Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Selama 21 Hari Laktasi terhadap Bobot Badan Anak Tikus Putih (Rattus norvegicus)

ABSTRACT
MUHAMMAD SOFYAN. The Effectiveness of Ethanol Extract of Purwoceng
(Pimpinella alpina KDS) During 21 Days of Lactation on The Body Weight of Pups.
Supervised by HERA MAHESHWARI and PUDJI ACHMADI.
Purwoceng is one of Indonesian’s plant that has been known and functions as
herb medicine. The goal of this research was to study the effect of ethanol extract of
purwoceng during 21 days of lactation on the body weight of pups. Six female
lactating rats were devided into two groups; control group and treatment group.
Purwoceng extract was given at dose of 25 mg/300 g BW orally for treatment group
whereas no treatment given for control group. The body weight of 47 pups were
measured until 21 days of lactation. The result obtained was statistically analysed by
analysis of variance (ANOVA). The result showed that treatment group had higher
body weight than control group and male pups of the treatment group had higher
body weight than female pups of the treatment group.
Keywords: purwoceng, body weight, lactation

EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL
PURWOCENG (Pimpinella alpina KDS) SELAMA 21 HARI
LAKTASI TERHADAP BOBOT BADAN ANAK TIKUS PUTIH
(Rattus norvegicus)


MUHAMMAD SOFYAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Efektivitas Pemberian Ekstrak
Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Selama 21 Hari Laktasi terhadap Bobot
Badan Anak Tikus Putih (Rattus norvegicus) adalah karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor,

Februari 2012


Muhammad Sofyan
B04070014

ABSTRACT
MUHAMMAD SOFYAN. The Effectiveness of Ethanol Extract of Purwoceng
(Pimpinella alpina KDS) During 21 Days of Lactation on The Body Weight of Pups.
Supervised by HERA MAHESHWARI and PUDJI ACHMADI.
Purwoceng is one of Indonesian’s plant that has been known and functions as
herb medicine. The goal of this research was to study the effect of ethanol extract of
purwoceng during 21 days of lactation on the body weight of pups. Six female
lactating rats were devided into two groups; control group and treatment group.
Purwoceng extract was given at dose of 25 mg/300 g BW orally for treatment group
whereas no treatment given for control group. The body weight of 47 pups were
measured until 21 days of lactation. The result obtained was statistically analysed by
analysis of variance (ANOVA). The result showed that treatment group had higher
body weight than control group and male pups of the treatment group had higher
body weight than female pups of the treatment group.
Keywords: purwoceng, body weight, lactation

RINGKASAN

MUHAMMAD SOFYAN. Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng
(Pimpinella alpina KDS) Selama 21 Hari Laktasi terhadap Bobot Badan Anak Tikus
Putih (Rattus norvegicus). Dibimbing oleh HERA MAHESHWARI and PUDJI
ACHMADI.
Purwoceng merupakan tanaman obat komersial yang akarnya dilaporkan
berkhasiat obat sebagai afrodisiak (meningkatkan gairah seksual dan menimbulkan
ereksi), diuretik (melancarkan saluran air seni), dan tonik (mampu meningkatkan
stamina tubuh). Tanaman tersebut merupakan tanaman asli Indonesia yang hidup di
daerah pegunungan seperti dataran tinggi Dieng di Jawa Tengah, Gunung Pangrango
di Jawa Barat, dan areal pegunungan di Jawa Timur. Dewasa ini populasi purwoceng
sudah langka karena mengalami penurunan populasi secara besar-besaran, bahkan
populasinya di Gunung Pangrango Jawa Barat dan areal pegunungan di Jawa Timur
dilaporkan sudah musnah. Tanaman tersebut hanya terdapat di dataran tinggi Dieng,
bukan di habitat aslinya melainkan di areal budidaya yang sangat sempit di Desa
Sekunang (Rahardjo et al. 2005).
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efek pemberian ekstrak etanol
purwoceng pada tikus laktasi terhadap peningkatan bobot badan anak yang lahir dari
hari pertama sampai hari ke-21 masa laktasi. Pemberian ekstrak etanol purwoceng
pada induk laktasi diharapkan dapat menyebabkan sel-sel kelenjar ambing lebih aktif
berproliferasi dan berpengaruh terhadap peningkatan bobot badan anak yang lahir

sampai dengan lepas sapih. Penelitian berlangsung mulai pada bulan April 2011
sampai dengan Agustus 2011. Enam tikus betina menyusui dibagi menjadi dua
kelompok; kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Pencekokkan ekstrak etanol
purwoceng pada tikus betina laktasi dilakukan pada hari 1-21 masa laktasi. Penentuan
dosis

ekstrak

purwoceng

pada

tikus

berdasarkan

penelitian

terdahulu


(Taufiqurrachman 1999) yaitu sebesar 25 mg/cc untuk bobot badan tikus sebesar 300
g atau sebesar 83.33 mg/kg BB. Dalam penelitian ini digunakan 0.5 cc untuk 300 g
tikus (larutan stok mengandung 50 mg/cc). Masing-masing kelompok ditimbang

bobot badan anaknya selama 21 hari masa laktasi untuk dilihat perubahan
pertambahan bobot badan untuk kemudian dibandingkan antar kelompok. Hasil yang
diperoleh kemudian dianalisis dengan analysis of variance (ANOVA) (Steel dan
Torrie 1989).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok perlakuan tidak berbeda dari
bobot badan dari kelompok kontrol dan anak tikus jantan dari kelompok perlakuan
memiliki bobot badan yang tidak berbeda dari anak tikus betina dari kelompok
perlakuan.

Kata kunci: purwoceng, bobot badan, laktasi

©Hak Cipta milik IPB,tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang
wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL
PURWOCENG (Pimpinella alpina KDS) SELAMA 21 HARI
LAKTASI TERHADAP BOBOT BADAN ANAK TIKUS PUTIH
(Rattus norvegicus)

MUHAMMAD SOFYAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2012

LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi

: Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella
alpina KDS) Selama 21 Hari Laktasi terhadap Bobot Badan
Anak Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Nama

: Muhammad Sofyan

NIM

: B04070014

Disetujui,

Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc

Pembimbing I

Drs. Pudji Achmadi, M.Si
Pembimbing II

Diketahui,

drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dimulai
bulan April β011 dengan mengambil judul “Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol
Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Selama 21 Hari Laktasi terhadap Bobot Badan
Anak Tikus Putih (Rattus norvegicus)”. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak. Penulis ucapkan terimakasih dan penghargaan yang tinggi
kepada:


