IDENTIFIKASI Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) PADA TENAGA MEDIS DAN PARAMEDIS DI RUANG PERINATOLOGI DAN RUANG OBSTETRIK GINEKOLOGIK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ABDUL MOELOEK
(2)
ABSTRACT
IDENTIFICATION OF Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) IN CLINICIANS AND PARAMEDICS IN THE PERINATOLOGY AND
OBSTETRIC GYNAECOLOGIC ROOM OF ABDUL MOELOEK REGIONAL HOSPITAL
By
BOBBY SETIAWAN
Some last decades, the incidence of Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) are increasing in the world. MRSA is a Staphylococcus aureus bacteria that has resistance to the methicilin antibiotics. More than half of infection that relate to Staphylococcus aureus in the health center are caused by MRSA. pneumonia, bacteremia atau septicemia, celulitis, endocarditis, meningitis dan osteomyelitis are the diseases that caused by MRSA. Neonatal and obstetric gynecology room have high enough potency of MRSA incidence. This research is aimed to know the present of Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) in the clinicians and paramedics in perinatology and obstetric gynecologic room of the Abdul Moeloek Regional Hospital.
This is a laboratory descriptive research with cross sectionalapproach. Samples are the hand swab from 68 clinicians and paramedics. 34 samples from perinatology room and 34 samples from obstetric gynecology room. This research has done by collect and isolate samples and continued by culture. The Staphylococcus aureus positive culture are grown in the nutrient broth agar. Then, they are grown in the sheep blood agar that has cefoxitin disk, after that, we can assessed the resistance by assess the inhibiting zone that present around the antibiotic disk.
From 68 samples, there are Staphylococcus aureus positive samples are 46 samples (67,7%) and 22 samples (32,3%) are non Staphylococcus aureus. From
(3)
obstetric gynecology room. Based on the results, we know that, there are MRSA positive in clinicians and paramedics in Abdul Moeloek Regional Hospital.
(4)
ABSTRAK
IDENTIFIKASI Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) PADA TENAGA MEDIS DAN PARAMEDIS DI RUANG PERINATOLOGI DAN
RUANG OBSTETRIK GINEKOLOGIK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ABDUL MOELOEK
Oleh
BOBBY SETIAWAN
Pada beberapa dekade belakangan, insiden infeksi Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) terus meningkat di berbagai belahan dunia. MRSA adalah bakteri Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik jenis metisilin. Lebih dari separuh infeksi terkait Staphylococcus aureus di pusat pusat kesehatan disebabkan oleh MRSA. Penyakit yang biasanya disebabkan oleh infeksi MRSA antara lain pneumonia, bakteremia atau septikemia, selulitis, endokarditis, meningitis dan osteomieletis. Ruang neonatal dan obstetrik-ginekologi adalah area yang memiliki resiko cukup tinggi untuk terjadinya MRSA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pada tenaga medis dan paramedis di ruang
(5)
perinatologi dan ruang obstetrik - ginekologik Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorik dengan pendekatan cross sectional. Sampel berasal dari swab tangan tenaga medis dan paramedis yang dibagi menjadi dua, yaitu 34 sampel berasal dari ruang perinatologi dan 34 sampel berasal dari ruang obstetrik ginekologi. Penelitian dilakukan dengan pengambilan dan isolasi spesimen dilanjutkan dengan kultur. Kultur positif Staphylococcus aureus ditanam dalam nutrient broth. Selanjutnya, ditanam pada media Agar Darah Domba (ADD) yang diletakkan cakram cefoxitin, baru kemudian dinilai resistensinya dengan menilai zona hambat yang terbentuk disekitar cakram antibiotika.
Dari 68 sampel didapatkan sampel yang terdapat bakteri Staphylococcus aureus berjumlah 46 sampel (67,7%) dan 22 sampel (32,3%) non Staphylococcus aureus. Berdasarkan 46 sampel yang terdapat Staphylococcus aureus, 15 sampel (32,6%) positif MRSA. Berdasarkan 15 sampel yang positif MRSA, sebanyak 10 sampel (60,7%) berasal dari ruang perinatologi, sedangkan 5 sampel (29,3%) lainnya berasal dari ruang perawatan obstetrik ginekologi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa ada MRSA yang positif pada tenaga medis dan paramedis di ruang [perinatologi dan obstetric ginekologi RSUDAM.
Kata kunci : Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus, Paramedis, Tenaga Medis
(6)
(7)
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
I . PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan Penelitian ... 3
1.3.1 Tujuan Umum ... 3
1.3.2 Tujuan Khusus... 4
1.4 Manfaat Penelitian ... 4
1.5 Kerangka Teori... 4
1.6 Kerangka Konsep ... 7
1.7 Hipotesis ... 7
II . TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Staphylococcus aureus ... 8
2.1.1 Patogenisitas ... 9
2.1.2 Struktur Antigen ... 11
2.1.3 Faktor Virulensi... 12
2.2 Metichillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) ... 14
2.2.1 Epidemiologi ... 15
2.2.2 Klasifikasi... 18
(9)
2.2.4 Cara Penyebaran ... 21
2.2.5 Cara Mendeteksi MRSA ... 22
2.3 Resistensi Antibiotik ... 24
2.4.1 Kelas Resistensi Staphylococcus ... 26
2.4.2 Mekanisme Resistensi MRSA ... 28
2.4 Tenaga Medis dan Paramedis ... 34
2.5 Pemeriksaan MRSA ... 36
III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian ... 38
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38
3.3 Populasi dan Sampel ... 39
3.4 Variabel Penelitian ... 40
3.4.1 Variabel Bebas ... 40
3.4.2 Variabel Terikat... 40
3.5 Definisi Operasional ... 41
3.6 Bahan dan Alat Penelitian ... 42
3.7 Prosedur Penelitian ... 42
3.8 Skema Prosedur Penelitian ... 45
3.9 Analisis Data ... 46
3.9 Etika Penelitian ... 46
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 47
4.2 Pembahasan ... 53
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 57
(10)
DAFTAR PUSTAKA ... 59
(11)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Perbedaan CA-MRSA dan HA-MRSA ... 20
2. Kronologi Infeksi S. aureus dan Resistensinya... 25
3. Mekanisme Resistensi Antibiotik ... 28
4. Analisis Data ... 46
5. Karakteristik Metichillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pada Tenaga Medis dan Paramedis di Ruang perinatologi dan Ruang obstetrik dan ginekologi RSUDAM ... 49
(12)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Teori... 6
2. Kerangka Konsep ... 7
3. Staphylococcus aureus Dilihat dari Mikroskop Elektron ... 8
4. Skema Prosedur Penelitian ... 45
5. Gambaran Bakteri Hasil Isolat pada Tenaga Medis dan Paramedis di Ruang Perinatologi dan Ruang Obstetrik Ginekologi RSUDAM ... 47
6. Gambaran uji sensitifitas Bakteri Staphylococcus aureus Hasil Isolat pada Tenaga Medis dan Paramedis di Ruang Perinatologi dan Ruang Obstetrik Ginekologi RSUDAM. ... 48
7. Gambaran Hasil Isolat pada Tenaga Medis dan Paramedis di Ruang Perinatologi RSUDAM ... 49
8. Gambaran uji sensitifitas Bakteri Staphylococcus aureus Hasil Isolat pada Tenaga Medis dan Paramedis di Ruang Perinatologi RSUDAM. ... 50
9. Gambaran Hasil Isolat pada Tenaga Medis dan Paramedis di Ruang Obstetrik Ginekologi RSUDAM ... 50
(13)
10.Gambaran uji sensitifitas Bakteri Staphylococcus aureus Hasil Isolat pada Tenaga Medis dan Paramedis di Ruang Obstetrik
Ginekologi RSUDAM. ... 51 11.Gambaran Bakteri Hasil Isolat pada Tenaga Medis dan
Paramedis di Ruang Perinatologi dan Ruang Obstetrik
(14)
I.PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Pada beberapa dekade belakangan, insiden infeksi Metichillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) terus meningkat di berbagai belahan dunia. Di Asia, prevalensi infeksi MRSA kini mencapai 70%, sementara di Indonesia pada tahun 2006 prevalensinya berada pada angka 23,5% (Sulistyaningsih, 2010). Data terbaru tahun 2005 dari Pusat Kontrol Penyakit dan Pencegahan Penyakit menunjukan bahwa 59,9% dari infeksi terkait Staphylococcus aureus di pusat pusat kesehatan disebabkan oleh MRSA. Data dari Pusat Program Surveilans Antimikroba juga menunjukan terjadinya peningkatan MRSA diantara Staphylococcus aureus yang diisolasikan dari pasien Intensive Care Unit di seluruh dunia.(Mahmudah, 2013).
Infeksi MRSA tidak hanya mempengaruhi jaringan kulit, tetapi setelah bakteri memasuki aliran darah, bakteri akan menginfeksi organ dan jaringan dalam tubuh. Penyakit yang biasanya disebabkan oleh infeksi MRSA antara lain pneumonia, bakteremia atau septikemia, selulitis, endokarditis, meningitis dan osteomieletis .
