadiannya. Narkoba dapat merusak potensi diri sebab dianggap sebagai cara yang wajar bagi seseorang dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan hidup sehari-hari. Penyalahgunaan narkoba merupakan suatu pola penggunaan yang bersifat patologik dan harus menjadi perhatian segenap pihak. Meskipun sudah terdapat banyak informasi yang menyatakan dampak negatif yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan dalam mengkomsumsi narkoba, tapi hal ini belum memberi angka yang cukup signifikan dalam mengurangi tingkat penyalahgunaan narkoba.

Penyalahgunaan narkotika bukan karena tidak ada sebab atau faktor yang mengakibatkan seseorang, bahkan kecenderungan tentang kejahatan pada dekade


(40)

ke 20 ini bahwa kejahatan merupakan hasil interaksi antara individu dan lingkungan.30 Terdapat 3 (tiga) faktor (alasan) sebagai pemicu seseorang dalam penyalahgunaan narkoba. Ketiga faktor tersebut adalah faktor diri, faktor lingkungan dan faktor kesediaan narkoba, antara lain:

1. Faktor diri

a. Keinginan yang besar untuk mencoba, tanpa sadar atau berfikir panjang tentang akibatnya di kemudian hari.

b. Keinginan untuk mencoba-coba karena penasaran. c. Keinginan untuk bersenang-senang.

d. Keinginan untuk dapat diterima (komunitas) atau lingkungan tertentu.

e. Workaholic agar terus beraktifitas maka menggunakan stimulant

(perangsang).

f. Lari dari masalah, kebosanan dan kegetiran hidup

g. Kecenderungan merokok dan minuman keras, dua hal ini merupakan gerbang kearah penyalahgunaan narkoba

h. Karena ingin menghibur diri dan menikmati hidup sepuas-puasnya i. Menderita kecemasan dan kegetiran hidup

j. Mengalami kesalahan dan menurunnya semangat belajar

k. Upaya untuk menurunkan berat badan atau kegemukan dengan menggunakan obat penghilang rasa lapar yang berlebihan

l. Merasa tidak dapat perhatian, tidak diterima atau tidak disayangi dalam lingkungan keluarga atau lingkungan pergaulan

m. Ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan

30

Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Rafika Aditama, Bandung, 2007, hlm 60


(41)

n. Ketidaktahuan tentang dampak dan bahaya penyalahgunaan narkoba o. Pengertian yang salah bahwa mencoba narkoba sekali-kali tidak akan

menimbulkan masalah

p. Tidak mampu menghadapi tekanan dari lingkungan atau kelompok pergaulan untuk menggunakan narkoba.

q. Tidak dapat atau tidak mampu berkata tidak pada narkoba. 2. Faktor Lingkungan

Faktor-faktor lingkungan meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan hidup baik disekitar rumah, sekolah, teman sebaya maupun masyarakat. Faktor keluarga terutama faktor orang tua yang ikut menjadi penyebab seorang anak atau remaja menjadi penyalahguna napza.

a. Lingkungan keluarga menjadi faktor penyumbang dalam penyalahgunaan napza. Hal ini dapat terjadi apabila dalam keluarga terdapat beberapa permasalahan antara lain:

1) Komunikasi orang tua-anak kurang efektif/baik

2) Hubungan keluarga kurang harmonis/disfungsi dalam keluarga 3) Orang tua bercerai, berselingkuh atau kawin lagi.

4) Orang tua terlalu sibuk atau tidak acuh. 5) Orang tua otoriter atau serba melarang.

6) Orang tua yang serba memperbolehkan (permisif)

7) Orang tua kurang perduli atau tidak tahu masalah napza.

8) Tata tertib atau disiplin keluarga yang selalu berubah (kurang konsisten) 9) Kurangnya kehidupan beragama dan menjalankan ibadah dalam keluarga 10)Orang tua atau anggota keluarga menjadi penyalahguna napza.


(42)

b. Lingkungan sekolah dapat menjadi penyebab terjadinya penyalahgunaan narkoba adalah sebagai berikut :

1) Sekolah yang kurang disiplin

2) Sekolah yang terletak dekat dengan tempat hiburan atau penjual napza. 3) Sekolah yang kurang memberi kesempatan pada siswa untuk

mengembangkan diri sendiri secara kreatif dan positif 4) Adanya murid pengguna napza.

