Sintesis Fase Diam Selulosa-g-AAm dengan Berbagai Kadar Penaut-silang sebagai Media Separator Xantorizol dari Ekstrak Temu Lawak

SINTESIS FASE DIAM SELULOSA-g-AAM DENGAN BERBAGAI
KADAR PENAUT-SILANG SEBAGAI MEDIA SEPARATOR
XANTORIZOL DARI EKSTRAK TEMU LAWAK

RAISSA LARASATI

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

ABSTRAK
RAISSA LARASATI. Sintesis Fase Diam Selulosa-g-AAm dengan Berbagai
Kadar Penaut-silang sebagai Media Separator Xantorizol dari Ekstrak Temu
Lawak. Dibimbing oleh HENNY PURWANINGSIH dan MOHAMMAD
KHOTIB.
Potensi jerami di Indonesia sangat besar dan kandungan selulosanya dapat
dimodifikasi untuk mengubah sifat-sifatnya. Salah satu modifikasi ialah melalui
metode pencangkokan-penaut-silang. Produk yang dihasilkan akan memiliki
struktur makromolekul yang dapat diaplikasikan dalam teknologi pemisahan.

Penelitian ini dibagi menjadi 3 tahap. Tahap pertama adalah isolasi selulosa,
kedua adalah sintesis kopolimer dengan beragam penaut-silang (0.1, 0.5, dan 1.0
g), dan yang terakhir adalah aplikasi produk sebagai media separator.
Keberhasilan proses isolasi selulosa ditandai dengan sisa lignin sebesar 0.81% dan
kadar selulosa-α yang meningkat sebesar 31.22%. Proses pencangkokan-penautsilang dicirikan dengan kenaikan kadar N dan penurunan kapasitas absorpsi air
seiring dengan meningkatnya jumlah penaut-silang. Analisis gugus fungsi dengan
spektrum inframerah transformasi Fourier menunjukkan pita serapan khas C═O
amida pada bilangan gelombang 1674 cm-1. Ketiga selulosa-g-AAm pada
kromatografi kolom digunakan untuk memisahkan xantorizol dari ekstrak kasar
temu lawak. Identifikasi hasil dengan kromatografi lapis tipis menunjukkan
bahwa xantorizol selalu berada pada fraksi heksana. Ketiga sampel kopolimer
menunjukkan kinerja pemisahan yang cenderung serupa. Ketiga sampel juga
dapat digunakan dua kali untuk proses pemisahan.

ABSTRACT
RAISSA LARASATI. Synthesis of Cellulose-g-AAm with Various Amount of
Cross-linker as Separator Media For Xanthorrhizol of Curcuma xanthorrhiza
Extract. Supervised by HENNY PURWANINGSIH and MOHAMMAD
KHOTIB.
Rice straw in Indonesia is abundant and its cellulose can be modified to alter its

characteristic. One of modification is by grafting-cross-linking method. The
products will have a molecular structure that can be applied in separation
technology. This research consists of three stages. The first stage was cellulose
isolation, followed by cellulose-g-acrylamide synthesis at various amount of
cross-linker (0.1, 0.5, and 1.0 g), and the last stage was application of the products
as stationary phase. The success of isolation process was indicated by 0.81%
residual lignin and increasing of alpha cellulose to 31.22%. Grafting-cross-linking
process was indicated by increase of N and decreases of water absorption capacity
in line with the increase of cross-linker amount. Functional group analysis showed
some the characteristic bands, especially in wave number of 1674 cm-1, showing
C═O of amide. All products were then applied on the column chromatography as
stationary phase for separating xanthorrhizol. Based on thin layer chromatography
profile, xanthorrhizol was always found in hexane fraction. However, all of
copolymer tend to show similar performances. All samples can be reused twice
for separation process.

SINTESIS FASE DIAM SELULOSA-g-AAM DENGAN
BERBAGAI KADAR PENAUT-SILANG SEBAGAI MEDIA
SEPARATOR XANTORIZOL DARI EKSTRAK TEMU
LAWAK


RAISSA LARASATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

iii

Judul Skripsi

Nama
NIM


: Sintesis Fase Diam Selulosa-g-AAm dengan Berbagai Kadar
Penaut-silang sebagai Media Separator Xantorizol dari
Ekstrak Temu Lawak
: Raissa Larasati
: G44070025

Disetujui

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Dr Henny Purwaningsih Suyuti, MSi
NIP 19741201 200501 2 001

Mohammad Khotib, MSi
NIP 19781018 200701 1 002

Diketahui

Ketua Departemen Kimia,

Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi, MS
NIP 19501227 197603 2 002

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
karya ilmiah ini sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains pada
Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut
Pertanian Bogor. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan keluarganya dan semoga kita semua menjadi pengikutnya
hingga akhir zaman.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Ibu Dr Henny
Purwaningsih, MSi selaku pembimbing pertama dan Bapak Mohammad Khotib,
MSi selaku pembimbing kedua atas saran, kritik, dorongan dan bimbingannya
selama penelitian serta dalam penyusunan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr Irmanida Batubara, MSi dan Ibu Dr

Charlena, MSi selaku penguji sidang komprehensif yang telah memberi banyak
saran dan kritik dalam penyusunan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada Kepala Laboratorium Kimia Terpadu IPB Dr Zainal
Alim Mas’ud, DEA atas fasilitas yang diberikan kepada penulis selama penelitian.
Terima kasih kepada analis dan pegawai di Laboratorium Kimia Terpadu IPB
(Sarah, Baim, Indah, kak Uud, Pak Pui dan Budi) atas masukan serta bantuan
yang diberikan.
Ucapan terima kasih tak terhingga kepada Ayah dan Ibu, serta Adik-adik
(Annisa Ivanna M dan Annisa Ivanni M) dan keluarga (mama Julica W), serta
Reza Nursyamsi atas doa, kasih sayang, motivasi, dukungan dan bantuan materi.
Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada sahabat terbaik yang selalu
memberi semangat, Ika Yuni Andari dan Reisa Astri Kusuma, teman-teman
seperjuangan penelitian di Laboratorium Terpadu (Ujhe, Ria, Siti, Jali, Mia, Riris,
Ina, Karlina dan Bayu) atas kerja sama, kritik dan semangat selama penelitian
serta semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Januari 2012

Raissa Larasati


RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 26 November 1989 dari
ayah Achmad Adi Bastomi dan ibu Ira Novelia. Penulis merupakan putri Sulung
dari tiga bersaudara.
Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bondowoso dan pada tahun
yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Kimia, Departemen
Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi staf Pengembangan Sumber
Daya Mahasiswa (PSDM) Ikatan Mahasiswa Kimia IPB (IMASIKA) masa
jabatan 2007/2008, penulis juga pernah menjadi asisten praktikum kimia biologis.
Bulan Juli–Agustus 2010 penulis melaksanakan Praktik Lapangan di Badan
Lingkungan Hidup Sumatera Utara dengan judul laporan Analisis COD dan TSS
Limbah Industri Sawit dan Karet.

vi

DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. vii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vii
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
METODE ................................................................................................................ 1
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 4
Isolasi Selulosa Jerami ................................................................................... 4
Sintesis Selulosa-g-Akrilamida ...................................................................... 5
Uji Kinerja...................................................................................................... 9
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 11
Simpulan ...................................................................................................... 11
Saran............................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 12
LAMPIRAN .......................................................................................................... 15

vii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1


Perubahan jumlah komponen serat kasar sebelum dan setelah isolasi ........ 5

2

Tampilan bentuk dan warna jerami ............................................................. 5