1. Ibu Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc, selaku dosen pembimbing I dan Bapak Drs.
Pudji Achmadi, M.Si, sebagai dosen pembimbing II yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan petunjuk dan nasehat
hingga tersusunnya karya ilmiah ini,
2. Ayahanda Muhammad Ali dan Ibunda Wa Ode Melati Ido atas segala perhatian,
kasih sayang, doa dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis, serta
seluruh keluarga besar yang telah memberikan limpahan doa, kasih sayang dan
semangat,
3. Ibu Dr. drh. Aryani S. Satyaningtijas, M.Sc dan Bapak drh. Supratikno, M.Si,
PAVet yang telah bersedia menjadi dosen penilai dan moderator pada seminar
skripsi,
4. Ibu drh. Ni Wayan Kurniani Karja, MP, Ph.D dan Ibu Dr. drh. Sri Murtini, M.Si
yang telah bersedia menjadi dosen penguji pada ujian akhir sarjana dan atas
saran-saran yang telah diberikan,
5. Ibu Dr. drh. Eva Harlina, M.Si, APVet, selaku dosen pembimbing akademik,
6. Pak Edi yang telah membantu di kandang hewan percobaan,
7. Teman sekelompok penelitian Julianto, SKH, Sandra Hapsari, SKH, Divo
Jondriatno, Meta Levi Kurnia, SKH dan Wisnugroho Agung Pribadi,
8. Keluarga Gianuzzi 44 yang telah menjadi keluarga baru selama berada di Bogor,


9. Pimpinan beserta staf dan seluruh Civitas Akademika Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor atas bekal ilmu selama penulis mengikuti proses
pendidikan,
10. Semua pihak yang membantu tersusunnya karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dikemudian hari untuk masyarakat
luas.

Bogor, Februari 2012
Muhammad Sofyan

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kendari, Sulawesi Tenggara pada tanggal 4 Oktober
1988 dari ayah Muhammad Ali dan ibu Wa ode Melati Ido. Penulis merupakan anak
kedua dari tiga bersaudara.
Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri Kemaraya Barat Kendari
dan lulus tahun 2001. Pendidikan penulis dilanjutkan ke SLTP Negeri 2 Kendari
(2001-2004). Masa SMA penulis diselesaikan di SMA Negeri 4 Kendari dan lulus
tahun 2007 dan melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor pada tahun yang sama
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Mayor yang dipilih penulis di IPB adalah

Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………………………………………………………….....

xiii

DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………

xiv

DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………

xv

PENDAHULUAN …………………………………………………………….
Latar Belakang ……………………………………………………………
Tujuan …………………………………………………………….………
Hipotesa …………………………………………………………….…….
Manfaat …………………………………………………………………..

1
1
3
3
3

TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………….
Tanaman Purwoceng ……………………………………………………..
Biologi Tikus Putih ……………………………………………………….
Perkembangan Kelenjar Susu dan Pembentukan Susu …………………...
Kelenjar Susu dan Laktasi …………………………………………..
Pertumbuhan dan Perkembangan Kelenjar Susu ……………………
Proses Pembentukan Susu ………………………………………..….
Proses Pengeluaran Susu ………………………….…………………
Hormon Steroid ………………………………………………………......
Fitoestrogen …………………………………………………………..…..

4
4
6
8
8
8
10
11
12
16

BAHAN DAN METODE PENELITIAN …………………………………….
Waktu dan Tempat Penelitian ……………………………………………
Alat dan Bahan ……………………………………………………….….
Persiapan Purwoceng …………………………………………………….
Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng …………………………………….
Persiapan Hewan Percobaan ……………………………………………...
Perlakuan Hewan …………………………………………………………
Parameter Percobaan ……………………………………………………..

18
18
18
18
19
19
20
20

HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………………….
Pertambahan Bobot Badan Anak Tikus Jantan
yang Diberi purwoceng …………………………………………………..
Pertambahan Bobot Badan Anak Betina
yang Diberi Purwoceng …………………………………………………..
Pertambahan Bobot Badan Anak Betina dan
Jantan yang Diberikan Purwoceng ……………………………………….

21

PENUTUP …………………………………………………………………….
Simpulan ………………………………………………………………….

27
27

21
24
25

Saran ……………………………………………………………………...

27

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………

28

LAMPIRAN …………………………………………………………………..

32

xiii

DAFTAR TABEL
Halaman
1. Rataan pertambahan bobot badan anak tikus jantan dari induk yang dicekok
purwoceng dan kontrol ………………………………………………………
2. Komposisi kandungan zat kimia pada ekstrak etanol purwoceng …....………

21
22

3. Rataan pertambahan bobot badan anak tikus betina dari induk yang dicekok
purwoceng dan kontrol ………………………………………………………

24

xiv

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Pimpinella alpina KDS ……………………………………………………

4

2. Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley …………………..

6

3. Kelompok hormon steroid berdasarkan atom karbonnya …………………

13

4. Struktur kimia estrogen dan flavonoid ……………………………………

17

5. Rataan perkembangan bobot badan anak betina dan
jantan perlakuan …………………………………………………………...

25

xv

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Laporan hasil uji fitokimia akar purwoceng ………………………………… 33
2. Analisa data hasil penimbangan bobot badan anak tikus jantan minggu ke-1 ……...

34

3. Analisa data hasil penimbangan bobot badan anak tikus jantan minggu ke-β ……...

34

4. Analisa data hasil penimbangan bobot badan anak tikus jantan minggu ke-γ ……...

34

5. Analisa data hasil penimbangan bobot badan anak tikus betina minggu ke-1 ……...

35

6. Analisa data hasil penimbangan bobot badan anak tikus betina minggu ke-β ……...

35

7. Analisa data hasil penimbangan bobot badan anak tikus betina minggu ke-γ ……...

35

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman obat merupakan tanaman yang biasa digunakan dalam pengobatan
berbagai jenis penyakit. Penggunaan tanaman obat sebagai ramuan obat di Indonesia
telah dikenal sejak dahulu. Saat ini penggunaan tanaman obat sebagai salah satu obat
alternatif untuk menyembuhkan penyakit atau untuk menjaga kesehatan tubuh
semakin meningkat. Hal ini disebabkan tanaman obat mudah didapat, harga relatif
murah, cara pembiakan mudah dan hampir tidak ada efek samping yang ditimbulkan.
Di Indonesia banyak ditemukan berbagai macam tanaman obat yang memiliki khasiat
tersendiri. Masyarakat Indonesia di daerah pelosok pada umumnya masih
mempercayakan perawatan kesehatan dan penyembuhan penyakitnya dengan
menggunakan tanaman obat.
Purwoceng merupakan tanaman obat komersial yang akarnya dilaporkan
berkhasiat obat sebagai afrodisiak (meningkatkan gairah seksual dan menimbulkan
ereksi), diuretik (melancarkan saluran air seni), dan tonik (mampu meningkatkan
stamina tubuh). Tanaman tersebut merupakan tanaman asli Indonesia yang hidup di
daerah pegunungan seperti dataran tinggi Dieng di Jawa Tengah, Gunung Pangrango
di Jawa Barat, dan areal pegunungan di Jawa Timur. Dewasa ini populasi purwoceng
sudah langka karena mengalami penurunan populasi secara besar-besaran, bahkan
populasinya di Gunung Pangrango Jawa Barat dan areal pegunungan di Jawa Timur
dilaporkan sudah musnah. Tanaman tersebut hanya terdapat di dataran tinggi Dieng,
bukan di habitat aslinya melainkan di areal budidaya yang sangat sempit di Desa
Sekunang (Rahardjo et al. 2005).
Studi farmakologi terhadap purwoceng juga menjadi topik yang menarik
untuk diketahui. Data yang dihasilkan dapat menjadi acuan dalam penggunaannya
secara klinis bagi manusia. Beberapa peneliti telah menguji efek penggunaan akar
purwoceng pada tikus. Salah satu teknik yang digunakan oleh Caropeboka (1980)
adalah dengan mengebiri tikus jantan dan menyuntiknya dengan ekstrak akar

