14
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai, “Pengangkatan Anak dan Akibat Hukumnya
terhadap Harta Benda Perkawinan Orang Tua Angkat pada Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru” belum pernah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya. Dengan demikian penelitian ini adalah sah adanya, dan secara akademis dapat dipertanggung jawabkan. Meskipun ada peneliti-peneliti pendahulu yang
pernah melakukan penelitian mengenai pengangkatan anak dan harta orang tua angkat pada masyarakat Tionghoa, namun secara substansi pokok permasalahan yang
dibahas berbeda dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang berkaitan dengan pengakatan anak yang pernah dilakukan adalah:
1. Pengangkatan Anak dan Akibat Hukumnya terhadap Harta Benda Perkawinan
Orang Tua Angkat Kajian Pada Masyarakat Batak Toba Di Medan. 2.
Pelaksanaan Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat Tionghoa Studi Penelitian Masyarakat Tionghoa di Kota Medan.
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep 1. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan ”kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan problem, yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.
17
17
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.
Universitas Sumatera Utara
15
Kerangka teori adalah penentuan tujuan dan arah penelitian dalam memilih konsep-konsep yang tepat guna pembentukan hipotesa-hipotesanya.
18
Teori itu bukanlah pengetahuan yang sudah pasti tetapi harus dianggap sebagai petunjuk
analisis dari hasil penelitian yang dilakukan sehingga merupakan masukan eksternal bagi penelitian ini.
Teori-teori tersebut berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan
menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran.
19
Berdasarkan pengertian teori dan kegunaan serta daya kerja teori tersebut di atas dihubungkan dengan judul penelitian ini tentang “Pengangkatan Anak Dan
Akibat Hukumnya Terhadap Harta Benda Orangtua Angkat Studi Pada Masyarakat Tionghoa Di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru, maka dipergunakan teori
keadilan dan teori kepastian hukum. Keadilan dikonsepkan sebagai hasil- hasil konkrit yang bisa diberikan
kepada masyarakat. Menurut Roscoe Pound, bahwa hasil yang diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan
pengorbanan sekecil-kecilnya. Dengan kata lain semakin meluasbanyak pemuasan
18
Soerjono Soekanto, Beberapa Aspek Sosial Yuridis dan Masyarakat, Alumni, Bandung, 1983, hal 129.
19
Ibid, hal.130.
Universitas Sumatera Utara
16
kebutuhan manusia tersebut, maka akan semakin efektif menghindari pembenturan antara manusia.
20
Tujuan dari hukum adalah menghendaki keadilan semata-mata dan isi dari hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa
yang dikatakan tidak adil. Menurut teori yang dikemukakan oleh Roscoe Pound tersebut, tugas yang suci dan luhur dari hukum adalah dengan cara memberikan
kepada tiap-tiap orang apa yang seharusnya menjadi haknya yang ia terima. Untuk mewujudkan keadilan tersebut diperlukan peraturan tersendiri bagi tiap-tiap kasus
yang terjadi di masyarakat. Untuk terlaksananya hal tersebut, maka menurut teori ini hukum harus membuat apa yang dinamakan peraturan ketentuan umum Algemeene
Regels.
21
Kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat karena kepastian hukum peraturanketentuan umum
mempunyai sifat sebagai berikut : a. Adanya
paksaan dari
luar sanksi
dari penguasa
yang bertugas
mempertahankan dan membina tata tertib masyarakat dengan perantara alat- alatnya aparatur negara.
b. Sifat undang- undang yang berlaku bagi siapa saja. Kepastian
hukum ditujukan
pada sikap
lahir manusia,
ia tidak
mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk, yang diperhatikan
20
Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hal.34.
21
Ibid, hal.35
Universitas Sumatera Utara
17
adalah bagaimana perbuatan lahiriahnya. Kepastian hukum tidak memberi sanksi kepada seseorang yang mempunyai sikap batin yang buruk, akan tetapi yang diberi
sanksi adalah perwujudan dari sikap batin yang buruk tersebut atau menjadikannya perbuatan yang nyata atau konkrit.
Namun demikian dalam prakteknya apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan sering sekali tidak sejalan satu sama lain. Hal ini dikarenakan di satu
sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan sebaliknya tidak jarang pula keadilan mengabaikan prinsip-prinsip kepastian hukum.
Kemudian apabila dalam prakteknya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka keadilanlah yang harus diutamakan. Alasannya adalah bahwa
keadilan pada umumnya lahir dari hati nurani pemberi keadilan sedangkan kepastian hukum lahir dari sesuatu yang konkrit.
