Tampilan anak tikus jantan (rattus novergicus) dari induk yang diberi ekstrak etanol akar purwoceng (pimpinella alpina) selama 1-13 hari kebuntingan

TAMPILAN ANAK TIKUS JANTAN (Rattus norvegicus) DARI INDUK
YANG DIBERI EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG
(Pimpinella alpina) SELAMA 1-13 HARI KEBUNTINGAN

MUHAMMAD ZHAAHIR

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Tampilan Anak Tikus
Jantan (Rattus norvegicus) dari Induk yang Diberi Ekstrak Etanol Akar
Purwoceng (Pimpinella alpina) selama 1-13 Hari Kebuntingan” adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2014
Muhammad Zhaahir
NIM B04090003

ABSTRAK
MUHAMMAD ZHAAHIR. Tampilan Anak Tikus Jantan (Rattus norvegicus) dari
Induk yang Diberi Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinella alpina) selama 113 Hari Kebuntingan. Dibimbing oleh ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS
dan PUDJI ACHMADI.
Purwoceng (Pimpinella alpina) adalah tanaman obat langka asli Indonesia
yang digunakan sebagai obat tradisional. Akarnya berkhasiat sebagai afrodisiak.
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pemberian ekstrak etanol akar purwoceng
pada induk tikus (Rattus norvegicus) dengan dosis 25 mg/300 g bobot badan
selama 1-13 hari kebuntingan terhadap perkembangan tulang, bobot badan dan
penurunan testis anak tikus jantan. Sebanyak 10 ekor anak tikus jantan yang
berasal dari 2 kelompok induk tikus yaitu kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan (diberi purwoceng) dipelihara dan diamati perkembangannya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol akar purwoceng dapat
meningkatkan perkembangan tulang kepala pada hari ke-42, tulang punggung

pada hari 1 sampai hari ke-70, tulang kaki belakang pada hari ke-56 dan hari ke70, penambahan bobot badan pada hari ke-21 dan hari ke-49, dan penurunan testis
pada hari ke-42.
Kata kunci

: Afrodisiak, Ekstrak Etanol, Purwoceng, Rattus norvegicus.

ABSTRACT
MUHAMMAD ZHAAHIR. The Performance Of Offspring Male Rats (Rattus
norvegicus) from Its Mother whose Had Been Threatened by Adding Ethanol that
is Extracted from Purwoceng Roots (Pimpinella alpine) on Day 1 to Day 13 of
Pregnancy. Supervised by ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS and PUDJI
ACHMADI.
Purwoceng (Pimpinella alpine) is a native Indonesian medical plant species
that is used to be traditional medicine. It’s root has an efficacious as aphrodisiac.
This research is aimed to observe the effectivity of 25 mg/300 BW dosage of
purwoceng root’s ethanol which given to pregnant rat during day 1 to day 13 on
the development of skeleton, body weight, and testicle emerge of its male
offspring. A total of 10 male rats have been birth from control group and
treatment group (given Purwoceng) were being cared, observed, and measured for
the development of skeleton, body weight, and testicle emerge. The results

showed that ethanol extract purwoceng root’s could improve the development of
cranial on day 42, backbone on day 1 to day 70, rear leg bones on day 56 and day
70, increased body weight on day 21 and day 49, and caused testicle emerging on
day 42.
Keywords

: Aphrodisiac, Ethanol Extracted, Purwoceng, Rattus norvegicus

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

TAMPILAN ANAK TIKUS JANTAN (Rattus norvegicus) DARI INDUK
YANG DIBERI EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG

(Pimpinella alpina) SELAMA 1-13 HARI KEBUNTINGAN

MUHAMMAD ZHAAHIR

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Tampilan Anak Tikus Jantan (Rattus novergicus) dari Induk
yang Diberi Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinella
alpina) selama 1-13 Hari Kebuntingan
Nama
: Muhammad Zhaahir

NIM
: B04090003

Disetujui oleh

Dr Drh Aryani Sismin Satyaningtijas MSc
Pembimbing I

Drs Pudji Achmadi MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono MS PhD APVet
Wakil Dekan

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2012 ini ialah
“Pemberian ekstrak etanol akar purwoceng pada tikus bunting untuk mengetahui
penampilan anak tikus putih jantan (Rattus norvegicus)”. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada Ibu Dr Drh Aryani Sismin Satyaningtijas MSc dan Bapak Drs
Pudji Achmadi MSi selaku pembimbing, kepada Bapak Edi, beserta staf
Laboratorium Fisologi Departemen Anatomi Fisiolgi dan Farmakologi (FKH
IPB) Darmaga, yang telah membantu selama penelitian. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada orang tua yaitu ibu Wa Ute , almarhum ayah
L.Abd.Tayeb MA, kakak Khabirun, Rahmat Saleh, adik Ata Tayeb, Rahmawati
Tayeb, teman bimbingan skripsi saya Dirwan Rahman, Alwi Amnur, dan seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2014
Muhammad Zhaahir

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis

1
1
2
2

2

TINJAUAN PUSTAKA
Purwoceng
Biologi Umum Tikus
Siklus Reproduksi Tikus

2
2
3
4

PELAKSANAAN PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Metode Penelitian
Analisis Statistik

4
4

5
5
7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Terhadap
Perkembangan Tulang Anak Tikus Jantan
Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Terhadap
Pertambahan Bobot Badan Anak Tikus Jantan
Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Terhadap
Penurunan Testis Anak Tikus

8

11

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran


12
12
12

DAFTAR PUSTAKA

13

LAMPIRAN

16

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

31

8
10

DAFTAR TABEL

1
2
3
4

Biologis tikus putih
Perkembangan panjang tulang anak tikus jantan pada 1-13 hari
kebuntingan
Rataan bobot badan anak tikus yang diberi ekstrak etanol akar
purwoceng selama 13 hari
Penurunan testis anak tikus

3
8
10
12

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Tanaman purwoceng
Tikus putih
Perbandingan jarak anogenital tikus jantan dan tikus betina
Bagan penelitian
Cara pengukuran perkembangan tulang anak tikus jantan
Pertambahan bobot badan tikus (g)

3
4
6
7
7
11

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Hasil pengolahan ANOVA pada perkembangan kepala anak tikus
jantan
Hasil pengolahan ANOVA pada perkembangan punggung anak tikus
jantan
Hasil pengolahan ANOVA pada perkembangan kaki depan kanan
anak tikus jantan
Hasil pengolahan ANOVA pada perkembangan kaki depan kiri anak
tikus jantan
Hasil pengolahan ANOVA pada perkembangan kaki belakang kanan
anak tikus jantan
Hasil pengolahan ANOVA pada perkembangan kaki belakang kiri
anak tikus jantan
Hasil pengolahan ANOVA bobot badan anak tikus jantan
Hasil pengolahan ANOVA penurunan testis anak tikus