2

purwoceng dalam minyak zaitun dengan dosis 20 mg-40 mg. Efek yang teramati
adalah adanya peningkatan bobot kelenjar prostat dan kelenjar seminalis secara nyata
dibandingkan dengan kontrol. Fakta tersebut memberi petunjuk adanya aktivitas
androgenik dari ekstrak akar purwoceng. Demikian juga ketika tikus betina tanpa
indung telur disuntik dengan ekstrak akar purwoceng dalam minyak zaitun pada dosis
yang sama, maka tampak adanya peningkatan yang sangat nyata pada bobot uterus.
Fakta tersebut memberi petunjuk adanya aktivitas estrogenik dari ekstrak akar
purwoceng. Kosin (1992) melakukan penelitian terhadap anak ayam jantan, hasilnya
adalah efek androgenik ekstrak purwoceng terhadap peningkatan pertumbuhan
ukuran jengger.
Tikus sebagai hewan percobaan banyak digunakan dalam berbagai penelitian
karena siklus reproduksinya singkat, mudah dalam penanganan, siklus hidup pendek,
murah dan mudah dipelihara. Tikus adalah hewan politokus dengan jumlah anak
antara 6-12 ekor tiap kali melahirkan (Harkness dan Wagner 1989). Pada penelitian
ini tikus dari galur Sprague Dawley digunakan dalam keadaan induk yang sedang
laktasi untuk melihat pengaruh yang ditimbulkan pada pertambahan bobot badan
anak setelah induk tikus tersebut diberi ekstrak purwoceng selama 21 hari laktasi.
Penelitian ini dilakukan berdasarkan penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa
purwoceng bersifat estrogenik. Pemberian ekstrak etanol purwoceng selama 1-13 hari
dengan dosis 25 mg/300 g BB selama kebuntingan tikus putih cenderung
meningkatkan bobot ovarium dan uterus tikus putih (Hapsari 2011). Pemberian
ekstrak etanol purwoceng pada kebuntingan 13-21 hari dengan dosis yang sama
cenderung memberikan pengaruh terhadap peningkatan bobot ovarium, uterus, dan
anak tikus putih (Kurnia 2011). Diasumsikan bahwa ada bahan aktif dalam
purwoceng yang dapat berperan seperti estrogen atau bersifat estrogenik. Estrogen
adalah hormon yang dapat menyebabkan proliferasi sel-sel (Ganong 2003).
Purwoceng yang diberikan pada tikus laktasi, diharapkan akan membuat sel-sel
kelenjar ambing menjadi lebih banyak yang berproliferasi sehingga lebih aktif dalam
mensekresikan susu dan diharapkan bobot badan anak menjadi lebih besar.

3

Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efek pemberian ekstrak etanol
purwoceng pada tikus laktasi terhadap peningkatan bobot badan anak yang lahir dari
hari pertama sampai hari ke-21 masa laktasi.

Hipotesis Penelitian
Pemberian ekstrak etanol purwoceng pada induk laktasi dapat menyebabkan
sel-sel kelenjar ambing lebih aktif berproliferasi dan berpengaruh terhadap
peningkatan bobot badan anak yang lahir sampai dengan lepas sapih.

Manfaat Penelitian
Data yang diperoleh dapat menjadi dasar untuk penelitian dibidang reproduksi
pada hewan politokus lainnya seperti babi, terutama diharapkan dapat bermanfaat
sebagai acuan dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas susu hewan ternak maupun
ASI pada manusia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina KDS )
Heyne (1987) mendeskripsikan purwoceng sebagai tanaman terna dengan
tinggi antara 15 cm sampai 50 cm yang tumbuh pada dataran tinggi sekitar 20003000 dpl di Jawa Barat, Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Tanaman ini memiliki
nama daerah berbeda-beda, antara lain antanan gunung, gebangan depok, rumput
dempo atau suripandak abang. Purwoceng banyak dicari orang karena memiliki
khasiat obat yang bersifat diuretik terutama digunakan sebagai afrodisiak.

Gambar 1 Pimpinella alpina KDS (Prajoko 2010)

Tjitrosoepomo (1994) mendiskripsikan purwoceng sebagai tumbuhan yang
temasuk terna dari suku Umbelliferae yang berumur pendek atau panjang. Batang
berongga dan beralur atau bergerigi membujur pada permukaannya. Daunnya
tersebar, berseling atau berhadapan, majemuk ganda atau banyak berbagi, tanpa daun
penumpu tetapi memiliki pelepah yang pipih besar (perikladium) dan tidak
membungkus batang. Bunganya majemuk dan tersusun seperti payung atau suatu
kapitulum, berukuran kecil, berumah satu, aktinomorfik atau sedikit zigomorfik, dan
berbilangan lima. Kelopaknya sangat kecil, mahkotanya berjumlah lima dengan ujung
yang melengkung ke dalam, berwarna kuning atau keputih-putihan, jarang berwarna

5

merah muda atau lembayung. Benang sari berjumlah lima yang berseling dengan
mahkota. Bakal buah tenggelam, tertutup oleh bantal tangkai putik yang berbagi dua,
beruang dua, dan dalam tiap ruang terdapat satu tangkai biji yang bergantungan.
Tangkai putik berjumlah 2 dan letaknya terpisah. Buahnya berbelah dua (diakenium),
tiap bagian buah tetap berlekatan pada suatu karpofor. Dalam kulit buah terdapat
saluran-saluran minyak atsiri. Endosperm biji mempunyai tanduk. Sifat-sifat
anatomis yang penting antara lain adanya saluran-saluran resin skizolisigen dalam
gelam akar, batang, dan kulit buahnya, adanya kolenkim dalam korteks primer batang
dan dalam rigi-rigi buah, adanya perforasi sederhana dalam trakea, adanya rambutrambut lain yang bukan merupakan kelenjar.
Akar purwoceng mengandung turunan senyawa kumarin, sterol, alkaloid, dan
saponin (Caropeboka dan Lubis 1975, Rostiana et al. 2003), flavonoid, glikosida,
triterpenoid-steroid dan tannin (Rostiana et al. 2003), kelompok furanokuramin
seperti bergapten, isobargapten, dan sphondin (Sidik et al. 1985), sitosterol dan
vitamin E (Rahardjo et al. 2005). Senyawa yang diketahui memberi efek afrodisiaka
diantaranya adalah turunan steroid, saponin, alkaloid, tanin, dan senyawa lain yang
dapat melancarkan peredaran darah (Anwar 2001). Dalam penelitiannya (Rahardjo et
al. 2005) menyatakan bahwa zat berkhasiat pada herbal purwoceng adalah senyawa
sitoesterol dan stigmasterol yang terdapat pada bagian akarnya.
Hasil uji fitokimia yang dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman
Obat dan Aromatik, menunjukkan bahwa zat yang terkandung di dalam akar
purwoceng adalah flavonoid, tanin, steroid, triterfenoid, glikosida, dan alkaloid.
Flavanoid, alkaloid, steroid yang terdapat dalam purwoceng merupakan golongan
fitoestrogen yang mampu berfungsi seperti estrogen karena diduga dapat menduduki
reseptor estrogen dalam tubuh yang akan meningkatkan efek estrogen. Tetapi afinitas
fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangat rendah bila dibandingkan dengan
estrogen endogen. Mekanisme kerja fitoestrogen dalam jaringan adalah berikatan
dengan reseptor estrogen. Menurut Tsourounis (2004) beberapa senyawa flavonoid
merupakan antioksidan. Flavonoid merupakan golongan senyawa polifenol yang
terdiri atas 15 atom karbon sebagai kerangka dasarnya. Susunan rantai karbon dari

