Efektifitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) terhadap Pertambahan Bobot Badan Tikus Betina Buting Umur Kebuntingan 0 – 13 Hari

ABSTRACT
Wisnugroho Agung Pribadi. Effectiveness of Purwoceng (Pimpinella alpina)
Etanol Extract to Increment the Weight of Pregnant Female Rat at 0 – 13 Days of
Gestation. Under direction of ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS and
HERA MAHESHWARI.
Purwoceng (Pimpinella alpina) is one of plants that used to raise the
libido in man and usually called “Java Viagra”. The former research mentioned
that this plant contain substances that could increase testosterone production in
male. The administration of purwoceng was purposed to increase the weight of
pregnant female rat at 0-13 days gestation. There were two groups, the control
group and the given purwoceng ethanol extract group. The dosage of purwoceng
that given was 25 mg / 300 gram body weight. The result showed that there was
no different on body weight between them, but purwoceng tended to raise the
weight of pregnant female rat. This plant especially the root, contains flavonoid
that has known as estrogenic substance and also a few steroid that used as
precursor for testosterone production. Most of testosterone in female is converted
into estrogen. Estrogen can cause the increment of body weight because it affects
the proliferation of cell. Therefore purwoceng as estrogenic plant could also have
the same effect.
Keywords: Purwoceng, estrogen, body weight


ABSTRAK
Wisnugroho Agung Pribadi. Efektifitas Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella
alpina) Terhadap Pertambahan Bobot Badan Tikus Betina Buting Pada Umur
Kebuntingan 0 – 13 Hari. Dibimbing oleh ARYANI SISMIN
SATYANINGTIJAS and HERA MAHESHWARI.
Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan salah satu tanaman yang digunakan
untuk meningkatkan libido pada pria dan biasanya disebut "Viagra Jawa".
Penelitian terdahulu disebutkan bahwa tanaman ini mengandung zat yang dapat
meningkatkan produksi testosteron pada laki-laki. Pemberian purwoceng
bertujuan untuk meningkatkan bobot badan tikus betina bunting pada usia
kebuntingan 0-13 hari. Terdapat dua kelompok, kelompok kontrol dan kelompok
purwoceng diberikan ekstrak etanol. Dosis purwoceng yang diberikan adalah 25
mg / 300 gram berat badan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang nyata pada berat badan antara kelompok kontrol dan perlakuan,
tetapi purwoceng cenderung meningkatkan berat badan tikus betina bunting.
Tanaman ini terutama akarnya, mengandung flavonoid yang dikenal sebagai
substansi estrogenik dan juga beberapa steroid yang digunakan sebagai prekursor
produksi testosteron. Sebagian besar testosteron pada wanita diubah menjadi
estrogen. Estrogen dapat menyebabkan pertambahan bobot badan karena
mempengaruhi proliferasi sel, oleh karena itu purwoceng sebagai tanaman

estrogenik juga bisa memiliki efek yang sama.
Kata kunci: purwoceng, estrogen, bobot badan

EFEKTIFITAS EKSTRAK ETANOL PURWOCENG (Pimpinella alpina) TERHADAP
PERTAMBAHAN BOBOT BADAN TIKUS BETINA BUNTING PADA UMUR
KEBUNTINGAN 0 – 13 HARI

WISNUGROHO AGUNG PRIBADI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Efektifitas Ekstrak
Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) Terhadap Pertambahan Bobot Badan Tikus
Betina Bunting Pada Umur Kebuntingan 0 – 13 Hari adalah karya saya dengan
arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis

lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2012

Wisnugroho Agung Pribadi
B04070109

ABSTRACT
Wisnugroho Agung Pribadi. Effectiveness of Purwoceng (Pimpinella alpina)
Etanol Extract to Increment the Weight of Pregnant Female Rat at 0 – 13 Days of
Gestation. Under direction of ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS and
HERA MAHESHWARI.
Purwoceng (Pimpinella alpina) is one of plants that used to raise the
libido in man and usually called “Java Viagra”. The former research mentioned
that this plant contain substances that could increase testosterone production in
male. The administration of purwoceng was purposed to increase the weight of
pregnant female rat at 0-13 days gestation. There were two groups, the control
group and the given purwoceng ethanol extract group. The dosage of purwoceng
that given was 25 mg / 300 gram body weight. The result showed that there was

no different on body weight between them, but purwoceng tended to raise the
weight of pregnant female rat. This plant especially the root, contains flavonoid
that has known as estrogenic substance and also a few steroid that used as
precursor for testosterone production. Most of testosterone in female is converted
into estrogen. Estrogen can cause the increment of body weight because it affects
the proliferation of cell. Therefore purwoceng as estrogenic plant could also have
the same effect.
Keywords: Purwoceng, estrogen, body weight

ABSTRAK
Wisnugroho Agung Pribadi. Efektifitas Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella
alpina) Terhadap Pertambahan Bobot Badan Tikus Betina Buting Pada Umur
Kebuntingan 0 – 13 Hari. Dibimbing oleh ARYANI SISMIN
SATYANINGTIJAS and HERA MAHESHWARI.
Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan salah satu tanaman yang digunakan
untuk meningkatkan libido pada pria dan biasanya disebut "Viagra Jawa".
Penelitian terdahulu disebutkan bahwa tanaman ini mengandung zat yang dapat
meningkatkan produksi testosteron pada laki-laki. Pemberian purwoceng
bertujuan untuk meningkatkan bobot badan tikus betina bunting pada usia
kebuntingan 0-13 hari. Terdapat dua kelompok, kelompok kontrol dan kelompok

purwoceng diberikan ekstrak etanol. Dosis purwoceng yang diberikan adalah 25
mg / 300 gram berat badan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang nyata pada berat badan antara kelompok kontrol dan perlakuan,
tetapi purwoceng cenderung meningkatkan berat badan tikus betina bunting.
Tanaman ini terutama akarnya, mengandung flavonoid yang dikenal sebagai
substansi estrogenik dan juga beberapa steroid yang digunakan sebagai prekursor
produksi testosteron. Sebagian besar testosteron pada wanita diubah menjadi
estrogen. Estrogen dapat menyebabkan pertambahan bobot badan karena
mempengaruhi proliferasi sel, oleh karena itu purwoceng sebagai tanaman
estrogenik juga bisa memiliki efek yang sama.
Kata kunci: purwoceng, estrogen, bobot badan

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

EFEKTIFITAS EKSTRAK ETANOL PURWOCENG
(Pimpinella alpina) TERHADAP PERTAMBAHAN BOBOT
BADAN TIKUS BETINA BUNTING PADA UMUR
KEBUNTINGAN 0 – 13 HARI

WISNUGROHO AGUNG PRIBADI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi :

Nama
:
NRP
:
Program Studi :

Efektifitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng
(Pimpinella alpina) terhadap Pertambahan Bobot Badan
Tikus Betina Buting Umur Kebuntingan 0 – 13 Hari
Wisnugroho Agung Pribadi
B04070109
Kedokteran Hewan