5) Lingkungan teman sebaya juga menjadi penyebab penyalahgunaan narkoba apabila berteman dengan penyalahguna dan tekanan atau ancaman dari teman kelompok atau pengedar.

6) Lingkungan masyarakat/sosial terjadi apabila penegakan hukum lemah, situasi politik dan ekonomi yang kurang mendukung.

3. Faktor Ketersediaan Narkoba.

Mudahnya mendapatkan napza dan dengan harga murah memberi kesempatan yang baik bagi pengguna. Selain itu banyak iklan-iklan minuman beralkohol dan rokok yang menarik untuk dicoba. Khasiat napza yang menenangkan, menghilangkan rasa nyeri, menidurkan, membuat euphoria/fly/tone/high/teller memang tidak selalu membuat seseorang menjadi penyalahguna napza akan tetapi besar kemungkinan menjadikan seseorang penyalahguna napza. Penyebab penyalahgunaan narkotika harus dipelajari kasus demi kasus sehingga untuk melaksanakan upaya penanggulangan dengan pelayanan terapi dan rehabilitasi lebih mudah dilaksanakan sehingga tercapai tujuan yang diharapkan.


(43)

D. Akibat Penyalahgunaan Narkotika

Penyalahgunaan dalam bahasa Inggris disebut “Abuse“ yang artinya pemakaian

yang tidak semestinya. Sehingga penyalahgunaan obat dalam bahasa Inggris

disebut dengan “Drug Abuse”. Drug Abuse dapat dikategorikan sebagai berikut :31

1. Misuse yaitu menggunakan obat yang tidak sesuai dengan fungsinya.

2. Overuse yaitu penggunaan obat yang tidak sesuai dengan aturan atau

berlebih-lebihan.

Penyalahgunaan narkoba di Indonesia sudah dimulai tahun 1968. Meluasnya peredaran narkoba di Indonesia tidak terlepas dari dampak globalisasi yang memicu perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi tanpa batas khususnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang komunikasi dan transportasi di dunia secara luas yang memudahkan peredaran narkoba dengan cara penyeludupan ke negara lain termasuk Indonesia. Dengan kondisi seperti ini Indonesia bukan lagi sebagai Negara transit penyeludupan tetapi menjadikan negara peredaran gelap narkotika.

Indonesia diperhadapkan dengan keadaan yang mengkwatirkan akibat dari semakin maraknya peredaran gelap narkotika. Ancaman terhadap generasi muda dan bahkan dikalangan tanpa batas bagi bangsa Indonesia menjadi permasalahan yang penuh perhatian dari semua pihak karena akibat penyalahgunaan narkotika sangat berbahaya. Dalam dosis yang wajar saja/sesuai dengan dosis yang dianjurkan oleh dokter, tetapi penggunaan yang terus menerus dapat mengakibatkan ketergantungan, depedensi, adiksi dan kecanduan.Penyalahgunaan

31


(44)

narkoba juga berpengaruh pada tubuh dan mental emosional para pemakainya. Jika semakin sering dikomsumsi, apalagi dalam jumlah yang berlebihan maka akan merusak kesehatan tubuh, kejiwaan fungsi sosial di dalam masyarakat.32 Pengaruh narkoba pada remaja bahkan dapat berakibat fatal. Karena menghambat perkembangan kepribadiannya. Narkoba dapat merusak potensi diri sebab dianggap secara wajar bagi seseorang dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahannya. Walaupun sudah banyak dampak negatif dari penyalahgunaan narkoba, namun belum memberi angka yang signifikan dalam penanggulangan peredaran gelap narkoba untuk mengurangi tingkat penyalahgunaan. Penyalahgunaan bukan hanya membawa akibat terhadap individu sendiri, tetapi juga memberi akibat bagi masyarakat.33

1. Akibat-Akibat Narkoba Terhadap Individu.

a. Euphoria ialah suatu perasaan riang gembira (well being) yang dapat

ditimbulkan oleh narkoba yang abnormal dan tidak sesuai dengan keadaan jasmani atau rohani si pemakai yang sebenarnya. Efek ini ditimbulkan oleh dosis yang begitu tinggi.

b. Delirium yaitu menurunnya kesadaran mental sipemakai disertai

kegelisahan yang agak hebat yang terjadi secara mendadak yang dapat menyebabkan gangguan kordinasi otot-otot gerak motorik (Mal

Kordination). Efek delirium ini ditimbulkan oleh pemakai dosis yang lebih

tinggi di banding dosis pada euphoria.

