BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan diuraikan tentang: a latar belakang, b rumusan masalah, c tujuan penelitian, d manfaat penelitian dan e penegasan istilah.
A. Latar Belakang Masalah
Tujuan pembelajaran matematika di sekolah adalah untuk mempersiapkan peserta didik agar bisa menghadapi perubahan kehidupan dan dunia yang selalu
berkembang dan sarat perubahan, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran logis, rasional dan kritis. Selain itu juga untuk mempersiapkan siswa agar dapat
bermatematika dalam kehidupan sehari-hari, mempelajari ilmu pengetahuan, teknologi dan seni IPTEKS.
Oleh karena itu bekal yang sangat pokok dimiliki manusia adalah kemampuan belajar yang akan membawanya mengalami banyak perkembangan
di berbagai bidang kehidupan. Dalam buku W.S. Winkel perkembangan dapat diartikan sebagai proses berlangsungnya perubahan-perubahan dalam diri
seseorang, yang membawa penyempurnaan dalam kepribadiannya.
1
Proses perubahan dari belum mampu ke arah sudah mampu dan proses perubahan itu
terjadi selama jangka waktu tertentu. Adanya perubahan dalam pola perilaku
1
W.S. Winkel, Psikologi Pengajaran, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 1996, hal.16
1
inilah yang menandakan telah terjadi belajar. Salah satu cara yang menjembatani proses belajar adalah melalui pendidikan.
Arti pendidikan menurut UU No. 20 th 2003 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
2
Sedangkan dalam buku Muhibbin Syah, pendidikan diartikan sebagai tahapan kegiatan yang bersifat kelembagaan seperti sekolah dan
madrasah yang dipergunakan untuk menyempurnakan perkembangan individu dalam menguasai pengetahuan, kebiasaan, sikap, dan
sebagainya.
3
Dari dua pengertian tersebut menunjukkan bahwa pendidikan merupakan suatu proses bimbingan yang didalamnya mengandung unsur seperti pendidik,
anak didik, tujuan dan sebagainya. Tujuan itu sendiri dalam Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, BAB II Pasal 4 dinyatakan:
Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang
beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan
rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
4
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam melakukan peningkatan kualitas pendidikan, salah satunya yaitu dengan mengadakan
perubahan kurikulum dari Kurikulum Berbasis Kompetensi KBK menjadi
2
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 4
3
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005, hal. 11
4
Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008, hal. 1
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP. Menurut PP Nomor 192005 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah kurikulum operasional yang
disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.
5
Hal ini mengisyaratkan bahwa setiap satuan pendidikan diberi kewenangan menyusun kurikulumnya sendiri dengan tetap mengacu pada Badan Standar
Nasional Pendidikan BSNP. Oleh karena itu guru perlu memahami kondisi kognitif dari siswa dan mengatur tingkat proses belajar karena setiap siswa akan
melalui tahapan-tahapan kognitif. Ini sesuai dengan pendapat E.T Russefendi bahwa agar anak didik memahami dan mengerti akan konsep struktur
matematika seyogyanya diajarkan dengan urutan konsep murni, dilanjutkan dengan konsep notasi dan diakhiri dengan konsep terapan.
6
Pemilihan topik pembelajaran harus disesuaikan dengan pengalaman belajar siswa. Dalam buku Herman Hudojo, kriteria pemilihan topik harus
memperhatikan: validitas, signifikansi, kesiapan intelektual dan kegunaan. Kesiapan intelektual yang dimaksud adalah bahwa topik yang dipilih sesuai
dengan tahap perkembangan intelektual siswa dan pengalaman yang telah dimilki siswa. Tingkat kesulitan harus dipilih sehingga dapat dipelajari siswa.
7
5
Susanto, Pengembangan KTSP dengan Perspektif Manajemen Visi, Matapena, 2007, hal. 17
6 6
Lisnawati Simanjuntak, et. all., Metode Mengajar Matematika Jilid I, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993, hal. 72
7
Herman Hudojo, Pengembangan Kurikulum Pembelajaran Matematika, Malang: JICA, 2001, hal. 9-10
Guru haruslah paham bahwa siswa yang diajar memiliki kemampuan yang heterogen. Kompetensi antara individu yang beragam dapat menimbulkan
ketidakberdayaan yang dipelajari bagi yang lemah dan menimbulkan kebosanan bagi yang terlalu kuat.
Setiap peserta didik memiliki perbedaan yang unik, mereka memiliki kekuatan, kelemahan, minat dan perhatian yang berbeda-beda, latar
belakang keluarga, latar belakang sosial ekonomi dan lingkungan, membuat peserta didik berbeda dalam aktivitas, kreativitas, intelegensi,
dan kompetensinya.
8
Mengingat kemampuan kognitif tiap siswa dan segala sesuatu yang terkait dengan berpikir berbeda-beda untuk setiap tahap perkembangan maka akan
kurang efisien tujuan pembelajaran jika pengajaran konsep atau materi matematika diberikan sebelum siswa mencapai tahap perkembangan kognitif
tersebut. Gaya kognitif berkaitan dengan cara siswa menghadapi soal-soal. Menurut
Hallahan, Kauffman, dan Llyod anak ada yang bertipe kognitif terikat pada lingkungan yang mudah terkecoh dan ada yang tidak terikat pada lingkungan
sehingga bisa fokus. Selain itu ada juga anak yang bergaya kognitif impulsif dan reflektif. Anak yang impulsif cenderung menjawab persoalan secara cepat tetapi
membuat banyak kesalahan, sedangkan anak reflektif cenderung menjawab persoalan secara lebih lambat tetapi hanya membuat sedikit kesalahan.
