Tampilan anak tikus betina dari induk bunting yang diberi ekstrak akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) selama 1-13 hari.

i

TAMPILAN ANAK TIKUS BETINA DARI INDUK BUNTING
YANG DIBERI EKSTRAK AKAR PURWOCENG (Pimpinella
alpina KDS) SELAMA 1-13 HARI

DIRWAN RAHMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Tampilan anak tikus
betina dari induk bunting yang diberi ekstrak akar purwoceng (Pimpinella alpina

KDS) selama 1-13 hari adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor,

Febuari 2015

Dirwan Rahman
NIM B0409020

v

ABSTRAK
DIRWAN RAHMAN. Tampilan anak tikus betina dari induk bunting yang diberi
ekstrak akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) selama 1-13 hari. Dibimbing
oleh ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS dan PUDJI ACHMADI.

Purwoceng merupakan tanaman obat asli Indonesia yang dilaporkan
berkhasiat sebagai afrodisiak, diuretik, dan tonik. Tujuan penelitian ini adalah
untuk melihat peran ekstrak akar purwoceng yang diberikan pada induk bunting
selama 1 sampai 13 hari terhadap bobot badan dan pertumbuhan tulang anak tikus
betina. Penelitian ini menggunakan 18 ekor anak tikus betina yang dibagi menjadi
2 kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok purwoceng. Anak-anak yang
lahir selanjutnya diamati dan diukur pertumbuhan bobot badan dan perkembangan
tulang kepala, tulang punggung, tulang kaki depan, dan tulang kaki belakang.
Data kelompok dianalisi dengan pola Rancangan Acak Lengkap. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bobot badan kelompok tikus yang diberikan ekstrak akar
purwoceng dengan dosis 25 mg/300 g BB meningkat pada umur 21 hari dan 49
hari dibandingkan kontrol. Purwoceng juga menyebabkan peningkatan
pertumbuhan tulang yang lebih panjang pada tulang kepala, tulang punggung,
tulang kaki depan, dan kaki belakang pada umur 1 hari dibandingkan terhadap
kontrol. Pertumbuhan dan perkembangan tulang-tulang yang lebih panjang ini
berlangsung sampai umur 70 hari pada kelompok purwoceng.
Kata kunci: Bobot badan, panjang tulang, Pimpinela alpina KDS

ABSTRACT
DIRWAN RAHMAN. The Performance of Female Pups from Pregnant Rat Given

Root Extract Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) during 1st to 13th Days.
Supervised by ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS and PUDJI ACHMADI.
Purwoceng is an Indonesian medicinal native plant which reported to
efficacious as aphrodisiac, diuretic, and tonic. The purpose of this study is to
observe the role of root extract purwoceng which were given to pregnant rats for
13 days to measure weight development and bone growth of female pups. This
research used 18 female rats pups which divided into two groups: control group
and purwoceng group. The born pups were observed for 70 days to measure the
growth weight and development of head bone, beck bone, front legs bone, and
hind legs. The data were analyzed using completely randomized design. The
results showed that weight of rats that was given the roots extract purwoceng with
a dose 25 mg / 300 g BB increased at 21 days and 49 days compared to controls.
Purwoceng also caused a longer growth of head bone, back bone, front legs bone,
and hind legs starting at the first day of age compared to controls. Growing and
developing of those bones continued until 70 days of age with longer bone growth
from the purwoceng group.
Key word: Weight, Bone length, Pimpinella alpina KDS

vi


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

vii

TAMPILAN ANAK TIKUS BETINA DARI INDUK BUNTING
YANG DIBERI EKSTRAK AKAR PURWOCENG (Pimpinella
alpina KDS) SELAMA 1-13 HARI