32

Modul Pelatihan Petuas Rehabilitasi Dalam Pelaksanaan Program One Stop Center (OSC). Op Cit, hlm 7

33


(45)

c. Halusinasi yaitu kesalahan persepsi panca indra sehingga apa yang dilihat, apa yang didengar tidak menjadi kenyataan sesungguhnya.

d. Weakness yaitu suatu kelemahan jasmani atau rohani atau keduannya

yang terjadi akibat ketergantungan dan kecanduan narkoba.

e. Drowsiness yaitu kesadaran yang menurun atau keadaan antara sadar dan

tidak sadar seperti keadaan setengah tidur disertai pikiran yang sangat kacau dan kusut.

f. Collapsi yaitu keadaan pingsan dan jika sipemakai over dosis dapat

mengakibatkan kematian.

Akibat-akibat lain yang bisa terjadi pada pemakai narkoba adalah : a. Terjadi keracunan (Toxicity).

b. Fungsi-fungsi tubuh yang tidak normal (Mal function). c. Terjadi kekurangan gizi (Mal nutrition).

d. Kesulitan penyesuaian diri. e. Kematian.

2. Akibat Pemakai Narkoba Bagi Masyarakat.

Disamping berpengaruh terhadap individu penyalahgunaan narkoba juga berpengaruh pula bagi masyarakat luas. Pengaruh pemakaian narkoba terhadap masyarakat luas antara lain :

a. Meningkatkan kriminalitas atau gangguan kamtib masyarakat

b. Menyebabkan timbulnya kekerasan baik terhadap perorangan atau kelompok. c. Timbulnya usaha-usaha yang bersifat illegal dalam masyarakat misalnya pasar


(46)

d. Banyaknya kecelakaan lalu lintas

e. Menyebabkab penyakit tertentu lewat jarum suntik yang dipakai pecandu misalnya: Hepatitis B, hepatitis C dan HIV/AIDS.

Kalau dilihat menurut efeknya pada sistim saraf pusat pemakai narkoba dan zat adiktif lainnya dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:34

1) Depresan.

Obat jenis ini yang dapat menekan atau memperlambat fungsi sistim saraf pusat sehingga dapat mengurangi aktifitas fungional tubuh. Obat anti depresan ini dapat membuat pemakai merasa tenang, memberi rasa melambung tinggi, memberi rasa bahagia dan bahkan membuatnya tertidur atau tidak sadarkan diri. Contoh Opida/opiate (opium, morfin, heroin, kodein), alkohol dan obat tidur transkuiliser atau obat penenang. Obat penenang depresan yang

tergolong pada kelompok obat yang disebut “benzodiazepine” obat-obat ini

diresepkan oleh para dokter untuk mengurangi stress, kecemasan, untuk membantu orang tidur dan kegunaan kedokteran lainnya. Biasanya obat ini berbentuk kapsul atau tablet. Beberapa orang menggunakan obat penenang karena efeknya menenangkan. Pengaruh obat penenang terhadap tiap orang berbeda-beda tergantung besarnya dosis, berat tubuh, umur seseorang, bagaimana obat itu dipakai dan suasana hati sipemakai.

2) Stimulan.

Berbagai jenis zat yang dapat merangsang sistim saraf pusat dan dapat meningkatkan kegairahan (segar dan bersemangat) dan kesadaran. Obat ini dapat bekerja mengurangi rasa kantuk karena lelah, mengurangi nafsu makan,

34


(47)

mempercepat detak jantung, tekanan darah dan pernafasan, mengerutkan urat nadi serta memperbesar biji mata.

3) Halusinogen.

Merupakan obat-obatan alamiah ataupun sintetik yang memiliki kemampuan ataupun memproduksi zat yang dapat mengubah rangsangan indera yang jelas serta merubah perasaan dan pikiran sehingga menimbulkan kesan palsu atau halusinasi.

E. Pengertian dan Tujuan Rehabilitasi

1. Pengertian Rehabilitasi.

Program rehabilitasi dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way Huwi meliputi aspek rehabilitasi medis, sosial, kerohanian dan ketrampilan. Program ini dilaksanakan untuk membantu Warga Binaan terlepas dari ketergantungan narkotika dan psikotropika, dengan rehabilitasi ini menjadikan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika pusat penangulangan terpadu dalam satu atap atau One Stop Center (OSP). Sebagai one stop center petugas Lapas Narkotika harus mampu memberi kesadaran terhadap narapidana supaya tidak kembali terhadap perbuatan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.