Disetujui,

Dr. drh. Aryani Sismin S, M.Sc, AIF

Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc.AIF


Pembimbing II

Pembimbing I

Diketahui,

drh. Agus Setiyono, MS., Ph.D, APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor

Tanggal lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi
yang berjudul Efektifitas Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina)
Terhadap Pertambahan Bobot Badan Tikus Betina Buting Pada Umur
Kebuntingan 0 – 13 Hari. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Bogor.
Proses penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh
karena itu, dengan rasa tulus dan hormat, penulis menyampaikan terima kasih kepada
Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, M.Sc dan Dr. drh Hera Maheshwari, M.Sc atas
bimbingan, arahan, motivasi, waktu, pemikiran, dan kesabaran selama proses
penelitian dan penyelesaian skripsi ini. Penulis juga ingin menyampaikan terima
kasih kepada Drs. Pudji Achmadi, MS yang telah memberikan kesempatan untuk
bergabung dalam penelitian ini serta staf Laboratorium Fisiologi FKH IPB, ibu Sri,
Ibu Ida, dan Bapak Edi atas bantuan dan kerja sama selama penelitian.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Sri Mulyani (Ibu),
Suwartoyo (Ayah) dan Winedar Kuncaraningtyas (kakak) atas doa, motivasi, dan
dorongan yang luar biasa dan tidak henti-hentinya kepada penulis. Selain itu, penulis
juga menyampaikan terima kasih kepada Gelatin plus atas bantuan baik moril
maupun materi, teman-teman satu tim penelitian (Meta, Divo, Junto, Sandra, dan M.
Sofyan) atas kerja sama dan dukungan selama penelitian, orang-orang terdekat yang
selalu berbagi keceriaan (Patricia, Theodora, Ari, Cholil, Cupi, Vin, Rilan, Vai,
Gama, Topa, Ridwan, Ijot, Otri). Teman-teman Gianuzzi, keluarga besar AA CREW
(bang Roni, bang Aan, Bang Bono, Ikitot, Anjar, Galuh Mutdaman Toharmat, Faris,
Tile, Hadi Bagol, Sendy, Lele, Bunshin ) atas pengalaman dan pembelajaran yang
sangat berharga bagi penulis, serta semua pihak yang baik sengaja maupun tidak

sengaja membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.
Terakhir penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh Civitas Akademika
Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini
masih jauh dari sempurna, karena itu penulis sangat berterima kasih dan terbuka
untuk kritik dan saran yang membangun. Semoga karya ini bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Juli 2012

Wisnugroho Agung Pribadi
NIM B04070109

RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Wisnugroho Agung Pribadi, dilahirkan di Kabupaten
Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 9 September 1989 dari ayah Suwartoyo dan ibu
Sri Mulyani. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara.
Pendidikan formal penulis dimulai dari SDN 01 Tengaran hingga lulus pada
tahun 2001, yang kemudian dilanjutkan ke SLTPN 3 Salatiga dan lulus pada tahun
2004. Pendidikan SMA penulis selesaikan di SMAN 1 Salatiga dan lulus pada tahun
2007. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor jalur Undangan Seleksi Masuk IPB

(USMI).

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ....................................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian ................................................................................... 3
1.3 Hipotesa ............................................................................................... 3
1.4 Manfaat Peneltian...................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................4
2.1 Sejarah Tanaman Purwoceng ...............................................................4
2.2 Morfologi dan Klasifikasi Purwoceng ...................................................4
2.3 Kandungan Bahan Aktif dan Khasiat.....................................................6
2.4 Afrosidiak............................................................................................... 7
2.5 Biologi Umum Tikus .............................................................................8
2.6 Reproduksi Tikus ................................................................................... 9
2.6.1 Perkawinan ................................................................................ 9
2.6.2 Fertilisasi ................................................................................... 10
2.6.3 Implantasi .................................................................................. 10
2.6.4 Plasentasi................................................................................... 11
2.7 Fisiologi Kebuntingan............................................................................11
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .........................................................14
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian................................................................14
3.2 Bahan dan Alat ...................................................................................... 14
3.3 Metode Penelitian .................................................................................. 14
3.3.1 Persiapan Purwoceng ................................................................14
3.3.2 Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng........................................15
3.3.3 Persiapan Hewan Model............................................................15
3.3.4 Perlakuan Hewan.......................................................................16
3.4 Analisis Statistik .................................................................................... 16

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................17
BAB V SIMPULAN DAN SARAN....................................................................24
Simpulan.............................................................................................24
Saran................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 25
LAMPIRAN......................................................................................................... 30

ii

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1
2
3
4

Purwoceng ........................................................................................................ 4
Struktur Esterogen ............................................................................................ 12
Bagan Penelitian ...............................................................................................16
Grafik Pertambahan Bobot Tikus ....................................................................17

DAFTAR TABEL
1 Hasil uji fitokimia akar Purwoceng..................................................................7
2 Rata-rata bobot badan tikus yang telah diberi ekstrak etanol akar
purwoceng selama 13 hari ...............................................................................17

Masa kebuntingan merupakan masa yang penting bagi induk hewan untuk
memiliki kondisi yang prima agar menghasilkan anak yang sehat. Kondisi fisiologis
tubuh induk harus dijaga sedemikian rupa agar tidak mengalami penyimpangan dan
mempengaruhi anak yang berada dalam uterus. Kondisi fisiologis betina yang
bunting dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti hormon, lingkungan, makanan yang
dikonsumsi serta genetik. Pada masa kehamilan, plasenta membentuk hormon yaitu
dan
yang penting untuk berlangsungnya kehamilan normal (Guyton
dan Hall 1997).
Pada manusia penambahan bobot badan rata-rata selama kehamilan adalah
sekitar 24 pon, sebagian besar penambahan bobot badan ini terjadi selama kedua
trimester akhir. Dari kenaikan bobot badan tersebut, sekitar 7 pon adalah fetus, dan
kira-kira 4 pon adalah cairan amnion, plasenta dan selaput amnion. Uterus membesar
sekitar 2 pon, payudara 2 pon, serta masih meninggalkan peningkatan bobot badan
rata-rata pada wanita sekitar 9 pon. Sekitar 6 pon dari cairan ini adalah cairan
tambahan yang berada ekstraselular, sisanya 3 pon pada umumnya merupakan
kumpulan lemak (Guyton dan Hall 1997). Meiyanto

(2008) menyebutkan bobot

uterus tikus betina yang tidak bunting adalah 0,0977 gram. Pada penelitian
Satyaningtijas (2001) dilaporkan bahwa bobot basah dan bobot kering uterus tikus
betina bunting yang diberi estrogen dan progesteron selama 5 hari dan 12 hari
mengalami peningkatan. Total bobot anak yang lahir pada tikus dapat mencapai
kurang lebih 72 gram (Veterinary Library 1996). Pada tikus bobot uterus dan bobot
anak akan ikut mempengaruhi dalam penambahan atau peningkatan bobot badan
induk.

