Sistem Kekerabatan Masyarakat Tionghoa

34 Di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia para ahli waris atau waris tidak terlepas dari susunan kekerabatan atau sistem kemasyarakatanketurunan. Sistem kemasyarakatan ini sudah berlaku sejak sebelum masuknya ajaran agama Hindu, Kristen, dan Islam. Hampir di kota-kota besar di dunia, ada perkampungan Tionghoa atau yang sering disebut China Town. Di Pekanbaru, pencanangan untuk membangun China Town belum terealisasi. China Town di Kecamatan Senapelan, Pekanbaru merupakan kawasan ruko tua yang berjejer sepanjang sekitar 100 meter. Lokasi jalan ini sangat dekat dengan Pasar Bawah atau Pasar Wisata sebagai salah satu kebanggaan pusat perbelanjaan barang-barang luar negeri. Kawasan ini yang banyak dihuni masyarakat Tionghoa. Masyarakat Tionghoa lebih senang jika kawasan itu disebut sebagai Kampung Melayu Tionghoa. 51 Pemko Pekanbaru sendiri menyetujui kawasan tersebut dijadikan kawasan masyarakat Tionghoa. Masyarakat Tionghoa Pekanbaru, setapak-demi setapak terus berbenah untuk menjadikan kawasan tradisional masyarakat Tionghoa.

3. Sistem Kekerabatan Masyarakat Tionghoa

a. Syarat Pernikahan

Adat-istiadat Tionghoa sebenarnya tidak ada mengatur secara tertulis mengenai syarat-syarat perkawinan, melainkan syarat-syarat perkawinan tersebut hanya dilaksanakan secara terus menerus dan turun temurun dari generasi ke generasi. Peran orang tua sangat besar dalam pelaksanaan maupun pelestarian adat istiadat dalam 51 Rusli Pandika, Tata Cara Pengangkatan Anak Berdasarkan Hukum Adat Tionghoa, Media Aksara, Jakarta, 2009, hal. 22 Universitas Sumatera Utara 35 perkawinan, terutama mengenai syarat-syarat perkawinan, antara lain dengan memberitahukan kepada anak dan keturunannya serta menerapkannya dalam perkawinan anak-anaknya. Syarat perkawinan yang paling utama dilaksanakan dan dianut sampai sekarang adalah calon mempelai yang satu marga dilarang untuk menikah. Hal ini disebabkan karena mereka dianggap masih mempunyai hubungan darah satu dengan lainnya dan adanya anggapan bahwa perkawinan antara marga yang sama dapat memberikan keturunan yang kurang baik. Pada dasarnya syarat-syarat perkawinan dalam hukum adat Tionghoa sangat dipengaruhi oleh pandangan masyarakat etnis Tionghoa itu sendiri, terutama pandangan dari masyarakat dan kedua calon mempelai. Secara garis besar, syarat- syarat perkawinan dalam hukum adat Tionghoa sangat sederhana dan hanya terfokus kepada cara pandang dan kebiasaan-kebiasaan serta adat istiadat dari suku danatau masyarakat. Tidak ada akibat dan sanksi hukum yang timbul apabila syarat-syarat perkawinan tersebut tidak dipenuhi atau dilaksanakan oleh para pihak yang melangsungkan perkawinan, akan tetapi hanya berupa sanksi sosial, seperti cemoohan dari pihak masyarakat maupun masyarakat. 52 52 Wawancara dengan Ham Fu Hung Pemuka Adat Masyarakat Tionghoa Kecamatan Senapelan pada tanggal 11 Juli 2014 pukul 15.00 WIB dirumah kediamannya. Universitas Sumatera Utara 36 Masyarakat keturunan Tionghoa dalam suatu perkawinan yang akan dilaksanakan harus melalui tiga tahap upacara, yaitu: a. Upacara adat Tionghoa b. Upacara tata cara agama yang diyakini c. Upacara pesta perkawinan Resepsi Pernikahan. 53 Ketiga upacara itu tidak diharuskan dilaksanakan seluruhnya, karena di dalam melakukan tiap-tiap upacara tersebut diperlukan biaya-biaya yang tidak sedikit, kecuali memang tingkat ekonominya mendukung. Sekalipun hanya melakukan upacara perkawinan secara adat saja maupun tata cara agama, tanpa melaksanakan upacara pesta perkawinan, perkawinan tersebut telah dianggap sah dalam masyarakat adat Tionghoa. Upacara pernikahan merupakan adat perkawinan yang didasarkan atas dan bersumber kepada kekerabatan, keleluhuran dan kemanusiaan serta berfungsi melindungi masyarakat. Upacara pernikahan tidaklah dilakukan secara seragam di semua tempat, tetapi terdapat berbagai variasi yang disesuaikan dengan pandangan mereka pada adat tersebut dan pengaruh adat lainnya pada masa lampau. Pesta dan upacara pernikahan merupakan saat peralihan sepanjang kehidupan manusia yang sifatnya universal. Perkawinan penting untuk mengekalkan institusi masyarakat. Melalui perkawinan, keturunan nenek moyang dapat diteruskan daripada satu generasi kepada generasi yang lain. Walaupun perkawinan pada masa kini perlu didaftarkan, tetapi upacara dan kenduri perkawinan penting dalam mengumumkan 53 Vasanti Puspa, Kebudayaan Orang Tionghoa Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1996, hal. 43 Universitas Sumatera Utara 37 pada pihak ketiga tentang telah dilangsungkannya perkawinan tersebut. 54 Oleh karena itu, upacara perkawinan selalu ada pada hampir setiap kebudayaan. Demikian pula halnya dengan adat pernikahan orang Tionghoa yang mempunyai upacara-upacara.

b. Prosedur Pelaksanaannya

Prosedur pelaksanaan perkawinan ini terdiri atas beberapa tahapan yaitu: 55 1. Melamar Untuk menghindari kesia-siaan dan rasa malu, lazimnya lamaran dilakukan setelah pihak masyarakat pria mendapat kepastian bahwa lamaran akan diterima. Ketika proses lamaran berlangsung pun, pihak pelamar belum akan menyentuh makanan dan minuman yang disajikan sebelum masyarakat calon mempelai wanita memastikan lamaran telah diterima. Saat akan pulang, ayah atau wali dari calon mempelai pria akan menyelipkan angpau berisi uang di bawah cangkir teh yang disajikan calon mempelai wanita sebagai tanda kasih kepada calon menantu. Sebagai balasan, jika lamaran diterima, masyarakat pengantin wanita akan memberi perhiasan sebagai tanda ikatan. 2. Penentuan Hari Baik, Bulan Baik Masyarakat Tionghoa percaya bahwa dalam setiap melaksanakan suatu upacara, harus dilihat hari dan bulannya. Apabila jam, hari dan bulan pernikahan kurang tepat akan dapat mencelakakan kelanggengan 54 Ibid, hal. 45 55 Aan Wan Seng, Kebudayaan dan Adat Masyarakat Tionghoa Dalam Upacara Pernikahan, Pustaka Sarana, Pekanbaru, 2009, hal. 31. Universitas Sumatera Utara 38 pernikahan mereka. Oleh karena itu harus dipilih jam, hari dan bulan yang baik. Biasanya semuanya serba muda yaitu jam sebelum matahari tegak lurus, hari tergantung perhitungan bulan Tionghoa, dan bulan yang baik adalah bulan naik menjelang purnama. 3. Prosesi Seserahan Adat Tionghoa atau Sangjit Sangjit merupakan tradisi hantaran rantang bambu yang disusun bulat atau persegi empat, berisi aneka buah dan kue yang jumlahnya harus genap. Namun, semua tergantung kemampuan calon mempelai pria. Hantaran ini akan dibawa oleh para pria lajang. Tradisi ini diyakini akan membuat para pembawa hantaran ini menjadi ”enteng jodoh”. Diantara sekian banyak barang hantaran terdapat beberapa barang bermakna simbolis. Pada budaya Tionghoa suku tertentu, hantaran yang diterima tidak diambil seluruhnya, melainkan hanya separuh. Bahkan, uang susu sebagai ungkapan terima kasih kepada ibu pengantin wanita yang telah membesarkan anak gadisnya sama sekali tidak diambil. Ini sebagai isyarat si ibu tidak mempunyai pamrih atas jasa itu. Hantaran yang telah diterima akan dibalas dengan hantaran pula. Dalam rangkaian adat Tionghoa, Sangjit dilakukan setelah acara lamaran. Hari dan waktu yang baik untuk melakukan Sangjit ini ditetapkan pada saat proses lamaran tersebut. Dalam prakteknya, Sangjit sering ditiadakan atau digabung dengan lamaran. Namun sayang rasanya meniadakan prosesi Universitas Sumatera Utara 39 yang satu ini, karena makna yang terkandung di dalamnya sebenarnya sangat indah. 4. Menata Kamar Pengantin Seusai melaksanakan prosesi sangjit, masyarakat calon pengantin pria akan mempersiapkan ranjang baru untuk kamar pengantin. Ada tradisi unik, anak-anak akan diminta meloncat-loncat di atas ranjang pengantin sebelum ranjang ditata. Selain bisa untuk menguji kekuatan ranjang, ada mitos tradisi ini bisa membuat pengantin cepat mendapat momongan. 5. Menyalakan Lilin Ada keharusan bagi orang tua kedua calon pengantin untuk menyalakan lilin perkawinan beberapa hari menjelang pernikahan digelar. Nyala lili perkawinan dipercaya bisa mengusir pengaruh buruk yang dapat mengacaukan jalannya prosesi pernikahan. Biasanya lilin dinyalakan mulai pukul satu dini hari. Lilin harus tetap menyala hingga tiga hari setelah pernikahan. 6. Siraman Siraman dalam tradisi masyarakat Tionghoa diawali dengan sembahyang dan penghormatan kepada leluhur. Setelah itu, barulah mempelai wanita dimandikan dengan air yang telah dibubuhi wewangian alami. Selain untuk membersihkan mempelai dan membuatnya wangi, ritual ini juga bermaksud mengusir pengaruh jahat yang bisa mengganggu mempelai. Universitas Sumatera Utara 40 7. Menyisir rambut atau chio thao Chio thao biasanya dilakukan oleh orang yang telah menikah dan memiliki keturunan. Mempelai akan disisir sebanyak tiga kali. Mempelai yang akan menjalani prosesi ini didudukkan di atas kursi yang telah dialasi tampah besar bergambar yin-yang. Dihadapan mereka terdapat meja kecil yang diatasnya telah diletakkan penakar beras yang terisi penuh oleh beras dan sembilan benda simbolis, yaitu timbangan obat khas China, alat pengukur panjang, cermin, sisir, gunting, pedang, pelita. Selain itu, terdapat juga benang sutra yang terdiri dari lima warna. Semua benda-benda ini mengandung makna ajaran moral bagi calon pengantin untuk membereskan segala keruwetan rumah tangga yang akan dihadapi serta mampu menimbang baik-buruknya suatu tindakan. 8. Makan 12 Sayur Memasuki detik-detik penyambutan pengantin pria, mempelai wanita yang telah dipakaikan busana pengantin oleh orang tuanya, dibimbing menuju meja makan. Diatas meja telah tersaji 12 mangkuk yang masing-masing berisi satu jenis masakan yang memiliki rasa yang berbeda-beda. Manis, asin, asem, pedas, pahit, gurih, dan sebagainya. Semua rasa ini menjadi pelambang suka-duka hidup berumah tangga yang harus dijalani dan dinikmati. Pengantin pria juga menjalani prosesi yang sama di rumahnya, sebelum berangkat menuju rumah pengantin wanita. Universitas Sumatera Utara 41 9. Penjemputan Mempelai Wanita Mempelai pria yang datang untuk menjemput mempelai wanita akan disambut dengan taburan beras kuning, biji buncis merah dan hijau, uang logam, serta bunga. Aneka taburan ini bermakna kesejahteraan yang melimpah bagi mempelai. Masih dalam keadaan wajah ditutupi kerudung, mempelai wanita dipertemukan dengan pengantin pria yang telah datang menjemput. Dalam prosesi ini, kerudung pelambang kesucian belum boleh dibuka. 10. Penyambutan Pengantin Wanita Di rumah segala keperluan untuk menyambut kedatangan pengantin telah dipersiapkan. Begitu rombongan pengantin datang, di muka pintu, ibu dan nenek pengantin pria yang telah menunggu akan menyambut dengan taburan beras kuning, biji kacang buncis hijau dan merah sebagai simbol kesuburan, serta uang logam sebagai lambang rezeki dan kemakmuran. Setelah pasangan pengantin masuk rumah, keduanya akan dibimbing menuju kamar, barulah kerudung pengantin wanita boleh dibuka.