Proses pelayanan dan rehabilitasi terpadu bagi penyalahguna narkotika baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial, harus memenuhi sumber daya manusia yang memenuhi persyaratan ataupun kriteria, karena untuk


(48)

penangulangan penyalahguna narkoba bukanlah hal yang mudah, dengan demikian dibutuhkan ketrampilan dan keahlian secara khusus.35

Pelaksanaan terapi terhadap penyalahguna narkotika disesuaikan dengan permasalahan kelompok tingkat kecanduannya. Menurut Nalini Muhi, ada kelompok yang potensial yang mudah terpengaruh narkoba:36

a. Kelompok primair yaitu kelompok yang mengalami masalah kejiwaan, penyebabnya bisa karena kecemasan, depresi dan ketidakmampuan menerima kenyataan hidup yang dijalani. Hal ini diperparah lagi karena mereka ini biasanya orang yang memiliki kepribadian introfet atau tertutup. Dengan jalan mengkomsumsi obat-obatan atau sesuatu yang diyakini bisa membuat terlepas dari masalah kendati hanya sementara waktu. Kelompok primair sangat mudah dipengaruhi untuk mencoba narkoba jika lingkungan pergaulannya menunjang dia memakai narkoba.

b. Kelompok sekunder yaitu kelompok mereka yang mempunyai sifat anti sosial. Kepribadiannya selalu bertentangan degan norma-norma masyarakat. Sifat egosentris sangat kental dalam dirinya. Akibatnya dia melakukan apa saja semaunya. Perilaku ini disamping sebagai konsumen juga dapat sebagai pengedar. Ini merupakan pencerminan pribadi yang ingin mempengaruhi dan tidak senang jika ada orang lain merasa kebahagiaan, kelompok ini harus diwaspadai.

c. Kelompok tersier adalah kelompok ketergantungan yang bersifat reaktif, biasanya terjadi pada remaja yang labil dan mudah terpengaruh dengan

35Modul Pelatihan Petugas Rehabilitasi Sosial Dalam Pelaksanaan One Stop Center (OSC),

BNN RI, Pusat Laboratorium Terapi dan Rehabilitasi, Jakarta, 2006, hlm 72

36


(49)

kondisi lingkungannya, juga pada mereka yang kebingungan untuk mencari identitas diri selain mungkin adanya ancaman dari pihak tertentu untuk ikut mengkonsumsi narkoba.

Kelompok pertama dan ketiga dapat dilakukan dengan terapi yang serius dan intensif, sedangkan untuk kelompok kedua selain terapi juga harus menjalani pidana penjara sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan. Apabila pengedar narkoba hanya di terapi, akan kecil sekali sembuhnya. Pengedar adalah kelompok yang paling berbahaya terhadap penyebaran narkoba.

Pelaksanaan terapi disini adalah bertujuan untuk mendapat kesembuhan bagi narapidana supaya lepas dari ketergantungan Napza sebagaimana dalam tujuan pengobatan adalah untuk mendapat efek pengobatan (efek terapeutik) yang diinginkan. Efek terapeutik merupakan tujuan agar pasien menjadi sembuh. Masalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA) atau istilah yang popular dikenal masyarakat sebagai narkoba (Narkotika dan Bahan/obat berbahaya) merupakan masalah yang sangat kompleks yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidisipliner dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.37

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Narkotika adalah salah satu Lembaga Pemasyarakatan Khusus untuk penyalahguna narkotika, maka tugas Lembaga Pemasyarakatan Narkotika adalah untuk membina narapidana khusus narkotika.

Secara ideal Lapas Narkotika mengandung makna berperan “memasyarakatkan

37


(50)

kembali “ para narapidana yang telah melanggar aturan hukum dan norma-norma yang dianut masyarakat. Lembaga Pemasyarakatan Narkotika melaksanakan pembinaan secara konfrehensif, baik rehabilitasi terpadu sosial maupun rehabilitasi medis.38