2

Penambahan bobot badan selama kebuntingan erat kaitannya dengan sekresi
hormon reproduksi. Estrogen merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
meningkatnya pertambahan bobot badan. Saat ini banyak dilakukan penelitian
mengenai obat herbal yang dapat mempengaruhi kinerja hormon reproduksi, salah
satunya adalah purwoceng. Taufiqurrachman (2006) membuktikan bahwa purwoceng
dapat meningkatkan kadar testosteron pada tikus jantan. Pada jantan testosteron
diubah menjadi estradiol dalam jumlah sedikit. Testosteron pada jantan berfungsi
untuk perkembangan kelamin sekunder jantan. Berbeda dengan jantan testosteron
pada betina akan diubah sebagian besar menjadi estrogen oleh enzim aromatase.
Estrogen berperan dalam perkembangan kelamin sekunder betina dan kebuntingan
(Guyton dan Hall 1997). Purwoceng diduga memiliki efek seperti estrogen sehingga
besar kemungkinan dapat menaikan bobot badan induk dan bobot anak.
Purwoceng (

) merupakan tanaman yang sekarang lazim

digunakan dalam pembuatan jamu-jamuan dan telah banyak beredar di pasaran.
Konon akar purwoceng ini berkhasiat untuk menaikan libido jantan dan dikenal
sebagai “Viagra Jawa”. Purwoceng (

) merupakan salah satu

tanaman obat asli Indonesia berkhasiat afrodisiak seperti pada tanaman ginseng dari
Korea (Balittro 2011; Anwar 2001). Jaringan akar purwoceng dilaporkan paling
berkhasiat sebagai anti diuretik dan tonikum seduhan terutama digunakan sebagai
afrodisiak dengan kandungan senyawa turunan sterol, saponin dan alkaloida
(Rostiana

2006). Lebih lanjut, Rostiana

2006 melaporkan bahwa akar

purwoceng juga mengandung turunan senyawa kumarin yaitu senyawa bergapten,
iso-bergapten dan saponin, yang banyak digunakan dalam industri obat moderen
sebagai obat analgesik, antipiretik, sedatif, anthelmintik, antifungi, antibakteri dan
antikanker. Dilaporkan pula bahwa di dalam tanaman purwoceng juga ditemukan
senyawa stigmasterol (Suzery

2004), xanthotoksin, marmesin dan umbeliferon

(Hernani dan Rostiana 2004). Lebih lanjut dari hasil isolasi dan identifikasi senyawa
kimia dalam fraksi semipolar dan nonpolar pada tanaman purwoceng juga ditemukan
senyawa metil palmitat, phytol (Sugiastuti dan Rahmawati 2006), dan γ sitosterol
(Widowati dan Faridah 2006). Dari hasil uji praklinis dilaporkan bahwa pemberian

3

ekstrak purwoceng mampu meningkatkan kadar hormone testosteron dan
(LH) tikus jantan secara nyata (Taufiqurrachman dan Wibowo 2006).
Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh purwoceng yang bersifat
androgenik pada tikus betina bunting strain

terhadap pertambahan

bobot badan induk selama 13 hari kebuntingan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengamati perkembangan bobot badan tikus
betina strain

yang telah diberikan purwoceng selama 13 hari

dimulai dari sejak awal kebuntingan.

Hipotesis dari penelitian ini adalah purwoceng dapat mempengaruhi bobot
badan induk tikus strain

selama pencekokan purwoceng (

) selama 13 hari diawali dari sejak awal kebuntingan.

!
Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh informasi mengenai
efek purwoceng terhadap kebuntingan. Informasi ini akan berguna sebagai landasan
dalam penggunaan purwoceng pada berbagai status fisiologis yang berbeda (terutama
saat masa organogenesis atau awal kebuntingan).

"

#

%

&

#

$

' (

Purwoceng (

Kds) merupakan tanaman obat.Seluruh

bagian tanaman purwoceng dapat

digunakan sebagai obat tradisional,

terutama akar. Purwoceng banyak tumbuh secara liar di kawasan Dieng pada
ketinggian 2.000-3.000 m dpl. Potensi tanaman purwoceng cukup besar, tetapi
masih terkendala oleh langkanya penyediaan benih dan keterbatasan lahan yang
sesuai untuk tanaman tersebut (Yuhono 2004). Sampai saat ini yang dikenal
sebagai daerah pengembangannya hanya di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah,
dengan luas areal yang terbatas dan termasuk ke dalam 24 tumbuhan langka di
Jawa (Pusat Konservasi Tumbuhan 2007).

!

)

$

!

' (

Morfologi tanaman Purwoceng(

):

Gambar 1. Purwoceng (Darwati dan Roostika 2006). a = tanaman, b = bunga
kuncup, c = bunga mekar, d = buah, dan e = akar dari tanaman
berumur 6 bulan.

5

Klasifikasi Purwoceng (Rahardjo dan Darwati 2006).
Divisi

: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledonae

Famili

: Apiaceae/ Umbelliflorae

Suku

: Umbelliferae

Genus

: Pimpinella

Jenis

:

Molk, sinonim

KDS

Ciri- ciri dari tanaman purwoceng adalah:
1.

Daun
Daunnya merupakan daun majemuk berpasangan berhadapan, berbentuk

jaunting dengan panjang ± 3cm dan lebar 2,5 cm, bentuk anak daun membulat dengan
tepi bergerigi, ujung daun tumpul, pangkal daun bertoreh, tangkai daun dengan
panjang ± 5 cm berwarna coklat kehijauan, warna permukaan atas daun hijau dan
permukaan bawah hijau keputihan (Rahardjo dan Darwati 2006).
2.

Batang
Batang merupakan batang semu, berbentuk bulat, lunak dan warnanya hijau

pucat.
3.

Bunga
Bunganya merupakan bunga majemuk berbentuk payung, tangkainya

silindris, panjangnya ± 2 cm, kelopak bunga berbentuk tabung berwarna hijau. Mulai
berbunga antara bulan ke- 5 sampai bulan ke -6 dan dapat dipanen pada umur 7 – 8
bulan (Yuhono.2004).
4.

Biji
Bijinya berbentuk lonjong kecil, berwarna coklat. Biji yang sudah masak

berwarna hitam, berukuran sangat kecil dengan berat sekitar 0,52 gr per 1.000 butir
biji (Rahardjo dan Darwati 2006)
5.

Akar/rimpang
Akarnya merupakan akar tunggang yang membesar membentuk struktur

seperti umbi pada tanaman gingseng tapi dengan ukuran yang lebih kecil dan

6

berwarna putih (Rahardjo dan Darwati 2006).

$

)

%

!