DIRWAN RAHMAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

viii

x

xi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subĥanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Desember 2012 ini, berjudul Tampilan Anak Tikus
Betina dari Induk Bunting yang Diberi Ekstrak Akar Purwoceng (Pimpinella
alpina KDS) selama 1-13 hari. Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan dengan rasa tulus dan hormat ucapan terima kasih
kepada Dr Drh Aryani Sismin Satyaningtijas MSc dan Drs Pudji Achmadi MSi
atas bimbingan, arahan, motivasi, waktu, pemikiran, pengertian dan kesabaran
selama proses penelitian dan penyusunan tugas akhir ini. Penulis ucapan terima
kasih juga kepada Prof Dr Drh Retno Damayanti Soejoedono MS MVS atas kasih
sayang, doa, motivasi, dan dorongan yang luar biasa kepada penulis. Selain itu,
penulis juga manyampaikan ucapan terima kasih kepada staf Laboratorium
Fisiologi FKH IPB yaitu Ibu Sri, Ibu Ida, dan Bapak Edi atas bantuan dan
kerjasamanya selama penelitian. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih
dengan tulus dan hormat kepada Syamsyia Jumat (Ibunda), Ir Kamil Jumat MP
(Paman), Rohana Moh. Ali (Bibi), dan kakak-kakak (Ahlis, Saprina, Jidi, dan
Dahlia) yang turut memberi doa dan dukungan baik moril maupun materi
sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah ini dengan baik. Ucapan terima
kasih juga penulis sampaikan kepada Pemerintah Halmaherah Tengah, Gelatin
Plus, dan IKA IPB atas bantuan materi sehingga penulis dapat berkuliah dan
menyelesaikannya serta terima kasih juga pada teman satu tim M. Zhaahir dan
Moh. Alwi Amnur atas kerja sama dan dukungan selama penelitian.
Terakhir penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh Civitas
Akademik Fakultas Kedokteran IPB. Penulis menyadari bahwa penulisan tugas
akhir ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat berterima kasih

dan terbuka untuk kritik dan saran yang membangun. Semoga karya ilmiah ini
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Febuari 2015
Dirwan Rahman
B04090204

xii

xiii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xiv

DAFTAR GAMBAR

xiv


DAFTAR LAMPIRAN

xiv

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang
Tujuan
Hipotesis
Manfaat

1
1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA


2

METODOLOGI

4

Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan
Metode Penelitian
Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Ekstrak Akar Purwoceng terhadap Bobot Badan Anak Tikus
Betina
Pengaruh Ekstrak Akar Purwoceng terhadap Perkembangan Anak Tikus
Betina Berdasarkan Ukuran Tulang
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran


4
4
5
5
7
7
9
10
10
11

DAFTAR PUSTAKA

11

LAMPIRAN

14

RIWAYAT HIDUP


21

xiv

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Biologi tikus putih
Hasil analisis akar purwoceng
Rataan bobot badan anak tikus betina
Rataan panjang tulang anak tikus betina

3
4
8
9

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Tikus putih (Rattus norvegicus)
Bagan rangkaian tahapan penelitian
Perbedaan jarak anogenital pada (a) tikus betina dan (b) tikus jantan
Ilustrasi cara pengukuran tulang pada tikus betina dengan X = hidung; Y
= os occipital; Q = os atlas; Z = os sacrum; a1 = bagian proksimal os
scapula; a2 bagian distal jari kaki depan; b1 = bagian proksimal os
femur; b2 = bagian distal jari kaki belakang

2
6
6

7

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil analisis bobot badan ATB pada hari ke-1, 21, 49, dan 70
pengukuran
2 Hasil analisis tulang kepala ATB pada hari ke-1 dan hari ke 14
pengukuran