3

Perubahan ukuran pori-pori selulosa-g-AAm.............................................. 7

4

Spektrum FTIR jerami awal ........................................................................ 8

5

Spektrum FTIR isolat selulosa jerami ......................................................... 8

6


Spektrum FTIR kopolimer selulosa-g-AAm jumlah penaut-silang 0.1 g.... 8

7

Data Uji daya tahan pelarut. ........................................................................ 9

8

Identifikasi hasil fraksinasi kromatografi kolom dengan fase diam
selulosa-g-AAm 0.1 g standar xantorizol .................................................... 9

9

Identifikasi hasil fraksinasi kromatografi kolom dengan fase diam
kolom selulosa-g-AAm 0.1 g, standar kurkuminoid. ................................ 10

10

Identifikasi hasil fraksinasi kromatografi kolom dengan fase diam

kolom selulosa-g-AAm 0.1 g (reuse) standar xantorizol........................... 11
DAFTAR TABEL
Halaman

1

Data analisis proksimat jerami .................................................................... 4

2

Kadar N selulosa-g-Aam ............................................................................. 7

3

Data Uji Kapasitas Absorpsi........................................................................ 7

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Diagram Alir Penelitian ............................................................................. 16

2

Reaktor pencangkokan-penaut-silang........................................................ 17

3

Data uji kadar N ......................................................................................... 18

4

Hipotesis reaksi pencangkokan-penaut-silang........................................... 19

5

Data pengukuran kadar nitrogen, RP dan EP ............................................ 21

6

Data indeks bias uji kapasitas tahan berbagai pelarut. .............................. 22

7

Gambar-gambar analisis FTIR Selulosa-g-AAm. ..................................... 23

8

Gambar-gambar hasil identifikasi KLT dengan standar xantorizol. ......... 24

9

Gambar-gambar hasil identifikasi KLT dengan standar kurkuminoid. ..... 25

10

Gambar-gambar pengamatan hasil KLT tanpa sinar UV. ......................... 26

viii

11

Data Rf KLT ............................................................................................. 27

12

Data Rf (Reuse) .......................................................................................... 28

PENDAHULUAN
Produksi padi menurut data Badan Pusat
Statistika (BPS) tahun 2011 sekitar 65.39 juta
ton per hektar. Nisbah jerami padi terhadap
padi yang dipanen adalah 1.4 (Kim & Dale
2004), artinya total potensi jerami pada tahun
2011 adalah 91.55 juta ton per hektar. Jerami
padi merupakan material yang memiliki
lignoselulosa. Oleh karena itu jerami padi
memiliki prospek yang baik digunakan
sebagai bahan baku produk berbasis serat
seperti pulp, kertas dan produksi panel.
Namun di sejumlah besar daerah di Indonesia,
jerami masih dianggap sebagai sampah dan
akhirnya
hanya
dibakar
tanpa
ada
pemanfaatan lebih lanjut.
Kandungan selulosa alfa di dalam jerami,
yaitu 37.81% (Kartiwa et al. 2004) dan lignin
sebesar 16.62% (Dewi 2002). Selulosa dapat
dimanfaatkan oleh berbagai industri, di
antaranya adalah industri kertas dan tekstil.
Upaya penelitian dalam memanfaatkan
selulosa terus dikembangkan. Selulosa
dimanfaatkan
menjadi
etanol
melalui
hidrolisis dengan asam (H2SO4 atau HCl) dan
enzim (Samsuri et al. 2007), juga sebagai
produk kompos (Cahaya & Nugroho 2007).
Lignin dimanfaatkan sebagai bahan baku
pembuatan surfaktan melalui reaksi sulfonasi
lignin dengan bantuan larutan NaHSO3
(Iskandar et al. 2009).
Berbagai penelitian untuk meningkatkan
nilai mutu selulosa terus dikembangkan. Salah
satunya sebagai media separator (fase diam
kromatografi). Mayer et al. (2000)
menggunakan fase diam selulosa untuk
memisahkan
enantiomer
dengan
elektrokromatografi. Fase diam selulosa juga
dapat digunakan untuk KLT, Irawan (2000)
telah menggunakannya untuk pemisahan
senyawa flavonoid dari ekstrak kulit buah
Citrus aurantifolia.
Media separator juga dapat berasal dari
polimer
sintetis.
Lozinsky
(2004)
menggunakan polimer cryogel polivinil
alkohol untuk imobilisasi molekul dan sel.
Trifenilmetil metakrilat juga dapat digunakan
sebagai fase diam HPLC untuk memisahkan
senyawa kiral (Nakano 2001).
Modifikasi selulosa juga dapat digunakan
sebagai fase diam. Lestari (2010) dan Cahyani
(2010) telah memodifikasi selulosa menjadi
selulosa asetat dan menggunakannya sebagai
media separator pada kromatografi kolom
untuk memisahkan senyawa kurkuminoid dari
ekstrak temu lawak.

Penelitian
yang
dilaksanakan
di
Laboratorium
Kimia
Terpadu
Institut
Pertanian
Bogor
ini
bertujuan
menggabungkan selulosa dan monomer
akrilamida
(AAm)
dengan
teknik
pencangkokan-penaut-silang
menggunakan
inisiator amonium persulfat (APS) dan variasi
kadar
penaut-silang
N,N’-metilena-bisakrilamida (MBA) yang akan digunakan
sebagai fase diam kromatografi kolom.
Temu lawak merupakan salah satu jenis
tanaman obat yang potensial untuk
dikembangkan.Bagian yang berkhasiat dari
temu lawak adalah rimpangnya yang
mengandung berbagai komponen kimia, di
antaranya zat kuning kurkumin, protein,
patidan minyak atsiri (Hadipoentyanti &
Syahid 2007).
Kurkuminoid merupakan senyawa fenolik
yang terdiri atas kurkumin, demetoksi
kurkumin,
dan
bisdemetoksikurkumin
(Paramasivam et al. 2008). Kurkuminoid
adalah senyawa aktif utama yang bersifat antiinflamasi, anti-mikroba, anti-kanker, antitumor dan dapat menyembuhkan luka (Gupta
et al. 1999).
Xantorizol yang merupakan komponen
khas minyak atsiri esensial temu lawak
termasuk ke dalam kelompok seskuiterpen
(Aguilar et al. 2001). Xantorizol bermanfaat
sebagai antiinflamasi dan antikarsinogenik
pada kulit tikus (Chung et al. 2000),
antibakteri (Hwang et al. 2000) dan inhibitor
sel kanker payudara (Yew et al. 2009).
Senyawa
xantorizol
sangat
sulit
didapatkan, sehingga harganya sangat
mahal.Kopolimer
selulosa-g-AAm
yang
dihasilkan akan diaplikasikan sebagai media
separasi senyawa aktif temu lawak
(kurkuminoid dan xantorizol) dengan
kromatografi kolom dan identifikasi hasil
fraksinasi kolom dengan kromatografi lapis
tipis.

