Bentuk Rehabilitasi PELAKSANAAN PEMBINAAN DAN REHABILITASI TERHADAP NARAPIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 (Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way Huwi)

penularan HIVAIDS melalui jarum suntik dengan pengawalan ketat Departemen Kesehatan. Sebagai implementasi pelaksanaan penjelasan Undang-Undang Narkotika tersebut telah terbentuk Lembaga Pemasyarakatan Narkotika yang menampung narapidana khusus penyalahguna narkotika. Lembaga Pemasyarakatan Narkotika ini dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI No.M.04.PR.07.03 Tahun 2003 tentang Pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way Huwi, Lubuk Linggau, Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, Nusakambangan, Madiun, Pamekasan, Martapura, Bangli, Maros dan Jayapura. Berdasarkan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN bahwa yang ditetapkan untuk masuk ke pusat terapi dan rehabilitasi adalah pecandu narkotika yang wajib dapat dibuktikan sebagai pecandu. Menjalani terapi dan rehabilitasi bukan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika akan tetapi menurut Undang-Undang disini adalah Pusat Terapi dan Rehabilitasi apabila dibuktikan sebagai pecandu. Di pusat terapi dan rehabilitasi di khususkan hanya kepada pecandu yang tidak terbukti tindak pidananya. Maka dengan ini pengguna dan pengedar yamg terindikasi dengan tindak pidana tidak dimasukkan ke pusat terapi dan rehabilitasi sesuai dengan Undang-Undang Numor 35 Tahun 2009 tentang UUN tapi adalah menjadi penghuni Lembaga Pemasyarakatan Narkotika. Penjelasan Pasal 103 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN menyebutkan bahwa : a. Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata memutuskan bagi pecandu narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika mengandung pengertian bahwa putusan hakim tersebut merupakan vonis hukuman bagi pecandu narkotika yang bersangkutan. b. ketentuan ini menegaskan bahwa pengunaan kata menetapkan bagi pecandu narkotika yang tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa penetapan hakim tersebut bukan merupakan. Pelaksanaan rehabilitasi dilaksanakan oleh intansi terkait, dalam hal ini yang disebut instansi terkait adalah Lembaga Pemasyarakatan Narkotika dan Departemen Kesehatan rumah sakit. Lembaga Pemayarakatan Narkotika sebagai instansi pelayanan rehabilitasi sekaligus sebagai pelaksanaan pembinaan, maka rehabilitasi sosial, rehabilitasi mental, rehabilitasi rohani dan rehabiltasi medis dilaksanakan sebagai satu kesatuan tugas dan fungsi yang disebut dengan pelayanan terpadu dalam satu atap. Berbeda dengan pusat terapi dan rehabilitasi yang banyak melaksanakan pengobatan untuk melepaskan penyalahguna dari ketergantungan selain itu juga untuk mencegah terjadinya penularan dari penyakit yang membahayakan akibat penyalahgunaan narkotika. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang UUN bahwa rehabilitasi dilaksanakan seiring dengan terapi pengobatan untuk melepaskan pecandu dari ketergantungan dan pengobatan dari penyakit menular akibat dari penggunaan melalui jarum suntik seperti penyakit HIVAIDS, Hepatitis B dan TBC Biasanya dilakukan pemeriksaan laboratorium yang lengkap dengan tes darah dan urin untuk mendeteksi penyakit atau kelainan para pecandu narkoba. Jika dalam pemeriksaan ditemukan penyakit tersebut biasanya dilakukan pengobatan medis terlebih dahulu kemudian dilanjutkan rehabilitasi non medis. Cara ini untuk mencegah terjadinya penularan penyakit kepada para penderita yang lain, tenaga kesehatan dan petugas rehabilitasi. Prinsip perawatan setiap rumah sakit rehabilitasi narkoba yang ada di Indonesia sangat beragam, ada yang menekankan pengobatan hanya pada prinsip medis, ada pula yang lebih menekan pada prinsip rohani atau memadukan pendekatan tersebut dengan posisi yang seimbang. Model terapi rahabilitasi yang dapat dilakukan untuk membantu sesorang melepaskan diri dari kecanduan dan merubah prilakunya menjadi lebih baik: Model ini sangat umum dikenal masyarakat dan serta biaanya dilakukan dengan pendekatan agamamoral yang menekankan tentang dosa dan kelemahn individu. Model terapi ini sangat tepat diterapkan pada lingkungan masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai keagamaan dan moralitas ditempat asalnya karena model ini berjalan bersamaan dengan konsep baik dan buruk yang diajarkan oleh agama 2. Model terapi sosial. Model ini memakai konsep dari program terapi komunitas dimana adiksi terhadap obat-obatan dipandang sebagai fenomena penyimpangan sosial social disorder. Tujuan dari model terapi ini adalah mengarahkan prilaku yang menyimpang tersebut kearah prilaku yang lebih layak. Hal ini didasarkan atas kesadaran bahwa kebanyakan pecandu narkoba terlibat dalam tindakan yang a-sosial termasuk tindakan kriminal. Praktek dapat dilakukan melalui ceramah, seminar dan terapi kelompok encounter group. 