14
18

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman obat merupakan tanaman yang biasa dijadikan bahan obat untuk
berbagai jenis penyakit. Penggunaan tanaman obat sebagai ramuan obat di
Indonesia telah dikenal sejak dahulu. Saat ini penggunaan tanaman obat sebagai
salah satu obat alternatif semakin meningkat karena dapat menyembuhkan
penyakit atau dapat menjaga kesehatan tubuh. Hal ini disebabkan tanaman obat
berkhasiat yang mudah di dapat, harga relatif murah, cara pembiakan mudah dan
hampir tidak ada efek samping yang ditimbulkan. Di Indonesia banyak ditemukan
berbagai macam tanaman obat yang memiliki khasiat tersendiri. Masyarakat
Indonesia di daerah pelosok pada umumnya masih mempercayakan perawatan
kesehatan dan penyembuhan penyakitnya dengan menggunakan tanaman obat
(Agoes 2010).
Purwoceng merupakan tanaman obat komersial yang dilaporkan berkhasiat
obat sebagai afrodisiak (meningkatkan gairah seksual dan menimbulkan ereksi),
diuretik (melancarkan saluran air seni), dan tonik (mampu meningkatkan stamina
tubuh). Tanaman ini merupakan tanaman asli Indonesia yang hidup di daerah
pegunungan seperti dataran tinggi Dieng di Jawa Tengah, Gunung Pangrango di
Jawa Barat, dan areal pegunungan di Jawa Timur (Rahardjo et al. 2006). Rahardjo
(2003) melaporkan bahwa tanaman ini memiliki kandungan dari kelompok atsiri
dan kelompok steroid yang berkhasiat bagi tubuh, sedangkan Ajijah et al. (2010)
mengungkapkan bahwa purwoceng dapat digunakan sebagai obat diuretik
(melancarkan saluran air seni) dan tonik (meningkatkan stamina tubuh). Balai
Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik melaporkan uji fitokimia dari tanaman
purwoceng yaitu alkaloid, tanin, flavanoid, triterpenoid, sterol, dan glukosa
(Balittro 2011).
Nasihun (2009) melaporkan bahwa ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina
KDS) dapat memperbaiki kinerja reproduksi tikus jantan karena mampu
meningkatkan kadar Luteinizing Hormone (LH) dan testosteron. Satyaningtijas et
al. (2014) melaporkan bahwa tikus bunting yang diberi ekstrak akar purwoceng
(EAP) selama 1-13 hari cenderung meningkatkan pada bobot badan, bobot
ovarium, dan bobot uterus. Purwoceng juga menyebabkan jumlah titik implantasi
pada tikus bunting hampir mendekati jumlah korpus luteum yang sudah terbentuk
dan ini menunjukkan bahwa keberhasilan implantasi lebih baik (Satyaningtijas et
al. 2014). Berdasarkan penelitian sebelumnya maka EAP disimpulkan dapat
meningkatkan kinerja reproduksi pada betina bunting dengan cara memperbaiki
lingkungan mikrouterusnya. Penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan EAP
yang diberikan pada induk bunting sampai umur 13 hari untuk melihat
pengaruhnya terhadap anak betina yang dilahirkan.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran pemberian ekstrak akar
purwoceng (Pimpinella alpina KDS) selama 1 sampai 13 hari kebuntingan
terhadap bobot badan dan pertumbuhan tulang anak tikus betina.

2

Hipotesis
Ekstrak akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) yang diberikan pada
induk bunting secara oral selama 1 sampai 13 hari dapat meningkatkan
perkembangan dan pertumbuhan anak tikus putih (Rattus norvegicus) betina yang
dilahirkan.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi tentang khasiat ekstrak
akar purwoceng terhadap perkembangan anak tikus betina yang dilahirkan dari
induk yang diberikan ekstrak akar purwoceng. Ekstrak akar tersebut juga dapat
dijadikan suplemen untuk meningkatkan produktivitas hewan ternak, yang secara
tidak langsung memenuhi kesejahteraan manusia.

TINJAUAN PUSTAKA
Tikus putih (Rattus norvegicus)
Sprague-Dawley adalah galur dari Rattus sp yang merupakan hewan
mamalia dan sering digunakan sebagai hewan model. Berikut klasifikasi Rattus
norvegicus menurut Janis (1984):
Kingdom
Phylum
Sub Phylum
Classis
Ordo
Familly
Genus
Spesies

: Animalia
: Chordata
: Vertebrata
: Mammalia
: Rodentia
: Muridae
: Rattus
: Rattus norvegicus.