17
19
21
23
25
27
29
30

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki lahan yang subur dan
biodiversitas yang tinggi. Negara tropis ini sudah dikenal sebagai penghasil
berbagai macam komoditas pertanian termasuk tanaman obat. Kondisi tanah dan
iklim yang sesuai, serta keanekaragaman flora yang tinggi membuat negara ini
menjadi penghasil komoditas obat-obatan dari alam yang potensial. Penggunaan
tanaman obat oleh masyarakat dalam pengobatan tradisional di Indonesia sudah
dilakukan sejak dahulu. Jenis tanaman yang digunakan pun sangat beragam.
Menurut Departemen Kesehatan (2007) diperkirakan 40000 spesies tumbuhan
hidup di muka bumi ini, 30000 di antaranya tumbuh di Indonesia. Sekitar 180
spesies tumbuhan dimanfaatkan sebagai bahan oleh industri obat tradisional
Penggunaan tanaman dibidang pengobatan pada prinsipnya tetap
didasarkan pada prinsip-prinsip terapi seperti pada penggunaan obat modern. Oleh
karenanya informasi kandungan senyawa aktif tanaman obat mutlak diperlukan
untuk digunakan sebagai jamu atau fitofarmaka (Anggadiredja 1990). Umumnya
tanaman obat jarang memiliki bahan senyawa tunggal, sehingga sulit untuk
memastikan kandungan aktif mana yang berkasiat untuk pengobatan penyakit
tertentu. Akar tanaman purwoceng (Pimpinella alpina) yang diketahui dari
pengalaman-pengalaman orang dahulu sebagai obat herbal. Tanaman obat ini
diketahui berkasiat sebagai afrodisiak yang mengandung turunan dari senyawa
sterol, saponin dan alkaloida (Caropeboka dan Lubis 1985). Sidik et al. (1985)
mengatakan bahwa akar purwoceng mengandung turunan senyawa kumarin yang
digunakan dalam industri obat modern, tetapi bukan untuk afrodisiak melainkan
untuk anti bakteri, anti fungi dan anti kanker.
Hernani dan Yuliani (1991) mengatakan bahwa bahan aktif purwoceng
terbanyak terletak pada bagian akarnya. Berdasarkan hasil laporan hasil uji Balai
Tanaman Obat (2011), akar purwoceng mengandung alkaloid, tannin, flavonoid,
triterfenoid, steroid, dan glikosida. Beberapa uji dilakukan berdasarkan penelitian
sebelumnya mengatakan bahwa purwoceng bersifat estrogenik. Pemberian ekstrak
etanol akar purwoceng dengan dosis 25 mg/300 g BB selama 1-13 hari
kebuntingan tikus putih cenderung meningkatkan bobot ovarium dan uterus tikus
putih (Hapsari 2011). Pemberian ekstrak etanol akar purwoceng 1-13 hari
kebuntingan dapat meningkatkan bobot badan tikus betina bunting (Pribadi 2012)
dan meningkatkan rasio jumlah titik implantasi terhadap korpus luteum yang
berarti dapat meningkatkan keberhasilan implantasi (Jondriatno 2012).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, bahwa pemberian ekstrak etanol
akar purwoceng 1-13 hari kebuntingan memberikan pengaruh lingkungan mikro
yang baik, maka anak tikus yang dilahirkan dari induk yang diberi akar
purwoceng diduga akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang lebih
baik. Penelitian ini mengamati perkembangan dan pertumbuhan anak tikus jantan
yang dilahirkan dari induk yang diberi ekstrak etanol akar purwoceng selama 1-13
hari kebuntingan.

2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengkaji pemberian ekstrak etanol akar purwoceng
(Pimpinella alpina) selama 1-13 hari kebuntingan terhadap perkembangan tulang,
bobot badan, dan penurunan testis anak tikus putih jantan (Rattus norvegicus).
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi mengenai
pengaruh pemberian ekstrak etanol akar purwoceng terhadap anak tikus putih
jantan (Rattus norvegicus).
Hipotesis
H0

H1

Hipotesis yang dapat ditarik berdasarkan latar belakang di atas adalah:
: Pemberian ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina) selama 113 hari kebuntingan tidak berpengaruh terhadap perkembangan dan
pertumbuhan anak tikus jantan putih (Rattus norvegicus) yang dilahirkan.
: Pemberian ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina) selama 113 hari kebuntingan berpengaruh terhadap perkembangan dan
pertumbuhan anak tikus jantan putih (Rattus norvegicus) yang dilahirkan.

TINJAUAN PUSTAKA
Purwoceng
Purwoceng adalah tanaman obat langka asli Indonesia dengan status hampir
punah. Purwoceng hidup secara endemik dan sulit dibudidayakan di luar
habitatnya. Saat ini tanaman tersebut hanya tersisa di tanah petani yang sangat
sempit, yaitu di Desa Sekunang, Dataran Tinggi Dieng (Rahayu 2002). Akar
tanaman purwoceng dapat digunakan sebagai obat tradisional. Akarnya
mempunyai sifat diuretika dan digunakan sebagai afrodisiak. (Balai Penelitian
Tanaman Obat dan Aromatika 2011). Pada umumnya tumbuhan atau tanaman
yang berkhasiat sebagai afrodisiak mengandung senyawa-senyawa turunan
saponin, alkaloid, tanin, dan senyawa-senyawa lain yang berkhasiat sebagai
penguat tubuh serta memperlancar peredaran darah. Rahardjo (2003) menyatakan
bahwa zat berkhasiat pada herbal purwoceng adalah senyawa sitosterol dan
stigmasterol yang terdapat pada bagian akarnya. Telah pula dilaporkan bahwa
akar purwoceng bepengaruh terhadap peningkatan kadar Luteinizing Hormone
(LH) dan testosteron pada tikus jantan (Taufiqqurrachman 1999). Tampilan
tanaman purwoceng menurut Darwati dan Roostika (2006) dapat dilihat pada
Gambar 1.

3

Gambar 1 Tanaman purwoceng
Biologi Umum Tikus
Tikus laboratorium dapat hidup lebih dari 3 tahun dan produktif untuk
berkembangbiak selama lebih dari 9 bulan atau sampai usia satu tahun. Tikus
digunakan sebagai hewan coba dalam penelitian ini karena telah diketahui sifatsifatnya yang mudah dipelihara, mudah berkembang biak dan jumlah anaknya
cukup banyak (Veterinary Library 1996). Dalam penelitian reproduksi, tikus
sering digunakan karena siklus reproduksi yang cepat (Ballenger 2000). Tikus
harus terhindar dari kebisingan dan kegaduhan yang tiba-tiba, karena dapat
menyebabkan perilaku kanibal dari induk (Veterinary Library 1996). Adanya
perlakuan kasar dan kekurangan untuk pembuatan sarang juga dapat
menyebabkan induk memakan anak-anaknya (Malole dan Pramono 1989).
Anak tikus baru dilahirkan memiliki bobot badan sekitar 5 g, dengan
kondisi tubuh yang tidak berambut, mata dan telinga tertutup, tidak mempunyai
gigi, dan aktif. Pada saat berumur 2 hari tubuh berwarna merah mudah, kemudian
pada hari ke-4 rambut tubuh mulai terlihat. Setelah berumur 10 hari tubuh sudah
tertutup rambut, pada saat 13 hari mata dan telinga terbuka. Anak tikus disapih
pada umur 21 hari (Veterinary Library 1996). Tikus putih (Rattus norvegicus)
sering digunakan sebagai hewan percobaan atau digunakan untuk penelitian
karena tikus merupakan hewan yang mewakili dari kelas mamalia, yang mana
manusia juga merupakan dari golongan mamalia, sehingga kelengkapan organ,
kebutuhan nutrisi, metabolisme biokimianya, sistem reproduksi, pernafasan,
peredaran darah, serta ekskresi menyerupai manusia.
Tikus putih juga memiliki beberapa sifat menguntungkan seperti:
cepat berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, lebih tenang dan
ukurannya lebih besar dari pada mencit. Tikus putih juga memiliki ciri-ciri: albino,
kepala kecil, dan ekor yang lebih panjang dibandingkan badannya,
pertumbuhannya cepat, tempramennya baik dan kemampuan laktasi tinggi. Smith
dan Mangkoewidjojo (1998) mengungkapkan sifat biologis tikus putih
sebagimana dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Biologis tikus putih
Sifat Bilologis
Lama hidup
Lama bunting
Kawin sesudah beranak
Umur dipisah
Umur dewasa
Siklus kelamin
Siklus estrus (birahi)
Lama estrus