' (

Tanaman Purwoceng (

)

$%

*
Kds) merupakan tanaman obat

karena hampir seluruh bagian tanaman dapat dimanfaatkan. Bagian akar dari tanaman
ini mempunyai sifat diuretika dan digunakan sebagai afrosidiak (Heyne 1987), yaitu
khasiat suatu obat yang dapat meningkatkan atau menambah stamina. Pada
umumnya tumbuhan atau tanaman

yang berkhasiat

sebagai

afrosidiak

mengandung senyawa-senyawa turunan saponin, alkaloid, tanin, dan senyawasenyawa lain yang berkhasiat sebagai penguat tubuh serta memperlancar
peredaran darah. Di Indonesia tumbuhan atau tanaman obat yang digunakan
sebagai afrosidiak lebih banyak hanya berdasarkan kepercayaan dan pengalaman
(Hernani dan Yuliani 1991).
Penelitian yang mempelajari fitokimia purwoceng sudah cukup banyak. Akar
purwoceng mengandung bergapten, isobergapten, dan sphondin yang semuanya
termasuk ke dalam kelompok furanokumarin. Dalam akar purwoceng mengandung
senyawa kumarin, saponin, sterol, alkaloid, dan beberapa macam senyawa gula
(Darwati dan Roostika 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Suzery

(2004)

menunjukkan adanya senyawa stigmasterol dalam akar purwoceng berdasarkan data
spektroskopi dengan UV-Vis, FTIR, dan GC-MS. Hernani dan Rostiana (2004)
melaporkan pula adanya senyawa kimia yang teridentifikasi secara kualitatif, yaitu
bergapten, marmesin, 4- hidroksi kumarin, umbeliferon, dan psoralen.
Pada penelitian ini, akar purwoceng yang digunakan berasal dari Dieng dan
telah dianalisa kandungan bahan aktifnya seperti yang tertera pada Tabel 1 di bawah
ini.

7

Tabel 1. Hasil uji fitokimia akar Purwoceng
Uji fitokimia

Hasil Pengujian

Alkaloid

+++

Saponin

-

Tanin

+

Fenolik

-

Flavonoid

+++

Triterfenoid

+

Steroid

+

Glikosida
Keterangan:

+

- : Negatif, +: Positif Lemah, ++ : Positif, +++ : Positif kuat, ++++ : Positif kuat sekali
Sumber : Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (2011).

! )
Tumbuhan obat digolongkan sebagai afrodisiak karena mengandung berbagai
komponen kimia seperti turunan steroid, saponin, alkaloid, tannin, dan senyawa lain
yang mampu melancarkan peredaran darah, menimbulkan efek stimulan baik secara
hormonal dan non hormonal sehingga dapat meningkatkan stamina tubuh. Tumbuhan
afrodisiak pada umumnya menunjukkan efek peningkatan sirkulasi darah pada
genetalia pria dan meningkatkan aktivitas hormon androgenik. Hal ini akan
memperbaiki aktivitas jaringan tubuh sehingga secara tidak langsung akan
memperbaiki fungsi organ (Gunawan 2002).
Purwoceng mengandung komponen kimia berkhasiat antara lain; kelompok
at- siri terdiri dari germacrene, β- Besabolene, β-Cayophylline, α- Humulene dan
Carvacrol, kelompok steroid terdiri dari sitosterol, stigmasterol, stigmasta-7, 16 dien3-ol dan stigmasta-7, 25 dien-3-ol, kelompok turunan furanokumarin terdiri dari
xanthotoxin dan bergapten, serta mengandung vitamin E. Simplisia purwoceng baik
akar maupun batang kaya akan komponen kimia yang berfungsi dapat meningkatkan
stamina tubuh, sedangkan kelompok komponen kimia yang berfungsi sebagai
afrodisiak adalah steroid (Rahardjo 2010).

8

+

& &
Tikus putih (

) terutama galur Sprague- Dawley (SD)

merupakan jenis tikus yang banyak digunakan sebagai hewan model. Penelitian ini
menggunakan tikus putih karena memiliki sifat-sifat yang khas yaitu ukuran tubuhnya
kecil sehingga memudahkan penanganan dan pemeliharaan, mudah berkembang biak,
jumlah anaknya cukup banyak dan siklus reproduksinya cepat (Malole dan Pramono
1989). Galur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sparague- Dawley karena
galur ini memiliki pertumbuhan yang cepat, temperamen baik, kemampuan laktasi
yang tinggi (Baker

. 1980) serta mempunyai siklus reproduksi yang cepat

(Ballenger 2000). Periode kebuntingan tikus 21-23 hari dengan jumlah anak rata-rata
6-12 ekor setiap kelahiran, bobot lahir 5-6 gram dengan kondisi tubuh tidak
berambut, mata dan telinga tertutup, tidak mempunyai gigi dan tikus sangat aktif.
Pada saat umur 2 hari, tubuh berwarna kemerah-merahan, kemudian pada hari ke-4
rambut mulai terlihat. Setelah berumur 10 hari tubuh sudah tertutup rambut, pada saat
umur 13 hari mata dan telinga terbuka. Anak tikus disapih pada usia 21 hari
(Veterinary Library 1996).
Gejala-gejala perubahan siklus birahi dapat diamati pada gambaran jenis sel
epitel vagina yang dapat berubah pada masing-masing stadium dengan preparat ulas
vagina. Menurut Baker

(1980) siklus birahi tikus dapat dibagi dalam 4 fase,

yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus dengan gambaran epitel vagina yang
berbeda. Hal ini dapat terjadi apabila tikus betina telah mencapai umur 34 dan 109
hari (Kohn dan Barthold 1984). Dewasa kelamin pada hewan betina ditandai oleh
birahi pertama yang disertai ovulasi. Tikus termasuk hewan nokturnal yang hampir
semua kegiatan dilakukan malam hari termasuk kegiatan reproduksi sehingga
perkawinan pun sering terjadi pada malam hari. Pada umumnya tikus betina akan
dikawini oleh pejantan apabila berada dalam fase estrus yaitu ketika hormon
estrogennya tinggi. Terjadinya perkawinan diindikasikan apabila ada spermatozoa
diantara sel-sel kornifikasi vagina. Biasanya ini dianggap sebagai hari pertama
kebuntingan (Malole dan Pramono 1989).

9

Bobot badan tikus betina dewasa sekitar 250 – 300 gr dan bobot badan tikus
jantan dewasa 450 – 520 gr, mulai dikawinkan umur 65 – 110 hari untuk jantan dan
betina. Tikus yang baru lahir memiliki bobot lahir antara 5 – 6 gr (Harkness dan
Wagner 1989). Klasifikasi Tikus putih (

) menurut Jasin (1984)

adalah sebagai berikut:

Kingdom

:

Animalia

Phylum

:

Chordata

Sub Phylum

:

Vertebrata

Classis

:

Mammalia

Ordo

:

Rodentia

Famili

:

Muridae

Genus

:

Rattus

Spesies

:

,-

L.

)
Proses reproduksi meliputi periode pematangan, dewasa kelamin, perkawinan,

kebuntingan, kelahiran, dan laktasi. Penelitian ini menggunakan tikus bunting.
Kebuntingan meliputi periode perkawinan, fertilisasi, implantasi, dan plasentasi.