Gambar 1 Tikus putih (Rattus norvegicus)

Hewan ini memiliki kelebihan dalam berkembang biak yaitu siklus reproduksinya
cepat dan pertumbuhannya cepat, temperamennya baik dan kemampuan
laktasinya tinggi (Baker et al. 1980). Masa kebuntingan tikus berkisar antara 2123 hari dengan jumlah rata-rata anak yang dilahirkan sekitar 6-12 ekor. Kondisi
lahirnya anak tikus yaitu tidak berambut, tidak mempunyai gigi, tubuh berwarna
kemerah merahan, mata dan telinga tertutup dengan bobot badannya yang
dilahirkan berkisar 5-6 g, dan tikus sangat aktif. Tikus ketika berumur empat hari
rambut mulai tumbuh dan setelah berumur 10 hari tubuh sudah tertutup rambut.
Mata dan telinga baru akan terbuka ketika anak tikus berumur 13 hari dan di usia
21 hari anak tikus baru lepas sapih (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Tikus
yang sering digunakan dalam penelitian adalah tikus dari galur Wistar, LongEvans, dan Sparague-Dawley (Weihe 1989). Berikut data biologi tikus dapat
dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

3

Tabel 1 Biologi tikus putih
Kriteria
Berat lahir
Berat badan dewasa
Lama hidup
Konsumsi makanan
Konsumsi air minum
Pembukaan vagina
Umur pubertas (betina)
Umur saat dikawinkan
Lama siklus estrus
Lama estrus
Lama kebuntingan
Jumlah anak per kelahiran
Umur sapih
Berat lepas sapih

Nilai
5-6 g
 jantan 300-400 g
 betina 250-300 g
2-3 tahun
perhari 10 g/100 g BB
tikus dewasa 20-45 ml/hari
35-90 hari
50-60 hari
 jantan 8-9 minggu
 betina 8-9 minggu
(birahi) 4-5 hari
9-20 jam
21-23 hari
6-12 ekor anak
21 hari
20-30 g

Sumber: Smith dan Mangkoewidjojo (1988)

Siklus Reproduksi Tikus Putih
Siklus reproduksi tikus dapat dibagi menjadi 4 fase, yaitu proestrus, estrus,
metestrus, dan diestrus (Baker et al. 1980). Fase-fase siklus ini dapat diamati pada
gambaran jenis sel epitel vagina yang berubah di tiap stadiumnya dengan
membuat preparat ulas vagina. Perubahan stadium tersebut dapat terjadi pada
tikus betina yang telah berumur 35 dan 90 hari (Malole dan Pramono 1989). Tikus
betina yang telah berumur tersebut maka diperkirakan telah dewasa kelamin dan
siap untuk dikawinkan. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) umur tikus
betina saat dikawinkan adalah 56 sampai 63 hari dan umur kebuntingannya
selama 20-22 hari sedangkan jumlah anak per kelahiran adalah 6-12 ekor anak.
Secara fisiologi tikus betina yang siap menerima pejantan untuk melakukan
perkawinan terjadi pada fase estrus karena pada fase tersebut hormon estrogen
meningkat dan menyebabkan terjadinya perubahan tingkah laku (birahi).
Peningkatan estrogen tersebut sebagai kontrol positif umpan balik terhadap
hipotalamus dan hipofisia sehingga menstimulasi Luteinizing Hormone (LH) yang
menyebabkan ovulasi. Kebuntingan sangat mungkin terjadi apabila seekor tikus
betina dikawini oleh seekor tikus jantan pada kondisi tersebut (Malole dan
Pramono 1989).
Khasiat dan Kandungan Bahan-Bahan pada Tanaman Purwoceng
Pimpinella alpina KDS (purwoceng) termasuk dalam famili Umbelliferae.
Famili Umbelliferae umumnya merupakan tanaman berbatang lunak. Taksonomi
dari tanaman purwoceng menurut Rahardjo et al. (2006) :
divisi
: Spermatophyta
subdivisi : Angiospermae
kelas
: Dicotyledonae