METODE
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah radas
kromatografi kolom, radas kromatografi lapis
tipis (KLT), spektrofotometer FTIR Prestige21 Shimadzu (Lab. Terpadu, IPB) dan SEM
(Puslitbang Hutan, Bogor).
Bahan-bahan yang digunakan adalah
jerami padi Mageni (Dramaga, Bogor), temu
lawak (Pusat Studi Biofarmaka, IPB), standar
kurkuminoid dan xantorizol (Pusat Studi
Biofarmaka, IPB) dan lempeng KLTsilika gel
GF 254 (Merck). Pereaksi yang digunakan

2

adalah, Akrilamida, APS, MBA, HCl, asam
asetat glasial, NaOH, H2O2, asam borat,
H2SO4 pekat, aseton, n-heksana, etil asetat,
kloroform, metanol, etanol dan toluena
(semua berasal dari Merck).
Lingkup Kerja
Metode penelitian ini diringkaskan dalam
diagram alir (Lampiran 1).
Preparasi Jerami
Jerami digiling di Balai Penelitian
Tanaman Obat dan Aromatik (BALITRO) lalu
diayak dengan saringan 40 mesh, hingga
terpisah dari bagian berseratnya. Sampel ini
dianalisis proksimat. Sebanyak 50 gram
bagian tepung ditambahkan 1000 mL HCl 3%,
kemudian dipanaskan pada suhu 65-70 °C dan
diaduk dengan pengaduk magnet selama 1
jam. Campuran kemudian disaring dan dicuci
hingga bebas asam. Residu kemudian
dikeringkan pada suhu 50 °C hingga bobotnya
konstan. Contoh tersebut bebas dari mineralmineral dan polisakarida yang larut dalam
asam (A1).
Isolasi Selulosa Jerami
Tahapan isolasi selulosa dari jerami ini
meliputi 2 tahap, yaitu pulping dan
delignifikasi.
Pulping Jerami (Modifikasi Guolin et al.
2007 dan Bhattacharya et al. 2008)
Sebanyak 50 gram A1 ditambahkan
dengan 1000mL NaOH 20%, kemudian
campuran dipanaskan dan diaduk dengan
pengaduk pada suhu 70-80°C selama 3 jam.
Campuran kemudian disaring dan endapannya
dicuci dengan akuades hingga bebas basa.
Residu kemudian dikeringkan pada suhu 50°C
hingga bobotnya konstan (A2).
Delignifikasi Jerami (Modifikasi Sun et al.
2004)
Sebanyak 20 gram A2 ditambahkan
dengan 500 mL H2O2 5% pH 12. Campuran
tersebut dipanaskan selama 2 jam dengan
suhu 70-85 °C. Setelah itu diangkat dan dicuci
hingga bebas basa. Pemanasan diulangi dua
kali dengan waktu 2 jam dan 3 jam. Setelah
dicuci dan bebas basa, residu dikeringkan
pada suhu 50 °C hingga bobotnya konstan.
Setelah kering, hasilnya digiling hingga
didapatkan serbuk halus yang mirip kapas
(A3). A3 disebut sebagai selulosa jerami.
Analisis FTIR dan analisis serat kasar
dilakukan pada A3.

Analisis Komponen Serat Kasar
Komponen
serat
kasar
meliputi
holoselulosa, hemiselulosa, selulosa alfa, dan
lignin. Analisis komposisi holoselulosa,
selulosa alfa dan lignin dilakukan dengan uji
laboratorium,
sedangkan
komposisi
hemiselulosa
dapat
diketahui
dengan
perhitungan.
Komposisi hemiselulosa (%) adalah
komposisi holoselulosa (%) dikurangi dengan
komposisi selulosa alfa (%).
Analisis
Komponen
Holoselulosa
Berdasarkan SNI 01-1303-1989 (BSN 1989)
Sebanyak 2 gram sampel yang telah
dikeringkan di oven untuk menghilangkan
bahan ekstraktif, diekstraksi dengan alkohol
dan benzena. Setelah itu, sampel ditambahkan
dengan 150 mL akuades, 0.2 mL asam asetat
glasial dan 1 gram NaClO2. Labu kemudian
diletakkan di penangas air dan dipanaskan
dengan suhu 70-80°C konstan selama 5 jam.
Asam asetat glasial dingin dan 1 gram NaClO2
ditambahkan setiap jam sambil terus dikocok.
Setelah 5 jam, labu diletakkan di penangas es
hingga suhu turun menjadi 10 °C. Setelah itu,
campuran
di
dalam
labu
disaring
menggunakan vakum dan cawan berpori yang
telah ditentukan bobot tetapnya. Residu
kemudian dicuci hingga berwarna putih.
Cawan berisi sampel dikeringkan di oven
hingga bobot tetap.
Analisis
Komponen
Selulosa
Alfa
Berdasarkan Standar ASTM 1103-60-1997
(ASTM 1977)
Sebanyak 2 gram sampel holoselulosa
yang telah kering dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer. Suhu dijaga konstan 20 °C
dengan bantuan penangas. Sebanyak 50 mL
NaOH 17.5% ditambahkan ke dalamnya.
Sampel diaduk selama 1 menit, kemudian
didiamkan selama 20 menit. Setelah itu, air
suling 50 mL ditambahkan ke dalamnya,
kemudian dikocok selama 1 menit dan
didiamkan selama 5 menit. Campuran ini
kemudian disaring dengan cawan berpori
yang sebelumnya telah ditentukan bobot
tetapnya.
Residu dicuci dengan NaOH 8.3% dan
akuades, setelah itu dengan 40 mL asam asetat
glasial 10%. Residu dicuci kembali dengan
akuades panas hingga bebas asam. Sampel ini
kemudian dikeringkan di oven, dimasukkan
ke dalam desikator dan ditimbang hingga
diperoleh bobot konstannya.

3

Penetapan Uji Kadar Lignin Berdasarkan
SNI 14-0492-1989 (BSN 1989)
Sebanyak 2 gram sampel jerami
diekstraksi menggunakan metode soxhletasi
dengan alkohol 95% selama 4 jam, setelah itu
ekstrak
diekstraksi
kembali
dengan
alkohol:benzena (1:2) selama 6 jam. Setelah
ekstraksi selesai, pelarut dibuang. Sampel
dipindahkan ke gelas piala dan dipanaskan
dengan 400 mL air pada suhu 100 °C selama 3
jam. Selanjutnya sampel disaring dan dicuci
dengan
100
mL
air
panas
dan
dikeringudarakan. Serbuk yang telah kering
dipindahkan ke gelas piala kecil dan
ditambahkan dengan 72% asam sulfat dingin
sebanyak 15 mL secara perlahan-lahan sambil
diaduk. Suhu dijaga konstan12-15 °C.
Pengadukan dilakukan selama 1 jam. Setelah
itu, campuran didiamkan selama 2 jam dengan
suhu konstan 18-20 °C. Sampel dipindahkan
ke dalam Erlenmeyer dan diencerkan dengan
akuades 560 mL, hingga konsentrasinya
mencapai 3%. Larutan 3% ini dididihkan di
bawah pendingin tegak selama 4 jam dan
dijaga agar volume konstan dengan
menambahkan air panas sewaktu-waktu.
Setelah bahan yang tidak larut mengendap,
kemudian disaring dengan cawan penyaring
dan dicuci dengan air panas hingga bebas
asam. Residu kemudian dikeringkan di oven,
didinginkan di desikator dan ditimbang hingga
bobot konstan.
Kadar Lignin =
Kopolimerisasi Selulosa dengan Teknik
Pencangkokan-Penaut-silang (Modifikasi
Nakason et al. 2010)
Sebanyak 15 gram A3 ditambahkan
dengan 150 mL akuades. Campuran
dimasukkan ke dalam labu leher tiga yang
dilengkapi dengan pengaduk, kondensor,
termometer dan saluran nitrogen (Lampiran
2). Cerat kondensor ditutup, kemudian A3
dipanaskan hingga suhu mencapai 95 °C.
Setelah mencapai suhu 95 °C, gas nitrogen
dialirkan selama 30 menit. Kemudian, suhu
diturunkan hingga mencapai 60-65 °C,
inisiator APS sebanyak 250 mg yang telah
dilarutkan dengan 12.5 mL akuades
ditambahkan ke dalamnya. Setelah 15 menit,
campuran 25 gram akrilamida, (0.1 g ; 0.5 g ;
dan 1 g) MBAdan 200 mL akuades
ditambahkan sedikit demi sedikit. Suhu
dinaikkan menjadi 70±2 °C
dan dijaga
konstan selama 3 jam. Hasil sintesis ini
berupa gel yang selanjutnya dicuci untuk
menghilangkan pengotor.