,

'
Sistem perkawinan atau pengembangbiakan yang dapat diterapkan pada tikus

yaitu sistem monogami, poligami, dan sistem koloni. Pada sistem monogami, satu
jantan dan satu betina dicampur secara permanen. Pada sistem poligami, satu jantan
dicampur dengan dua sampai enam ekor betina. Pada sistem koloni, jantan dan betina
dicampur seperti sistem poligami, namun jantan bisa lebih dari satu (Malole dan
Pramono 1989). Sebagai hewan nokturnal, tikus akan melakukan perkawinan di
malam hari. Indikasi adanya perkawinan adalah adanya spermatozoa pada vagina atau
terdapatnya sumbat vagina (vaginal plug) (Baker

. 1979).

10

,

.
Fertilisasi merupakan peristiwa bersatunya sel telur (ovum) dengan sel

spermatozoa. Fertilisasi umumnya terjadi di bagian kaudal ampula atau sepertiga atas
tuba Fallopii (Sukra
(Baker

1989). Pada tikus, fertilisasi terjadi di ampula dari oviduk

1980). Setelah terjadi fertilisasi terbentuk embrio yang akan membelah

(mitosis) sampai embrio membentuk morula kemudian embrio akan

memasuki

uterus. Selama waktu yang tidak panjang, morula akan mengambang di rongga uterus
dan berubah menjadi blastosis (Baker
blastula (Sukra

1980), tahap ini biasa disebut tahap

1989). Dalam masa peralihannya menjadi blastosis, morula

memasuki uterus dan proses ini disebabkan oleh relaksasi otot yang dikendalikan
estrogen dan progesteron (Hunter 1995).
Pertumbuhan setelah tahap blastula adalah tahap gastrulasi yakni proses
pembentukan tiga daun kecambah yaitu ektoderm, mesoderm dan endoderm. Tahap
gastrulasi erat kaitannya dengan pembentukan susunan saraf dan penjelmaan bentuk
primitif dari embrio. Tahap ini merupakan periode kritis perkembangan mahluk hidup
(Sukra

1989). Setelah proses fertilisasi terjadi selanjutnya adalah proses

implantasi.

,

&
Satyaningtijas (2001) melaporkan bahwa implantasi tikus terjadi pada hari ke

5 kebuntingan yang ditunjukan dengan adanya peningkatan kadar RNA. Proses
implantasi merupakan interaksi yang kompleks antara embrio trofoblast dan jaringan
maternal uterus dengan perubahan yang terus-menerus. Implantasi pada tikus terjadi
pada hari ke-5 dan ke-6 masa kebuntingan dan selesai pada hari ke-7. Sedangkan
masa praimplantasi berlangsung mulai hari ke-0 kebuntingan yaitu saat ditemukannya
sperma pada saat ulas vagina hingga hari ke-4 kebuntingan. Proses implantasi
umumnya sempurna setelah dua hari lamanya (Baker

1980).

Masa implantasi tergantung pada kadar hormon. Kadar estrogen yang tinggi
menyebabkan uterus tidak dapat menerima implantasi blastosis. Jika terjadi
kekurangan progesteron dapat meningkatkan kontraksi uterus secara terus menerus

11

sehingga terjadi kegagalan implantasi dan aborsi (Arkaraviehien dan Kendle 1990)
sehingga dibutuhkan keseimbangan kadar estrogen dan progesteron. Pada siklus
ovulasi normal, estrogen mempengaruhi proliferasi endometrium.

,
Masa plasentasi adalah masa ketika plasenta sudah terbentuk yang
didefinisikan sebagai masa terbentuknya zona yang berbatasan dan memiliki
vaskularisasi yang tinggi yang menghubungkan antara induk dan embrio (Hunter
1995). Pada tikus plasentasi dimulai pada hari ke-9 dan ke-10. Terdapat dua plasenta
pada tikus yaitu korio-alantois dan kuning telur yang berfungsi sebagai organ
pertukaran dari embrio ke induk dan sebaliknya. Korio-alantois berfungsi untuk
transport kalsium, sementara kuning telur berfungsi untuk transpor besi, transport
pasif imun dari ibu ke anak dan difusi protein (Baker

. 1980). Tiga fungsi utama

plasenta, yaitu sebagai pengangkutan, penyimpanan dan biosintesa sari makanan dari
induk untuk anak (Toelihere 1985).

/.

$ 0
Kebuntingan merupakan suatu proses yang sangat penting

dalam siklus

reproduksi karena menyangkut pemeliharaan calon anak mulai dari zygot sampai
dilahirkan serta pertumbuhan dan perkembangan (Manalu 1996). Proses terjadinya
keberhasilan kebuntingan memerlukan kehadiran hormon reproduksi yang secara
langsung dan tidak langsung berpartisipasi dalam proses reproduksi (Guyton dan Hall
1997). Hormon reproduksi primer berpengaruh langsung terhadap ovulasi, fertilisasi,
pengangkutan sel telur, implantasi, kebuntingan, kelahiran, dan laktasi. Sebagai
contoh adalah FSH yang berfungsi untuk mensekresi estrogen yang akan digunakan
mempertahankan sistem saluran kelamin betina dan terjadinya proliferasi sel.
Sewaktu terjadi kebuntingan ketika sekresi estrogen bertambah maka akan terjadi
pertambahan bobot badan (Hardjoprajonto 1995).
Hormon reproduksi sekunder berpengaruh secara tidak langsung adalah untuk
mempertahankan keadaan dan kesejahteraan umum berupa keadaan metabolik suatu

12

organisme yang memungkinkan terjadinya reproduksi. Pada umumnya kelompok
hormon ini mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan metabolisme seperti
tiroksin, kortikoid adrenal dan insulin sehingga kebuntingan terjadi secara normal.
Hormon-hormon tersebut mempertahankan keadaan metabolik individual yang akan
mempengaruhi hormon-hormon reproduksi primer (Toelihere 1985).Pengaturan
hormon kebuntingan diatur oleh hormon steroid yang berasal dari ovarium.dan sangat
berperan dalam fungsi reproduksi adalah estrogen dan progesteron (Re

1995).

Estrogen merupakan hormon yang diproduksi oleh ovarium dan plasenta yang
berfungsi merangsang perkembangan organ kelamin wanita, payudara dan berbagai
sifat kelamin sekunder (Guyton dan Hall 1997). Estrogen merupakan hormon yang
menimbulkan estrus atau berahi pada hewan betina (Toelihere 1985). Estrogen
memiliki struktur kimia berdasarkan pada inti steroid, yang mirip kolesterol dan
sebagian besar berasal dari kolesterol itu sendiri (Guyton dan Hall 1997). Menurut
Ellizar (1983) estrogen memiliki inti steroid
dengan |3| cincin

dan satu cincin

.