6

senyawa polifenol menghasilkan tiga jenis struktur yaitu flavonoid, isoflavonoid, dan
neoflavonoid. Purwoceng memiliki dua bahan aktif yang berfungsi sebagai prekursor
estrogen di dalam tubuh yaitu flavonoid dan steroid. Jika dibandingkan keduanya,
flavonoid berpengaruh lebih besar dibandingkan dibandingkan steroid, karena pada
hasil pengujiannya flavonoid menunjukkan positif kuat, sedangkan steroid positif
lemah (Balitro 2011).
Biologi Tikus Putih

Gambar 2 Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley (Tocang 2010)

Menurut Malole dan Pramono (1989), hewan percobaan adalah hewan yang
sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna
mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala
penelitian atau pengamatan laboratorik. Tikus putih sudah sejak lama digunakan
sebagai hewan laboratorium untuk penelitian-penelitian yang berhubungan dengan
kepentingan medis, embriologi, maupun tentang tingkah laku. Hal ini didasarkan
pada pertimbangan faktor ekonomis dan efisiensi. Tikus mempunyai bentuk
morfologis yang kecil sehingga ruangan pemeliharaan yang dibutuhkan relatif kecil,
mudah dalam penanganan, murah, mudah didapat dan cocok untuk penelitian jangka
panjang (Harkness dan Wagner 1989).

7

Harkness dan Wagner (1989) menuliskan taksonomi tikus norwegia sebagai
berikut:
Kingdom

:

Animalia

Phylum

:

Chordata

Subphylum

:

Vertebrata

Class

:

Mamalia

Subclass

:

Theria

Infraclass

:

Eutheria

Order

:

Rodensia

Suborder

:

Myomorpha

Family

:

Muridae

Superfamily

:

Muroidea

Subfamily

:

Murinae

Genus

:

Rattus

Spesies

:

Rattus norvegicus

Terdapat tiga galur tikus putih yang sudah dikembangkan sebagai hewan
percobaan yaitu Sprague Dawley, Wistar dan Long Evans. Sprague Dawley lebih
mudah dan cepat berkembangbiak, merupakan jenis tikus albino yang memiliki
kepala yang kecil dengan ekor yang lebih panjang dari badannya. Wistar mempunyai
kepala yang lebar, telinga yang panjang dan ekor yang lebih pendek dari panjang
badan sedangkan Long Evans lebih kecil dari kedua galur lainnya, mempunyai bercak
hitam pada bagian atas kepala dan di belakang leher (Veterinary Library 1996).
Tikus dapat hidup lebih dari tiga tahun, mencapai umur antara 2,5-3,5 tahun.
Bobot badan jantan dan betina dewasa berkisar masing-masing 450 g-520 g dan 250
g-300 g. Masa pubertas dapat dicapai pada umur 65-110 hari, baik pada jantan
maupun pada betina. Pada umur tersebut bobot badan tikus mencapai 250 g untuk
betina dan 300 g untuk jantan dan sudah dapat dikawinkan (Malole dan Pramono
1989). Tikus termasuk hewan poliestrus yaitu hewan yang berahinya lebih dari dua
kali dalam setahun. Siklus berahi berlangsung empat sampai lima hari dengan lama

8

estrus 12 jam setiap siklus. Periode siklus berahi pada tikus terdiri atas beberapa
tahap yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus (Harkness dan Wagner 1989).
Kebuntingan terjadi selama 21-23 hari dengan jumlah anak perkelahiran 6-12
ekor (Harkness dan Wagner 1989). Pada tikus jarang terjadi bunting semu
(Veterinary Library 1996). Sejak umur kebuntingan 14 hari sudah terlihat adanya
perubahan bentuk kelenjar susu (Malole dan Pramono 1989). Bobot lahir anak tikus
berkisar 5 g-6 g. Anak tikus disapih pada umur 21 hari dengan bobot badan sudah
mencapai 25 g-30 g (Smith dan Mangkoewidjojo 1987).

Perkembangan Kelenjar Susu dan Pembentukan Susu
Kelenjar Susu dan Laktasi
Pertumbuhan dan daya tahan anak selama prasapih dipengaruhi oleh jumlah
anak, bobot lahir anak dan tingkat produksi susu induk selama laktasi (Tuju 2001).
Produksi susu induk selama laktasi dipengaruhi oleh tingkat perkembangan sel epitel
kelenjar susu selama periode kebuntingan, awal laktasi (Tucker 1987), laju
penyediaan zat-zat makanan ke kelenjar serta kelengkapan perangkat sintesisnya
selama laktasi, dan laju involusi sel-sel kelenjar (Wilde dan Knight 1989).
Pertumbuhan dan Perkembangan Kelenjar Susu
Kelenjar susu dianggap homolog dengan kelenjar keringat karena keduanya
berasal dari kulit yang tumbuh kedalam. Setiap kelenjar terdiri atas beberapa lobus.
Lobus yang satu dengan lobus yang lain dihubungkan dengan jaringan pengikat yang
disebut stroma. Tiap lobus terdiri atas saluran-saluran yang dikenal dengan duktus
laktiferus. Percabangan duktus ini dipengaruhi hormon mamogenik yaitu progesteron,
estradiol, laktogen plasenta, dan relaksin. Percabangan duktus laktiferus membentuk
ranting-ranting terminal yang disebut lobulo-alveolar. Lapisan lobulo-alveolar
menyusun permukaan sekretori (epitel) tempat proses sintesis susu terjadi (Turner
dan Bagnara 1995). Knight dan Peacker (1982) mengemukakan bahwa selama
kehidupan hewan, kelenjar susu tersebut kemungkinan mengalami perubahan lebih
banyak dan lebih besar dalam ukuran, struktur, komposisi dan aktivitas dibandingkan