Pencucian Gel (Modifikasi Liang et al.
2009)
Gel hasil pencangkokan-penaut-silang
didinginkan.Setelah dingin, gel ditambahkan
dengan 200 mL metanol p.a dan diaduk
selama
30
menit.
Selanjutnya,
gel
ditambahkan 200 mL etanol p.a dan diaduk
cepat selama 5 menit, selanjutnya didiamkan
selama 30 menit. Gel dan cairan alkohol
dipisahkan. Gel yang telah mengeras dipotong
kecil-kecil, lalu direfluks dengan 200 mL
asetonp.a pada suhu 70 C selama 1 jam. Gel
dikeringkan dalam oven pada suhu 60 C
hingga mencapai bobot konstan kemudian
dihaluskan hingga berukuran 100 mesh.
Pencirian Polimer Selulosa-g-AAm
Polimer selulosa-g-AAm dicirikan untuk
mengetahui perubahan sifat fisik dan
kimianya.
Keberhasilan
pencangkokan
diketahui dengan menguji kadar N
menggunakan metode Kjeldahl, mengetahui
rasio serta efisiensi pencangkokan-penautsilang (RP dan EP) serta dengan analisis
gugus fungsi melalui spektrofotometer FTIR,
Keberhasilan
proses
penautan-silang
dibuktikan dengan uji Kapasitas absorpsi air
dan morfologi permukaan melalui mikroskop
elektron payaran(SEM).
Penentuan Kadar Nitrogen dengan Metode
Kjeldahl (SNI 01-3751-2006)
Sebanyak 0.1 gram produk hasil
modifikasi ditimbang dan dimasukkan ke
dalam labu kjeldahl dan dimasukkan selenium
sebanyak 2 sudip dan 10 mL H2SO4 pekat,
didestruksi hingga berwarna kehijauan.
Setelah itu didestilasi dengan memasukkan
sampel ke dalam labu kjeldahl, botol sampel
dibilas dengan 150 mL akuades, diikuti
dengan penambahan 50 mL NaOH 40%.
Sebanyak 20 mL asam borat 2 % dimasukkan
ke dalam Erlenmeyer 250 mL yang berisi
distilat dan dititrasi dengan HCl 0.1 N.
N (%) =
RG=
EG=

Keterangan:
N= Kadar Nitrogen (%)
Vs= Volume titran sampel (mL)

4

Vb= Volume titran blangko (mL)
RG= Rendemen pencangkokan
EG= Efisiensi pencangkokan (%)
Pengujian
Kapasitas
Absorpsi
Air
(Nakason 2010)
Sebanyak 0.2 g produk hasil modifikasi
dimasukkan ke dalam botol dan ditambahkan
dengan 100 mL akuades, didiamkan selama
3 24 jam. Setelah itu, disaring hingga benarbenar kering dan ditimbang.
Adsorpsi = W1-W0 x 100%
W0
Keterangan:
W0 : bobot awal polimer (g)
W1 : bobot polimer yang mengembang (g)
Ekstraksi Temu Lawak (Santi 2006)
Serbuk temu lawak yang telah halus
kemudian dimaserasi menggunakan pelarut
etanol dengan nisbah bahan dan pelarut 1:3
selama 3×24 jam. maserasi dihentikan dan
selanjutnya maserat disaring menggunakan
kertas saring dan dipekatkan dengan penguap
putar (rotavapor) pada suhu 40 °C. Residu
yang diperoleh merupakan ekstrak etanol
temu lawak.
Uji Kapasitas Tahan Terhadap Pelarut
Sebanyak 0.5 g kopolimer selulosa-gAAm dimasukkan dalam vial 15 mL,
ditambahkan masing-masing 10 mL pelarut
metanol, etanol, aseton, etil asetat, heksanadan
toluena, kemudian didiamkan selama 3×24
jam sambil diaduk. Setelah 3 hari, indeks
biasnya diukur menggunakan refraktometer
Abbe.
Fraksinasi Ekstrak Temu lawak dengan
Kromatografi Kolom
Kolom kromatografi yang berisi 8 g
polimer selulosa-g-AAm disiapkan dengan
tinggi fase diam di dalam setiap kolom dibuat
seragam. Sebanyak 0.25 mL ekstrak kasar
temu lawak dielusi eluen dengan laju alir ±
0.5 mL/menit hingga semua fraksi keluar dari
kolom. Eluen yang digunakan adalah heksana,
campuran heksana:etil asetat (90:10, 75:25,
50:50, 25:75dan 10:90) dan metanol yang
selanjutnya disebut dengan eluen pertama,
kedua, ketiga, keempat, kelima, keenamdan
ketujuh secara berturut-turut. Fraksi yang
keluar dari kolom ditampung sebanyak 5 mL
di dalam vial.

Identifikasi dengan Kromatografi Lapis
Tipis
Fraksi yang diperoleh dari kromatografi
kolom, standar kurkuminoid dan standar
xantorizol ditotolkan pada lempeng silika gel
GF 254 dengan bantuan pipa kapiler lalu
dielusi dengan fase gerakheksana:etil asetat
(10:1) (xantorizol) dan kloroform:benzena:
metanol (80:15:5) (kurkuminoid). Selanjutnya
lempeng silika gel dikeringkan dan pola
pemisahannya dapat dideteksi dengan sinar
UV pada panjang gelombang 254 dan 366 nm.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi Selulosa Jerami
Jerami memiliki kandungan mineral yang
cukup besar. Hal ini dibuktikan dari kadar abu
dalam jerami yang cukup tinggi, yaitu 26.92%
(Tabel 1). Oleh karena itu, perebusan jerami
awal dengan HCl 3% diharapkan dapat
melarutkan sebagian besar mineral-mineral
dan hemiselulosa di dalamnya (Achmadi
1990). Kandungan serat kasar di dalam jerami
juga tinggi, yaitu 57.04%. Oleh karena itu,
perlu dilakukan analisis serat kasar lebih
lanjut di dalam jerami untuk mengetahui
komposisi serat kasar yang ada di dalam
jerami tersebut. Data analisis serat kasar
jerami sebelum dan sesudah perlakuan
disajikan pada Gambar 1.
Tabel 1 Data analisis proksimat jerami
Kadar
(% bobot
kering)
Air
8.42
Abu
26.92
Lemak
0.58
Protein
9.47
Serat kasar
57.04
Sumber: Laboratorium Terpadu IPB (data
yang tidak dipublikasi).
Komponen

Jerami
merupakan
material
yang
mengandung lignoselulosa. Lignin merupakan
komponen kimia kayu yang selalu bergabung
dengan selulosa dan bukan merupakan
karbohidrat, melainkan didominasi oleh gugus
aromatis berupa fenilpropana (Wardhani et al.
2004). Kandungan lignin di dalam jerami
kering sebesar 32.07% (Gambar 1). Lignin
dapat menghambat pembentukan radikal yang
diperlukan pada tahap awal pencangkokan
selulosa, karena probabilitas lignin menjadi