Gambar 2. Struktur estrogen (Johnson dan Everitt 1984)

Menurut Guyton dan Hall (1997) pada kondisi tidak hamil, estrogen
disekresikan dalam jumlah besar hanya oleh ovarium, walaupun juga disekresi dalam
jumlah kecil oleh korteks adrenal. Pada metabolisme tubuh, estrogen menambah
sintesis dan sekresi hormon pertumbuhan sehingga dapat menstimulir pertumbuhan
sel – sel dalam tubuh, mempercepat pertambahan bobot badan, merangsang korteks
adrenal untuk lebih banyak meningkatkan metabolisme protein karena resistensi

13

nitrogen meningkat (Hardjoprajonto 1995). Estrogen berfungsi dalam merangsang
pertumbuhan uterus dengan meningkatkan massa endometrium dan miometrium,
merangsang kontraktilitas uterus, merangsang pertumbuhan epithelium vagina,
merangsang estrus pada hewan betina, merangsang perkembangan duktus kelenjar
ambing dan mempengaruhi perkembangan alat kelamin sekunder (Toelihere 1985).
Menurut Guyton dan Hall (1997) estrogen mempengaruhi perkembangan fetus dan
akan mengontrol pertumbuhan fetus serta differensiasi jaringan (Fowden 1995)
Pada kehamilan, estrogen dalam jumlah yang sangat besar juga disekresi oleh
plasenta. Tiga estrogen yang ada dalam jumlah bermakna di dalam plasma wanita
yaitu
adalah

-estradiol, estron, dan estriol. Estrogen utama yang disekresi oleh ovarium
-estradiol. Sellman (1996) mengatakan bahwa kelebihan estrogen akan

menyebabkan percepatan proses penuaan, alergi, penurunan kelamin, depresi,
kelelahan, osteoporosis, kanker rahim, disfungsi tiroid, dan pembentukan jaringan
ikat pada uterus.
Progesteron merupakan hormon steroid yang berasal dari kolesterol. Selama
proses sintesis steroid seks, progesteron disintesis terlebih dahulu dan sebagian besar
akan diubah menjadi estrogen (Guyton dan Hall 1997). Hormon ini berfungsi untuk
mempertahankan kebuntingan dengan menciptakan lingkungan endometrial yang
sesuai untuk kelanjutan hidup dan perkembangan embrio (Toelihere 1985). Pada fase
luteal akan terjadi peningkatan rasio antara progesteron dan estrogen (Johnson dan
Everitt 1984).
Pada hewan politokus seperti tikus, korpus luteum merupakan penghasil
utama progesteron selama kebuntingan (Taya dan Greenwald 1981). Semakin
bertambahnya umur kebuntingan akan terjadi peningkatan sekresi estradiol dan
progesteron yang erat kaitannya dengan peningkatan massa plasenta (Manalu
1995). Progesteron yang disekresikan selama kebuntingan juga membantu dalam
mempersiapkan ambing untuk laktasi. Perkembangan dari lobules dan alveoli ambing
menyebabkan sel-sel alveolar berproliferasi, membesar dan memiliki sifat sekretorik
(Knight dan Peaker 1982).

1
2

)

&

Penelitian ini berlangsung mulai 20 September 2010 sampai 20 Maret 2011 di
kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Pengamatan pertambahan bobot badan dilakukan di kandang percobaan Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

%

)

Hewan yang digunakan adalah tikus putih (

) galur

(SD) yang terdiri dari tikus betina paritas kedua bunting 10 ekor dengan
bobot badan berkisar antara 150 – 200 gram. Bahan yang diperlukan adalah larutan
NaCl Fisiologis 0,9%,

kit akuades, dan akar purwoceng.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat kandang tikus,
kamera digital, alat bedah, Erlenmeyer, gelas ukur, corong, blender, gelas objek dan
gelas penutup, wadah porselen, timbangan, mikroskop, pompa vakum,
(Buchi Rotavapor R-205), chiller, spoit 1ml dan sonde lambung.

)
' (
Purwoceng berasal dari daerah pegunungan Dieng, Jawa Tengah. Semua
bagian tanaman purwoceng (akar, batang dan daun) dapat dimanfaatkan sebagai
bahan afrosidak. Tetapi hanya bagian akar saja yang digunakan sebagai ekstrak
karena bagian tersebut memiliki efek afrosidak lebih tinggi dibanding bagian tanaman
purwoceng yang lain. Bagian akar dikeringkan dengan penjemuran panas matahari
(suhu tidak boleh melebihi 50˚C). Selanjutnya akar purwoceng yang telah kering
dipotong tipis - tipis dan dihaluskan dengan menggunakan blender sehingga di dapat
serbuk (simplisia). Serbuk akar purwoceng diekstraksi dengan metode maserasi
sebanyak 350 gram direndam dalam 3,5 liter etanol 70% sebagai zat pelarut selama

15

24 jam, setiap 2 jam sekali diaduk agar homogen. Kemudian disaring menggunakan
kain saring. Hasil ekstrak disimpan di dalam Erlenmeyer sedangkan ampas direndam
kembali dalam 3,5 etanol 70% selama 24 jam, setiap 2 jam diaduk. Setelah itu larutan
disaring dan ekstraknya disatukan dengan hasil ekstrak yang pertama dalam
erlenmeyer ukuran 5 liter. Kemudian dilakukan proses evaporasi agar zat pelarut
terpisah dengan menggunakan rotary evaporator (rotavapor) Buchi dengan suhu 48˚C
dan kecepatan putaran per menit (rpm) sebesar 60 rpm, selanjutnya ekstrak kering
didapat dengan menggunakan alat pengering beku (freeze drying). Ekstrak kering
disimpan di dalam botol kaca steril dan dilarutkan kembali dengan akuades sesuai
dosis saat perlakuan terhadap hewan coba. Jumlah ekstrak kering yang didapatkan
dari 350 gram simplisia adalah sejumlah 95 gram. Ekstrak kering ini kemudian dibuat
dalam larutan stok sebesar 5% yaitu 5 gram dalam 100 cc akuades.
' (
Penentuan dosis ekstrak purwoceng pada tikus didasarkan pada penelitian
terdahulu (Taufiqurrahman 1999) yaitu sebesar 25 mg/ml untuk bobot badan tikus
sebesar 300 gram atau 83.25 mg/kg bobot badan. Penelitian ini menggunakan larutan
stok yang mengandung 50 mg/ml ekstrak purwoceng sehingga jumlah ekstrak
purwoceng yang dicekokan pada tikus yang memiliki bobot 300 gram adalah
sebanyak 0.5 ml.
'

)

Tikus percobaan diadaptasikan selama 1 minggu dalam kandang kolektif agar
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Untuk mendapatkan tikus betina
bunting dilakukan perkawinan secara alamiah dengan mencampurkan pejantan dan
betina dalam satu kandang. Perkawinan ditandai dengan adanya sperma dalam ulasan
vagina dan biasanya dapat dipastikan tikus tersebut bunting kemudian hari tersebut
tercatat sebagai hari pertama kebuntingan (H1).
Pemeliharaan tikus bunting dilakukan di dalam kandang hewan individu yang
terbuat dari plastik berukuran 30 cm × 20 cm × 12 cm (panjang × lebar × tinggi) dan
dilengkapi dengan kawat kasa penutup pada bagian atasnya. Pakan dan air minum

16

dilakukan

. Pen
Penggantian sekam dan pencucian kandang plast
plastik dilakukan

setiap 1 minggu sekali.