9
8
E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008, hal. 27
9
Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003, hal. 172-174
Agar dapat membantu siswa berkesulitan belajar matematika, guru perlu mengenal berbagai kesalahan umum yang dilakukan oleh siswa dalam
menyelesaikan tugas-tugas dalam bidang studi matematika. Beberapa kekeliruan umum tersebut menurut Lenner adalah kekurangan pemahaman tentang: 1
simbol, 2 nilai tempat, 3 perhitungan, 4 penggunaan proses yang keliru dan 5 tulisan yang tidak terbaca.
10
Kesalahan yang dilakukan siswa menurut Lenner tersebut bertolak belakang dengan potensi anak yang mahir matematika. Menurut As’ari potensi
tersebut diantaranya: menguasai konsep, kelancaran prosedur, kompeten, penalaran yang logis dan positif disposition sikap bahwa matematika bemanfaat
dalam penerapan kehidupan.
11
Dari sini diharapkan setelah guru mengetahui kesalahan umum yang dilakukan siswa, maka guru bisa mengambil tindakan
untuk membentuk siswa yang berpotensi. Hal yang mempengaruhi kesalahan siswa biasa disebabkan karena faktor
internal dan eksternal. Faktor internal sering dihubungkan dengan minat belajar dan tingkat kognitif siswa. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh adalah
dari orang tua, guru dan media pembelajaran. Beberapa aspek tersebut secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap cara-cara siswa dalam
mengerjakan soal.
10
Ibid., hal. 262
11
Moch. Masykur dan Abdul Halim Fathani, Mathematical Intelligence Cara Cerdas Melatih Otak dan Menanggulangi Kesulitan Belajar, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008, hal. 81-82
Kesalahan-kesalahan yang dilakukan tiap siswa cenderung pada ranah kognitif yang berbeda, dari tahap dasar sampai tahap tertinggi. Dalam ranah
kognitif tersebut menurut Benjamin S. Bloom terdapat enam jenjang proses berpikir mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang paling tinggi. Keenam
jenjang dimaksudkan adalah: 1 pengetahuanhafalaningatan knowledge, 2 pemahaman comprehension, 3 penerapan application, 4 analisis analysis,
5 sintesis synthesis dan 6 penilaian evaluation.
12
Klasifikasi Bloom secara logis dan sistematis menunjukkan bahwa awal suatu pembelajaran adalah pembelajaran tentang hal-hal yang mendasar
pengetahuan sebelum hal-hal yang sangat rumit atau tujuan-tujuan yang lebih tinggi tingkat kesulitannya pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan
evaluasi. Beberapa aspek kejiwaan yang telah disebutkan, sebagian hanya cocok
diterapkan di Sekolah Dasar ingatan, pemahaman dan aplikasi, sedangkan analisis, sintesis dan evaluasi baru dapat dilatihkan di SLTP, SMU dan Perguruan
Tinggi secara bertahap.
13
Meskipun demikian tahapan berpikir terendah jangan sampai membuat siswa pada tingkat SMP, SMA dan selanjutnya jadi
mengesampingkan tahap berfikir tersebut sebab setiap tahap merupakan persyaratan bagi tahap berikutnya.
12
Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 50
13
Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008, hal. 121
Kesalahan-kesalahan siswa baik dari segi konsep maupun prosedural bila dikaitkan dengan karakteristik matematika, tidak menutup kemungkinan
kesalahan-kesalahan itu terjadi. Karakteritik pembelajaran matematika sekolah salah satunya adalah pembelajaran matematika berjenjang bertahap yaitu
dimulai dari hal konkrit dilanjutkan ke hal yang abstrak, dari hal yang sederhana ke hal yang kompleks. Objek matematika yang abstrak merupakan penyebab
mendasar yang berakibat seorang guru tidak mudah mengajar matematika. Salah satu hal inilah yang memfaktori siswa melakukan kesalahan dalam menyelesaikan
soal matematika. Materi lingkaran yang umumnya tidak mudah bagi siswa banyak juga yang memerlukan langkah abstrak-konkret-abstrak.
Dari semua uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang ditujukan untuk mengetahui pada tahap apa kesalahan umum yang dilakukan
siswa dalam menyelesaikan soal lingkaran menurut Taksonomi Bloom dan sejauh mana pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap kesalahan yang dilakukan
siswa di SMPN 1 Boyolangu. Berdasarkan wawancara prapenelitian dengan guru mata pelajaran
matematika di SMPN 1 Boyolangu, siswa kelas VIII memiliki kemampuan kognitif yang heterogen. Hal ini mengakibatkan kesalahan-kesalahan yang
dilakukan siswa berada pada tahap yang berbeda-beda. Namun tahap kesalahan umum siswa dalam menyelesaikan soal matematika khususnya materi lingkaran
dan faktor-faktor yang menyebabkan kesalahan tersebut belum pernah dianalisis di SMPN 1 Boyolangu.
Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian dengan judul “Analisis Kesalahan Siswa Kelas VIII D dalam Menyelesaikan Soal
Lingkaran Menurut Taksonomi Bloom di SMPN I Boyolangu Tahun Ajaran 20092010” ditinjau dari ranah kognitif serta pengaruh faktor internal dan
eksternal yang memfaktori kesalahan tersebut.
B. Rumusan Masalah