Keterangan
2-3 tahun, dapat sampai 4 tahun
20-22 hari
1 sampai 24 jam
40-60 hari
10 minggu (jantan dan betina)
Poliestrus
4-5 hari
9-20 jam

4

Lanjutan Tabel 1

Perkawinan
Ovulasi
Jumlah anak
Punting susu
Susu
Perkawinan kelompok

Pada waktu estrus
8-11 jam sesudah timbul estrus
6-12 ekor perkelahiran
12 puting, 3 pasang di daerah dada dan 3 pasang di
daerah perut
Air 73%, lemak 14-16 %, protein 9-10%
3 betina dengan 1 jantan

Siklus Reproduksi Tikus
Tikus mencapai dewasa kelamin pada umur 50-60 hari. Vagina mulai
terbuka pada umur 35-90 hari. Sedangkan testis jantan turun/keluar pada umur 2050 hari (Malole dan Pramono 1989). Tikus termasuk hewan poliestrus. Siklus
reproduksi pada tikus dipengaruhi oleh faktor-faktor eksteroreseptif seperti cahaya,
suhu, status nutrisi, dan hubungan social. Tikus adalah salah satu hewan rodensia
yang aktif di malam hari (noktural), tikus senang pada cahaya yang remangremang (Malole dan Pramono 1989) dan melakukan kegiatan reproduksi pada
malam hari. Penerangan lebih dari 12 jam akan mempengaruhi siklus birahi dan
jika penerangan lebih dari 15 jam maka tikus akan mengalami estrus tetapi tidak
mengalami kehamilan.

Gambar 2 Tikus putih

PELAKSANAAN PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Desember 2012 sampai September
2013 di Pengelolaan Hewan Kecil dan Laboratorium (PHKL) dan Laboratorium
Fisiologi Departemen AFF (Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi) Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (Kampus IPB Dramaga).

5
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu pakan tikus, sekam,
ekstrak purwoceng, eter, NaCl fisiologis 0.9%, etanol, dan akuades.Peralatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kandang tikus berupa kotak plastik, kawat
kasa, jaring-jaring kawat sebagai penutup, botol minum tikus, spoit, scalpel,
pinset, gunting, objek gelas, sonde lambung, mikroskop, timbangan analitik
digital, pipet, cotton swab, tissue, kapas, kain saring, kertas nama, erlenmeyer,
gelas ukur, corong, blender, pompa vakum, rotary vacuum evaporator (Buchi
Rotavapor R-205), chiller, oven, wadah porselen, termometer. Hewan coba yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 8 ekor tikus putih (Rattus norvegicus)
betina bunting dari galur Sprague-Dawley (Baker et al 1980)
Metode Penelitian
Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng
Akar tanaman purwoceng dikeringkan terlebih dahulu di bawah panas
sinar matahari dengan suhu kurang dari 50ºC. Tanaman yang telah kering
selanjutnya dipotong-potong sampai berukuran kecil-kecil, kemudian dihaluskan
menggunakan blender sehingga menjadi serbuk. Serbuk yang dihasilkan sebanyak
350 gram kemudian direndam dalam 3.5 liter etanol 70% zat pelarut selama 24
jam dan setiap dua jam sekali diaduk supaya homogen, kemudian disaring dengan
menggunakan kain saring untuk mendapatkan filtratnya.
Hasil filtrat disimpan ke dalam Erlenmeyer, sedangkan ampas direndam
kembali dalam 3.5 liter etanol 70% selama 24 jam dan setiap dua jam diaduk
supaya homogen. Setelah itu, larutan disaring dan filtranya disatukan dengan hasil
ekstrak yang pertama ke dalam Erlenmeyer ukuran 5 liter. Filtrat tersebut
kemudian diuapkan dengan menggunakan rotari evaporator (rotavapor) Buchi
pada suhu 48 ºC dengan kecepatan putaran per menit (rpm) sebesar 60 rpm untuk
menguapkan pelarut alkohol 70% dan selanjutnya dimasukkan ke dalam oven
pengering pada suhu seiktar 45°C selama 48 jam untuk menguapkan airnya. Hasil
dari pengeringan dalam oven adalah ekstrak murni dan ekstrak kering. Ekstrak
kering bisa disimpan dibotol kaca steril dan dapat diencerkan kembali dengan
akuades jika ingin digunakan pada hewan coba sesuai dosis perlakuan.
Tahap Persiapan Hewan
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih
(Rattus norvegicus) dari galur Sprague-Dawley. Tikus dipelihara dalam kandang
yang berbentuk kotak dan terbuat dari plastik, berukuran 30 cm x 20 cm x 12 cm.
Kandang tersebut dilengkapi dengan jaring kawat sebagai penutup bagian atas dan
lantai diberi sekam sebagai alas, serta botol air minum ad libitum yang dijepit
pada jaring kawat. Tikus-tikus tersebut diberikan pakan pelet sehari dua kali (pagi
dan sore hari). Penggantian sekam dan pencucian kandang dilakukan 2 kali dalam
seminggu. Tahap persiapan terdiri dari adaptasi dan perkawinan. Adaptasi adalah
tahap penyesuaian hewan coba sebelum masuk tahap perkawinan. Tahap ini
berlangsung selama tujuh hari. Tahap selanjutnya adalah tahap perkawinan.
Tikus dikawinkan secara alamiah dengan menyatukan hewan jantan dan
betina dalam satu kandang. Kemudian tikus yang sudah diduga bunting diberi

6
tanda agar memudahkan dalam pengambilan sampel ulas vagina untuk deteksi
kebuntingan. Deteksi kebuntingan dilakukan dengan cara melihat ada tidaknya
spermatozoa yang mengelilingi sel kornifikasi pada preparat ulas vagina dengan
menggunakan mikroskop. Keberadaan spermatozoa yang mengelilingi sel
kornifikasi mengindikasikan bahwa tikus betina telah dikawini dan tikus bentina
biasanya langsung mengalami kebuntingan. Tikus yang bunting harus dipisahkan
dari tikus jantan dan ditempatkan pada satu kandang dan selanjutnya masuk ke
tahap perlakuan (Baker et al 1980).
Tahap Perlakuan Hewan
Tahap perlakuan adalah tahap pengelompokkan tikus-tikus betina bunting
yang dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing diberi perlakuan.
Kelompok pertama yaitu 4 ekor tikus betina bunting untuk kontrol diberikan air
minum melalui oral dengan menggunakan sonde lambung 0.5 ml untuk 300 g BB
pada tikus umur 1 sampai 13 hari kebuntingan. Kelompok kedua yaitu 4 ekor
tikus betina bunting yang diberikan ekstrak etanol akar purwoceng dengan dosis
0.5 ml untuk 300 g BB. Selanjutnya dipelihara hingga tikus-tikus tersebut
melahirkan. Anak-anak tikus yang dilahirkan selanjutnya diambil dan masuk ke
tahap pengamatan. Penelitian ini menggunakan anak tikus jantan dilahirkan dari 8
ekor induk tersebut. Cara membedakan jenis kelamin tikus dilihat dari jarak celah
anogenital. Perbandingan jarak anogenital tikus jantan dan tikus betina menurut
Hrapkiewicz dan Medina (1998) dapat dilihat berdasarkan gambar berikut.