(15)
Berdasarkan Royal College of Nursing (RCN), area resiko klinis transmisi MRSA dibagi menjadi 4 kategori yaitu tinggi, sedang, rendah dan minimal. Di area resiko klinis transmisi MRSA tinggi terdiri atas Intensive Care Unit (ICU), unit perawatan khusus bayi, unit luka bakar, kardio-torak, ortopedi, trauma dan vaskular. Area resiko klinis transmisi MRSA sedang terdiri atas ruang operasi umum, urologi, neonatal, ginekologi, Obstetrik, dan dermatologi. Area resiko klinis transmisi MRSA rendah terdiri atas ruang perawatan geriatri, ruang perawatan medis umum, ruang perawatan anak-anak non neonatal. Dan yang terakhir area resiko klinis transmisi MRSA minimal terdiri atas ruang perawatan geriatri jangka lama, psikiatrik dan psiko-geratri. (Biantoro,2010)
MRSA mengalami resistensi karena perubahan genetik yang disebabkan oleh paparan terapi antibiotik yang tidak rasional. Transmisi bakteri berpindah dari satu pasien ke pasien lainnya melalui alat medis yang tidak diperhatikan sterilitasnya. Transmisinya dapat pula melalui udara maupun fasilitas ruangan, misalnya selimut atau kain tempat tidur (Nurkusuma, 2009).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Raisa Mahmudah pada di ruang ICU dan ruang perawatan bedah Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM), maka dari 68 sampel didapatkan sampel positif MRSA yang berjumlah 26 sampel (38,24%), 15 sampel (22,05%) sensitif, 20 sampel (29,41%) Staphylococcus sp., dan 7 sampel (10,3%) tidak didapatkan
(16)
pertumbuhan koloni pada media Mannitol Salt Agar (MSA). (Mahmudah, 2013)
Penelitian terhadap 52 bayi yang memiliki biakan positif bakteri penyebab sepsis, ditemukan 14% diantaranya disebabkan oleh Staphylococcus sp. Dan semuanya sudah resisten terhadap antibiotik metisilin. (Rukmono, 2013) Pada keadaan lanjut infeksi akibat MRSA dapat menjadi sepsis berat dan berakhir dengan kematian. Berdasarkan uraian diatas, penting untuk melakukan penelitian untuk identifikasi MRSA pada ruangan perinatologi dan ruang obstetrik ginekologi di Rumah Sakit Abdul Moeloek.
1.2Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu : Apakah ada Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pada tenaga medis dan paramedis di Ruang Perinatologi dan Ruang Obstetrik - Ginekologik Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek?
1.3Tujuan Penelitian 1.3.1Tujuan Umum
Mengetahui adanya MRSA pada tenaga medis dan paramedis di Ruang Perinatologi dan Ruang Obstetrik - Ginekologik Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek?”
(17)
1.3.2 Tujuan Khusus
Mengetahui persentase MRSA yang terdapat pada tenaga medis dan paramedis di Ruang Perinatologi dan Ruang Obstetrik - Ginekologik Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek.
1.4Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai identifikasi MRSA pada tenaga medis dan paramedis di Ruang Perinatologi dan Ruang Obstetrik - Ginekologik Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek, diharapkan memberikan manfaat kepada berbagai pihak, antara lain:
1.4.1 Bagi peneliti, dapat menerapkan ilmu yang sudah didapatkan selama perkuliahan di kampus dan menambah pengetahuan mengenai penggunaan antibiotik yang dapat meningkatkan kejadian MRSA.
1.4.2 Bagi instansi terkait, penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai penggunaan antibiotik yang menyebabkan MRSA dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat (MRSA) pada tenaga medis sehingga dapat membantu menekan tingkat kejadian MRSA di Indonesia.
1.5Kerangka Teori
Faktor-faktor yang berhubungan dengan MRSA nosokomial adalah masa tinggal di rumah sakit yang lama, penggunaan antibiotika spektrum luas dengan jumlah besar dan dalam waktu yang lama. MRSA paling banyak ditemukan di tangan, hidung, dan perineum (Nurkusuma, 2009). S. aureus
(18)
merupakan salah satu bakteri yang dapat memproduksi enzim β-laktamase. Enzim ini akan menghilangkan daya antibakteri terutama golongan penisilin seperti metisilin, oksasilin, penisilin G dan ampisilin. Mekanisme resistensi S. aureus terhadap metisilin juga dapat terjadi melalui pembentukan Penicillin-Binding Protein (PBP) yang sudah dimodifikasi, yaitu PBP2a yang
mengakibatkan penurunan afinitas antimikroba golongan β-laktam
(Salmenlina, 2002).
Diagnosis MRSA dapat dilakukan dengan metode konvensional (pewarnaan gram, uji katalase, kultur dan uji sensitivitas antibiotik, dan produksi Dnase, media agar darah) dan secara biomolekuler (Polymerase Chain Reaction (PCR) atau kultur dengan CHROM agar MRSA). Kultur yang berasal dari drainase cairan atau jaringan adalah gold standard untuk mendiagnosis dan mempertimbangkan pemberian pengobatan MRSA (Nurkusuma, 2009).
(19)
Gambar 1. Kerangka Teori Metichillin-Resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) Resisten
Memproduksi β -laktamase dan membentuk Penicillin-Binding Protein (PBP)
Diagnosis secara konvensional
Sensitif Staphylococcus aureus
(20)
1.6Kerangka Konsep
Gambar 2. Kerangka Konsep
1.7Hipotesis
Terdapat Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus pada tenaga medis dan paramedis di Ruang Perinatologi dan Ruang Obstetri - Ginekologik Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek.
Resisten Sensitif Uji Sensitivitas antibiotik
(Cefoxitin 30 µg)
Metichillin-Resistant Staphylococcus aureus
(MRSA)
(Variabel Terikat)
Isolat Staphylococcus aureus
(21)
II.TINJAUAN PUSTAKA
2.1Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat berdiameter 0,7-1,2 μm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25 ºC). Koloni pada perbenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol, dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S. aureus yang mempunyai kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi bakteri (Jawetz et al., 2008)
Gambar 3. Staphylococcus aureus yang Dilihat dari Mikroskop Elektron. Sumber Todar, 2008
(22)
Klasifikasi
Dari Rosenbach (1884) klasifikasi Staphylococcus aureus yaitu:
Domain : Bacteria
Kerajaan : Eubacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Famili : Staphylococcaceae Genus : Staphylococcus Spesies : S. aureus
Nama binomial : Staphylococcus aureus 2.1.1 Patogenisitas
Sebagian bakteri Staphylococcus merupakan flora normal pada kulit, saluran pernafasan, dan saluran pencernaan makanan pada manusia. Bakteri ini juga ditemukan di udara dan lingkungan sekitar. S. aureus yang patogen bersifat invasif, menyebabkan hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu meragikan manitol (Warsa, 1994).
Infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertai abses bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S. aureus adalah bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat diantaranya pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan endokarditis. S. aureus juga merupakan
(23)
penyebab utama infeksi nosokomial, keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Ryan, et al., 1994; Warsa, 1994).
Bisul atau abses setempat, seperti jerawat dan borok merupakan infeksi kulit di daerah folikel rambut, kelenjar sebasea, atau kelenjar keringat. Mula-mula terjadi nekrosis jaringan setempat, lalu terjadi koagulasi fibrin di sekitar lesi dan pembuluh getah bening, sehingga terbentuk dinding yang membatasi proses nekrosis. Infeksi dapat menyebar ke bagian tubuh lain melalui pembuluh getah bening dan pembuluh darah, sehingga terjadi peradangan pada vena, trombosis, bahkan bakterimia. Bakterimia dapat menyebabkan terjadinya endokarditis, osteomielitis akut hematogen, meningitis atau infeksi paru-paru (Jawetz et al., 2008).
Kontaminasi langsung S. aureus pada luka terbuka (seperti luka pascabedah) atau infeksi setelah trauma (seperti osteomielitis kronis setelah fraktur terbuka) dan meningitis setelah fraktur tengkorak, merupakan penyebab infeksi nosokomial (Jawetz et al., 2008).
Keracunan makanan dapat disebabkan kontaminasi enterotoksin dari S. aureus. Waktu onset dari gejala keracunan biasanya cepat dan akut, tergantung pada daya tahan tubuh dan banyaknya toksin yang termakan. Jumlah toksin yang dapat menyebabkan keracunan adalah 1,0 μg/gr makanan. Gejala keracunan ditandai oleh rasa mual, muntah-muntah, dan diare yang hebat tanpa disertai demam (Jawetz et al., 2008).
(24)
Sindroma syok toksik (SST) pada infeksi S. aureus timbul secara tiba-tiba dengan gejala demam tinggi, muntah, diare, mialgia, ruam, dan hipotensi, dengan gagal jantung dan ginjal pada kasus yang berat. SST sering terjadi dalam lima hari permulaan haid pada wanita muda yang menggunakan tampon, atau pada anakanak dan pria dengan luka yang terinfeksi Staphylococcus. S. aureus dapat diisolasi dari vagina, tampon, luka atau infeksi lokal lainnya, tetapi praktis tidak ditemukan dalam aliran darah (Jawetz et al., 2008).
2.1.2 Struktur Antigen
Protein A adalah komponen dinding sel pada banyak Staphylococcus aureus yang berikatan dengan berbagai Fc dari molekul IgG kecuali IgG3. Bagian Fab dari IgG yang terikat dengan protein A bebas berikatan dengan antigen spesifik. Protein A menjadi reagen yang penting dalam imunologi dan teknologi laboratorium diagnostik.