5

radikal lebih tinggi dibandingkan dengan
selulosa.
Sebelum delignifikasi, pulping jerami
dilakukan agar delignifikasi berjalan lebih
efektif. Pulping bertujuan melarutkan serat
dalam jerami, mendegradasi dan melarutkan
sebagian besar lignin yang terdapat di dalam
dinding serat, serta meninggalkan sebagian
besar selulosa dan holoselulosa dalam serat
secara utuh. Terdapat 3 proses pulping secara
kimia, yaitu proses kraft (sulfat), proses sulfit
(asam) dan proses soda (basa). Di dalam
penelitian ini, digunakan proses soda dengan
larutan NaOH sebagai larutan pemasak.
Larutan NaOH (alkali) sangat efektif
melarutkan selulosa- dan selulosa- , namun
tidak melarutkan selulosa-α (Lumbanbatu
2008). Kemurnian selulosa sering dinyatakan
melalui parameter selulosa-α, tetapi selulosa-α
bukan selulosa murni, karena masih ada gula
lain yang tahan alkali. Selulosa-α inilah yang
merupakan target utama dalam proses isolasi
selulosa jerami ini. Rendemen proses pulping
sebesar 37%.
Umumnya bahan yang digunakan dalam
proses delignifikasi adalah senyawa yang
mengandung klorin. Bahan yang mengandung
klorin ini merupakan bahan yang tidak ramah
lingkungan. Oksidasi bahan organik oleh
senyawa ini dapat menghasilkan senyawa
yang berbahaya seperti kloroform yang
bersifat karsinogenik (Fuadi 2008). Bahan lain
yang dapat digunakan dalam proses
delignifikasi yang lebih ramah lingkungan
adalah hidrogen peroksida. Lignin yang
terkandung dalam jerami dihilangkan dengan
menggunakan larutan hidrogen peroksida
(H2O2) 5% pH 12. Hidrogen peroksida
merupakan oksidator ringan yang memiliki
efisiensi delignifikasi yang tinggi bila
dilakukan pada kondisi basa. Saat kondisi
asam, hidrogen peroksida sangat stabil,
sedangkan pada kondisi basa, mudah terurai.
Hidrogen peroksida akan terurai menjadi
anion peroksida dan air. Reaksinya sebagai
berikut:
H2O2 + HOHOO- + H2O
Spesi aktif yang berperan penting dalam
penghilangan gugus kromofor lignin adalah
anion hidrogen peroksida (
). Anion
yang bersifat nukleofilik kuat ini akan
menyerang gugus etilena dan karbonil pada
molekul lignin dan mengubahnya menjadi
spesi yang tidak mengandung kromofor (Fang
et al. 2000). Proses delignifikasi sangat
tergantung pada nilai pH. Tahap pertama
delignifikasi, pulp jerami masih berwarna
putih kekuningan yang artinya proses

delignifikasi belum sempurna. Jerami yang
telah melewati tahap kedua memiliki warna
yang lebih putih. Hal ini menandakan proses
delignifikasi berjalan dengan baik.
Lignin yang tersisa dalam jerami setelah
proses delignifikasi sebesar 0.81%,dengan
kadar selulosa-α sebesar 65.52% (Gambar 1),
Jerami hasil delignifikasi yang telah kering,
berbentuk granula putih yang memiliki tekstur
mirip kapas. Rendemen proses delignifikasi
ini sebesar 50%. Perubahan bentuk visual
jerami awal, hasil pulping dan delignifikasi
dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 1

Perubahan jumlah komponen
serat kasar jerami sebelum
isolasi (■) dan setelah isolasi
(■).

1
(a)
Gambar 2

(b)

(c)

Tampilan bentuk dan warna
jerami (jerami awal (a), hasil
pulping (b) dan selulosa jerami
(c).

Sintesis Selulosa-g-Akrilamida
Kopolimerisasi cangkok merupakan salah
satu metode yang paling umum digunakan
untuk memodifikasi sifat-sifat kimia dan
fisika polimer alami dan sintetik(Chowdhury
& Banaerjee 1998 dalam Silvianita et al.
2004).
Teknik cangkok yang paling umum
digunakan adalah teknik cangkok secara kimia
yang terdiri atas dua cara, yaitu pembentukan
radikal bebas dan ionik. Monomer AAm
dicangkokkan pada polimer tulang punggung
selulosa dengan teknik pembentukan radikal
bebas. Selulosa jerami dilarutkan dengan
akuades dan dipanaskan dengan suhu 90-95°C
agar struktur selulosa mengembang sehingga

6

memiliki kapasitas serap yang besar terhadap
monomer dan inisiator. Setelah mencapai
suhu tersebut, gas nitrogen mulai dialirkan,
agar kondisi pencangkokan bebas oksigen.
Oksigen dapat memicu pembentukan radikal
peroksida yang dapat menghambat reaksi
kopolimerisasi
melalui
pembentukan
homopolimer (Kurniadi 2010). Inisiator yang
digunakan adalah APS. Inisiator merupakan
pembentuk radikal bebas yang memicu
terjadinya proses polimerisasi (Silvianita et al.
2004). APS dilarutkan dalam air agar molekul
APS terdistribusi secara seragam di sekitar
substrat selulosa dan dengan adanya
pemanasan maka ion persulfat akan terurai
membentuk radikal:
S2O82-→βSO4-•
Radikal sulfat (SO4-•) dihasilkan dari
inisiator APS yang terdekomposisi saat
pemanasan dengan suhu 60 C (Da Silva et al.
2007). Radikal inilah yang selanjutnya
sebagai penginisiasi pembentukan radikal
selulosa dengan menyerang atom H pada –OH
di posisi C6 yang merupakan sisi paling reaktif
dari selulosa karena halangan sterik yang
rendah (Achmadi 1990). Tahap inisiasi rantai
polimer menghasilkan makroradikal selulosa.
Makroradikal
selulosa
ini
kemudian
menyerang ikatan rangkap C=C pada
akrilamida membentuk kopolimer selulosa-OCH-CH•CONH2 yang pada makroradikal
kopolimer tersebut masih terbentuk C•.
Radikal C• tersebut akan menyerang gugus
C=C pada akrilamida lagi secara kontinyu
hingga membentuk rantai cangkok yang
panjang. Radikal C• juga dapat menyerang
gugus C=C pada penaut-silang MBA hingga
terjadi taut-silang diantara kopolimerkopolimer tersebut. Tahapan propagasi
meliputi
pertumbuhan
rantai
polimer
akrilamida yang telah tercangkok pada tulang
punggung selulosa.
Penggabungan dua cabang yang sedang
tumbuh pada dua rantai polimer yang berbeda
akan menghasilkan taut-silang (Cowd 1991).
Pembentukan taut-silang memerlukan suatu
senyawa yang mempunyai minimal dua buah
gugus fungsi. Penaut-silang yang digunakan
dalam penelitian ini adalah MBA yang
memiliki dua buah ikatan rangkap dalam
molekulnya sehingga dapat bereaksi dengan
rantai polimer akrilamida yang sedang tumbuh
dalam tahap propagasi. Penambahan penautsilang dilakukan dengan tiga variasi jumlah,
yaitu 0.1, 0.5 dan 1.0 g. Proses pencangkokanpenaut-silang
menghasilkan
kopolimer
selulosa-g-AAm yang secara visual berbentuk
gel dan bersifat kaku. Gel yang dihasilkan