9

jaringan atau organ lainnya. Perubahan tersebut dimulai sejak stadium fetus sampai
kelenjar mencapai pematangan dan kemudian pada periode dewasa hanya sedikit
mengalami pengerasan dan surut kembali mengikuti daur reproduksi.
Pertumbuhan kelenjar susu merupakan proses yang sangat kompleks karena
dipengaruhi oleh faktor instrinsik (kontrol lokal) pada kelenjar itu sendiri maupun
pada keseluruhan hewan (kontrol sistemik) sebagai pengaruh eksternal seperti
lingkungan, iklim dan makanan (Knight dan Peacker 1982). Hurley (2000)
mengemukakan bahwa pertumbuhan kelenjar susu terjadi selama lima fase yang
berbeda yaitu: prenatal, sebelum pubertas, selama pubertas, selama kebuntingan dan
awal laktasi.
Pada waktu lahir, kelenjar susu terdiri atas sistem duktus yang masih kurang
berkembang dibandingkan dengan bagian stroma. Namun ketika memasuki masa
pubertas, terjadi pemanjangan duktus ke dalam stroma. Pada siklus estrus pertama,
sistem duktus tumbuh dengan cepat melebihi laju pertumbuhan tubuh umumnya yang
dikenal dengan pertumbuhan allometrik. Pada tikus pertumbuhan allometrik
diteruskan untuk beberapa siklus estrus dan kembali lagi ke pertumbuhan isometrik
sama seperti organ-organ tubuh lainnya. Alveoli yang sesungguhnya pada kelenjar
susu masih belum terbentuk sampai konsepsi. Pada saat konsepsi, terjadi
pemanjangan duktus pada pembentukan alveoli serta permulaan perletakan bantalan
lemak (Tucker 1987). Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu sangat
dipengaruhi oleh hormon mamogenik yaitu progesteron, estradiol, dan laktogen
plasenta. Progesteron berfungsi mengatur perkembangan lobolo-alveolar kelenjar
susu, estradiol berfungsi mengatur perkembangan pertumbuhan duktus kelenjar susu,
dan hormon laktogen plasenta dapat menguatkan efek dari hormon steroid yang
dihasilkan oleh ovarium dan hormon pituitari pada perkembangan kelenjar laktasi
selama kebuntingan (Fahey 1998).
Total pertumbuhan kelenjar susu selama kebuntingan berkisar antara 48%
sampai 94%, bergantung pada masing-masing spesies. Pada tikus, kira-kira 12%
pertumbuhan kelenjar susu terjadi sebelum konsepsi, 48% terjadi selama kebuntingan
sedangkan sisanya terjadi selama laktasi (Tucker 1987).

10

Proses Pembentukan Susu
Alveolus terdiri dari selapis sel epitel membentuk suatu lumen. Lumen
tersebut dibungkus oleh jaringan mioepitel dan dikelilingi oleh suatu basement
membrane yang terdiri atas jaringan ikat. Darah akan mengalir melalui stroma yakni
ruang inter-alveolar yang terdiri atas jaringan fibroblast, leukosit, sel adiposa, dan
jaringan ikat lain. Lobuli dibentuk dari beberapa alveolus. Beberapa lobuli akan
membentuk beberapa lobus (Hurley 2000).
Di lumen alveolus akan dibentuk susu yang diambil dari bahan-bahan asal
dari darah. Alveolus tempat pembentukan susu akan mengambil cairan dan
komponen darah dengan kemampuan daya selektif yakni keistimewaan memilih
bahan-bahan yang diperlukan serta mengubah bahan-bahan asal darah menjadi bahan
yang lain bentuknya. Susu akan keluar dari lumen epitel dengan cara terjadi ruptur
sel. Susu masuk ke lumen alveoli kemudian masuk ke dalam saluran-saluran halus.
Saluran halus dari tiap-tiap lobuli berkumpul untuk membentuk saluran yang lebih
besar dan akhirnya masuk ke dalam sisterna ambing. Sisterna ambing adalah suatu
ruangan yang berada di bawah kuartir. Selanjutnya susu dialirkan ke ruang puting
susu/kisterna puting. Ruangan akhir penampungan susu dihubungkan oleh sebuah
saluran menuju lubang puting susu. Lubang puting susu memiliki otot-otot sirkuler
yang berfungsi untuk membuka dan menutup lubang puting. Adanya rangsangan
saraf dan tekanan dalam ambing mengakibatkan otot sirkuler mengendur dan susu
dapat keluar (Hurley 2000).
Komponen-komponen susu terdiri dari protein, lemak, laktosa, mineral,
vitamin, dan air. Prekursor protein susu adalah casein,

-laktoglobulin, dan α-

laktalbumin yang disintesis jaringan ambing. Serum albumin, immunoglobulin, dan
-casein diserap melalui darah. Lemak disintesis di jaringan ambing. Makanan
dengan kadar lemak yang rendah dapat menurunkan konsentrasi lemak dalam susu.
Laktosa merupakan karbohidrat terpenting yang ditemukan dalam susu. Laktosa
adalah disakarida yang terdiri atas 1 mol galaktosa dan 1 mol glukosa dan hanya
ditemukan didalam susu. Laktosa disintesis di jaringan ambing diambil dari bahan
asal glukosa darah, asam asetat dan asam amino darah. Vitamin dan mineral disintesis

11

melaui darah dan disekresikan ke susu. Mineral yang terpenting di dalam susu adalah
kalsium (Hurley 2000).
Proses Pengeluaran Susu
Pada induk betina yang menyusui dikenal 2 refleks yang masing-masing
berperan sebagai pengeluaran susu yaitu refleks prolaktin dan refleks “Let down”
(Cowie 1980).
1. Refleks prolaktin.
Menjelang akhir kehamilan terutama hormon prolaktin memegang
peranan untuk membuat kolostrum, namun jumlah kolostrum terbatas, karena
aktifitas prolaktin dihambat oleh estrogen dan progesteron yang kadarnya
memang tinggi. Pada saat setelah partus, lepasnya plasenta dan kurang
berfungsinya korpus luteum, maka progesteron sangat berkurang, ditambah
lagi dengan adanya isapan anak yang merangsang puting susu dan payudara,
akan merangsang ujung-ujung saraf sensoris yang befungsi sebagai reseptor
mekanik. Rangsangan ini dilanjutkan ke hipotalamus melalui medula spinalis
dan mesensephalon. Hipotalamus akan menekan pengeluaran faktor-faktor
yang menghambat sekresi prolaktin dan sebaliknya merangsang pengeluaran
faktor-faktor yang memacu sekresi prolaktin. Faktor-faktor yang memacu
sekresi prolaktin akan merangsang adenohipofise (hipofise anterior) sehingga
keluar prolaktin. Hormon ini merangsang sel-sel alveoli yang berfungsi untuk
membuat susu. Kadar prolaktin pada induk betina yang menyusui akan
menjadi normal saat penyapihan anak dan pada saat tersebut tidak akan ada
peningkatan prolaktin walaupun ada isapan anak, namun pengeluaran susu
tetap berlangsung. Pada induk betina yang menyusui, prolaktin akan
meningkat dalam keadaan-keadaan seperti: penurunan stres, anastesi, operasi,
rangsangan puting susu, kopulasi, obat-obatan tranqulizer hipotalamus seperti
reserpin; klorpromazin; fenotiazid. Sedangkan keadaan-keadaan yang
menghambat pengeluaran prolaktin adalah gizi yang jelek dan obat-obatan
seperti ergot dan 1-dopa (Cowie 1980).