4

famili
: Apiaceae/ umbelliflorae
suku
: Umbelliferae
genus
: Pimpinella
jenis
: Pimpinella pruatjan Molk. sinonim Pimpinella alpina KDS
Purwoceng mengandung sterol, furanokumarin bergapten, isobergapten, dan
sphondin. Senyawa-senyawa aktif itu banyak terdapat pada batang dan akar.
Senyawa sterol akan dikonversi menjadi testosteron di dalam tubuh (Ajijah et al.
2010). Ekstrak purwoceng dapat merangsang susunan saraf pusat untuk
meningkatkan kadar hormon testosteron, Luteinizing Hormone (LH), dan Follicle
Stimulating Hormone (FSH). Hormon testosteron dan LH merupakan rangsangan
utama untuk sekresi testosteron oleh testis, dan FSH terutama merangsang
spermatogenesis (Juniarto 2004). Banyak orang sudah membuktikan khasiat
purwoceng sebagai obat penghilang sakit, penurun panas, anti fungi, dan anti
bakteri (Ajijah et al. 2010). Efek anabolik ekstrak akar purwoceng tampak pada
peningkatan bobot badan anak ayam jantan. Ekstrak akar purwoceng dengan
konsentrasi 30% yang diberikan pada anak ayam jantan mempunyai efek
androgenik yaitu terjadinya pertambahan rata-rata ukuran jengger sebesar 0,385
cm dan pertambahan bobot badan tertinggi sebesar 53,15 gram (Usmiati dan
Yuliani 2010).
Kandung zat aktif kualitatif dalam purwoceng yang digunakan dalam
penelitian ini telah dianalisis melalui uji fitokimia purwoceng oleh Balai
Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Tabel 2).
Tabel 2 Hasil analisis akar purwoceng
No
Zat aktif
1
Alkaloid
2
Tanin
3
Flavonoid
4
Triterpenoid
5
Steroid
6
Glikosida

Hasil uji
+++
+
+++
+
+
+

Keterangan : + (Positif lemah), ++ (Positif), +++ (Positif kuat)
Sumber

: Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (2011)

METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Desember 2012 sampai September
2013 di Unit Pengelolan Hewan Kecil dan Laboratorium (UPHL) dan
Laboratorium Fisiologi Departemen AFF-IPB (Anatomi, Fisiologi, dan
Farmakologi), Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPBDarmaga).
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang tikus berupa
kotak plastik, kawat kasa, jaring-jaring kawat sebagai penutup, botol minum tikus.
Spoit, scalpel, pinset, gunting, objek gelas, sonde lambung, mikroskop cahaya