Beberapa strain S. aureus memiliki kapsul, yang menghambat fagositosis oleh leukosit polimorfonuklear kecuali terdapat antibodi spesifik. Sebagian besar strain S. aureus mempunyai koagulase atau faktor penggumpal, pada permukaan dinding sel terjadi koagulase dengan fibrinogen secara nonenzimatik, sehingga menyebabkan agregasi bakteri (Jawetz et al, 2008).
(25)
2.1.3 Faktor Virulensi
Staphylococcus aureus membuat tiga macam metabolit, yaitu yang bersifat nontoksin, eksotoksin, dan enterotoksin. Metabolit nontoksin antara lain adalah antigen permukaan, koagulase, hialuronidase, fibrinolisin, gelatinosa, protease, lipase, tributirinase, fosfatase, dan katalase (Warsa, 1994).
Staphylococcus aureus dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya tersebar luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan sebagai faktor virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim dan toksin, diantaranya (Jawetz et al, 2008):
a. Katalase
Katalase adalah enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap proses fagositosis. Tes adanya aktivtias katalase menjadi pembeda genus Staphylococcus dari Streptococcus. b. Koagulase
Enzim ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat, karena adanya faktor koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi dengan enzim tersebut. Esterase yang dihasilkan dapat meningkatkan aktivitas penggumpalan, sehingga terbentuk deposit fibrin pada permukaan sel bakteri yang dapat menghambat fagositosis.
(26)
c. Hemolisin
Hemolisin merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona hemolisis di sekitar koloni bakteri. Hemolisin pada S. aureus terdiri dari α-hemolisin, β-hemolisin, dan δ-hemolisin. α-hemolisin adalah toksin yang bertanggung jawab terhadap pembentukan zona hemolisis di sekitar koloni S. aureus pada medium agar darah. Toksin ini dapat menyebabkan nekrosis
pada kulit hewan dan manusia. β-hemolisin adalah toksin yang
terutama dihasilkan Staphylococcus yang diisolasi dari hewan, yang menyebabkan lisis pada sel darah merah domba dan sapi. Sedangkan delta hemolisin adalah toksin yang dapat melisiskan sel darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek lisisnya kurang terhadap sel darah merah domba.
d. Leukosidin
Toksin ini dapat mematikan sel darah putih pada beberapa hewan. Tetapi perannya dalam patogenesis pada manusia tidak jelas, karena Staphylococcus patogen tidak dapat mematikan sel-sel darah putih manusia dan dapat difagositosis.
e. Toksin eksfoliatif
Toksin ini mempunyai aktivitas proteolitik dan dapat melarutkan matriks mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan intraepithelial pada ikatan sel di stratum granulosum. Toksin eksfoliatif merupakan penyebab
(27)
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome, yang ditandai dengan melepuhnya kulit.
f. Toksin Sindrom Syok Toksik (TSST)
Sebagian besar galur S. aureus yang diisolasi dari penderita sindrom syok toksik menghasilkan eksotoksin pirogenik. Pada manusia, toksin ini menyebabkan demam, syok, ruam kulit, dan gangguan multisistem organ dalam tubuh.
g. Enterotoksin
Enterotoksin adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap suasana basa di dalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam keracunan makanan, terutama pada makanan yang mengandung karbohidrat dan protein.
2.2Metichilin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan salah satu agen penyebab infeksi nosokomial yang utama. Bakteri MRSA berada di peringkat keempat sebagai agen penyebab infeksi nosokomial setelah Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, dan Enterococcus (Howard et al, 1993).
Lebih dari 80% strain S. aureus menghasilkan penicilinase, dan penicillinase-stable betalactam seperti Methicillin, cloxacillin, dan fluoxacillin yang telah digunakan sebagai terapi utama dari infeksi S. aureus selama lebih dari 35 tahun. Strain yang resisten terhadap kelompok penicillin dan beta-lactam ini
(28)
2.2.1 Epidemiologi
Bakteri MRSA merupakan galur Staphylococcus aureus yang resisten terhadap antibiotika metisilin sebagai akibat dari penggunaan antibiotika yang tidak rasional. Bakteri MRSA tersebar hampir di seluruh dunia, dengan insiden tertinggi terdapat di area yang densitasnya padat dan kebersihan individunya rendah. Bakteri MRSA biasanya dikaitkan dengan pasien di rumah sakit.muncul tidak lama setelah penggunaan agen ini untuk pengobatan (Biantoro, 2008).
Saat ini diperkirakan sekitar 2-3% populasi umum telah terkolonisasi oleh MRSA. Jumlah ini akan meningkat lagi menjadi ±5% pada populasi yang berkelompok seperti militer dan penjara. Orang yang terkolonisasi akan mudah untuk terjadi infeksi, walaupun sebagian besar akan tetap asimtomatik (Navy Environmental Health Center, 2005).
Antara tahun 1996-1999 dilaporkan bahwa 23 rumah sakit di Kanada terdapat 6% dari seluruh isolat S. aureus yang resisten terhadap methicillin, dengan rerata 4,14 kasus MRSA per 1000 pasien yang dirawat dari 35% pasien dengan infeksi. Sebagian besar isolat diperoleh dari MRSA yang berasal dari ruang perawatan akut (72,6%), 7,2% diperoleh dari bangsal perawatan, 4,6% diperoleh dari komunitas masyarakat, dan sisanya (15,6%) tidak diketahui asalnya (BC Center for Disease Control, 2001).
(29)
Di Amerika Serikat, selama 13 tahun (1993-2005) infeksi MRSA telah sangat berkembang. Pada tahun 2005 terdapat 368.600 kasus MRSA di rumah sakit seluruh AS. Keadaan ini menunjukkan adanya peningkatan sebesar 30% dibandingkan pada tahun 2004(Elixhauser & Steiner, 2007).
Di Inggris sampai dengan tahun 2004 didapatkan data prevalensi bahwa: 1) MRSA menjadi masalah yang predominan pada usia lanjut (82% usia > 60 tahun; 2) strain MRSA yang ada 92% resisten terhadap fluoroquinolone dan 72% resisten terhadap makrolid; 3) sebagian besar isolat masih sensitif terhadap tetracyclin, fusidic acid, rifampicin, dan gentamycin; 4) strain MRSA yang telah diuji 12% resisten terhadap mupirocin (Gemmell et al., 2006).
Selama tahun 2006 di Laboratorium Patologi Klinik RSUP (Rumah Sakit Umum Pusat) Dr. Sardjito Yogyakarta diperoleh 3729 isolat kuman, yaitu 1128 dari spesimen darah, 825 dari spesimen urin, 957 dari spesimen sputum, dan 819 spesimen pus. Proporsi beberapa jenis kuman Gram (+) ternyata cukup signifikan. Spesies yang menonjol adalah S. epidermidis, S. aureus, dan S. viridians (Biantoro, 2008).
(30)
Dari seluruh spesimen, diperoleh isolat S. epidermidis sebanyak 679 (18,2%), S. aureus 171 (4,6%), dan S. viridians 169 (4,5%). Sehingga ketiga kuman ini saja sudah mencapai 1019 isolat (27,3%). Untuk sediaan darah, S. epidermidis merupakan isolat yang terbanyak (34,5%).
Dari sediaan sputum, S. viridians juga merupakan isolat yang terbanyak (17,7%), sedangkan S.aureus masuk dalam 5 besar isolat yang ditemukan di darah dan pus (Biantoro, 2008).
MRSA paling banyak ditemukan di tangan, hidung, dan perineum. Penelitian yang dilakukan dengan subjek pasien di ruang perawatan intensif Bandung dan Semarang tahun 2001 menggambarkan bahwa sebanyak 35,9% pada nostril hidung dan 21,8% pada tangan petugas kesehatan (Fitri, 2010).
Dari penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Ahmed di beberapa bagian rumah sakit yang berbeda di Libya didapatkan 128 (22%) positif MRSA berdasarkan hasil laboratorium dan 109 (19%) dikonfirmasi sebagai MRSA dengan PCR dari 569 subjek penelitian. Hidung dan bagian nares anterior adalah bagian yang paling penting dari koloni Staphylococcus dan berpotensi sebagai sumber MRSA. Penelitian ini cenderung dianggap remeh karena hanya menggunakan nasal swab dan tidak menguji tempat lain, seperti swab pada tenggorokan (Ahmed et al, 2012).
(31)
2.2.2 Klasifikasi
Pada awal tahun 1990 telah muncul MRSA yang didapatkan pada individu yang sebelumnya tidak memiliki faktor risiko yang berhubungan dengan MRSA. Keadaan ini disebut sebagai community-acquired MRSA (CA-MRSA).
Community-Acquired MRSA terjadi pada penderita dengan riwayat rawat inap rumah sakit maupun tidak. Tempat pelayanan umum, sekolah, penjara dan tempat yang penduduknya padat mudah ditemukan bakteri tersebut. Abses, luka bakar ataupun luka gigitan serangga dapat dijadikan CA-MRSA sebagai tempat berkembang. Sekitar 75% infeksinya terjadi pada kulit dan jaringan lunak (Biantoro, 2008).
CA-MRSA dapat diklasifikasikan kedalam empat kategori, yaitu (Salmenlina, 2002):
a. Pasien di rumah sakit dan staf di rumah sakit dengan MRSA. b. Perawat dirumah dengan MRSA.
c. Penyebaran MRSA pada pasien yang tidak dirawat di rumah sakit.
d. MRSA yang timbul di masyarakat secara de novo.