Gambar 3 Perbandingan jarak anogenital tikus jantan dan tikus betina
Tahap Pengamatan
Tahap pengamatan adalah tahap dimana anak-anak tikus yang dilahirkan
dari dua kelompok induk yang telah diberikan perlakuan diamati mulai dari hari
pertama lahir hingga berumur 70 hari. Jumlah anak tikus jantan yang digunakan
sebanyak 10 ekor. Penelitian ini melakukan pengamatan pada anak tikus jantan
yang berasal dari induk diberi perlakuan dan induk yang tanpa diberi perlakuan.
Parameter pengamatan pada penelitian ini berupa bobot badan, panjang tulang,
dan penurunan testis dari anak tikus jantan yang dilahirkan tersebut. Tahapan
penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

7
Persiapan

7 hari
adaptasi

60 hari
perkawinan

perlakuan

pemeliharaan

13 hari

8 hari lahir

kebuntingan

pengamatan

70 hari

tumbuh kembang anak

Gambar 4 Bagan penelitian
Anak tikus yang dilahirkan ditimbang bobot badannya setiap 2 minggu.
Kemudian dilakukan pengukuran panjang tulang dengan menggunakan benang
dan kemudian ditera menggunakan mistar. Panjang tulang yang diukur adalah
panjang tulang kepala yang diukur dari huruf X sampai huruf Y, punggung diukur
dari huruf Q sampai huruf Z, kaki depan diukur dari huruf a1 sampai a2, dan kaki
belakang dari huruf b1 sampai b2. Tampilan pengukuran tulang anak tikus menurut
Hrapkiewicz dan Medina (1998) dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5 Cara pengukuran perkembangan tulang anak tikus jantan (X = hidung;
Y = os occipital; Q = os atlas; Z = os sacrum; a1 = bagian proksimal
os scapula; a2 bagian distal jari kaki depan; b1 = bagian proksimal os
femur; b2 = bagian distal jari kaki belakang)

Analisis Statistik
Hasil parameter yang diukur dinyatakan dengan rataan dan simpangan
baku. Perbedaan antar kelompok perlakuan diuji secara statistik dengan analisis
sidik ragam (ANOVA-Analysis of Variance) dengan pola rancangan acak lengkap
(Steel dan Torrie 1993).

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Terhadap
Perkembangan Tulang Anak Tikus Jantan
Purwoceng adalah tanaman tradisonal yang dikenal bersifat androgenik.
Berdasarkan penelitian terdahulu ekstrak akar purwoceng dengan dosis 83,25
mg/kg BB untuk 300 g bepengaruh terhadap peningkatan kadar Luteinizing
Hormone (LH) dan testosterone pada tikus jantan (Taufiqqurrachman 1999).
Penelitian ini melihat pengaruh pemberian ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina)
terhadap perkembangan tulang tikus jantan dari induk yang diberi akar ekstrak
purwoceng dengan dosis 0,5 ml untuk 300 g berat badan selama 1-13 hari
kebuntingan. Hasil yang diperoleh pada Tabel 2 bahwa pertambahan
perkembangan tulang menunjukkan ada perbedaan sangat nyata pada tulang
punggung. Sementara pada perkembangan tulang yang lain seperti perkembangan
kepala pengaruh pemberian ekstrak purwoceng berbeda nyata pada umur ke-42
hari, kaki depan kanan dan kaki depan kiri menunjukkan tidak berbeda nyata,
sedangkan pada perkembangan tulang kaki belakang kiri dan kaki belakang kanan
berbeda nyata pada umur ke-56 hari dan umur ke-70 hari.
Tabel 2

Perkembangan panjang tulang anak tikus jantan pada 1-13 hari
kebuntingan

Perlakuan
1
Kontrol
Purwoceng

0.97±0.12
1.20±0.14

Kontrol
Purwoceng

2.75±0.17*
3.22±0.22*

Kontrol
Purwoceng

1.10±0.00
1.32±0.18

Kontrol
Purwoceng

1.10±0.00
1.32±0.18

Kontrol
Purwoceng

1.31±0.02
1.52±0.18

Kontrol
Purwoceng

1.31±0.02
1.52±0.18

Hari ke28
42
Kepala (cm)
2.95±0.64
3.57±0.69
4.29±0.33*
2.78±0.14
4.25±0.60
5.15±0.30*
Punggung (cm)
4.24±0.70*
5.40±0.38*
6.75±0.63*
5.56±0.23*
7.18±0.18*
9.19±0.55*
Kaki depan kanan (cm)
3.15±0.57
3.57±0.42
4.39±0.45
3.00±0.34
3.82±0.66
4.43±0.52
Kaki depan kiri (cm)
3.15±0.57
3.72±0.42
4.39±0.45
3.00±0.34
3.82±0.66
4.43±0.52
Kaki belakang kanan (cm)
4.66±0.30
4.06±0.58
5.65±0.46
5.38±0.65
4.04±0.17
6.25±0.68
Kaki belakang kiri (cm)
4.06±0.58
4.66±0.30
5.65±0.46
4.04±0.17
5.38±0.62
6.25±0.68
14

56

70

4.99±0.42
5.62±0.47

5.62±0.59
6.13±0.45

8.57±0.46*
10.10±0.73*

9.39±0.57*
10.71±1.22*

4.86±0.41
5.25±0.27

5.36±0.34
5.61±0.10

4.85±0.42
5.25±0.28

5.36±0.34
5.61±0.10

6.46±0.28*
7.33±0.47*

7.44±0.15*
8.55±0.64*

6.46±0.28*
7.33±0.47*

7.44±0.14*
8.55±0.64*

*Signifikan pada taraf nyata 5%

Tulang merupakan bagian tubuh yang memiliki fungsi utama sebagai
pembentuk rangka dan alat gerak tubuh, pelindung organ-organ internal, serta
tempat penyimpanan mineral (kalsium-fosfat). Proses pembentukan tulang disebut
dengan osifikasi. Proses osifikasi terjadi pada masa perkembangan fetus (prenatal)
dan setelah individu lahir (postnatal). Pada tulang panjang perkembangan terjadi
sampai individu mencapai dewasa. Jaringan tulang bersifat dinamis karena secara
konstan mengalami pembaharuan yang dikenal dengan proses remodeling.