5

binokuler, timbangan analitik digital, pipet, cotton swab, tissue, kapas, kain
saring, kertas nama, erlenmeyer, gelas ukur, corong, blender, pompa vakum,
Rotary Vacuum Evaporator (Buchi Rotavapor R-205), chiller, oven, wadah
porselen, termometer. Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu
pakan tikus, sekam, ekstrak akar purwoceng, eter, NaCl fisiologis 0.9%, etanol,
methanol, dan akuades. Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 8 ekor
tikus putih betina bunting dari galur Sprague-Dawley.
Metode Penelitian
Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng
Tanaman akar purwoceng dikeringkan terlebih dahulu di bawah panas sinar
matahari dengan suhu kurang dari 50 ºC. Tanaman yang telah kering selanjutnya
di potong-potong sampai berukuran kecil-kecil kemudian menggunakan blender
untuk dihaluskan sehingga menjadi serbuk. Serbuk yang dihasilkan sebanyak 350
gram kemudian direndam ke dalam 3.5 liter etanol 70% zat pelarut selama 24
jam dan setiap dua jam sekali diaduk agar homogen, kemudian disaring dengan
menggunakan kain saring untuk mendapatkan filtratnya. Hasil filtrat di simpan ke
dalam erlenmeyer, sedangkan ampas direndam kembali dalam 3.5 liter etanol
70% selama 24 jam dan setiap dua jam diaduk agar homogen. Setelah itu, larutan
disaring dan filtratnya disatukan dengan hasil ekstrak yang pertama ke dalam
erlenmeyer ukuran 5 liter. Filtrat tersebut kemudian diuapkan pelarut etanol 70%
dengan menggunakan Rotari Evaporator (Rotavapor) Buchi pada suhu 48 ºC
dengan kecepatan putaran per menit (rpm) sebesar 60 rpm dan selanjutnya
dimasukkan ke dalam oven pengering lebih kurang pada suhu 45 °C selama 48
jam untuk menguapkan kadar airnya. Hasil dari pengeringan dalam oven adalah
ekstrak murninya. Ekstrak kental bisa di simpan dalam botol kaca steril dan dapat
diencerkan kembali dengan akuades jika ingin digunakan pada hewan coba sesuai
dosis perlakuan.
Tahap Persiapan Hewan
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih
(Rattus norvegicus) dari galur Sprague-Dawley. Tikus di pelihara dalam kandang
yang berbentuk kotak dan terbuat dari plastik, berukuran 30 cm x 20 cm x 12 cm.
Kandang tersebut dilengkapi dengan jaring kawat sebagai penutup bagian atas dan
lantai diberikan sekam sebagai alas, serta selalu tersedia botol berisi air minum
yang dijepitkan pada jaring kawat. Tikus-tikus tersebut diberikan pakan pelet
sehari dua kali yaitu pagi dan sore hari. Penggantian sekam dan pencucian
kandang dilakukan 2 kali dalam seminggu. Tahap persiapan terdiri dari adaptasi
dan perkawinan. Adaptasi adalah tahap penyesuaian hewan coba sebelum masuk
tahap perkawinan. Tahap tersebut berlangsung selama tujuh hari dan kemudian
masuk ke tahap perkawinan.
Perkawinan adalah tahap untuk mengawinkan tikus betina dan jantan dalam
satu kandang dengan tujuan mendapatkan tikus bunting. Tikus dikawinkan secara
alamiah dengan menempkan satu tikus jantan dan dua tikus betina ke dalam satu
kandang dan tikus-tikus tersebut sudah diberikan tanda agar memudahkan dalam

6

pengambilan sampel ulas vagina untuk deteksi kebuntingan. Deteksi kebuntingan
dilakukan dengan cara melihat ada tidaknya spermatozoa yang mengelilingi sel
kornifikasi pada preparat ulas vagina dengan menggunakan mikroskop.
Keberadaan spermatozoa yang mengelilingi sel kornifikasi merupakan tanda tikus
betina telah dikawini dan pada hari itu tikus dikatakan bunting (Baker et al. 1979).
Tikus yang bunting harus dipisahkan dari tikus jantan dan ditempatkan ke dalam
kandang yang lain dan selanjutnya masuk ke tahap perlakuan.
Tahap Perlakuan Hewan
Penelitian ini menggunakan 8 ekor tikus betina bunting yang di bagi
menjadi dua kelompok. Sebanyak 4 ekor tikus betina bunting untuk kontrol
diberikan air minum sedangkan 4 ekor tikus betina bunting lainnya diberikan
ekstrak akar purwoceng. Kedua kelompok tersebut pemberiannya melalui oral
dengan menggunakan sonde lambung setiap hari selama 1 sampai 13 hari
kebuntingan. Penentuan dosis ekstrak etanol purwoceng pada tikus berdasarkan
penelitian terdahulu Nasihun (2009), yaitu sebesar 25 mg untuk berat badan tikus
sebesar 300 gram atau 83.25 mg/kg BB. Dalam penelitian ini larutan stok
mengandung 50 mg/ml, sehingga jumlah yang dicekok adalah sebesar 0.5 ml untuk
300 gram berat badan. Selanjutnya tikus-tikus tersebut dipelihara hingga
melahirkan. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 2 seperti di bawah ini.
Persiapan
Adaptas
i
7 hari

