9
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,
6
dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaranya. Kerangka teori adalah
kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan problem yang menjadi perbandinganpegangan teoritis bagi peneliti
kajian hukum terhadap penerapan azas keseimbangan dan keadilan dalam suatu perjanjian asuransi di Indonesia.
Kerangka teori
yang digunakan
dalam penelitian
ini adalah
teori keseimbangan dan keadilan sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles yang
mengatakan bahwa suatu kaidah hukum atau peraturan tertulis benar-benar harus bersifat seimbang dan adil dalam mengayomi kepentingan seluruh masyarakat.
7
Dalam suatu perjanjian apapun bentuknya kepentingan para pihak harus dapat terakomodasi dengan seimbang baik hak maupun kewajiban, sehingga
perjanjian tersebut benar-benar dapat terlaksana dengan adil.
8
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang KUHD ketentuan mengenai asuransi diatur dalam Pasal 246 yang berbunyi :
”Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima
suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu
6
JJJ M, Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Jakarta, FE UI,
1996, hal. 203
7
Oltje Salman, Teori Hukum Suatu PencarianPenelahan, Renada Media, Jakarta 2007. hal. 19
8
Suharnoko, Hukum Perjanjian Dalam Teori dan Praktek. Citra Aditya Bakti, Bandung 2008, hal. 13
Universitas Sumatera Utara
10
kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu”.
Dari bunyi Pasal 246 KUHD tersebut diatas dapat dikatakan bahwa perjanjian asuransi ialah suatu perjanjian dimana penanggung menikmati suatu premi,
mengikatnya dirinya terhadap terganggung untuk membebaskannya dari kerugian, karena kehilangan atau lenyapnya keuntungan yang diharapkan karena suatu
kejadian yang tidak pasti. Jadi adanya kerugian yang disebabkan oleh kejadian yang tidak pasti tersebut adalah faktor yang tidak dapat diabaikan pada perjanjian asuransi.
Kemudian definisi pertanggungan tersebut dipertegas dalam Pasal 1 Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian yang menjelaskan bahwa dengan
adanya pertanggungan maka terbentuk hak dan kewajiban pada pihak dan tanggung jawab hukum penanggung kepada tertanggung timbul dari peristiwa yang tidak pasti,
atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Asuransi mempunyai tujuan pertama-tama ialah mengalihkan segala risiko yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa yang tidak pasti, yang tidak diharapkan
terjadi kepada orang lain yang mengambil risiko itu, untuk mengganti kerugian. Oleh sebab itu, selama tidak ada kerugian penanggung tidak akan membayar ganti
kerugian kepada tertanggung.
9
Selanjutnya dalam Pasal 247 KUHD menyebutkan pertanggungan-pertanggungan itu antara lain dapat mengenai bahya kebakaran,
bahaya yang mengancam hasil-hasil pertanian yang belum dipaneni, jiwa satu atau
9
Joko Prakoso, Hukum Asuransi Indonesia. Rineka Cipta, Jakarta, 1997. Hal. 279
Universitas Sumatera Utara
11
beberapa orang, bahaya laut atau pembudakan, bahaya yang mengancam pengangkutan didaratan, sungai dan lautan. Mengenai isi dari Pasal 247 KUHD
tersebut maka dapat dikatakan pada pokoknya ada 2 jenis asuransi yaiu : 1. Asuransi, yang meliputi asuransi kebakaran, asuransi pertanian, asuransi laut,
serta sauransi pengangkutan. 2. Asuransi jiwa, adalah suatu jasa yang diberikan oleh perusahaan asuransi
dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan jiwa atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.
10
Perbedaan pokok dari dua jenis asuransi tersebut adalah : 1
Pada asuransi jiwa ”peristiwa yang tak tertentu” terjadi, bila terjadi kematian dalam tegangan waktu yang lebih singkat dari waktu yang disebutkan dalam
polis. Pada asuransi kerugian ”peristiwa tak tertentu” terjadi bila pada masa tenggang waktu yang tersebut dalam polis terjadi hal-hal yang mengakibatkan
kerugian, misalnya pada asuransi kebakaran gudang yang diasuransikan terbakar.