dicuci dengan metanol dan etanol untuk
menghilangkan air, lalu direfluks selama 1
jam dengan aseton untuk menghilangkan
homopolimer.
Mekanisme
reaksi
kopolimerisasi selulosa-g-AAm dapat dilihat
pada Lampiran 4.
Parameter keberhasilan sintesis kopolimer
selulosa-g-AAm ini meliputi kadar nitrogen,
uji kapasitas absorpsi air, analisis morfologi
permukaan dengan SEM dan analisis gugus
fungsi dengan FTIR.
Kadar Nitrogen
Kopolimer selulosa-g-akrilamida yang
dihasilkan diukur kadar N nya untuk
mengetahui efisiensi dan rasio pencangkokanpenaut-silang.
Penentuan
kadar
N
menggunakan metode Kjeldahl modifikasi
Winkler dengan tahap destruksi, distilasi dan
titrasi. Tahap destruksi menggunakan asam
sulfat pekat yang berfungsi mendestruksi
sampel menjadi unsur-unsurnya yaitu CO,
CO2 dan H2O, sedangkan unsur nitrogen akan
berubah menjadi amonium sulfat yang
selanjutnya dipecah menjadi NH3 pada tahap
distilasi. NH3 yang terbentuk selanjutnya
ditangkap oleh asam borat dan dititrasi dengan
HCl.
Berdasarkan hasil uji kadar N, kadar N
meningkat seiring dengan meningkatnya
jumlah penaut-silang yang digunakan (Tabel
2). Penaut-silang yang digunakan ialah N,Nmetilena-bis-akrilamida yang mengandung
gugus N. Hal inilah yang menjadi faktor
peningkatan kadar N seiring dengan kenaikan
jumlah penaut-silang. Perbedaan kadar N pada
ketiga sampel cenderung kecil (Tabel 2)
dikarenakan adanya taut-silang antarrantai
kopolimer oleh MBA yang juga mengandung
atom nitrogen dalam struktur molekulnya.
Perhitungan Kadar N sampel dengan penautsilang 0.1, 0.5 dan 1.0 gram disajikan pada
Lampiran 3. Dengan mengetahui kadar N,
Rasio dan efisiensi pencangkokan-penautsilang dapat diketahui.
Rasio Pencangkokan-penaut-silang (RP)
adalah persen pencangkokan terhadap jumlah
selulosa jerami awal. Efisiensi Pencangkokanpenaut-silang (EP) adalah jumlah monomer
AAm yang mengalami pencangkokan
terhadap jumlah AAm yang ditambahkan di
awal reaksi. Perhitungan nilai RP dan EP
(Lampiran 5) didasarkan pada perubahan
kadar nitrogen pada sampel kopolimer yang
berasal dari monomer AAm dan penaut-silang
MBA yang mengandung atom nitrogen pada
struktur molekulnya. Penaut-silang yang
berjumlah 0.1, 0.5, 1.0 gram memiliki RP

7

berturut-turut sebesar 56.82%, 63.04% dan
69.79% dan EP berturut-turut sebesar 72.27%,
75.67%dan 79.96%.
Nilai RP dan EP yang meningkat
menunjukkan
bahwa
monomer
AAm
cenderung membentuk kopolimer dengan
selulosa jerami dibandingkan membentuk
homopolimer poliakrilamida. Sehingga tautan
silang semakin banyak. Nilai EP yang kurang
dari 100% menunjukkan bahwa jumlah AAm
yang digunakan tidak seluruhnya tercangkok
pada tulang punggung selulosa. Adanya
sejumlah kecil radikal SO4- ∙sisa yang tidak
menghasilkan makroradikal selulosa diduga
dapat memengaruhi nilai EP yang kurang dari
100% (Lanthong et al. 2006).
Tabel 2 Kadar N selulosa-g-Aam
Sampel
1
2
3

Bobot penautsilang (g)
0.1
0.5
1.0

Analisis Morfologi Permukaan
Pembentukan
rongga-rongga
setelah
proses pencangkokan dapat dilihat pada
Gambar 3. Analisis morfologi permukaan
dengan mikroskop elektron payaran (SEM),
dapat dilihat bahwa saat jumlah penaut-silang
berjumlah 0.1 gram, rongga yang terbentuk
sangat lebar, sehingga dapat menyerap air
dalam jumlah yang banyak dibandingkan
dengan kopolimer selulosa-g-AAm dengan
penaut-silang berjumlah 1.0 gram. Semakin
banyak penaut-silang, matriks yang terbentuk
semakin padat, rongga-rongga yang terbentuk
akan semakin kecil dan halangan ruang
semakin besar (Gambar 3).Hal tersebut
menghambat masuknya air, sehingga terjadi
penurunan kapasitas serap air.

Kadar N(%)
7.14
7.56
8.10

Uji Kapasitas Absorpsi Air
Uji kapasitas absorpsi air berhubungan
dengan keberhasilan proses penaut-silang dan
jumlah penaut-silang yang digunakan.
Kopolimer
yang
tertaut-silang
akan
menghasilkan polimer yang saling berikatan
satu sama lain sehingga membentuk rongga
dan dapat menyerap air. Oleh karena itu,
dilakukan pengukuran kapasitas serap polimer
selulosa-g-AAm terhadap air. Data Kapasitas
absorpsi ditampilkan pada Tabel 3.
Penambahan jumlah penaut-silang yang
bervariasi akan memengaruhi kapasitas
absorpsi kopolimer. Semakin tinggi jumlah
penautan-silang maka kapasitas absorpsinya
akan menurun walaupun tidak signifikan. Hal
ini
dikarenakan
penaut-silang
akan
meningkatkan ikatan silang sehingga halangan
ruang dan kerapatan ikatan antar rantai
kopolimer meningkat, sehingga ukuran
porinya menurun (Chauhan & Lal 2003).
Tabel 3 Data Uji Kapasitas Absorpsi

Gambar 3

Perubahan ukuran pori-pori
selulosa-g-AAm jumlah penautsilang 0.1 dan 1 gram
(perbesaran 500 ).

8

Analisis Gugus Fungsi dengan FTIR
Kopolimer selulosa-g-Aam yang telah
disintesis
dikarakterisasi
berdasarkan
perubahan gugus fungsi melalui data FTIR.
Pencirian dengan FTIR terhadap jerami awal
dapat dilihat pada Gambar 4. Serapan khas
jerami awal ditunjukkan pada bilangan
gelombang 1728 cm-1 yang menunjukkan
adanya hemiselulosa. Serapan pada bilangan
gelombang 786 cm-1 yang menunjukkan
adanya silika. Serapan khas lignin berada pada
bilangan gelombang 1516, 1454 dan 786 cm-1.
Hasil analisis gugus fungsi terhadap isolat
selulosa (Gambar 5) menunjukkan serapan
OH pada rentang bilangan gelombang 35503200 cm-1, ulur C-H pada bilangan gelombang
2893 cm-1 dan tekuk C-H pada bilangan
gelombang 1419 cm-1 dan serapan pada
bilangan gelombang 894 cm-1. Hal ini
menandakan adanya gugus C-O-C yang

Gambar 4

Spektrum FTIR jerami awal.

Gambar 5

Spektrum FTIR isolat selulosa jerami.

merupakan ciri dari selulosa (Lanthong et al.
2006). Serapan silika dan hemiselulosa pada
isolat selulosa menjadi tidak ada, sedangkan
serapan
lignin
berkurang.
Hal
ini
menunjukkan isolasi selulosa telah berhasil
dilakukan. Setelah proses pencangkokanpenaut-silang,
terdapat
serapan-serapan
tambahan pada bilangan gelombang 35003100 cm-1 dan 1900-1650 cm-1. Adanya
serapan pada rentang 3500-3100 cm-1
menunjukkan adanya ulur N-H, dan serapan
pada rentang 1900-1650 cm-1 menunjukkan
peregangan C═O amida, yang merupakan
karakteristik dari –CONH2 yang terdapat
dalam akrilamida. Intensitas serapan karbonil
amida
meningkat
seiring
dengan
meningkatnya jumlah penaut-silang (Gambar
6 dan Lampiran 7). Adanya serapan-serapan
tambahan ini membuktikan bahwa proses
pencangkokan-penaut-silang telah berhasil
dilakukan.