c. Upacara Agama

1. Upacara Sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa danatau Leluhur. Di pagi hari pada upacara hari pernikahan, diadakan Cio Tao. Namun, adakalanya upacara sembahyang Tuhan ini diadakan pada tengah malam menjelang pernikahan. Selain menyembahyangi Tuhan Yang Maha Esa, calon pengantin pria dan wanita juga memberi hormat kepada para leluhur Universitas Sumatera Utara 42 dari calon pengantin pria dan juga para leluhur dari calon mempelai wanita dengan disaksikan orangtua dan sanak masyarakat sebagai persyaratan sahnya perkawinan mereka secara adat dan kepercayaan. Meja sembahyang yang digunakan berwarna merah 3 tingkat. Di bawahnya diberi 7 macam buah. Di bawah meja harus ada jambangan berisi air, rumput berwarna hijau yang melambangkan alam nan makmur. Di belakang meja ada tampah dengan garis tengah 2 meter dan di atasnya ada tong kayu berisi sisir, timbangan, sumpit. Yang semuanya itu melambangkan kebaikan, kejujuran, panjang umur dan setia. 56 Kemudian selain melakukan acara sembahyang di rumah masing-masing, acara tata cara agama juga dapat dan hendaknya dilaksanakan di lembaga keagamaan, seperti Vihara misalnya, karena dari Vihara tersebut akan dikeluarkan Surat Keterangan Perkawinan yang akan diperlukan untuk melakukan pencatatan perkawinan. Persyaratan administrasi yang diperlukan untuk pelaksanaan pernikahan secara agama Budha, yakni dengan melampirkan dokumen-dokumen berikut: 57 a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk masing-masing calon mempelai pria dan wanita yang masih berlaku sebanyak 2 lembar ; 56 Wawancara dengan Youngki Darna Putra Tokoh Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru, tanggal 15 Januari 2014, pukul 15.00 WIB dikediamannya. 57 Aan Wan Seng, Op. Cit, hal. 42 Universitas Sumatera Utara 43 b. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk orang tua danatau wali dari calon mempelai pria dan wanita sebanyak 2 lembar ; c. Fotokopi Akta Kelahiran masing-masing calon mempelai pria dan wanita sebanyak 2 lembar ; d. Fotokopi Kartu Masyarakat masing-masing calon mempelai pria dan wanita sebanyak 2 lembar ; e. Fotokopi Kartu Tisarana masing-masing calon mempelai pria dan wanita bila belum ada dapat mengambil Tisarana sebelum upacara tata cara agama dilakukan ; f. Pas Foto warna berukuran 2 x 3 masing-masing 3 lembar ; g. Fotokopi Undangan Pernikahan sebanyak 2 lembar ; h. Fotokopi Surat Ganti Nama sebanyak 2 lembar jika ada. Selain itu, guna melakukan pencatatan sipil diperluka dokumen-dokumen tambahan, yakni: a. Fotokopi Surat Keterangan Bukti Kewarganegaraan Indonesia dari kedua orang tua calon mempelai pria dan wanita sebanyak 2 lembar; b. Fotokopi Akta Kelahiran kedua orang tua calon mempelai pria dan wanita sebanyak 2 lembar ; c. Pas Foto warna berukuran 6 x 4 kedua orang tua calon mempelai pria dan wanita sebanyak 3 lembar ; d. Fotokopi Surat Ganti Nama kedua orang tua calon mempelai pria dan wanita sebanyak 2 lembar jika ada ; Universitas Sumatera Utara 44 e. Fotokopi paspor jika merupakan Warga Negara Asing ; f. Surat asli dan fotokopi Surat Keterangan Lurah sebanyak 2 lembar, yang antara lain menerangkan bahwa status calon mempelai belum pernah menikah hanya berlaku 3 bulan. 2. Penghormatan kepada Orang tua dan Masyarakat Setelah selesai ritual sembahyang, dilanjutkan dengan penghormatan kepada kedua orang tua, masyarakat dan kerabat dekat yang lebih tua dari kedua calon mempelai. Penghormatan dilakukan dengan menuangkan secangkir teh hangat Phang Teh untuk diminum oleh kedua orang tua, masyarakat dan kerabat dekat yang lebih tua sebagai wujud restu atas pernikahan yang mereka lakukan sambil mengelilingi tampah dan berlutut serta bersujud. Upacara ini sangat sakral dan merupakan salah satu acara yang paling penting dalam perkawinan adat Tionghoa. Setiap penghormatan akan dibalas dengan ”ang pauw”, baik berupa uang maupun emas.

d. Resepsi Pernikahan

Selesai upacara penghormatan, pada malam hari dilanjutkan dengan resepsi pernikahan yang biasanya diselenggarakan di restoran maupun di rumah dengan mengundang sanak masyarakat dan teman-teman dari calon pengantin maupun kedua orang tuanya. Dalam acara resepsi pernikahan ini dilakukan pemotongan kue pernikahan Wedding Cake, acara makan dan hiburan, serta kedua mempelai wanita dan pria beserta kedua orang tua dan masyarakat dekat duduk bersama dalam satu Universitas Sumatera Utara 45 meja yang diberikan kain merah sebagai taplak meja sebagai lambang kebersamaan dalam kebahagian. 58

e. Membawa Pulang Calon Mempelai Wanita

Tul Sam Ciao Setelah segala upacara-upacara tersebut diatas selesai dilakukan, maka tiba saat perpisahan calon mempelai wanita kepada kedua orang tuanya dan melanjutkan hidup sebagai isteri serta menantu masyarakat mempelai pria. Mulai saat itulah, mempelai wanita tinggal bersama dan serumah dengan masyarakat mempelai laki-laki.

f. Akibat Hukum Pernikahan

Akibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan menurut hukum adat Tionghoa berbeda dengan akibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perbedaan paling mendasar terletak pada kepastian hukumnya. Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan jelas mengatur mengenai akibat-akibat hukum suatu perkawinan, mulai dari hak dan kewajiban suami isteri dan anak serta mengenai harta benda perkawinan sedangkan akibat hukum perkawinan menurut hukum adat Tionghoa lebih cenderung kepada pertanggungjawaban moral karena tidak adanya hukum tertulis yang mengatur masalah ini secara tegas. Jadi mengenai hak dan kewajiban suami, isteri dan anak-anak serta harta benda 58 Wawancara dengan Youngki Darna Putra Tokoh Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru, tanggal 15 Januari 2014, pukul 15.00 WIB dikediamannya. Universitas Sumatera Utara 46 perkawinan dilaksanakan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan dalam adat-istiadat Tionghoa. 59 Perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum adat Tionghoa menimbulkan akibat-akibat hukum sebagai berikut: 1. Terhadap suami dan isteri 2. Terhadap anak 3. Terhadap harta benda perkawinan.