Pengertian rehabilitasi sosial adalah merupakan suatu kegiatan pembinaan yang bertujuan untuk membimbing narapidana mengembangkan sikap kemasyarakatan dan prososial supaya dapat meninggalkan tingkah laku terhadap penyalahgunaan narkoba dan diharapkan dapat kembali kemasyarakat. Pengertian rehabilitasi medis adalah bentuk pemulihan narapidana dari penyalahgunaan narkoba dengan memberikan perawatan terhadap narapidana. Bentuk perawatan dilaksanakan di Lapas Narkotika sebagai berikut:

a. Pemeriksaan kesehatan pada saat menjadi Warga Binaan di Lapas Narkotika b. Pemeriksaan darah dan urin untuk mengetahui secara dini terjangkitnya

penyakit HIV, AIDS dan Hevatitis

c. Kontrol kebersihan ke Blok hunian narapidana d. Perawatan kesehatan rutin narapidana

e. Pelayanan rawat inap dan rawat jalan ke RSU Pemerintah f. Kerjasama dengan para medis dan dokter setempat

2. Tujuan Rehabilitasi

Terus meningkatnya jumlah korban penyalahguna narkoba membuat peran terapi dan rehabilitasi bagi korban narkoba menjadi penting dan strategis. Untuk itu bidang terapi dan rehabilitasi diminta untuk proaktif terus mencari terobosan agar

38

David J cooke, Pamela J Baldwin dan Jaqueline howison, Menyingkap Dunia Gelap Penjara, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama , 2008), hlm 1


(51)

perannya menjadi efektif. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur penjeraan dan penggunaan titik tolak pandangannya terhadap narapidana sebagai individu, semata-mata dipandang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.39

Bagi manusia pemikiran-pemikiran mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi sekadar aspek penjeraan belaka, tetapi juga sebagai suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial, serta melahirkan suatu sistem pembinaan terhadap pelanggaran hukum yang dikenal sebagai sistem pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan

dapat diumpamakan sebagai sebuah “sanggar” yaitu suatu rumah atau ruangan

yang diatur baik-baik untuk mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu di dalam sebuah sanggar mempunyai cirri-ciri atau sifat-sifat rehabilitatif, korektif, edukatif, dan integratif. Dengan dirubahnya sangkar menjadi sanggar, karena

hanya di dalam “Sanggar Pengayoman” pembinaan terpidana berdasarkan sistem

pemasyarakatan dan proses-proses pemasyarakatan dapat terwujud.40

Bentuk rehabilitasi yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika merupakan wujud dari sistem pemasyarakatan yang pelaksanaannya adalah bersifat rehabilitasi terpadu. Berdasarkan pengertian diatas bahwa tujuan rehabilitasi adalah juga tujuan daripada pembinaan. Hal ini dapat dipertegas bahwa yang menjadi pedoman di Lapas-Lapas lain juga sama pedoman di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang UUP dan Peraturan-peraturan yang lain.

39

Adi Sujatno, Pencerahan Dibalik Penjara dari Sangkar Menuju Sanggar Untuk Menjadi Manusia Mandiri, Teraju, Jakarta, 2008, hlm 123.

40


(52)

Arti penting diperlukannya terapi dan rehabilitasi di Lembaga Pemasyarakatan/Rutan di sebabkan oleh :41

a. Dampak negatif narkoba dalam jangka panjang.

b. Peningkatan angka kematian rata-rata akibat penyakit penyerta sebagai dampak buruk penyalahgunaan narkoba seperti TB, HIV-AIDS dan Hevatitis. c. Mengurangi penularan penyakit TB, HIV-AIDS dan Hevatitis.

Untuk mencapai tujuan rehabilitasi sebagai tahap pemulihan bagi penyalahguna narkoba dilaksanakan dengan pembinaan. Hal ini sejalan dengan pemikiran-pemikiran baru tentang fungsi pemidanaan yang tidak lagi bersifat penjeraan tetapi telah berubah menjadi suatu usaha yang rehabilitatif dan reintegratif dengan tujuan agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak mengulangi tindak pidana lagi dan dapat kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga dan masyarakat serta berguna bagi nusa dan bangsa.

Strategi rehabilitasi ini dilakukan untuk mengobati para penyalahguna narkoba, dengan melakukan pengobatan secara medis, sosial dan spiritual serta upaya untuk mencegah menjalarnya penyakit HIV/AIDS karena pemakai jarum suntk oleh penyalahguna narkoba secara bergantian. Agar mereka yang sudah diberikan habiltasi tidak menjadi penyalahguna lagi, perlu dilakukan upaya pencegahan lebih lanjut.