C-O-C

Gambar 6

Spektrum FTIR kopolimer selulosa-g-AAm jumlah penaut-silang 0.1 gram.

9

Uji Kinerja
Uji Daya Tahan Terhadap Pelarut
Setelah pencirian, kopolimer selulosa-gakrilamida ini diuji performanya dengan
mengaplikasikannya sebagai fase diam
kromatografi kolom sebagai separator
xantorizol dari ekstrak temu lawak.
Pemisahan ini diawali dengan pemilihan eluen
terbaik. Syarat eluen yang baik adalah tidak
berinteraksi dengan fase diam yang
digunakan. Penentuan ini dilakukan dengan
menguji kelarutan kopolimer selulosa-g-AAm
dalam beberapa pelarut organik dengan sifat
kepolaran berbeda yang umum digunakan
sebagai fase gerak pada teknik kromatografi.
Eluen yang diujikan adalah metanol, etanol,
aseton, etil asetat, heksana dan toluena.
Pelarut yang akan digunakan sebagai eluen
dalam kromatografi kolom ditentukan oleh
perubahan indeks bias larutan dengan
refraktometer. Jika indeks bias larutan
berubah secara signifikan dibandingkan
dengan indeks bias blangko (pelarut tanpa
sampel), pelarut tersebut tidak dapat
digunakan sebagai eluen karena perubahan
indeks bias tersebut mengindikasikan bahwa
sebagian kopolimer dapat larut di dalamnya.
Hal ini akan mengganggu proses pemisahan di
dalam kromatografi kolom. Hasil pengukuran
(Lampiran 6) menunjukkan perubahan indeks
bias n-heksana, metanol, etanol, toluena,
aseton dan etil asetat yang tidak signifikan
dibandingkan blangkonya (Gambar 5). Tujuan
akhir dari penelitian ini ialah pemisahan
xantorizol.
Xantorizol bersifat nonpolar, sehingga
dipilih pelarut yang paling nonpolar,
semipolar dan sangat polar. Pelarut terbaik
yang dipilih ialah n-heksana, etil asetat dan
metanol.

Gambar 7

Data Uji daya tahan pelarut.
Blangko (■), sampel dan pelarut
(■).

Kromatografi Kolom dan Lapis Tipis
Setelah uji daya tahan terhadap pelarut,
kopolimer selulosa-g-Aam ini dikemas di
dalam kolom. Tinggi kolom yang digunakan

kurang lebih 20 cm dengan pemakaian sekitar
8 g kopolimer selulosa-g-AAm. Kolom
dikemas dengan cara basah menggunakan
eluen heksana. Cara basah digunakan agar
gelembung udara yang terperangkap di dalam
fase diam dapat diminimalisir. Gelembung
udara dapat menghambat proses pemisahan
dan penurunan keseragaman fase diam kolom.
Eluen yang digunakan adalah hasil terbaik
dari uji daya tahan pelarut, yaitu heksana, etil
asetat dan metanol. Gradien eluen digunakan
agar diperoleh pemisahan yang baik. Eluen
yang digunakan adalah heksana, heksana:etil
asetat (90:10, 75:25, 50:50, 25:75, 10:90) dan
metanol. Tiap-tiap eluat ditampung dalam vial
sebanyak 5 mL.
Pelarut awal yang digunakan ialah pelarut
yang bersifat paling nonpolar, yaitu heksana.
Sampel ekstrak temu lawak dimasukkan ke
dalam kolom, kemudian dielusi. Diharapkan
komponen yang bersifat nonpolar di dalam
ekstrak temu lawak dapat keluar dahulu
mengikuti
fase
geraknya,
sedangkan
komponen-komponen yang bersifat polar
lebih tertahan di dalam kolom. Sifat senyawa
xantorizol yang nonpolar akan mengakibatkan
kurangnya interaksi dengan fase diam
sehingga elusi menggunakan eluen nonpolar
seperti heksana diperkirakan xantorizol
muncul di fraksi pertama heksana.
Semua fraksi dari masing-masing eluen
pada kromatografi kolom diidentifikasi
dengan kromatografi lapis tipis (KLT).
Jumlah penotolan dilakukan sebanyak 10 kali
pada tiap-tiap fraksi dan standar xantorizol
2.19% diatas pelat Silika Gel GF 254.
Berdasarkan hasil elusi ketiga kolom dengan
menggunakan eluen heksana:etil asetat (10:1)
didapatkan bahwa xantorizol berada pada
fraksi heksana, tidak pada fraksi-fraksi yang
lain (Gambar 8 dan Lampiran 8).

Gambar 8

Identifikasi hasil fraksinasi
kromatografi kolom dengan fase
diam kolom selulosa-g-AAm
0.1 g, standar xantorizol, eluen
heksana:etil
asetat
(10:1)
dengan sinar UV pada λ= β54
nm.

10

Keterangan:
a: standar xantorizol
b: fraksi n-heksana 1
c: fraksi n-heksana 2
d: fraksi n-heksana:etil asetat (90:10)
e: fraksi n-heksana:etil asetat (75:25)
f: fraksi n-heksana:etil asetat (50:50)
g: fraksi n-heksana:etil asetat (25:75)
h: fraksi n-heksana:etil asetat (10:90)
i: fraksi metanol
a1: standar xantorizol
b1: fraksi n-heksana 1
c1: fraksi n-heksana 2
d1: fraksi n-heksana:etil asetat (90:10)
e1: fraksi n-heksana:etil asetat (75:25)
f1: fraksi n-heksana:etil asetat (50:50)
g1: fraksi n-heksana:etil asetat (25:75)
h1: fraksi n-heksana:etil asetat (10:90)
i1 : fraksi metanol
Hasil identifikasi dengan kromatografi
lapis tipis menunjukkan bahwa ketiga
kopolimer selulosa-g-AAm dengan jumlah
penaut-silang berturut-turut 0.1 (sampel 1),
0.5 (sampel 2) dan 1.0 gram (sampel 3)
berhasil
memisahkan
senyawa-senyawa
nonpolar di dalam ekstrak temu lawak, yang
salah satunya merupakan xantorizol. Fase
diam dengan jumlah penaut-silang 0.1 gram
memilki 3 noda pada fraksi pertama nheksana yang tidak saling tumpuk dan
terdapat satu noda yang memiliki Rf yang
sama dengan Rf standarnya, yaitu noda
pertama dengan nilai Rf 0.47. Sampel 2 juga
menunjukkan kinerja yang mirip dengan
sampel 1 (Lampiran 8). Elusi dengan pelarut
n-heksana
menunjukkan
keberadaan
xantorizol pada fraksi 1 dan 2. Fraksi 1
menghasilkan 4 noda yang tidak saling
bertumpuk dan fraksi 2 menghasilkan 3 noda
yang tidak begitu jelas. Nilai Rf noda 1 pada
fraksi 1 dan 2 menunjukkan nilai yang mirip
dengan Rf standar xantorizol, yaitu 0.45.
Sampel 3 juga menunjukkan hasil pemisahan
yang hampir sama dengan sampel 1 dan 2.
Komponen xantorizol juga berada di fraksi 1
pelarut n-heksana, dengan nilai Rf yang mirip
dengan standarnya, yaitu 0.56. pengamatan
dilakukan di bawah sinar tampak dengan
panjang gelombang 254 nm. Tanpa sinar UV
noda-noda pada KLT sulit diamati (Lampiran
10).
Kurkuminoid yang terdapat di dalam
fraksi yang diperoleh dari masing-masing
eluen dianalisis secara kualitatif menggunakan
KLT dengan menggunakan campuran eluen
kloroform: benzena: metanol (80:15:5).
Pengamatan kromatogram KLT dilakukan di

bawah sinar UV dengan panjang gelombang
366 nm. Pengamatan noda-noda yang
teridentifikasi tanpa sinar UV disajikan pada
Lampiran 10. Profil pemisahan kurkuminoid
dari ekstrak temu lawak disajikan pada
Gambar 9 dan Lampiran 9.