Pemeliharaan
Perkawinan
60 hari

Perlakuan Pemeliharaan
Bunting
13 hari

Pengamatan
Tampilan ATB

8 hari Lahir

70 hari

Gambar 2 Bagan tahapan penelitian (ATB: anak tikus betina)
Tahap Pengamatan
Anak-anak tikus yang dilahirkan selanjutnya hanya di ambil anak betina
saja. Cara membedakan jenis kelaminnya yaitu dengan melihat jarak antara celah
anogenital yaitu lubang anus dan lubang kelamin. Menurut Hrapkiewicz dan
Medina (1998) melaporkan bahwa tikus betina memiliki jarak antara celah
anogenital yang berdekatan sedangkan tikus jantan memiliki jarak antara celah
anogenital yang berjauhan. Berikut Gambar 3 adalah cara untuk menentukan
jenis kelamin.
Urethral
Urethral
Urethral
opening
opening
opening

b

a

Prepuc
Prepuc
ee

*

*
Vulva

Scrotal sac
Anus

Gambar 3 Perbedaan jarak anogenital* pada tikus betina (a) dan tikus jantan (b)

7

Tahap pengamatan adalah tahap saat anak-anak tikus betina yang dilahirkan
dari dua kelompok induk mulai diamati sejak lahir hingga berumur 70 hari.
Parameter penelitian ini meliputi pengamatan bobot badan dan pertumbuhan anak.
Pengamatan bobot badan yang diukur saat anak tikus betina berumur 1, 21, 49,
dan 70 hari sedangkan parameter pengamatan pertumbuhan anak tersebut
berdasarkan ukuran panjang tulang seperti kepala, punggung, kaki depan (kiri dan
kanan), dan kaki belakang (kiri dan kanan) saat berumur 1, 14, 28, 42, 56, dan 70
hari dengan cara yang tersaji pada Gambar 4 seperti di bawah ini.

Gambar 4 Ilustrasi cara pengukuran tulang pada anak tikus betina dengan X =
hidung; Y = os occipital; Q = os atlas; Z = os sacrum; a1 = bagian
proksimal os scapula; a2 bagian distal jari kaki depan; b1 = bagian
proksimal os femur; b2 = bagian distal jari kaki belakang
Analisis Statistik
Hasil parameter yang diukur dinyatakan dengan rataan dan simpangan baku.
Perbedaan antar kelompok perlakuan di uji secara statistika dengan analisa sidik
ragam (ANOVA) dengan pola rancangan acak lengkap (Steel dan Torrie 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Ekstrak Akar Purwoceng terhadap Bobot Badan Anak Tikus
Betina
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik melaporkan bahwa tanaman
purwoceng mengandung banyak alkaloid dan flavanoid (Balittro 2011). Flavonoid
menurut Glover and Assinder (2006) termasuk dalam golongan fitoestrogen dan
merupakan substrat dari tanaman yang memiliki aktivitas biologi seperti estrogen
endogen karena reseptor estrogen endogen dapat berpasangan dengan flavonoid.
Pemberian EAP pada tikus di awal kebuntingan memberi kelimpahan senyawa
fitoestrogen yang dapat memperbaiki lingkungan mikrouterus induk menjadi lebih
baik. Fitoestrogen yang melimpah dapat membantu dan atau menggantikan fungsi
estrogen endogen.
Hasil rataan bobot lahir anak tikus betina (ATB) dari kelompok kontrol
adalah 6.43 gram dan dari kelompok purwoceng adalah 6.45 gram yang secara
statistik tidak berbeda. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) melaporkan
bahwa bobot lahir tikus putih berkisar antara 5-6 gram per ekor anak. Bobot badan