Healthcare-associated MRSA (HA-MRSA) oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) didefinisikan sebagai infeksi MRSA yang terdapat pada individu yang pernah
(32)
dirawat di rumah sakit atau menjalani tindakan operasi dalam 1 tahun terakhir, memiliki alat bantu medis permanen dalam tubuhnya, bertempat tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang atau individu yang menjalani dialisis.
HA-MRSA secara tipikal dihubungkan dengan seseorang yang memiliki faktor risiko perawatan di rumah sakit atau panti, dialisis, mendapat terapi antibiotik, atau terpapar oleh alat atau prosedur yang invasif. HA-MRSA memiliki resistensi yang sangat tinggi dan merupakan penyakit nosokomial yang penting.
Secara genetik dan fenotipe strain HA-MRSA berbeda dengan strain CA-MRSA. CA-MRSA memiliki komposisi yang lebih kecil, mengalami kejadian virulensi yang lebih tinggi, dan jarang terjadi multidrug resistant pada antimikroba non β -laktam (misalnya terhadap tetrasiklin, trimetoprim-sulfametoksazol, rifampin, clindamycin, dan fluoroquinolone) (Biantoro, 2008).
(33)
Tabel 1. Perbedaan CA-MRSA dan HA-MRSA
HA-MRSA CA-MRSA
Faktor Resiko
Pasien di ruang perawatan dalam jangka waktu lama, Pasien dengan diabetes mellitus,
patsien yang melakukan hemodialisis/peritoneal dialisis,
perawatan dengan waktu yang lama, penyebaran di ICU, pemasangan kateterisasi pada pasien
Anak-anak, atlet, Angkatan laut, suku tertentu (suku asli Amerika/
Suku asli Alaska, Pulau disekitar laut Pasifik), Penggunaan obat secara intravena, homoseksual
Tipe strain USA 100 & 200 USA 300 & 400 Resistensi
Antibiotik Multidrug resisten
Hanya resisten β -Laktam
Toksin PVL Jarang (5%) Banyak (100 %)
Sindroma klinis
Pneumonia nosokomial, infeksi nosokomial terkait infeksi traktus urinarius dan pemasangan kateter, infeksi melalui darah, infeksi akibat pembedahan.
Infeksi kulit dan jaringan (furunkel, abses), post-influenza, pneumonia yang telah mengalami nekrosis jaringan.
Sum ber: Biantoro, 2008
2.2.3 Faktor Resiko
Faktor-faktor resiko terjadinya MRSA antara lain: a. Faktor-faktor community-acquired:
- Kondisi tempat tinggal yang berdesakan dan kumuh (penjara, barak militer, penampungan gelandangan).
- Populasi (penduduk kepulauan pasifik, asli Alaska, asli Amerika).
- Kontak olahraga (sepakbola, rugby, gulat).
- Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki.
(34)
- Higiene personal yang buruk. b. Faktor-faktor healthcare-acquired:
- Perawatan di rumah sakit sebelumnya (dalam 1 tahun terakhir).
- Dilakukan operasi sebelumnya (rawat inap atau rawat jalan dalam 1 tahun terakhir).
- Riwayat abses yang rekuren, folikulitis, furunkulosis atau infeksi kulit lainnya.
- Riwayat infeksi kulit yang rekuren dalam keluarga atau yang tinggal bersama.
- Terbukti secara laboratorium adanya kasus MRSA dalam keluarga atau yang tinggal bersama.
- Tinggal di fasilitas perawatan jangka lama atau kontak dengan penghuninya berkali-kali.
- Pengguna obat intavena. - Terpasang kateter.
- Kondisi medis (misalnya diabetes, HIV, gagal ginjal). 2.2.4 Cara penyebaran
Staphylococcus yang umum terdapat pada lipatan kulit, seperti perineum dan aksila serta berada di nares anterior. Staphylococcus juga dapat membentuk koloni pada luka yang kronis, seperti eksim, varises, dan ulkus decubitus. MRSA memiliki cara penyebaran yang sama dengan strain Staphylococcus lain yang sensitif, yaitu (Royal College of Nursing, 2005):
(35)
a. Penyebaran Endogen
Hal ini terjadi ketika bakteri dari satu bagian tubuh seseorang menyebar ke tempat yang lain. Mengajarkan pasien untuk mencuci tangan mereka dan mencegah mereka dari menyentuh luka, kulit yang rusak atau menyentuh perangkat invasif, akan meminimalkan risiko penyebaran organisme secara endogen. b. Penyebaran Eksogen
Hal ini terjadi ketika organisme ditransmisikan dari orang ke orang yang terjadi melalui kontak langsung dengan kulit, melalui lingkungan atau peralatan yang terkontaminasi. Pencegahan penyebaran secara eksogen dapat dilakukan melalui:
- Mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan setiap pasien atau peralatan yang berpotensi terkontaminasi. - Mencuci tangan setelah melepas sarung tangan. - Menjaga lingkungan selalu bersih dan kering.
- Melakukan pembersihan secara menyeluruh dan mengeringkan semua peralatan yang telah digunakan. - Menerapkan pengobatan topikal untuk mengurangi penyakit
kulit jika secara klinis diperlukan. 2.2.5 Cara Mendeteksi MRSA
Untuk mengetahui adanya MRSA, terdapat dua metode, yaitu metode molekuler dan metode konvensional. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai penggunaan metode molekuler
(36)
secara langsung mendeteksi MRSA dengan menggunakan dasar gel dan real-time PCR, penyelidikan DNA, serta penyelidikan asam nukleat peptida (peptide nucleic acid). Kelemahan metode ini adalah memerlukan alat-alat khusus dan seorang yang sudah ahli (Biantoro, 2008).
Untuk mengidentifikasi MRSA secara konvensional dibutuhkan beberapa media agar, antara lain media Mannitol Salt Agar (MSA) dan media Agar Darah Domba (ADD) (Mainous et al, 2006). Media Mannitol Salt Agar (MSA) adalah media yang mengandung manitol, yaitu suatu karbihidrat yang dapat dijadikan sebagai media pertumbuhan bakteri. Media MSA ini penting untuk melakukan identifikasi Staphylococcus. MSA mengandung 7,5% sodium klorida (garam) yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif. Selain itu media ini juga memiliki indikator pH yang disebut sebagai phenol red. Media MSA merupakan media yang bekerja dengan prinsip bakteri yang dapat tumbuh pada media ini adalah bakteri yang tahan pada keadaan garam yang tinggi dan selama pertumbuhan menghasilkan asam, sehingga mengubah indikator pH yang mengubah warna merah menjadi kuning.
Agar darah merupakan media yang paling banyak digunakan unuk penanaman bakteri yang sukar tumbuh karena pada agar darah domba mengandung nutrisi yang dibutuhkan bakteri. Media pada
(37)
dasarnya terdiri dari sumber protein (pepton), protein kedelai olahan (mengandung KH), NaCl, agar dan darah domba 5%. Bakteri penghasil enzim ekstraseluler yang dapat melisiskan sel darah merah domba pada agar (hemolisis). Terdapat tiga bentuk hemolisis darah, yaitu:
- Alpha-hemolisis yang membentuk zona kehijauan hingga coklat muda disekitar koloni, bakteri menghemolisa sebagian hemoglobin sehingga meninggalkan pigmen hijau biliverdin. - Beta-hemolisis yang membentuk zona transparan atau jernih
disekitar koloni, bakteri memproduksi β-hemolisin (Streptolisin
O dan S), yang melisiskan sel darah merah di media secara sempurna.
- Gamma-hemolisis yang tidak meghemolisa darah sehingga tidak terbentuk zona hemolysis pada sekeliling koloni bakteri.
2.3Resistensi antibiotik
adalah kemampuan mikroorganisme untuk bertahan dari pengaruh suatu antibiotik. Resistensi antibiotik merupakan tipe spesifik dari resistensi obat. Ketika sebuah gen berubah, maka bakteri dapat mengirimkan informasi genetik secara horisontal ke bakteri lainnya melalui pertukaran plasmid. Bakteri yang membawa beberapa gen resistensi disebut multiresistant atau superbug (Biantoro, 2008).
Pemberian atibiotik diberikan sesuai dengan indikasi dan spektrumnya berdasarkan jenis mikroorganismenya. Tidak selayaknya memberikan
(38)
antimikroba spektrum luas tanpa mengetahui pasti kausanya. Pemeriksaan kultur dan sensitivitas masih menjadi gold standar. Pola bakteri di bagian-bagian tubuh manusia juga diperlukan untuk dasar pertimbangan pemberian antibiotik.