2 Pada asuransi jiwa jumlah uang ganti kerugian telah ditetapkan terlebih dahulu
Pasal 305 KUHD. Pada
asuransi kerugian,
jumlah ganti
kerugian dihitung
dengan membandingkan harga barang yang rusak sebagai akibat hilang atau terbakar dengan
10
Bagus Irawan, Aspek-aspek Hukum Kepailitan Perusahaan dan Asuransi, Alumi Bandung
2007, hal. 5
Universitas Sumatera Utara
12
harga barang sebelum timbul kehilangan atau kebakaran.
11
Suatu perjanjian asuransi harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta, yang dinamakan polis. Hal ini diatur
dalam Pasal 255 KUHD, yang bunyinya : ”Suatu pertanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan
polis”.
12
Tetapi, berlakunya perjanjian asuransi sudah ada bila sudah dibentuk hak – hak dan kewajiban-kewajiban dari pada penanggung dan pihak tertanggung mulai
berlaku sejak adanya persetujuan antara penanggung dan tertanggung. Walaupun polis belum ditandatangani. Hal tersebut tercermin dalam Pasal 257 dan Pasal 258
KUHD. Berdasarkan uraian tersebut Wirjono Prodjodikoro, berpendapat : ”dari Pasal-
pasal 255, 257 dan 258 KUHD, dapat disimpulkan : a Persetujuan asuransi pada hakikatnya bersifat konsensual, artinya setelah ada
kata sepakat antara kedua belah pihak untuk mengadakan asuransi, maka sudah terbentuklah persetujuan asuransi.
b Tulisan polis mempunyai sifat khusus, yang berlainan dari tulisan lain selaku alat bukti dengan adanya hal-hal yang secara mutlak harus dimuat dalam
polis.” Dapat pendapat Wirjono Pradjodikoro tersebut, maka dapat dikatakan, bahwa
polis tetap mempunyai arti yang sangat penting bagi tertanggung. Sebab polis itu
11
Zulkarnain Ma’arif, Hukum Asuransi Selayang Pandang, Prenada Media, Jakarta, 2008,
hal. 26
12
R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Jakarta, PT. Paramita, Cetakan ke VI,
1959, hal. 73.
Universitas Sumatera Utara
13
merupakan bukti yang sempurna volledigbewijs tentang yang mereka janjikan di
dalam perjanjian asuransi dan polis satu-satunya alat bukti.
13
Mengenai asuransi jiwa, para sarjana ada yang mengidentifikasi dengan golongan
pertanggungan yang
tidak sesungguhnya,
atau yang
disebut ”sommerverzekering” atau pertanggungan sejumlah uang. Dalam hubungan ini,
penelitian perlu akan mengutip pendapat Vollmar, yang antara lain mengatakan : Secara luas
simmerverzekering itu dapat diartikan sebagai suatu perjanjian di mana satu pihak mengikatkan dirinya untuk membayar sejumlah
uang, secara sekaligus atau periodik, sedangkan pihak lain mengikatkan dirinya untuk membayar premi, dan pembayaran uang itu adalah tertanggung
kepada mati atau hidupnya seorang tertentu atau lebih, salah satu perjanjian itu adalah
lijfrente di dalam KUHD.
14
Walaupun tampaknya ada persamaan antara lijfrente dan perjanjian
asuransi jiwa, tetapi ada perbedaanya. Pada asuransi jiwa premi itu dibayar oleh tertanggung secara periodik di dalam tenggang waktu bertahun-tahun
lamanya, dan akan menerima atau menimbulkan hak atas pembayaran sejumlah uang pada dirinya atau ahli warisnya secara sekaligus dari
penanggung. Sedang pada
lijfrente, pemberian uang yang seperti premi itu adalah sekaligus, untuk mendapat pembayaran sejumlah uang secara
periodik. Perjanjian asuransi jiwa termasuk dalam jenis asuransi sejumlah uang.