B. Dasar Hukum Pengangkatan Anak

Anak angkat adalah anak orang lain yang dijadikan anak dan secara lahir batin diperlakukan seakan-akan sebagai anak kandung sendiri “ada kecintaankesayangan”. Dalam hukum adat dikenal 2 macam pengangkatan anak, yaitu: 1. Pertama, pengangkatan anak yang dilakukan secara terang dan tunai, artinya pengangkatan anak dilakukan secara terbuka dihadiri segenap masyarakat, pemuka adat terang dan seketika itu juga diberikan pembayaran uang adat tunai. Akibat hukum putus, hubungan hukum antara anak tersebut dengan orang tua aslinya. 2. Kedua, pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, artinya pengangkatan anak dilakukan secara diam-diam tanpa mengundang masyarakat seluruhnya atau hanya dihadiri oleh masyarakat tertentu dan 59 Sri Rizky Widyanti, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Sebagai Unifikasi Hukum Perkawinan Nasional di Indonesia, Mitra Ilmu Surabaya, 2008, hal, 50 Universitas Sumatera Utara 47 tidak dihadiri oleh pemuka adat atau desa, dan tidak dengan pembayaran uang adat. 60 Akibatnya tidak memutuskan hubungan antara anak tersebut dengan orang tua aslinya, maka disebut mewaris dari 2 dua sumber yaitu dengan orang tua asli dan orang tua angkat. Palaksanaan pengangkatan anak secara diam-diam dilakukan pada masyarakat Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan. Perbedaan antara pengangkatan anak secara terang dan tunai dengan pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai terletak pada akibat hukumnya, yaitu pengangkatan anak secara terang dan tunai, anak tersebut putus hubungan hukum dengan orang tua aslinya, masuk menjadi masyarakat orang tua angkatnya serta mewaris dari orang tua angkat nya dan tidak mewaris dari orang tua aslinya. Sebaliknya pengangakatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, anak tersebut masih bertempat tinggal dengan orang tua aslinya dan hubungan hukum dengan orang tua aslinya tidak putus. Dengan demikian anak angkat itu masih tetap mempunyai hak mewaris dari orang tua aslinya. Sebelum dikeluarkan Staatblaad Tahun 1917 No. 129 S.1917:129 khususnya Pasal 4 sampai dengan Pasal 15 yang mengatur tentang adopsi bagi golongan Tionghoa di Indonesia, pada dasarnya masyarakat Tionghoa di Indonesia, telah mengikuti hukum adat mengenai tata cara pengangkatan anak adopsi. Menurut hukum adat Tionghoa, seharusnya yang masuk dalam preferensi pertama diadopsi adalah masyarakat sedarah dari generasi yang tepat dibawah 60 Tamakiran, Asas-Asas Hukum Waris, Puionir Jaya, Bandung, 1972, hal. 52 Universitas Sumatera Utara 48 generasi adoptan, seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-laki, kemudian lebih jauh, anak laki-laki dari sepupu laki-laki dari paman. Karena nantinya anak adopsi dan anak adoptan sendiri, akan berada dalam generasi yang sama. Dengan demikian, tampak bahwa adopsi tidak bisa dilangsungkan terhadap sembarang orang, seperti misalnya mengadopsi anak laki-lakinya sendiri, atau pamannya, sebab akan terjadi kekacauan dalam hubungan kemasyarakatan. Kebiasaan lain dari adopsi menurut hukum adat Tionghoa adalah adanya larangan untuk mengangkat anak dari masyarakat lain, yang tampak dari dipakainya nama masyarakat yang lain. Namun demikian, dalam prakteknya ternyata banyak muncul adopsi atas anak-anak yang memakai nama masyarakat lain. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Bugerlijk Weetboek BW yang berlaku di Indonesia tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam KUHPerdata adalah adopsiatau pengangkatan anak diluar kawin yaitu yang terdapat dalam Bab XII bagian ke III Pasal 280 sampai dengan Pasal 290 KUHPerdata. Namun ketentuan ini bisa dikatakan tidak ada hubungannya dengan adopsi, karena pada asasnya KUHPerdata tidak mengenal adopsi. 61 Tidak diaturnya lembaga adopsi karena KUHPerdata merupakan produk pemerintahan Hindia Belanda dimana dalam hukum masyarakat Belanda sendiri tidak mengenal lembaga adopsi. Diberlakukannya KUHPerdata bagi golongan Tionghoa, khususnya bagi hukum masyarakat sudah tentu menimbulkan dilema bagi masyarakat Tionghoa. Hal tersebut berkenaan dengan tidak diaturnya lembaga adopsi berdasarkan hukum masyarakat 61 R.Soeroso, Op, Cit, hal. 178 Universitas Sumatera Utara 49 Tionghoa sebelum berlakunya KUHPerdata sangat kental dengan tradisi adopsi, terutama bagi masyarakat yang tidak mempunyai anak atau keturunan laki-laki demi meneruskan eksistensi marag masyarakat dan pemujaan atau pemeliharaan abu leluhur. Berkenaan dengan permasalahan tersebut, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1917 mengeluarkan Staatblaad No.129 yang didalam Pasal 4, Pasal 6, Pasal 7 Pasal 10, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 15. Pasal 4 Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, “suami istri atau duda yang tidak mempunyai anak laki-laki yang sah dalam garis laki-laki baik keturunan dari kelahiran atau keturunan karena pengangkatan, orang demikian diperbolehkan mengangkat anak laki-laki sebagai anaknya”. Pasal 5 Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, “Seorang janda cerai mati yang tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak dilarang oleh bekas suaminya dengan surat wasiat berhak melakukan pengangkatan anak”. Pasal 6 Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, “Yang boleh diangkat sebagai anak angkat adalah anak Tionghoa laki-laki yang tidak beristri dan tidak beranak dan tidak sedang dalam status diangkat oleh orang lain.” Pasal 7 ayat 1 Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, “Mengatur batas usia anak dan orang tua yang boleh diangkat sebagai anak angkat yaitu usia anak yang diangkat harus 18 delapan belas tahun lebih muda dari suami bapak angkat dan 15 limabelas tahun lebih muda dari istri ibu angkat”. Universitas Sumatera Utara 50 Pasal 10 ayat 1 Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, “Pengangkatan anak harus dilakukan atas dasar kata sepakat antara orang tua kandung dan orang tua yang akan mengangkat anak angkat tersebut”. Pasal 10 ayat 2 Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, “Pengangkatan anak harus dilakukan dengan akta notaris”. Pasal 12 Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, “Akibat hukum pengangkatan anak menyebabkan anak angkat tersebut berkedudukan sama dengan anak sah dari perkawinan orangtua yang mengangkatnya. Termasuk jika yang mengangkat anak tersebut seorang janda, anak angkat adoptandus tersebut harus dianggap dari hasil perkawinan dengan almarhum suami”. Pasal 13 Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, “Pengangkatan anak menghapus semua hubungan kekeluargaan dengan keluarga asal, kecuali dalam hal a penderajatan kekeluargaan sedarah dan semenda dalam perkawinan, b ketentuan pidana yang didasarkan atas keturunan, c mengenai perhitungan biaya perkara dan penyanderaan, d mengenai pembuktian dengan saksi, e mengenai saksi dalam pembuatan akta autentik. Oleh karena hukum akibat adopsi menyebabkan hubungan kekeluargaan dengan keluarga asalnya menjadi hapus, maka hal ini berakibat juga pada hukum waris yaitu anak angkat tidak lagi mewaris dari keluarga sedarah asalnya, sebaliknya mewaris dari keluarga ayah dan ibu yang mengangkat dirinya”. Pasal 15 ayat 1 Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, “Suatu pengangkatan anak tidak dapat dibatalkan dengan kesepakatan para pihak”. Pasal 15 ayat 1 Staatblaad 1917 No. 129 tersebut merupakan penyimpangan dari ketentuan Universitas Sumatera Utara 51 Pasal 1338 ayat 2 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah dapat dibatalkan dengan sepakat para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Pasal 15 ayat 2 Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, “Pengangkatan terhadap anak perempuan dan terhadap anak laki-laki tanpa membuat akta autentik adalah batal demi hukum dan juga pengangkatan anak atas tuntutan oleh pihak yang berkepentingan juga dapat dinyatakan batal demi hukum”. Namun sehubungan dengan berkembangnya kebutuhan adopsi dikalangan masyarakat Tionghoa dewasa ini, berlakunya Staatblaad tahun 1917 No.129 yang hanya mengatur pengangkatan anak laki-laki telah mulai ditinggalkan karena kebutuhan adopsi tidak hanya terbatas pada anak laki-laki saja tetapi juga terhadap anak permpuan. Perkembangan pengangkatan terhadap anak perempuan tersebut bahkan telah berlangsung sejak tahun 1963, seperti dalam kasus pengangkatan anak perempuan yang dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 9071963 Pengangkatan tertanggal 29 Mei 1963 dan keputusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 5881963 tertanggal 17 Oktober 1963. bahkan pada tahun yang sama pada kasus lain mengenai perkara pengangkatan anak perempuan Pengadilan Negeri Jakarta dalam suatu putusannya antara lain menetapkan bawha Pasal 5, 6 dan 15 ordonansi Staatblaad Tahun 1917 No.129 yang hanya memperbolehkan Universitas Sumatera Utara 52 pengangkatan anak laki-laki dinyatakan tidak berlaku lagi, karena bertentangan deangan Undang-Undang Dasar 1945. 62 Pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak dapat mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak. Demikian juga bagi mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam perkawinan. Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA No.6 Tahun 1983, tidak melarang pengangkatan anak perempuan, karena pengangkatan anak telah menjadi kebutuhan bagi semua masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Tionghoa. Hal tersebut tercermin dalam SEMA No. 2 Tahun 1979, tentang Pengangkatan Anak pada angka 1 butir ke 3. SEMA No. 6 Tahun 1983 tentang Pengangkatan Anak, Angka II butir 3 yang berbunyi “Semula digolongkan penduduk Tionghoa Staatblad 1971 No.129 hanya dikenal adopsi terhadap anak laki-laki, tetapi setelah yurisprudensi tetap menyatakan sah pula pengangkatan anak perempuan”. Di Indonesia Pemerintah menghendaki adanya kesejahteraan terhadap anak- anak, untuk itu pemerintah mengeluarkan produk yang memberikan perlindungan terhadap anak-anak yaitu dengan disahkannya Undang-Undang ini mengatur tentang berbagai upaya dalam rangka untuk memnerikan perlindungan, pemenuhan hak-hak dan meningkatkan kesejahteraan anak. 62 J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal.202 Universitas Sumatera Utara 53 Pengertian pengangkatan anak menurut PP Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2007 adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seseorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertangguang jawab atas perawatan, pendidikan, dan membersarkan anak tersebut, kedalam lingkungan masyarakat orang tua angkat. Di Indonesia pemerintah menghendaki adanya kesejahteraan terhadap anak, untuk itu pemerintah mengeluarkan produk yang memberikan perlindungan terhadap anak yaitu dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatur tentang berbagai upaya dalam rangka untuk memberikan perlindungan, pemenuhan hak-hak dan meningkatkan kesejahteraan anak. Kemudian dapat dilihat pengertian pengangkatan anak menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan pengangkatan anak yaitu suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seseorang anak dari lingkungan kekuasaan orangtua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan masyarakat orangtua angkat. Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA Nomor 2 Tahun 1979 jo. Nomor 6 Tahun 1983 tentang Pengangkatan Anak menerangkan bahwa pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak dapat mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak. Demikian juga Universitas Sumatera Utara 54 bagi mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam perkawinan. Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPerdata atau Bugerlijk Weetboek BW yang berlaku di Indonesia tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam KUH Perdata adalah adopsi atau pengangkatan anak diluar kawin yaitu yang terdapat Pasal 280 sampai dengan Pasal 290 KUH Perdata. Namun ketentuan ini bisa dikatakan tidak ada hubungannya dengan adopsi, karena pada asasnya KUHPerdata tidak mengenal adopsi. 63 Tidak diaturnya lembaga adopsi karena KUHPerdata merupakan produk pemerintahan Hindia Belanda dimana dalam hukum masyarakat Belanda sendiri tidak mengenal lembaga adopsi. Diberlakukannya KUH Perdata bagi golongan Tionghoa, khususnya bagi hukum masyarakat sudah tentu menimbulkan dilema bagi masyarakat Tionghoa. Yang berkenaan dengan tidak diaturnya lembaga adopsi berdasarkan hukum masyarakat Tionghoa sebelum berlakunya KUH Perdata sangat kental dengan tradisi adopsi, terutama bagi masyarakat yang tidak mempunyai anak atau keturunan laki- laki demi meneruskan eksistensi marga masyarakat dan pemujaan atau pemeliharaan abu leluhur. Berkenaan dengan permasalahan tersebut, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1917 mengeluarkan Staatblaad Nomor 129 yang didalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 memberi pengaturan tentang adopsi bagi masyarakat golongan Tionghoa di Indonesia. 63 Soeroso, Op.Cit, hal. 178 Universitas Sumatera Utara 55 Berkembangnya kebutuhan adopsi dikalangan masyarakat Tionghoa dewasa ini, berlakunya Staatblaad tahun 1917 Nomor 129 yang hanya mengatur pengangkatan anak laki-laki telah mulai ditinggalkan karena kebutuhan adopsi tidak hanya terbatas pada anak laki-laki saja tetapi juga terhadap anak perempuan. Perkembangan pengangkatan terhadap anak perempuan tersebut bahkan telah berlangsung sejak tahun 1963, seperti dalam kasus pengangkatan anak perempuan yang dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 9071963Pengangkatan tertanggal 29 Mei 1963 dan keputusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 5881963 tertanggal 17 Oktober 1963. Bahkan pada tahun yang sama pada kasus lain mengenai perkara pengangkatan anak perempuan Pengadilan Negeri Jakarta dalam suatu putusannya antara lain menetapkan bahwa Pasal 5, 6 dan 15 ordonansi Staatblaad tahun 1917 Nomor 129 yang hanya memperbolehkan pengangkatan anak laki-laki dinyatakan tidak berlaku lagi, karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. 64