Tabel 2. Kronologi Infeksi S. aureus dan Resistensinya Tahun Kejadian
1940 Penicillin diperkenalkan
1942 Muncul S. aureus resisten penicillin
1959 Metisilin diperkenalkan, sebagian besar strain S. aureus di rumah sakit dan masyarakat resisten penicillin
1961 Muncul MRSA
1963 Muncul wabah MRSA di rumah sakit yang pertama
1968 Ditemukan strain MRSA yang pertama di rumah sakit Amerika 1970-an Penyebaran klonal MRSA secara global, kejadian MRSA yang
sangat tinggi di Eropa Utara
1980-an Penurunan kejadian MRSA yang dramatis dengan adanya program “search and destroy” di Eropa Utara
1996 VRSA dilaporkan di Jepang
1997 Muncul VISA, dilaporkan adanya infeksi CA-MRSA yang serius 2002 Terjadi infeksi VRSA yang pertama di Amerika
2003
Peningkatan kejadian MRSA hampir 60% di ICU, wabah CA-MRSA dilaporkan terjadi di banyak tempat dan berimplikasi pada wabah di rumah sakit
2006
>50% infeksi kulit Staphylococcus muncut di bagian gawat darurat yang disebabkan CA-MRSA, peningkatan HA-MRSA, perbedaan keduanya secara epidemiologi semakin sulit
2007 “The Year of MRSA” Sumber : Biantoro, 2008
(39)
Metisilin merupakan penicillinase-resistant semisynthetic penicillin, pertama kali diperkenalkan pada tahun 1959. Metisilin digunakan untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh S. aureus resisten terhadap penisilin. Namun, di Inggris pada tahun 1961 telah dilaporkan adanya isolat S. aureus yang resisten terhadap Metisilin. Kemudian infeksi MRSA secara cepat menyebar di seluruh negara-negara Eropa, Jepang, Australia, Amerika Serikat, dan seluruh dunia selama berpuluh-puluh tahun serta menjadi infeksi yang multidrug-resistant (Biantoro, 2008). 2.3.1 Kelas Resistensi Staphylococcus
Staphylococcus memiliki sensitivitas yang berbeda-beda terhadap obat antimikroba. Resistansi Staphylococcus dibagi menjadi beberapa kelas (Jawetz et al, 2008):
a. Sering memproduksi β-laktamase, dikendalikan oleh plasmid,
dan membuat organisme ini resisten terhadap berbagai penisilin (penisilin G, ampicillin, tikarsilin, piperasilin, dan obat yang serupa). Plasmid ditransmisikan melalui transduksi dan mungkin juga melalui konjugasi.
b. Resistansi terhadap nafsilin (dan terhadap metisilin, oksasilin) tidak tergantung pada produksi β-laktamase. Gen mecA yang resistan terhadap nafsilin terletak di dalam kromosom. Mekanisme resistansi nafsilin dikaitkan dengan kekurangan atau tidak tersedianya protein pengikat penisilin (penicillin-binding protein : PBP) pada organisme tersebut.
(40)
c. Di Amerika Serikat, S. aureus dianggap sensitif terhadap vankomisin jika konsentrasi penghambat minimumnya (minimum inhibitory concentration; MIC) kurang atau sama dengan 4 µg/mL; kerentanan intermediate jika MIC 8-16 µg/mL; dan resistan jika MIC ≥ 16 µg/mL. Mekanisme resistensi berhubungan dengan peningkatan sintesis dinding sel serta perubahan dinding sel dan bukan sebagai akibat gen van yang ditemukan pada enterokokus. Strain S. aureus dengan kerentanan intermediate terhadap vankomisin biasaya resisten terhadap nafsilin tetapi umumnya sensitif terhadap oksazolidinon dan quinupristin/dalfopristin.
d. Pada tahun 2002, strain vancomycin-resistant S. aureus (VRSA) diisolasi dari pasien di Amerika Serikat. Isolat mengandung gen vanA resistan vankomisin dan enterokokus, dan gen mecA resistan nafsilin.
e. Resistansi yang diperantarai plasmid (plasmid-mediated resistance) terhadap tetrasiklin, eritromisin, aminoglikosida, dan obat-obatan lain sering terjadi pada Staphylococcus.
f. Toleransi menunjukkan bahwa Staphylococcus dihambat oleh suatu obat tetapi tidak dibunuh, yaitu terdapat perbedaan besar antara konsentrasi penghambat minimal dan konsentrasi letal minimal obat antimikroba
(41)
2.3.2 Mekanisme Resistensi MRSA
Mekanisme kerja obat antimikroba, yaitu inhibisi sintesis dinding sel, inhibisi fungsi membrane sel, inhibisi sintesis protein, dan inhibisi sintesis asam nukleat. Terdapat berbagai mekanisme yang menyebabkan mikroorganisme bersifat resisten terhadap obat (Jawetz et al, 2008).
Tabel 3. Mekanisme Resistensi Antibiotik
Tipe Antibiotik Mekanisme Kerja Obat Mekanisme Resistensi Bakteri
Aminoglikosida, gentamisin
Menghambat sintesis protein
Inaktivasi
penghambatan sintesis protein
Beta-laktam, penisilin, sefalosporin
Menghambat
pertumbuhan dinding sel
Inaktivasi
penghambatan dinding sel, mutasi
Glikopeptida, vankomisin
Menghambat
pertumbuhan dinding sel Mutasi protein pengikat Makrolid Menghambt sistesis
protein Proteksi ribosom Kuinolon Menghambat replikasi
DNA Mutasi protein pengikat
Rifampin Menghambat RNA
polymerase Mutasi protein pengikat
Tetrasiklin Menghambat sintesis protein
Inaktivasi
penghambatan sintesis protein
Trimetoprim, sulfonamid
Menghambat formasi
asam nukleat Mutasi protein pengikat Sumber: Syukur, 2009.
(42)
Mekanisme resistensi bakteri dapat terjadi melalui beberapa cara. Pertama, organisme memiliki gen pengkode enzim, seperti β -laktamase, yang menghancurkan agen antibakteri sebelum agen antibakteri dapat bekerja. Kedua, bakteri dapat memiliki pompa penembus yang menghambat agen antibakteri sebelum dapat mencapai tempat perlekatan target dan memberikan efeknya. Ketiga, bakteri memiliki beberapa gen yang mempengaruhi jalur metabolisme yang pada akhirnya menghasilkan perubahan pada dinding sel bakteri yang tidak lagi mengandung tempat perlekatan agen antibakteri, atau bakteri bermutasi yang membatasi akses dari agen antimikroba ke tempat perlekatan target intraseluler melalui down regulation gen Porin (Tenover, 2006).
S. aureus merupakan salah satu bakteri yang dapat memproduksi
enzim β-laktamase. Enzim ini akan menghilangkan daya
antibakteri terutama golongan penisilin seperti metisilin, oksasilin, penisilin G dan ampisilin. Adanya enzim tersebut akan merusak cincin β-laktam sehingga antibiotik menjadi tidak aktif. Strain S. aureus yang telah resisten terhadap antibiotik metisilin disebut Metichilin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) (Sulistyaningsih, 2010).
Mekanisme resistensi S. aureus terhadap metisilin dapat terjadi melalui pembentukan Penicillin-Binding Protein (PBP) lain yang
(43)
sudah dimodifikasi, yaitu PBP2a yang mengakibatkan penurunan
afinitas antimikroba golongan β-laktam. Suatu strain yang resisten
terhadap metisilin berarti akan resisten juga terhadap semua derivat penisilin, sefalosporin dan karbapenem. Penisilin bekerja dengan berikatan pada beberapa PBP dan membunuh bakteri dengan mengaktivasi enzim autolitiknya sendiri. Pembentukan PBP2a ini menyebabkan afinitas terhadap penisilin menurun sehingga bakteri tidak dapat diinaktivasi. PBP-2a ini dikode oleh gen mecA yang berada dalam transposon (Salmenlina, 2002).
Semua obat β-laktam merupakan inhibitor selektif terhadap sintesis
dinding sel bakteri sehingga secara aktif melawan pertumbuhan bakteri. Langkah awal kerja obat berupa pengikatan obat ke reseptor sel (protein pengikat penisilin atau protein biding penicillin atau PBP). Terdapat tiga sampai enam PBP, diantaranya adalah enzim transpeptidase. Reseptor yang berbeda mempunyai afinitas yang berbeda pula untuk suatu obat, dan masing-masing reseptor dapat memperantarai efek yang berbeda.
Setelah obat beta laktam melekat pada satu reseptor atau lebih, reaksi transpeptidase dihambat dan sintesis peptidoglikan tertahan. Langkah selanjutnya kemungkinan melibatkan perpindahan atau inaktivasi inhibitor enzim autolitik di dinding sel. Ini mengaktifkan enzim litik dan dapat menyebabkan lisis bila lingkungannya
(44)
isotonik. Pada lingkungan yang sangat hipertonik, mikroba berubah menjadi protoplas atau sferoplas, hanya dilapisi oleh membran sel yang rapuh. Pada sel-sel tersebut sintesis protein dan asam nukleat dapat berlanjut beberapa waktu lamanya.
Inhibisi enzim transpeptidase oleh penisilin dan sefalosporin mungkin karena adanya kesamaan struktur obat-obat tersebut dengan asil-D-alanil-D-alanin dari pentapeptida. Resistensi terhadap penisilin dapat ditentukan oleh pembentuk enzim perusak
penisilin (β-laktamase) oleh organisme. Beta-laktamase membuka
cincin β-laktam penisilin dan sefalosporin serta menghilangkan
aktivitas antimikrobanya. Beta-laktamase telah ditemukan pada banyak spesies bakteri gram positif dan gram negatif.
Klasifikasi beta-laktamase sangat kompleks, didasarkan pada
genetika, sifat biokimia, dan afinitas substrat untuk inhibitor β
-laktamase (asam klavulanat). Asam klavulanat, sulbaktam, dan tazobaktam adalah inhibitor beta-laktamase yang mempunyai afinitas yang tinggi untuk laktamase dan dapat mengikat beta-laktamase (misal penisilinase Staphylococcus aureus) secara ireversibel tetapi tidak dihidrolisis oleh beta-laktamase. Asam klavulanat dapat dijadikan sebagai pengobatan MRSA secara kombinasi dengan obat-obatan golongan penisilin. Inhibitor-inhibitor ini melindungi penisilin yang dapat dihidrolisis (misal,
(45)
ampisilin, amoksisilin, dan tikarsilin) dari penghancuran (Jawetz et al, 2008).