15
Kewajiban debitur dalam mengasuransikan barang agunan yang telah dibebani dengan hak tanggungan merupakan kewajiban yang diharuskan oleh pihak
bank dimana pihak bank dapat menunjuk perusahaan asuransi yang merupakan bagian dari kelompok bisnisnya atau yang memiliki hubungan kerja sama dengan
pihak bank tersebut. Disamping itu pihak bank juga memberikan kebebasan kepada debitur untuk memilih sendiri perusahaan asuransi yang akan dijadikan perusahaan
13
Wirjono Pradjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, Intermasa, Jakarta, 1998, hal. 24
14
Emy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan Pertanggungan Kerugian pada Umumnya,
Kebayaran dan Jiwa, Penerbit Seksi Hukum Dagang Fakultas Universitas Gajah Mada, 1975, hal. 114
15
Djoko Prakoso., Op.Cit., hal. 281
Universitas Sumatera Utara
14
penanggung dari barang agunan yang telah dibebani dengan hak tanggungan yang akan diasuransikannya. Dalam pelaksanaan pengikatan asuransi terhadap barang
agunan yang telah dibebani dengan hak tanggungan tersebut antara debitur dan penanggung perusahaan asuransi memiliki perjanjian tertulis yang memuat hak dan
kewajiban para pihak yang harus dilaksanakan dalam perjanjian asuransi tersebut. Pihak penanggung perusahaan asuransi dalam hal ini setelah perjanjian asuransi
tersebut ditandatangani telah mengambil alih resiko terhadap barang agunan yang telah diasuransikan oleh debitur tersebut. Di dalam perjanjian asuransi pihak
penanggung selain menanggung resiko terhadap barang agunan tersebut juga menentukan premi yang harus dibayar debtur atas pengalihan resiko barang agunan
tersebut. Disamping pemberian premi oleh debitur kepada perusahaan asuransi, maka perusahaan asuransi berkewajiban pula memberikan manfaat kepada debitur selain
penanggungan resiko juga bunga atas premi yang telah dibayarkan oleh debitur selama jangka waktu asuransi berlangsung. Dalam praktek pelaksanaanya sering
sekali terjadi pihak asuransi tidak menginformasikan tidak memberikan bunga atas premi yang telah dibayarkan oleh debitur yang merupakan hak yang wajib diterima
oleh debitur sebagai tertanggung. Demikian pula apabila terjadi perpanjangan jangka waktu asuransi atau penggantian perusahaan asuransi oleh debitur, hak tertanggung
debitur yang telah mengasuransikan barang agunan para perusahaan asuransi tersebut berupa bunga atas premi yang telah dibayarkan oleh tertanggung yang
merupakan hak dari debitur tersebut tidak diberikan oleh pihak penanggung
Universitas Sumatera Utara
15
perusahaan asuransi tersebut. Hal ini jelas merugikan hak dari debitur sebagai tertanggung secara material.
Manfaat yang diperoleh oleh bank atas diasuransikannya barang agunan yang telah dibebani dengan hak tanggungan dalam suatu perjanjian kredit adalah bahwa
bank akan lebih terlindungi karena sebagian resiko kredit khususnya resiko terhadap barang
agunan telah
dialihkan ke
pihak perusahaan asuransi
yang telah menandatangani perjanjian asuransi dengan pihak debitur bank. Kewajiban dalam
mengasuransikan barang agunan yang telah dibebani dengan hak tanggungan dalam suatu perjanjian kredit perbankan diatur di dalam Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor 27162KEPDirTanggal 31 Maret 1995 tentang Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank PPKPB. Bank akan memberikan
persetujuan baik sebagian maupun seluruhnya permohonan kredit dari calon nasabah debitur tetapi akan ditegaskan terlebih dahulu mengenai syarat-syarat fasilitas kredit
dan prosedur yang harus ditempuh oleh nasabah dalam rangka melindungi kepentingan bank. Adapun langkah-langkah yang harus dijalani adalah :
a. Surat Penegasan Persetujuan Permohonan Kredit kepada pemohon dibuat secara tertulis dalam 5 lima rangkap. Surat ini merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan dari surat perjanjian kredit karena dengan tegas telah disebutkan nomor dan tanggalnya
b. Pengikatan Jaminan c. Penandanganan Perjanjian Kredit
d. Penandatangan Surat Aksep
Universitas Sumatera Utara
16
e. Membuat informasi untuk bagian lain, misalnya bagian kas dan bagian eksporimpor
f. Pembayaran biaya material kredit g. Pembayaran provisi kredit atau
commitment fee h. Mengasuransikan barang agunan
i. Membuat asuransi kredit Dalam Pasal 1 Butir 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan dirumuskan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamahan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan minjam
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Berdasarkan pengertian di atas menunjukkan bahwa prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur atas kredit yang diberikan kepadanya adalah tidak semata-
mata melunasi hutangnya, tetapi juga disertai dengan bunga sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Berkaitan dengan pengertian kredit di atas
menurut ketentuan Pasal 1 Butir 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor 72 PBI2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, yang dimaksud dengan kredit adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu, dengan pemberian bunga termasuk : a Cerukan
overdraft, yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;
Universitas Sumatera Utara
17
b Pengambil alihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; c pengambil alihan atau pembelian kredit dari pihak lain.