Penyalaguna narkoba merupakan bagian dari masyarakat yang harus ditolong dan diberikan kasih sayang dalam mempercepat proses penyembuhan. Perlu diberikan pengobatan dan rehabilitasi secara gratis kepada penyalahguna yang tidak mampu

41

Adi Sujatno, Pencerahan Dibalik Penjara Dari Sangkar Menuju Sanggar Menuju Manusia Mandiri, Op., Cit, hlm 15.


(53)

melalui subsidi pemerintah dan sumbangan para donatur, kaena pengobatan dan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkoba memerlukan waktu dan biaya yang cukup besar.

F. Bentuk Rehabilitasi

Indonesia semenjak tahun 1971 telah memulai tindakan-tindakan yang bertujuan kepada penanggulangan bahaya narkoba dengan menerbitkan instruksi Presiden nomor 6/1971 yang mengintruksikan kepada KABAKIN untuk mendirikan Badan Kordinasi (Bakolak Inpres 6/1971 yang menangani 6 (enam) masalah nasional yang salah satunya adalah masalah narkotika. Namun perkembangan permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap yang semakin meningkat maka pada tahun 1999 pemerintah Indonesa membentuk lembaga baru yaitu Badan Koordinasi Narkotika Nasional melalui Keppres Nomor 116 tahun 1999 tentang Pembentukan Badan Kordinasi Narkotika Nasional. Dalam perkembangannya lembaga ini yang hanya bersifat koordinatif, lembaga ini dinilai kurang efektif.42

Selanjutnya berdasarkan Keppres Nomor 17 Tahun 2002 tanggal 22 Maret 2002 diubah menjadi Badan Narkotika Nasional yang terdiri dari Departemen serta Lembaga Pemerintah terkait. Berdasarkan data yang dihimpun Badan Narkotika Nasional jumlah kasus dan tersangka pelaku tindak kejahatan narkoba yang terungkap dan jumlah penyalahguna yang terdeteksi menunjukan peningkatan tajam diseluruh wilayah tanah air. Terus meningkatnya jumlah korban penyalahgunaan narkoba membuat peran terapi dan rehabilitasi bagi korban

42

Modul Pelatiahn Petugas Rehabilitsi Sosial Dalam Pelaksanaan Program One Stop Center (OSC), Op Cit, hlm 7


(1)

103

dalam lembah hitam yang sama. Hal ini merupakan bahagian dari pembaharuan hukum pidana nasional.

2. Pelaksanaan pembinaan dan rehabilitasi terhadap pengguna narkotika di Lembaga Pemasyarakatan narkotika Way Huwi merupakan wujud dari sistem pemasyarakatan yang pelaksanaanya bersifat konfrehensif dari rehabilitasi sosial terpadu, rehabilitasi medis, rehabilitasi keagamaan, rehabilitasi kemandirian dan rehabilitasi penyuluhan hukum. Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way Huwi dalam pelaksanaan pembinaan bersifat rehabilitatif, edukatif, korektif dan reintegratif dalam melaksanakan tugas dan fungsi sehingga pemidanaan bukan hanya sebagai penjeraan tetapi bertujuan untuk menyadarkan manusia menjadi warga Negara yang bertanggung jawab dan berguna. Rehabilitasi terhadap pengguna narkotika adalah bentuk pengobatan dan perawatan. Sedangkan pelaksanaan pembinaan narapidana narkotika dilaksanakan untuk mengembalikan narapidana kemasyarakat dengan tidak melakukan tindak pidana lagi. Petugas pemasyarakatan sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat wajib menghayati serta mengamalkna tugas-tugas pembinaan pemasyarakatan dengan penuh tangung jawab. Dalam melaksanakan kegiatan pembinaan pemasyarakatan yang berdaya guna, tepat guna dan berhasil guna, petugas harus memiliki kemampuan professional dan intergitas moral.

3. Hambatan dalam pelaksanaan pembinaan dan rehabilitasi terhadap narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way Huwi masih banyak ditemukan. Sehingga Lembaga Pemasyrakatan Narkotika Way Huwi masih memerlukan banyak pembenahan dari berbagai bidang. Hambatan-hambatan


(2)

104

yang menjadi penghalang untuk pelaksanaan rehabilitasi di Lapas Narkotika Way Huwi adalah adanya hambatan normatif sebagai pedoman pelaksanaan rehabilitasi, masalah tingkat SDM petugas Lapas Narkotika Way Huwi, Kurangnya sarana dan prasarana untuk mendukung program rehabilitasi, Kurangnya kepedulian dari lingkungan, dan masalah warga binaaan pemasyarakatan itu sendiri.