C. Pengertian Pengangkatan Anak

Arif Gosita mendefinisikan pengangkatan anak sebagai suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan. 65 64 J.Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 202 65 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo, Jakarta, 1984, hal.44 Universitas Sumatera Utara 56 Secara etimologi yaitu asal usul kata adopsi berasal dari bahasa Belanda “Adoptie” atau adoption bahasa Inggris yang berarti pengangkatan anak. Soerjono Soekanto adopsi adalah suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri atau mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah. 66 Sementara ING Sugangga menjelaskan bahwa anak angkat adalah orang lain yang dijadikan anak dan secara lahir batin diperlakukan seakan-akan sebagai anak kandung sendiri “ada kecintaankesayangan”. 67 Hilman Hadikusuma menjelaskan bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangganya. 68 Surojo Wignjodipuro juga menjelaskan bahwa anak angkat adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam masyarakatnya sendiri sedemikian rupa sehingga antara orangtua yang mengangkat anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kemasyarakatan yang sama, seperti yang ada antara orangtua dengan anak kandung sendiri. 69 Menurut Muderis Zaini, anak angkat adalah penyatuan seseorang anak yang diketahui bahwa ia sebagai anak orang lain kedalam masyarakatnnya. Ia diperlakukan 66 Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga,Alumni, Bandung, 1980, hal. 52 67 ING Sugangga, Hukum Waris Adat, Semarang: Universitas Diponegoro, 1995, hal.35 68 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat,Alumni, Bandung, 1991, hal. 20 69 Surojo Wignjodipuro, Asas-asas Hukum Adat, Kinta, Jakarta, 1972, hal. 14 Universitas Sumatera Utara 57 sebagai anak segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, dan bukan diperlakukan sebagai anak nashabnya sendiri. 70 Sementara M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata dalam Irma Setyowati Soemitro menjelaskan bahwa anak angkat adalah pengambilan anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari orangtua angkatnya. Ditambahkan bahwa adopsi ini dilakukan dengan sedemikian rupa sehingga anak itu baik lahir maupun batin merupakan anaknya sendiri. 71 Beberapa definisi serta batasan dari beberapa sarjana yang telah disebut di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa anak angkat adalah upaya mengalihkan hak serta kewajiban anak yang bukan asli dari keturunannya untuk dimasukkan kedalam satu masyarakat, sehingga hak dan kewajiban si anak menjadi beralih kepada pihak yang mengangkatnya sebagai anak selayaknya anak kandung. Dari segi etimologi yaitu asal usul kata pengangkatan anak berasal dari bahasa Belanda “Adoptie” atau adoption bahasa Inggris yang berarti pengangkatan anak. Dalam bahasa arab disebut “Tabanni” yang menurut prof. Mahmud Yunus diartikan dengan “mengambil anak angkat”, sedang menurut kamus Munjid diartikan “menjadikannya sebagai anak”. Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri. 72 70 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Segi Tiga Sistem Hukum, Bina Akasara, Jakarta, 1985, hal. 85 71 M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata dalam Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Semarang, 1990, hal.34 72 Mundaris Zain, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum,Sinar Grafika, Jakarta, 1985, hal. 4 Universitas Sumatera Utara 58 Ensiklopedia umum disebutkan pengangkatan anak adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orangtua dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Biasanya pengangkatan anak diadakan untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orangtua yang tidak beranaktidak mempunyai anak. Akibat dari pengangkatan yang demikian itu ialah bahwa anak yang diangkat kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan pengangatan anak calon orangtua harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan bagi anak. Mengenai definisi pengangkatan anak, terdapat beberapa sarjana yang telah memberikan pendapatnya, diantaranya adalah Surojo Wigjodiporo, menurut beliau pegangkatan anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam masyarakat sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang mengangkat anak dan anak yang dipungutdiangkat itu timbul suatu hubungan kemasyarakatan yang sama seperti yang ada antara orangtua dan anak kandungnya sendiri. 73 Menurut Soerjono Soekanto pengangkatan anak adalah suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri atau mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah. 74 73 Surojo Wignjodipoero, Intisari Hukum Keluarga, Alumni, Bandung, 1973, hal. 123 74 Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Alumni, Bandung, 1980, hal. 52 Universitas Sumatera Utara 59 Sementara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak: Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan masyarakat, orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggunng jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan masyarakat orangtua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan. Anak angkat adalah anak orang lain yang dijadikan anak dan secara lahir batin diperlakukan seakan-akan sebagai anak kandung sendiri “ada kecintaankesayangan”. Dalam hukum adat dikenal 2 macam pengangkatan anak, yaitu: 1. Pertama, pengangkatan anak yang dilakukan secara terang dan tunai, artinya pengangkatan anak dilakukan secara terbuka dihadiri segenap masyarakat, pemuka adat terang dan seketika itu juga diberikan pembayaran uang adat tunai. Akibat hukum putus, hubungan hukum antara anak tersebut dengan orang tua aslinya. 2. Kedua, pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, artinya pengangkatan anak dilakukan secara diam-diam tanpa mengundang masyarakat seluruhnya atau hanya dihadiri oleh masyarakat tertentu dan tidak dihadiri oleh pemuka adat atau desa, dan tidak dengan pembayaran uang adat. 75 Akibatnya tidak memutuskan hubungan antara anak tersebut dengan orang tua aslinya, maka disebut mewaris dari 2 dua sumber yaitu dengan orang tua asli dan orang tua angkat. Palaksanaan pengangkatan anak secara diam-diam dilakukan pada masyarakat Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan. Perbedaan antara pengangkatan anak secara terang dan tunai dengan pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai terletak pada akibat hukumnya, yaitu pengangkatan anak secara terang dan tunai, anak tersebut putus hubungan hukum dengan orang tua aslinya, masuk menjadi masyarakat orang tua angkatnya 75 Tamakiran, Asas-Asas Hukum Waris, Pionir Jaya, Bandung, 1972, hal. 52 Universitas Sumatera Utara 60 serta mewaris dari orang tua angkat nya dan tidak mewaris dari orang tua aslinya. Sebaliknya pengangakatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, anak tersebut masih bertempat tinggal dengan orang tua aslinya dan hubungan hukum dengan orang tua aslinya tidak putus. Dengan demikian anak angkat itu masih tetap mempunyai hak mewaris dari orang tua aslinya.