9
Remodeling tulang merupakan suatu proses yang kompleks yang melibatkan
resorpsi tulang yang diikuti dengan pembentukan tulang baru. Remodeling tulang
ditujukan untuk pengaturan homeostasis kalsium, memperbaiki jaringan yang
rusak akibat pergerakan fisik, kerusakan minor karena faktor stres dan
pembentukan kerangka pada masa pertumbuhan (Hill dan Orth, 1998; Fernandez
et al., 2006). Proses proliferasi dan diferensiasi osteoblas diatur oleh growth
Factor (faktor pertumbuhan) yang dihasilkan oleh osteoblas. Growth Factor yang
berperan diantaranya Insulin Growth Factor (IGF I dan II), Bone Morphogenic
Proteins (BMPs), Fibroblast Growth Factor (FGF), dan Platelet Derived Growth
Factor (PDGF) (Chen et al. 2004; Asahina et al. 2007) yang bekerja secara
autokrin dan parakrin, serta hormon estrogen (Houfbauer et al. 1999; Ogita et al.
2008).
Akar ekstrak etanol akar purwoceng bersifat estrogenik yang mengandung
bahan kimia seperti turunan steroid, saponin, alkaloid, tannin, dan senyawa lain
yang mampu melancarkan peredaran darah, menimbulkan efek stimulan baik
secara hormonal dan non hormonal sehingga dapat meningkatkan stamina tubuh
(Taufiqqurachman 1999). Tumbuhan afrodisiak pada umumnya menunjukkan
efek peningkatan sirkulasi darah pada genetalia pria dan meningkatkan aktivitas
hormon androgenik. Hal ini akan memperbaiki aktivitas jaringan tubuh sehingga
secara tidak langsung akan memperbaiki fungsi organ (Gunawan 2002). Estrogen
menyebabkan meningkatnya aktivitas osteoblastik. Estrogen juga mempunyai
efek poten lainnya terhadap pertumbuhan tulang rangka. Estrogen menyebabkan
terjadinya penggabungan awal dari epífisis dengan batang dari tulang panjang.
Estrogen meningkatkan sekresi Transforming Growth Factor b (TGF-b), yang
merupakan satu-satunya (faktor pertumbuhan) growth factor yang merupakan
mediator untuk menarik sel osteoblas ke tempat lubang tulang yang telah diserap
oleh sel osteoklas. Sel osteoblas merupakan sel target utama dari estrogen, untuk
melepaskan beberapa faktor pertumbuhan (Guyton dan Hall 2007).
Estrogen merupakan hormon seks steroid memegang peran yang sangat
penting dalam metabolisme tulang, mempengaruhi aktivitas sel osteoblas maupun
osteoklas, termasuk menjaga keseimbangan kerja dari kedua sel tersebut melalui
pengaturan produksi faktor parakrin-parakrin utamanya oleh sel osteoblas. Efek
biologis dari estrogen diperantarai oleh reseptor yang dimiliki oleh sel
osteoblastik diantaranya ialah Estrogen Receptor Related Receptor a (ERRa),
Reseptor Estrogen α, β (ERα, ERβ). Sub tipe reseptor inilah yang melakukan
pengaturan homeostasis tulang. Secara tidak langsung estrogen mempengaruhi
proses deferensiasi, aktivasi, maupun apoptosis dari osteoklas (Guyton dan
Hall 2007). Estrogen menghambat produksi sitokin-sitokin yang merangsang
diferensiasi osteoklas seperti: IL-6, IL-1, TNF-a, IL-11 dan IL-7. Estrogen
merangsang osteoblas untuk memproduksi TGF-b, yang selanjutnya TGF-b ini
menginduksi sel osteoklas untuk lebih cepat mengalami apoptosis. Efek langsung
dari estrogen terhadap osteoklas adalah melalui reseptor estrogen pada sel
osteoklas, yaitu menekan aktivasi c-Jun, sehingga mencegah terjadinya
diferensiasi sel prekursor osteoklas dan menekan aktivasi sel osteoklas dewasa
(Anggraini 2008). Ekstrak etanol akar purwoceng yang bersifat estrogenik dapat
berikatan dengan reseptor estrogen sehingga diduga bahwa ekstrak akar
purwoceng juga mempunyai fungsi yang sama dalam proses metabolisme tulang.

10
Pada sel Leydig progesteron dibentuk dari pregnenolon melalui
serangkaian proses progesteron di rubah menjadi testosteron dan pregnenolon
diubah menjadi androstenediol dengan enzim bantuan enzim 3 β hidroxy
dehydrogenase. Selanjutnya dengan bantuan enzim 17α hidroxy progesteron,
progesteron akan diubah menjadi androstenedione dan menjadi testosteron. Pada
sel sertoli sebagian kecil testosteron di rubah menjadi estrodial 17 β oleh enzim 5
α reduktase. Enzim 5 α reduktase hanya ada pada hewan jantan (Martin dan Barry
1984)
Aktivitas aromatase juga telah terdeteksi pada otot, lemak, jaringan saraf,
dan sel-sel Leydig dari testes (Martin dan Barry 1984). Ekstrak etanol akar
purwoceng berpengaruh terhadap peningkatan kadar testosteron pada pada anak
tikus jantan. Dengan meningkatnya kadar testosteron pada sel Leydig maka akan
mempengaruhi pula peningkatan kadar estrogen. Peningkatan estrogen yang
dihasilkan maka akan mempercepat pertumbuhan tulang. Kadar hormon estrogen
secara normal akan meningkat seiring bertambahnya usia kebuntingan (Fernandez
et al. 2006). Dengan pemberian ekstrak akar purwoceng dapat memperkuat
lingkungan mikro karena ekstrak akar purwoceng dapat menduduki reseptor
estrogen endogen. Ikatan ini akan memberikan efek yang sama seperti fungsi
endogen estrogen.
Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Terhadap
Pertambahan Bobot Badan Anak Tikus Jantan
Pengaruh pemberian ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina)
terhadap pertambahan bobot badan anak tikus jantan pada umur 1-13 hari dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Rataan bobot badan anak tikus yang diberi ekstrak etanol akar purwoceng
selama 13 hari
Perlakuan
Kontrol
Purwoceng

1g
6.42±0.43
6.45±0.42

Rataan bobot badan pada hari ke21 g
49 g
15.95±1.51*
46.98±7.64*
27.83±2.99*
72.35±9.85*

70 g
92.64±10.00
101.13±16.25

*Signifikan pada taraf nyata 5%
Tabel 3 menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol akar purwoceng
sangat berpengaruh pada umur ke-21 hari dan umur ke-49 hari. Perkembangan
bobot badan anak tikus jantan juga dipengaruhi oleh peningkatan hormon
estrogen. Estrogen dalam tubuh dapat berfungsi untuk menambah proliferasi sel
dan meningkatkan penimbunan lemak sehingga estrogen dapat menyebabkan
terjadinya kenaikan bobot badan (Fernandez et al., 2006). (Turner et al., 1988)
melaporkan juga bahwa aksi metabolik androgen adalah peningkatan aktivitas
anabolisme protein, sehingga peningkatan kuantitas androgen pada tingkat
tertentu menyebabkan pertambahan berat badan. Pertambahan persentase bobot
badan anak tikus jantan dapat dilihat pada Gambar 6.