8

ATB kelompok purwoceng umur 21 hari dan 49 hari lebih berat dibandingkan
dengan kontrol. EAP yang diberikan pada induk bunting selama 1-13 hari diduga
mempengaruhi bobot badan ATB dengan cara memperbaiki lingkungan
mikrouterus induk. Pertumbuhan anak tikus yang cepat terjadi pada periode lahir
hingga usia penyapihan dan pubertas (Eisen 1976). Bobot badan ATB kelompok
purwoceng dan kontrol umur 70 hari menunjukkan secara statistik tidak berbeda.
Perubahan ukuran pertambahan bobot badan per unit waktu dapat turun sampai
pertambahan bobot badan tersebut menjadi nol dan dalam keadaan ini bobot
badan dewasa telah tercapai (Eisen 1976). Penelitian ini menunjukkan bahwa
bobot badan dewasa ATB telah tercapai pada umur 70 hari. Nilai rataan bobot
badan ATB tersedia pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3 Rataan bobot badan anak tikus betina
Rataan bobot badan pada hari kePerlakuan
1
21
49
70
Bobot Badan (gram)
Kontrol
6.43 ± 0.38
18.60±1.40a
62.40±9.66a 111.90±15.31
b
Purwoceng
6.45±0.44
29.40±2.19
76.90±9.70b 112.30±29.04
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
perbedaan nyata (P F
0.9101

Pr > F

0.00222222 0.00222222
0.01 0.9101
0.00000000
.
.
.
0
0.00000000
.
.
.
The SAS System 3
The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for respon

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.
Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
16
Error Mean Square
0.168889
Number of Means
2
Critical Range
.4107

15

Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping

Mean

N perlakuan

A
A
A

6.4556

9

Purwocen

6.4333

9

Kontrol

The SAS System 4
The GLM Procedure
Level of
------------respon----------hari
N
Mean
Std Dev
1

18

6.44444444

0.39885457

The SAS System 5
The GLM Procedure
Class Level Information
Class

Levels

perlakuan

2

hari

1

Values
Kontrol Purwocen

21

Number of Observations Read
Number of Observations Used

18
18

The SAS System 6
The GLM Procedure
Dependent Variable: respon
Source
Model
Error
Corrected Total

Sum of
DF
Squares Mean Square F Value Pr > F
1 533.5555556 533.5555556 158.25 F
1
0.222222
0.222222
0.00 0.9792
16 5088.222222
318.013889
17 5088.444444

R-Square
0.000044
Source
perlakuan
hari

Coeff Var
15.85934
DF
1
0

Root MSE
17.83294

Type I SS

respon Mean
112.4444

Mean Square

F Value

0.22222222 0.22222222
0.00
0.00000000
.
.
.

Pr > F
0.9792

18

perlakuan*hari

0

Source

DF

perlakuan
hari
perlakuan*hari

1
0

0.00000000
Type III SS

.

.

.

Mean Square F Value

0.22222222 0.22222222
0.00
0.00000000
.
.
.
0
0.00000000
.
.
.

Pr > F
0.9792

The SAS System 15
The GLM Procedure
Duncan's Multiple Range Test for respon
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.
Alpha
0.05
Error Degrees of Freedom
16
Error Mean Square
318.0139
Number of Means
2
Critical Range
17.82
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping
Mean
N perlakuan
A
112.556
9 Kontrol
A
A
112.333
9 Purwocen
The SAS System 16
The GLM Procedure
Level of
hari
N

------------respon----------Mean
Std Dev

70

112.444444

18

17.3008746

Lampiran 2 Hasil analisis tulang kepala ATB pada hari ke-1 dan hari ke 14
pengukuran
The SAS System 1
The GLM Procedure
Class Level Information
Class
Levels Values
perlakuan
2 Kontrol Purwocen
hari

1

1

Number of Observations Read
Number of Observations Used

18
18

The SAS System 2
The GLM Procedure
Dependent Variable: respon
Sum of
DF
Squares Mean Square

Source
Model

1
Error

1.33388889
16

1.33388889

0.75555556

F Value

Pr > F

28.25

F
F