D. Alasan Pengangkatan Anak

Surojo Wignjodipuro juga menjelaskan bahwa anak angkat adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam masyarakatnya sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang tua yang mengangkat anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kemasyarakatan yang sama, seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri. 76 Menurut Muderis Zaini, anak angkat adalah penyatuan seseorang anak yang diketahui bahwa ia sebagai anak orang lain kedalam masyarakatnnya. Ia diperlakukan sebagai anak segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, dan bukan diperlakukan sebagai anak nashabnya sendiri. 77 Sementara M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata dalam Irma Setyowati Soemitro menjelaskan bahwa anak angkat adalah pengambilan anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari orang tua angkatnya. Ditambahkan bahwa adopsi 76 Surojo Wignjodipuro, Asas-asas Hukum Adat, Kinta, Jakarta, 1972, hal. 14 77 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Segi Tiga Sistem Hukum, Bina Akasara, Jakarta, 1985, hal. 85 Universitas Sumatera Utara 61 ini dilakukan dengan sedemikian rupa sehingga anak itu baik lahir maupun batin merupakan anaknya sendiri. 78 Beberapa definisi serta batasan dari beberapa sarjana yang telah disebut di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa anak angkat adalah upaya mengalihkan hak serta kewajiban anak yang bukan asli dari keturunannya untuk dimasukkan kedalam satu masyarakat, sehingga hak dan kewajiban si anak menjadi beralih kepada pihak yang mengangkatnya sebagai anak selayaknya anak kandung. Dari segi etimologi yaitu asal usul kata pengangkatan anak berasal dari bahasa Belanda “Adoptie” atau adoption bahasa Inggris yang berarti pengangkatan anak. Dalam bahasa arab disebut “Tabanni” yang menurut prof. Mahmud Yunus diartikan dengan “mengambil anak angkat”, sedang menurut kamus Munjid diartikan “menjadikannya sebagai anak”. Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri. 79 Ensiklopedia umum disebutkan pengangkatan anak adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Biasanya pengangkatan anak diadakan untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranaktidak mempunyai anak. Akibat dari pengangkatan yang demikian itu ialah bahwa anak yang diangkat kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan 78 M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata dalam Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Semarang, 1990, hal.34 79 Mundaris Zain, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. 1985, hal. 4 Universitas Sumatera Utara 62 segala hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan pengangatan anak calon orang tua harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan bagi anak. Mengenai definisi pengangkatan anak, terdapat beberapa sarjana yang telah memberikan pendapatnya, diantaranya adalah Surojo Wigjodiporo, menurut beliau pegangkatan anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam masyarakat sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang mengangkat anak dan anak yang dipungutdiangkat itu timbul suatu hubungan kemasyarakatan yang sama seperti yang ada antara orang tua dan anak kandungnya sendiri. 80 Menurut Soerjono Soekanto pengangkatan anak adalah suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri atau mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah. 81 Sementara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak: “Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan masyarakat, orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan masyarakat orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan”. Perbedaan antara pengangkatan anak secara terang dan tunai dengan pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai terletak pada akibat hukumnya, 80 Surojo Wignjodipoero, Intisari Hukum Keluarga, Alumni, Bandung, 1973, hal. 123 81 Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Alumni, Bandung, 1980, hal. 52 Universitas Sumatera Utara 63 yaitu pengangkatan anak secara terang dan tunai, anak tersebut putus hubungan hukum dengan orang tua aslinya, masuk menjadi masyarakat orang tua angkatnya serta mewaris dari orang tua angkat nya dan tidak mewaris dari orang tua aslinya. Sebaliknya pengangakatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, anak tersebut masih bertempat tinggal dengan orang tua aslinya dan hubungan hukum dengan orang tua aslinya tidak putus. Dengan demikian anak angkat itu masih tetap mempunyai hak mewaris dari orang tua aslinya. Sebelum dikeluarkan Staatblaad Tahun 1917 No. 129 S.1917:129 khususnya Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 yang mengatur tentang adopsi bagi golongan Tionghoa di Indonesia, pada dasarnya masyarakat Tionghoa di Indonesia, telah mengatur hukum adat yang mengatur mengenai pengangkatan anak adopsi. Menurut hukum adat Tionghoa, seharusnya yang masuk dalam preferensi pertama diadopsi adalah masyarakat sedarah dari generasi yang tepat dibawah generasi adoptan, seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-laki, kemudian lebih jauh, anak laki-laki dari sepupu laki-laki dari paman. Karena nantinya anak adopsi dan anak adoptan sendiri, akan berada dalam generasi yang sama. Dengan demikian, tampak bahwa adopsi tidak bisa dilangsungkan terhadap sembarang orang, seperti misalnya mengadopsi anak laki-lakinya sendiri, atau pamannya, sebab akan terjadi kekacauan dalam hubungan kemasyarakatan. 82 82 Bastian B. Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-akibat Hukumnya Dikemudian Hari, Raja Wali Press, Jakarta, 2006, hal. 41 Universitas Sumatera Utara 64 Kebiasaan lain dari adopsi menurut hukum adat Tionghoa adalah adanya larangan untuk mengangkat anak dari masyarakat lain, yang tampak dari dipakainya nama masyarakat yang lain. Namun demikian, dalam prakteknya ternyata banyak muncul adopsi atas anak-anak yang memakai nama masyarakat lain. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Bugerlijk Weetboek BW yang berlaku di Indonesia tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah adopsiatau pengangkatan anak diluar kawin yaitu yang terdapat dalam Bab XII bagian ke III Pasal 280 sampai dengan Pasal 290 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Namun ketentuan ini bisa dikatakan tidak ada hubungannya dengan adopsi, karena pada asasnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak mengenal adopsi. 83 Tidak diaturnya lembaga adopsi karena Kitab Undang-undang Hukum Perdata merupakan produk pemerintahan Hindia Belanda dimana dalam hukum masyarakat Belanda sendiri tidak mengenal lembaga adopsi. Diberlakukannya Kitab Undang-undang Hukum Perdata bagi golongan Tionghoa, khususnya bagi hukum masyarakat sudah tentu menimbulkan dilema bagi masyarakat Tionghoa. Hal tersebut berkenaan dengan tidak diaturnya lembaga adopsi berdasarkan hukum masyarakat Tionghoa sebelum berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Perdata sangat kental dengan tradisi adopsi, terutama bagi masyarakat yang tidak mempunyai anak atau keturunan laki-laki demi meneruskan eksistensi marga masyarakat dan pemujaan atau pemeliharaan abu leluhur. Berkenaan dengan permasalahan tersebut, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1917 mengeluarkan 83 R.Soeroso, Op, Cit, hal. 178 Universitas Sumatera Utara 65 Staatblaad No.129 yang didalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 memberi pengaturan tentang adopsi bagi masyarakat golongan Tionghoa di Indonesia. Namun sehubungan dengan berkembangnya kebutuhan adopsi dikalangan masyarakat Tionghoa dewasa ini, berlakunya Staatblaad tahun 1917 No.129 yang hanya mengatur pengangkatan anak laki-laki telah mulai ditinggalkan karena kebutuhan adopsi tidak hanya terbatas pada anak laki-laki saja tetapi juga terhadap anak perempuan. Pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk mempunyai anak atau yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak dapat mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak. Demikian juga bagi mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam perkawinan. Pengertian pengangkatan anak menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seseorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan masyarakat orang tua angkat. Pemerintah mengeluarkan produk yang memberikan perlindungan terhadap anak yaitu dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatur tentang berbagai upaya dalam rangka untuk memberikan perlindungan, pemenuhan hak-hak dan meningkatkan kesejahteraan anak. Universitas Sumatera Utara 66 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak menyebutkan bahwa : “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak menyebutkan bahwa : 1. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuannya sendiri. 2. Dalam hal suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atu anak dalam keadaan terlantar maka anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sesuai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak menyebutkan bahwa : “Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.” Pasal 13 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak menyebutkan bahwa : Universitas Sumatera Utara 67 1. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan : a. Diskriminasi b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual c. Penelantaran d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan e. Ketidakadilan, dan f. Perlakuan salah lainnya 2. Orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak menyebutkan bahwa : “Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuannya sendiri, kecuali jika ada alas an dan atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.” Dari ketentuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang termuat dalam Pasal 4, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 13 dan Pasal 14 maka dapat dikatakan bahwa anak wajib memperoleh perlakuan yang baik dan memperoleh perlindungan terhadap hak-haknya dalam menjalani kehidupan baik oleh orangtua kandungnya maupun oleh wali atau orangtua angkatnya. Perlakuan yang kasar dan Universitas Sumatera Utara 68 setiap tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap anak merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang dapat dikenakan sanksi pidana. Oleh karena itu baik orang tua, maupun orangtua angkat atau pihak lain yang menjadi orangtua asuh dari anak tersebut wajib memberikan perlakuan yang baik, perlindungan dan kebutuhan hidup yang wajar terhadap anak yang berada dalam pengasuhannya sehingga anak tersebut dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dalam kehidupannya saat ini dan dimasa yang akan datang. Kemudian dapat dilihat pengertian pengangkatan anak menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan pengangkatan anak yaitu suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seseorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan masyarakat orang tua angkat. Pengangkatan anak atau adopsi, faktanya memang sudah dipraktekkan dalam masyarakat Tionghoa. dimana diantara mereka memberikan anak untuk dirawat atau diambil sebagai anak angkat merupakan hal yang biasa terjadi dalam lingkup masyarakat. Masyarakat Tionghoa mengakat anak menurut Lie Tiong, mengatakan bahwa alasan dan tujuan pengangkatan anak ini bermacam- macam, tetapi yang terutama dan terpenting adalah: 84 84 Muderis Jaini, Adopsi, Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 64 Universitas Sumatera Utara 69 1. Untuk kepentingan anak di masa depannya. 