44 3. Model terapi medis Model terapi ini ada dua: a. Konsep menyembuhkan kecanduan dengan menggunakan obat lain. Contoh : Terapi metadon untuk pecandu obat. b. Konsep menyembuhkan kecanduan obat dengan cara memandang adiksi obat sebagai suatu penyakit. Dari konsep teori ini lahirlah konsep “disease” atau disebut penyakit . Terapi ini memandang kecanduan itu sebagai penyakit bukan penyimpangan maka pecandu dianggap sebagai pasien dimana mereka akan dibina dan diawasi ketat oleh tim dokter. 4. Model terapi psikologis. Model ini diadaptasi dari teori Mc.Lellin yang menyebutkan bahwa prilaku adiksi obat adalah buah dari emosi yang tidak berfungsi selayaknya karena terjadi konflik, sehingga pecandu memakai obat pilihannya untuk meringankan atau melepaskan beban psikologis itu. 45 Model ini mementingkan penyembuhan emosional dari pecandu narkoba yang bersangkutan. Apabila emosinya dapat dikendalikan maka mereka tidak akan mempunyai masalah lagi dengan obat- obatan. 5. Model terapi budaya. Model ini menyatakan bahwa prilaku adiksi obat adalah hasil sosialisasi seumur hidup dalam lingkungan sosial atau kebudayaan tertentu. Dalam hal ini keluarga 44 Ibid 45 Ibid dan lingkungan dapat dikategorikan sebagai lingkungan sosial dan kebudayaan tertentu. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 07 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba Ke Dalam Panti Terapi Dan Rehabilitasi yang menyebutkan dalam angka 5 sebagai berikut : 46 Untuk menjatuhkan lamanya proses rehabilitasi, hakim harus dengan sungguh- sungguh memperhitungkan kondisi atau tarap kecanduan terdakwa sehingga wajib diperlukan adanya keterangan ahli dan sebagai standar dalam proses terapi dan rehabilitasi adalah sebagai berikut : a. Detoxifiksi lamanya 1 satu bulan b. Primari Program lamanya 6 enam bulan c. Re-entry program lamanya 6 enam bulan Pada dasarnya ada 3 tiga tahapan pokok di dalam pengobatan ketergantungan narkoba: 47 a. Tahap Detoksifikasi. Tahap ini adalah merupakan tahapan untuk menghilangkan racun akibat narkoba yang dikomsumsi oleh pemakai narkoba junky dari dalam tubuh. Upaya ini dapat dilakukan dengan cara menghentikan penggunaannya dengan resiko gejala putus obat mengurangi pemakaian narkoba yang dikomsumsi atau menggantikannya dengan obat yang lain yang mempunyai efek serupa, tetapi kurang menimbulkan kenikmatan dan ketagihan. 46 Ibid 47 Hari Sasangka, Op Cit, hlm 27 b. Tahap Rehabilitasi Rehabilitasi dilakukan pada pemakai narkoba baik secara phisik dan mental. Dalam tahap ini dokter, psikiater, psikolog berusaha untuk merehabilitasi secara intensip agar pemakai narkoba sehat seperti semula. Tahap ini disebut tahap rehabilitasi non medis. c. Tahap tindak lanjut follow up Tahap ini merupakan pembinaan khusus setelah pemakai keluar dari panti rehabilitasitempat perawatan. Hal ini perlu kerja sama antara orang tua, pekerja sosial dan lingkungan dimana pemakai narkoba tinggal. Pecandu diberikan kegiatan sesuai denngan minat , dapat sekolah dan kembali ke tempat kerjanya sambil tetap di bawah pengawasan. Berdasarkan matriks program pembangunan nasional tahun 2007 telah menetapkan beberapa kebijakan di bidang terapi dan rehabilitasi korban penyalahguna narkoba sebagai berikut : a. Peningkatan pelayanan terapi, rehabilitasi dan perlindungan sosial kepada b. penyalahgunakorban narkoba dan napza. c. Penyusunan standarisasi pelayanan terapi dan rehablitasi kepada penyalahgunakorban narkoba d. Pembangunanpeningkatan sarana dan prasarana pelayanan bidang terapi dan rehabilitasi korban narkoba. e. Peningkatan pendayagunaan peran serta masyarakat dalam rangka pelayanan terapi dan rehabilitasi kepada penyalahgunakorban narkoba. BAB III METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini yang berdasarkan pokok permasalahan dilakukan dengan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris sebagai penunjang. Pendekatan secara yuridis normatif dilakukan dengan cara menelaah dan menelusuri berbagai peraturan perundang-undangan, teori- teori, kaidah hukum dan konsep-konsep yang ada hubungannya dengan permasalah yang akan dibahas. Sedangkan pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah hukum terhadap objek penelitian sebagai pola perilaku yang nyata dalam masyarakat yang ditujukan kepada penerapan hukum yang berkaitan dengan bentuk-bentuk perilaku yang akan dibahas dalam tesis ini.