Staphylococccus aureus telah resisten terhadap beberapa antibiotik, yaitu (Sulistyaningsih, 2010):
a. Penisilin
Saat ini diketahui lebih dari 90 isolat S. aureus memproduksi penisilinase. Staphylococcus yang resisten terhadap penisilin dimediasi oleh blaZ. Gen ini mengkode enzim yang disintesis ketika Staphylococcus diberikan antibiotik β-laktam. Enzim ini
mampu menghidrolisis cincin β-laktam, yang menyebabkan
terjadinya inaktivasi β-laktam.
b. Metisilin
Resistensi metisilin terjadi karena adanya perubahan protein pengikat penisilin (PBP). Hal ini disebabkan karena gen mecA mengkode 78-kDa penicillin pengikat protein 2a (PBP2a) yang
memiliki afinitas yang kecil terhadap semua antibiotik β
-lactam. Hal ini memudahkan S. aureus bertahan pada konsentrasi yang tinggi dari zat tersebut, resistensi terhadap
metisilin menyebabkan resistensi terhadap semua agen β
-lactam, termasuk sefalosporin. c. Kuinolon
Fluorokuinolon pertama kali dikenalkan untuk pengobatan infeksi bakteri gram positif pada tahun 1980. Resistensi
(46)
terhadap fluorokuinolon sangat cepat dibandingkan dengan resisten terhadap metisilin. Hal ini menyebabkan kemampun fluorokuinolon sebagai anti bakteri menurun. Resistensi terhadap fluorokuinolon berkembang sebagai hasil mutasi kromosomal spontan dalam target terhadap antibiotik atau dengan induksi pompa effluks berbagai obat.
d. Vankomisin
Vankomisin menjadi meningkat penggunaannya untuk mengobati Infeksi yang disebabkan oleh MRSA. Pada tahun 1997, laporan pertama vankomisin Intermediet Resisten S. aureus, dilaporkan di Jepang, dan berkembang di negara lain. Penurunan sensitifitas vankomisin terhadap S. aureus terjadi karena adanya perubahan dalam biosintesis peptidoglikan bakteri tersebut
e. Kloramfenikol
Resistensi terhadap kloramfenikol disebabkan karena adanya enzim yang menginaktivasi kloramfenikol dengan mengkatalisis proses asilasi terhadap gugus hidroksi dalam kloramfenikol menggunakan donor gugus etil berupa asetil koenzim A. Akibatnya dihasilkan derivat asetoksi kloramfenikol yang tidak mampu berikatan dengan ribosom bakteri.
(47)
2.4Tenaga Medis dan Paramedis
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 028/MENKES/PER/I/2011 Tentang Klinik yang dimaksud dengan tenaga medis adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi atau dokter gigi spesialis, sedangkan tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Menurut Permenkes No.262/1979 yang dimaksud dengan tenaga medis adalah lulusan Fakultas Kedokteran atau Kedokteran Gigi dan Pascasarjana yang memberikan pelayanan medik dan penunjang medik. Sedangkan menurut PP No.32 Tahun 1996 Tenaga Medis termasuk tenaga kesehatan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan tersebut, yang dimaksud dengan tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi. Tenaga medis adalah mereka yang profesinya dalam bidang medis yaitu dokter maupun dokter gigi.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.262/Menkes/Per/III/1979 tentang Ketenagaan Rumah Sakit Pemerintah, paramedis perawatan adalah pinata rawat, perawat kesehatan, bidan, perawat khusus, dan lain-lain. Tenaga paramedis non perawatan yaitu asisten apoteker, fisioterapi, penata rontgen dan lain-lain.
(48)
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 028/MENKES/PER/I/2011 Tentang Klinik yang dimaksud dengan tenaga medis adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi atau dokter gigi spesialis, sedangkan tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Menurut Permenkes No.262/1979 yang dimaksud dengan tenaga medis adalah lulusan Fakultas Kedokteran atau Kedokteran Gigi dan Pascasarjana yang memberikan pelayanan medik dan penunjang medik. Sedangkan menurut PP No.32 Tahun 1996 Tenaga Medis termasuk tenaga kesehatan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan tersebut, yang dimaksud dengan tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi. Tenaga medis adalah mereka yang profesinya dalam bidang medis yaitu dokter maupun dokter gigi.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.262/Menkes/Per/III/1979 tentang Ketenagaan Rumah Sakit Pemerintah, paramedis perawatan adalah pinata rawat, perawat kesehatan, bidan, perawat khusus, dan lain-lain.Tenaga paramedis non perawatan yaitu asisten apoteker, fisioterapi, penata rontgen dan lain-lain.
(49)
2.5Pemeriksaan MRSA
Diagnosis MRSA dapat dilakukan dengan metode konvensional dan metode biomolekuler. Identifikasi isolat dengan metode konvensional antara lain dengan pewarnaan Gram, uji katalase, kultur dan uji sensitivitas antibiotik, dan produksi DNase). Uji diagnosis secara konvensional juga dilakukan dengan menggunakan kultur pada media agar serta digunakan media agar darah yang dapat dikonfirmasi secara biomolekuler dengan teknik PCR (Biantoro, 2008). Selain itu juga dapat dilakukan tes konfirmasi dengan melihat adanya pembentukan faktor penggumpal dan antibody IgG poliklonal terhadap protein A dan kapsul polisakarida (Adaleti et al, 2007). Diagnosis MRSA secara biomolekuler dilakukan dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) atau kultur dengan CHROM agar MRSA (Nurkusuma, 2009).
Manitol Salt merupakan media selektif karena memiliki konsentrasi yang sangat tinggi NaCl (7,5%). .Kebanyakan bakteri tidak dapat bertahan hidup di lingkungan kadar garam sangat tinggi ( hipertonik). Tapi genus Staphylococcus mungkin sudah beradaptasi dengan lingkungan tinggi kadar garam dan tumbuh baik di media ini Produk yang dihasilkan bakteri adalah asam organik, mengubah indikator pH di MSA dari merah ke kuning cerah. Staph patogen, seperti Staphylococcus aureus, adalah fermentor manitol, dan ketika tumbuh pada Manitol Salt Agar, dapat merubah warna merah media MSA menjadi kuning cerah. Media MSA
(50)
juga tergolong media diferensial karena mengandung indikator yang mengidentifikasi jenisStaphylococcus yang menghasilkan asam organik dari fermentasi manitol (metabolisme manitol, sejenis alkohol).
Peniliaian Cakram Cefotaxin dapat dilihat dengan menggunakan pengaris dengan mengukur zona hambat dengan interpretasi :
Resistensi: Keadaan terbentuknya zona hambat pada media Agar Darah
Domba (ADD) ≤ 21 mm.
Sensitif: Keadaan terbentuknya zona hambat pada media Agar Darah Domba (ADD) ≥ 22 mm.
(51)
III. METODE PENELITIAN
3.1Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorik dengan pendekatan cross sectional, menggunakan metode difusi dengan memakai media Agar Darah Domba (ADD) dan cakram cefoxitin serta menggunakan media Mannitol Salt Agar (MSA). Hasil penelitian diperoleh dengan mengetahui adanya perubahan warna pada media Mannitol Salt Agar (MSA) serta mengukur besarnya diameter zona hambat cakram cefoxitin terhadap isolat bakteri uji pada medium agar untuk mengetahui adanya Methicillin-resistant Staphylococcus aureus pada tenaga medis di ruang Perinatologi dan Obsgyn Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek.
3.2Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan di di ruang Perinatologi dan Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek, sedangkan pemeriksaan dilakukan di Balai Laboratorium Kesehatan provinsi lampung selama satu bulan pada bulan November 2013.
(52)
3.3Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah tenaga medis dan paramedis yang bekerja di ruang Ruang Perinatologi dan Ruang Obstetrik-Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek. Cara pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan simple random sampling.
Rumus besar sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah (Sastroasmoro, 2011):
n=
n=
n=68,035
n=68
Keterangan:
n = Besar sampel
Zα = Tingkat kemaknaan (ditetapkan: 1,96) P = Proporsi (dari pustaka: 0,23)
Q = 1-P (1-0,23)
d = Tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki (ditetapkan: 0,10)
Proporsi yang dimasukkan dalam rumus tersebut berasal dari tinjauan pustaka yang menyebutkan bahwa prevalensi MRSA di Indonesia pada tahun 2006 sebesar 23,5% (Sulistyaningsih, 2010). Berdasarkan rumus tersebut maka jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah
n=
(53)
68 sampel. Sampel berasal dari swab tangan tenaga medis dan paramedis yang dibagi menjadi dua, yaitu 34 sampel berasal dari ruang Perinatologi dan 34 sampel berasal dari ruang Obsgyn. Sampel penelitian ini berasal dari tenaga medis dan paramedis di ruang Perinatologi dan Obsgyn Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek.
dengan kriteria:
3.3.1 Kriteria Inklusi
Tenaga medis yang bekerja di ruang Perinatologi dan Obsgyn Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek.
3.3.2 Kriteria Eksklusi
Tenaga medis yang tidak menyetujui untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
3.4Variabel Penelitian 3.4.1 Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah isolat Staphylococcus aureus dari swab tangan tenaga medis dan paramedis.