2. Rasa belas kasihan terhadap anak atau yang orang tuanya tidak mampu memeliharanya. 3. Karena tidak mempunyai anak, dan ingin mempunyai anak untuk menjaganya di hari tua. 4. Adanya kepercayaan bahwa dengan mengangkat anak, maka untuk “mancing“ agar bisa punya anak sendiri. 5. Untuk mempertahankan ikatan perkawinan dan menambah kebahagiaan masyarakat. Lie Tiong menjelaskan bahwa adat masyarakat Tionghoa tokoh masyarakat adat Tionghoa di Kecamatan Senapelan menjelaskan bahwa Adat Tionghoa, apabila akan melakukan pengangkatan anak tidak membedakan antara yang kaya dan miskin, sebab pengangkatan anak ini antara lain dilakukan dengan tujuan sebagai penyambung keturunan dari orang tua angkat, yang artinya apabila mereka tidak mempunyai keturunan atau mempunyai keturunan namun hanya anak laki-laki atau perempuan saja, barulah mereka mengangkat anak. Apabila mereka mempunyai banyak anak tidak diperbolehkan untuk mengangkat anak, karena dikhawatirkan anak yang telah diangkat tersebut akan menjadi terlantar. 85 Motivasi ini sangat kuat terhadap pasangan suami istri yang telah divonis tidak bisa mendapatkan keturunantidak mungkin melahirkan anak dengan berbagai macam 85 Wawancara dengan Lie Tiong, Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru, pada tanggal 22 November 2013, pukul 15.00 WIB di kediamannya Universitas Sumatera Utara 70 sebab, seperti mandul pada umumnya. Padahal mereka sangat mendambakan kehadiran seorang anak ditengah-tengah masyarakat mereka. Motivasi merupakan suatu pengertian yang melingkupi penggerak, alasan- alasan, dorongan yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu. Misalnya seseorang menjadi anggota perkumpulan maka motivasinya antara lain ingin sesuatu yang baru bersama anggota perkumpulannya tersebut. 86 Pengangkatan anak di kalangan masyarakat Indonesia mempunyai beberapa macam tujuan dan motivasi. Tujuannya adalah antara lain untuk meneruskan keturunan apabila dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. 87 Menurut Tang Antoni pengangkatan anak bagi pasangan suami istri yang belum memiliki anak di kalangan masyarakat Tionghoa di Kecamatan Senapelan secara adat sungguh baik, disamping untuk melengkapi kebahagiaan rumah tangganya, pengangkatan anak juga tidak bertentangan dengan norma agama karena mengangkat anak merupakan perbuatan kasih. Pada umumnya dikalangan masyarakat Tionghoa di Kecamatan Senapelan pengangkatan anak itu sebaiknya dilakukan pada usia dini 0-5 tahun, hal ini dimaksudkan agar kasih sayang orangtua angkat terhadap anak angkat tersebut benar-benar dapat diwujudkan dengan merawat dan mendidik anak tersebut sejak bayi sehingga timbul hubungan ikatan batin yang kuat antara anak angkat tersebut dengan orangtua angkatnya tersebut. Hubungan batin yang dimaksud adalah hubungan kasih sayang antara orangtua angkat dan anaknya demikian juga 86 W.A. Gerungan Dipl., Psych, Psikologi Sosial Suatu Ringkasan, Eresco, Jakarta, 1977, hal. 142 87 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 39 Ayat 1 Universitas Sumatera Utara 71 sebaliknya, sehingga dapat menimbulkan suatu hubungan yang penuh kasih sayang dan harmonis di tengah-tengah keluarga. 88 Menurut Sumardi pengangkatan anak dikalangan masyarakat Tionghoa di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru sebaiknya dilakukan terhadap anak dari keluarga yang dekat dengan orangtua angkat atau keluarga yang dikenal oleh orangtua angkat tersebut. Hal ini dimaksudkan agar orangtua angkat tersebut dapat mengetahui dengan jelas mengenai bobot, bibit, bebet karakter, sifat, dan keturunan dari anak angkat tersebut yang semestinya berasal dari keluarga baik-baik. Dengan demikian orangtua angkat yang melakukan pengangkatan anak tersebut tidak akan memperoleh penyelesalan dikemudian hari setelah merawat dan membesarkan anak angkat tersebut. Namun demikian bukan berarti pengangkatan anak diluar keluarga dekat atau keluarga yang dikenal tidak diperbolehkan dalam masyarakat Tionghoa. Pengangkatan anak dari keluarga terdekat atau keluarga yang dikenal merupakan prioritas, dan bila tidak ada anak yang diangkat dari keluarga dekat atau yang dikenal maka terbuka kesempatan untuk melakukan pengangkatan anak di luar keluarga tersebut. Pengangkatan anak dari keluarga yang tidak dikenal sebelum disarankan agar lebih dulu menyelidiki dan mencermati asal usul dan mengetahui bobot, bibit dan bebet dari keluarga yang anaknya akan diangkat tersebut. 89 88 Wawancara dengan Tang Antoni, Pengetua Adat Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru, pada tanggal 12 Agustus 2014, pukul 16.00 WIB di kediamannya. 89 Wawancara dengan Sumarni, Pemuka Adat Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru, pada tanggal 13 Agustus 2014, pukul 15.00 WIB di kediamannya. Universitas Sumatera Utara 72 Pengangkatan anak dikalangan masyarakat Tionghoa lebih banyak dilakukan dengan menggunakan hukum adat daripada undang-undang yang berlaku terhadap masyarakat Tionghoa tentang pengangkatan anak yakni Stb. 1917 No. 129 tentang Adopsi yang berlaku bagi masyarakat Tionghoa. Menurut Agustanto Halim masyarakat Tionghoa lebih memperioritaskan pengangkatan anak dengan menggunakan sarana hukum adat daripada menggunakan peraturan perundang- undangan Stb. 1917 No. 129 tentang Adopsi yang berlaku bagi masyarakat Tionghoa alasannya adalah karena umumnya masyarakat Tionghoa menganggap pengangkatan anak melalui undang-undang penetapan pengadilan adalah cukup rumit dan memakan waktu yang cukup panjang. Oleh karena itu masyarakat Tionghoa di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru lebih memperioritaskan sarana adat dalam melaksanakan pengangkatan anak dengan alasan lebih sederhana dan lebih mudah tata caranya. 90 Menurut Joseph Ang salah seorang anak angkat dari orangtua angkat Erwin Nyotowiarjo dan Angelina Winata sebagai anak angkat ia diperlakukan dengan penuh kasih sayang sebagaimana layaknya anak kandung sendiri. Joseph Aang merasa bersyukur kepada Tuhan dan kepada orangtua angkatnya atas kasih sayang yang telah diberikan orangtua angkat kepadanya. Ia disekolahkan disekolah favorit dan diberikan les tambahan di tempat les terkemuka di Kota Pekanbaru. Disamping itu 90 Wawancara dengan Agustanto Halim, Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru, pada tanggal 13 Agustus 2014, pukul 17.00 WIB di kediamannya Universitas Sumatera Utara 73 segala kebutuhan sekolah maupun kebutuhan pribadinya dipenuhi oleh kedua orangtua angkatnya. 91 Demikian pula halnya dengan Rosalina Tan yang merupakan anak angkat dari keluarga Gunawan Sutanto dan Maria Rasmin yang juga diperlakukan dengan penuh kasih sayang oleh orangtua angkat. Menurut pengakuan Rosalina Tan bahwa orangtua angkatnya memperlakukannya dengan kasih sayang dan memberikan segala kebutuhan yang diperlu baik dalam menempuh pendidikan maupun kebutuhan pribadinya. Oleh karena itu Rosalina Tan juga merasa bersyukur kepada Tuhan dan kepada orangtua angkatnya atas perhatian dan kasih sayang yang telah diberikan kepadanya. Rosalina Tan mengatakan bahwa apabila dia nanti telah berhasil dalam kehidupannya maka dia akan membalas semua kebaikan dan kasih sayang dari orangtua angkatnya dan telah menganggap orangtua angkatnya itu sebagai orangtua kandungnya sendiri. 92 Pengangkatan anak yang banyak dilakukan di kalangan masyarakat Tionghoa di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru yang pada umumnya disebabkan karena adanya kesepakatan dari orangtua kandung yang yang menyerahkan anak kandungnya kepada orangtua angkatnya akibat ketidakmampuan secara ekonomi dari orangtua kandung tersebut. Menurut Tan Sui Lan ia menyerahkan anak kandungnya untuk diangkat oleh keluarga dekatnya karena telah memiliki banyak anak dan tidak 91 Wawancara dengan Joseph Aang, Anak Angkat dari orangtua angkat Erwin Nyotowiarjo dan Angelina Winata di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru, pada tanggal 14 Agustus 2014 pukul 15.30 WIB di kediamannya. 92 Wawancara dengan Rosalina Tan, Anak Angkat dari orangtua angkat Gunawan Sutanto dan Maria Rasmin di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru, pada tanggal 14 Agustus 2014 pukul 19.30 WIB di kediamannya Universitas Sumatera Utara 74 memiliki kemampuan secara ekonomi untuk merawat dan membesarkan anak-anak tersebut. Oleh karena itu daripada anak-anaknya tersebut terlantar maka ia menyerahkan anak tersebut untuk dirawat dan dibesarkan oleh orangtua angkatnya yang dipandang lebih mampu keadaan ekonominya. Tan Sui Lan tidak mengharapkan pemberian apapun dari orangtua angkatnya kecuali harapan agar anaknya tersebut dirawat dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh orangtua angkatnya tersebut. 93 Pengangkatan anak yang dilakukan oleh orangtua angkat pada umumnya dilakukan dengan motivasi karena orangtua angkat tersebut tidak memiliki anak selama masa perkawinanya yang telah memasuki usia di atas 5 lima tahun dan juga karena merasa kasihan melihat keluarga dari anak angkat tersebut yang tidak memiliki kemampuan secara ekonomi. Bagi orangtua angkat yang melakukan pengangkatan anak dengan motivasi tidak memiliki anak solusi terbaik untuk kesempurnaan rumah tangganya maka keluarga tersebut melakukan pengangkatan anak. Menurut Hadi Buntarman dan Jesicca Philie salah satu pasangan orangtua angkat yang telah melakukan pengangkatan anak terhadap bayi bernama Angelina Winata orangtua angkat tersebut merasa senang dan cukup bahagia dengan kehadiran anak angkat bernama Angelina Winata tersebut. Kebahagiaan orangtua angkat tersebut disebabkan karena anak angkatnya benar-benar memiliki sikap dan karakter yang baik dan juga menyayangi orangtua angkatnya. Oleh karena itu, Hadi 93 Wawancara dengan Tan Sui Lain, Orangtua Kandung yang telah memberikan anak kandungnya untuk diangkat oleh keluarga dekatnya, di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru, pada tanggal 15 Agustus 2014 pukul 10.00 WIB di kediamannya Universitas Sumatera Utara 75 Buntarman dan Jesicca Philie juga sangat menyayangi anak angkat tersebut sama seperti menyayangi anak kandungnya. Angelina Winata diberikan pendidikan yang layak di sekolah favorit dan diberikan les privat untuk musik dan seni suara dengan harapan agar anak tersebut mampu mengembangkan talentanya dan menjadi anak yang berprestasi dan membanggakan orangtua angkatnya kelak dikemudian hari. 94 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara tegas menyatakan bahwa tujuan pengangkatan anak, motivasi pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 95 Ketentuan ini sangat memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang sifatnya memang sangat tergantung dari orang tuanya. Perkembangan dalam masyarakat Tionghoa pada masa sekarang menunjukkan bahwa tujuan lembaga pengangkatan anak tidak lagi semata-mata atas motivasi meneruskan keturunan ataupun mempertahankan perkawinan saja tetapi lebih beragam dari itu. Ada berbagai motivasi yang mendorong orang mengangkat anak bahkan tidak jarang pula karena faktor sosial, ekonomi, budaya maupun politik. 