B. Sumber dan Jenis data

Sumber dan jenis data dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder, yaitu : 1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari observasi di lapangan. Dalam rangka penelitian lapangan terutama yang menyangkut pokok bahasan tesis ini. Dalam hal ini data diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap beberapa penegak hukum. 2. Data sekender adalah data yang diperoleh dari bahan literatur kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip yang bersifat teoritis, konsep-konsep, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan di bahas, yang terdiri antara lain: a. Bahan hukum primer yaitu : 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHAP 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 4 Peraturan Pemerintah RI No: 31 Tahun1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. 5 Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI. No.04.PR.07.03 Tahun 2003 tentang Pembentukan Lapas Narkotika Pematangsiantar, Lubuk Linggau, Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, Nusakambangan, Martapura, Bangle, Maros dan Jaya Pura. 6 Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 07 Tahun 2009 tentang Menempatan Pemakai Narkoba Ke Dalam Terapi dan Rehabilitasi. b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dalam hal ini teori-teori yang dikemukakan para ahli dan peraturan-peraturan pelaksana dari Undang-Undang. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari Literatur, Kamus, Internet, surat kabar dan lain-lain.

C. Penentuan Narasumber

Penelitian mengenai pelaksanaan pembinaan dan rehabilitasi terhadap pengguna narkotika di Lembaga Pemasyarakatan narkotika Way Huwi ini memerlukan informan yang mempunyai pemahaman yang berkaitan langsung dengan masalah penelitian guna memperoleh data dan informasi yang lebih akurat. Dalam menentukan informan penelitian yang paling penting adalah subjek penelitian harus memungkinkan atau dapat diakses, menarik, dan tentu saja dapat digeneralisasikan. Informan penelitian yang baik adalah orang-orang dengan peran tertentu dan memiliki pengalaman. Informan penelitian haruslah memiliki kaitan erat dengan kasus yang ingin diteliti. Oleh sebab itu, informan yang dimaksud adalah adalah Edy Prayitno selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way Huwi Bandar Lampung.

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Proses dalam melakukan pengumpulan data, baik data primer maupun data sekunder dipergunakan alat-alat pengumpulan data sebagai berikut : a. Studi Pustaka Terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan buku-buku dan literatur yang erat hubungannya dengan permasalahan yang sedang dibahas sehingga dapat mengumpulkan data sekunder dengan membaca, mencatat, merangkum, untuk dianalisa lebih lanjut. b. Studi Dokumen Mempelajari berkas-berkas dokumen yang berkaitan dengan pokok bahasan dengan cara membaca, mencatat, merangkum untuk dianalisa lebih lanjut. c. Studi lapangan Studi lapangan dilakukan melalui wawancara dengan responden yang telah direncanakan sebelumnya. Metode yang dipakai adalah pengamatan langsung dilapangan serta mengajukan pertanyaan yang disusun secara teratur dan mengarah pada terjawabnya permasalahan dalam penulisan tesis ini.

2. Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: a. Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul dan permasalahan. b. Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasi atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif. c. Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterprestasikan data.