Perlindungan hukum terhadap hak-hak anak diatur dalam Pasal 22 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, di dalamnya diatur
bahwa negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan dan prasarana dalam menyelenggarakan perlindungan anak. Pasal 23 ayat
1 menyebutkan negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.
22
Menurut Pasal 24 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, “Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam
22
Rika Saraswati, Perlindungan Hukum Terhadap Anak di Dasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2009, hal. 211
Universitas Sumatera Utara
18
menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak”. Sedangkan menurut Pasal 25 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, menyatakan bahwa, “Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap
perlindungan anak
dilaksanakan melalui
peran masyarakat
dalam menyelenggarakan perlindungan anak”.
Di Indonesia pandangan modern tentang peranan hukum sebagai sarana pembangunan digambarkan oleh Mochtar Kusumaatmadja dengan mengatakan
bahwa hukum itu mempunyai dua fungsi yakni sebagai sarana ketertiban masyarakat menjamin adanya ketertiban dan kepastian dan sarana perubahan masyarakat.
Sejak diundangkannya Staatblad. 1917 Nomor 129 juncto Staatblad. 1924- 557 dinyatakan bahwa seluruh ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata KUH Perdata yang berlaku bagi golongan Eropa termasuk hukum masyarakatnya juga memuat ketentuan-ketentuan tentang pengangkatan anak berlaku
juga bagi golongan Timur Asing Tionghoa
23
. Kitab Undang-undang Hukum Perdata KUH Perdata tidak mengatur secara
tegas dan jelas tentang pengangkatan anak. Pengangkatan anak di kalangan Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa merupakan suatu perbuatan hukum yang lazim
dilakukan karena menurut tradisi, masyarakat Tionghoa harus mempunyai anak laki- laki untuk melanjutkan garis keturunannya.
24
23
Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 78.
24
I b i d, hal. 79.
Universitas Sumatera Utara
19
Pengangkatan anak mengakibatkan putusnya hubungan keperdataan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya,
25
dan kedudukan anak angkat disamakan dengan anak kandung oleh orang tua yang mengangkat, sehingga apabila
orangtua angkat meninggal dunia maka anak angkat berhak mewaris harta kekayaan dari orang tua angkatnya tersebut.
Hukum kewarisan memuat ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan berwujud atau tidak berwujud dari pewaris kepada para
ahli warisnya.
26
Ahli waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdiri dari dua jenis, yaitu ahli waris ab intestato menurut undang-undang dan ahli waris
testamentair menurut surat wasiat.
27
Menurut Pasal 852 KUH Perdata mengenai ahli waris, dalam KUH Perdata digolongkan menjadi 4 empat golongan, yaitu :
1. Anak atau keturunannya dan isteri suami yang masih hidup; 2. Orang tua bapak dan ibu dan saudara pewaris;
3. Kakek dan nenek, atau leluhur lainnya dalam garis lurus ke atas. 4. Sanak masyarakat dalam garis kesamping sampai derajat ke enam.
Sebagaimana diketahui bahwa masalah pengangkatan anak adopsi tidak diatur dalam KUH Perdata. Di dalam KUH Perdata yang diatur hanyalah
pengakuan anak luar kawin, yaitu sebagaimana termuat pada BUKU I Bab
25
Tamakiran S, Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, CV. Pionir Jaya,
Bandung, 1992, hal. 52.
26
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 8
27
Syahril Sofyan, Beberapa Dasar Teknik Pembuatan Akta Khusus Warisan, Medan Pustaka Bangsa Press, 2010, hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
20
XII bagian III Pasal 280 sampai dengan Pasal 289 KUH Perdata. Pengakuan anak sebagaimana terjadi dalam praktek di masyarakat dan dunia peradilan
saat ini, tidak hanya terbatas pada pengakuan anak luar kawin, tetapi sudah mencakup pengakuan anak dalam arti luas.
28
Pengangkatan anak dalam hukum perdata barat dikenal dengan istilah adopsi yang diatur dalam Staatsblad Tahun 1917 Nomor 129 tanggal 29 Maret 1917, yang
merupakan satu-satunya pelengkap bagi KUH Perdata yang memang tidak mengatur masalah adopsi. Adopsi yang termuat dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 tersebut di
atas hanya berlaku untuk golongan timur asing Tionghoa. Pasal 5 huruf a ketentuan tentang pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam Staatsblad 1917 Nomor 129
tersebut menyebutkan, “Suami, istri atau duda yang tidak mempunyai anak laki-laki yang sah dalam garis keturunan laki-laki, baik keturunan dari kelahiran atau
keturunan karena pengangkatan. Orang demikian diperbolehkan mengangkat anak laki-laki sebagai anaknya
dari seorang janda cerai mati yang tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak dilarang oleh bekas suaminya dengan suatu wasiat”. Pasal 6 Staatsblad 1917 Nomor
129 menyebutkan, “Yang boleh diangkat adalah anak Tionghoa laki-laki yang tidak beristri dan tidak beranak serta tidak sedang dalam status diangkat oleh orang lain”.