3.4.2 Variabel terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah persentase Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA).
(54)
3.5Definisi Operasional
Dalam penelitian ini terdapat beberapa istilah yang harus dijelaskan secara eksplisit sehingga tidak menimbulkan salah persepsi dalam pamahamannya, anatara lain:
3.5.1 Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA):
Definisi : Bakteri Staphylococcus aureus yang resisten terhadap pemberian antibiotik golongan penisilin dan sefalosporin.
Cara Ukur : Zona lisis darah domba Hasil ukur : Sensitif dan Resistan Skala ukur : Katagorikal (Ordinal) 3.5.2 Staphylococcus aureus :
bakteri Gram positif berbentuk bulat berdiameter 0,7-1,2 μm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak.
Cara Ukur : Perubahan warna pada MSA (Manitol Salt Agar) Hasil ukur : Terdapat perubahan warna dan tidak didapatkan perubahan warna.
(55)
3.6Bahan dan Alat Penelitian 3.6.1 Bahan
a. Isolat bakteri swab tangan dari tenaga medis dan paramedis yang berada di Perinatologi dan Ruang Obsgyn Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek.
b. Cakram Antibiotik cefoxitin 30 µg.
c. Media Mannitol Salt Agar (MSA) dan media Agar Darah Domba (ADD).
3.6.2 Alat
Alat-alat yang dipakai adalah alat-alat yang biasa dipakai di Laboratorium Mikrobiologi, seperti lemari pengeram (inkubator), autoklaf, pinset, Bunsen, cawan petri, lidi kapas steril, tabung reaksi, ose, serta peralatan lain yang lazim digunakan di laboratorium mikrobiologi.
3.7Prosedur Penelitian 3.7.1 Sterilisasi alat
Alat yang digunakan dalam penelitian dibersihkan dan dikeringkan terlebih dahulu kemudian dibungkus dengan kertas lalu di sterilisasi di oven pada suhu 160˚ C selama ±1 jam.
3.7.2 Pembuatan Mannitol Salt Agar (MSA)
Bahan yang digunakan terdiri dari 10 gr pepton, 10 gr manitol, 15 gr agar, 75 gr sodium klorida, 0,25 gr Phenol red.
(56)
Cara pembuatan:
a. Bahan dilarutkan dalam 500 ml aquades, kemudian dipanaskan sampai bahan terlarut sempurna.
b. Media disterilisasi menggunakkan autoklaf pada tekanan 1 atm dan suhu 121˚ C selama ± 15 menit.
c. Media didinginkan sampai teraba hangat-hangat kuku, kemudian dituangkan ke dalam cawan petri steril.
d. Media dibiarkan membeku (menjadi padat). 3.7.3 Pembuatan Media Agar Darah Domba
a. Nutrient Agar sebanyak 8 gram dilarutkan dalam 400 ml aquades.
b. Kemudian bahan agar dipanaskan di dalam Erlenmeyer sampai media terlarut sempurna.
c. Media disterilisasi menggunakkan autoklaf pada tekanan 1 atm dan suhu 121˚ C selama ± 15 menit.
d. Setelah media dingin sampai teraba hangat-hangat kuku, ditambahkan darah domba sebanyak 17 ml ke dalam Erlenmeyer. Kemudian media dituangkan ke dalam cawan petri steril dan dibiarkan membeku.
3.7.4 Pengambilan dan isolasi spesimen Staphylococcus aureus
Isolat diambil dengan cara swab pada telapak tangan dan sela jari dengan menggunakan lidi kapas steril yang telah dibasahi dengan nutrient broth. Isolat diambil dari kedua tangan kemudian ditanam
(57)
pada media nutrient agar, diinkubasi pada suhu 37º C selama 24 jam.
3.7.5 Pengukuran Sensitivitas Antibiotik
a. Setelah terdapat pertumbuhan koloni pada nutrient agar maka dengan menggunakan ose bulat, koloni ditanamkan pada media Manitol Salt Agar (MSA) kemudian didiamkan 2-5 menit agar bakteri meresap ke dalam media. Setelah itu kultur diinkubasi
pada suhu 37˚C selama 24-48 jam. Kemudian diperhatikan
perubahan warna yang terjadi pada media. Apabila media berubah menjadi kuning, maka bakteri tersebut dapat tumbuh dalam suasana garam serta dapat memfermentasikan manitol. Perubahan warna pada media menandakan bakteri tersebut adalah Staphylococcus aureus.
b. Kultur positif Staphylococcus aureus ditanamkan kembali pada media nutrient broth dan diinkubasi selama 6 jam atau lebih sampai kekeruhannya sama dengan larutan Mc. Farland 0,5. Kemudian ditanam pada media Agar Darah Domba (ADD). c. Cakram cefoxitin diletakkan pada kultur media Agar Darah
Domba dengan menggunakan pinset. Jarak antara cakram satu dengan yang lain ±15 mm sehingga didapatkan kontak yang baik antara cakram obat dengan bakteri, kemudian di inkubasi
pada suhu 37˚ C selama 24 jam.
d. Zona hambat yang terbentuk disekitar cakram antibiotika diukur menggunakan penggaris dengan memakai satuan mm.
(58)
3.8Skema Prosedur Penelitian
Gambar 4. Skema Prosedur Penelitian Pengambilan spesimen
Spesimen digoreskan pada media Mannitol
Salt Agar (MSA)
Meletakkan cakram cefoxitin Spesimen digoreskan pada media Agar Darah Domba
Hasil zona lisis pada kultur Agar Darah Domba
Hasil Uji Sensitivitas Sensitif (S)
Resistant (R)
Inkubasi 37˚ C selama 24-48
jam. Inkubasi 37˚ C
selama 24 jam. Spesimen digoreskan
pada nutrient agar
Tidak terdapat perubahan
warna
Terdapat perubahan warna
(59)
3.1Analisis Data
Data akan diolah menggunakan software computer dan akan disajikan dalam tabel dan diagram.
Tabel 4. Tabel Analisis Data
No Ruang
Tingkat Sensitivitas
Staphylococcus sp.
Tidak ada
Pertumbuhan Total Staphylococcus aureus
Resisten Sensitif 1 RP
2 OBG
Ket : RPA = Ruang Perinatologi OBG = Obstetri dan Ginekologi
3.2 Etika Penelitian
Penelitian ini akan diajukan kepada komite etik penelitian Fakultas Kedokteran Universita Lampung untuk mendapatkan ethical clearance.
(60)
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan: 1. Ditemukan adanya Metichillin-Resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) pada tenaga medis dan paramedis di Ruang perinatologi dan ruang obsgyn Rumah Sakit Abdul Moeloek.
2. Dari 68 sampel didapatkan sampel positif Metichillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) yang berjumlah 15 sampel (22,1%), 31 sampel (45,6%) sensitif, 22 sampel (32,4%) bakteri non Staphylococcus aureus.
5.2Saran
1. Bagi instansi terkait untuk lebih menjaga kebersihan baik di dalam maupun disekitar ruangan rumah sakit.
2. Bagi instansi terkait untuk melakukan edukasi mengenai MRSA dan melakukan pencegahannya dengan mencuci tangan serta menggunakan antiseptik sebelum dan sesudah keluar dari area rumah sakit, sehingga menurunkan penyebaran MRSA.
(61)
3. Bagi instansi terkait untuk lebih mengawasi dan mengontrol kedisiplinan paramedis dalam menjalankan pekerjaan sesuai dengan standar prosedur rumah sakit.
4. Peneliti selanjutnya disarankan untuk meneliti lebih lanjut tentang MRSA pada tenaga medis dan paramedis diruangan lain sehingga dapat terlihat perbandingan tingkat MRSA dalam satu rumah sakit. 5. Peneliti selanjutnya disarankan untuk meneliti tentang MRSA pada
komunitas untuk mengetahui tingkat penyebaran MRSA di masyarakat.
(62)
DAFTAR PUSTAKA
Adaleti, R., Y. Nakipoglu, Z.C. Karahan, C. Tasdemir, dan F. Kaya. 2007. Comparison of polymerase chain reaction and conventional methods in detecting methicillin-resistant Staphylococcus aureus. J. of Infect Develop Countries. 2(1):46-50.
Ahmed M.O.,A.K. Elramalli, S.G. Amri, A.R. Abuzweda, dan Y.M. Abouzeed. 2012. Isolation and screening of methicillin-resistant Staphylococcus aureus from health care workers in Libyan hospitals. J. of Eastern Mediterranean Health. 18(1):37-42.
Anonim. 1979. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 262/Menkes/Per/III/1979 tentang Ketenagaan Rumah Sakit Pemerintah.
Anonim. 2005. Guidelines for the Management of Community Acquired
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (CA-MRSA) Infections in the US Navy and Marine Corps.
http://www-nehc.med.navy.mil/Downloads/prevmed/CPG_MRSA_20050516_final.pdf. Diakses 20 Oktober 2012.
Anonim. 2010. Healthcare system in Indonesia Pharmaceuticals and Healthcare Report Q3. BMI. London. 39 hlm.
Anonim. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 028/Menkes/Per/I/2011 Tentang Klinik.
Biantoro, I. 2008. Metichillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA). (Tesis). Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 7-26 pp.
Jawetz, G.F.B., Janet S. B., dan Stephen A. M. 2008. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 23. EGC. Jakarta. 225-228 hlm.
Fitri, Adelina. 2011. Infeksi Nosokomial.
http://epidemiologiunsri.blogspot.com/2011/11/infeksi-nosokomial.html. Diakses 15 Oktober 2012.