12

2. Refleks let down (milk ejection reflex).
Bersamaan dengan pembentukan prolaktin oleh adenohipofise,
rangsangan yang berasal dari isapan anak ada yang dilanjutkan ke
neurohipofise (hipofise posterior) yang kemudian dikeluarkan oksitosin.
Melalui aliran darah, hormon ini diangkut menuju uterus yang dapat
menimbulkan kontraksi pada uterus sehingga terjadi involusi dari organ
tersebut. Oksitosin yang sampai pada alveoli akan mempengaruhi sel
mioepitelium. Kontraksi dari sel akan memeras air susu yang telah terbuat
dari alveoli dan masuk ke sistem duktulus yang untuk selanjutnya mengalir
melalui duktus laktiferus masuk ke mulut anak. Faktor-faktor yang
meningkatkan refleks let down adalah: melihat anak, mendengarkan suara
anak dan mencium bayi. Faktor-faktor yang menghambat refleks let down
adalah stres seperti keadaan bingung/pikiran kacau, takut, dan cemas. Bila ada
stres dari induk betina yang menyusui maka akan terjadi suatu blokade dari
refleks let down. Ini disebabkan oleh karena adanya pelepasan dari adrenalin
(epinefrin) yang menyebabkan vasokontraksi dari pembuluh darah alveoli,
sehingga oksitosin sedikit harapannya untuk dapat mencapai target organ
mioepitelium (Cowie 1980).

Hormon Steroid
Hormon steroid merupakan turunan dari kolesterol. Selain vitamin D, semua
turunan

kolesterol

memiliki

struktur

dasar

yang

sama

yaitu

cincin

siklopentanoperhidrofenantrena dengan sistem penomoran yang sama dengan
kolesterol. Penurunan kolesterol (C27) menjadi berbagai jenis hormon steroid diawali
dengan reaksi yang menghasilkan suatu senyawa isokaproaldehida (C6) dan
pregnenolon

(C21).

Berdasarkan

jumlah

atom

karbonnya

hormon

steroid

dikelompokkan menjadi tiga yaitu pregnan (C21), androstan (C19), dan estran (C18)
(King 2004).

13

Androstan

Pregnan

Estran

Gambar 3 Kelompok hormon steroid berdasarkan atom karbonnya (Guyton 1994)

Devlin (1993) diacu dalam Ibrahim (2001), menyatakan bahwa hormon
steroid di bagi ke dalam dua kelas yaitu hormon adrenal dan hormon seksual
(testosteron, estrogen, dan progesteron). Sedangkan King (2004) membagi steroid
menurut asalnya yaitu hormon steroid adrenal dan steroid gonadal. Korteks adrenal
bertanggung jawab dalam memproduksi tiga kelas utama hormon-hormon steroid
yaitu :

1)

glukokortikoid,

yang

meregulasi

metabolisme

karbohidrat,

2)

mineralokortikoid, yang meregulasi kadar Na dan K dalam tubuh, 3) androgen, yang
memiliki fungsi serupa dengan steroid yang dihasilkan dari gonad jantan.
Ketidaktersediaan hormon-hormon adrenal disebut penyakit Addison, dan bila tidak
diberikan hormon steroid pengganti akan menyebabkan kematian. Hormon steroid
adrenal

adalah

deoksikortisol,

kortisol

(glukokortikoid),

aldosteron

(mineralokortikoid), androstenedion, dan dehidroepiandrosteron (DHEA). Steroid
gonadal diproduksi oleh testis dan ovari, dua steroid yang utama adalah testosteron
dan estradiol.
Androgen ialah senyawa steroid produk dari testis, ovarium, korteks adrenal,
dan kemungkinan juga dari plasenta. Terdapat lima senyawa androgen yang penting
yaitu dehidroepiandrosteron (DHEA); ∆4-androstene-3, 17-dion; testosteron; 11 hidroksi-∆4-androsten-3, 17-dion; dan adrenosteron. Androgen yang paling aktif
adalah androsteron dan testosteron, masing-masing memberikan aktivitas biologis
sebesar satu unit internasional pada jumlah μg (androsteron) dan 1γ-16 μg testosteron
(King 2004).

14

Testosteron disekresikan mulai dari proses perubahan asetat menjadi
kolesterol kemudian kemudian berubah menjadi pregnenolon dan berubah lagi
menjadi progesteron. Dari pregnenolon menjadi progesteron melalui beberapa
perubahan hingga menjadi testosteron. Testosteron yang dihasilkan oleh sel Leydig
akan menuju sel Sertoli melalui sirkulasi darah dan berperan dalam proses
pematangan sperma. Di dalam sirkulasi darah testosteron ditransportasi oleh adanya
steroid binding globulin ( -globulin) yang disekresikan oleh sel sertoli akibat adanya
rangsangan dari FSH. Sekitar 98% dari testosteron yang bersirkulasi dalam darah
berada dalam keadaan terikat dan sisanya merupakan testosteron yang bebas masuk
ke organ target.

Proses tersebut terjadi bila terdapat enzim α-reductase dalam

sitoplasma yang akan merubah testosteron menjadi dehidrotestosteron sehingga dapat
bereaksi dengan reseptor testosteron pada organ target (Johnson dan Everitt 1984).
Hormon steroid seksual terdiri dari testosteron, estrogen dan progesteron
(Ibrahim 2001). Hormon testosteron berfungsi sebagai hormon seksual pada jantan.
Hormon estrogen dan progesteron merupakan hormon seksual pada betina yang juga
berfungsi merawat kebuntingan dan menstimulasi perkembangan kelenjar susu
(Ganong 2003). Hormon estrogen merupakan hormon utama pada hewan betina,
dalam proses pembentukannya melibatkan 2 sel yaitu sel teka dan sel granulosa. Sel
teka akan berkembang di bawah pengaruh Luteinizing Hormone (LH) dan sel
granulosa akan berkembang di bawah pengaruh Follicle Stimulating Hormone (FSH).
Di dalam sel teka yang berkembang, estrogen disekresikan mulai dari proses
perubahan asetat menjadi kolesterol kemudian berubah menjadi pregnenolon dan
berubah lagi menjadi progesteron. Dari progesteron berubah menjadi androstenedion
dengan bantuan enzim 17α-hidroksi progesteron, kemudian berubah menjadi
testosteron. Sel granulosa mendapat asupan testosteron dari sel teka dan akan berubah
menjadi estrogen setelah diaromatisasi oleh enzim aromatase yang distimulasi oleh
FSH. Ada γ bentuk estrogen di dalam plasma hewan betina yaitu 17 -estradiol,
estron, dan estriol (Johnson dan Everitt 1984).
Estrogen adalah senyawa steroid yang berfungsi terutama terutama sebagai
hormon seks wanita. Walaupun terdapat dalam tubuh pria maupun wanita,