11

Bobot Badan
(g)

250
101,13

200
150

72,35

100
50
0

6,45
6,42
Hari 1

92,64

27,83
46,98
15,95
Hari 21
Kontrol

Hari 49

Hari 70

Purwoceng

Gambar 6 Pertambahan bobot badan tikus (g)
Gambar 6 menunjukkan persentase kenaikkan bobot badan anak tikus jantan
yang dilahirkan dari induk yang diberi etanol akar purwoceng meningkat sampai
dengan 331.5% dibandingkan dengan kontrol yang hanya mencapai 148.2% pada
umur ke-21 hari. Kemudian pada umur ke-49 hari persentase kenaikkan bobot
badan masih tinggi pada anak tikus yang diberi ekstrak etanol akar purwoceng
yaitu 259.96% dibandingkan dengan kontrol yang hanya mencapai kenaikan
persentase bobot badan mencapai 194.59%. Tetapi pada umur ke-70 hari
persentase bobot badan yaitu anak tikus kontrol lebih tinggi yaitu 97.16%
dibandingkan anak tikus yang diberi purwoceng sebesar 39.77%. Walapun
demikian tetapi kenaikkan bobot badan anak tikus yang di beri ekstrak etanol akar
purwoceng masih lebih tinggi yaitu mencapai 101.13 g dibanding dengan kontrol
mencapai 92.64 g.
Anak tikus yang dilahirkan dari induk purwoceng lingkungan mikro
uterusnya menjadi lebih baik. Pemberian ekstrak akar purwoceng pada hari 1-13
adalah saat anak tikus yang dikandung secara tidak langsung mengalami
pertumbuhan dan perkembangan organ. Masa kebuntingan tikus berlangsung
selama 21-23 hari dan sejak 14 hari kebuntingan sudah terlihat adanya perubahan
bentuk kelenjar ambing. Pada akhir kebuntingan, tikus tersebut melahirkan anak
6-12 per kelahiran (Malole dan Pramono 1989). Pada umur kebuntingan tersebut
terjadi pertumbuhan dan perkembangan tulang dari anak tikus yang di kandung
dalam induk tikus. Rataan persentase bobot badan anak tikus jantan yang
diberikan purwoceng cenderung lebih tinggi di setiap minggunya, anak tikus
mulai memakan makanan padat pada usia 2 minggu. Usia penyapihan tikus
biasanya umur 21 hari (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).
Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Terhadap Penurunan
Testis Anak Tikus
Testis adalah organ utama dalam sistem reproduksi jantan. Testis
mensekresi hormon jantan secara keseluruhan yang disebut androgen. Androgen
ini adalah hormon steroid dengan rumus kimia 19 atom C yang berinti steroid
(Setiabudy et al. 1995). Ekstrak akar purwoceng dapat menstimulasi hipotalamus
untuk mensekresi Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH). GnRH merangsang
sekresi Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH).
Kedua hormon tersebut masuk ke dalam peredaran darah sistemik, setelah sampai

12
dalam testis Luteinizing Hormone (LH) berikatan dengan reseptor protein spesifik
dan merangsang sintesis hormon testosteron. Sedangkan Follicle Stimulating
Hormone (FSH) berperan dalam menambah jumlah reseptor protein sel leydig
sehingga sensitifitasnya meningkat.
Testosteron disekresikan oleh sel-sel interstisial Leydig di testis jika
mendapatkan rangsangan dari hormon Luteinzing Hormone (LH) sehingga jumlah
testosteron yang disekresikan tergantung jumlah LH yang tersedia (Guyton dan
Hall 2007). Sekresi testosteron yang cukup akan memicu penurunan testis ke
dalam skrotum selama 2 sampai 3 bulan terakhir masa kehamilan (Guyton dan
Hall 2007). Akibatnya peningkatan jumlah testosteron akan mempercepat
penurunan testis pada hewan jantan.
Tabel 4 Penurunan testis anak tikus
Perlakuan
Kontrol
Purwoceng

Penurunan testis pada hari ke
1 14 21 42 45 46
+
+
+

47
+

48
+
+

49
+
+

50
+
+

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa untuk penurunan testis yang lebih cepat
yakni tikus dengan di beri perlakuan purwoceng. Testis sudah turun di hari ke-42
sementara untuk yang kontrol dalam hal ini yang tidak diberi ekstrak etanol akar
purwoceng mengalami penurunan testis pada hari ke-48. Usia penurunan testis
pada hari tersebut merupakan tanda dimulainya pubertas bagi tikus jantan.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pemberian ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina) selama 1-13
hari kebuntingan memberikan peningkatan terhadap perkembangan tulang kepala
anak tikus pada hari ke-42, tulang punggung pada hari 1 sampai hari ke-70, tulang
kaki belakang pada hari ke-56 dan hari ke-70, penambahan bobot badan pada hari
ke-21 dan hari ke-49, dan penurunan testis pada hari ke-42 pada anak tikus putih
jantan (Rattus norvegicus).

Saran
Saran yang dapat direkomendasikan oleh penulis berdasarkan hasil
kesimpulan di atas adalah:
1. Perlu dilakukan penelitian pemberian ekstrak etanol akar purwoceng
(Pimpinella alpina) selama 1-13 hari kebuntingan secara langsung pada anak
tikus jantan (Rattus norvegicus) terhadap pertumbuhan dan perkembangan
tulang.

13
2.

Perlu dilakukan penelitian tentang efektivitas ekstrak etanol akar purwoceng
(Pimpinella alpina) dengan dosis yang optimum.

DAFTAR PUSTAKA
Anggadiredja J. 1990. Eksplorasi, konservasi dan pengembangan tanaman obat:
suatu pemikiran memanfaatkan tanaman nasional. Bogor (ID): Forum
Komunikasi Ilmiah Plasma Nutfah dan Budidaya Tanaman Obat.
Anggraini W. 2008. Fitoestrogen sebagai alternatif alami terapi sulih hormon
untuk pengobatan osteoporosis primer pada wanita pascamenopouse. M I
Kedokteran Gigi 23(1): 27-29.
Asahina AH, Yamazaki Y, Uchida M, Shinohara Y, Honda MJ, Kagami H, Ueda
M. 2007. Effective bone engineering with perioteum-derived cells. J Dental
Res. 86(1):79-83.
Ballenger L. 2000. Rattus Norvegicus [Internet]. [diunduh 2013 Nop 29];
Tersedia pada: http://animaldiversity.ummz.umich.edu.
[Balittro] Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 2011. Hasil uji fitokimia
dari akar purwoceng. Bogor (ID): Laboratorium Balai Penelitian Tanaman
Obat dan Aromatik.
Baker DEJ, Lindsey JR, Weisborth SH. 1980. The laboratory rat: Research
Application Vol 2. London: Academic Pr Inc
Caropeboka AM, Lubis. 1985. Pemeriksaan Pendahuluan Kandungan Kimia Akar
Purwoceng (Pimpinella alpina). Bogor(ID): Prosiding Simposium Penelitian
Tanaman Obat I.
Chen D, M Zhao, GR Mundy. 2004. Bone Morphogenetic Proteins. Growth
Factors 22: 233-241.
Darwati I, Roostika I. 2006. Status penelitian purwoceng (Pimpinella alpina
Molk.) di Indonesia. Buletin Plasma Nutfah 12(1)9-15.
[Depkes] Departemen Kesehatan. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 381/Menkes/Sk/11i/2007 tentang Kebijakan Obat Tradisional
Nasional [Internet]. [diunduh 2013 Des 29); Tersedia pada:
http://www.litbang.depkes.go.id/download/regulasi/KMK_381/
2007/Obat
TradisioanlL.pdf.
Fernandez I, MAA Gracia, MC Pingarron, LB Jerez. 2006. Physiological Bases of
Bone Begeneration II. The remodeling process.. 11:151-157.
Gunawan D. 2002. Ramuan Tradisional untuk Keharmonisan Suami Istri. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Guyton AC, Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed ke-11. Irawati,
Ramadhani D, Indriyani F, Dany F, Nuryanto I, Rianti SSP, Resmisari T,
Suyono YJ, penerjemah; Rachman LQ, Hartanto H, Novrianti A, Wulandari N,
editor. Jakarta (ID): EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical physiology,
11th ed.