Kusuma, Sri A. F. 2009. Makalah Staphylococcus aureus. (Makalah). Universitas Padjajaran. Bandung. 1-8 pp.
(63)
Mahmudah, R. 2013. Identifikasi Metichillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pada tenaga medis dan paramedic ruang Intensive Care Unit (ICU) dan ruang perawatan bedah Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek. Skripsi. Universitas Lampung. Lampung
Nurkusuma, D.D. 2009. Faktor yang Berpengaruh Terhadap Metichillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pada Kasus Infeksi Luka Pasca Operasi di Ruang Perawatan Bedah Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.
Rukmono P., dan Zuraida R. 2013. Uji Kepekaan Antibiotik Terhadap
Pseudomonas aeroginosa Penyebab Sepsis Neonatorum. Jakarta. Sari Pediatri 2013;14(5) 332 – 336
Sasirekha B., Usha M, Amruta A., Ankit, Brinda, dan Divyaet. 2012. Evaluation and Comparison of Different Phenotypic Tests to Detect Methicillin Resistant Staphylococcus aureus and their Biofilm Production. J. of Pharmatech Research. 4(2):532-541.
Sastroasmoro, Sudigdo dan Sofyan Ismael. 2011. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi Keempat. Sagung Seto. Jakarta. 360-361 hlm. Sulistyaningsih. 2010. Uji kepekaan beberapa sediaan antiseptik Terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dan Staphylococcus aureus resisten metisilin (MRSA). Tesis. Universitas Padjajaran. Bandung.
Syukur. 2009. Mekanisme Resistensi Bakteri pada Antibiotik.
http://xx-antibiotik.blogspot.com/2009/09/mekanisme-resistensi-bakteri-pada.html. Diakses 12 Oktober 2012.
Tenover, Fred. 2006. Mechanisms of Antimicrobial Resistance in Bacteria. J. of American. 119(1):S4-S5.
Warsa, U.C. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Bina Rupa Aksara. Jakarta. 40 hlm.
Wahyono, H. 2005. Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian Methicillin Resistant Staphlococcus aureus (MRSA) pada penderita dengan Bakteremia di ruang Perawatan Intensif (studi kasus di RS Dr. Hasan sadikin dan RS dr. Kariadi, Kajian Operasional Terpadu). Diakses 2 November 2012 http://www.mediamedika.net/archives/52.
Yuwono. 2010. Pandemi Resistensi Antimikroba: Belajar dari MRSA. J. of Kulit Kelamin. 42(1):2837-2850.
(1)
3.8Skema Prosedur Penelitian
Gambar 4. Skema Prosedur Penelitian Pengambilan spesimen
Spesimen digoreskan pada media Mannitol
Salt Agar (MSA)
Meletakkan cakram cefoxitin Spesimen digoreskan pada media Agar Darah Domba
Hasil zona lisis pada kultur Agar Darah Domba
Hasil Uji Sensitivitas Sensitif (S)
Resistant (R)
Inkubasi 37˚ C selama 24-48
jam. Inkubasi 37˚ C
selama 24 jam. Spesimen digoreskan
pada nutrient agar
Tidak terdapat perubahan
warna
Terdapat perubahan warna
(2)
46
3.1Analisis Data
Data akan diolah menggunakan software computer dan akan disajikan dalam tabel dan diagram.
Tabel 4. Tabel Analisis Data
No Ruang
Tingkat Sensitivitas
Staphylococcus sp.
Tidak ada
Pertumbuhan Total Staphylococcus aureus
Resisten Sensitif 1 RP
2 OBG
Ket : RPA = Ruang Perinatologi OBG = Obstetri dan Ginekologi
3.2 Etika Penelitian
Penelitian ini akan diajukan kepada komite etik penelitian Fakultas Kedokteran Universita Lampung untuk mendapatkan ethical clearance.
(3)
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan:
1. Ditemukan adanya Metichillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pada tenaga medis dan paramedis di Ruang perinatologi dan ruang obsgyn Rumah Sakit Abdul Moeloek.
2. Dari 68 sampel didapatkan sampel positif Metichillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) yang berjumlah 15 sampel (22,1%), 31 sampel (45,6%) sensitif, 22 sampel (32,4%) bakteri non Staphylococcus aureus.
5.2Saran
1. Bagi instansi terkait untuk lebih menjaga kebersihan baik di dalam maupun disekitar ruangan rumah sakit.
2. Bagi instansi terkait untuk melakukan edukasi mengenai MRSA dan melakukan pencegahannya dengan mencuci tangan serta menggunakan antiseptik sebelum dan sesudah keluar dari area rumah sakit, sehingga menurunkan penyebaran MRSA.
(4)
58
3. Bagi instansi terkait untuk lebih mengawasi dan mengontrol kedisiplinan paramedis dalam menjalankan pekerjaan sesuai dengan standar prosedur rumah sakit.
4. Peneliti selanjutnya disarankan untuk meneliti lebih lanjut tentang MRSA pada tenaga medis dan paramedis diruangan lain sehingga dapat terlihat perbandingan tingkat MRSA dalam satu rumah sakit. 5. Peneliti selanjutnya disarankan untuk meneliti tentang MRSA pada
komunitas untuk mengetahui tingkat penyebaran MRSA di masyarakat.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Adaleti, R., Y. Nakipoglu, Z.C. Karahan, C. Tasdemir, dan F. Kaya. 2007. Comparison of polymerase chain reaction and conventional methods in detecting methicillin-resistant Staphylococcus aureus. J. of Infect Develop Countries. 2(1):46-50.
Ahmed M.O.,A.K. Elramalli, S.G. Amri, A.R. Abuzweda, dan Y.M. Abouzeed. 2012. Isolation and screening of methicillin-resistant Staphylococcus aureus from health care workers in Libyan hospitals. J. of Eastern Mediterranean Health. 18(1):37-42.
Anonim. 1979. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 262/Menkes/Per/III/1979 tentang Ketenagaan Rumah Sakit Pemerintah.
Anonim. 2005. Guidelines for the Management of Community Acquired
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (CA-MRSA) Infections in the US Navy and Marine Corps.
http://www-nehc.med.navy.mil/Downloads/prevmed/CPG_MRSA_20050516_final.pdf. Diakses 20 Oktober 2012.
Anonim. 2010. Healthcare system in Indonesia Pharmaceuticals and Healthcare Report Q3. BMI. London. 39 hlm.
Anonim. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 028/Menkes/Per/I/2011 Tentang Klinik.
Biantoro, I. 2008. Metichillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA). (Tesis). Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 7-26 pp.
Jawetz, G.F.B., Janet S. B., dan Stephen A. M. 2008. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 23. EGC. Jakarta. 225-228 hlm.
Fitri, Adelina. 2011. Infeksi Nosokomial.
http://epidemiologiunsri.blogspot.com/2011/11/infeksi-nosokomial.html. Diakses 15 Oktober 2012.
Kusuma, Sri A. F. 2009. Makalah Staphylococcus aureus. (Makalah). Universitas Padjajaran. Bandung. 1-8 pp.
(6)
60
Mahmudah, R. 2013. Identifikasi Metichillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pada tenaga medis dan paramedic ruang Intensive Care Unit (ICU) dan ruang perawatan bedah Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek. Skripsi. Universitas Lampung. Lampung
Nurkusuma, D.D. 2009. Faktor yang Berpengaruh Terhadap Metichillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pada Kasus Infeksi Luka Pasca Operasi di Ruang Perawatan Bedah Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.
Rukmono P., dan Zuraida R. 2013. Uji Kepekaan Antibiotik Terhadap
Pseudomonas aeroginosa Penyebab Sepsis Neonatorum. Jakarta. Sari Pediatri 2013;14(5) 332 – 336
Sasirekha B., Usha M, Amruta A., Ankit, Brinda, dan Divyaet. 2012. Evaluation and Comparison of Different Phenotypic Tests to Detect Methicillin Resistant Staphylococcus aureus and their Biofilm Production. J. of Pharmatech Research. 4(2):532-541.
Sastroasmoro, Sudigdo dan Sofyan Ismael. 2011. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi Keempat. Sagung Seto. Jakarta. 360-361 hlm. Sulistyaningsih. 2010. Uji kepekaan beberapa sediaan antiseptik Terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dan Staphylococcus aureus resisten metisilin (MRSA). Tesis. Universitas Padjajaran. Bandung.
Syukur. 2009. Mekanisme Resistensi Bakteri pada Antibiotik.
http://xx-antibiotik.blogspot.com/2009/09/mekanisme-resistensi-bakteri-pada.html. Diakses 12 Oktober 2012.
Tenover, Fred. 2006. Mechanisms of Antimicrobial Resistance in Bacteria. J. of American. 119(1):S4-S5.
Warsa, U.C. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Bina Rupa Aksara. Jakarta. 40 hlm.
Wahyono, H. 2005. Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian Methicillin Resistant Staphlococcus aureus (MRSA) pada penderita dengan Bakteremia di ruang Perawatan Intensif (studi kasus di RS Dr. Hasan sadikin dan RS dr. Kariadi, Kajian Operasional Terpadu). Diakses 2 November 2012 http://www.mediamedika.net/archives/52.
Yuwono. 2010. Pandemi Resistensi Antimikroba: Belajar dari MRSA. J. of Kulit Kelamin. 42(1):2837-2850.