'
Kelompok tikus bunting : 10 ekor tikus betina akan digun
digunakan dalam
penelitian ini akan dibagi
ibagi menjadi 2 kelompok yaitu:
A: kelompok tikus bunti
bunting sebanyak 5 ekor yang tidak diberi perlakuan
akuan.
B: kelompok tikuss bunt
bunting sebanyak 5 ekor yang dicekok purwoceng
oceng pada umur
kebuntingan 1-13
13 har
hari.
Selanjutnya masi
masing-masing kelompok akan ditimbang selama
selam 13 hari
kebuntingan untuk diliha
dilihat perubahan pertambahan bobot badan untuk
untu kemudian
dibandingkan antar kelom
kelompok.
Tikus jantan dewasa kelamin + Tikus
betina varietas 2

tikus betina bunting

Kelompok
pok A (kontrol)

tidak di cekok dan
ditimba selama 13 hari
ditimbang

Kelompok B (perlakuan)

dicekok purwoceng
selama 13 hari dan
ditimbang selama 13 hari
har

Gambar 3. Bagan Penelitian

/

#
Data yang didapat
idapat yakni bobot badan tikus pada setiap perlakuan
kuan kemudian
k

diolah dengan menggunak
gunakan Analisis Sidik Ragam (Steel dan Torriee 1993
1993).

3
#

#

Pengaruh pemberi
mberian ekstrak etanol purwoceng (

) terhadap

pertambahan bobot bada
badan tikus betina bunting pada umur kebuntinga
ntingan 0-13 hari
dapat dilihat pada Tabe
abel 2. Meskipun data yang dihasilkan tidak menunjukan
perbedaan yang nyata
yata ((p > 0,05) namun jika dilihat dalam grafik,
rafik, tikus yang
diberikan purwoceng
eng ccenderung lebih cepat pertambahan bobot
bobo badannya
dibandingkan dengann tiku
tikus kontrol. Penambahan bobot badan diamati
ati 2 hhari sekali.

obot bbadan tikus yang telah diberi ekstrak etanol akar purwoceng
Tabel 2. Rata-rata bobot
selama 13 hari

Gambar
mbar 4. Grafik Pertambahan Bobot Badan Tikus

18

Balitro (2011) menyebutkan melalui uji fitokimia pada purwoceng didapatkan
zat-zat antara lain alkaloid,

tanin, flavonoid, triterfenoid, steroid dan glikosida.

Penelitian Taufiqqurrachman (1999) juga telah membuktikan bahwa pemberian
ekstrak purwoceng pada tikus jantan tersebut meningkatkan kadar testosteron karena
di dalam purwoceng terdapat salah satu bahan aktif yakni berupa steroid. Zat tersebut
menjadi pemicu peningkatan hormon testosteron pada tikus. Flavonoid yang
dikandung oleh purwoceng merupakan suatu senyawa yang bersifat estrogenik
(Baraas dan Juffri 1997), yang mampu berfungsi seperti estrogen dalam tubuh yang
akan meningkatkan efek estrogen. Dalam hal ini berarti purwoceng memiliki 2 bahan
aktif yang berpengaruh seperti estrogen di dalam tubuh yakni flavonoid dan steroid.
Flavonoid yang bersifat estrogenik dapat menduduki reseptor estrogen yang berada di
dalam tubuh dan menimbulkan efek seperti estrogen. Sedangkan steroid merupakan
prekursor hormon testosteron, yang kemudian diubah menjadi estrogen. Jika
dibandingkan ke duanya, flavonoid lebih berpengaruh lebih besar dibandingkan
steroid karena dalam hasil pengujiannya menunjukan positif kuat, sedangkan steroid
positif lemah.
Pada sistem hormon reproduksi tikus betina, testosteron diubah menjadi
estrogen dalam rantai pembentukannya. Hampir semua testosteron dan progesteron
akan diubah menjadi estrogen oleh sel - sel granulose pada ovarium. Selama fase
luteal lebih banyak progesteron yang dibentuk, jumlah ini berperan pada sekresi
progesteron yang banyak pada waktu tersebut. Testosteron yang disekresikan oleh
ovarium adalah sekitar seperlimabelas dari testoteron yang disekresikan oleh testis
(Guyton dan Hall 1997).
Sintesis hormon estrogen terjadi didalam sel-sel theka dan sel-sel granulose
ovarium,

dimana kolesterol merupakan zat pembakal dari hormon ini, yang

pembentukannya melalui serangkaian reaksi enzimatik (Guyton dan Hall 1997). LH
diketahui berperan dalam sel theka untuk meningkatkan aktivitas enzim pembelah
rantai sisi kolesterol melalui pengaktifan ATP menjadi cAMP, dan dengan melalui
beberapa

proses

androstenedion

reaksi

enzimatik

terbentuklah

androstenedion,

kemudian

yang dibentuk dalam sel theka masuk kedalam sel granulose,

19

selanjutnya melakukan

aromatisasi membentuk estron dan estradiol 17 β

(Cunningham dan Klein 2007).
Kolesterol adalah prekursor estrogen yang umum pada transport dan
metabolisme

estrogen.

Aktivitas

enzim

17β

hidroksidehidrogenase

akan

mengkonversi androstenedion menjadi testoteron yang mana bukan merupakan
produksi terbesar yang dihasilkan dari ovarium. Biosintesis pembentukan estrogen
dari testosteron dapat terjadi ketika terjadi oksidasi pada C19 dan kemudian pada C19
terjadi pula pembuangan gugusan metil (CH3) - nya (demethylisasi) dan kemudian
sebagai tahap akhir terjadi aromatisasi pada cincin A sehingga menghasilkan
estradiol-17 (Djosoebagio 1990). Estradiol juga meningkat sampai mencapai jumlah
yang cukup banyak dari androstenedion melalui estone. Androgen bebas dikonversi
di perifer untuk menjadi bebas, misalnya di kulit dan sel adiposa (Jacob dan Baziad
1994).
Hardjoprajonto (1995) menyebutkan pada metabolisme tubuh, estrogen
menambah sintesis dan sekresi hormon pertumbuhan sehingga dapat menstimulir
pertumbuhan sel – sel dalam tubuh, mempercepat pertambahan bobot badan,
merangsang korteks adrenal untuk lebih banyak meningkatkan metabolisme protein
karena resistensi nitrogen meningkat. Guyton dan Hall (1997) menyebutkan bahwa
penambahan bobot badan pada kehamilan terjadi karena pertambahan bobot organ
uterus dan payudara serta bobot fetus yang dipengaruhi oleh sekresi hormon estrogen
pada masa kebuntingan. Estrogen berperan pada proliferasi sel dan pertumbuhan
jaringan organ-organ kelamin dan jaringan lain yang berkaitan dengan reproduksi.
Menurut Manalu dan Sumaryadi (1995) estradiol dan progesteron berperan pada
pertumbuhan dan perkembangan fetus terutama pada periode awal kebuntingan
melalui perangsangan dan pemesatan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar uterus
untuk mempersiapkan sekresi susu uterus sebelum implantasi terjadi. Selama masa
kebuntingan terdapat berbagai macam faktor yang sangat kompleks antara lain
hereditas, besar dan umur induk, nutrisi, jumlah anak seperindukan, posisi fetus di
dalam koruna uteri, plasenta dan perkembangan embrio dan endometrium sebelum
implantasi (Toelihere 1985)