14
Hapsari S. 2011. Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella
alpina) selama1-13 hari kebuntingan terhadap bobot ovarium dan uterus tikus
putih (Rattus sp.) [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor.
Hernani, Yuliani S. 1991. Obat-Obat Afrodisiaka yang Bersumber dari Bahan
Alam. Di dalam: Zuhud, EAM, editor. Pelestarian PemanfaatanTumbuhan
Obat dari Hutan Tropis Indonesia. Bogor (ID): Konservasi Sumber Daya
Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dan IWF. hlm 130-134.
Hill PA, M Orth. 1998. Bone remodelling. British Journal of Orthodontic 25:101107.
Houfbauer LC, S. Khosla, CR. Dunstn, D.L. Lacey, T.C. Spelsberg, and B.L.
Riggs. 1999. Estrogen stimulates gene expression and protein production of
osteoprotegin in human osteoblastic cells. Endocrinology. 140:4367-4370
Hrapkiewicz K, Medina L. 1998. Cinical Laboratory Animal Medicine: An
Introduction. Iowa State University Press: State Avenue.
Jondriatno D. 2012. Efektifitas pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella
alpina) pada hari 1-13 kebuntingan terhadap keberhasilan implantasi pada tikus
putih (Rattus sp.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Johnson M, Everit B. 1984. Essential Reproduction Second Edition. Great Britain
(UK): William Clowes Limited, Beccles, and London
Malole MBM, Pranomo SP. 1989. Pengguna Hewan-hewan Percobaan di
Laboratorium. Bogor (ID): Penerbit Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi
Pusat antar Universitas Bioteknologi IPB.
Ogita M, Rached MT, Dworakowski E, Bilezikian JP, Kousteni S. 2008.
Differentiation and proliferation of perioteal osteoblast progenitors are
differentially regulated by estrogens and intermittent parathyroid hormone
administration. Endocrinology. 149(11):5713-5723.
Pribadi WA. 2012. Efektifitas ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina)
terhadap pertambahan bobot badan tikus betina bunting pada umur
kebuntingan 0-13 hari [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rahardjo M. 2003. Purwoceng tanaman obat aprodisiak yang langka. Warta
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 9(2):4-7.
Rahayu S. 2002. Konservasi tumbuhan obat langka purwoceng melalui
pertumbuhan minimal. Buletin Plasma Nutfah. 8(1):29-33
Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafriadi. 1995. Farmakologi dan
Terapi Ed ke-4. Jakarta (ID): Gaya Baru.
Sidik, Sasongko E, Kurnia, Ursula. 1985. Usaha Isolasi Turunan Kumarin Dari
Akar Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) Asal Dataran Tinggi Dieng.
Bogor(ID): Prosiding Penelitian Tanaman Obat I.
Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan
Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta (ID): Universitas Indonesia
Steel RD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Sumantri B,
penerjemah. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari:
Principles and Procedures of Statistics.

15
Taufiqqurrachman. 1999. Pengaruh ekstrak Pimpinella alpina Molk (purwoceng)
dan akar Eurycoma longifolia Jack. (pasak bumi) terhadap peningkatan kadar
testosterone, LH, dan FSH serta perbedaan peningkatannya pada tikus jantan
Sprague dawley [tesis]. Semarang (ID): Pascasarjana Ilmu Biomedik
Universitas Diponegoro.
Turner CD, Joseph T. Bagnara. 1988. Endokrinologi Umum. Edisi keenam.
Surabaya (ID): Airlangga Universitas Press. 637-655.
Veterinary Library. 1996. The Laboratory rat [Internet]. [diunduh 2013 Nop 29];
Tersedia pada: http://www.animalz.co.nz/library/small pet/rats.htm.

16

17

LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil pengolahan ANOVA pada perkembangan kepala anak tikus
jantan
One-way ANOVA: Kepala_1 versus Perlakuan
Source
Perlakuan
Error
Total

DF
1
6
7

S = 0,1339

SS
0,1012
0,1075
0,2087

Level
1
2

MS
0,1012
0,0179

N
4
4

R-Sq = 48,50%

Mean
0,9750
1,2000

F
5,65

P
0,055

R-Sq(adj) = 39,92%

StDev
0,1258
0,1414

Individual 95% CIs For Mean Based on
Pooled StDev
------+---------+---------+---------+--(----------*----------)
(----------*----------)
------+---------+---------+---------+--0,90
1,05
1,20
1,35

Pooled StDev = 0,1339

One-way ANOVA: Kepala_14 versus Perlakuan
Source
Perlakuan
Error
Total

DF
1
6
7

S = 0,4692

SS
0,058
1,321
1,379

Level
1
2

MS
0,058
0,220

N
4
4

R-Sq = 4,22%

Mean
2,9537
2,7833

F
0,26

P
0,626

R-Sq(adj) = 0,00%

StDev
0,6475
0,1453

Individual 95% CIs For Mean Based on
Pooled StDev
-------+---------+---------+---------+-(---------------*----------------)
(----------------*---------------)
-------+---------+---------+---------+-2,45
2,80
3,15
3,50

Pooled StDev = 0,4692

One-way ANOVA: Kepala_28 versus Perlakuan
Source
Perlakuan
Error
Total
S = 0,6503

DF
1
6
7

Level
1

N
4

SS
0,919
2,537
3,457

MS
0,919
0,423

R-Sq = 26,60%

Mean
3,5762

StDev
0,6901

F
2,17

P
0,191

R-Sq(adj) = 14,36%

Individual 95% CIs For Mean Based on
Pooled StDev
----+---------+---------+---------+----(-------------*------------)

18
2

4

4,2543

0,6078

(------------*------------)
----+---------+---------+---------+----3,00
3,60
4,20
4,80

Pooled StDev = 0,6503

One-way ANOVA: Kepala_42 versus Perlakuan
Source
Perlakuan
Error
Total

DF
1
6
7

S = 0,3157

SS
1,4663
0,5980
2,0643

Level
1
2

MS
1,4663
0,0997

N
4
4

R-Sq = 71,03%

Mean
4,2938
5,1500

StDev
0,3306
0,3000

F
14,71

P
0,009

R-Sq(adj) = 66,20%

Individual 95% CIs For Mean Based on
Pooled StDev
--+---------+---------+---------+------(-------*-------)
(-------*-------)
--+---------+---------+---------+------4,00
4,50
5,00
5,50

Pooled StDev = 0,3157

One-way ANOVA: Kepala_56 versus Perlakuan
Source
Perlakuan
Error
Total

DF
1
6
7

S = 0,4488

SS
0,806
1,209
2,015

Level
1
2

N
4
4

MS
0,806
0,201

R-Sq = 40,02%

Mean
4,9900
5,6250

StDev
0,4247
0,4717

F
4,00

P
0,092

R-Sq(adj) = 30,02%

Individual 95% CIs For Mean Based on
Pooled StDev
-+---------+---------+---------+-------(----------*----------)
(----------*---------)
-+---------+---------+---------+-------4,50
5,00
5,50
6,00