96 Praktek pengangkatan anak dengan motivasi komersial perdagangan, komersial untuk pancingan dan kemudian setelah pasangan tersebut memperoleh anak dari rahimnya sendiri atau anak kandung, si anak angkat yang hanya sebagai pancingan tersebut 94 Wawancara dengan Angelina Winata, Anak Angkat dari orangtua angkat Hadi Buntarman dan Jesicca Philie di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru, pada tanggal 14 Agustus 2014 pukul 19.30 WIB di kediamannya 95 Ibid 96 M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau dari Segi Hukum, Aka Press, Jakarta,1991, hal.1-2 Universitas Sumatera Utara 76 disia-siakan atau diterlantarkan, hal tersebut sangat bertentangan dengan hak-hak yang melekat pada anak. Oleh karena itu pengangkatan anak harus dilandasi oleh semangat kuat untuk memberikan pertolongan dan perlindungan sehingga masa depan anak angkat akan lebih baik dan lebih maslahat. Masyarakat mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak. Akan tetapi tidak selalu ketiga unsur tersebut dapat terpenuhi oleh berbagai macam sebab, sehingga kadang kala terdapat suatu masyarakat yang tidak mempunyai anak, ibu ataupun tidak mempunyai seorang ayah, bahkan lebih dari itu. Dengan demikian dilihat dari eksistensi masyarakat sebagai kelompok kehidupan masyarakat, menyebabkan tidak kurangnya mereka yang menginginkan anak, karena alasan emosional sehingga terjadilah perpindahan anak dari satu kelompok masyarakat ke dalam kelompok masyarakat yang lain. Kenyataan inilah yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Alternatif yang digunakan sebagai dasar dilaksanakannya suatu pengangkatan anak. Dilihat dari sisi adoptant, karena adanya alasan: 97 1. Keinginan untuk mempunyai anak atau keturunan. 2. Keinginan untuk mendapatkan teman bagi dirinya sendiri atau anaknya. 3. Keinginan untuk menyalurkan rasa belas kasihan terhadap anak orang lain yang membutuhkan. 97 Irma Setyawati Soemitro, SH., Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hal. 40 Universitas Sumatera Utara 77 4. Adanya ketentuan hukum yang memberikan peluang untuk melakukan suatu pengangkatan anak. 5. Adanya pihak yang menganjurkan pelaksanaan pengangkatan anak untuk kepentingan pihak tertentu. Penggangkatan anak disisi orang tua anak, karena adanya alasan; 98 a Perasaan tidak mampu untuk membesarkan anaknya sendiri. b Kesempatan untuk meringankan beban sebagai orang tua karena ada pihak yang ingin mengangkat anaknya. c Imbalan-imbalan yang dijanjikan dalam hal penyerahan anak. d Saran-saran dan nasihat dari pihak masyarakat atau orang lain. e Keinginan agar anaknya hidup lebih baik dari orang tuanya. f Ingin anaknya terjamin materil selanjutnya. g Masih ingin mempunyai beberapa anak lagi. h Tidak mempunyai rasa tanggung jawab untuk membesarkan anak sendiri. i Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu sebagai akibat dari hubungan yang tidak sah. j Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu mempunyai anak yang tidak sempurna fisiknya. Motivasi pengangkatan anak di Indonesia jika ditinjau dari segi hukum adat berdasarkan penjelasan dan sumber literatur yang ada, terbagi atas beberapa macam motivasi dilakukan pengangkatan anak, yaitu: 98 Ibid Universitas Sumatera Utara 78 a. Karena tidak mempunyai anak. b. Karena belas kasihan terhadap anak tersebut disebabkan orang tua si anak tidak mampu memberi nafkah kepadanya. c. Karena belas kasihan, disebabkan anak yang bersangkutan tidak mempunyai orang tua yatim piatu. d. Sebagai pemancing bagi anak laki-laki, maka diangkatlah anak perempuan atau sebaliknya. e. Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk bisa mempunyai anak kandung. f. Dengan maksud agar si anak yang diangkat mendapat pendidikan yang baik, motivasi ini juga erat hubungannya dengan misi kemanusiaan. g. Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan pewaris regenerasi bagi yang tidak mempunyai anak. h. Diharapkan anak angkat dapat menolong dihari tua dan menyambung keturunan bagi yang tidak mempunyai anak. i. Ada juga rasa belas kasihan terhadap nasib si anak seperti tidak terurus. j. Karena si anak sering penyakitan atau selalu meningggal, maka untuk menyelamatkan si anak diberikanlah anak tersebut kepada masyarakat atau orang lain yang belum atau tidak mempunyai anak dengan harapan agar si anak yang bersangkutan akan selalu sehat dan panjang umur. 99 99 Rahmad Mulianto, Pengangkatan Anak di Kalangan Masyarakat Tionghoa , Pustaka Ilmu, Jakarta, 2009, hal. 28 Universitas Sumatera Utara 79 Pengangkatan anak merupakan suatu perbuatan yang bernilai positif dalam masyarakat hukum adat kita dengan berbagai motivasi yang ada, sesuai dengan keanekaragaman masyarakat dan bentuk kemasyarakatan di Indonesia. 100 Masyarakat etnis Tionghoa biasanya melakukan pengangkatan anak disebabkan oleh beberapa alasan. Alasan pengangkatan anak dikalangan masyarakat Tionghoa tersebut diantaranya adalah sebagai berikut ; 101 1. Karena anak angkat tersebut terus menerus dalam keadaan sakit-sakitan Praktek pelaksanaan pengangkatan anak karena anak angkat tersebut terus menerus sakit, dikalangan masyarakat Tionghoa di Kota Pekanbaru pada umumnya dilaksanakan dengan cara memberikan angpao amplop merah yang berisi uang serta 2 dua pasang baju yang diberikan kepada orangtua kandungnya dengan harapan sakit yang diderita oleh anak angkat tersebut akan sembuh dan anak tersebut telah dibeli dengan pemberian yang diberikan oleh orangtua angkatnya berupa angpao amplop merah berisi uang dalam jumlah tertentu kepada orangtua kandungnya. Pengangkatan anak angkat dalam keadaan sakit-sakitan tersebut dilakukan secara lisan dan tanpa adanya bukti tertulis yang menerangkan telah terjadi pengangkatan anak, dan atas persetujuan kedua belah pihak masyarakat, anak angkat tersebut tetap tinggal di rumah orangtua kandungnya dan anak angkat tersebut harus memanggil orangtua angkatnya 100 Mudaris Zain, Op.Cit , hal.63 101 Wawancara dengan Lie Tiong, Pengetua Adat Dari Masyarakat Tionghoa di Kota Pekanbaru pada tanggal 15 April 2014 di kediamannya di Kota Pekanbaru. Universitas Sumatera Utara 80 dengan sebutan papi dan mami. Upacara pengangkatan anak karena terus menerus sakit tersebut dilakukan ditempat tinggal orangtua kandung anak angkat tersebut. 2. Pengangkatan anak dengan alasan rasa iba disebabkan ekonomi masyarakat anak angkat tersebut yang kurang mampu Pengangkatan anak angkat karena rasa iba tersebut dilakukan oleh orangtua angkatnya semata-mata untuk membantu masyarakat orangtua kandung dari anak angkat tersebut. Pengangkatan anak karena rasa iba ini dilakukan di tempat kediaman orangtua angkat dari anak yang diangkat tersebut, dan dilakukan secara lisan tanpa adanya bukti tertulis yang menerangkan telah terjadinya pengangkatan anak, serta tidak ada pemberian apapun dari orangtua angkat kepada orangtua kandungnya. Pengangkatan anak karena rasa iba ini dilakukan dengan dihadiri oleh seluruh masyarakat orangtua kandung dan orangtua angkatnya. Dalam upacara adat pengangkatan anak tersebut masyarakat orangtua angkat yang akan melaksanakan pengangkatan anak membawa buah-buahan berupa jeruk, pisang, apel yang akan diberikan pada orangtua kandung dari anak yang diangkat tersebut sebagai tanda bahwa pengangkatan anak yang akan dilaksanakan tersebut akan berlangsung sukses dan anak yang diangkat akan diasuk oleh orangtua angkatnya dengan penuh tanggung jawab. Bagi masyarakat Tionghoa uang melambangkan suatu pertanda kebaikan dan kebaikan dan kesehatan. Oleh karena itu dalam pengangkatan anak yang disebabkan karena adanya rasa iba dari orangtua angkat terhadap orangtua kandung dari anak angkat tersebut dimana ekonominya tidak mampu diharapkan dengan menyajikan buah sebagai tanda kemasyarakatan Universitas Sumatera Utara 81 kepada orangtua kandung maka masyarakat orangtua kandung tersebut dapat lebih meningkat rezekinya sehingga tingkat ekonominya dapat pulih menuju ke arah yang lebih baik. Upacara penyajian buah tersebut dilakukan oleh masyarakat orangtua angkat di rumah kediamannya dengan diiringi oleh doa kepada yang Maha Kuasa ditandai dengan pembakaran hio atau sejenis dupa sebagai tanda telah dilaksanakannya pengangkatan anak yang telah disetujui oleh orangtua kandung dan masyarakatnya kepada orangtua angkat dan masyarakatnya. 3. Orangtua angkat dalam perkawinannya tidak dikaruniai anak dalam waktu yang sudah cukup lama. Tata cara pengangkatan anak yang dilakukan oleh orangtua angkat yang tidak dikaruniai anak dilakukan dikediaman orangtua kandungnya, dimana orangtua angkat tersebut membawa buah-buahan dan angpao amplop merah berisi uang dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada orangtua kandung dari anak yang diangkat tersebut. Tujuan pemberian buah-buahan dan angpao dari masyarakat orangtua kandung kepada orangtua angkat tersebut agar prosedur pelaksanaan pengangkatan anak yang dilaksanakan dapat berlangsung dengan lancar dan sukses, serta anak yang diangkat tersebut dapat diasuh dengan baik oleh masyarakat orang tua angkatnya. Disamping itu diharapkan pula anak yang diangkatnya tersebut menjadi anak yang berbakti kepada orangtua angkatnya dan memandang orangtua angkat tersebut sama dengan orangtua kandungnya. Pemberian buah-buahan dan angpao amplop merah berisi uang terhadap orangtua kandung dari anak angkat tersebut juga disertai dengan pembakaran hio Universitas Sumatera Utara 82 sejenis dupa sebagai tanda ucapan syukur dan permohonan doa kepada Yang Maha Kuasa agar proses pengangkatan anak dan anak angkat tersebut dapat diberkahi dan diberikan kemurahan dari segi rezeki baik dari orangtua kandung, orangtua angkat dan anak angkat itu sendiri. Dengan pembakaran hio sejenis dupa tersebut diharapkan pula agar Yang Maha Kuasa merestui proses pelaksanaan pengangkatan anak tersebut. Praktek pengangkatan anak yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru masih memegang teguh adat istiadat atau kebiasaan penghormatan terhadap arwah abu leluhur, serta masih dilaksanakannya tradisi generasi MargaFamNama masyarakat dari garis atau pancer laki-laki dengan kata lain masih bersifat Patrilinial. Adanya pengangkatan anak perempuan yang dilakukan oleh salah satu responden diatas dapat dikatakan sah tidak dilarang, bertolak belakang dengan apa yang dimaksud dalam Staatblaad tahun 1917 No. 129 yang menyatakan bahwa, anak yang diangkat harus anak laki-laki dan adanya ancaman demi hukum bagi masyarakat Tionghoa yang melakukan pengangkatan terhadap anak perempuan. Dengan demikian adanya Staatblaad tahun 1917 No. 129 tersebut tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan pengangkatan anak dalam masyarakat etnis Tionghoa di Kecamatan Senapelan. Usia anak angkat pada saat diangkat berkisar antara 1 satu tahun hingga 5 lima tahun dan selisih anak angkat dengan orang tua angkatnya berkisar lebih dari 25 dua puluh lima tahun. Dengan melihat praktek anak angkat tersebut maka dapat Universitas Sumatera Utara 83 dikatakan bahwa responden lebih memilih mengangkat anak yang berumur dibawah 6 enam tahun serta mengangkat anak yang jauh lebih muda dibandingkan dengan usia orang tua angkatnya. Hal tersebut seiring dengan apa yang disebutkan dalam Staatblaad Tahun 1917 No. 129 yang menyatakan bahwa anak angkat sekurang- kurangnya harus berumur lebih muda dari laki-laki yang mengangkatnya dan sekurang-kurangnya 15 lima belas tahun lebih muda dari perempuan yang kawin atau janda yang mengangkat. Tokoh masyarakat Tionghoa di Kecamatan Senapelan bapak Chong, yang menyatakan bahwa pengangkatan anak dapat pula dilakukan oleh orang yang belum kawin, hal tersebut menunjukan bahwa praktek pengangkatan anak dalam masyarakat adat Tionghoa tidak hanya dapat dilakukan oleh mereka yang telah atau pernah kawin. Untuk mendapatkan tambahan rejeki, biasanya bagi masyarakat yang merasa sulit mendapatkan rejeki dalam rumah tangga maka dengan mengangkat anak diharapkan rejeki akan segera datang atau bertambah. 102