16
Sebagaimana diketahui bahwa unsur esensial dari kredit pada bank adalah adanya kepercayaan dari bank sebagai kreditur terhadap nasabah peminjam sebagai
debitur. Kepercayaan tersebut timbul karena dipenuhinya segala ketentuan dan persyaratan untuk memperoleh kredit bank oleh debitur antara lain jelasnya tujuan
peruntukan kredit, adanya benda jaminan atau agunan dan lain-lain. Makna dari kepercayaan tersebut adalah adanya keyakinan dari bank sebagai kreditur bahwa
kredit yang diberikan akan sungguh-sungguh diterima kembali dalam jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan. Dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Perkreditan
Thomas Suyatno mengemukakan bahwa unsur-unsur kredit terdiri atas : a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang
diberikannya baik dalam bentuk uang barang, atau jasa, akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang.
b. Tenggang waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan
datang. Dalam unsur waktu ini, terkandung pengertian nilai agio dari uang, yaitu uang yang ada sekarang lebih tinggi nilainya dari uang yang akan
diterima pasa masa yang akan datang.
17
16
Chattamarrsjid, Kapita Selekta Hukum Perusahaan,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000,
hal. 32
17
Burhanuddin Abdullah, Analisa Kelayakan Kredit Perbankan, LP3EES Indonesia, Jakarta,
2005, hal. 7
Universitas Sumatera Utara
18
c. Degree of risk, yaitu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari
adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima kemudian hari. Semakin lama kredit
diberikan semakin tinggi pula tingkat risikonya, karena sejauh-jauh kemampuan
manusia untuk
menerobos masa
depan tidak
dapat diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur risiko. Dengan
adanya unsur risiko inilah, maka timbullah jaminan dalam pemberian kredit. d. Prestasi atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi
juga dapat berbentuk barang, atau jasa. Namun, karena kehidupan ekonomi modern sekarang ini didasarkan kepada uang, maka transaksi-transaksi kredit
yang menyangkut uanglah yang setiap kali kita jumpai dalam praktik perkreditan.
18
Bertitik tolak dari pendapat di atas maka bisa dikemukakan bahwa selain unsur kepercayaan tersebut, dalam permohonan dan pemberian kredit juga
mengandung unsur lain yaitu unsur waktu, unsur resiko dan unsur prestasi. Dalam pemberian kredit ditentukan juga unsur waktu. Unsur waktu ini merupakan jangka
waktu atau tenggang waktu tertentu antara pemberian atau pencairan kredit oleh bank dengan pelunasan kredit oleh debitur. Lazimnya pelunasan kredit tersebut
dilakukan melalui angsuran cicilan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan antara debitur dan kreditur dalam perjanjian
kredit. Yang dimaksud dengan resiko adalah kewajiban memikul kerugian yang
18
Thomas Suyatno, Dasar-Dasar Prekreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hal. 47
Universitas Sumatera Utara
19
disebabkan karena suatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak. Berkaitan dengan pemberian kredit oleh bank debitur tentu pula mengandung resiko usaha bagi
bank. Resiko disini adalah resiko dari kemungkinan ketidakmampuan dari debitur untuk membayar angsuran atau melunasi kreditnya karena sesuatu hal tertentu yang
tidak dikehendaki. Oleh karena itu semakin lama jangka waktu atau tenggang waktu yang diberikan untuk pelunasan kredit maka semakin besar pula resiko bagi bank.