15

kandungannya jauh lebih tinggi dalam tubuh wanita usia subur. Hormon ini
menyebabkan perkembangan dan mempertahankan tanda-tanda kelamin sekunder
pada wanita, seperti payudara, dan juga terlihat dalam penebalan endometrium
maupun dalam pengaturan siklus haid. Pada saat menopause, estrogen mulai
berkurang sehingga dapat menimbulkan beberapa efek, diantaranya hot flash,
berkeringat pada waktu tidur, dan kecemasan yang berlebihan (Anwar 2001). Unit
lobuler saluran terminal dari jaringan payudara wanita-wanita muda sangat responsif
dengan estrogen. Pada jaringan ambing, estrogen menstimulasi pertumbuhan dan
diferensiasi saluran epitelium, menginduksi aktivitas mitotik saluran sel-sel silindris,
dan menstimulasi pertumbuhan jaringan penyambung. Estrogen juga menghasilkan
efek seperti histamin pada mikrosirkulasi ambing. Densitas reseptor estrogen pada
jaringan payudara sangat tinggi pada fase folikuler dari siklus menstruasi dan
menurun setelah ovulasi. Estrogen menstimulasi pertumbuhan sel-sel kanker ambing.
Pada wanita-wanita postmenopause dengan kanker ambing, konsentrasi estradiol
tumor tinggi, karena aromatisasi in situ, meskipun adanya konsentrasi estradiol serum
yang rendah (Guyton 1994).
Hormon estrogen disekresikan oleh teka interna dan sel granulosa folikel
ovarium, korpus luteum, dan plasenta. Jalur biosintesis yang melibatkan hormon
androgen dan juga dibentuk melalui aromatisasi androstenedion di dalam sirkulasi.
Aromatase (CYP 19) merupakan enzim yang mengkatalis perubahan androstenedion
menjadi estron dan perubahan testosteron menjadi estradiol. Sel-sel teka interna
mempunyai banyak reseptor LH. LH bekerja melalui cAMP untuk meningkatkan
kolesterol menjadi androstenedion. Sebagian androstenedion diubah menjadi estradiol
yang masuk ke dalam sirkulasi. Sel teka interna juga memberikan androstenedion
pada sel granulosa. Sel granulosa membuat estradiol bila mendapat rangsangan dari
androgen dan disekresikan dalam cairan folikel. Sel granulosa memiliki banyak
reseptor FSH untuk meningkatkan sekresi estradiol dari sel granulosa dengan bekerja
melalui cAMP untuk meningkatkan aktivitas aromatase. Sel granulosa matang juga
memiliki reseptor LH yang kemudian akan merangsang pembentukan estradiol
(Ganong 2003).

16

Fitoestrogen
Fitoestrogen atau sumber estrogen berbasis
merupakan

senyawa

non-steroidal

mempunyai

tumbuh-tumbuhan yang

aktivitas

estrogenik

atau

dimetabolisme menjadi senyawa beraktivitas estrogen. Fitoestrogen merupakan suatu
substrat dari tumbuhan yang memiliki khasiat mirip estrogen, meskipun rumus
bangun kimianya berbeda dengan estrogen tetapi memiliki inti yang sama persis
dengan estrogen. Khasiat estrogenik terjadi karena fitoestrogen juga memiliki 2 gugus
–OH/hidroksil yang berjarak 11.0-11.5 A° pada intinya, sama persis dengan inti
estrogen sendiri. Para peneliti sepakat jarak 11 A° dan gugus –OH inilah yang
menjadi struktur pokok suatu substrat agar mempunyai efek estrogenik, yakni
memiliki afinitas tertentu untuk dapat menduduki reseptor estrogen (Tsourounis
2004). Suatu substrat baru akan berefek estrogenik bila telah berikatan dengan
reseptor estrogen. Tetapi afinitas fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangat
rendah bila dibandingkan dengan estrogen endogen (Tsourounis 2004). Menurut
Tsourounis (2004) beberapa senyawa fitoestrogen yang terdapat dalam tanaman
antara lain:
 Isoflavone pada buah-buahan, teh hijau, kacang kedelai, dan produk kedelai seperti
tempe, tahu, dan tauco.
 Lignane pada biji gandum dan wijen.
 Coumestane pada kacang-kacangan dan biji bunga matahari.
 Glikoside Tripterpen pada tanaman Cimifuga racemosa (black cohosh) tumbuh di
hutan Amerika Selatan, saat ini telah diekstraksi dan dikemas menjadi produk obat
menopause.
 Senyawa-senyawa estrogenik lain yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti
flavones, chalcone, diterpenoid, triterpenoid, coumarine, dan acyclic.
Zat yang paling banyak dalam akar purwoceng adalah alkaloid dan flavonoid.
Alkaloid dan flavonoid termasuk dalam golongan fitoestrogen. Berdasarkan struktur
kimianya, seluruh senyawa golongan flavonoid pada tanaman merupakan induk
flavon. Flavonoid merupakan senyawa larut air, etanol, methanol, dan mengandung

17

sistem aromatik yang terkonjugasi. Secara umum flavonoid ditemukan pada
tumbuhan sebagai campuran dan terikat pada gula seperti glikosida, aglikon atau
dalam kombinasi beberapa bentuk aglikon. Senyawa flavonoid diklasifikasikan
menjadi 10 golongan yang terkarakterisasi oleh warna pada teknik spektrofotometer
dan pemisahan pada teknik kromatografi. Golongan tersebut adalah antosianin,
proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, khalkon, flavonon, dan
isoflavon (Harborne 1987). Flavonoid mempunyai efek hormonal khususnya efek
estrogenik, karena mempunyai struktur fenolik yang mirip dengan hormon estrogen.
Flavonoid pada ekstrak akar purwoceng merupakan senyawa fitoestrogen yang
mempunyai kesamaan struktur kimia dengan estrogen mamalia.
Berikut adalah kemiripan struktur kimia antara estrogen dan flavonoid.

Estrogen

Flavonoid

Gambar 4 Struktur kimia estrogen dan flavonoid (Guyton 1994)

Flavonoid mampu berikatan dengan reseptor estrogen (RE), di dalam tubuh ada dua
reseptor estrogen yaitu reseptor estrogen alfa (REα) dan reseptor estrogen beta (RE ).
Reseptor estrogen α terdapat pada organ uterus, testis, hipofisis, ginjal, epididimis,
adrenal, dan payudara. Sedangkan reseptor estrogen

terdapat di ovarium, prostat,

paru-paru, kandung kemih, dan tulang (Barnes dan Kim 1998).