20

Estrogen menimbulkan terjadinya proliferasi sel dan pertumbuhan jaringan
organ-organ kelamin dan jaringan lain yang berkaitan dengan reproduksi.
Pertambahan bobot badan dapat disebabkan oleh bertambah besarnya ovarium, tuba
fallopii, uterus, dan vagina yang semakin membesar. Genitalia eksterna juga
membesar, dengan deposisi lemak pada mons pubis dan labia mayora dan disertai
pembesaran labia minora. Estrogen mengubah epitel vagina dari tipe kuboid menjadi
bertingkat. Estrogen juga menyebabkan proliferasi yang nyata terhadap stroma
endometrium dan sangat meningkatkan perkembangan kelenjar endometrium yang
nantinya akan dimanfaatkan untuk membantu memberi nutrisi pada ovum yang
berimplantasi. Estrogen juga berpengaruh pada mukosa yang membatasi tuba fallopii
yakni menyebabkan kelenjar berproliferasi serta menyebabkan jumlah sel-sel epitel
bersilia yang membatasi tuba fallopii bertambah banyak (Guyton dan Hall 1997).
Aksi lain estrogen adalah menyebabkan terjadinya penggabungan awal dari
epifisis dengan batang tulang dari tulang panjang. Kedua osteoklas dan osteoblas
mengekspresikan reseptor estrogen dan merupakan target langsung untuk estrogen,
tetapi keseluruhan, estrogen diklasifikasikan sebagai agen-agen antiresoptif. (Guyton
dan Hall 1997). Dalam keadaan normal estrogen dalam sirkulasi mencapai sel
osteoblas, dan beraktivitas melalui reseptor yang terdapat di dalam sitosol sel
tersebut,mengakibatkan menurunnya sekresi sitokin seperti:Interleukin-1 (IL-1),
Interleukin-6 (IL-6) dan Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-a), merupakan sitokin
yang berfungsi dalam penyerapan tulang. Di lain pihak estrogen meningkatkan
sekresi Transforming Growth Factor b (TGF-b), yang merupakan satu-satunya faktor
pertumbuhan (growth factor) yang merupakan mediator untuk menarik sel osteoblas
ke tempat lubang tulang yang telah diserap oleh sel osteoklas. Osteoblas merupakan
sel target utama dari estrogen, untuk melepaskan beberapa faktor pertumbuhan dan
sitokin (Waters

1999).

Defisiensi estrogen meningkatkan produksi interleukin-6, interleukin-1, dan
tumor nekrosis faktor pada osteoblas dan sel-sel stromal turunan tulang lainnya.
Faktor faktor ini secara tidak langsung menstimulasi diferensiasi osteoklas. Pada
ekstrak tulang dari wanita-wanita postmenopause dengan osteoporosis, konsentrasi

21

interleukin-6 dan interleukin-1 mRNA juga tinggi. Defisiensi estrogen dikenal untuk
mengakselerasikan pengeroposan tulang dan meningkatkan suseptibilitas

untuk

fraktur. Terapi estrogen mengurangi pengeroposan tulang dan mereduksi risiko
fraktur pada wanita-wanita dengan osteoporosis dan selanjutnya tanpa kondisi ini
untuk lamanya terapi (Gruber

2002).

Estrogen selain penting dalam berbagai aspek pertumbuhan, perkembangan,
dan membedakan morfologi alat kelamin jantan dan betina (karakter kelamin primer)
juga penting untuk perkembangan dan tingkah laku seksual dan reproduksi (karakter
kelamin sekunder), dan dapat merangsang pertumbuhan jaringan tubuh. Jika
dibandingkan dengan hormon androgen yang lebih berperan menunjang pertumbuhan
secara umum, khususnya dalam

pembentukan protein, hormon estrogen lebih

berpotensi pada kebanyakan hewan bertulang belakang (Guyton dan Hall 1997).
Menurut Guyton dan Hall (1997) estrogen mempengaruhi perkembangan
fetus dan akan mengontrol pertumbuhan fetus serta pembelahan sel untuk kemudian
mengalami differensiasi jaringan (Fowden 1995). Estrogen meningkatkan laju
kecepatan metabolisme dan peningkatan jumlah deposit lemak dalam jaringan
subkutan. Efek estrogen pada kelenjar mamae adalah menyebabkan perkembangan
jaringan stroma kelenjar mamae, pert

Dokumen yang terkait

Efektivitas pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) selama 13 21 hari kebuntingan terhadap bobot organ reproduksi dan anak tikus putih

1 14 47

Efektivitas pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) selama 13-21 hari kebuntingan terhadap bobot organ reproduksi dan anak tikus putih (Rattus sp.)

0 5 82

Efektivitas pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) selama 1-13 hari kebuntingan terhadap bobot ovarium dan uterus tikus putih (Rattus sp.)

3 27 83

Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Selama 21 Hari Laktasi terhadap Bobot Badan Anak Tikus Putih (Rattus norvegicus)

0 3 94

Efektivitas Pemberian Ektrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) pada Hari 1-13 Kebuntingan terhadap Keberhasilan Implantasi pada Tikus Putih (Rattus sp.)

0 5 72

Tampilan anak tikus jantan (rattus novergicus) dari induk yang diberi ekstrak etanol akar purwoceng (pimpinella alpina) selama 1-13 hari kebuntingan

1 5 45

Bobot Badan Tikus Betina Bunting Yang Diberi Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinella Alpina) Pada Hari 13-21 Kebuntingan

2 14 31

Bobot Badan Anak Tikus Dari Induk Tikus Yang Diberi Ekstrak Akar Purwoceng Pada Usia Kebuntingan 1 – 13 Dan 13 – 21 Hari.

1 7 28

Efektivitas Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinella Alpina Kds) Pada Induk Tikus Selama 1-13 Hari Kebuntingan Terhadap Siklus Estrus Anak Betinanya

0 8 40

Tampilan anak tikus betina dari induk bunting yang diberi ekstrak akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) selama 1-13 hari.

0 5 35