19
Setiap perjanjian tentu mengandung adanya prestasi dan kontraprestasi. Oleh karena itu dalam perjanjian kredit sejak saat adanya kesepakatan atau persetujuan
dari kedua belah pihak bank dan nasabah debitur telah menimbulkan hubungan hokum atau menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak sesuai
dengan kesepakatan yang telah disepakati. Bank sebagai kreditur berkewajiban untuk memberikan kredit sesuai dengan jumlah yang telah disetujui, dan atas prestasinya
tersebut bank berhak untuk memperoleh pelunasan kredit dan bunga dari debitur sebagai kontraprestasinya.
20
Berdasarkan jangka waktu dan penggunaanya kredit dapat digolongkan menjadi 3 jenis yaitu :
a. Kredit Investasi, yaitu kredit jangka menengah atau panjang yang diberikan kepada debitur
untuk membiayai barang-barang modal dalam rangka rehabilitas, misalnya pembelian tanah dan bangunan untuk pelunasan pabrik
19
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1987, hal. 25
20
Abdul Kadir Muhammad, Dasar-Dasar Hukum Perbankan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2006, hal. 23
Universitas Sumatera Utara
20
yang pelunasannya dari hasil usaha dengan barang-barang modal yang dibiayai tersebut.
b. Kredit Modal Kerja, yaitu kredit modal kerja yang diberikan baik dalam rupiah maupun valuta asing untuk memenuhi modal kerja yang habis dalam
satu siklus usaha dengan jangka waktu maksimal 1 satu tahun dan dapat diperpanjang sesuai kesepakatan antara para pihak yang bersangkutan.
c. Kredit Konsumsi, yaitu kredit jangka pendek atau panjang yang diberikan kepada debitur untuk membiayai barang-barang kebutuhan atau konsumsi
dalam skala kebutuhan rumah tangga yang pelunasannya dari penghaislan bulanan nasabah debitur yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, kredit
konsumsi merupakan kredit perorangan untuk tujuan nonbisnis, termasuk kredit pemilikan rumah. Kredit konsumsi biasanya digunakan untuk
membiayai pembelian mobil atau barang konsumsi barang tahan lama lainnya.
21
Mengenai ketentuan dan persyaratan umum dalam pemberian kredit oleh perbankan terdiri dari 9 persyaratan sebagai berikut yaitu :
1. Mempunyai feasibility study, yang dalam penyusunannya melibatkan
konsultan yang terkait. 2. Mempunyai dokumen administrasi dan izin-izin usaha, misalnya akta
perusahaan, NPWP, SIUP dan lain-lain.
21
Bambang Sugono, Pengantar Hukum Perbankan, Mandar Maju, Bandung, 2001, hal. 18
Universitas Sumatera Utara
21
3. Maksimum jangka waktu kredit adalah 15 tahun dan masa tenggang waktu grace period maksimum 4 tahun.
4. Agunan utama adalah usaha yang dibiayai. Debitur menyerahkan agunan tambahan jika menuntut penilaian bank diperlukan. Dalam hal ini akan
melibatkan pejabat penilai appraiser independen untuk menentukan nilai
agunan. 5. Maksimum pembiayaan bank adalah 65 enam puluh lima persen dan
self financing adalah sebesar 35 tiga puluh lima persen.
6. Penarikan atau pencairan kredit biasanya didasarkan atas dasar prestasi proyek. Dalam hal ini biasanya melibatkan konsultan pengawas independen
untuk menentukan progres proyek. 7. Pencairan biasanya dipindahbukukan ke rekening giro.
8. Rencana angsuran ditetapkan atas dasar cash flow yang disusun berdasarkan
analisis dalam feasibility study.
9. Pelunasan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan.
22
Dalam pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip perbankan, bank wajib memerhatikan hal-hal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat 1 dan
ayat 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang berbunyi : Pasal 8 ayat 1 :
Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang
mendalam atas itikad dan kemampuan serta keseanggupan nasabah debitur
22
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000, hal. 24
Universitas Sumatera Utara
22
untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan diperjanjijan.
Pasal 8 Ayat 2 : Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Berkaitan dengan itu menurut penjelasan Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dikemukakan bahwa pedoman perkreditan
dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang wajib dimiliki dan diterapkan oleh bank dalam pemberian kredit dan
pembiayaan adalah sebagai berikut : a. Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dibuat dalam
bentuk perjanjian tertulis. b. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah
debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan modal agunan, dan proyek usaha dari nasabah debitur.
c. Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.
d. Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.
e. Laarangan bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada nasabah debitur
danatau pihak – pihak terafiliasi. f. Penyelesaian sengketa.