Gambar 9

Identifikasi hasil fraksinasi
kromatografi kolom dengan fase
diam kolom selulosa-g-AAm
0.1 g, standar kurkuminoid,
eluen kloroform: benzena:
metanol (80:15:5) dengan sinar
UV pada λ= γ66 nm.

Keterangan
a: standar kurkuminoid
b: fraksi 1 n-heksana
c: fraksi n-heksana:etil asetat (90:10)
d: fraksi n-heksana:etil asetat (75:25)
e: fraksi n-heksana:etil asetat (50:50)
f: fraksi n-heksana:etil asetat (25:75)
g: fraksi n-heksana:etil asetat (10:90)
h: fraksi metanol
Identifikasi hasil fraksinasi kolom dengan
KLT menunjukkan tidak adanya noda pada
fraksi n-heksana (b). Hal ini menunjukkan
pemisahan berjalan baik. Xantorizol telah
terpisah dari ekstrak temu lawak. Standar
kurkuminoid yang digunakan pada sampel 1
menghasilkan tiga buah noda dengan nilai Rf
0.11
(bisdemetoksikurkumin),
0.21
(demetoksikurkumin) dan 0.38 (kurkumin).
Senyawa kurkumin dan demetoksikurkumin
terdeteksi pada fraksi eluen kedua dan keenam
yang ditandai dengan adanya noda dengan Rf
0.34 yang mirip dengan standar (Gambar 9),
sedangkan ketiga senyawa kurkuminoid dapat
teramati pada fraksi eluen ketiga, keempat dan
kelima yang memiliki tiga buah noda dengan
nilai Rf yang mendekati nilai Rf standar
kurkuminoid. Fraksi eluen pertama dan
ketujuh tidak menunjukkan adanya kandungan
senyawa
kurkuminoid
(Gambar
9).
Kromatogram eluat hasil sampel 2 (Lampiran
9) menunjukkan tiga buah noda dengan nilai
Rf yang mendekati nilai Rf standar hanya
pada fraksi eluen kedua. Kromatogram eluat

11

hasil kolom sampel 3 (Lampiran 9) tidak
menunjukkan adanya salah satu atau ketiga
senyawa kurkuminoid saat elusi dengan eluen
pertama dan kedua. Ketiga senyawa
kurkuminoid ditemukan pada fraksi eluen
ketiga dan keempat.
Perbedaan kromatogram sampel 1, 2 dan 3
dikarenakan sampel 3 dapat menahan senyawa
kurkuminoid pada saat elusi menggunakan
eluen kedua sehingga pada fraksi eluen kedua
tidak
ditemukan
adanya
senyawa
kurkuminoid.
Tertahannya
senyawa
kurkuminoid yang bersifat semipolar ini
dikarenakan sampel 3 memiliki nilai EP
tertinggi. Semakin tinggi EP, polaritas pun
akan meningkat pula. Sampel 3 juga memiliki
jaringan kopolimer yang sangat rapat,
sehingga
memungkinkan
senyawa
kurkuminoid yang memiliki struktur cukup
besar untuk tertahan pada kolom.
fase diam yang telah digunakan, dapat
digunakan kembali dengan mencucinya
menggunakan asam asetat:toluena (1:2) untuk
menghilangkan kurkuminoid yang menempel
pada fase diam. Setelah itu, metanol terus
ditambahkan hingga bau asam asetat hilang.
Pengemasan kolom dilakukan seperti awal
penggunaan. Eluen pertama yang digunakan
ialah heksana.
Saat fase diam kolom sampel 1, 2 dan 3
digunakan
kembali,
tidak
ditemukan
perbedaan
performa
yang
signifikan
dibandingkan dengan pemakaian fase diam
awal. Profil pemisahannya ditampilkan pada
Gambar 10 dan Lampiran 8

g: : fraksi 2 n-heksana:etil asetat (25:75)
h: fraksi 1 n-heksana:etil asetat (10:90
i: fraksi 2 n-heksana:etil asetat (10:90
j: fraksi metanol
Ketiga
sampel
dapat
memisahkan
xantorizol di dalam ekstrak temu lawak.
Perbedaan hanya terlihat pada sampel 1.
Noda-noda fraksi eluen pertama terlihat
menumpuk dan lebih banyak. Hal ini
menandakan adanya sedikit penurunan
ketahanan fase diam setelah digunakan
kembali. Nilai Rf xantorizol hampir mirip
dengan standar. Standar xantorizol sampel 1,
2 dan 3 berturut-turut adalah 0.64, 0.40 dan
0.62. xantorizol ditemukan pada fraksi 1
dengan eluen pertama. Nilai Rf xantorizol
sampel 1, 2 dan 3 berturut-turut ialah 0.64,
0.38 dan 0.60. perhitungan nilai Rf ini
ditampilkan pada Lampiran 11 dan 12.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Sintesis dan aplikasi selulosa-g-akrilamida
sebagai fase diam kromatografi kolom dari
jerami telah berhasil dilakukan. Isolat selulosa
yang didapatkan berhasil menghilangkan
lignin hingga tersisa 0.81%. Sintesis dengan
variasi jumlah penaut-silang menggunakan
teknik
pencangkokan-penaut-silang
memberikan hasil kapasitas absorpsi air yang
menurun
seiring
dengan
peningkatan
jumlahpenaut-silang yang digunakan. Aplikasi
selulosa-g-akrilamida sebagai fase diam
kromatografi kolom berhasil memisahkan
xantorizol dari ekstrak temu lawak. Xantorizol
berada pada fraksi heksana dari kromatografi
kolom yang dibuktikan dengan kromatografi
lapis tipis.
Saran

Gambar 10

Identifikasi hasil fraksinasi
kromatografi kolom dengan
fase diam kolom selulosa-gAAm 0.1 g (reuse), standar
xantorizol, eluen heksana:etil
asetat (10:1) dengan sinar UV
pada λ= β54 nm.

Keterangan:
a: standar xantorizol
b: fraksi 1 n-heksana
c: fraksi n-heksana:etil asetat (90:10)
d: fraksi n-heksana:etil asetat (75:25)
e: fraksi n-heksana:etil asetat (50:50)
f: fraksi 1 n-heksana:etil asetat (25:75)

Perlu dilakukan analisis kuantitatif
terhadap fraksi-fraksi hasil pemisahan yang
dihasilkan dari masing-masing fase diam yang
telah disintesis untuk mengetahui profil
pemisahan terbaik dari masing-masing fase
diam yang digunakan, selain itu perlu dicoba
pula penggunaan ulang fase diam hasil
sintesis lebih dari 2 kali untuk mengetahui
katahanan fase diam