E. Syarat-Syarat dan Tata Cara Pengangkatan Anak

Pasal 1 poin 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak menjelaskan bahwa: “Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas 102 Wawancara dengan Bapak Tan Ming Ho, Tokoh Masyarakat Adat Tionghoa Kecamatan Senapelan, pada tanggal 25 Januari 2014 dikediamannya. Universitas Sumatera Utara 84 perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan masyarakat orang tua angkat”. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak menjelaskan tentang tata cara pengakatan anak sebagai berikut “Pengangkatan anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan”. Sementara tata cara pengangkatan anak juga dijelaskan dalam Pasal 20 ayat 1 dan 2 berikut ini; 1 Permohonan pengangkatan anak yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan. 2 Pengadilan menyampaikan salinan penetapan pengangkatan anak ke instansi terkait. Sementara jarak pengangkatan anak dijelaskan dalam Pasal 21 ayat 1 dan 2 berikut ini; 1 Seseorang dapat mengangkat anak paling banyak 2 dua kali dengan jarak waktu paling singkat 2 dua tahun. 2 Dalam hal calon anak angkat adalah kembar, pengangkatan anak dapat dilakukan sekaligus dengan saudara kembarnya oleh calon orang tua angkat. Pasal 12 ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak menjelaskan tentang syarat- syarat pengangkatan anak; Universitas Sumatera Utara 85 1 Syarat anak yang akan diangkat, meliputi: a. belum berusia 18 delapan belas tahun; b. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan; c. berada dalam asuhan masyarakat atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan d. memerlukan perlindungan khusus. 2 Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 ayat 1 huruf a Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak meliputi: a. Anak belum berusia 6 enam tahun, merupakan prioritas utama; b. Anak berusia 6 enam tahun sampai dengan belum berusia 12 duabelas tahun,sepanjang ada alasan mendesak; dan c. Anak berusia 12 duabelas tahun sampai dengan belum berusia 18 delapan belas tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus. Selanjutnya dalam Pasal 13 dari poin “a sampai m” Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak menjelaskan Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat: a. Sehat jasmani dan rohani; b. Berumur paling rendah 30 tiga puluh tahun dan paling tinggi 55 lima puluh lima tahun; c. Beragama sama dengan agama calon anak angkat; Universitas Sumatera Utara 86 d. Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan; e. Berstatus menikah paling singkat 5 lima tahun; f. Tidak merupakan pasangan sejenis; g. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak; h. Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial; i. Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak; j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaikbagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak; k. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat; l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 enam bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan memperoleh izin Menteri dan atau kepala instansi sosial. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang penulis dapatkan pada Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru maka syarat-syarat pengangkatan anak adalah sebagai berikut: 1. Adanya kesepakatan antara pihak pengangkat maupun pihak yang diangkat. Maksudnya adalah adanya seseorang yang berkehendak mengangkat anak, harus terlebih dahulu membicarakan kehendaknya dengan masyarakatnya secara matang. Hal ini dimaksudkan agar diketahui anak yang akan diangkat tersebut diambil dari keturunan masyarakat besar dan atau keturunan lain di luar masyarakat besar. Universitas Sumatera Utara 87 2. Adanya upacara adat. Maksudnya adalah upacara pengangkatan anak yang merupakan perbuatan hukum yang rangkap yaitu pertama merupakan perbuatan yang memisahkan kekerabatan atau kemasyarakatan si anak angkat dengan orang tua asalnya dan kedua merupakan perbuatan yang memasukkan atau mempersatukan si anak angkat tersebut dengan orang tua yang mengangkatnya dan masyarakat besar orang tua angkatnya. Perbuatan memasukkan si anak angkat ke dalam kerabat orang tua angkatnya dilakukan dengan upacara adat. Upacara adat inilah yang merupakan pengangkatan anak tersebut. Biasanya si anak dibuatkan sesajen lengkap sehingga seolah-olah anak tersebut dilahirkan pada masyarakat angkatnya. Pengangkatan anak menurut Pasal 1 poin 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak mejelaskan bahwa: “Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan masyarakat orang tua angkat”. 103 Selanjunya Pasal 19 menjelaskan tentang tatacara pengakatan anak sebagai berikut “Pengangkatan anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan”. 103 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak Universitas Sumatera Utara 88 Sementara tatacara pengangkatan anak juga dijelaskan dalam Pasal 20 ayat 1 dan 2 berikut ini; 1 Permohonan pengangkatan anak yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan. 2 Pengadilan menyampaikan salinan penetapan pengangkatan anak ke instansi terkait. Pasal 21 ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 menyebutkan tentang jarak pengangkatan anak yaitu; 1 Seseorang dapat mengangkat anak paling banyak 2 dua kali dengan jarak waktu paling singkat 2 dua tahun. 2 Dalam hal calon anak angkat adalah kembar, pengangkatan anak dapat dilakukan sekaligus dengan saudara kembarnya oleh calon orang tua angkat. Pasal 12 ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak menjelaskan tentang syarat- syarat pengangkatan anak yaitu meliputi : 1 Syarat anak yang akan diangkat, meliputi: a. Belum berusia 18 delapan belas tahun; b. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan; c. Berada dalam asuhan masyarakat atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan d. Memerlukan perlindungan khusus. Universitas Sumatera Utara 89 2 Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 ayat 1 huruf a Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 meliputi: a. Anak belum berusia 6 enam tahun, merupakan prioritas utama; b. Anak berusia 6 enam tahun sampai dengan belum berusia 12 dua belas tahun, sepanjang ada alasan mendesak; dan c. Anak berusia 12 dua belas tahun sampai dengan belum berusia 18 delapan belas tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus. Selanjutnya dalam Pasal 13 dari poin “a sampai m” Peraturan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak menjelaskan tentang calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat: a. Sehat jasmani dan rohani; b. Berumur paling rendah 30 tiga puluh tahun dan paling tinggi 55 lima puluh lima tahun; c. Beragama sama dengan agama calon anak angkat; d. Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan; e. Berstatus menikah paling singkat 5 lima tahun; f. Tidak merupakan pasangan sejenis; g. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak; h. Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial; i. Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak; Universitas Sumatera Utara 90 j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak; k. Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat; l. Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 enam bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan m. Memperoleh izin Menteri danatau kepala instansi sosial. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan masyarakat, orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan masyarakat orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan. Anak Angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangganya. 104 Anak angkat berkedudukan di masyarakat barunya atau masyarakat angkatnya sebagai penerus masyarakat jika masyarakat angkatnya tidak mempunyai anak. Dan ia sebagai pelanjut keturunan masyarakat angkatnya. 105 Berdasarkan peraturan perundang-undangan ini pengangkatan anak yang dilakukan harus diketahui oleh masyarakat dekat atau kerabat dan juga pihak pengadilan. Prosedur pengangkatan anak semacam ini dapat dilakukan terhadap anak 104 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung, 1991, hal. 20 105 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat Dan Upacara Adatnya, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal.149 Universitas Sumatera Utara 91 dari masyarakat dekat maupun anak yang bukan dari masyarakat dekat. Pengangkatan anak harus mendapat persetujuan dari anggota kerabat, apabila anak tersebut berasal dari masyarakat yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan orang tua angkat tersebut. Dengan persetujuan dari para kerabat, maka diadakan upacara adat yang hanya dihadiri oleh anggota kerabat baik dari orang tua angkat maupun orang tua kandung. 106 Berdasarkan pendapat para ahli dan Peraturan Pemerintah bahwa anak angkat merupakan anak dari masyarakat orang lain atau masih ada hubungan kekerabatan namun hak asuh dan pemeliharaannya telah dipindahkan kepada orang tua angkatnya, anak angkat berhak mendapatkan semua kebutuhannya dari masyarakat angkatnya tanpa dibedakan, anak angkat berhak untuk mendapatkan pendidikan yang baik, serta pemeliharaan yang sempurna dari orang tua angkatnya.

1. Pengangkatan anak yang dilakukan secara Terang dan Tunai

Dokumen yang terkait

Kedudukan Anak Angkat Perempuan Terhadap Harta Warisan Di Kalangan Etnis Tionghoa Suku Hainan Di Kota Medan

1 129 146

Perkawinan Anak Dibawah Umur Dan Akibat Hukumnya

1 48 133

Pengangkatan Anak Dan Akibat Hukumnya Terhadap Harta Benda Perkawinan Orang Tua Angkat (Kajian...

0 26 5

PENGANGKATAN ANAK DAN AKIBAT HUKUMNYA MENURUT ADAT BALI (STUDI PADA MASYARAKAT BALI DI DESA WIRATA AGUNG KECAMATAN SEPUTIH MATARAM KABUPATEN LAMPUNG TENGAH)

0 11 64

PELAKSANAAN PENERBITAN CATATAN PINGGIR PADA AKTA KELAHIRAN SEBAGAI AKIBAT PENGANGKATAN ANAK DAN AKIBAT HUKUMNYA (Studi Penetapan Pengangkatan Anak Di Kabupaten Pemalang)

1 19 178

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR DAN AKIBAT HUKUMNYA Tinjauan Yuridis Tentang Perkawinan Anak Di Bawah Umur Dan Akibat Hukumnya (Studi Kasus di Pengadilan Agama Sukoharjo).

0 3 14

PELAKSANAAN ADOPSI ( PENGANGKATAN ANAK ) BAGI WNI KETURUNAN TIONGHOA DAN AKIBAT-AKIBAT HUKUMNYA DI KOTA SEMARANG - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 1

PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DAN AKIBAT HUKUMNYA DI KECAMATAN BOYOLALI KABUPATEN BOYOLALI - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 1

BAB II PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK PADA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SUKU HAINAN DI KOTA MEDAN A. Dasar Hukum Pengangkatan Anak - Kedudukan Anak Angkat Perempuan Terhadap Harta Warisan Di Kalangan Etnis Tionghoa Suku Hainan Di Kota Medan

0 0 49

Pengangkatan Anak Dan Akibat Hukumnya Terhadap Harta Benda Perkawinan Orangtua Angkat (Studi Pada Masyarakat Tionghoa Di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru)

0 0 14