Pasal 7 ayat 1 Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan, “ Usia anak laki-laki yang diangkat harus 18 delapanbelas tahun lebih muda dari suami dan 15
limabelas tahun lebih muda dari istri. Pasal 10 Staatsblad 1917 Nomor 129
28
Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakata, 2007, hal.174.
Universitas Sumatera Utara
21
menyebutkan bahwa, “Adopsi harus dilakukan atas dasar kata sepakat, dan pengangkatan anak harus dilakukan dengan akta notaris”. Pasal 15 ayat 1 Staatsblad
1917 Nomor 129 menyebutkan, “Suatu adopsi tidak dapat dibatalkan dengan kesepakatan para pihak”. Pasal tersebut merupakan penyimpangan dari ketentuan
Pasal 1338 ayat 2 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa, “Suatu perjanjian yang dibuat secara sah dapat dibatalkan dengan sepakat para pihak yang membuat
perjanjian yang bersangkutan”. Secara yuridis formal, motif pengangkatan anak tidak ada ketentuannya, akan
tetapi secara kultural motif pengangkatan anak dalam sistem adat Tionghoa adalah agar dapat meneruskan keturunan, agar dapat menerima abu leluhur, dan sebagai
pancingan agar dapat memperoleh keturunan laki-laki. “Selanjutnya Pasal 15 ayat 2 Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan, “Pengangkatan terhadap anak perempuan
dan pengangkatan dengan cara tidak membuat akta otentik batal demi hukum. Disamping itu adopsi atas tuntutan oleh pihak yang berkepentingan juga dapat
dinyatakan batal demi hukum”. Akibat hukum pengangkatan anak adalah bahwa anak angkat tersebut
mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat seperti anak yang lahir dari perkawinan suami-istri yang mengangkatnya dan hubungannya dengan masyarakat
asal menjadi putus. Penerimaan anak angkat sebagai masyarakat adoptan datang tidak hanya dari masyarakat adoptan, tetapi juga dari masyarakat lingkungannya.
29
29
J.Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Angkat Dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal.192-193
Universitas Sumatera Utara
22
Ada 3 tiga akibat hukum dari pengangkatan anak yaitu:
30
a. Memberikan ketentuan bahwa adopsi menyebabkan anak angkat tersebut
berkedudukan sama dengan anak sah dari perkawinan orang tua yang mengangkatnya
b. Adopsi menghapus semua hubungan kemasyarakatan dengan masyarakat asal, kecuali dalam hal, penderajatan masyarakat sedarah dan semenda dalam bidang
hukum perkawinan, Ketentuan pidana didasarkan atas keturunan, perhitungan biaya perkaradan penyanderaan, mengenai pembuktian dengan saksi, mengenai
saksi dalam pembuatan akta otentik. Oleh karena akibat hukum adopsi menyebabkan hubungan kemasyarakatan dengan masyarakat asalnya menjadi
terputus, maka hal ini berakibat pula pada hukum waris, yaitu anak angkat tersebut tidak lagi mewaris dari masyarakat sedarah asalnya, sebaliknya sekarang
mewaris dari masyarakat ayah dan ibu yang mengadopsi dirinya. Pasal 11 Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan bahwa akibat hukum dari perbuatan
pengangkatan anak adalah, “Anak adopsi secara hukum mempunyai nama
keturunan dari orang yang mengadopsi”. Selanjutnya Pasal 12 ayat 1 Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan bahwa, “Anak adopsi dijadikan sebagai anak yang
dilahirkan dari orang yang mengadopsi. Konsekuensinya anak adopsi menjadi ahli waris dari orang yang mengadopsinya”. Anak adopsi dipersamakan
kedudukan dan derajatnya dengan anak sah yang lahir dari perkawinan suami-istri yang mengadopsi anak tersebut dengan segala konsekuensi hukumnya, khususnya
30
I b i d, hal 194.
Universitas Sumatera Utara
23
di bidang hukum waris, dimana anak adopsi tersebut berhak mewarisi harta kekayaan orang tua yang mengadopsinya bersama-sama dengan anak sah yang
dilahirkan dari perkawinan suami-istri yang mengadopsinya.
31
2. Kerangka Konsep