Universitas Sumatera Utara
23
Ketentuan Pasal 8 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut di atas merupakan landasan bagi bank dalam menyalurkan kreditnya
kepada nasabah debitur. Lebih dari itu karena pemberian kredit merupakan salah satu fungsi utama dari bank, maka dalam ketentuan tersebut juga mengandung dan
menerapkan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan.
Untuk mencegah terjadinya kredit bermasalah dikemudian hari, penilaian suatu bank untuk
memberikan persetujuan terhadap suatu permohonan kredit dilakukan dengan berpedoman kepada Formula 4P dan 5C yaitu : a
Personality, b Purpose, c, Prospect d Payment, dan a Character, b Capacity, c Capital, d Collateral,
eCondition of Economy
23
Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana dua orang atau dua pihak saling berjanji untuk melakukan suatu hal atau suatu persetujuan yang dibuat oleh dua
pihak atau lebih, masing-masing bersekapat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.
Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok prinsipil yang bersifat riil.
Sebagai perjanjian prinsipiil, maka perjanjian jaminan adalah assessor-nya. Ada
berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil ialah
bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank
kepada nasabah debitur.
24
Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan pada umumnya menggunakan bentuk perjanjian baku
standard contract. Berkaitan dengan itu,
23
Zainal Asikin, Studi Kelayakan Kredit Perbankan, Tarsito, Bandung, 2008, hal. 69
24
Yusuf Anwar, Aspek-Aspek Hukum Keuangan dan Perbankan Suatu Tinjauan Praktis,
Mitra Ilmu, Surabaya, 2006, hal. 12
Universitas Sumatera Utara
24
memang dalam praktiknya bentuk perjanjiannya telah disediakan oleh pihak bank sebagai kreditur sebagai debitur hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik.
Perjanjian yang demikian itu biasa disebut dengan perjanjian baku standard
contract, di mana dalam perjanjian tersebut pihak debitur hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk melakukan negosiasi atau
tawar-menawar. Apabila debitur menerima semua ketentuan dan persyaratan yang ditentukan
oleh bank, maka ia berkewajiban untuk menandatangani perjanjian kredit tersebut, tetapi apabila debitur menolak ia tidak perlu untuk menandatangani perjanjian kredit
tersebut. Perjanjian kredit ini perlu memperoleh perhatian yang khusus baik oleh bank
sebagai kreditur maupun oleh nasabah sebagai debitur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaan dan
penatalaksanaan kredit tersebut. Berkaitan dengan itu, menurut Gatot Wardoyo perjanjian kredit mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut :
1 Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok. 2 Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak
dan kewajiban di antara kreditur dan debitur. 3 Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan
monitoring kredit. Untuk memperoleh keyakinan dari pihak bank sebelum memperoleh kredit
bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari nasabah debitur. Mengingat bahwa agunan sebagai
Universitas Sumatera Utara
25
salah satu unsur pembagian kredit maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan nasabah debitur mengembalikan
utangnya, agunan dapat hanya berupa barang proyek, atau hak tagih yang dibiayai oleh kredit yang bersangkutan.
25
Menurut ketentuan Pasal 2 ayat 1 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 2369KEPDIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit,
bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.
Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 butir 23 yang dimaksud dengan agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka
pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. Berdasarkan pada pengertian jaminan di atas maka dapat dikemukakan
bahwa fungsi utama dari jaminan adalah untuk meyakinkan bank atau kreditur bahwa debitur mempunyai kemampuan untuk melunasi kredit yang diberikan
kepadanya sesuai dengan perjanjian kredit yang telah disepakati bersama. 1. Jaminan Perorangan
Personal Guaranty Jaminan perorangan atau jaminan pribadi adalah jaminan seorang
pihak ketiga yang bertindak untuk menjamin di penuhinya kewajiban-kewajiban dari
debitur. Dalam pengertian lain dikatakan bahwa jaminan perseorangan adalah suatu perjanjian antara seorang berpiutang kreditur dengan seorang pihak ketiga, yang
25
Gatot Wardoyo, Hukum Perbankan dan Praktek Pelaksanaanya, Renada Media, Jakarta,
2007, hal. 29
Universitas Sumatera Utara
26
menjamin dipenuhinya kewajiban – kewajiban si berutang debitur. Ia bahkan dapat diadakan di luar tanpa pengetahuan si berutang tersebut.