B. Saran

1. Diharapkan pembenahan pola pembinaan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika dari Lembaga Pemasyarakatan umum, baik dari peraturan pendukung sebagai pedoman pelaksanaan tugas sehingga tujuan rehabilitasi di Lapas Narkotika dapat tercapai sebagaimana rumah rehabilitasi. Untuk melaksanakan tugas tersebut, perlu membuat perencanaan program pelaksanaan tugas dan fungsi selanjutnya diketahui oleh Kalapas. Rencana kerja yang dibuat oleh Kepala Seksi tidak terlepas dari situasi dan kondisi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way Huwi sehingga rencana itu dapat terlaksana dengan efektif. 2. Diharapkan adanya pelatihan khusus terhadap petugas Lembaga

Pemasyarakatan Narkotika untuk dapat lebih memahami akibat dan bahaya penyalahgunaan narkotika dengan tujuan supaya petugas terlebih dahulu dapat membersihkan diri dari penggunaan narkotika sehingga Lembaga Pemasyarakatan Narkotika menjadi tempat yang steril dari narkotika.

3. Diharapkan sistem pembinaan yang dilaksanakan terhadap narapidana narkotika dalam Lembaga Pemasyarakatan Narkotika bukan sebagai proses


(3)

105

pemidanaan tetapi Lembaga Pemasyarakatan Narkotika dapat menjalankan pengobatan supaya narapidana narkotika mendapatkan pemulihan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ali, Mahrus, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika: Jakarta.

Ali, Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum (legal Theory) dan Teori Peradilan (judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legis Prudence), Kencana, Jakarta.

Atmasasmita, Romli, 1982, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum dalam Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia, Alumni, Bandung.

Cooke, David J., Pamela J Baldwin dan Jaqueline howison, 2008, Menyingkap Dunia Gelap Penjara, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Dwija, Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung.

Dirjosisworo. Soedjono, 1990, Hukum Narkotika Di Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Gunakarya, A. Widiada, 1988, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, Armico, Bandung.

Hamzah, Andi, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineke Cipta, Jakarta. Harsono, 1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta. Lamintang, PAF, 2004, Hukum Penitersier Indonesia. Alumni, Bandung.

Muladi, dan Arief Barda Nawawi, 1998, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung.

Nawawi Arief, Barda 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

__________, 2010, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Genta Publishing, Yogyakarta.


(5)

__________, 2007, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Rafika Aditama, Bandung.

Sasangka, Hari, 2003, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung.

Sholehuddin, 2002, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Sujatno, Adi, 2001, Negara Tanpa Penjara, Montas Ad, Jakarta.

__________, 2004, Sistem Pemasyarakatan Indonesia (Membangun Manusia Mandiri), Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan HAM RI), Jakarta.

__________, 2008, Pencerahan Dibalik Penjara dari Sangkar Menuju Sanggar Untuk Menjadi Manusia Mandiri, Teraju, Jakarta.

Sulaiman, Holil, 2006, Cmprehensive multidisciplinary out line (CMO)/Garis Besar Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Secara Komprehensif dan Mulitidisiplin, disunting BNN, Konsultan Ahli BNN, Jakarta.

Sumaryanti, 2007, Peradilan Koneksitas Di Indonesia Suatu Tinjauan Ringkas. Bina Aksara, Jakarta.

Supramono, G. 2001, Hukum Narkotika Indonesia. Djambatan, Jakarta.

Tim Penyusun, 1990, Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, Cetakan I, Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Jakarta.

Tim Penyususn, 2006, Modul Pelatihan Petugas Rehabilitasi Sosial Dalam Pelaksanaan One Stop Center (OSC), BNN RI, Pusat Laboratorium Terapi dan Rehabilitasi, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Peraturan Pemerintah RI No: 31 Tahun1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.


(6)

Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI. No.04.PR.07.03 Tahun 2003 tentang Pembentukan Lapas Narkotika Pematangsiantar, Lubuk Linggau, Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, Nusakambangan, Martapura, Bangle, Maros dan Jaya Pura.

Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 07 Tahun 2009 tentang Menempatan Pemakai Narkoba Ke Dalam Terapi dan Rehabilitasi.