BAB III
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai pada bulan April 2011 sampai dengan bulan
Agustus 2011 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor

dan

Laboratorium

Fisiologi,

Departemen

Anatomi,

Fisiologi,

dan

Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan – IPB.
Alat dan Bahan
Hewan yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague
Dawley yang terdiri atas tikus betina yang telah dewasa kelamin sebanyak 6 ekor
dengan berat badan berkisar antara 150 g-200 g dan tikus jantan yang telah dewasa
kelamin sebanyak 6 ekor dengan berat badan berkisar antara 350 g-400 g. Bahan lain
yang diperlukan adalah larutan fisiologis NaCl 0.9%, kertas saring Whatman no 42,
etanol 70%, akuades, dan ekstrak purwoceng.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat kandang tikus,
erlenmeyer, gelas ukur, corong, blender, gelas objek, mikroskop binokuler, pompa
vakum, rotary vacuum evaporator (Buchi Rotavapor R-205), chiller, spuit 1 ml,
sonde lambung dari stainless steel, oven, wadah porselen, cotton buds, dan timbangan
analitis.
Persiapan Purwoceng
Bagian akar purwoceng dikeringkan dengan penjemuran panas matahari (suhu
tidak melebihi 50˚C). Selanjutnya akar purwoceng yang telah kering dipotong tipistipis dan dihaluskan dengan menggunakan blender sehingga di dapat serbuk
(simplisia). Serbuk akar purwoceng diekstraksi dengan metode maserasi sebanyak
350 g direndam dalam 3,5 l etanol 70% sebagai zat pelarut selama 24 jam, setiap 2
jam sekali diaduk agar homogen, kemudian disaring menggunakan kain saring. Hasil

19

ekstrak disimpan di dalam erlenmeyer sedangkan ampas direndam kembali dalam 3,5
etanol 70% selama 24 jam, setiap 2 jam diaduk. Setelah itu larutan disaring dan
ekstraknya disatukan dengan hasil ekstrak yang pertama dalam erlenmeyer ukuran 5
l, kemudian dilakukan proses evaporasi agar zat pelarut terpisah dengan
menggunakan Rotary Evaporator (Rotavapor) Buchi dengan suhu 48˚C dan
kecepatan putaran per menit (rpm) sebesar 60 rpm, selanjutnya ekstrak kering
diperoleh dengan menggunakan alat pengering beku (freeze drying). Ekstrak kering
selanjutnya disimpan di dalam botol kaca steril dan dilarutkan kembali dengan
akuades sesuai dosis saat perlakuan terhadap hewan coba. Jumlah ekstrak kering yang
didapatkan dari 350 g simplisia adalah sejumlah 95 g. Ekstrak kering ini kemudian
dibuat dalam larutan stok sebesar 5% yaitu 5 gram dalam 100 cc akuades atau 50
mg/cc.
Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng
Penentuan dosis ekstrak purwoceng pada tikus berdasarkan penelitian
terdahulu (Taufiqurrachman 1999) yaitu sebesar 25 mg/cc untuk bobot badan tikus
sebesar 300 g atau sebesar 83.33 mg/kg BB. Dalam penelitian ini digunakan 0.5 cc
untuk 300 g tikus (larutan stok mengandung 50 mg/cc).
Persiapan Hewan Percobaan
Tikus percobaan diadaptasikan selama 1 minggu dalam kandang kolektif agar
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Untuk mendapatkan tikus betina
bunting dilakukan perkawinan secara alamiah dengan mencampurkan pejantan dan
betina dalam satu kandang. Perkawinan ditandai dengan adanya sperma dalam ulasan
vagina dan pada umumnya tikus telah bunting, sehingga tercatat sebagai hari pertama
kebuntingan (H1). Kemudian tikus bunting dipelihara hingga partus dan laktasi
selama 21 hari.
Pemeliharaan tikus laktasi dilakukan di dalam kandang hewan individu yang
terbuat dari plastik berukuran 30 cm × 20 cm × 12 cm (panjang × lebar × tinggi) dan
dilengkapi dengan kawat kasa penutup pada bagian atasnya. Satu ekor tikus

20

ditempatkan dalam satu kandang. Pakan dan air minum diberikan ad libitum.
Penggantian sekam minimal dan pencucian kandang plastik dilakukan setiap 3 hari
sekali.
Perlakuan Hewan
Kelompok tikus laktasi : 6 ekor tikus betina digunakan dalam penelitian ini
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu:
A: kelompok tikus laktasi sebanyak 3 ekor yang tidak diberi perlakuan.
B: kelompok tikus laktasi sebanyak 3 ekor yang dicekok purwoceng pada umur
laktasi 1-21 hari.
Tahapan yang dilakukan adalah:
1. Perkawinan
Proses perkawinan dilakukan dengan cara meletakkan betina dan jantan dalam
satu kandang selama 1-7 hari. Betina yang telah dikawinkan dan diketahui
bunting melalui tes swab vagina, dipisahkan pada kandang tersendiri dan
merawatnya selama 21-22 hari.
2. Kelahiran
Menghitung jumlah total anak keseluruhan, menghitung jumlah total anak betina,
dan menghitung jumlah total anak jantan.
3. Laktasi
Pada saat laktasi, induk perlakuan dicekoki ekstrak purwoceng selama 21 hari,
serta menimbang anak dari induk perlakuan maupun kontrol untuk mengetahui
perkembangan dari bobot badannya.
Parameter Percobaan
Masing-masing kelompok ditimbang bobot badan anaknya selama 21 hari
masa laktasi untuk dilihat perubahan pertambahan bobot badan untuk kemudian
dibandingkan antar kelompok. Hasil yang diperoleh kemudian dianalisis dengan
analysis of variance (ANOVA) (Steel dan

Dokumen yang terkait

Efektivitas pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) selama 13 21 hari kebuntingan terhadap bobot organ reproduksi dan anak tikus putih

1 14 47

Efektivitas pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) selama 13-21 hari kebuntingan terhadap bobot organ reproduksi dan anak tikus putih (Rattus sp.)

0 5 82

Efektivitas pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) selama 1-13 hari kebuntingan terhadap bobot ovarium dan uterus tikus putih (Rattus sp.)

3 27 83

Efektifitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) terhadap Pertambahan Bobot Badan Tikus Betina Buting Umur Kebuntingan 0 – 13 Hari

0 5 78

Efektivitas Pemberian Ektrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) pada Hari 1-13 Kebuntingan terhadap Keberhasilan Implantasi pada Tikus Putih (Rattus sp.)

0 5 72

Tampilan anak tikus jantan (rattus novergicus) dari induk yang diberi ekstrak etanol akar purwoceng (pimpinella alpina) selama 1-13 hari kebuntingan

1 5 45

Bobot Badan Tikus Betina Bunting Yang Diberi Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinella Alpina) Pada Hari 13-21 Kebuntingan

2 14 31

Efektivitas Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinella Alpina Kds) Pada Induk Tikus Selama 1-13 Hari Kebuntingan Terhadap Siklus Estrus Anak Betinanya

0 8 40

Tampilan anak tikus betina dari induk bunting yang diberi ekstrak akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) selama 1-13 hari.

0 5 35

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG( Pimpinella pruatjan Molk .) SECARA AKUT TERHADAP FUNGSI HEPAR TIKUS PUTIH ( RATTUS NORVEGICUS ) JANTAN: UJI TOKSISITAS AKUT

0 1 12