Dalam perjanjian perorangan selalu dimaksudkan bahwa untuk pemenuhan kewajiban – kewajiban si berutang, yang dijamin pemenuhan seluruhnya atau sampai
suatu bagian jumlah tertentu, harta benda si penanggung penjamin bisa disita dan dilelang menurut ketentuan-ketentuan perihal pelaksana eksekusi putusan – putusan
pengadilan. 2. Jaminan Kebendaan
Jaminan kebendaan merupakan suatu tindakan berupa suatu penjaminan yang dilakukan oleh kreditur terhadap debitur, atau antara kreditur dengan seorang pihak
ketiga guna menjamin dipenuhinya kewajiban – kewajiban dari debitur. Jaminan kebendaan dapat diadakan antara kreditur dengan debiturnya, tetapi
juga dapat diadakan antara kreditur dengan seorang pihgak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban dari si berutang debitur.
Pemberian jaminan kebendaan selalu berupa menyendirikan suatu bagian dari kekayaan seseorang, si pemberi jaminan dan menyediakannya guna pemenuhan
pembayaran kewajiban utang dari seorang debitur. Kekayaan tersebut dapat berupa kekayaan si debitur sendiri atau kekayaan seorang pihak ketiga. Penyendirian
atau penyediaan secara khusus itu diperuntukkan bagi keuntungan seorang debitur tertentu yang telah memintanya, karena bila tidak ada penyendirian atau penyediaan
khusus itu, bagian dari kekayaan tadi, seperti halnya dengan seluruh kekayaan si debitur dijadikan jaminan untuk pembayaran semua utang debitur.
Universitas Sumatera Utara
27
Oleh karena itu, pemberian jaminan kebendaan kepada seorang debitur tertentu, memberikan kepada kreditur tersebut suatu
privilage atau kedudukan istimewa terhadap kreditur lainnya.
26
Dalam penelitian ini jaminan kebendaan yang dimaksud adalah benda tidak bergerak berupa tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang dapat
dibebani hak tanggungan dan akan dijadikan agunan oleh pemiliknya kepada pihak bank.
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan menyebutkan bahwa, “Hak Tanggungan atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak
berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain”.
Hak Tanggungan merupakan implementasi dari amanat Pasal 51 UUPA No.5 Tahun 1960 sebagai upaya untuk dapat menampung serta sekaligus mengamankan
kegiatan perkreditan dalam upaya memenuhi kebutuhan tersedianya dana untuk menunjang kegiatan pembangunan.
27
Sebagai bagian dari Hukum Jaminan, Hak Tanggungan memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap
kreditur-kreditur lainnya droit de preference. Hak Tanggungan mempunyai
bebeberapa ciri pokok yaitu:
26
Munir Fuadi, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002,
hal. 35
27
Maria SW Sumardjono, Prinsip-Prinsip Dasar Dan Beberapa Isu Di Seputar Undang-
Undang Hak Tanggungan, Citra Aditya Bakti Bandung, 1996, hal.67.
Universitas Sumatera Utara
28
1. memberikan kedudukan diutamakan preferensi kepada kreditur-krediturnya
2. selalu mengikuti objeknya dalam tangan siapapun berada
3. memenuhi asas spesialitas dan publisitas
4. mudah serta pasti pelaksanaan eksekusinya.
28
Dalam hukum perdata, perjanjian kredit adalah termasuk dalam perjanjian tak bernama, karena tidak dikenal dalam KUH Perdata. Walaupun usianya sama dengan
usia Bank, sampai saat ini belum ada ketentuan perundang undangan yang mengatur perjanjian kredit.
29
Dalam praktek perbankan, yang menjadi dasar hukum perjanjian kredit adalah unsur kesepakatan konsensualisme yang tertuang dalam perjanjian antara
bank dengan debitur. Azas kebebasan berperjanjian partij otonomos, azas itikad
baik good faith, azas setiap janji harus dipatuhi pacta sun servanda dan azas
kehati- hatian prudential
.30
2. Konsepsi