Pooled StDev = 0,4488

One-way ANOVA: Kepala_70 versus Perlakuan
Source
Perlakuan
Error
Total
S = 0,5314

DF
1
6
7

Level
1
2

N
4
4

SS
0,525
1,694
2,220

MS
0,525
0,282

R-Sq = 23,67%

Mean
5,6250
6,1375

StDev
0,5965
0,4571

F
1,86

P
0,222

R-Sq(adj) = 10,94%

Individual 95% CIs For Mean Based on
Pooled StDev
-+---------+---------+---------+-------(-------------*------------)
(------------*------------)

19
-+---------+---------+---------+-------5,00
5,50
6,00
6,50
Pooled StDev = 0,5314

Lampiran 2 Hasil pengolahan ANOVA pada perkembangan punggung anak tikus
jantan
One-way ANOVA: punggung 1 versus perlakuan
Source
perlakuan
Error
Total

DF
1
6
7

S = 0,1977

SS
0,4465
0,2346
0,6811

MS
0,4465
0,0391

R-Sq = 65,56%

F
11,42

P
0,015

R-Sq(adj) = 59,82%

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled
StDev
Level
1
2

N
4
4

Mean
2,7525
3,2250

StDev
0,1704
0,2217

+---------+---------+---------+--------(---------*---------)
(---------*---------)
+---------+---------+---------+--------2,50
2,75
3,00
3,25

Pooled StDev = 0,1977

One-way ANOVA: punggung 14 versus perlakuan
Source
perlakuan
Error
Total

DF
1
6
7

S = 0,5218

SS
3,507
1,634
5,141

Level
1
2

MS
3,507
0,272

N
4
4

R-Sq = 68,22%

F
12,88

Mean
4,2425
5,5667

P
0,012

R-Sq(adj) = 62,93%

StDev
0,7009
0,2308

Individual 95% CIs For Mean Based on
Pooled StDev
---------+---------+---------+---------+
(---------*--------)
(---------*--------)
---------+---------+---------+---------+
4,20
4,90
5,60
6,30

Pooled StDev = 0,5218

One-way ANOVA: punggung 28 versus perlakuan
Source
perlakuan
Error
Total
S = 0,2975

DF
1
6
7

Level
1
2

N
4
4

SS
6,3190
0,5311
6,8501

MS
6,3190
0,0885

R-Sq = 92,25%

Mean
5,4025
7,1800

StDev
0,3800
0,1806

F
71,39

P
0,000

R-Sq(adj) = 90,96%

Individual 95% CIs For Mean Based on
Pooled StDev
--------+---------+---------+---------+(----*----)
(-----*----)
--------+---------+---------+---------+-

20
5,60

6,30

7,00

7,70

Pooled StDev = 0,2975

One-way ANOVA: punggung 42 versus perlakuan
Source
perlakuan
Error
Total

DF
1
6
7

S = 0,5986

SS
11,912
2,150
14,062

MS
11,912
0,358

R-Sq = 84,71%

F
33,25

P
0,001

R-Sq(adj) = 82,16%

Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled
StDev
Level
1
2

N
4
4

Mean
6,7513
9,1917

StDev
0,6384
0,5559

+---------+---------+---------+--------(-------*------)
(------*------)
+---------+---------+---------+--------6,0
7,0
8,0
9,0

Pooled StDev = 0,5986

One-way ANOVA: punggung56 versus perlakuan
Source
perlakuan
Error
Total

DF
1
6
7

S = 0,6168

SS
4,682
2,283
6,964

Level
1
2

MS
4,682
0,380

N
4
4

R-Sq = 67,22%

Mean
8,570
10,100

StDev
0,463
0,739

F
12,31

P
0,013

R-Sq(adj) = 61,76%

Individual 95% CIs For Mean Based on
Pooled StDev
--+---------+---------+---------+------(--------*---------)
(--------*---------)
--+---------+---------+---------+------8,00
8,80
9,60
10,40

Pooled StDev = 0,617

One-way ANOVA: punggung 70 versus perlakuan
Source
perlakuan
Error
Total
S = 0,9525

DF
1
6
7

Level
1
2

N
4
4

SS
3,507
5,443
8,951

MS
3,507
0,907

R-Sq = 39,18%

Mean
9,392
10,717

StDev
0,572
1,220

F
3,87

P
0,097

R-Sq(adj) = 29,05%

Individual 95% CIs For Mean Based on
Pooled StDev
--------+---------+---------+---------+(-----------*-----------)
(----------*-----------)
--------+---------+---------+---------+-

21
9,0

10,0

11,0

12,0

Pooled StDev = 0,952

Lampiran 3 Hasil pengolahan ANOVA pada perkembangan kaki depan kanan
anak tikus jantan
One-way ANOVA: kdka 1 versus Perlakuan
Source
Perlakuan
Error
Total

DF
1
6
7

S = 0,1339

SS
0,1012
0,1075
0,2087

Level
1
2

MS
0,1012
0,0179

N
4
4

R-Sq = 48,50%

Mean
1,1000
1,3250

StDev
0,0000
0,1893

F
5,65

P
0,055

R-Sq(adj) = 39,92%

Individual 95% CIs For Mean Based on
Pooled StDev
--------+---------+---------+---------+(----------*----------)
(----------*----------)
--------+---------+---------+---------+1,05
1,20
1,35
1,50

Pooled StDev = 0,1339

One-way ANOVA: kdka 14 versus Perlakuan
Source
Perlakuan
Error
Total

DF
1
6
7

S = 0,4709

SS
0,041
1,330
1,372

Level
1
2

MS
0,041
0,222

N
4
4

R-Sq = 3,01%

Mean
3,1500
3,0063

StDev
0,5701
0,3442

F
0,19

P
0,681

R-Sq(adj) = 0,00%

Individual 95% CIs For Mean Based on
Pooled StDev
-+---------+---------+---------+-------(---------------*---------------)
(----------------*---------------)
-+---------+---------+---------+-------2,45
2,80
3,15
3,50

Pooled StDev = 0,4709

One-way ANOVA: kdka 28 versus Perlakuan
Source
Perlakuan
Error
Total
S = 0,5585

DF
1
6
7

Level
1
2

N
4
4

SS
0,023
1,872
1,894

MS
0,023
0,312

R-Sq = 1,19%

Mean
3,7188
3,8250

StDev
0,4259
0,6652

F
0,07

P
0,797

R-Sq(adj) = 0,00%

Individual 95% CIs For Mean Based on
Pooled StDev
----+---------+---------+---------+----(----------------*----------------)
(----------------*----------------)
----+---------+---------+---------+-----

22
3,20

3,60

4,00

4,40

Pooled StDev = 0,5585

One-way ANOVA: kdka 42 versus Perlakuan
Source
Perlakuan
Error
Total
S = 0,4930

DF
1
6
7

Level
1
2

SS
0,002
1,458
1,461

MS
0,002
0,243

N
4
4

R-Sq = 0,17%

Mean
4,3950
4,4300

StDev
0,4547
0,5285

F
0,01

P
0,923

R-Sq(adj) = 0,00%

Individual 95% CIs For Mean Based on
Pooled StDev
--+---------+---------+---------+------(-----------------*----------------)
(-----------------*----------------)
--+---------+---------+---------+------3,85
4,20
4,55
4,90

Pooled StDev = 0,4930

One-way ANOVA: kdka 56 versus Perlakuan
Source
Perlakuan
Error
Tota